You are on page 1of 21

Naskah Akademik

RANCANGAN UNDANG-UNDANG JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)

REPUBLIK INDONESIA
2009

Daftar ISI
BAB I..................................................................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN ................................................................................................................................................ 1 1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................................................... 1 1.2. TUJUAN DAN RUANG LINGKUP JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN ................................ 4 1.3. METODE PENDEKATAN ........................................................................................................................... 5 1.4. MATERI MUATAN ...................................................................................................................................... 5 1.5. SISTEMATIKA PENULISAN ...................................................................................................................... 6 BAB II ................................................................................................................................................................... 7 RUANG LINGKUP PENGATURAN JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN............................... 7 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. 2.6. UMUM ........................................................................................................................................................ 7 RUANG LINGKUP PENGATURAN JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN (JPSK)............... 8 PRINSIP PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS DALAM JPSK ............................................. 8 DAMPAK SISTEMIK TERHADAP SISTEM KEUANGAN ................................................................... 9 LENDER OF THE LAST RESORT ............................................................................................................ 10 MEKANISME PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KRISIS ........................................................... 11 PENCEGAHAN KRISIS ......................................................................................................................... 11 PENANGANAN KRISIS ........................................................................................................................ 12

2.6.1. 2.6.2. 2.7. 2.8. 2.9.

KOMITE STABILITAS SISTEM KEUANGAN ..................................................................................... 13 SUMBER PENDANAAN DAN AKUNTABILITAS .............................................................................. 15 HUBUNGAN UNDANG-UNDANG JPSK DENGAN UNDANG-UNDANG LAIN ............................ 16

BAB III................................................................................................................................................................ 18 KESIMPULAN .................................................................................................................................................. 18

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Pada saat Indonesia mengalami krisis moneter pada akhir dekade 1990an yang kemudian berimbas pada sektor perbankan dan perekonomian nasional secara luas, sistem keuangan nasional menghadapi tantangan yang sangat berat, khususnya sektor jasa perbankan. Kepercayaan masyarakat kepada sistem perbankan nasional merosot dengan tajam, ditandai dengan terjadinya penarikan dana secara besar-besaran oleh nasabah. Akibatnya, sejumlah bank mengalami permasalahan likuiditas yang menjurus kepada runtuhnya sistem perbankan nasional dan pada gilirannya berdampak pada terganggunya sistem pembayaran dan perekonomian nasional. Krisis moneter pada akhir dekade 1990-an tersebut menunjukkan masih kurangnya perangkat hukum, kelembagaan, dan koordinasi antar lembaga dalam menangani krisis yang terjadi tersebut. Peraturan-peraturan yang ada saat itu belum mengatur hal-hal berkenaan dengan pencegahan dan penanganan krisis. Hal ini memberikan pelajaran mengenai penting regulasi yang memadai khususnya dalam pencegahan dan penanganan krisis serta perlunya koordinasi antar lembaga dalam pencegahan dan penanganan krisis. Untuk membangun sistem keuangan yang lebih siap menghadapi krisis, telah dilakukan penataan kembali kelembagaan yang ada (institutional building). Pengembangan kelembagaan telah dilakukan untuk menata kembali otoritas fiskal, otoritas moneter dan otoritas pengawas bank dan lembaga keuangan bukan bank. Penataan otoritas fiskal dilakukan melalui reorganisasi Departemen Keuangan yang bertujuan untuk memfokuskan pada fungsi fiskal. Sementara, penataan otoritas moneter dan otoritas pengawas bank dilakukan melalui amandemen atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Disamping itu, telah didirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS. Lembaga ini juga turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya. Namun demikian, dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis secara terpadu, efisien, dan efektif masih diperlukan adanya mekanisme koordinasi diantara lembaga-lembaga dalam sistem keuangan nasional. Mekanisme koordinasi dan pengambilan keputusan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis secara terpadu, efisien, dan efektif menjadi semakin penting setelah munculnya krisis keuangan global pada awal tahun 2008 yang dimulai dari krisis yang terjadi di Amerika Serikat. Situasi perekonomian global telah mengalami perubahan yang sangat dramatis sepanjang tahun 2008. Kondisi pasar uang dan pasar modal seluruh dunia mengalami guncangan akibat krisis keuangan tersebut. Nilai tukar mata uang beberapa negara terhadap dolar Amerika Serikat juga mengalami pergolakan. Pada saat yang sama, ketatnya likuiditas di pasar keuangan internasional mendorong investor untuk menarik uangnya di emerging market, dan melakukan flight to quality ke negara-negara lain yang dinilai lebih aman. Hal ini mengakibatkan pelemahan mata uang berbagai negara, termasuk rupiah terhadap dolar Amerika. Sementara itu, tingkat yield surat utang negara, terutama pada negara berkembang (emerging market) mengalami kenaikan yang sangat tajam. Fluktuasi nilai
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

