You are on page 1of 39

Indonesia di Mata Penyair, Antologi Puisi

Terbitan kedua dalam format buku elektronik dirilis di bawah lisensi Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License kerjasama Multimedia Jakartabeat.Net dengan KOPI Sastra, April 2011 http://jakartabeat.net http://festival.kopisastra.org

Penyunting: Moh. Ghufron Cholid Desain Sampul: Ananda Nazief Penata Letak: Pry S

Karya ini bebas diakses dan disebarluaskan untuk kepentingan non komersial. Dilarang memperjualbelikan, meniru dan memodifikasi sebagian atau keseluruhan buku elektronik ini tanpa seizin panitia penyelenggara buku Indonesia di Mata Penyair.

Kata Pengantar
Moh. Ghufron Cholid

lhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah menciptakan segala makhluk dengan bentuk yang sempurna. Yang telah memberikan karunia kepada kita sehingga ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI

MATA PENYAIR bisa kita nikmati bersama kehadirannya. Antologi Puisi ini digarap mulai bulan Juli hingga Januari 2011, agar menghasilkan karya yang berkualitas. Menghasilkan pandangan tentang Indonesia dari segala aspek. Membaca ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR, kita sebagai anak bangsa Indonesia bisa mengetahui wajah Indonesia dalam puisi di Mata Penyair. Julukan penyair pada hakekatnya sudah bisa disandang oleh seseorang setelah menulis puisi, dalam arti yang sangat sempit. Sedangkan penyair dalam arti yang sangat luas, apabila karya puisi yang telah ditulis
Indonesia di Mata Penyair

diakui oleh khalayak ramai. Oleh karena itu, layak tidaknya sebuah karya biarlah pembaca yang menilai. Nilai yang dimaksudkan di sini adalah nilai dalam pandangan manusia sedangkan nilai dalam pandangan Tuhan, kembali pada niat manusia dalam melakukan segala sesuatu. Tak ada gading yang tak retak. Begitupun dengan ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR sebab ini hanyalah karya kami selaku manusia, yang takkan pernah bermakna tanpa karuniaNya. Oleh karena itu, segala hal menyangkut isi tulisan ini, bisa ditanyakan langsung kepada penyairnya, atau bisa juga ditanyakan langsung kepada saya (selaku ketua penyelenggara). Apabila dalam ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR ada isi yang kurang berkenan, semua timbul dari kecintaan para penyairnya terhadap Indonesia. Rasa cinta inilah yang menimbulkan puisi-puisi di dalamnya lahir. Puisi-puisi yang menyuarakan nurani penyairnya. Ada juga karya penyair Malaysia dan ada pula karya anak bangsa yang telah merantau ke Taiwan. Aku perantau,/Melelang pedih yang menyala/Demi harapan dan cita-cita (bait terakhir PADA TANAH RANTAU) ditulis oleh Zahra Zhou. Puisi ilustrasi yang menggambarkan keadaan bangsa di tanah rantau. Terimakasih atas segala partisipasi para penyair atau yang tak mau disebut penyair dalam membantu menyukseskan ANTOLOGI PUISI INDONESIA DI MATA PENYAIR, walau setelah berusaha berulangkali mengirimkan naskah selalu dikembalikan dan diadakan pembenahan, semoga Allah yang membalas segala kebaikan seluruh sahabat. Karena mengingat pentingnya naskah ini untuk diterbitkan kembali, maka saya selaku ketua penyelenggara pembuatan Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair akan menerbitkan dalam bentuk online di situs yang berbeda dari situs online pertama yakni evolitera.co.id lantaran situs ini tidak bisa diakses oleh seluruh sahabat dari berbagai negara.

Indonesia di Mata Penyair

Sekedar informasi buku elektronik ini diterbitkan di evolitera.co.id tepat 12 Februari 2011 dan akan diterbitkan di situs jakartabeat.net juga pada PerpustaKOPI dalam Festival KOPI Sastra 2011. Dalam penerbitan online kedua ini ada sedikit perubahan biodata penulis. Akhirnya selamat membaca dan selamat mengapresiasi. Semoga bermanfaat.

