You are on page 1of 17

PENDIDIKAN ANAK MENURUT AL-GHAZALI DAN JOHN LOCKE

OLEH; SUTEJA

ANGKATAN III PROGRAM PASCARAJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SUNAN AMPEL SURABAYA 2000 M.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Usia tujuh tahun sampai duabelas tahun bagi seorang anak manusia, menurut Khonst amn, merupakan fase intelek dimana anak sangat membutuhkan bantuan bagi penyempu rnaan akal atau fikirannya. Pada masa itu cara berfikir anak masih bersifat pers epsional, ia hanya dapat memahami hal-hal yang bersifat indrawi. Ciri lain yang menonjol dari anak adalah dimilikinya daya ingat yang kuat dan kemampuan menghaf al memoratif . Bantuan yang dibutuhkan berupa bantuan dan bimbingan untuk melati h dan membina kemampuan berfikir abstraks, tidak berfikir konkrit. Perhatian anak sudah meluas kepada hal-hal yang ada diluar dirinya. Namun demiki an, perhatian itu lebih terpusat kepada hal-hal atau maslah-masalah indrawi dan memandang sesuatu secara apa adanya. Kecenderungan terhadap benda-benda tersebut sebenarnya memiliki hubungan erat dan saling mempengaruhi dengan kecenderungan fisik jasmaniah yang dinamis dan aktif. Maka, sangat tepatlah bila pendidikan me

mberikan bantuan melatih dan membiasakan pertumbuhan fisik secara harmonis, sesu ai dengan kecenderungan untuk bergerak aktif. Dalam kehidupan sehari-hari anak lebih di pengaruhi oleh kecenderungan meniru ya ng kuat. Pendidikan bertugas memberikan warna terhadap perilaku dan tindakan ana k. Pendidikan bertugas memberikan warna terhadap perilaku dan tindakan anak. Cir i anak yang dinamis, mudah meniru dan modal berfikir persepsional tidak dapat di biarkan dengan sendirinya agar tidak tersesat jalan dan konteks moral condact (i stilah brameld). Pendidukan bertugas mencegah jangan sampai anak dimasuki pikir an-pikiran buruk yang melandasi perbuatannya, dan terbiasa melakukan tindakan m oral yang baik dan terpuji. Dengan memperhatikan ciri-ciri kepribadian tersebut, pendidikan bertugas membantu perkembangan seluruh aspek kepribadian anak secara wajar dan harmonis. Terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak pada usia tersebut, baik ahli didik T imur maupun Barat telah memberikan formulasi yang baik setidaknya sebagai sebua h karya yang khas untuk masa dan generasinya. Diantara tokoh dan ahli didik yang akan di jadikan pokok penelitian ialah al-Ghazali (1058-1011 M), mewakili tokoh Timur, John Locke (1632-1704 M), mewakili tokoh Barat. Kedua tokoh itu, pada da sarnya, mengakui pengaruh lingkungan sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak. Al-Ghazali, melalui karya-karyanya, seperti Ihya Ulum al-Din (ditulis di Damaskus antara 941 H. sampai Dhu al-Hijjah 499 H/9 Desember 1097 sampai Juli 1106), Bida yat al-Hidayah, Ayyuha al-Walad dan Mizan al-Amal, memberikan perhatian terhadap pendidikan anak dengan corak dan warna tasawwufnya. Pendidikan yang di kehendaki al-Ghazali pendidikan yang berorientasi kepada pencegahan anak dari pengaruh li ngkungan dan pergaulan yang buruk. Kurikulum pendidikan menitikberatkan penguasa an ilmu-ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan dan dapat menghantarkan ke pada kebahagiaan abadi. Sebagai tokoh yang secara langsung terlibat dalam kegiat an pendidikan, al-Ghazali memberikan perhatian terhadap materi-materi yang mesti di berikan bagi usaha membantu pertumbuhan fisik jasmaniah, walaupun sebatas ke pada jenis permainan yang berfungsi sebagai selingan dan olah raga yang tidak me langgar norma-norma agama, serta tidak menyebabkan kelelahan dan tidak mendatang kan kemalasan. John Locke, dengan karya-karyanya seperti Essay Concerning Human Understanding ( 1689-1690), Tought Concerning Education (1693), Conduct to Undarstanding and Thought on Education (1695), di kenal sebagai tokoh pendidikan empirisme yang me madukan pengetahuan denga pengalaman dan keseimbangan jasmani dan mental spiritu al. Locke menghendaki pendidikan yang dapat menyediakan ide-ide baik, kebijaksan aan dan lingkungan serta pengalaman bagi anak. Sebagai tokoh pendidikan Locke di kenal sebagai ahli didik yang mengutamakaan faktor lingkungan alam dan sosial da lam rangka pembentukan kepribadian anak. Reformasi lembaga sekolah harus diarahk an kepada terciptanya lembaga yang mampu menyediakan lingkungan, realitas, situa si praktis dan kesempatan bekerja. Locke mencanagkan sekolah dan lembaga pendidi kan pada umumnya dapat beradaptasi dengan kepentingan anak sebagai anggota masya rakat yang hidup dalam realitas yang selalu berubah dan berkembang. Bagi Locke, pendidikan harus memperhatikan empat hal pokok yaitu; kebajikan, kea liman, kesusilaan dan pengetahuan. Kebajikan adalah kemampuan memilih baik dari buruk dan dapat mengendalikan hawa nafsu serta dapat mengikuti petunjuk akal. Ke aliman dan kesusilaan merupakan sesuatu yang harus dicapai dalam menciptakan ind ividu yang dapat berkiprah dalam masyarakat. Sedangkan pengetahuan dirumuskan se bagai sarana untuk dapat menemukan jati diri dan sarana dalam menentukan sikap h idup beragama. Muatan kurikulum pendidikan al-Ghazali dan Locke sepintas tampak sebagai kurirku lum ideal yang memuat tiga muatan pokok yaitu, nilai, pengetahuan dan keterampil an. Konsep pendidikan untuk kedua tokoh pada zamannya memiliki kehendak sama dim ana keduanya mengakui peranan dan pengaruh lingkungan sebagai faktor pembentuk k epribadian. Namun demikian, disisi lain al-Ghazali lebih berorientasi kepada keh idupan ukhrawi dan Locke lebih memerankan pendidikan sebagai sebuah proses yang membantu menciptakan generasi yang siap hadir dalam bermasyarakat dengan bekal dan keterampilan khusus. Orientasi itulah, setidaknya bagi penulis, yang menimbu lkan pertanyaan kebenaran kedua konsep sebagai yang memiliki orientasi yang berb

eda secara esensial. Dimanakah letak perbedaan dan titik temu kedua konsep terse but? B. Rumusan dan Pembatasan Masalah 1. Bagaimanakah konsep pendidikan anak menurut al-Ghazali? 2. Bagaimanakah konsep pendidikan anak menurut John Locke? 3. dimanakah titik temu kedua konsep pendidikan tersebut? 4. dimanakah letek perbedaan kedua konsep pendidikan tersebut? Beberapa pertanyaan tersebut pada dasarnya dapat dibatasi menjadi beberapa hal s ebagai fokus penelitian. Fokus penelitian itu ialah perbedaan dan titik temu kon sep pendidikn anak al-Ghazali dan John Locke. C. Tujuan dan Signifikasi Pendidikan Penelitian ini bertujuan untuk memeperoleh data tentang : 1. Konsep pendidikan anak menurut al-Ghazali. 2. Konsep pendidikan anak menurut John Locke. 3. Titik temu dan perbedaan konsep pendidikan anak menurut al-Ghazali dan John Locke. Dengan mengetahui bebrapa hal tersebut diharapkan penelitian ini memberikan gamb aran umum tentang pendidikan anak yang ideal di masa depan. Dengan memperhatikan perbedaan-perbedaan konsep tersebut serta aspek-aspek kepribadian anak secara i ntegral, diharapkan dapat memberikan solusi terhadap ketidaktepatan penyelenggar aan pendidikan yang cenderung memihak atau mengabaikan aspek kepribadian tertent u. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini pada dasarnya mempergunakan metode studi dokumentasi dan studi ke pustakaan dimana penelitian dilakukan dengan menelaah referen atau bahan bacaan yang berkaitan dengn masalah penelitian. Langkah-langkah yang ditempuh adalah se bagai berikut: 1. Mengidentifikasi data tentang pemikiran al-Ghazali dan John Locke pendid ikan anak. 2. mengkategorisasikan data yang telah diidentifikasikan 3. Menganalisis data yang telah dikategorisasikan dengan mencari kesamaan, perbedaan dan titik temu ide-ide al-Ghazali dan John Locke tentang pendidikan an ak, serta kesesuaian ide-ide dimaksud dengan konsep al-Quran Hadith. E. Sistematika Penulisan Dengan mengacu pada pedoman penulisan tesis Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Suraba ya, tesis ini berisikan enam bab yang terdiri dari: 1. Bab I Pendahuluan, terdiri dari: a. Latar Belakang Masalah b. Rumusan dan Pembatasan Masalah c. Tujuan dan Signifikasi Penelitian d. Metodologi Penelitian e. Sistematika Penulisan f. Penegasan Judul 1. Bab II Gambaran Umum tentang Komponen pendidikan, didalamnya dipaparkan hal- hal yang menjadi stressing pendidikan yaitu: a. Pendidikan Intelek b. Pendidikan Keimanan c. Pendidikan Akhlak d. Pendidikan Jasmani dan Keterampilan 2. Bab III Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan anak dan analisis penuli s. 3. Bab IV Pemikiran John Locke tentang Pendidikan Anak. Bab ini memaparkan ide-ide John Locke tentang pendidikan anak dan analisis penulis. 4. Bab V Perbedaan dan Titik Temu Konsep al-Ghazali dan John Locke tentang pendidikan Anak. 5. Bab VI Kesimpulan. F. Pengesahan Judul Beberapa kata didalam buku yang perlu diperjelas ialah pendidikan dan anak. Pend

idikan yang dimaksud adalah anak manusia yang berusia antara tujuh tahun sampai duabelas tahun.