tukar, yield surat berharga, dan bahkan pasar modal sangat mempengaruhi kondisi perekonomian secara umum, termasuk kegiatan sektor riil. Demikian pula perkembangan harga saham di seluruh dunia juga mengalami kemerosotan yang sangat tajam dibanding awal tahun 2008. Situasi yang sangat tidak pasti ini harus dikelola, dimonitor, dan diantisipasi secara berkelanjutan, termasuk menetapkan langkah-langkah penyesuaian dan pengamanan yang diperlukan. Seluruh negara-negara di dunia telah dan terus melakukan berbagai kebijakan penyesuaian dalam menghadapi gejolak keuangan global. Tidak terkecuali Indonesia, juga mengalami imbas, telah dan akan terus melakukan penyesuaian kebijakan, baik untuk menyikapi, hingga mengantisipasi, serta meminimalkan dampak pada perekonomian nasional. Perekonomian dunia mengalami pelemahan, dan bahkan resesi yang diperkirakan akan berlanjut hingga tahun 2010. Tidak ada satu negarapun yang benar-benar dapat membebaskan diri dan terisolasi dari kejadian ini. Beberapa negara maju bahkan menyatakan telah mengalami resesi, dan saat ini tengah berusaha dengan sekuat tenaga untuk meminimumkan dampak krisis keuangan global, baik secara internal (domestik), maupun melalui kerjasama bilateral, regional, bahkan di tingkat dunia. Dampak dari situasi diatas berpotensi merusak stabilitas sistem keuangan nasional Dalam menghadapi kemungkinan terjadinya gangguan yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan nasional, diperlukan mekanisme koordinasi antar lembaga terkait dalam pembinaan sistem keuangan nasional. Hal ini dimaksudkan untuk menyelaraskan tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga tersebut serta membakukan mekanisme pengambilan keputusan dalam menghadapi gejolak di dalam sistem keuangan nasional. Lembaga-lembaga terkait dalam mekanisme ini terdiri dari otoritas fiskal (Menteri Keuangan), otoritas moneter (Bank Indonesia) dan otoritas pengawas Bank dan Lembaga Keuangan Bukan (LKBB). Mekanisme koordinasi diantara otoritas sektor keuangan ini merupakan kelengkapan lembaga dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang sangat penting dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Secara garis besar, berdasarkan pengalaman di berbagai negara Jaring Pengaman Sistem Keuangan terdiri dari 5 komponen besar yaitu: a. Adanya mekanisme lender of last resort yang dapat berfungsi dengan baik dalam kondisi normal. b. Adanya mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat (FPD) yang dapat berfungsi dengan baik dalam kondisi berpotensi krisis dan kondisi krisis. c. Adanya sistem penjaminan simpanan diharapkan akan mengurangi biaya sosial bank bangkrut dan selanjutnya mengurangi kemungkinan penggunaan lender of last resort. Keberadaan sistem penjamin simpanan ini memungkinkan pengambil keputusan dapat melakukan penutupan bank tanpa menimbulkan kekuatiran nasabah. d. Adanya regulasi tentang permodalan sehingga mengurangi potensi bank gagal dan mengurangi biaya intervensi melalui lender of last resort. e. Adanya prosedur untuk melakukan penyelamatan (bailout) atau likuidasi bank/LKBB sehingga lembaga keuangan yang bermasalah dapat ditangani dengan cepat dan tepat. Disadari oleh Pemerintah bahwa terdapat concern dari masyarakat mengenai adanya kerentanan lembaga keuangan terhadap potensi moral hazard, baik dari pelaku
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

pasar maupun otoritas di sektor keuangan dengan adanya Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Untuk meminimalkan moral hazard, Pemerintah telah menyusun langkahlangkah pengamanan sebagai berikut: a. Adanya konsekuensi hukum apabila terdapat penyalahgunaan (fraud). b. Adanya konsekuensi pengambilan hak dan kewenangan RUPS setelah mendapatkan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) dan Penyertaan Modal Sementara (PMS) oleh otoritas terkait. c. Adanya konsekuensi punishment sesuai dengan peraturan yang berlaku atas kelalaian pengawas dalam menjalankan tugas dan fungsinya. d. Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat dituntut secara hukum apabila tidak menjalankan tugas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku (KSSK tidak kebal hukum). e. Mengusahakan solusi private sebelum memakai fasilitas jaring pengaman sistem keuangan. f. Jaring pengaman sistem keuangan harus dilengkapi dengan ketersediaan informasi yang cermat dan akurat serta pengaturan dan pengawasan yang prudent dan ketat. g. Membuat akses terhadap fasilitas yang diatur dalam JSPK tidak terlalu pasti sehingga pelaku pasar tidak mudah menebak keputusan yang akan diambil oleh otoritas terkait karena juga dilakukan berdasarkan kasus per kasus (constructive ambiquity). h. Menyampaikan kepada publik mengenai kondisi awal dan persyaratan umum untuk mendapatkan fasilitas yang diatur dalam JPSK. Ada syarat perlu (necessary condition) yang diketahui oleh publik, namun syarat tersebut tidak cukup untuk mendapatkan fasilitas bantuan likuiditas tersebut. i. Pendekatan seperti ini dapat dilakukan dalam keadaan normal dimana kondisi sistem keuangan tidak memburuk sehingga pembuat kebijakan punya waktu yang cukup banyak untuk memilah-milah persoalan dan keleluasaan untuk membuat kebijakan mengatasi persoalan. Dengan mempertimbangkan pengalaman penanganan krisis pada tahun 1998 dan dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi pejabat pengambil keputusan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, Pemerintah memandang perlu untuk menyusun jaring pengaman sistem keuangan dalam suatu undang-undang. Penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) dimaksudkan agar (i) menghindari ketidakjelasan kerangka hukum dalam pengambilan keputusan, (ii) menghindari penanganan yang bersifat ad-hoc dan lambat, (iii) meningkatkan kepercayaan dan persepsi masyarakat akan kesiapan otoritas menghadapi krisis keuangan, (iv) mengisi missing link undang-undang di sektor keuangan yang sudah ada, dan (v) meminimalkan biaya penanganan krisis. Namun demikian, mengingat Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan membutuhkan waktu dalam penyelesaiannya sedangkan pada semester II tahun 2008 terdapat ancaman krisis keuangan global yang berpotensi berdampak pada sistem keuangan nasional maka untuk memenuhi kebutuhan akan landasan hukum yang mengatur tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Pemerintah pada tanggal 15 Oktober 2008 telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Sesuai dengan Rapat Keputusan Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 18 Desember 2008, Pemerintah menyusun kembali suatu Rancangan UndangUndang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

