You are on page 1of 8

MAKALAH PERJUMPAAN SAINS DAN AGAMA : DARI KONFLIK KE DIALOG

Disusun guna memenuhi salah satu mata kuliah PSI Dosen : Achmad Fauzi, S. Ag, M. Si.

Oleh : Ika Wardani Zulkhariasti Latifah Irmayanti Candra Pribadi Tri Agita Rini NIM 11600005 NIM 11600006 NIM 11600007 NIM 11600008 NIM 11600009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA 2011 BAB I PENDAHULUAN Sains dan agama pada hakekatnya memiliki prinsip dan pembenaran sendiri sehingga sering terjadi perbedaan pendapat diantara keduanya. Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya sains berjalan dengan sangat cepat. Sementara itu, pemahamaman yang terkait dengan sains yang mendasar pada keimanan berjalan lebih lambat. Banyak ilmuan yang beragument bahwa semua penelitian dilakukan dengan langkah yang dapat dipertanggungjawabkan, sebaliknya para agamawan lebih banyak membicarakan persoalan akhirat dan pesan-pesan moral. Maka dari itu sering terjadi benturan antara ilmu pengetahuan khususunya sains dengan ilmu agama. Pada dasarnya sains tidak dimaksudkan untuk menjawab semua hal yang ada dalam kehidupan ini. Hal yang membuat sains begitu berharga, karena sains membuat kita belajar tentang diri kita sendiri. Oleh sebab itu, diperlukan kearifan dan kerendahan hati untuk dapat memahami dan melakukan interpretasi maupun implementasi ilmu sains. Bahkan Albert Einstein pun pernah dalam salah satu pidatonya berkata bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama akan lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. Dan perlu diketahui pergelutan Einstein dengan sains membuatnya menemukan Tuhan. Sains dan agama pada dasarnya berbeda. Perbedaan antara keduanya mungkin disebabkan karena berbeda paradigma. Akibatnya agama dan sains berjlan secara sendiri-sendiri dan tidak beriringan, maka tak heran kalau kemudian terjadi pertempuran diantara keduanya. Sains menuduh agama ketinggalan zaman, dan agama menuduh sains sebagai musuh Tuhan.

BAB II PEMBAHASAN Hubungan Sains dan Agama

Membahas mengenai hubungan sains dan agama tidak akan terlepas dari masalah dasar perdebatan yakni masalah kebenaran dan masalah etika dalam kehidupan. Oleh karena itu untuk menelaah fakta dan kebenaran yang ada dalam kitab suci maupun yang nampak secara fisik di alam semesta ini diperlukan kearifan dan etika dalam proses pemahaman tersebut. Sikap arif dari manusia yang mencoba mengintrepretasi hukum Tuhan maupun hukum alam akan memberikan kesimpulan atas kebenaran yang ada dapat dipertanggungjawabkan dalam konteks sains maupun konteks religi. Tidak dapat kita pungkiri perkembangan sains dewasa ini sangatlah pesat. Sains merupakan karunia tak tertandingi sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntunan dan perkembangannya. Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai aplikasi sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriyah manusia secara luas. Manusia kini telah mampu mengeksploitasi kekayaan-kekayaan secara besar-besaraan. Namun yang menjadi masalah adalah pesatnya kemajuan sering diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama. Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan manusia diilhami dari tumbuhnya etika pencerahan rasional manusia sebagai masyarakat modern, dan dikenal sebaga sikap rasionalisme. Dengan pemahaman rasionalitas, ilmu pengetahuan telah tumbuh berkembang dan mendasarkan pada kegiatan pengamatan, eksperimen, dan deduksi menurut ilmu ukur. Dengan demikian manusia semakin bersikap rasional dalam memandang alam semesta. Misalnya, gejala-gejala yang

