You are on page 1of 9

MEMBANGUN BUDAYA ANTIKORUPSI MELALUI PENDEKATAN SOSIAL-KEAGAMAAN Oleh: Halid Alkaf*

Pengantar Indonesia yang mengklaim sebagai negara merdeka sejak 60 tahun lalu, mestinya sudah menjadi negara yang cukup matang dan bijak untuk membangun tatanan sosial yang maju, berwibawa, dan bersih dari unsur-unsur koruptif. Namun kenyataaanya berbanding terbalik, korupsi justru menjelma menjadi lonceng kematian yang menyusup dan mematikan hati nurani dan akal pikiran bangsa dengan penganut umat beragama (Islam) terbesar di dunia ini. Meminjam ungkapan Syafii Maarif, mantan ketua umum Muhammadiyah, Korupsi sudah sedekimian kuat membelenggu kita, mulai istana sampai kantor kelurahan, sejak bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, sejak lahir sampai meninggal. Merambah dari tempat ibadah sampai ke toilet...1 Memang, virus korupsi ternyata lebih ampuh menjalar ke dalam tubuh bangsa ini, melebihi panacea agama, moral, dan hukum. Tidak heran bila bangsa ini dicibir dan dilecehkan oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Banyak riset independenbaik pada level nasional maupun internasionalyang menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Dari 146 negara yang di survei Transparency International pada Oktober 2004, Indonesia berada di rangking ke-137.2 Indonesia hanya sedikit lebih baik dari 9 negara terkorup dunia lainnya: Tajikistan, Turkmenistan, Azerbaijan, Paraguay, Chad, Myanmar, Nigeria, Bangladesh, dan Haiti. Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa untuk kawasan Asean, Indonesia dan Myanmar menjadi negara terkorup, bila dibanding Singapore, Malaysia, Brunei Darusalam, Thailand, Vietnam, dan Philipina. Meskipun riset internasional di atas lebih mengarah pada indeks persepsi pebisnis, tetapi harus dilihat bahwa tindakan korupsi tidak pernah berdiri sendiri, melainkan mengait
*

Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

antara satu variabel dengan lainnya. Lemahnya political will pemerintah, kemesraaan hubungan antar elit (agama, politik, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lainnya) dengan menelantarkan kepentingan masyarakat luas, dan budaya masyarakat yang semakin konsumtif serta permisif terhadap tindakan korupsi, adalah sederetan variabel yang memperkokoh perambatan benalu korupsi. Masyarakat umum bahkan kalangan ahli senantiasa bertanya-tanya: mengapa Thailand dan Philipina yang terhempas badai korupsi pada paruh kedua 1997 lalu, sekarang mampu membangun kembali tatanan sosial yang relatif stabil dan dinamis? Mengapa Indonesia yang memiliki kualitas SDM dan SDA yangkatanyamelebihi kedua negara itu, sampai sekarang masih terpuruk? Apa saja yang menyebabkan tragedi berkepanjangan ini masih tetap berlangsung? Bagaimana solusi yang harus ditempuh bangsa ini ke depan? Tulisan berikut akan menyuguhkan identifikasi, analisa, dan solusi terhadap permasalahan korupsi dari aspek sosial-keagamaan. Terminologi Korupsi dalam Agama Secara umum, korupsi berarti segala bentuk penyimpangan (berupa uang, jabatan, kekuasaan, dan lainnya) yang dilakukan untuk keuntungan dan kepentingan diri sendiri atau golongan tertentu. Sementara dalam terminologi agama, korupsi bisa dimaknai sebagai tindakan dan perilaku yang mengarah pada: fasd (kerusakan), risywah (sogokan), inhirf (penyimpangan), dan zhulm (aniaya). Korupsi pada makna fasd setidaknya disebut dalam 7 ayat di dalam al-Qur'an yang kesemuanya berhubungan dengan alam semesta dan hubungan antar sesama manusia. Di antara ayat tentang fasd adalah firman Allah swt, Telah nampak kerusakan di darat dan di laut akibat tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan (akibat) dari sebagian perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar (Q.S. al-Rm [30]: 41).