Penyusunan undang-undang tersebut secara yuridis merupakan amanat Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 yang seharusnya akan ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004. Undang-undang tersebut pada intinya mengamanatkan agar ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai permasalahan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Bank Indonesia, telah pula disebutkan mengenai mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya menjadi beban pemerintah merupakan bagian dari konsep Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Indonesia Financial Safety Net) yang diatur dalam undang-undang tersendiri. 1.2. Tujuan dan Ruang Lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan Jaring Pengaman Sistem Keuangan merupakan upaya secara berkesinambungan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of last resort, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan krisis. Fungsi lender of last resort merupakan salah satu instrumen penting dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang menjaga stabilitas sistem keuangan. Para peneliti kenamaan seperti Diamond (1984), Diamond dan Dybig (1983), Kalomiris and Khan (1991), Diamond and Rajan (2001), melakukan kajian secara mendalam dan menyimpulkan bahwa lender of last resort diperlukan oleh sistem perbankan di setiap negara mengingat ciri kerentanan yang dimiliki bank serta dampaknya yang sangat luas terhadap sistem keuangan dan perekonomian. Thornton (1802) dan Bagehot (1873) juga menegaskan bahwa lender of last resort merupakan keharusan/kebutuhan untuk menyokong sistem keuangan keseluruhan demi kepentingan publik. Namun demikian, mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas lender of the last resort, serta program penjaminan simpanan telah diatur dalam undang-undang tersendiri maka ruang lingkup undang-undang ini hanya mengatur mekanisme pencegahan dan penanganan krisis yang berdampak sistemik. Ruang lingkup tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi (i) tindakan mengatasi permasalahan Bank/LKBB yang membahayakan kelangsungan usahanya, (ii) penjaminan Pemerintah atas simpanan nasabah, (iii) pemberian fasilitas pembiayaan jangka pendek oleh Bank Indonesia; dan (iv) tindakan mengatasi permasalahan Bank/LKBB yang membahayakan sistem keuangan atau membahayakan perekonomian nasional. Ruang lingkup JPSK yang mencakup bank dan LKBB (lembaga keuangan) dilandasi pemikiran bahwa lembaga keuangan sangat rentan terhadap risiko likuiditas yang diakibatkan sifat alami lembaga keuangan yang harus melakukan transformasi jatuh tempo antara sisi aktiva dan passiva. Disamping itu, lembaga keuangan juga sangat rentan terhadap risiko sistemik karena adanya jaringan dan ketersambungan dalam sistem pembayaran, pinjaman antar bank, serta jual beli instrumen keuangan dan derivatif. Penyebab kerentanan lembaga keuangan dapat juga berasal dari luar perbankan seperti yang terjadi pada krisis akhir-akhir ini yang berasal dari kerentanan makroekonomi dan adanya gelembung (bubbles) keuangan di pasar keuangan dunia.
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

Hal ini terjadi karena para pelaku pasar keuangan merasa optimis yang berlebihan disertai ketamakan dengan melihat bahwa pencapaian yang lalu yaitu moderasi dan keberhasilan mencapai pertumbuhan yang tinggi dengan inflasi yang rendah (the great moderation) akan terus berlanjut. Kerentanan lain pada lembaga keuangan adalah kerentanan di satu lembaga keuangan dapat menular kepada lembaga keuangan lain (contagian effect) dan bahkan ke sektor lain dan pada akhirnya dapat berdampak terhadap seluruh sistem perekonomian. 1.3. Metode Pendekatan Dalam rangka penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan, pada tahun 2004 telah dibentuk Panitia Antar Departemen (PAD) Penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Departemen Keuangan, Departemen Hukum dan HAM, Sekretariat Kabinet, dan Bank Indonesia. PAD dimaksud telah mengkaji dan merumuskan substansi pokok dari Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang menjadi dasar penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ini. Dalam pelaksanaan tugasnya, PAD telah melakukan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dimaksud. Pengkajian oleh PAD dilakukan antara lain melalui kegiatan-kegiatan berupa studi kepustakaan, diskusi dengan mengundang para pakar, sosialisasi, seminar atau public hearing dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang, serta menyelenggarakan simulasi penanganan krisis sebagai uji coba prosedur penanganan krisis yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang ini. 1.4. Materi Muatan Materi hukum yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan ini pada prinsipnya merupakan materi muatan yang harus diatur dengan undang-undang. Hal ini didasarkan pada landasan yuridis bahwa materi Jaring Pengaman Sistem Keuangan dimaksud diperintahkan secara tegas dalam Pasal 11 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004, yaitu bahwa ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai permasalahan keuangan Bank yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur dalam undang-undang tersendiri. Mekanisme ini merupakan bagian dari konsep Jaring Pengaman Sistem Keuangan atau Indonesia Financial Safety Net yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan sebagaimana telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Bank Indonesia. Selain itu, materi muatan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengenai keuangan Negara. Sehingga sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, materi muatan tersebut harus diatur dengan suatu Undang-Undang.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

1.5. Sistematika Penulisan Naskah akademik ini terdiri dari 3 (tiga) bab, yaitu: Bab I merupakan pendahuluan yang menjelaskan mengenai latar belakang perlunya pembentukan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, tujuan dan kegunaan pembentukan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, Metode Pendekatan, dan Materi Muatan dan Sistematika Penulisan naskah akademik Jaring Pengaman SIstem Keuangan. Bab II akan membahas mengenai ruang lingkup naskah akademik yang meliputi pengertian umum, materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang, Ketentuan Peralihan, dan Penutup dari Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan. Bab III merupakan kesimpulan mengenai pentingnya pengaturan tentang JPSK sehingga perlu menjadi prioritas pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