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG KOMPONAN PENDIDIKAN Pembahasan dalam bagian ini bermaksud mendeskripsikan konsep al-Quran tentang pen didikan yang difokuskan kepada pendidikan intelek, pendidikan keimanan dan pendi dikan jasmani untuk dijadikan tolok ukur dalam mencermati konsep pendidikan anak dalam pandangan al-Ghazali dsan John Locke. Dalam bagian ini sudah tentu penuli s juga memaparkan pendapat-pendapat para pemerhati dan ahli didik muslim. A. Pendidikan intelek 1. Keutamaan Akal Penghargaan dan penghormataan Islam terhadap akal tidak dapat disangsikan sebaga i sesuatu yang sangat tinggi. Adam, sebagai bapak manusia, dilukiskan telah berh asil dengan kelebihan intelektualitasnya, melampaui ketinggian malaikat-malaikat Tuhan dan sekaligus telah berhasil menghapuskan keraguan terhadap kopetensi man usia sebagai khalifah atau wakil Tuhan untuk menciptakan kesejahteraan umat manu sia. Pembinaan aspek intelek pada dasarnya bertugas mendewasakan aspek kognitif secar a wajar. Kedewasaan ini pada saatnya diharapkan dapat membantu mencapai kesempur naan hidup yang sebenarnya. 2. Sasaran Pembinaan Ungkapan-ungkapan al-Quran mengenai pembinaan dan pendidikan aspek intelek setida knya menjadi tiga hal pokok yang menjadi sasaran. Pertama, sebagai sarana pengan alan jati diri manusia melalui proses pengamatan, perenungan dan pengkajian-peng kajian terhadap alam. Jalan yang ditempuh al-Quran dalam mempnjelaskan rububiyah Tuhan tidak sama sekali mengandung unsur pemaksaan dan keterikatan terhadap ZatNya semata-mata, melainkan lebih menciptakan kondisi berfikir liberal dimana man usia di beri kesempatan memikirkan hal-hal metafisik dan berakhir kepada kesimpu lan tentang adanya Tuhan. Pengalaman terhadap jati diri manusia seperti didiskripsikan al-Quran merupakan jalan paling efektif dalam pendidikan intelek. Mohammad Fadil al-jamaliy meyakin inya sebagai tujuan pendidikan yang harus dicapai sebelum manusia dapat sampai k epada pengenalan terhadap Tuhan. Seluruh tujuan pendidikan qurani terletak kepad a persoalan individu manusia dalam hubungannya dengan kedudukan dan dan tanggung jawab dalam kehidupan, dan 3. Pendidikan Intelek dan pencerahan Pendidikan intelek pada dasarnya bertujuan membentuk pikiran dengan ilmu-ilmu sh ariat dan peradaban modern, serta usaha pencerdasan sehingga terkondisikan tradis i berfikir kritis, radiks dan produktif. Pendidsikan intelek berfungsi sebagai u

saha pencerdasan, pemberdayaan dan pengajaran. Tiga persoalan pokok yang terkand ung didalamnya, dengan demikian, adalah persoalan pengajaran, pencerdasan dan pe meliharaan kesehatan akal. Hal ini sangat relavan dengan kelima wahyu yang perta ma turun telah memproklamirkan kemuliaan berfikir sebagai sebuah pengembaran int elektual dalam memperkaya diri dengan peradaban. B. Pendidikan keimanan

Manusia lahir dari dua hakekat berbeda, tanah bumi dan roh suci. Tanah merupakan simbol kerendahan dan kenistaan serta kotoran, sedangkan roh adalah hakekat yan g suci. Gabungan debu dan spirit suci manusia menjadi makhluk dua dimensi dengan dua arah, kecenderungan yang satu membawa kepada substansi sedimenter, atau ke dasar hakekatnya yang redah dan dimensi spiritual cenderung naik ke puncak spiri tual yang tinggi yaitu Zat Maha Suci. Terhadap dimensi spiritual manusia Al-Quran memberi beberapa ketentuan sebagai pe tunjuk pensucian tetapi tidak sama sekali mengeliminir aspek-aspek lainnya. Pens ucian itu pada dasarnya akan bermuara kepada empat sasaran pokok yang menjadi st ressing pendidikan yaitu aspek keimanan, aspek akhlak, aspek intelek,dan aspek f isik jasmani. Adapun jenis dan sasaran pendidikan patut memperhatikan penyempurn aan intelek (rasun), hati nurani (qalb) dan ketrampilan (yad). 1. Pendidikan Keimanan dan Penyempurnaan Hidup Pendidikan keimanan adalah instrumen penting untuk membantu kedewasaan dan kesem purnaan hidup sebagaimana dikehendaki Al-Quran. Fondasi awal yang akan membentuk landasan kuat dan jadi pendorong menuju tindakan dan perilaku baik. Keimanan iba rat sumber mata air yang darinya memancar akhlak dan perilaku baik. Keimanan mer upakan hidayah ilahiyah dan saling mempengaruhi antaranya dan perilaku seseorang . Tinjauan kependidikan bermaksud mencari bentuk dan jenis usaha dan proses mendid ik sebagai salah satu keniscayaan bagi tujuan kesempurnaan hidup. Tujuan berikut yang hendak dicapai ialah ditemukannya materi dan pendekatan yang mesti diaplik asikan. Al-Quran memandang manusia sebagai makhluk dengan kelebihan beragam. Dalam bidang intelek lebih tinggi dari makhluk lainnya, dalam bidang spiritual ia memiliki k ecenderungan untuk dekat dengan tuhan, serta memiliki kesadaran moral, disamping kelebihan-kelebihan yang lainnya. Manusia dengan segala potensi dan keutamaan t ersebut dituntut mampu mengarahkan dan mengembangkannya. Dialah yang berkewajiba n membentuk dirinya sendiri. Untuk mencapai kesempurnaan yang diinginkannya, man usia dituntut memiliki kepercayaan, keyakinan. Keyakinan yang dimaksud adalah ke yakinan yang timbul dari kesadaran dan kebebasan yang telah diberikan secara fit rah. Ketakinan adalah langkah awal menuju keimanan, amal saleh dan kerja keras d i jalan Allah. Keyakinan dapat merubah ilmu pengetahuan menjadi sangat bermanfaa t. Mansia sempurna adalah manusia yang berkeyakinan. Keyakinan, kepercayaan dan keimanan adalah fenomena kejiwaan. Dengannya seseora ng menangguhkan dan mengesampingkan kemampuan rasio, dengan cara menerima jawaba n-jawaban nonrasional. Pada usia anak-anak penanaman penanaman kepercayaan atau keimanan terhadap nilai-nilai agama yang universal merupakan masa sangat effekti f, dalam usaha meletakan dasar-dasar keagamaan yang diharapkan dapat memotivasi perilaku dan tindakan baik di masa mendatang. Keyakinan keagamaan atau keimanan yang kuat menyebabkan manusia berjuang melawa n kecenderungan-kecenderungan buruk. Hal ini sangat memungkinkan jika sejak anak -anak keyakinan dianggap sebagai sesuatu yang benar, karena diajarkan dengan car a-cara yang benar. Keyakinan atau kepercayaan terhadap keluhuran kehidupan spiri tual yang diberikan sejak diri diharapkan dapat memotivisir lahir dan berkembang perilaku atau amal saleh dalam segala aspek kehidupan. 2. pendidikan Keimanan dan Keesaan Tuhan