terjadi di alam tidak lagi diyakini sebagai disebabkan oleh kekuatan gaib yang menggerakan dan berada dibelakangnya. Namun gejala itu diyakini terjadi didasarkan kekuatan-kekuatan objektif alam itu sendiri yang dikenal sebagai hukum alam. Ciri yang paling utama dari rasionalisme adalah kepercayaan pada akal budi manusia. Segala sesuatu harus dapat dimengerti dan dijangkau oleh akal manusia atau dimengerti secara rasional. Suatu pernyataan akan diteima apabila dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Pada dasarnya sains didominasi oleh aliran positivisme, yaitu aliran yang sangat mengedepankan metode ilmiah dengan menempatkan asumsi-asumsi metafis, aksiologis dan epistemologis. Aliran positivisme menganggap sains mempunyai reputasi yang sangat tinggi untuk menentukan kebenaran, sains sebagai dewa dalam beragam tindakan sosial, ekonomi,politik dan lain-lain. Menurut sains kebenaran adalah sesuatu yang empiris, logis, konsisiten, dan derivatif. Sains menempatkan kebenaran pada sesuatu yang bisa terjangkau oleh indra manusia. Sedangkan agama menempatkan kebenaran tidak hanya meliputi hal-hal yang terjangkau oleh indra tetapi juga yang bersifat non indrawi. Sesuatu yang datangnya dari Tuhan harus diterima dengan keyakinan, kebenaran disini akan memnjadi patokan bagi kebenaran kebenaran yang lain. Konflik antara sains dan agama menyebabkan jurang pemisah antara keyakinan agama yang dianut dan sains yang dipelajari. Dampak nyata dari perseturuan ini adalah terciptanya sains tanpa dilandasi moral keagamaan. Sejarah mencatat, peristiwa kematian Galileo Galilei misalnya, seolah menandai babak baru perang antara sains dan agama. Disusul terbitnya teori Darwin yang tak ayal menghentakkan keyakinan beragama. Hingga kini teori Darwin seakan menjadi semacam ikon perseteruan antara sains dan agama. Contoh lain yang menjadi perdebatan antara etika sains dengan agama adalah

kloning. Pada dewasa ini, penelitian mengenai kloning manusia berjalan terus, sekalipun di tengah derasnya kritik dan kecaman atas dasar-dasar prinsip etika. Etika agama yang bisa dilakukan belum tentu patut dilakukan berhadapan dengan semangat teknologi dan berjalan berdampingan. Kasus teknologi kloning memang akhirnya menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi masing-masing pihak untuk meresponnya. Kasus kloning akan tetap menjadi perdebatan antara kalangan ilmuwan dengan kalangan agamawan dan etikawan. Dan masing-masing akan tetap berpegang pada sudut pandangnya. Jalan tengah yang perlu dibuat adalah kesepakatan logis bahwa setidaknya agamawan tidak mengesampingkan akal budi, dan ilmuwan tidak mengesampingkan etika. Perbedaan pandangan antara kalangan agama dan sains disebabkan oleh ketidakpahaman kalangan agama mengenai ilmu pengetahuan. Oleh karena itu sangat penting bagi para agamawan untuk juga melakukan kajian ilmiah dan melakukan pembelajaran, tidak hanya pada apa yang tersurat dalam kitab suci, tetapi juga menyangkut segala hal yang dapat diobservasi secara fisik di alam semesta ini. Agama bisa mengharapkan sains untuk membersihkan unsur-unsur takhayul yang menyusup, disadari, atau tidak, kedalam ajaran-ajarannya. Sains sebenarnya dapat mempertebal keyakinan dan keimanan. Namun demikian iman juga dapat digoyahkan oleh sains seandainya dicampuradukkan dengan pemahaman agama. Pengkaitan fenomena alam dengan ayat-ayat suci secara serampangan bisa jadi malah akan memberikan pemahaman yang salah. Bagi para agamawan yang kurang memahami sains, tindakan ini akan menyesatkan. Sebaliknya, mengkaitkan sains dengan agama oleh mereka yang tidak atau kurang dibekali agama, bisa membuat kesimpulan yang diambil menjadi konyol dan menggelikan. Umat Islam sejauh ini memandang sains dan teknologi sebagai barang sekunder, dan menempatkannya di posisi pinggiran. Hal ini menyebabkan umat Islam jauh tertinggal dalam bidang sains dan teknologi. Padahal kedua hal

