Professional Documents
Culture Documents
LANDASAN 1LORI
A. 1injauan Pustaka
Dalam teori jurnalistik klasik, pembagian koran harian didasarkan pada waktu terbit. Koran
harian yang terbit pada pagi hari biasanya menggunakan ormat broadsheet, memuat peristiwa berita
secara analitis, ekstensi dan komprehensi. Pembaca mereka biasanya berpendidikan menengah dan
tinggi ,reet eavcatea,, bekerja pada leel menengah keatas. Koran harian ormat pagi menyajian
inormasi yang bernilai dan membentuk opini dan perilaku yang berbeda ke pembacanya. Para
pembaca berharap koran harian pagi ,broaa.beet, menyajikan inormasi yang seimbang, analitis dan
reportase yang tidak bias. Mereka juga berharap komentar dan pendapat yang dimuat berdasarkan
akta dan pernyataaan-peryataan yang secara jelas dapat dieriikasi.
Di dunia dikenal 1be ^er Yor/ 1ive., 1be Cvaraiav ,sebelum berubah), rav/fvrter .ttgeveive
Zeitvvg, Corriere aetta erra atav Deto. Sementara di Indonesia Kompas ,sebelum berubah,, Suara
Pembaharuan dan Kedaulatan Rakyat yang mewakili jenis koran terbitan pagi
Namun pada kasus banyak negara, pembaca jenis ini teramat jarang dan membuat sirkulasi
koran pagi tidak seenomenal tabloid. Dengan reputasi yang rendah tabloid menempati urutan
teratas dalam sirkulasi dibandingkan dengan jenis penerbitan berkala lainnya.
1abel J
Perbandingan Sirkulasi Koran Harian dan 1abloid di Indonesia
enis 1ahun
199 1998 1999
larian Nasional 2,646 2,28 2,292
larian Lokal,Regional 2,01 2,289 2,490
1otal 4,1 5,01 4,82
Non larian,1abloid Nasional 3,35 3,156 5,20
Non larian, 1abloid
Lokal,Regional
1,28 1,918 2,488
1otal 4,644 5,04 ,58
vvber: . !ora ...ociatiov of ^er.aer,!ora av/ Covferevce, Zvricb,ritertava, 1
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sirkulasi koran harian dari tahun
ke tahun ,data terekam sampai dengan 1999, semakin menyusut dan kalah dengan perkembangan
terbitan non harian dan tabloid. Bahkan di tahun 1999, terbitan non harian, tabloid mengalami
pertumbuhan dua kali lebih besar dibanding dengan terbitan harian.
&ntuk periode tahun 2003, Surei dari Kantor Menteri Negara Komunikasi dan Inormasi,
memperlihatkan bahwa jumlah penerbitan pers di Indonesia sekitar 450 penerbit, dengan total tiras
sekitar tujuh juta eksemplar. Dari jumlah itu, surat kabar 4,3 juta eksemplar, majalah 1,4 juta, dan
tabloid 1,1 juta ,Perskita, No 21, uni 2005,.
1
Meskipun pada ersi ini, data yang terjadi menujukan enomena yang berbeda, namun surei
ini tidak menunjukan jumlah perkembangan yang signiikan dari sirkulasi surat kabar harian,
mengingat pada masa Orde Baru hingga awal Lra Reormasi angka tiras penerbitan masih 14 juta,
dengan jumlah surat kabar sekitar enam juta.
2
Dengan kata lain, jumlah penerbitan bertambah,
namun jumlah oplah tidak meningkat.
3
Di Kenya, 4 besar harian ,broaa.beet, yang menguasai pangsa pasar audien dan pengiklan
kesemuanya berormat tabloid. Keempat broaabtoia tersebut adalah : Dait, ^atiov, 1aifa eo, Kev,a
1ive. dan a.t .fricav tavaara.
1
Di republik Czech, tingkat pertumbuhan koran harian antara 1998,2000 dan 2000,2001
mengalami pertumbuhan minus mulai -4 sampai dengan -, sementara untuk koran non harian
dan tabloid pada periode yang sama mengalami pertumbuhan dari 19,22 sampai dengan 36.99
dari total sirkulasi dan pendapatan iklan.