Kecenderungan baik dan kecenderungan buruk adalah dua dimensi alamiah manusia. Ia merupakan sesuatu yang wujud dan karenanya mesti dilatih. Tidak adanya latiha

n secara tepet dan benar mengakibatkan kerusakan-kerusakanyang sangat mengerikan seperti pemujaan terhadap berhala dan sejenisnya. Latihan yang tepat dan benar terhadap fitrah keagamaan akan dapat memberikan jawaban tegas tentang adanya dan esanya tuhan. Kepercayaan beragama atau keimanan pada dasarnya merupakan sekump ulan jawaban yang didasarkan atau teologi, ilmu ketuhanan atau penafsiran atas k etentuan-ketentuan gaib terhadap berbagai masalah mendasar yang ditimbulkan akal fikiran. Kepercayaa yang benar, hasil latihan yang benar dan tepat, akan memberikan kepas tian jawaban adanya Tuhan., keharusan menyembah dan beribadah kepada Tuhan, keha rusan menciptakan kesejahteraan dan bentuk-bentuk prilaku baik. Dasar-dasar inil ah yang disebut nilai. Sedangkan dasar-dasar yang khusus disebut kepercayaan. De ngan demikian kepercayaan kepada Tuhan merupakan penerapan secara kongkrit nilai -nilai keimanan dan keimanan itu sendiri adalah nilai universal. Oleh karena iti , persoalan beragama adalah kebutuhan setiap individu. 2. Tugas Pendidikan Pendidikan keimanan bertumpu kepada persoalan dasar fitrah manusia. Bertugas men jaga dan memelihara fitrah ketuhanan dan mengembangkannya. Selanjutnya, pendidik an pendidikan bertugas membina nilai-nilai keimanan yang tertanam. Pemeliharaan diarahkan kepada upaya mentauhidkan Allah dan penbinaan nilai mengarah kepada ba gaimana nilai keimanan membuahkan rasa persamaan dan keadilan. Adapun beberapa langkah yang dapat ditenpuh ialah, membina aqidah islamiyah mela lui cara-cara penalaran untuk memperkenalkan makna islam, iman dan ihsan. Kedua, melakukun motivasi dengan menanamkan rasa tidak suka terhadap keburukan dan keh inaan serta kerusakan dan kecelakaan. Selain itu, pendidikan bertugas memberikan teladan dan perumpamaan-perumpamaan akibat dari perilaku buruk yang melahirka k erugian dan kebinasaan. C. Pendidikan Akhlak Al-Quran menggariskan sifat dan pembawaan baik sebagai potensi dasar yang membutu hkan pembinaan dan pengembangan. Sifat baik dibawa sejak anak-anak dan pendidika n bertugas menghidupkan, menyuburkan serta mengembangkannya kedalam jiwa anak. S edangkan potensi buruk harus di kompensasikan, setidaknya dicegah agar tidak ber kembang. Pendidikan bertugas membentuk pribadu saleh dalam bermasyarakat kesalehan bermas yarakat tercermin dalam prilaku keseharian yang harmonis dan melahirkan timbal b alik saling menguntungkan antar perseorangan dalam kelompok sosialnya. Dalam keh idupan nyata, pendidikan akhlak lebih menampilkan diri sebagai sebuah prosrs men gatasi ketidakharmonisan kepemilikan ilmu pengetahuan dengan apa yang disebut de ngan amal perbuatan keseharian. Secara esensial pendidikan akhlak bermaksud untuk berupaya menghapus kesan keber pihakan islam terhadap mementingkan aspek ukhrawi semata-mata di satu sisi, atau keberpihakan terhadap kesalehan individual disatu sisi dan mengesampingkan keha rmonisan kehidupan bermasyarakat. Pendidikan akhlak diharapkan mampu melahirkan pribadi-pribadi inklusif dan tidak eksklusif, tetepi tetap mampu mempertahankan nilai-nilai moral yang islami. D. Pendidikan Jasmaniah dan Ketrampilan Konklusi yang tidak dapat dibantah kebenarannya dari berbegai nas al-Quran, bahwa hakekat manusia adalah perpaduan antara unsur materi dan ammateri yang terdiri dari akal, roh dan jiwa. Pembinaan terhadap dua unsur pokok itu hendaknya dineri kan secara imbang dan harmonis. Secara berulang-ulang al-Quran menegaskan tugas k ekhalifahan manusia mensyaratkan tidak saja keimanan yang kokoh dan moralitas ti nggi serta penguasaan sejumlah teori. Untuk dapat menjadi khalifah yang dapat me nciptakan kesejahteraan dan mensejahterakan alam, justru kepemilikan terhadap ke ahlian mengaplikasikan teori-teori merupakan keharusan mutlak. Pengabdian terhadap Tuhan dan terhadap sesama sebagai dimensi kehambaan dan kekh alifahan secara langsung mensyaratkan keahlian dan ketrampilan, technical skills , disamping kepemilikan terhadap sejumlah keilmuan teoritis. Pendidikan dan ket rampilan fisik secara umum diarahkan kepada usaha menciptakan individu-individu yang memenuhi kebutuhan dan tuntutan masyarakat dan bangsa. Pendidikan jasmani d an ketrampilan bertugas mempersiapkan pribadi-pribadi yang sehat, cakap, trampil

, produktif dan mandiri untuk siap melayani kebutuhan masyarakat. Kedewasaan secara sosial sebagamana diisyaratkan al-Quran dan al-Hadith yang menj adi tugas pendidikan adalah terciptanya sumber daya manusia yang tidak menjadi b eban bagi masyarakat, baik secara ekonomi atau sosial. Bagi Ibn Kholdun (w. 808 H.) misalnya, pemahaman pemahaman intelektual semata tidak mencukupi kebutuhan d asar hidup manusia. Karenanya, pendidikan ketrampilan khusus semisal perkebunan, pertukangan, perbengkelan, dan sejenisnya merupakan keniscayaan. Pembekalan ket rampilan tersebut setidaknya bertujuan untuk dapat menciptakan berbagai perangka t kehidupan dalam pemenuhan kebutuhan materi yang layak, serta kebutuhan-kebutuh an lain yang terkait dengan persoalan ekonomi. Pendidikan ketrampilan pada dasarnya bertugas menyediakan sarana dan bukan umpan . Pendidikan bertugas menyediakan peluang dan kesempatan untuk berproses menjadi kreatif, produktif dan mandiri serta mengembangkan ke arah dinamisasi sesuai pe rkembangan yang wajar. Manusia, semenjak kanak-kanak dibedakan dari binatang kar ena dinamika dan progresifitas aktuvitasnya dalam memilih, berbuat dan menghidup i dirinya. Dengan karunia akal fikiran, hati nurani, insting dan potensi lahiriy ah berupa tubuh jasmani manusia dipersiapkan untuk dapat hidup dengan potensi ya ng dimilikinya, tanpa bergantung kepada uluran tangan orang lain. Pendidikan ketrampilan adalah proses pemberdayaan individu untuk dapat menggali dan mengembangkan potensi. Proses ini akan melahirkan kosekuensi berupa keharusa n melakukan pencerahan dan penyadaran terhadap potensi yang dimiliki serta penya daran terhadap eksistensi potensi alam yang disediakan untuk diolah menjadi kes ejahteraan umat manusia.

BAB III PEMIKIRAN AL-GHAZALI TENTANG PENDIDIKAN ANAK A. Konsep tentang Pembinaan Akal Anak Gambaran sederhana tentang pemikiran al-Ghazali mengenai pendidikan, dengan memp erhatikan beberapa karyanya seperti Ihya Ulum al-Din, ayyuha al-Walad, Mizan al-Am al, Kimiya al-Saadah, Bidayat al-Hidayah dan Minhaj al-Abidin, dapat dikemukakan b ahwa tidak satupun karyanya yang mambahas secara sistematis mengenai pendidikan sebagaimana para ahli didik sesudahnya. Dengan menjadikan karya-karyanya tersebu t sebagai sampel, bagian ini mencoba mengemukakan beberapa poin pembahasaaan yan g diharapkan mewakili konseppendidikan al-Ghazali. Atas pentingnya menonjolkan y ang hendak dicapai dari sebuah proses pendidikan, bagian ini difokuskan pada emp at aspek pembinaan, yaitu pembinaan akal anak, pembinaan keimanan anak, pembinaa n akhlak anak dan pembinaan aspek jasmaniyah. 1. Materi Pengajaran Materi pengajaran pembinaan akal adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang harus dib erikan. Ilmu pengetahuan dinilai sangat sakral oleh al-Ghazali sebagai sebuah sa rana mencapai tujuan yang sangat muli, yaitu kebahagian abadi di akhirat yang da

