You are on page 1of 4

Anemia atau orang awam sering menyebutnya Kurang Darah (KD) biasanya dihubungkan

dengan ciri kondisi tubuh 3 L; letih, lemah, dan lesu. Kondisi itu terjadi akibat berkurangnya
kandungan zat besi di dalam darah. KD tak hanya milik orang dewasa tapi anak-anak pun
bisa terserang. Sekitar 100 jiwa atau 1 diantara 2 penduduk Indonesia menderita anemia.
Boleh jadi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2004 yang menunjukkan
tingginya kejadian anemia pada kelompok usia sekolah dan lebih sering terjadi pada wanita
menjadi alarm bagi para orangtua. Sebab hasil dari SKRT 2004 itu menunjukkan angka
persentase anemia deIisiensi besi (ADB) terjadi pada 39 persen balita dan 24 persen pada usia
5-11 tahun.
Ketua III Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP IDAI) dr Soedjatmiko, SpA
(K) mengungkapkan, anemia di Indonesia tahun 2000 adalah 8,1 juta anak balita (40,5
persen), 17,5 juta anak usia sekolah (47,2 persen), 6,3 juta remaja putri (57,1 persen), 13 juta
wanita usia subur (39,5 persen), 6,3 juta ibu hamil (57,1 persen).
!70;,038anemia pada anak balita, yakni 337 per 1.000 anak laki-laki dan 492 per 1.000
anak perempuan. Prevalensi usia 5-14 tahun 428 per 1.000 anak lelaki, dan 492 per 1.000
anak perempuan. Kondisi itu tentu saja menggusarkan pikiran Menteri Kesehatan Siti Fadilah
Supari SpJP(K) dalam sambutannya di acara Kampanye Antianemia yang digelar di
Departemen Kesehatan, Maret lalu. Dikatakan Menkes bahwa di Indonesia,
jumlah penderita anemia yang berasal dari kelompok anak usia sekolah (6-18 tahun)
mencapai 65 juta jiwa. Andaikan angka itu digabung dengan penderita anemia usia balita,
remaja putri, ibu hamil, wanita usia subur, dan lansia, jumlah total mencapai 100 juta jiwa.
Secara umum bisa dikatakan bahwa satu di antara dua penduduk Indonesia menderita anemia.
anjut Siti Fadilah, jika mayoritas anak perempuan menderita anemia, dampaknya akan
berlanjut. Mengingat, mereka adalah para calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus.
Jika tidak ditanggulangi, dikhawatirkan akan meningkatkan risiko perdarahan pada saat
persalinan yang dapat menimbulkan kematian ibu. Calon ibu yang menderita anemia bisa
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.
Anemia Turunkan Kecerdasan
KD yang terjadi pada anak-anak dapat menggangu proses tumbuh kembangnya. Bahkan
perkembangan berpikir juga bisa terganggu dan mudah terserang penyakit. Anemia yang
terjadi pada seseorang bisa muncul karena bawaan (kongenital), akut atau kronik, tidak
berbahaya atau berbahaya menyangkut kehidupan, dan berat atau ganas.
Menurunnya jumlah sel darah merah dalam tubuh juga bisa terjadi karena zat gizi besi
digunakan untuk kepentingan lain (di luar untuk pembuatan sel darah merah). Hal ini terjadi,
misalnya, akibat kekurangan asam lambung, penyakit pada sumsum tulang, kekurangan zat
gizi yang diperlukan untuk pembentukan atau memproduksi sel-sel darah merah seperti asam
Iolat, vitamin B12, dan lainnya.
Anemia adalah gejala kekurangan (deIisiensi) sel darah merah karena kadar hemoglobin
yang rendah. Kekurangan sel darah merah akan membahayakan tubuh. Sebab sel darah merah
berIungsi sebagai sarana transportasi zat gizi dan oksigen yang diperlukan pada proses
Iisiologis dan biokimia dalam setiap jaringan tubuh.
Pada kadar yang normal, jumlah rata-rata sel darah merah/mm pada laki-laki adalah
5.200.000. Sedangkan pada wanita 4.700.000. Apabila seseorang mempunyai jumlah sel
darah merah di bawah angka normal tersebut, berarti dia menderita anemia.
Berdasarkan kriteria WHO, seseorang mengalami anemia bila kadar Hb 11 g/dl pada usia
kurang dari 6 tahun dan kadar Hb 12 g/dl pada usia lebih dari 6 tahun. Pada anak usia
sekolah dan pra sekolah, anemia deIisiensi besi bisa mengganggu proses tumbuh kembang
dan perkembangan otak. Perkembangan berpikir juga bisa terganggu dan mudah terserang
penyakit, demikian penjelasan Dr Djajadiman Gatot SpA(K), spesialis anak dari Divisi
HematologiOnkologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM.
ADB bisa berakibat pada gangguan tumbuh kembang, gangguan kognitiI (belajar) serta
penurunan Iungsi otot, aktivitas Iisik dan daya tahan tubuh. Jika daya tahan tubuh menurun,
maka risiko inIeksi pun akan meningkat. Anemia bisa terjadi saat masih bayi. Bila ini terjadi,
tentunya bisa berdampak pada prestasi mereka saat usia prasekolah dan sekolah. Akibatnya,
bisa terjadi gangguan konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah dan
kecerdasan intelektual (IQ) yang rendah, serta gangguan
perilaku.
Hal senada juga diungkapkan Soedjatmiko, bahwa anemia membuat transIer oksigen yang
memperlancar metabolisme sel-sel otak terhambat, metabolisme lemak mielin yang
mempercepat hantar impuls saraI, perilaku, serta konsentrasi terganggu.
1ika terkena anemia deIisiensi gizi saat bayi, maka ketika memasuki prasekolah dan usia
sekolah akan terganggu konsentrasi, daya ingat rendah, kapasitas pemecahan masalah rendah,
tingkat kecerdasan lebih rendah dan gangguan perilaku.
Anemia pada anak bisa terjadi karena berkurangnya produksi sel darah merah, hilangnya sel
darah merah akibat perdarahan serta adanya penghancuran sel darah merah atau hemolisis.
Misalnya keracunan obat tertentu yang menyebabkan darah pecah sehingga kadar Hb
menurun.
Diagnosis dini diperlukan untuk menentukan pengobatan yang tepat. Kebanyakan orangtua
terlambat membawa anaknya datang ke dokter, yaitu saat Hb-nya turun sampai 5-6 g/dl.
Umumnya, para orangtua tidak menyadari anaknya anemia karena terlihat biasa saja dan
tidak seperti anak yang sakit.
Untuk mencegah terjadinya anemia peran serta orangtua sangat diperlukan. Perhatian lebih
juga diperlukan ketika seorang anak memasuki masa emas atau titik-titik kritis tumbuh
kembangnya, yaitu mulai usia 0-15 tahun. Pada usia 0-2 tahun terjadi pertumbuhan dan
perkembangan otak yang pesat, yang akan menentukan kecerdasannya di kemudian hari.
ADB harus segera ditangani dengan pemberian preparat zat besi dan mengatasi penyebabnya.
Gizi menjadi Iaktor utama dalam penanganan ADB ini.
Memasuki masa remaja (usia 9-15 tahun), organ reproduksi anak mengalami proses
pematangan dan terjadi perubahan hormonal yang bisa meningkatkan perilaku berisiko.
Untuk memenuhi kebutuhannya, diperlukan investasi kesehatan, gizi dan pendidikan pada
bayi, ibu dan balita. Ini penting, sebab kelak akan menentukan kualitas SDM suatu bangsa.
Kekurangan gizi dapat menyebabkan pertumbuhan tinggi dan berat badan dibawah normal,
penurunan tingkat kecerdasan, dan gangguan pada system saraI serta otak. Anemia sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Anak perempuan lebih tinggi risikonya karena
mengalami menstruasi.
Ketika anak perempuan duduk di bangku SMA, mereka masih terancam anemia karena pada
usia itu mulai sadar penampilan sehingga mulai menjalankan diet ketat. Hingga kini belum
ada program pemerintah untuk menanggulangi anemia pada pelajar. Program pemerintah
baru ditunjukkan pada ibu hamil agar tidak melahirkan anak yang anemia..