5
Di Amerika Serikat, krisis iklan dan sirkulasi pada koran harian telah menyebabkan 1be ^er
Yor/ 1ive. mengurangi sekitar 8-9 persen dari 14.000 pekerja medianya pada September 2001. Pada
tahun yang sama Miavi erata, juga mengumumkan telah mempesiun-dinikan sekitar 20
perkerjanya. |. 1oaa, ,pen:sebelum merubah ormat ke tabloid, membuat kebijakan baru berupa
pensiun dini bagi karyawan. Kondisi serupa juga dialami industri pers di Inggris dan erman
6
Sementara di Indonesia tablodisasi koran merupakan kondisi yang seakan nasib yang tidak
bisa ditolak, sebagaimana dinyatakan oleh acoeb Oetama
:
Sekali lagi dikemukakan, saat pola tabloid mendapat panggung baru, yakni
media elektronik, lalu media digital seperti teleisi, internet, dan media interakti
1
Ninok Leksono, Koran, Renaisans menuju Masa Depan Berbagi, Kova., Selasa, 28 uni 2005
99p://www.kompas.com/kompas-ce9ak/0506/28/opini/1845162.9m
2
Ibid.
3
Jacoeb Oe9ama menyebu9kan bawa dalam periode ini Indonesia mengalamai per9umbuan indus9ri penerbi9an
sura9 kabar dari 289 menjadi 1.600 perusaaan. Namun al ini 9idak diiringi dengan jumla opla yang meningka9,
jus9ru menurun. Jacoeb Oe9ama, Powering 9e Media Dynamic, Kompas, Kamis 17 Mare9 2005
4
A WAN/Word Bandk ConIerence, Zuric, Swi9erland, 1999
5
Ibid.
6
David Vidal, 2003, al. 3
7
Jacob Oe9ama, Powering 9e Media Dynamic, Kompas, Kamis, 17 Mare9 2005
lain, maraklah inormasi dan liputan yang berasosiasi dengan entertaiment.
Inormasi, namun inormasi yang serba hiburan dikemas dalam konteks
entertainment yang lebih kuat daya tariknya.
Dalam ase inilah kita di Indonesia kini berada. Media elektronik, radio,
teleisi, internet dan lain-lain mendapat momentum baru. Kebebasan serta
reolusi teknologi inormasi ,1I,. Sudah lebih dulu, perkembangan 1I dan
media di negara-negara industri maju memunculkan dan meluaskan globalisasi.
Adalah benar dalam lingkungan serba globalisasi itulah kita Indonesia
maupun negara-negara Asia Pasiik dan semua negara di dunia kini berada.
Suka tidak suka, melawan atau menyikapi secara kritis konstruktif, itulah
lingkungan hidup baru bagi kita semua.` ,cetak tebal dari penulis,
Penelitian yang dilakukan oleh Lngels ,1996,, Cronkrite ,1998, dan lumprhys ,1999,
mengawali kritik tabloidisasi koran, sebuah proses penyajian berita koran yang menekankan pada
inotaiment` untuk diketahui khalayak dibanding dengan menyajikan program acara yang
berkualitas`
Colin Spark, proesor Media Studies di Centre or Communication and Inormation Studies,
&niersitas \estminster membuat penelitian tentang proses tabloidisasi media. Salah satu dari hasil
penelitianya adalah rekomendasi tentang cara pembangunan sebuah pasar media di negara-negara
Lropa Southeastern pasca 1990. Dalam rekomendasinya Colin
8
menyebutkan bahwa:
Koran yang berkualitas adalah koran yang dalam ormat besarnya memuat
reportase berita yang mendalam iv aetb ver.), acapkali menggunakan bahasa
tingkat tinggi dan dalam nada yang serius.Berita didominasi dengan peristiwa
nasional dan internasional, politik dan bisnis, dengan sedikit porsi untuk berita
selebritis dan gosip.`
1abloidisasi atau pentabloidan` berita dan isu mutakhir di masyarakat dalam media
merupakan proses pengabungan antara inormasi` dengan entertaiment` ,inotaiment, atau
emosi` dengan entertaiment` ,emotaiment, dibanding sajian berita hard news` atau indept
news`. lal ini merupakan proses penurunan dari jurnalistik tradisional dan memunculkan
antusiasme baru karya jurnalistik dalam bentuk budaya populer.