pat dilalui dengan cara mendekatkan diri dan marifat kepada Allah. Penghargaan al -Ghazali terhadap ilmu sebagai sesuatu yang suci sebenarnya merupakan obsesi alGhazali sebagai seorangsufi yang bercita-cita mewujudkan pribadi-pribadi peserta didik yang bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya, terutama ke pada Allah. secara eksplisit dinyatakan bahea, ilmu yang barmanfaat adalah ilmu yang dapat melahirkan rasa takut kepada Allah. Ilmu inilah yag harus diajarkan w alaupun secara garis besar saja. Pertimbangan lain yang akan menguatkan betapa al-Ghazali memposisikan dan memfun gsikan ilmu sangat mulia dan suci, al-Ghazali berusaha untuk tidak menjadikan il mu sebagai sesuatu yang benar-benar bebas dan terpisah dari segala kosekuensi ya ng harus diwujudkan ketika pengajaran selesai dilakukan. Al-Ghazali tidak pernah memberikan peluang terabaikannya ilmu pemgetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Ia ingin menjadikan ilmu sebagai sesuatu yang menuntut prilaku, tidak semata-mat a diakui secara verbal. Ilmu adalah bimbingan Tuhan yang dapat membuahkan prilak u ibadat dan dapat memberikan petunjuk apa yang mesti dijalani dan apa yaang mes ti dijauhi. Meskipun al-Ghazli sangat menitikberatkan fungsiilmu sebagai srana kesempurnaan ukhrawi ia masih berperhatian terhadap hal-hal duniawi sehubungan dengan ilmu se bagai materi pengajaran.sebagai seorang tokoh masyarakat yang telah banyak mengh abiskan usianya dengan pergaulan masyarakat,ia tidak menutup diri dari realitas penghargaan terhadap ilmu.ilmu,menurutnya,juga dapat memberikan efek bagi statu s sosial seseorang.pribadi al-Ghazali sebenarnyatidak memungkiri realitas ini.di a tercatat sebagai salah seorang pemimpin tertinggi Madrasah Nizamiyah. Mengenai jenis dan macam ilmu pengetahuan yang di jadikan bahan pengajara n al-Ghazali telah menggariskan bahwa,pada dasarnya setiap individu memiliki tug as sebagai peribadi,anggota masyarakat,warga negara dan hamba tuhan.untuk dapat melaksanakan kewajiban itu di syaratkan adanya ilmu pengetahuan sebagai sarana.s ehubungan dengan pelaksanaan kewajiban itu,secara umum al-Ghazali menggariskan b ahwa ilmu-ilmu yang harus diajarkan terlebih dahulu sebagai prioritas ialah ilmu -ilmu yang memiliki relevansi paling dekat dengan kebutuhan anak sesuai perkemba ngan. Konsistensi al-Ghazali untuk menciptakan peserta didik yang taat dan tak wa,mendorong keberaniannya memastikan ilmu-ilmu syariat sebagai materi pengajaran prioritas. Ilmu syariat yang di maksudkan ialah pengetahuan tentang hukum-hukum islam (fikih) yang membantu peroses pencapaian kemaslahatan duniawi dan kemaslah atan ukhrawi. Termasuk ke dalam kategori ilmu yang mesti diajarkan sejak dini i alah ilmu tauhid dan ilmu akhlak. Al-Ghazali selalu konsisten bahwa, kepemilikan ilmu pengetahuan harus selalu di ikuti dengan tanggungjawab pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tegas dinyatakannya, pengajaran materi tauhid bertujuan untuk memperkenalkan pokok-pok ok agama secara global. Sedangkan pengetahuan dan pemahaman mengenai materi akhl ak dimaksudkan agar anak memiliki jiwa Tuhan dan memiliki motif kuat beramal ikh las dalam pengertian semata-mata mengharapkan rida Allah. Sementara pengajaran m ateri hukum islam diformulasikannyasebagai upaya pembekalan kesadaran mengenal k ewajiban yang mesti ditunaikan dan larangan yang mesti ditinggalkan. 2. Pendidik dan Peserta Didik a. Pendidik pendekatan agamis yang telah menjadi ciri khas pendekatan al-Ghazali turut mewar nai pemikirannya tentang status dan posisi seorang pendidik. Pendidik, dimata al -Ghazali, adalah manusia manusia dewasa yang memiliki derajat dan kemuliaan ting gi dibawah kelompok nabi Allah. Pendidik, dengan berbagai macam sebutannya, meru pakan para pewaris nabi dengan tugas mulia mendidik, menyebarkan cahaya Tuhan se rta menyuruh manusia berbuat baik. Namun demikian, untuk memelihara kemuliaan it u seorang pendidik dituntut memiliki sifat dan karakter baik. Sebagai pengajar, dalam arti pihak yang mentransfer ilmu pengetahuan, di depan a l-Ghazali yang mendalami filsafat dan juga pendidik, seorang pendidik adalah mak hluk dewasa yang bersamanya anak dibantu dan dikembangkan kedewasaan berfikirnya . Sebagai pembari informasi, pendidik memiliki dua tanggungjawab langsung yaitu tanggungjawab yang behubungan dengan ilmu pengetahuan dan tanggungjawab yang ber hubungan dengan peesrta didik sebagai penerima informasi. Sehubungan dengan posi

sinya itu, ia di tuntut dapat memperlakukan ilmu pemgetahuan secara proporsional dan profesional, serta tidak membeda-bedakan ilmu pengetahuan. Kaitannya dengan peserta didiksebagai penerima informasi, dia harus memiliki dua syarat pokok ya itu, kemampuan memahami perbedaan individual peserta didik dan kemempuan memeran kan diri sebagai pembukajalan didalam memahami informasi secara komprehensif den gan cara semudah-mudahnya.dalam bahasa keseharian, pendidik adalah pihak yang ma mpu mrmahami relevansi materi pembelajaran denga peserta didik dan mampu bersika pnetral terhadap ilmu pengetahuan. Bagi al-Ghazali, pendidik berkewajiban menggali potensi dasar peserta didik dan mengembangkannya ke arah yang lebih baik. Ia berpendirian bahwa, pembelajaran pa da dasarnya merupakan proses [enggalian setiap sesuatu yang telah ada dan dibawa oleh peserta didik. Oleh karenanya, pendidik harus menyediakan sarana dan kemud ahan bagi upaya penggalian dan pengembangan potensi bakat, minat dan kecenderung an yang dibawa peserta didik sejak dini. b. Peserta Didik Al-Ghazali memandsang anak sebagai manusia dengan fitrahnya yang suci dan dapat menerima pengaruh luar. Faktor luar dari anak merupakan salah satu sumber penget ahuan dan akal menjadi berpotensi dengan bantuan dunia empiris, baik melalui pen gamatan ataupun penyelidikan. Akal akan menyimpan kesan dari hasil pengamatan da n penginderaan. Dengan demikian, pembinaan aspek kognitif sangat ditentukan oleh faktor-faktor luar diri anak seperti pendidik, pergaulan dan lingkungan, disamp ing faktor-faktor intarn anak. Untuk mencapai tujuan pembelajaran, al-Ghazali mencanangkan pentingnya pemberian motivasi. Asumsi kuat terhadap posisi ilmu pengetahuan masih jelas terlihat ket ika al-Ghazali menetapkan langkah-langkah yang harus ditempuh didalam proses pem belajaran. Ia menghendaki kesiapan penuh peserta didik dalam menerima dan menyer ap ilmu pengetahuan. Konsentrasi dan motivasi kuat diharapkan tidak saja dapat m endorong keberhasilan pemahaman tetapi juga dapat membantu peserta didik memaham i tujuan pembelajaran. Al-Ghazali meyakini sepenuhnya jiwa dan fikiran anak yang bersih. Namun demikian , baginya, sebagai peserta didik perlu dilakukan kepadanya pembersihan dan pensu cian sebelum memasuki proses pembelajaran. Konsistensinya yang kuat terhadap tuj uan mulia belajar, dan obsesinya yang kuat untuk tetap memelihara bawaan anak, m endorong keberaniannya untuk memasukkan unsur-unsur agamis kedalam motif belaja r. Motif belajar yang di nilainya telah sesuai dengan nilai-nilai agama diharapk an dapat menjadi peserta didik sebagai pribadi yang pandaidan tetap setia terhad ap kemuliaan ilmu pengetahuan sebagai sarana mencapai kebahagiaan abadi. Selain memiliki parhatian besar terhadap motivasi, al-Ghazali yang di akhir haya tnya menjalani dunia tasawwuf, mencoba memasukkaa n apa yang di yakininya kedala m konsep pendidikannya. Etika seorang pelajar atau peserta didik adalah salah sa tu buah jiwa sufistik al-Ghazali yang mewarnai pemikiran pendidikannya. Peserta didik, yang dfalam pandangannya masih bersih, diharuskan memahami sisi-sisi perb edaan dan persamaan, dan karakteristik setiap ilmu pengetahuan. Dengan bimbingan pendidik disarankan peserta didik memahami karakteristik ilmu pengetahuan dan t idak mengaplikasikan perbedaan-perbedaan kedalam kehidupan praktis sehari-hari y ang di khawatirkan akan menimbulkan friksi-friksi dan persaingan negatif. Oleh k arananya, menurut al-Ghazali, selain harus bersikap netral terhadap ilmu pengeta huan, peserta didik di tuntut untuk memiliki pemahaman yang benar terhadap tuju an, metode dan target pembelajaran setiap disiplin ilmu pengetahuan. Sebagai seorang sufi yang mengaku telah mendalami ajaran tasawwuf dan menguasai doktrin-doktrin guru sufi melalui tulisan dan pengajaransecara lisan, pemikiran al-Ghazali tentang peserta didik selalu saja mengaitkan etika pergaulan guru-mur id. Pergaulan guru-murid harus di bangun menjadi pergaulan yang harmonis layakn ya seorang anak dan orang tua kandung. Peserta didik, di stu sisi, harus memposi sikan diri secara proporsional dengan jiwa dan semangat pengabdian dan penghorma tan secara utuh kepada guru. Hubungan kemanusiaan guru-murid semaksimal mungkin di uasahakan dapat mencegah lahirnya insiden-insiden yang menghambat tujuan dan target pembelajaran, akibat kasalahpahaman dan kasalahan dalam berkomunikasi. 3. Metode Pendekatan Pebinaan aspek intelek bagi al-Ghazali selain berfungsi bagi usaha mencapai keba