tersebut di masa lalu pernah dikuasai umat Islam sehingga umat Rasulullah ini meraih kejayaannya dan diperhitungkan oleh bangsa dan umat-umat lainnya. Menurut Prof Zuhal ketertinggalan umat islam yang palng menonjol adalah pada penguasaan sains an teknologi. Menurutnya jika umat islam ingin maju maka kedua hal tersbut harus diraih dan itu juga merupakan kunci kemajuan dan kesejahteraan. Kelemahan mendasar umat Islam, karena tidak mensinergikan ilmu agama dan umum dalam proses pendidikan mereka. Umat Islam di masa lalu maju di bidang sains dan teknologi, tapi mereka juga fasih dalam ilmu agama, Mereka memadukan keduanya. Kalangan pesantren yang selama ini identik dengan pembelajaran ilmu-ilmu agama saja. Dalam pandangan Prof Zamakhsari Zhofier, pesantren juga harus memandang sains dan teknologi sebagai kebutuhan ilmu wajib, sama pentingnya dengan belajar fikih. Agama dan sains harus saling mengukuhkan, terutama dalam berbagai pandangan tentang anggapan-anggapan dasar tentang realitas, tanpa harus kehilangan identitas masing-masing. Umat Islam harus menyiapkan pendidikan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang memadai. Hal ini berarti bahwa pendidikan sains dan teknologi harus digalakkan, dan dipacu dengan kemampuan berpikir kritis analitis serta penggunaan penalaran yang rasional. Sekularisasi di Barat telah memisahkan sains dari agama, karena agama dianggap tidak relevan bagi pengembangan sains. Dalam sains Barat, alam semesta tidak diciptakan oleh Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya secara kebetulan karena adanya fluktuasi, karena memang keberadaan Tuhan tidak pernah masuk dalam pembicaraan sains. Langkah tepat yang harus dilakukan umat Islam adalah memagari sains yang sekular dengan membuat sains sebagai himpunan informasi yang rapat, namun terbuka secara matematis, dengan konsep ke-Tuhan-an berada di perbatasannya.

Dengan demikian akidah Islamiyah tetap berada di luar himpunan, namun dapat dihampiri sebagai limit sedekat-dekatnya. Sebagai contoh masalah penciptaan makhluk hidup di bumi, umat Islam dapat memasukkan ajaran bahwa makhluk hidup tidak muncul dengan sendirinya, melainkan diciptakan oleh Yang Maha Kuasa, yang mendorong terjadinya kehidupan di bumi dan evolusinya. Hal ini dapat dirujuk pada ayat 68 surat Qashash yang artinya: Dan Tuhanmu menciptakan apa saja yang diinginkan Nya serta memilih; tiada bagi mereka suatu pilihan Pada kenyataannya ajaran-ajaran tersebut tidak termasuk dalam sains, apabila yang dimaksudkan disini adalah sains Barat yang sekular. Namun bagi seorang Muslim, informasi yang berada di perbatasan sains itu akan dapat diterima sebagai limit karena ia membawa serta ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Al Quran.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Pada kenyataannya kita memang tidak bisa mencampuradukkan pola pikir sains dengan agama. Terdapat perbedaan cara pikir agama dengan sains. Agama memang mengajarkan untuk menjalani agama dengan penuh keyakinan. Sedangkan sebaliknya dalam sains, skeptisme dan keragu-raguan justru menjadi acuan untuk terus maju, mencari dan memecahkan rahasia alam. Sains seharusnya memang dapat diuji dan diargumentasi oleh semua orang tanpa memandang apapun keyakinannya. Semua penganut agama harus memahami bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, dan bukan sebaliknya. Semua penganut agama harus paham bahwa sinar matahari dapat dikonversi menjadi energi. Karena hal ini memang terbukti melalui pendekatan sains. Belajar sains adalah juga belajar untuk memahami hakekat kehidupan manusia, dengan segala kekurangan dan keterbatasannya. Dengan belajar sains, kita belajar untuk rendah hati. Oleh karena itu, pembelajaran sains seyogyanya ditujukan untuk peningkatan harkat kehidupan manusia sebagai penghuni alam semesta ini. Dan hal ini telah secara eksplisit dikemukakan dalam semua kitab suci agama, tanpa perlu diperdebatkan atau dikait-kaitkan dengan kaidah sains.

You might also like