Menurut Stephan Maloic
9
inti utama dari deinisi tabloid adalah:
8
www.Ic.vdu.l9/e-media/md/pers.9ml.
9
Opci9. al.2
a tabloid is that it publishes sensational inormation about the priate lie
o prominent people. 1he more prominent the person and more sensational
the story, the better.`
Dari deinisi konseptual Stephan Maloic tersebut diatas, maka tabloid bukan sekedar ormat
dalam pengertian ukuran kertas atau ta,ovt tampilan sebuah media cetak, namun lebih mengarah
pada kecenderungan isi media dan konstruksi awak media dalam meliput sebuah peristiwa.
loward Kurtz mentengarai enomena tablodisiasi berdasarkan analisis dari penelitian yang
dilakukannya tentang perubahan media massa di Amerika Serikat di tahun 1990-an. Kurtz
memandang bahwa banyak penerbit di Amerika Serikat di tahun 90-an yang menginginkan korannya
terlihat frievat, ,dekat, dengan pembaca. Konsekuensinya adalah berita hard news harus hilang dan
releansi ditonjolkan. Deklarasi dari perubahan ormat ini tampak pada ratusan koran kemudian
didesain ulang, halaman muka dijejali dengan oto-oto besar dan bingkai kotak teks yang kecil.
10
lrank Lsser ,1999, memperkenalkan konsep tablodisasi ketika mempersentasikan paper
berjudul 1abtoaiatiov of ^er.: . Covaratire .vat,.i. of .vgto.vericav ava Cervav Pre.. ]ovrvati.v.
Menurut Lsser, proses tablodisasi media muncul dalam dua leel yakni leel mikro dan makro. Di
skala mikro, tablodisasi dapat dipandang sebagai sebuah enomena media yang meliputi perbaikan-
perbaikan dari koran tradisional dan media berormat lain berdasarkan preerensi pembaca dan
permintaan-permintaan komersial.
Di skala makro, tablodisasi dapat dipandang sebagai enomena sosial dari perubahan-
perubahan utama penyimbolan dan penginstingan tujuh konstitusi dalam masyarakat.,sebagai
contoh, kemunculan banyak simbol dan ikon dalam media memberi pengaruh yang kurang pada
pendidikan dan memberi porsi lebih pada pemasaran-pemasaran politik, menghasilan peningkatan
dalam keterasingan-keterasingan politik,
11
Pada akhirnya proses tabloidisasi koran harus dipandang sebagai enomena yang terpisah
dalam masing-masing lingkungan media, tergantung pada aktor budaya yang unik, sejarah dan
warisan budaya. Sehingga enomena global dari tablodisisasi ini dapat dikaji dalam konteks ke-
Indonesiaan dengan menggunakan deinisi teoritis tersebut diatas.
10
Opci9. Kur9, 1993, al.339.
11
Opci9, S9epan, al.6
Berbagai literatur klasik tentang teori jurnalistik sering kali mengutip pernyataan C.P Scott`s
12
bahwa akta adalah suci, sementara opini adalah bebas. ,act are .acrea, covvevt. are free`,, sebuah
pernyataan yang kemudian melandasi teori jurnalistik cetak atau teori pers.
Akar dari pernyataan ini adalah kerangka positiistik dan realisme, sebagaimana objektiitas
ilmiah positiist, meskipun pada kenyataan epistemologisnya pernyataan ini dapat diperdebatkan.
Bahwa akta adalah kepentingan terlepas bagaimana cara kita menghubungkannya. Konensi umum
juga memandang bahwa akta dan berita ada sesuatu yang berada di luar sosok wartawan, sehingga
sang wartawan harus mencari, dan menyampaikan akta tersebut secara objekti, tanpa harus
memodiikasi atau memolesnya. Dari pendekatan ini memastikan bahwa proses produksi berita steril
dari setiap interensi opini dari wartawan.