hagiaan dunia juga sangat menentukan pencapaian kebahagiaan ukhrawi. Asumsi dasa r ini selalu melekat dan manjadi ruh pendekatan dan metode paembalajarannya. Ka rakter pribadinya yang sufistik itu telah merasuk kuat kedalam pendekatan dan me tode pembalajaran al-Ghazali sebagai sesuatu yanh khas meskipun masih membutuhka n penafsiran dan pengkajian lebih kritis. Metode dan pendekatan pembelajaran alGahazali yang masih umum itu tampak jelas sekali dari dua pandekatan yang di rum uskannya sebagai usaha pencegahan dan pembiasaan. Dibalik sifatnya yang umum, metode dan pendekatan al-Ghazali yang khas juga dida pati dari warna religiusnya. Konsistensinya yang kuat terhadap kemuliaan ilmu, u rgensi akhlak karimah dan orientasi tujuan ukhrawiah semakin mendukung kekhasan metode pendidikn al-Ghazali. Nampaknya ia tidak menghendaki pengukangan pengalam an sejarah masyarakatnya yang mempolotisir ilmu pengetahuan sebagai konsumsi pol itik, tendensi dan kecenderungan pribadi dan kelompok kepentingan yang memperjua ngkan kepuasan materi dan duniawiah. B. Konsep tentang Pembinaan Keimanan Keimanan, bagi al-Gahazali, adalah hidayah Tuhan yang dibawa semenjak lahir seba gai pemberian secara Cuma-Cuma, tetapi perkembangan selanjutnya membutuhkan pemb inaan dan pengembangan secara positif-konstruktif. Ketika anak memasuki usia tuj uh tahun, kepadanya harus di lakukuan pembinaan dan penyempurnaan-penyempurnaan ke arah yang di kehendaki Tuhan. Secara alamiah tugas dan tanggungjawab mulia it u di bebankan kepada kedua orang tua, ayah dan ibu kandung. Sasaran dan targetny a ialah berkembangnya fitrah keagamaan dan ketuhanan yang tercermin dalam amalia h sehari-hari berupa akhlak karimah dalam arti yang luas. Secara khusus, tujuan itu di arahkan kepada terciptanya pribadi yang taat dan dekat dengan Tuhan. Pendekatan dan metode yang sangat khas, dari konsepnya, ialah usaha menciptakan lingkungan dan kondisi bagi tumbuh dan berkembangnya naluri keagamaan terutama p ada usia anak-anak. Secara tegas, lingkungan kondusif yang harus diciptakan iala h lingkungan pergaulan dan suasana yang bersih dan bebas dari keburukan-keburuka n. Hal ini pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh keyakinannya tentang anak yang sangat rentan terhadap pengaruh luar dan berkecenderungan untuk berbuat baik dan buruk. Hal lain, yang masih mewarnai kekhasannya , ialah pendiriannya tentang p endidikan sebagai proses membershikan keburukan-keburukan dari dalam diri anak. Materi pemgajaran yang harus diberikan dalam proses pembelajaran ini pada dasarn ya merupakan perpaduan antara materi pengajaran kategori ibadah, akhlak dan keim anan. Perpaduan ini merupakan kelaziman dari tujuan pembelajaran yang di formula siaaakan sebagai usaha menciptakan pribadi yang taat, berakhlak karimah dan deka t dengan Tuhan. Mengenai jenis-jenis ilmu pengetahuan yang di pilih al-Ghazali d alam proses pembelajaran ini ialah ilmu pengetahuan pendukung bagi kebahagiaan u khrawi (ilmu fikih), ilmu ketuhanan, ilmu akhlak yang berfungsi mensucikan hati dan ilmu-ilmu lain dari syariat islam. Secara spesifik tujuan pembelajaran ilmu f ikih ialah untuk membekali peserta didik dalam memahami dan menyadari hak-hak ke wajiban sebagai pribadi di hadapan Tuhan, serta penyadaran terhadap sesuatu yang mesti di jalankan dan hal-hal yang mesti di tinggalkan. Sedangkan pembelajaran tentang tauhid bertujuan agar dapat mentauhidkan Tuhan secara benar. Selain itu, juga bertujuan untuk memperkanalkan pokok-pokok ajaran agama terutama mengenai ketuhanan secara global. Adapun tujuan pembelajaran materi akhlak ialah untuk me mbekali peserta didik dalam perjuangannya membersihkan hati dari pengaruh luar y ang buruk. Pembelajaran atau pendidikan keimanan sesungguhnya bukan merupakan sesuatu yang berdiri sendiri. Sebagai seorang tokoh, ia telah berhasil memadukan fiqh dan tas awwuf, teologi dan tasawwuf sehingga terbangunlah satu kesatuan antara iman, isl am dan ihsan. Al-Ghazali semakin kokoh untuk mewujudkan keimanan yang tercermin dalam perilaku keseharian. Proses pembelajaran ini tidak berhanti kepada pemaham an secara teoritis. Pengetahuan tentang keimanan dan keberagaman menuntut aplika si yang di dasari keikhlasan. Baginya, ketinggian derajat malaikat dapat di capa i oleh seseorang beriman yang secara ikhlas bersungguh-sungguh mengamalkan setti ap ajaran agamanya dengan baik dan benar. Al-Ghazali adalah tokoh pendidikan yang kondang bagi generasi berikutnya sampai sekarang. Di mata kaum teolog dia di kenal sebagai penulis teologi yang paling m enyenangkan dan mudah di dekati. Tetapi yang tidak bisa terlupakan bahwa, dialah

peletak teologi Ashariyah sehingga menjadi teolog sangat berpengaruh. Alasan ter akhir inilah yang sangat logis tentang konsep epndidikan keimanannya sebagai pro ses pembelajaran yang sangat khas dan dapat menciptakan peserta didik menjadi te rbentuk sedemikian rupa semenjak dini. Di sisi lain, pembelajaran ini lebih meno njolkan pendekatan doktriner yang di pandang tepat bagi proses pembelajaran bagi anak-anak. Dari beberapa pernyataan tersebut, pembelajaran dan pendidikan keimanan al-Ghaza li di pandang sebagai pembelajaran teologi Ashariyah dalam bentuk doktrinasi bern uansa etis-sufistis. Pembelajaran ini lebih mengedepankan keyakinan dan pelaksan aan ajaran daripada pencerahan atau rasionalisasi ajaran. Proses pembelajaran le bih bersifat idiologis dan pendidikan akidah. C. Konsep tentang Pembinaan Akhlak Bagi al-Ghazali pendidikan merupakan usaha penyelamatan anak sebagai peserta did ik dari siksa neraka dengan cara menjauhkannya dari lingkungan dan pergaulan bur uk. Dengan nerujuk pada ayat ke enam surat al-Tahrim dengan berani ia menyatakan bahwa, menyelamatkan anak dari siksa neraka adalah lebih utama di bandingkan us aha menyelamatkan anak dari kesengsaraan duniawi seperti kemiskinan harta benda.

Artinya: Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api ne raka. (Q.S. 66; Al-Tahrim:6). Konsep itu tidak saja lahir sebagai konsekuensi dari pembatasan al-Ghazali tenta ng akhlak secara kaku, tetapi berakibat bagi lahirnya pribadi-pribadi yang ekskl usif. Akhlak di rumuskan secara ketat sebagai pendidikan batin dan penanaman aja ran-ajaran agama secara normatif. Al-Ghazali telah membangun akhlak sebagai etik a sufistis yang telah mempengaruhi jiwanya secara dominan. Konsep akhlak al-Ghaz ali lebih terfokus pada masalah-masalah keagamaan dan sangat khas. Pemahaman tersebut memberikan konsekuensi-konsekuensi logis terhadap perumusan m ateri pembelajaran, metode pendekatan, kriteria pendidik dan peserta didik serta kondisi lingkungan yang ideal sebagai faktor pendukung tercapainya tujuan pendi dikan. Pemahaman al-Ghazali tentang hakekat pendidikan dan prioritas yang hendak di capai oleh proses pendidikan mewarnai setiap sub, atau komponen pendidikan. Proses pembelajaran dan pendidikan akhlak yang di kehendaki al-Ghazali adalah pr oses moralisasi setiap komponen yang terkait. 1. Dasar dan Tujuan Pembelajaran Secara alamiah pendidikan akhlak merupakan tanggung jawab dan kewajiban ibu bapa k sebagai pendidik pertama bagi anak. Persepsi al-Ghazali bahwa, menyelamatkan a nak dari kesengsaraan ukhrawi lebih utama daripada usaha menghindarkan anak dar i kesengsaraan dunuawi, menjadikan rumusan pendidikannya sebagai upaya menanamka n akhlak terpuji dan mencabuti potensi buruk anak sampai ke akar-akarnya. Pendid ikan, dalam pandangannya, merupakan usaha membentuk pribadi-pribadi saleh. Konsep itu lebih mencerminkan telah merasuknya ajaran-ajaran sufi yang telah men darah daging dan telah di pilihnya sebagai jalan hidup yangpaling benar. Dia sen diri menyadari telah menguasai doktrin-doktrin sufi melalui para guru besar sufi seperti al-Muhasibi (w. 262 H/837 M.), al-Junaid (w. 298 H/854 M.) dan al-Basta mi (w. 262 H/ 875 M.). Bahkan, bisa jadi, akibat ketidakpuasannya terhadap kenya taan masyarakat pada zamannya yang di penuhi konflik kepentingan dan kecenderung an materialis serta para prilaku ulama yang gemar bergaul dengan para penguasa d engan cara-cara tidak terhormat mengatas namakan agama. Pada saat itulah, ia men cari dan kemudian menemukan kepuasan jiwa melalui tasawwuf setelah melalui beber apa pengalaman pencarian kebenaran. Karakter pribadi al-Ghazali dan kondisi sosial keagamaan masyarakatnya telah ber hasil melahirkan sosok tokoh pendidikan dengan corak khas sufistik. Obsesinya ya ng kuat untuk melahirkan pribadi-pribadi saleh nampak lebih mengutamakan aspek a khlak meskipun tetap memberikan aspek-aspek lainnya. Akhlak terpuji dan mulia me rupakan cerminan keimanan dan sekaligus indikator keberhasilan pendidikan anak-a nak. 2. Pendidik Pelaku utama pendidikan atau pendidik dengan berbagai sebutannya yang di kehenda