From: Adi Sasongko <adi.sasongko@ gmail.com
To: Wartawan-Kesehatan (E-mail) <wartawan-kesehatan@ yahoogroups. com
Cc: Dokter_Keluarga@ yahoogroups. com ; Staff-FKMUI@ yahoogroups. com;
milis
pkip <EMAIL PRJTECTED, com; EMAIL PRJTECTED, .com ; milis desentralisasi
kesehatan <desentralisasi- kesehatan@ yahoogroups. com
Sent: Friday, March 2, 2007 2:23:28 PM
Subject: des-kes, Permasalahan anemia pada siswa sekolah dasar


Teman2 sekalian,

Kemarin baru saja digelar acara Konperensi Pers dan sekaligus
launching dari upaya penanggulangan anemia untuk siswa di 200 sekolah
dasar yang dilaksanakan sebagai kerjasama PT Merck Tbk dan Yayasan
Kusuma Buana.

Dalam acara tsb disampaikan sejumlah penyajian makalah mulai dari
Depkes, pakar hematologi anak (Dr. Djajadiman dari FKUI), Pak Djoni
(Merck), dua kepala sekolah dasar dan saya sendiri (YKB). Upaya
penanggulangan ini merupakan bentuk upaya yang dilakukan oleh
masyarakat (LSM dan dunia usaha) mengingat belum adanya program
pemerintah untuk hal ini.

Dari penyajian Depkes memang terlihat bahwa pemerintah tidak membuat
program penanggulangan anemia untuk siswa SD dan hanya memfokuskan
pada ibu hamil.

Kami di YKB sudah mengangkat masalah ini sewaktu dari pemeriksaan kami
(2000-2003) menemukan prevalensi anemia yang tinggi (rata-rata 35,1%
di 10 SD dan kemudian rata2 49,5% di 13 SD lainnya) dalam seminar2
yang kami adakan dan dihadiri a.l oleh wakil Depkes dan Dinas
Kesehatan.