Istilah tangan-tangan manusia seperti termaktub dalam ayat di atas, bisa merujuk pada banyak arti, seperti kekuasaan, jabatan, dan keterampilan teknis yang digunakan untuk melakukan berbagai perbuatan keji dan mungkar sehingga merusak lingkungan sekitar dan merugikan umat manusia. Akibat tangan-tangan manusia pula, illegal logging (penebangan liar) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, seperti di Kalimantan dan Irian Jaya (Papua), mengakibatkan jutaan hektar hutan menjadi gundul dan gersang. Akibatnya, bencana besar seperti banjir, badai, dan kebakaran hutan, memporak-porandakan penduduk sekitar. Makna lain dari korupsi adalah upaya melakukan risywah (sogokan atau suap). Jika perbuatan fasd (pengrusakan) mudah diidentifikasi dan memiliki implikasi yang jelas, tindakan suap lebih samar dan terselubung. Risywah termasuk perbuatan yang dilaknat dari Allah swt, seperti disabdakan Rasulullah saw, Laknat Allah atas orang yang melakukan suap (penyuap) dan yang menerima suap (H.R. Ahmad, Ibnu Mjah, dan Ab Dud). Tindakan suap memiliki banyak imbas negatif: 1) mengabaikan hak-hak orang lain; 2) menghilangkan kompetisi (persaingan) yang sehat dan jujur; 3) melemahkan kreativitas dan produktivitas; dan 4) merusak tatanan manajemen birokrasi yang transparan (terbuka) dan bertanggung jawab. Tindakan suap bisa dijumpai dan terjadi di berbagai sektor: bisnis, pendidikan, kesehatan, jasa, dan lainnya. Tindakan suap juga bisa merasuki kalangan eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi, pengusaha, maupun kalangan bawah. Bahkan, tindakan suap juga bisa dilakukan para pemuka agama dan orang-orang yang dulunya vokal dan kritis menyuarakan keadilan, demokrasi, dan HAM. Tentu saja, kenyataan ini sangat memprihatinkan hingga memperkuat asumsi bahwa korupsi memang sangat sulit dihindari ketika kesempatan itu ada, atau sengaja dikondisikan untuk berbuat korupsi. Di samping fasd dan risywah, tindakan lain yang bisa dimasukkan dalam kategori korupsi adalah inhirf (penyimpangan atau penyelewengan). Salah satu bentuk

penyelewengan yang lumrah ditemukan di masyarakat adalah tindakan mark-up (penggelembungan dana). Mark-up adalah salah satu bentuk korupsi dengan

menggelembungkan anggaran secara fiktif sehingga merugikan masyarakat umum yang semestinya berhak menerima dana tersebut. Banyak berita yang menayangkan tentang tindakan mark-up yang dilakukan oknum pemerintah maupun swasta. Bahkan, sebagian dari mereka yang melakukan mark-up anggaran negara sudah ada yang dijebloskan ke dalam penjara. Tindakan mark-up memiliki banyak dampak negatif. Pertama, termasuk kategori tabdzr (pemborosan) yang oleh al-Qur'an dipandang sebagai perbuatan setan, Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan sangat ingkar kepada Tuhannya (Q.S. al-Isr [17]: 27). Kedua, berdampak pada penyusutan anggaran atau dana yang mestinya digunakan untuk kepentingan rakyat. Ketiga, memberi peluang untuk melakukan tindakan tercela lainnya, seperti menyuap, mengutamakan kepentingan diri sendiri, dan perilaku menyimpang lainnya yang jauh dari kepentingan publik. Di samping menjelma dalam bentuk fasd (pengrusakan), risywah (sogokan), dan inhirf (penyelewengan) seperti dipaparkan secara ringkas di atas, tentu saja korupsi bisa dikategorikan sebagai tindakan zhulm (aniaya). Pemaknaan aniaya memiliki banyak arti, seperti mengambil hak orang lain, menekan pihak yang lemah, menindas kaum miskin, dan menyengsarakan rakyat. Di dalam al-Qur'an, kata zhulm (aniaya) dan makna derivasinya yang menunjuk pada berbagai maksud dan tujuan, ditemukan tidak kurang dari 37 ayat dalam berbagai surat. Banyaknya penyebutan kata zhulm di dalam al-Qur'an mengindikasikan bahwa tindakan aniaya sangat dicela dan dikutuk oleh Allah swt dan Rasulullah saw. Dengan demikian, korupsi sebagai bagian dari tindakan aniaya, menjadi salah satu perilaku tercela yang sangat dikutuk Allah swt, Rasulullah saw, dan umat manusia.