ki al-Ghazali pada dasarnya tidak terbatas kepada pendidik formal seperti guru a tau dosen. Dari beberapa pernyataannya di temukan penekanan al-Ghazali terhadap tugas, peran dan fungsi pendidik yang berkaitan dengan kompetensi dan memiliki k redibilitas serta integritas pribadi secara moral. Kriteria pendidik tidak terba tasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmaniah. Pendidik atau guru ad alah bapak rohani yang bertugas mendidik dan membersihkan jiwa dari akhlak terce la, serta selalu menunjukkan dan mencontohkan akhlak baik dan mulia. Formulasi t entang kriteria inilah yang mendorong keharusan pendidik sebagai bapak rohani. A l-Ghazali memang sangat mahir mendemonstrasikan kewajiban sehari-hari dengan kai dah-kaidah teologis sehingga dapat berjalan harmonis dengan aktivitas lahiriah d an dapat menyatu dengan kehidupan rohaniah secara mendalam. Di samping itu, perk enalannya dengan dunia sufi telah di lakukannya sejak usia muda setelah ia menda lami studi filsafat dan ismailiyah. Obsesinya tentang kriteria ideal seorang pendidik, di ungkapkannya sebagai etika seorang guru, yang memerankan diri sebagai penerus dan pewaris para nabi yang m enerangi masyarakat dengan cahaya Ilahi. Seorang pendidik adalah pribadi dewasa yang dapat memerankan dirinya seperti ayah kandung dengan segala kebaikannya, ma mpu bersikap adil, memahami kecenderungan individual anak serta dapat berlaku pe rsuasif dalam usaha mencegah anak dari pengaruh buruk. Sebagai pewaris nabi pend idik tidak di perkenankan bergelut dengan urusan duniawi yang menyangkut penggaj ian dan pengupahan pekerjaan mendidik. Dialah pribadi yang patut di teladani kar ena tidak mengumbar kata-kata melainkan mendahulukan teladan. Dengan mengacu kepada prikehidupan Nabi Muhammad sebagai wakil Tuhan, al-Ghazali menghendaki menghendaki pendidik sebagai wakil Tuhan setelah Nabi dengan mandat dan kuasa kekhalifahan yang memiliki ketegaran jiwa dengan hiasan akhlak terpuj i dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku saleh dan keteladanan di harapkan akan d apat mempermudah dan membantu ketercapaian tujuan pendidikan. 3. Materi dan Metode Pembelajaran Asumsi dasar al-Ghazali tentang materi pembelajaran ialah sejumlah ilmu peng etahuan yang dapat menjamin adanya kedekatan dengan Tuhan sebagai prasyarat terc apainya kebahagiaan abadi. Untuk mencapai tujuan itu ia menjadikan kebiasaan seh ari-hari berupa kewajiban-kewajiban agama sebagai materi pembelajaran yang prior itas. Pilihan terhadap masalah tersebut lahir atas keyakinan al-Ghazali sebagai fitrah dan potensi baik anak sebagai kekayaan rohaniah yang harus di bina, di ja ga dan di kembangkan, serta di jauhkan dari kemungkinan buruk dari luar. Secara sederhana materi pilihan itu di gambarkan sebagai berikut: a. Akhlak yang berhubungan dengan kebiasaan sehari-hari yang bersifat indiv idual seperti etika makan, minum, tidur, berpakaian, berjalan, berbicara dan seb againya. b. Akhlak pergaulan dengan ibu bapak, guru dan teman-teman. c. Akhlak yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan pelaksanaan ibadah sepe rti bersuci, shalat, puasa dan sebagainya. d. Akhlak yang berkaitaaan dengan usaha peningkatan kepribadian dan pengemb angan personaliti (kepribadian) seperti kejujuran, keadilan, amanat dan sebagai nya. e. Akhlak yang bertujuan membantu pengendalian hawa nafsu dan kecenderungan buruk-destruktif. Perhatian besar al-Ghazali terhadap pendidikan akhlak setidaknya dikarenakan kon sistensi dan obsesinya menghidup-suburkan nilai-nilai agama, dalam warna sufisti k, dalam bentuk akhlak karimah, yang di lakukan secara sadar dan di dasari keikh lasan. Secara umum, seperti yang tergambar dalam rumusan pendidikannya, metode pembalaj aran atau pendidikan akhlak al-Ghazali terlihat sebagai sebuah pendikatan yang s angat simpel. Pendekatan dan metode itu ialah metode pencegahan dan pembiasaan. Pencegahan di maksudkan untuk menghindarkan anak sejak dini dari pengaru luar ya ng destruktif. Sedangngkan meeetode pembiasaan di harapkan dapat menimbulkan kes adaran berakhlak karimah dengan penuh rasa tanggung jawab. Sebagai kelanjutan da ri metode pembiasaan di tetapkannya metode latihan dalam rangka memelihara kecen derunga baik anak. Hal itu, baginya, dapat mempermudah kedewasaan dan kesempurna an akhlak anak. Selain itu, di harapkan akan lahir pemahaman yang benar terhadap

urgensi kebaikan dan bahaya yang timbul dari perilaku buruk berupa penyesalan, kerugian, kehancuran dan kerusakan individual dan sosial. Al-Ghazali sangat berkeinginan keberhasilan pendidikannya dapat melahirkan priba di-pribadi saleh. Perhatiannya yang besar terhadap aspek mental spiritual mendor ong keberaniannya memprioritaskan aspek akhlak yang harus di fahami sacara benar dan di realisasikan dalam praktek keseharian. Penguasaan teori-teori bukanlah s esuatu yang di prioritaskan al-Ghazali. Pribadi saleh sebagai akhir tujuan pendi dikannya adalah pribadi yang saru antara pribadi dan perbuatan, memiliki integri tas pribadi yang utuh. 4. Limgkungan Pendidikan Al-Ghazali adalah tokoh pendidikan yang sangat konsen terhadap pengaruh pendidik an sebagai faktor yang dapat membentuk dan mewarnai kepribadian anak. Lingkungan dengan segala potensinya harus di cermatisebagai komponen pendidikan yang tidak bisa di abaikan sama sekali. Lingkungan dan fitrah keberagamaan adalah dua duni a yang saling mempangaruhi. Fitrah keberagamaan pada saatnya akan naik dan turun ke titik paling ekstrim karena adanya pengaruh kuat lingkungan. Pengaruk lingku ngan yang buruk-destruktif menjadi penghambat ketinggian fitrah ke arah puncak k esempurnaan, demikian sebaliknya. Al-Ghazali sangat berfihak kepada kekuatan lingkungan. Keberfihakannya itu di mu nculkannya melalui kekhawatirannya terhadap lingkungan yang buruk sebagai ancama n fitrah keberagamaan. Dinamika fitrah keberagamaan dan dinamika lingkungan adal ah dua hal yang saling tarik menarik. Pemahamannya terhadap empiritas lingkingan dan pendiriannya bahwa, menjauhkan keburukan merupakan hal sulit dari mengajar kebaikan, semakin memperkuat mengapa ia memilih metode pencegahan dalam pembinaa n akhlak anak. D. Konsep tentang Pendidikan Jasmani dan Ketrampilan Al-Ghazali menjalani kehidupannya melalui tahapan kebenaran adan hakekat kedamai an. Dia adalah teolog, fqih, filosof, dan terakhir sufi. Jalan tasawwuf adalah p ilihannya yang terakhir dan, di yakininya sebagai jalan paling tepat memenuhi ha srat dan kehausan rohaniahnya. Kondisi sosio-kultural umat al-Ghazali menetapkan jalan tasawwuf di nilainya sebagai zaman sangat memprihatinkan. Sebagai lingkun gan pendidikan masyarakat di gambarkannya sebagai komunitas yang penuh nuansa ko nflik dan friksi dari kepentingan dan kecenderungan politik pribadi dan golongan mengejar kebanggan duniawiah dan kemewahan materi. Kondisi sosial masyarakat da n cita-cita al-Ghazali adalah dua dimensi yang sangat berseberangan. Kebobrokan masyarakat dan pemerintahan pada masa al-Ghazali dan cita-cita dan mencegah teru lang kembalinya kebobrokan itu, menjadi faktor penyabab ketidakseriusannya terha dap aspek jasmani dan ketrampilan fisik anak-anak. Sebagaimana para pemerhati dan ahli didik generasi sebelumnya, al-Ghazali hanya memberikan peluang terciptanya proses pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fi sik sebagai koponen pendidikan. Meskipun demikian, obsesinya tentang pribadi-pri badi saleh yang tidak mengulang kembalinya masa lampau yang sangat memprihatinka n, dia tidak sedemikian keras berkeinginan menjadikannya sebagai sistem tersendi ri yang utuh. Konsekuensinya, konsep al-Ghazali tentang pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fisik tidak memiliki kejelasan dan keutuhan sebagai sebuah siste m yang memiliki sub-sub yang bermuara kepada satu titik. Dengan mengacu kepada amanat hadith yang memerintahkan pengajaran dan latihan am anah, menunggang kuda dan berenang , al-Ghazali berkeinginan menjadikan permaina n dan ketrampilan fisik di berikan sebagai sebuah selingan saja. Secara tegas ha dith dimaksud memerintahkan para orang tua dan guru membina potensi dasar jasman i dan fisik anak sejak dini. Artinya: Ajarilah anak-anak kalian berenang dan memanah. ( H.R. Ahmad dari Ibn Abba s ) Pendidikan jasmani baginya hanyalah sebagau aktifitas pengisi waktu luang atau s elingan. Pemberian peluang untuk bermain dan berolah raga dimaksudkan agar dapat membangkitkan kembali gairah dan semangat belajar anak. Namun demikian kesempat an itu diusahakan agar jangan sampai menyita waktu belajar da menjadikan anak la lai dan lelah sehingga malas belajar. Perlu ada batasan waktu tersendiri dalam memberikan kesempaatan bermain. Bermain, berolah raga dan sejenisnya bagi al-Gh