Al-Amien Prenduan, 1 April 2011 Hormat Ketua Penyelenggara Moh. Ghufron Cholid

Indonesia di Mata Penyair

Muna Yuki Sastradirja AKU TULIS UNTUK KAMU Merapi tetap merendah ditengah pulau Jawa. Diantara hiruk pikuk kepadatan manusia. Rumor hujan meteor menyajak kerentaan semesta. Tak kentara namun terasa dalam kidung nalar. Seukuran hati berserenade jiwa. Krakatau tetap tenang tak galau. Ditengah laut ujung barat pulau Jawa. Seakan tak ingin terusik dari kebisingan racau. Dalam senyawa stigma politik. Alam membuat tempat perenungan. Untuk mengumandangkan kearifan semesta. Bumi yang tua tampak bungkuk. Menahan beban manusia. Menopang rumusan limbah dan polusi. Tetap bijak menerima mayat untuk dikuburkan. Meskipun kotoran terserak ditanah. Walaupun lumpur sampah setia mengalir. Langit menyenja biru dongker. Awan merenta putih kecoklatan. Matahari sebegitu menyengat isi kedalaman diri. Rembulan meraut kegamangan malam. Untaian tautan hidup bergeser jarak keyakinan. Antara batasan ada dan tiada ada. Manusia berusaha mengekalkan wujud impian. Antara dimensi hamba dan Tuhan. Manusia menjadi pembatah yang nyata. Terang berarak menuju gelap. Keresahan sudah terbiasa berada dalam hati. Kegelisahan sudah melarut setiap jarak pandang.
Indonesia di Mata Penyair

Manusia lahir. Manusia hidup. Manusia mati. Fase-fase kisi-kisi nafas. Mencerna kesaksian perjalanan indera. Dari masa ke masa. ------------------------Jakarta, 05 Mei 2010

Indonesia di Mata Penyair

Syarif Hidayatullah TENTANG MADURA YANG KUTINGGALKAN Setiap angin jadi bisik Membawaku pada ribuan risik Saat gerimis dan kumulai berlari-lari Di antara jari-jari kemarau Yang kukunya terkelupas jadi pepadi Di segala pematang Kuhirup kerinduan Kuhirup harapan Pada nafas-nafas yang cerutu Pada segenap tangis yang terkubur Di nisan-nisan bebatu Perempuan yang mengelok pada lukisan hujan bebukit gersang tiba-tiba hilang di antara nafas tembakau yang perawan Jalan-jalan kecil Seperti pipi lesung ibuku Mengalirkan air perlahan Menelan jejak-jejakku Mirip perpisahan Yang ditunjukkan Tuhan Di mimpiku yang masih kanak Dan kini kian nyata Saat hujan menghantarkanku ke bilik-bilik waktu Dan menjauhkanku pada drama hujan yang kurindu itu Sebagian petaka melahirkan air mata Sedang perpisahan itu bagian dari air mata Dan ini kuanggap sebagai petaka

Indonesia di Mata Penyair

Zahra Zhou PADA TANAH RANTAU : gadis buruh migran Tahun beku di tanganku Tak mampu mengeluh walau telah kuperas langit Hingga bintang-bintang hanyalah sinarMu Najis-najis mengental seluas sajadah Doa doa teronggok di jalanan: Rindu menyayat air mata ibu Aku perantau, Melelang pedih yang menyala Demi harapan dan cita-cita Jubei, januari 2011

Indonesia di Mata Penyair

Isbedy Stiawan Zs PANTAI KUTA Mungkin kau akan tenggelam dan hanyut Ombak yang deras ini akan memagut Menghitung hari-hari Dengan jemari legam Sebelum selancar melarung Ke laut paling ulung Kecuplah pasir-pasir pantai Tubuh-tubuh yang telentang Mabuk yang tak kepalang Masuk ke dalam ingatan Entah pada hitungan ke berapa Kau akan kembali ke tepi pantai Atau tenggelam di dalam gulungan pasir Yang tiba-tiba meledak Lantakkan seluruh kota-surga Yang diimpikan dunia Dan ledakan itu Akan sampai ke tubuhmu Dan aku tak bisa pulang Kuta 1998/2002. lampung 2002

Indonesia di Mata Penyair

10

Acep Zamzam Noor CIPASUNG Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu Cangkulku iman dan sajadahku lumpur yang kental Langit yang menguji ibadahku meneteskan cahaya redup Dan surauku terbakar kesunyian yang dinyalakan rindu Aku semakin mendekat pada kepunahan yang disimpan bumi Pada lahan-lahan kepedihan masih kutanam bijian hari Segala tumbuhan dan pohonan membuahkan pahala segar Bagi pagar-pagar bambu yang dibangun keimananku Mendekatlah padaku dan dengarkan kasidah ikan-ikan Kini hatiku kolam yang menyimpan kemurnianmu Hari esok adalah perjalananku sebagai petani Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur

Indonesia di Mata Penyair

11

Sufi Akbar KADO Di pagi hari yang mengigil, berkabut selimut kedinginan Menginjak kakiku di tanah penuh luka Buta mataku akibat dokter salah praktek Protespun kalah akses dan upeti Hingga telingaku seperti radar deteksi Suara menajam Tajamnya suara pagi hanya tangisan Ibu tercekik hutang rentenir Dan Ayah bagi mereka adalah sapi perahan Diperas keringatnya membangun bangunan asing Teringat kata ayah aku terasing disani nak ! Melihat mereka mengipas kertas dolar hasil panen dari bumi pertiwi Sedang bapak kipasan sisa koran kumal Kami berkumpul Aku, ayah, ibu, paman, dan adikku Yang kebetulan lahir bulan agustus Ingin belikan kado, Hanya saja Ibu lahir sesuai hari kemerdekaan, tetapi layu Akibat kantong dompet berlumut Menunggu uluran bantuan kaum berdasi Tibatiba paman berijasah sarjana Dari perguruan kelewat tinggi Hingga salah sistem Dengan muka cemberut berkata lihatlah orang pandai tapi ternyata bodoh Ayah bertanya heran karena tidak berpendidikan : Dimana bodohnya ? Paman menjawab keras hati menjerit : Kita ternyata dianggap angka tanpa ekspresi,
Indonesia di Mata Penyair

12

Hingga menambah kerumitan Ayah menjawab dengan pasrah : Sudahlah kita hanya orang kerdil yang dikerdilkan ! Ternyata ayah pindah profesi jadi petani Keluar dari pintu tanpa cahaya Hanya pacul dan caping yang digunakannya, Beralasan Dari pada membangun bangunan asing untuk orang asing Lebih baik memacul tanah sendiri, dan Menunggu musim panen Sedang aku bermimpi Kapan aku bisa belikan ibu mesin jahit Berharap tangan halusnya Menjahitkan seragam merah putih :untuk adikku Dan menjahit bendera merah putih Agar kampung kami dipenuhi warna merah putih Kini ibu terkapar Digerogoti kanker yang menjalar Di meja kayu yang terus melapuk Jangan kuatir, Ibu Aku akan keluar dari pintu Tanpa cahaya untuk merasakan kehangatan cahaya Berjuang Walau buta!

Indonesia di Mata Penyair

13

Ahmad Khamal Abdullah KASYAF DANAU

Kupinjami matamu untuk menatap sisisegi rohaniahku. Menatap puingbudi, puing kasih yang tersimpang entah ke mana, menatap zarah kejadian lagi ajaib, kupinjami kedip nafas dan erangakrab yang menjulurkan makna hidup, kupinjami riak dan kecipak sirip bawal putihyang menolak muslihat sedetik, akal jahat manusia, karang berbungkuslumut hijau, krikil tajam yang tersembunyi. Wah, mustika mimpi yang kangen pada Putri Duyung. Dapatkah kau membalut nestapa yang tersangkut pada suara gemetar halus puisi pandak di malam itu hingga kubawa langsung dalam pulas tidur kembara. Kupinjami kehalusanwatak, kemesraan janji, kemestian diri, keayuan seloka, maka akumelihat diriku di segenap lapangan dan ruang. Adakah ini Kerajaan Airyang tak pernah kulalui? Kau menggumam diriku atau maknaku? Kaumenatap takjub diri atau reda diri? Maka kupinjami adab yang kucumbudari tegur pertama, dari sapaan pengelana. Adakah jalan yang takterintis? Maka kau berpergian jua? Adakah waham di tengah Majlis?Maka kau kehilangan kasih? Kupinjami suara mersik bagi menafsirHikayat dan pantun para leluhur. Negeri kita di sekitar danau ini,negeri kita yang takpernah kita pinggirkan walau seliang roma,kupinjami sikap kesayanganmu pada kesenian kata. Aku terpikat denganamsal dan kias! Rindu Danau pada penyair yang pulang ke desanyasetelah jauh memapasilangit. Rindu penyair terhadap danaunya selepas danau sekian waktutergigil sepi. Aku hamparkan seluruh kedanauanku untukmu! Dan,sudahkah kau kecapi keindahanku? Inilah cahaya yang datang waktuhampir litup dadaku.Akulah Danau yang menatap Danaumu. Dalam rindu dan tunduk tersipu.