Jika ayat di atas dicermati lebih jauh, terdapat hubungan linier antara tindakan aniaya, pendustaan kepada kebenaran, dan kufur. Seseorang yang melakukan tindakan aniaya, berarti telah melakukan pembohongan terhadap nilai-nilai kebenaran yang pada akhirnya termasuk bagian dari golongan kafir. Dalam konteks ini, korupsi sebagai bagian dari tindakan aniaya, merupakan perbuatan yang membungkam kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi termasuk perbuatan aniaya yang melecehkan nilai-nilai luhur agama dan kemanusiaan universal. Rekonstruksi Keimanan dan Ritual Peribadatan Fenomena umum yang terjadi dalam keberagamaan masyarakat Indonesia (khususnya umat Islam) adalah menjadikan fikih (jurisprudensi) sebagai pedoman utama dalam realitas kehidupan beragama. Pada batas-batas tertentu, pemahaman seperti ini tentu saja tidak bermasalah, misalnya dengan merujuk pada wudhu sebagai salah satu syarat sahnya salat, membayar zakat harta bagi orang kaya sebagai kewajiban ajaran agama, atau menunaikan ibadah haji ke Mekah sebagai pelaksanaan rukun kelima ajaran agama. Dalam konteks ini, fikih memang lebih bercorak simbolik daripada substantif. Berangkat dari prinsip di atas, bisa dimengerti bila kemudian jarang sekali ditemukan dalam berbagai ceramah keagamaan, para ulama atau penceramah mengaitkan ibadah wudhu dan salat misalnya, dengan perbuatan tercela seperti korupsi. Orang yang berwudhu dan salat tetapi juga mengerjakan perbuatan tercela seperti korupsi, biasanya ibadahnya tetap dianggap sah, meskipun orang tersebut berdosa di hadapan Tuhan. Semestinya pandangan seperti ini harus diubah, yaitu orang yang berwudhu dan salat tetapi juga melakukan korupsi, maka wudhu dan salatnya tidak sah serta mendapat ancaman dari Tuhan. Di samping salat dan wudhu, zakat juga sering dijalankan sebatas ritual peribadatan yang jauh dari realitas sosial. Orang yang berzakat, seringkali hanya dimaknai sebatas pelaksanaan ritual peribadatan yang bertujuan membantu orang lemah dan miskin. Bahkan, 5