azali bukan tujuan tetapi hanya instrumen. Al-Ghazali tidak saja memperkecil per hatiannya tetapi juga memperkecil porsi olah fisik anak. Hal itu senafas dengan para generasi sebelumnya seperti al-Qabisi (w. 1012 M.), al-Zarnuji (w. 1016 M.) , dan al-Qurtubi (w. 1092 M.). Orientasi pendidikan al-Ghazali selalu saja bermuara kepada tujuan akhir kesempu rnaan ilmu pengetahuan dan akhlak. Aspek pendidikan jasmani dan ketrampilan fisi k tidak di seriusinya sebagai komponen pendidikan yang mesti di perlakukan secar a proporsional. Namun demikian, asumsi tentang perlunya kreativitas dan kekuatan fisik, serta uasha mencegah sikap malas anak, meski tidak di tindak lanjuti sec ara konkrit, masiiiih sempat memotivasinya untuk mencoba manawarkan beberapa keg iatan keseharian yang mesti di inadahkan anak. Al-Ghazali menghendaki pertumbuha n fisik yang sehat dan normal. Karenanya ia menawarkan pola hidup sehat seperti tidur malam yamn cukup, tetpi bukan kebiasan tidur siang bagi ank karena akan me lahirkan kemalasan. Sebagai penganut dan pengamal setia ajaran guru-guru sufi, al-Ghazali menawarkan di masukkannya nilai-nilai sufistik di dalam pendidikan ini. Baginya tubuh dan jasmani fisik dengan berat badan tidak wajar atau gemuk menjadi pendorong lahirn ya sikap malas dan kelambanan dalam beribadah, di samping mengkhawatirkan melema hnya stamina. Untuk tujuan itulah ia menganjurkan menghindarkan ank dari kebiasa an tidur siang dan menikmati makanan yang lezat-lezat sebagai sebuah ketentuan y ang harus di taati. Beberapa uraian di atas menjelaskan bahwa perumusan al-Ghazali tantang materi da n metode pembinaan aspek jasmani dan ketrampilan fisik masih sangat umum dalam a rti membutuhkan reinterpretasi dan rekontekstualisasi pesan-pesan universalnya. Al-Ghazali berkeinginaan keras memposisikan dan memfungsikan jenis permainan dan olah raga sebagai pengisi waktu luang dan sebagai selingan untuk menghilangkan kejenuhan dan kebosanan anak. Al-Ghazali tidak berkeinginan menjadikannya sebaga i sebuah komponen pendidikan yang utuh.

BAB IV PEMIKIRAN JOHN LOCKE TANTANG PEDIDIKAN ANAK A. Ide tentang Pendidikan Intelek John Locke, dalam dunia pendidikan, tergolong sebagai ahli dan tokoh empirisme m odern yang pertama. Idenya yang sangat abadi ialah, bahwa jiwa manusia ketika di lahirkan maish dalam keadaan bersih bagaikan kertas putih, tabula rasa. Pengeta huan jiwa ialah pengetahuan yang di dapat melalui pengalaman dan penginderaan te rhadap dunia empiris. Karenanya ia menghendaki pendidikan harus dapat baradaptas i dengan kebutuhan dan kenyataan hidup anak sebagai peserta didik. Pendidikan ha rus di bangun atas dasar realitas dan realita merupakan sesuatu yang nyata dan b erubah, dinamis. Realita dan kenyataan yang berkembang meruoakan karakter dan ci ri khas pendidikan Locke. Pendidikan harus menyentuh secara langsung pengalaman hidup dan kebutuhan anak. Dengan kata lain, lingkungan empiris adalah sumber dan bahan pengajaran yang sangat menentukan. Pernyataan di atas memberikan kesan ku at bahwa sumber belajar berupa lingkungan menjadi pusat perhatian Locke yang san gat besar. Selain lingkungan alam dan kenyataan sosial sehari-hari, lingkungan k eluarga dan pergaulan mendapat perhatian yang sama. Locke menghandaki sejak dini anak-anak di biasakan berada dalam suasana rumah dan keluarga yang kondusif bag i lahirnya suasana saling pengertian, saling menghormati dan saling mengerti ant ar sesama anggota keluarga. Hal ini di maksudkan agar anak tumbuh sebagai indivi

du yang terbiasa berfikir kritis dan rasional terhadap kaidah dan norma-norma, s erta aktif dalam mempergunakan nalar didalam mengamati kenyataan hidup. Karena, Lock menilai, kebiasaan berfikir bebas dan mandiri serta kemampuan mengekspresik an ide-ide tidak akan tercipta tanpa adanya dukungan dunia empiris yang nyata da n dinamis. Orang tua dan pendidik bertugas menciptakan lingkungan yang mampu man jadi sumber inspirasi dan bahan pembelajaran. Locke menghandaki di perolehnya i lmu pengetahuan ilmu pengetahuan secara empiris yang berinteraksi secara aktif d engan dunia dalam anak (introspective experience). Pengalaman iternal dan pengal aman eksternal adalah sumber pengetahuan yang dapat membentuk kepribadian. 1. Dasar dan Tujuan Pembelajaran Tidak di sangsikan, Locke merupakan tokoh pendidikan empiris yang mengakui poten si dasar manusia dan pengaruh lingkunga empiris yang dinamis. Potensi dasar manu sia berupa daya ingat dan pengamatan bila di lakukan pelatihan-palatihan kepadan ya secara tepat, di harapkan akan melahirkan kesanggupan-kesanggupan yang terlat ih dan kerja induktif. Pengamatan terhadap objek pengetahuan dan alam empiris da pat membantu keberhasilan proses pelatihan daya inagat dan daya kerja rasio. Ia berpendirian, ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang empiris dan hasil kerja in duktif. Karena, pada dasarnya pengetahuan manusia datang dari hasil pengalaman d an merupakan refleksi pengalaman itu sendiri. Pelatihan-pelatihan di tujukan unt uk menciptakan keharmonisan pengalaman empiris dan potensi jiwa anak. Penguasaan teori-teori atau ide-ide harus mendapatkan dukungan dunia empiris. D unia empiris harus benar-benar di jadikan sumber pembelajaran. Keharmonisan dan kesesuaian antara keduanya dapat membentuk dan mengisi fikiran dengan ide-ide. A kal fikiran itu sendiri memiliki koneksi erat dengan objek alam dan dunia empiri s. Pelatihan-pelatihan yang baik turut membantu mengembangkan dan memelihara aka l fikiran sebagai potensi yang memberikan arti dan memaknai objek, dunia empiris . Pembelajaran juga bertujuan untuk membentuk peserta didik dan menempatkan akal s esuai posisi dan proporsinya. Usaha yang di lakukan secara baik dalam membantu m embuka dan mengembangkan akal fikiran sangat membantu kehidupan anak. Kemampuan aplikasi terhadap kunci-kunci pengetahuan teoritis harus di dukung pelatihan-pel atihan yang dinamis. Hal ini, menurut Locke, sesuai dengan substansi pendidikan sebagai proses penyadaran pemahaman persoalan secara baik dan tepat, di samping merupakan proses penyadaran terhadap pentingnya memahami apa yang menjadi milikn ya berupa potensi persepsi, fikiran, keyakinan, kehendak dan keinginan. Anak tidak selamanya dapat mengemukakan ide-ide dengan baik tanpa dukungan prakt ek. Pembelajaran tidak semata-mata ingin menciptakan anak pandai. Pembelajaran d an pendidikan intelek secara khusus bertujuan membantu kerja fikir, dalam kaitan nya memahami kesinambungan ide-ide dengan dunia empiris. Pelatihan di lakukan se menjak dini agar dapat membantu anak berfikir rasional, tidak sekedar mengetahui dan mengikuti kaidah-kaidah empiris yang berlaku. Pembelajaran harus melibatka n daya cipta anak di dalam aktivitas pengamatan dalam dunia empiris. Pembelajaran dan pendidikan anak dengan bertujuan meningkatkan kematangan berfik ir dan wawasan, serta dapat mancegah lahirnya pemahaman anak secara verbalistik. 2. Materi dan Metode Pembalajaran Ilmu pengetahuan, bagi Locke, merupakan hasil dari pengalaman dan refleksi d ari pengalaman itu sendiri. Ia merupakan sesuatu yang bersifat empiris dan dinam is dari hasil kerja akal secara induktif. Sebagaimana manusia umumnya, perkemban gan akal dan daya kerja intelek anak berkembang secara alamiah melalui tahapan-t ahapan tertentu. Untuk itulah Locke menghandaki adanya pelatihan-pelatihan daya kerja akal secara baik dan cepat. Pendirian tersebut tentunya memberikan konsekuensi-konsekuensi terhadap pemiliha n materi pembelajaran. Pemilihan materi pembelajaran pendidikan intelek dalam ru musan Locke sesungguhnya menunjuk pada konsistansinya terhadap rumusan dasar dan tujuan pndidikan Locke. Locke menaruh perhatian sangat besar terhadap dunia empiris termasuk lingkungan alam. Gejala-gejala alam atau dunia empiris merupakan salah satu objek ilmu peng etahuan. Pelatihan-pelatihan tentang pengamatan dan penginderaan secara umum, he ndaknya menyajikan materi tentang kealaman atau ilmu pengetahuan alam. Hal ini m enunjuk kepada pendiriannya tentang kesesuaian antara fikiran dengan objek alam