BAB II RUANG LINGKUP PENGATURAN JARING PENGAMAN SISTEM KEUANGAN

2.1. Umum Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab terdahulu, Rancangan Undang-Undang JPSK mengatur masalah pencegahan dan penanganan krisis. Tindakan pencegahan dan penanganan krisis meliputi tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas baik Bank maupun Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik. Suatu bank dapat mengalami permasalahan likuiditas apabila mengalami permasalahan keuangan akibat ketidaksesuaian antara arus kas masuk dengan arus kas keluar. Apabila permasalahan likuiditas tersebut tidak segera ditangani, dikhawatirkan kepercayaan nasabah terhadap bank tersebut merosot dan nasabah berbondongbondong menarik uangnya (bank runs) sehingga bank dimaksud tidak dapat berfungsi secara normal. Bank runs sangat rentan terhadap rumor yang dengan mudah menyebar dan makin besar yang dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan. Suatu bank dapat kolaps apabila semua nasabah percaya terhadap rumor yang berkembang di tangah masyarakat dan kemudian semua bertindak menarik simpanannya. Bank tersebut tidak akan mampu melikuidiasi asetnya dalam waktu singkat untuk dapat memenuhi kewajibannya terhadap nasabah. Hal tersebut dapat menimbulkan efek domino terhadap bank lain sehingga bank-bank lain kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran kepada nasabahnya (dampak sistemik). Penularan dalam keadaan normal (good times) berbeda dengan penularan dalam keadaan buruk (bad times). Pada saat normal relatif mudah bagi otoritas pengawas untuk membedakan permasalahan likuiditas dengan permasalahan permodalan (solvabilitas). Namun pada saat keadaan krisis, sangat sulit membedakan antara permasalahan likuiditas dan solvabilitas. Potensi kegagalan satu bank meningkat pada saat semua bank mengalami tekanan secara sistemik. Bank yang semula hanya mengalami persoalan likuiditas, akan dengan cepat bank tersebut menjadi insolvent. Dampak dari kegagalan beberapa bank terhadap harga produk keuangan akan berakibat terhadap penurunan nilai dari aset dan apabila dilakukan penyesuaian harga akan mengurangi nilai kolateral/agunan pada tingkat korporasi sehingga akan mengurangi kredit yang dapat diberikan oleh bank kepada korporasi yang pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan likuiditas bank tersebut, bank dapat memperoleh fasilitas likuiditas dari BI sebagai lender of the last resort. Sedangkan untuk mengatasi permasalahan likuiditas LKBB yang berdampak sistemik, LKBB dapat memperoleh fasilitas likuiditas dari Pemerintah. Dalam hal bank mengalami permasalahan solvabilitas, yaitu ketidakcukupan modal bank untuk memenuhi kewajibannya, BI melakukan langkah-langkah penyehatan sesuai kewenangannya berdasarkan Undang-Undang tentang Perbankan. Apabila upaya yang dilakukan tidak dapat menyehatkan bank tersebut, bank dinyatakan sebagai bank gagal. Sama halnya dengan permasalahan likuiditas, apabila bank dinilai berdampak sistemik, bank tersebut tidak dilikuidasi karena dapat menimbulkan efek domino terhadap bank-bank lain, sehingga bank tersebut harus diselamatkan melalui

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

penambahan modal dalam bentuk penyertaan modal sementara (PMS) oleh LPS sesuai dengan Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. 2.2. Ruang lingkup Pengaturan Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Ruang lingkup Undang-Undang JPSK adalah meliputi pencegahan dan penanganan krisis yang membahayakan sistem keuangan atau membahayakan perekonomian nasional. Pencegahan dan penanganan krisis dilakukan setelah pengawas Bank/LKBB tidak dapat lagi mengatasi permasalahan Bank/LKBB sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencegahan dan penanganan krisis meliputi tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas Bank dan LKBB yang Berdampak Sistemik. Tindakan-tindakan untuk pencegahan dan penanganan krisis dilakukan melalui tindakan mengatasi permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas dari Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang berdampak sistemik, yaitu antara lain dengan memberikan Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD) bagi Bank atau bantuan likuiditas bagi LKBB yang mengalami permasalahan likuiditas. Selain itu, dapat pula dilakukan dengan menambah modal berupa penyertaan modal sementara terhadap Bank dan LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas. Dengan diaturnya JPSK, maka : a. terdapat landasan hukum yang kuat dalam melakukan tindakan pencegahan dan penanganan krisis; b. adanya transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengambilan keputusan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis; c. terdapat mekanisme koordinasi diantara lembaga terkait dalam menghadapi gangguan yang berpotensi mengancam stabilitas sistem keuangan nasional, tanpa mengurangi independensi masing-masing otoritas; d. penanganan permasalahan lembaga keuangan yang berdampak sistemik dapat dilakukan secara tuntas; e. terdapat sumber pendanaan yang jelas untuk tindakan pencegahan dan penanganan krisis dengan tetap berpedoman pada hak budget Dewan Perwakilan Rakyat. 2.3. Prinsip Pencegahan dan Penanganan Krisis dalam JPSK Prinsip-prinsip implementasi pencegahan dan penanganan krisis meliputi : 1. Kecepatan pengambilan keputusan Keputusan penanganan terhadap permasalahan bank harus dilakukan segera mungkin paling tidak ketika terjadi indikasi bahwa hal tersebut dapat menjadi awal pemicu dampak sistemik terhadap sistem keuangan. Tindakan cepat, pesan (signaling) yang jelas dan kepemimpinan yang didefinisikan secara baik akan memberikan dampak positif untuk menjaga dan/atau pemulihan kepercayaan publik. 2. Transparansi dan kredibilitas keputusan Menjaga integritas dan kepercayaan publik dalam penanganan krisis menjadi faktor yang sangat penting untuk keberhasilan pemulihan kepercayaan sistem keuangan
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