Sayang sampai saat ini belum ada tindak lanjut yang kongkrit dari
pihak pemerintah (Depkes dan Dinkes DKI Jakarta) untuk menanggulangi
masalah anemia di siswa SD ini.

Anemia merupakan keadaan dimana kadar hemoglobine (Hb) darah dibawah
normal (untuk siswa SD digunakan batas 12gr%). Hb sendiri berfungsi
untuk mendistribusikan oksigen ke seluruh jaringan tubuh (termasuk
jaringan otak). Akibat anemia akan terjadi kelemahan fisik (dikenal
sebagai 5L: lemah, lesu, letih, lalai, lunglai) dan juga gangguan
kognitif (kemampuan mengolah informasi/pengetahu an).

Anemia yang khronik memang tidak/jarang menimbulkan kematian tetapi
akan menggerogoti kualitas SDM. Kami pernah menemukan seorang guru (di
daerah pasca gempa di Klaten) dengan Hb 3 gr% dan dia tetap bekerja
seperti biasa dan tidak merasa perlu berobat atau memeriksakan dirinya
ke puskesmas. Hal ini bisa terjadi karena tubuh juga membuat
penyesuaian akibat kondisi ini sehingga ini menyebabkan ybs tidak
merasa perlu memeriksakan dirinya.

Dalam permasalahan anemia di siswa SD maka perlu diantisipasi bahwa
siswa SD perempuan yang anemia akan semakin berat anemianya pada
jenjang SMP karena proses menstruasi. Anak perempuan yang semula tidak
anemia bahkan bisa menjadi anemia. Prevalensi ini akan bisa meningkat
lagi di usia SMA karena remaja putri SMA semakin sadar penampilan dan
kemudian tidak mau makan ini dan itu karena takut gemuk dan jerawatan
misalnya.

Masalah ini kemudian berujung pada tingginya anemia pada ibu hamil.
Dan ibu hamil yang anemia akan melahirkan bayi yang anemia. Bayi
anemia akan menjadi balita anemia dan kemudian menjadi siswa SD yang
anemia dst dst.

Jadi jika sekarang ini yang ada hanya penanggulangan anemia pada ibu
hamil, maka ini berarti ada keterlambatan selama belasan tahun. Dan
selama itu akan terjadi akumulasi dari dampak negatif anemia pada
kesehatan dan kemampuan kognitif perempuan Inilah salah satu dari
penyebab kenapa Indeks Pembangunan Manusia kita di tahun 2005 mencapai
ranking 110 dari 170 negara, jauh lebih buruk daripada negara tetangga
Asean kita.

Kami di YKB memilih penanggulangan anemia di tingkat SD karena ini
usia yang cukup dini dan dari kegiatan kami di sekolah th 2000-2003
(untuk anemia, dan sejak 1987 untuk menanggulangi masalah cacingan),
sekolah dasar terbukti efektif untuk upaya ini. Dalam kegiatan di
sekolah yang kami laksanakan dengan dukungan PT Merck Tbk sejak
Nopember 2006 hingga th 2008 nanti, dilaksanakan serangkaian
penyuluhan untuk siswa, guru dan orangtua murid, pemeriksaan Hb
(dilakukan 2 kali: awal program dan akhir program), dan pemberian
suplemen besi untuk siswa yang anemia (Hb <12gr%) dan siswa yang kadar
Hbnya sampai dengan 12,5gr%.

Tentu saja akan lebih baik jika dilanjutkan ke SMP dan SMA. Juga akan
lebih baik kalau dimulai sejak usia balita melalui posyandu. Apa daya
sumber daya kami terbatas sehingga kami fokus dulu ke sekolah dasar.

Khususnya kondisi di DKI Jakarta, sebetulnya Pemda DKI mempunyai
sumber daya yang luar biasa besarnya. APBDnya saja entah berapa
trilyun. Akan strategis dampaknya untuk kesehatan masyarakat jika
Pemda DKI Jakarta bisa mengalokasikan anggarannya untuk menanggulangi
masalah ini.

Hal yang sama juga bisa ditemukan pada sejumlah pemda yang kaya raya
seperti Bekasi, Tangerang, Depok, Kutai Kartanegara dsb. Disinilah
tugas pemerintah pusat (baca: Depkes) untuk melakukan advokasi kepada
pemda agar memberi perhatian terhadap upaya penanggulangan anemia
berbasis sekolah.

Mudah2an rekan2 wartawan kesehatan bisa membantu melakukan advokasi
agar hal ini bisa mendapat perhatian dari Pemda DKI Jakarta dan
khususnya Dinas Kesehatan.

Demikianlah informasi sementara dari saya.

Salam,

Adi Sasongko

Yayasan Kusuma Buana
Jakarta, Indonesia
Tel. (62-21) 831 2467, 829 6337
Fx. (62-21) 831 4764

hLLp//wwwmallarchlvecom/desenLrallsaslkesehaLan[yahoogroupscom/msg00637hLml

You might also like