Indonesia di Mata Penyair

14

Soni FARID Maulana POST CARD KAKI LIMA 1 Kabut masa depan membayang di hadapan Badai dolar hitam merubuhkan ribuan pabrik Pohonan tumbang bukit-bukit longsor Kapal tenggelam dihantam gelombang lautan Masa depan. Masa depan, adakah bunga Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah? Demikian aku dengar nyanyian si miskin Di gelap malam di ujung gang paling kelam Sedang jeruri besi membuka dan menutup Bagi si koruptor kelas teri Yang luput menangkap kelas kakap Masa depan. Masa depan, adakah bunga Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah? Demikian aku dengar nyanyian si miskin 7 Kini aku sampai di sebuah langgar Yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar Aku dengar seseorang mengaji Dengan suara lembut orang suci Yang Maha Kudus selamatkan negeri kami Dari marabahaya kaum teroris yang haus Darah. Selamatkan iman kami dari godaan Duniawi. Yang Maha Kudus sucikan kami! Detik jam kembali berdenyut di urat darah
Indonesia di Mata Penyair

15

Dan aku dengar suara itu, nyanyian itu Masa depan. Masa depan, adakah bunga Yang kelak rekah seharum, o, sewangi rupiah? Remang cahaya bulan di telam kabut malam Segala doa dipanjatkan menyeru Tuhan 2008 Diambil dari Mengukir Sisa Hujan, (Ultimus, 2010)

Indonesia di Mata Penyair

16

Muhammad Zainon INDONESIA DALAM PUISI Akulah negeri kaya Yang tiada terhingga kekayaannya Tanda-tanda kehidupan lautku melimpah Subur makmur gemah ripah loh jinawi Malam hari para sufi memohon kepadamu Tuhan Agar indonesia negeriku tetap dalam naungan panca sila Al-Amien, 2010

Indonesia di Mata Penyair

17

Retno Handoko PERJANJIAN PARA PEJUANG Tanah ini masih saja mendung Sepertinya tak berujung Malah deras hujan makin tampak mengancam Langit kelam, hitam Tanah ini bekas perjanjian para pejuang Darah hanyalah keringat yang terbuang Merdeka atau mati! Maka kami mati Tanah ini pernah muda, pada tahun kampret Bungabunga jatuh Di tanah basah Menyisakan batangbatang penuh lumut Semrawut Kemarin, tanah ini tanah perjanjian Tertulis berjuta harapan bergambar boneka Hari ini, tanah ini tanah serapahan Tertulis maki pada nafas cacingcacing yang bergelinjang --------------------------------------------------------------

Indonesia di Mata Penyair

18

Dimas Arika Mihardja NURANI, GARUDA ITU UDARA merdeka, udara mereka dihirup oleh berjuta mulut menganga. Nurani semakin tua. Ia terbatuk-batuk oleh segala bentuk pembangunan yang menyalahi aturan. Daerah Aliran Sungai tumbuh plaza, hypermarket, dan kondominium sementara di bawahnya gembel-gembel, gelandangan, dan anak jalanan menjolok bulan yang kusam. Pembangunan ekonomi yang gila-gilaan membawa bangsa ini menjadi konsumtif. Segala sesuatu diukur dengan ukuran limpahan materi. Cuaca senja menjadikan Nurani semakin tua, bungkuk, dan tersaruksaruk jalannya. Ia membayangkan jembatan dan jalan yang dulu ia bangun dengan gotong royong meneteskan keringat dan darah oleh kaki yang luka, ikhlas menyerahkan sebagian dari tanah dan airnya kini meruah airmata bangsa yang mengais nasib di seelokan dan tumpukan sampah pembangunan. Nurani semakin tua dan merasa sia-sia memanjatkan doa. Burung-burung senja kembali melintas di atas mega. Garuda masih berpaling ke kanan dan di dadanya tergantung perisai yang penuh dengan simbol-simbol. Garuda itu terbang menembus mega, melabrak awan berarak, terbang bebas mengepakkan sayap-sayap keperkasaan. Nurani berbisik dalam hati, akulah garuda yang melintas mega. Aku terbang menembus gumpalan awan menuju sarang keabadian. Ya, Allah jadikan sayapku perkasa mengepakkan doa-doa purba. Jadikan bulubulu di sekujur tubuhku sebagai rindu anak-cucu. Izinkan kini aku terbang menuju pulang ke sarang. Telah kulewati musim-musim pancaroba dan kini senja telah tiba. Aku terbang menuju Gerbang Istana-Mu, mengepakkan sayap-sayap rindu. Garuda itu kini terbang di keluasan hatiku. Darahku berdeburdebur,menggelombang menerjang karang-karang kehidupan yang keras. Dinding-dinding dadaku menyatu dengan langit biru, menyimpan segala rindu. Bengkel Puisi Swadaya Mandiri Jambi 19 juli 2010