nasional. Untuk itu, sangat diperlukan adanya proses yang menjamin bahwa pelaksanaan pencegahan dan penanganan krisis dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta dilakukan oleh lembaga yang kompeten. Dengan demikian diperlukan data dan informasi yang handal (reliable), staf yang berkualitas, koordinasi institusional yang erat, dan komunikasi publik yang baik. 3. Kepastian hukum Keputusan yang diambil dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis oleh otoritas fiskal dan otoritas moneter merupakan keputusan yang sah dan mengikat, sehingga dapat memberikan kepastian hukum. 4. Akuntabilitas penggunaan dana publik Dalam pencegahan dan penanganan krisis yang memerlukan dukungan pendanaan dari APBN, mekanismenya dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dengan mempertimbangkan kecepatan pengambilan keputusan. 2.4. Dampak Sistemik terhadap Sistem Keuangan Berdampak Sistemik adalah suatu kondisi sulit yang ditimbulkan oleh suatu atau beberapa Bank, LKBB, dan/atau gejolak pasar keuangan yang apabila tidak diatasi dapat menyebabkan kegagalan sejumlah Bank dan/atau LKBB lain sehingga menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan dan perekonomian nasional. Permasalahan lembaga keuangan yang berdampak sistemik sebagaimana diuraikan diatas dapat terjadi pada kondisi sistem keuangan dalam keadaan normal maupun dalam keadaan krisis. Dampak sistemik dapat timbul karena terjadinya permasalahan dari suatu lembaga keuangan baik secara individu maupun bersama-sama dengan potensi penyebaran masalah (contagion effect) yang dapat menyebabkan kegagalan sejumlah lembaga keuangan lainnya bahkan kegagalan pada sistem keuangan secara keseluruhan. Dampak sistemik dapat terjadi dalam kondisi krisis akibat kemerosotan ekonomi/ keuangan dalam negeri atau kemerosotan ekonomi/keuangan dunia. Sebagaimana praktik yang berlaku umum di negara-negara lain, kriteria dan pengukuran dampak sistemik tidak ditetapkan secara eksplisit dan dimuka (ex ante) dalam suatu ketentuan perundang-undangan, karena: a. Berpotensi menimbulkan moral hazard Apabila kriteria dampak sistemik ditetapkan secara eksplisit, maka terdapat potensi bank atau lembaga keuangan bukan bank dapat memposisikan sebagai lembaga yang berdampak sistemik. Oleh karena itu Bank/LKBB cenderung kurang memperhatikan risiko (excessive risk taking). Hal tersebut dilakukan karena pemilik atau pengurus lembaga keuangan memperkirakan lembaga keuangan dimaksud akan diselamatkan oleh Pemerintah. b. Pengukuran Dampak Sistemik Bersifat Situasional Skala atau dampak sistemik disebabkan oleh berbagai situasi, baik yang bersifat internal dari lembaga keuangan maupun bersifat eksternal seperti krisis keuangan global, serangan teroris, dan bencana alam. Oleh karena itu, penetapan dampak sistemik sulit untuk ditetapkan diawal. Suatu lembaga keuangan dapat dinyatakan
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

berdampak sistemik pada situasi tertentu, namun tidak berdampak sistemik pada situasi yang berbeda. Dengan demikian, pengukuran dampak sistemik memerlukan professional judgement. 2.5. Lender of the Last Resort Bank dalam rangka menjalankan kegiatan usahanya menghadapi risiko keuangan berupa kesulitan pendanaan jangka pendek (permasalahan likuiditas) yang apabila tidak segera diatasi dapat menimbulkan masalah yang lebih besar dan bersifat struktural. Permasalahan likuiditas yang dialami bank disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara arus dana masuk dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch). Permasalahan likuiditas tersebut dapat mengakibatkan terjadinya saldo giro bank pada BI menjadi negatif. Saldo giro negatif adalah saldo rekening giro rupiah bank pada BI yang menunjukkan angka negatif pada saat BI menutup sistem akuntingnya. Untuk mengatasi permasalahan likuiditas, pada dasarnya bank terlebih dahulu harus mengupayakan dana di pasar uang, dengan menggunakan berbagai instrumen pasar uang yang tersedia. Dalam hal bank gagal memperoleh dana di pasar uang, maka BI sebagai LoLR dapat membantu bank untuk memenuhi kebutuhan likuiditas tersebut. Selain mengupayakan dana dari pasar uang, bank juga dapat memanfaatkan fasilitas likuiditas intrahari (FLI) dan melakukan repurchase agreement kepada BI atas SBI dan SUN yang dimilikinya (fasilitas repo). Fasilitas likuiditas intra hari adalah fasilitas pinjaman dari BI kepada bank untuk mengatasi ketidaksesuaian arus kas dalam jangka sangat pendek (sepanjang jam operasional sistem pembayaran). Apabila bank tidak dapat melunasi FLI maka bank tersebut dapat memanfaatkan fasilitas repo. Berdasarkan Undang-Undang tentang Bank Indonesia, BI dapat memberikan kredit kepada bank untuk mengatasi permasalahan likuiditas yang dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi. Sejalan dengan hal tersebut, BI menyediakan fasilitas pendanaan dalam rangka mengatasi permasalahan likuiditas kepada bank, dengan maksud agar kelangsungan kegiatan usaha bank dan kelancaran sistem pembayaran dapat terpelihara. Pemberian kredit oleh BI tersebut berupa penyediaan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, fungsi lender of the last resort Bank Indonesia ditambah dengan kewenangan pemberian fasilitas pembiayaan darurat (FPD) terhadap bank berdampak sistemik dan berpotensi krisis atas beban Pemerintah. Dalam undang-undang tersebut, diamanatkan agar pemberian FPD dan sumber pendanaan yang bersumber dari APBN diatur dalam undang-undang tersendiri dalam undang-undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dalam RUU JPSK ini, diatur secara detail mengenai peran BI sebagai LoLR dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis berupa pemberian FPD yang pendanaannya menjadi beban Pemerintah.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