Dengan kata lain, wartawan tidak eksis dalam proses produksi berita, wartawan hanya
berungsi sebagai inorman, saksi mata yang melaporkan kejadian, tanpa terlibat dalam akta itu
sendiri.
Pendekatan ini berangkat dari ide bahwa teks seharusnya mampu bercerita sendiri tentang
sebuah peritiwa. lal ini disebut dengan gaya penulisan inormati, sebuah gaya penulisan yang
mesyaratkan ketepatan alur, terbuka dan konsisten. Seorang jurnalis adalah pelaku yang dihilangkan,
diganti dengan keberadaan sebuah objektiitas.
Akan tetapi sebuah teks berita selalu intensional, seorang wartawan meskipun ditempatkan
sebagai seorang komunikator non-intensional, namun pada kenyataannya dalam menulis berita ia
selalalu memberikan tekanan pada bagian tertentu dan tidak pada bagian lain.
Sebagaimana ditulis oleh Nuriez Ladeeze bahwa gaya penulisan inormati adalah bebas
dari jenis bahasa yang digunakan. Satu saat, bisa jadi ,gaya penulisan inormati, ini menjadi sebuah
gaya non-inormati, dan bukan untuk menginormasikan, atau hanya sebagian saja`
Bret Cunningham dalam Cotvvbia ]ovrvati.v Rerier C]R), edisi uli-Agustus 2003, menulis
artikel berjudul Retbivg/ivg Ob;ectirit, yang isinya menyoroti tentang prinsip objektiitas. Menurut
Cunningham, prinsip objektiitas membuat wartawan menjadi penerima pasi-a..ire reciievt, alih-
alih menjadi penganalisis dan pemberi penjelasan. Objetiitas mengekang wartawan untuk menulis
isu yang tidak berkaitan langsung dengan berita, meskipun isu itu kemungkinan mempunyai
hubungan yang erat dengan berita yang ditulis.
13
12
David Vidal, 2003, al.14
13
Luwi Iswara, Ca9a9an-ca9a9an Jurnalisme Dasar, Kompas, Juli 2005, al.43.
Kalimat dan kata sebagaiman dalam ilsaat bahasam sering kali menyembunyikan dari pada
menyampaikan makna. Artinya bahwa wartawan sebagai subjek yang menulis berita, tidak dapat serta
merta menghilangkan keberadaannya dan berlindung dibalik objetiitas, namun wartawan harus
mempunyai kesadaran atas segala sesuatu yang ditulis dan dipublikasikan.
Dari sisi ini muncul pandangan objektiitas yang subjekti. Bahwa akta objekti melekat
pada peristiwa atau sesuatu yang diamati, sementara hasil pengamatan yang diungkapkan merupakan
bentuk subjektiitas pelaku pengamatan.
Oleh karena itu menulis berita di koran merupakan bentuk kerja intelektual dalam budaya
tulis dan komunikasi yang harus dapat meningkatkan kualitas dari cerita, membuat khalayak
mendapatkan pengalaman-pengalaman kaya atas akta-akta baru dan menjadi lebih mendalam dalam
analisis dan penjelasan terhadap isu-isu yang kompleks-yang melibatkan unsur te/.tvatra.iovatciri
dari jurnalistik cetak dibanding dengan jurnalistik elektronik baik radio maupun teleisi.
\.Philiphs Daidson dari Columbia &niersity menyatakan bahwa radio merupakan media
yang memberikan peringatn atau alarm-atertivg veaivv, karena radio cenderung menjadi media
pertama yang memberikan inormasi atas peristiwa yang baru saja terjadi. 1eleisi adalah media yang
melibatkan---ivrotrivg veaivv---karena teleisi bisa mengikat emosi khalayak dengan kemampuannya
menyajikan gambar sekaligus audio. Sementara koran adalah media yang menginormasikan---
ivforvivg veaivv, karena koran bisa melengkapi inormasi isual ataupun audio dengan isu-isu yang
lebih mendalam dan kompleks.