semakin banyak zakat yang dikeluarkan oleh muzakk (orang yang berzakat), semakin tinggi pula apresiasi masyarakat terhadap orang tersebut. Dalam konteks ini, masyarakat lebih tertuju pada kuantitas materi zakat, tidak pada bagaimana proses mendapatkan harta yang dizakatinya; apakah diperoleh dari cara-cara yang halal atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, masyarakat tidak memiliki daya kritis sama sekali dan bersikap permisif terhadap perilaku korupsi yang merugikan umat. Hal yang sama juga terjadi dalam ritual peribadatan lain, seperti ibadah haji. Orang yang melaksanakan ibadah haji, biasanya dianggap telah mencapai kesalehan individu yang paripurna, karena dianggap telah mampu melaksanakan lima rukun agama. Bahkan, ketika pulang ke tanah air, jamaah haji ini disambut dengan gegap-gempita oleh tetangga, kerabat dekat, dan masyarakat sekitar, terutama karena mereka membawa oleh-oleh sakral dari tanah suci Mekah. Dalam kemeriahan itu, tidak ada semacam protes sosial dari masyarakat, apakah uang yang digunakan untuk ibadah haji itu halal atau haram (hasil korupsi). Dengan protes semacam itu, persepsi masyarakat diharapkan berubah dari sebatas menghargai materi ibadah haji an sich, menjadi kesadaran kritis terhadap proses pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Fenomena fikih di atas diperkuat oleh pemahaman teologi keagamaan yang teosentris; beragama dengan menekankan pada hubungan manusia personal dengan Tuhan tanpa banyak melibatkan ibadah sosial. Pemahaman seperti ini seringkali mereduksi agama hanya pada ranah eskatologis dan transendental serta memperkecil peran akal (rasio) dalam realitas kehidupan beragama, sehingga cenderung fatalistik dan menyerahkan segala nasib (takdir) manusia kepada Tuhan. Pemahaman seperti itudisadari atau tidakbanyak dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Akibatnya, substansi agama yang sebenarnya berisi dialog dua arah antara wahyu sebagai produk kalam Tuhan dan realitas sosial sebagai produk akal (rasio) manusia,

menjadi terabaikan. Ketika seseorang melakukan dosa besar seperti korupsi, misalnya, argumentasi menghibur yang bisa diajukan adalah bahwa dosa besar selain syirik, masih bisa diampuni Tuhan. Apalagi sepintas, argumentasi itu memang didukung firman Tuhan, Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya... (Q.S. al-Nis` [4]: 48). Namun yang sering diabaikan adalah argumentasi yang melibatkan aspek rasionalitas dan peran sosial manusia, misalnya dengan mengartikan tindakan korupsi sebagai syirk khaf (syirik yang samar) karena menjadikan materi korupsi sebagai Tuhan kedua di samping Tuhan hakiki yang disembahnya. Atau diartikan bahwa korupsi adalah salah satu dosa sosial terbesar karena menyengsarakan umat manusia, melebihi dosa perzinahan, pembunuhan, terorisme, dan lainnya. Sebagai ilustrasi, orang yang berkurban atau bersedekah untuk kegiatan keagamaan dan pembangunan tempat ibadah dengan jumlah nominal besar misalnya, akan lebih dihargai oleh masyarakat daripada orang yang berkurban atau bersedekah dalam jumlah nominal kecil, meskipun orang yang disebut pertama memperoleh harta dari uang korupsi atau cara-cara yang tidak halal. Dalam kasus keberagamaan seperti ini, masyarakat sudah kehilangan daya kritisnya dan cenderung permisif, karena terjerat buaian materialisme dan konsumerisme. Atas dasar pemahaman keagamaan seperti itulah, rekonstruksi keimanan dan ritual peribadatan sangat penting untuk diterapkan. Hal ini karena keberagamaan yang simbolik, cenderung menelantarkan makna substantif dan menjauh dari realitas sosial. Dengan rekonstruksi, masyarakat akan merasakan bahwa pelaksanaan ajaran agama yang mereka laksanakan terkait erat dan selaras dengan realitas sosial. Mereka tidak lagi merasa bahwa beragama hanya berhubungan dengan hal-hal yang transendental tanpa memperhatikan kondisi riil masyarakat.

Rekonstruksi keimanan juga diharapkan mampu membangun kesadaran kritis terhadap sistem kepercayaan yang selama ini cenderung dikendalikan oleh segelintir (elit) agama. Dengan rekonstruksi, masyarakat tidak lagi dianggap sebagai obyek perubahan, tetapi juga menjadi subyek bagi perubahan itu sendiri. Masyarakat bisa melakukan kontrol moral dan kritik terhadap berbagai tindakan keji dan mungkar yang mungkin dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat atas kesadarannya sendiri. Dalam konteks inilah, tindakan keji seperti korupsi yang dilakukan oleh segelintir elit atau anggota masyarakat, bisa dihujat melalui argumentasi keimanan.

1 2

tober 2003. Pada tahun 2005,

You might also like