10

2.6. Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Krisis 2.6.1. Pencegahan Krisis Pencegahan Krisis meliputi tindakan mengatasi permasalahan Bank/LKBB yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas yang Berdampak Sistemik atau kegagalan pelunasan FPD oleh Bank yang Berdampak Sistemik. Dalam hal BI mengetahui suatu bank mengalami permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas yang membahayakan kelangsungan usahanya, maka BI melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi permasalahan yang dialami bank tersebut berdasarkan kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila BI telah melakukan tindakan-tindakan sesuai dengan kewenangannya, namun bank tidak berhasil mengatasi permasalahan keuangannya dan bank dimaksud ditengarai berdampak sistemik, maka BI meminta rapat KSSK. Khusus untuk permasalahan solvabilitas, BI terlebih dahulu menetapkan bank tersebut sebagai bank gagal sebelum meminta rapat KSSK. Dalam rapat tersebut, BI menyampaikan informasi mengenai permasalahan bank dan analisis dampak sistemik. Selanjutnya, KSSK mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank, menetapkan permasalahan likuiditas dan permasalahan solvabilitas bank Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik, serta menetapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan bank yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Dalam hal bank yang mengalami permasalahan likuiditas diputuskan oleh KSSK Berdampak Sistemik, maka KSSK memutuskan pemberian FPD oleh Bank Indonesia kepada bank, penetapan pagu, jangka waktu, suku bunga, dan kriteria umum agunan FPD, berdasarkan rekomendasi Gubernur Bank Indonesia. Pemberian FPD hanya dapat diberikan kepada bank yang mengajukan permohonan FPD dan memenuhi kriteria solvabilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia. Jangka waktu pemberian FPD paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak penandatanganan perjanjian pemberian FPD dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender. Dengan diberikannya FPD, Bank Indonesia berwenang untuk mengambil alih hak dan wewenang Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), menempatkan pihak yang mewakili Bank Indonesia sebagai direksi dan/atau komisaris, serta menempatkan bank bank penerima FPD dalam status pengawasan khusus. Apabila bank penerima FPD tidak mampu melunasi FPD sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan, BI menetapkan bank dimaksud sebagai bank gagal. Selanjutnya berdasarkan keputusan KSSK, Pemerintah mengganti dana FPD yang belum dilunasi oleh bank penerima FPD kepada Bank Indonesia dan Bank Indonesia menyerahkan piutang FPD dan agunannya kepada Menteri Keuangan melalui Perjanjian Pengalihan Hak Atas Piutang beserta seluruh dokumen yang telah dicek kelengkapannya oleh Bank Indonesia. Dalam hal bank yang mengalami permasalahan likuiditas diputuskan oleh KSSK tidak Berdampak Sistemik, atau Berdampak Sistemik namun tidak
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

11

mengajukan permohonan FPD, maka Bank Indonesia menetapkan bank dimaksud sebagai bank gagal. Selanjutnya penyelesaian atau penanganan bank gagal tersebut diserahkan oleh KSSK kepada LPS untuk dilakukan penyelesaian atau penanganan sesuai Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Dalam hal bank yang mengalami permasalahan solvabilitas diputuskan oleh KSSK Berdampak Sistemik, maka KSSK menyerahkan penanganan bank gagal tersebut kepada LPS untuk dilakukan penanganan sesuai Undang-Undang tentang Lembaga Penjamin Simpanan. Apabila bank gagal yang sedang ditangani LPS kemudian dalam proses penanganannya menghadapi permasalahan likuiditas maka untuk mengatasi permasalahan likuiditas tersebut bank dimaksud dapat mengajukan FPD kepada Bank Indonesia. Disamping itu, apabila bank gagal tersebut ternyata menghadapi permasalahan solvabilitas di kemudian hari, Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya menetapkan bank tersebut sebagai bank gagal dan KSSK memutuskan bank gagal tersebut berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik. Dalam hal kondisi keuangan LPS tidak mencukupi untuk melakukan penyelesaian dan/atau penanganan bank gagal, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada LPS. Sementara itu, dalam hal terdapat LKBB yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas yang ditengarai Berdampak Sistemik oleh Departemen Keuangan, KSSK memutuskan kondisi LKBB tersebut Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik. Dalam hal LKBB diputuskan Berdampak Sistemik, KSSK memutuskan kebijakan penanganan LKBB, termasuk pendanaan untuk mengatasi permasalahan likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas LKBB dimaksud, antara lain melalui pemberian pinjaman dan/atau penyertaan modal sementara. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan dan tata cara penanganan permasalahan likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas LKBB yang Berdampak Sistemik diatur dengan Peraturan Pemerintah. 2.6.2. Penanganan Krisis Penanganan krisis meliputi tindakan untuk mengatasi permasalahan Bank/LKBB yang mengalami permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas pada kondisi Krisis. Pendanaan untuk pelaksanaan penanganan Krisis menjadi beban Pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR. Dalam hal terjadi keadaan yang dinilai membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, KSSK melaporkan keadaan tersebut kepada Presiden. Selanjutnya, berdasarkan laporan yang disampaikan oleh KSSK, Presiden menginstruksikan KSSK untuk menetapkan langkah penanganan terhadap keadaan yang dinilai membahayakan sistem keuangan dan perekonomian nasional. KSSK kemudian menetapkan: a. langkah-langkah penanganan Krisis termasuk perkiraan kebutuhan biaya penanganan Krisis;
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