Namun disisi lain teknologi telah membuat dunia menjadi terlalu banyak paradoks, terlalu
banyak inormasi dan terlalu banyak keseragaman dalam berikir, budaya dan rasa, yang secara
bersamaan pula terlalu banyak sumber inormasi, menyebabkan perubahan dalam pola konsumsi
media oleh masyarakat. Khalayak sudah puas menonton teleisi dan mendengar radio daripada
koran untuk mendapatkan inormasi yang dibutuhkan, karena kelebihan dalam hal akses, kecepatan
meskipun tidak selalu akurat atau mendalam.
urnalistik radio dan teleisi telah mengambil alih peran jurnalistik cetak, dimana beaative
,judul utama, dan frovtage ,halaman muka, koran menjadi tidak lebih bermakna dibanding siaran lie
report dari reporter dari tempat peristiwa yang dipancarluaskan lewat stasiun broaaca.t. Lebih-lebih
dengan kehadiran ovtive ;ovrvati.v lewat internet, semakin memojokan posisi koran ditengah
kecepatan teknologi inormasi.
lal ini juga membawa konsekuensi yang lebih lanjut, yakni perubahan dalam budaya baca ke
arah budaya menonton, dari jurnalistik cetak ke jurnalistik isual.
&mberto Lco
14
melukiskan hal ini dengan analogi:
lubang di lapisan ozone akan merubah permukaan benua dan daratan ,...,,
banjir inormasi merubah kepala kita. Kita seperti mutant, sedang berjalan
menuju sebuah perubahan`.
urnalistik isual secara jelas telah merubah inormasi. Kekuatan awal tentang sesuatu yang
lebih hidup dan yang membawa emosi khalayak menjadi sebuha pendekatan terhadap isi berita.
Ramonet
15
menjelaskan bahwa :
Sejak tahun 1990-an, teleisi secara mutlak telah mengambil semuanya dari
koran ,...,teleisi menjadi dominan dan menjadi reerensi hukum dari model
media lain ,...,1eleisi telah menjadi satu-satunya medium yang menjelaskan
dengan cara bagaimana berita itu harus disampaikan..`
Gaya jurnalistik isual meniscayakan isi berita menjadi lebih spektakuler, superisial dan
banyak melakukan repetisi, yang menjadi elemen-elemen dasar dari evotifi/ovi/ ,audioisual, yang
sebenarnya kontaprodukti dengan elemen ra.iovatte/.tvat yang menjadi dasar dari urnalistik cetak.
Nilai dari inormasi bukan lagi hadir dalam pesan yang disampaikan, namun lebih pada kemasan
yang dibuat.
acob Oetama
16
menyatakan bahwa :
Inormasi dalam panggung media dewasa ini adalah inormasi yang
bekerja dalam panggung yang penuh persaingan dan perebutan atensi. Bukan
saja adu keras suara, juga adu menarik. Demikianlah panggung media juga
merupakan panggung tontonan. Kecuali menarik juga menghibur. Serba
entertainment, serba celebrity, serba populer bahkan ulgar. Inormasi dikemas
sebagai inotainment, edukasi sebagai edutainment, komersial sebagai
inomercial.`
Intrusi dari jurnalistik isual dalam tradisi jurnalistik cetak ini telah melahirkan suatu
pendekatan baru, yang disebut dengan Mcournalism. Mcournalism sebagai terminologi teoritis
diperkenalkan oleh George Ritzer ,1993, yang mengambil istilah dan ilsaat dari McDonald, sebuah
restoran fa.tfooa waralaba jaringan internasional.
14
Opci9. Hal.16
15
Logci9, al.9
16
Jacoeb Oe9ama, Powering The Media Dynamics, Kompas, 17 Mare9 2005
Ritzer memperkenalkan konsep McDovati.a.i ,untuk merujuk konseptualisasi teori,,
Mc]ovrvati.v ,untuk merujuk gaya jurnalistik, dan Mcaer ,untuk merujuk koran bergaya tabloid
,broaabtoia).
Akar pandangan Ritzer tentang McDovatai.a.i ini dapat ditelusuri melalui pemikiran-
pemikiran Max \eber yang menyinggung tentang Modernitas dan proses rasionalisasi di masyarakat.