sebagai yang memiliki hubungan atau koneksi erat satu dan lainnya. Namun demikian, karena pada dasarnya akal dapat memaknai atau memberikan arti te rhadap objek alam dan dunia luar, dan pengetahuan merupakan konsistensi kesesuai an antara ide-ide, maka Locke menyarankan agar dilakukan proses pelatihan secara hati-hati, disamping bimbingan secara benar dan tepat. Locke menyadari tidak se lamanya anak dapat mengemukakan ide-ide atau fikirannya secara baik, tanpa di la kukan bimbingan dan pelatihan-pelatihan secara intensif. Dalam kerangka pembentukan peserta didik yang mampu mengetahui, menyadari dan me nginsafi batas-batas kemampuan fikir dan sekaligus ketepatan dan kesesuaian dala m mengamati suatu persoalan Locke menetapkan materi pengajaran matematika. Penga jaran materi itu tidak semata-mata untuk menjadikan anak dapat menguasai pengeta huan semata-mata, melainkan meahami proses atau cara memperoleh pengetahuan itu sebagai prioritas. Dengan demikian, Locke lebih menanamkan pentingnya metodologi daripada materi. Locke sangat memperhatikan urgensi membaca bagi anak. Sebagai seorang tokoh yang sangat konsen terhadap penguasaan metodologi, Locke menghendaki aktivitas memba ca tidak sebatas kemampuan verbalistik. Pengajaran membaca membutuhkan keahlian pendidik di dalam membimbing dan mengarahkan teknik membaca secara tepat. Bimbi ngan bertujuan dapat membantu menjauhkan pemahaman secara verbal dalam kerangka pelatihan daya fikir. Aktivitas membaca secara verbal akan melahirkan pemahaman hampa. Untuk membantu menambah wawasan anak, selain mengajarkan ilmu pengetahuan alam, matematika dan membaca, Locke menghendaki pengajaran bahasa dan gramatikalnya. P engajaran ini bertujuan meningkatkan intelektualitas dan kematangan daya fikir. Sedangkan untuk membukakan wawasan, dipandang penting di ajarkannya materi-mater i mengenai sejarah, geografi, anatomi tubuh dan lain-lain. Dengan memasukan mate ri mengenai anatomi, dapat di fahami dari pengalaman hidupnya yang secara prakti k di nilai kualifaid dalam bidang kedokteran, meskipun secara akademis is tidak pernah maraih gelar kesarjanaan, locke dipandang mampu dalam bidang farmasi dan apoteker, serta dipandang sangat serius dalam bidang biologi. 3. Pendidik Konsep pendidikan Locke yang memihak kapada pengaruh lingkungan dan dunia empiri s dapat memberikan kejelasan posisi dan fungsi pendidik dalam proses pembelajara n. Selain sebagai lingkungan bagi anak atau peserta didik, seorang pendidik bert ugas menciptakan kondisi lingkungan yang dapat di jadikan sumber dan atau bahan belajar. Pendidik di tuntut mampu melakukan penyesuaian hidup anak secara realis tis dan dinamis. Lingkungan dan dunia empiris merupakan suatu kesatusn integral dengan anak. Dala m proses pembalajaran, pendidik bertugas dan di syaratkan mampu menciptakan kese suaian-kesesuaian antara lingkungan dan peserta didik, kesesuaian antara pengala mana hidup dan kebutuhan anak. Kaitannya dengan proses pembelajaran materi ilmu pengetahuan alam, matemetika da n kegiatan membaca, misalnya, Locke mensyaratkan penguasaan teknik dan metodolog i pemahaman materi, dasamping syarat kemampuan menjadikan peserta didik mahir da lam bidang tersebut. Sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk meletih daya fikir dan meningkatkan kematangan nalar, seorang pendidik di tuntut memerankan diri se bagai pembimbing yang dapat dengan tepat dan benar melakukuan pelatihan-pelatiha n secara hati-hati. Kemampuan anak terhadap teori-teori atau ide-ide harus diduk ung oleh pengalaman empiris. Oleh karenanya, seorang pendidik bertugas memadukan secara harmonis antara keduanya. Sebagaimana di kehendaki Locke tentang pentingnya lingkunga keluarga, seyogyanya pendidik memulai dari dirinya menciptakan tradisi pergaulan yang di dasari kasi h sayang dan suasana saling mengerti, saling menghargai dan salinh menghormati. Tradisi dan suasana itu di harapkan dapat membantu persepatan perkembangan kedew asaan anak, tradisi berfikir rasional dan kritis serta keaktifan mempergunakan n alar dalam mengamati kenyataan empiris yang selalu dinamis. Dalam pandangan Lock e, kebiasaan berfikir bebas dan mandiri akan menjadi impian belaka manakala pend idik tidak mampu menciptakan lingkungan yang dinamis dan diterima anak sebai bag ian dari kehidupan mereka. Ilmu pengetahuan, bagi Locke, di peroleh dari dunia empiris sebagai sumber pembe

lajaran dan dapat berinteraksi dengan dunia nyata. Setiap pendidik, karenanya, h arus menyadari bahwa dirinya harus berada di tengah-tengah keduanya dan dapat me nyatukan pengalaman luar dengan pengalaman dalam peserta didik. Seorang pendidik, sesuai dangan substansi pembelajaran sebagai proses penyadaran terhadap potensi diri, di tuntut mampu memfasilitasi sarana-sarana pendukung ke arah penyadaran. Penyadaran adalah kesadaran pemahaman terhadap setiap persoala n secara tepat. Pendidikan adalah proses penyadaran dengan pendekatan dan metode yang baik dan tepat. B. Ide tentang Pendidikan Agama dan Moral Locke adalah penganut kristen yang taat dan meyakini agamanya sebagai sesuatu ya ng rasional, dan mesti didekati secara rasional. Para ahli mengakuinya sebagai p enganut kristen yang puritan, tegus secara moral, kasih sayang dan lemah lembut di dalam bertetangga dan bermasyarakat. Namun demikian empirismenya membentuk ke beranianya mengoreksi dan mengkritik ajaran-ajaran injil yang menurutnya di penu hi dengan dogma-dogma dan tidak rasional. Locke menghendaki pemahaman dan pengal aman agama yang terbentuk dari keterpaksaan dan ketakutan. Pemahaman dan pengalaman ajaran-ajaran agama, menurutnya, harus lahir dari dalam diri anak berdasarkan kebutuhan rasional. Pengamalan ajaran agama harus di hind arkan dari rasa keharusan atau kewajiban. Mereka harus di hindarkan dari dogma-d ogma ajaran agama. Karenanya, Locke menghendaki kesadaran kesederhanaan dalam pr oses pendidikan keagamaan dalam arti jauh dari dogmatisme. Sebagai penganut agama yang taat dan puritan, Locke menekankan penanaman kecinta an terhadap Tuhan sebagai prioritas. Kecintaan terhadap Tuhan, bagi Locke, merup akan ajaran fundamental semua agama-agama besar dunia. Namun demikian, sebagai t okoh empirisme, ia tetap menekankan rasionalisasi. Kecitaan tarhadap Tuhan harus ditanamkan sejak dini secara rasional dan mesti dinyatakandalam prilaku seharihari. Penanaman kecintaan terhadap Tuhan diharapkan dapat melahirkan ketaatan da n kepatuhan rasional. Erat kaitannya dengan pendidikan keagamaan, Locke menaruh perhatian terhadap per soalan moral. Tetapi sebagai tokoh empirisme, ia tetap konsisten dan terkait den gan pengalaman empiris. Pendidikan moral harus di berikan semenjak dini kepada a nak-anak. pendidikan moral yang ideal, menurutnya dalah proses yang dapat memenu hi pencapaian idealisasi manusia menurut Locke. Manusia ideal adalah manusia yan g selalu mengandalikan diri dan memiliki harga diri , kehormatan dan kepatuhan. Secara realistis, Locke menunjuk masyarakatnya sebagai kenyataan yang tidak dapa t disangkal. Para orang tua dan pendidik di sekolah tidak dapat sepenuhnya memb imbing dan mengawasi perilaku setiap peserta didiknya. Karenanya, aspek-aspek pe ndidikan yang ppokok menjadi terabaikan sementara mereka tidak memiliki inisiati f belajar dari pengalaman. Sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lainnya harus melakukan reformasi dengan sasaran dapat lebih mengutamakan pendidikan aspek mor al sebagai fondasi dan tercegahnya nilai-nilai yang merusak agama.

You might also like