12

b. pemberian FPD kepada bank yang mengalami permasalahan likuiditas oleh Bank Indonesia yang pembiayaannya dari Pemerintah; c. pemberian bantuan likuiditas kepada LKBB yang mengalami permasalahan likuiditas oleh Badan Khusus; dan d. penambahan modal berupa penyertaan modal sementara kepada bank/LKBB yang mengalami permasalahan solvabilitas yang pelaksanaannya dilakukan oleh LPS atau Badan Khusus. Selanjutnya, dalam hal bank tidak mampu melunasi FPD sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh KSSK, maka BI menetapkan bank dimaksud sebagai bank gagal dan meminta KSSK untuk memutuskan kebijakan penanganan bank dimaksud. Dalam rangka penanganan krisis, dengan Undang-Undang JPSK ini dibentuk badan khusus yang merupakan suatu badan hukum yang modalnya berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Badan khusus ditunjuk untuk melakukan penanganan krisis apabila (i) terdapat LKBB yang haris ditangani dan (ii) terbatasnya sumber daya LPS.

2.7. Komite Stabilitas Sistem Keuangan Untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan, dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota (Diagram 1 Skema Koordinasi Antar Lembaga dalam RUU JPSK). Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan penambahan atas keanggotaan KSSK. Pembentukan KSSK diperlukan mengingat tindakan pencegahan dan penanganan krisis membutuhkan koordinasi yang erat antara otoritas fiskal, otoritas moneter dan otoritas pengawas bank/LKBB, serta diperlukan adanya suatu keputusan terpadu yang dilaksanakan oleh seluruh lembaga terkait. Keputusan terpadu tersebut diperlukan karena keputusan masing-masing otoritas secara terpisah tidak dapat memecahkan permasalahan yang ada.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

13

Diagram 1 Skema Koordinasi Antar Lembaga Dalam RUU JPSK


Gubernur Bank Indonesia

KSSK
Sekretariat KSSK

Menteri Keuangan

Otoritas Moneter Bank Indonesia Otoritas Pengawas Bank

Pertukaran Informasi dan Koordinasi

Otoritas Fiskal Departemen Keuangan Otoritas Pengawas LKBB

Lembaga Penjamin Simpanan

Fungsi dan tugas KSSK adalah: a. mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai Berdampak Sistemik; b. menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas bank/LKBB Berdampak Sistemik atau tidak Berdampak Sistemik; dan c. menetapkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan bank/LKBB yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis. Menteri Keuangan ditetapkan sebagai Ketua KSSK didasarkan pertimbangan antara lain sebagai berikut: a. Menteri Keuangan menangani dampak sistemik dari sektor keuangan yang menyangkut kemungkinan terjadinya risiko fiskal (risiko keuangan negara); b. Menteri Keuangan sebagai pembantu Kepala Negara/Pemerintahan dan atas nama Pemerintah berkewajiban untuk menjaga stabilitas system keuangan dan stabilitas perekonomian nasional, dengan melakukan tindakan yang tepat dalam rangka penanganan krisis sistemik; dan c. Dari sisi akuntabilitas fiskal, Menteri Keuangan harus mempertanggungjawabkan setiap biaya fiskal yang dikeluarkan kepada DPR dan masyarakat selaku pembayar pajak. Oleh karena beban terakhir dari penanganan krisis di atas menyangkut penggunaan dana APBN, maka sudah sewajarnya Menteri Keuangan yang ditunjuk menjadi Ketua KSSK. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas KSSK, dibentuk Sekretariat yang bertugas membantu KSSK antara lain untuk: 1. melakukan evaluasi awal atas berbagai sumber penyebab yang dapat menimbulkan permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas Bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik dan Pasar keuangan dan ekonomi makro;

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

14

2. memberi masukan kepada KSSK dalam menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau permasalahan solvabilitas Bank atau LKBB yang berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; 3. mengusulkan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan Bank atau LKBB dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis; 4. memantau pelaksanaan langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan Bank atau LKBB yang telah ditetapkan oleh KSSK; 5. melakukan evaluasi atas perkembangan keuangan ekonomi global/regional dan menganalisa dampaknya terhadap sistem keuangan nasional; 6. Melakukan tugas-tugas administratif. Pelaksanaan tugas-tugas Sekretariat di atas dikoordinasikan dengan Departemen Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan. KSSK tidak dimaksudkan untuk mencampuri kewenangan masing-masing otoritas baik otoritas fiskal maupun otoritas moneter. KSSK hanya menetapkan penanganan permasalahan likuditas/solvabilitas bank/LKBB yang ditengarai berdampak sistemik dalam kerangka pencegahan dan penanganan krisis. KSSK tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan fiskal, kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur dan mengawasi Bank/LKBB. Keberadaan komite seperti KSSK yang diberi tanggung jawab atas stabilitas sistem keuangan juga dimiliki oleh negara-negara lain, seperti misalnya Inggris dengan TSC-nya (tripartite standing committee), yang beranggotakan Menteri Keuangan, Gubernur Bank of England dan Financial Service Authority dan diketuai oleh Menteri Keuangan, struktur yang sama juga terdapat di negara lain USA, Australia, Canada, dan Jepang. Komite di negara-negara tersebut juga diketuai oleh Menteri Keuangan atas dasar pemikiran bahwa pada akhirnya terdapat interkoneksi dengan risiko fiskal yang menjadi wilayah otoritas fiskal dan penanggung beban terakhir (ultimate burden) dari upaya pencegahan dan penanganan krisis adalah Pemerintah selaku pengelola APBN (fiskal). 2.8. Sumber Pendanaan dan Akuntabilitas Sumber pendanaan Pemerintah untuk pencegahan dan penanganan krisis berasal dari APBN meIaIui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) atau tunai. Penerbitan SBN tersebut dikecualikan dari ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Utang Negara dan tujuan penerbitan surat berharga syariah negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis, Bank Indonesia dapat membeli SBN dimaksud di pasar primer. Penggunaan dana APBN untuk pencegahan dan penanganan krisis harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu. Dengan demikian, RUU JPSK sejalan dengan kewenangan hak Budget DPR. Dalam rangka mewujudkan akuntabilitas pengambilan keputusan KSSK, otoritas pengawas Bank/LKBB mengumumkan rekomendasi yang disampaikan kepada KSSK
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