.Max \eber dalam seminar tentang modernitas, menyebutkan bahwa rasionalisasi
merupakan tipikal dari masyarakat modern, cerminan dari masyarakat industrial dan kapitalis yang
menuntut penjelasan dan alasan rasional disetiap keputusan yang diambil dalam lingkup kehidupan
sosial manusia.
\eber berpendapat bahwa rec/ratiovatitat atau rasionalitas intrumental` sebagai model
rasionalitas tradisional,teknikal merupakan pusat dari setiap bentuk rasionalisasi. Rasionalitas
intrumental menitikberatkan pada ekspektasi-ekspetasi ,pengharapan, yang dapat dikuantiikasikan,
termasuk dalam tradisi ilmiah akademik yakni objektiitas.
Bahwa setiap sesuatu harus dapat dikuantiikasi, distandarisasikan guna mendapatkan hasil
yang sama bagi setiap orang. Rasionalitas intrumental berbeda dengan Rasionalitas nilai ,ratve
ratiovatit,, rertratiovatitat) yang berorientasi pada kesadaran atas nilai.
1
Modernitas meniscayakan rasionalitas instrumental atau objektiitas sebagai matra
masyarakat kapitalis, merasuk pada etika produktiitas protestan dan mengatarkan proses kemajuan
sains dan teknologi.
18
Sementara penetrasi Rasionalitas Instrumental dalam dunia akademik-ilmiah
tidak saja terjadi di ilmu-ilmu sains,eksakta dan teknologi, namun telah merasuk pada disiplin ilmu-
ilmu sosial. Immanuel \allerstein menyinggung kondisi ini dalam buku berjudul Oev 1be ociat
cievce; Reort of Cvtbev/iav Covvi.iov ov tbe Re.trvctvrivg of 1be ociat cievce ,1996,.
19
Selanjutnya \eber menandai abad ke 20 dengan kalimat :
No one knows who will lie in this cage in the uture, whether new
prophets will arise, or there will be a great rebirth o old ideas and ideals, or, i
neither, mechanised petriication, embellished with a sort o compulsie sel-
importance. lor the last stage o this cultural deelopment, it might well be
truly said: Specialists without spirit, sensualists without heart: this nullity
imagines that it has attained a leel o ciilisation neer beore achieed`
20
17
Bob Franklin, 2005, al.3
18
Un9uk kajian 9en9ang 'E9ika Pro9es9an dapa9 di9elusuri
19
Versi Baasa Indonesia, 'Lin9as Ba9as Ilmu Sosial (peny:Budiawan) di9erbi9kan ole LkiS Yogjakar9a, Ok9ober
1997
20
Weber dalam Bob Frankin, 2005, al.3
George Ritzer ,1993, mentengarai rasionalisasi masyarakat seperti dalam pandangan
\eberian terus berlangsung dan semakin intensi terjadi. Ritzer kemudian memberi istilah
McDonaldisasi untuk menggambarkan proses kontrol yang tinggi, birokratis dan menaikan nilai-
nilai kemanusiaan.
Masuk dalam sebuah restoran fa.tfooa, pengunjung akan disambut dengan senyum pramusaji,
senyum yang bukan berangkat dari ketulusan, tetapi senyuman hasil latihan keras dan berbulan-
bulan. Desain interior dan eksterior yang atrakti dan sebanyak mungkin menggunakan bahan kaca
tembus pandang, mempunyai maksud menarik pengunjung untuk datang dan memesan makanan
cepat saji atau sotdrink. Sementara kursi dan meja didesain tidak nyaman supaya pengunjung dapat
menghabiskan menu makanannya secara cepat dan segera keluar.
Standarisasi yang ketat juga diterapkan pada menu makananan, bahwa membeli burger di Mc
Donald Singosaren, Solo akan dijamin persis sama ketika membeli burger tersebut di Mc Donanld
Downtown, Singapura. Mulai dari ukuran kentang yang digoreng, jumlah bumbu sampai berapa
menit burger tersebut harus dipanggang.
Selajutnya Ritzer
21
mengungkapkan bahwa :