15

mengenai dampak sistemik Bank/LKBB kepada publik paling lambat 3 bulan setelah penetapan keputusan KSSK mengenai pencegahan dan penanganan krisis. 2.9. Hubungan Undang-Undang JPSK dengan Undang-undang lain Sebagaimana telah diuraikan diatas, materi hukum yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang tentang JPSK ini dimaksudkan untuk melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam undang-undang yang sudah ada dan disusun secara seksama agar konsisten dengan Undang-Undang yang Lain. Hal tersebut dapat terlihat antara lain sebagai berikut: a. UU tentang Bank Indonesia dan UU tentang Perbankan: Terbatas pada masalah pengaturan dan pengawasan perbankan dalam kondisi normal. RUU JPSK diharapkan akan melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam RUU tersebut, misalnya mengenai penanganan permasalahan bank yang berdampak sistemik dan penanganan kondisi krisis(Tabel 1 Ruang Lingkup JPSK) . b. UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan: RUU JPSK mengamanatkan pembentukan suatu komite yang akan menyerahkan Bank gagal kepada LPS untuk ditangani sesuai kewenangan dalam UU LPS. c. UU terkait LKBB (Asuransi, Dana Pensiun, Pasar Modal, dll): Terbatas pada masalah pengaturan dan pengawasan perbankan dalam kondisi normal. RUU JPSK melengkapi hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut, termasuk menyediakan legal basis bagi pembuatan Peraturan Pemerintah untuk penanganan permasalahan LKBB berdampak sistemik dan kondisi krisis (Tabel 1 Ruang Lingkup JPSK). d. UU tentang Keuangan Negara dan UU tentang APBN: RUU JPSK pada prinsipnya sejalan dengan ketentuan dalam UU tersebut bahwa setiap penggunaan dana APBN harus mendapat persetujuan DPR terlebih dahulu. e. UU tentang Surat Utang Negara: RUU JPSK hanya memberi pengecualian mengenai ketentuan tujuan penerbitan SBN sebagaimana diatur dalam UU tentang Surat Utang Negara dan UU tentang Surat Berharga Syariah sehingga Pemerintah dapat menerbitkan SUN dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa RUU JPSK tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada, bahkan merupakan pelengkap yang mengisi kekurangan (hal-hal yang belum diatur) dalam undang-undang dimaksud.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

16

Tabel 1 Ruang Lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan


Tahap Kondisi Normal Ruang Lingkup & Mekanisme Pengaturan Keuangan dan Pengawasan Lembaga Dasar Hukum Undang-Undang terkait dengan Bank dan LKBB Undang-Undang LPS Undang-Undang BI dan Perpu BI

Penjaminan Simpanan Transisi Pengaturan dan Pengawasan Lembaga Keuangan + Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Penjaminan Simpanan

Undang-Undang LPS dan Perpu LPS RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan

Kondisi Krisis

Pencegahan dan Penanganan Krisis: Fasilitas pembiayaan/pinjaman Penyertaan modal sementara Insentif dan fasilitas untuk mempercepat penyelesaian permasalahan yang dilakukan oleh sektor privat Pendanaan dan Persetujuan DPR Penjaminan Simpanan

Undang-Undang LPS dan Perpu LPS

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

17

BAB III KESIMPULAN

Dalam rangka mengantisipasi ancaman krisis keuangan yang berpotensi membahayakan stabilitas sistem keuangan dan perekonomian nasional, perlu disusun suatu landasan hukum yang kuat dalam bentuk undang-undang. Dengan adanya suatu landasan hukum yang kuat, maka ketersediaan instrumen pengaman stabilitas sistem keuangan nasional akan makin lengkap sehingga Pemerintah, Bank Indonesia dan institusi terkait akan dapat melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis secara cepat, efektif, dan dapat meminimalkan potensi kerugian bagi negara. Sejalan dengan hal tersebut, maka RUU JPSK perlu menjadi prioritas pembahasan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

18

DAFTAR PUSTAKA Bagehot W (1873). Lombard street : a description of the money market, kegan paul and Co, London Davies E P (2008). Liquidity, financial crises and the lender of last resort, Mimeo Calomiris, CW and CM Khan (1991). The role of demandable debt in structuring optimal banking arrangements, American Economic Review 81, 497-513 Diamond D (1984). Financial intermediation and delegated, monitoring, Review of economic studies, 51, 393-414 Diamond D and PH Dybvig (1983). Bank runs, deposit insurance, and liquidity, Journal of political economy, 91(3) pp 401-419 Diamond D and R Rajan (2001). Liquidityrisk, liquidity creation and financial fragility : a theory of banking, Journal of political economy, 109, 287-327 Freixas X and BM Parigi (2008). Lender of last resort and bank closure policy,Mimeo Thorton H (1802). An enquiry into the nature and effects of the paper credit of great Britain, J Hatchard, London Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara

Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)

19

You might also like