Indonesia di Mata Penyair

19

Kirana Kejora GARUDA PERTIWI Akulah sang pengembara yang tak miliki pagi,siang,malam... Bilangan masa bagiku sama saja... Elang sang pengembara sejati, kembali dengan bekal yang cukup tinggi Air mata darah itu makin mengiris semua lara... Kesakitan yang teramat sangat... Ku terbang tinggi melibas kabut langit melalukan badai! Paruhku mencium sesuatu Bau apapun cinta itu akan kuat jika berasal dari kuilNYA Sebilah rindu menyembelih membabit! Pencapain itu baru dimulai Masih belum selesai... Dan sepertinya tak akan pernah selesai karena setiap helaan nafas adalah obsesi..... Mimpi-mimpi yang harus terbeli.... Lelaki tanpa senyum Berdiri bak patung Matanya membuang pandang sangat jalang Bicarapun jarang Sekali bicara, ia bak singa lapar.... Liar, gahar Sangar mengaumkan kekecewaan pada gurun yang telah diberinya oase sekian banyak... Peluhnya tak terbayar! Jangan salahkan ia jika harus menjadi pembunuh berdarah dingin Boleh saja kau bersyair sedih..kecewa..lara apapun yang buruk-buruk itu.. Namun ungkapkan dengan sejatinya lelaki! Meski dengan air mata tertahan Kalau perlu jadikan batu air mata darahmu itu! Lalu lelaki itu datang lagi Ia kembali untuk menggugat..menggugah..menggubah...mengubah bangsa dan negeri ini Ia tak pernah berhenti terbang...rela mengorbankan hatinya...cintanya
Indonesia di Mata Penyair

20

buat sebuah pilihan!... Menerjang kabut,melibas savanna kering, melintas pasir panas yang berbisik... Memburumu atasNYA Sayap-sayap baja yang kuat buat bangkitkan bangsa yang makin lemah ini.. Ia membela ibunya Pertiwi yang kian hari menangis darah! Ia dengan paruh tajamnya akan mematuk mata-mata kalian! Para pendurhaka pertiwi...ibu kita yang tak lagi kuasa menahan air mata darahnya... Merdekalah jiwa-jiwa! Ia telah datang dengan sebentuk cinta yang sungguh untuk sebuah pembaharuan! Geliat liat tubuhnya dan tubuhku Adalah pemberontakan liar yang segera menggempur kau pengkhianat negeri! Menteng Dalam Jakarta, 23 Mei 2010, buat laskar elang!

Indonesia di Mata Penyair

21

Irfan Firnanda JEJAK DIRI (Muntok Bangka; Giri Sasana Menumbing) Napak tilas nenek moyang Tubuh tubuh pendiriku lampau melayang Kala timah timah menyusupi tongkang Penjajah harus mereka tentang Jejak muntok sebelah barat bangka Kesaksian bangunan tua Giri sasana menumbing merenta Tempat pengasingan sang proklamator terlupa Setelah melepas sejarah kala Jejak mencari arah, Kerusakan alam dan iklim menjadi wacana Manusia enggan membaca bencana Pencurian, pencemaran dan vandalisme hanya menjadi bahana Mereka bangga, kala coretan liar memenuhi wahana Indonesia tak menangis Serumpun leluhur tak lagi menitis Kemandirianlah yang harus merintis Susuri tapak tentang jejak diri yang terbingkis 2010 Irfan Firnanda

Indonesia di Mata Penyair

22

Bahana Sang Pelangi SALAMKU PADAMU WAHAI PERTIWI

PADA BUJUK SANGKA KUREMAS BINGKAI NURANI PADA RESAH AMARAH KUGENGGAM ASA TAK BERBILANG MUNGKIN PADA RASA AKU BERPIJAK PADA ANGKARA MUNGKIN PADA SEMBILU AKU MENGAJAK RINAI MURKA GILA ... BODOH ... MARAH ... SEDIH ... ADA SEGENGGAM BUIH DALAM DARAH MENGALIR PASTI PENGAKUANKU ATAS DETAK-DETAK NADIKU PILU ADA SEGELINTIR DEBU DALAM NAFAS MENGALIR PASTI KEADAANKU ATAS DESAH-DESAH LELAH RESAH HIJAUKU TAK LAGI HIJAU BIRUKU TAK LAGI BIRU KUNINGKU TAK LAGI KUNING NAMUN HITAMKU BERTAMBAH HITAM ADA APA PERTIWIKU ADA APA NUSAKU ADA APA NURANIKU ADA APA ... TELAH KUTANYAKAN PADA DASAR LAUT JAWA TELAH KUTANYAKAN PADA PUNCAK GUNUNG BAWAKARAENG TELAH KUTANYAKAN PADA BURUNG CENDERAWASIH TELAH KUTANYAKAN PADA RIAK SUNGAI MAHAKAM TAK ADA YANG MENJAWAB TAK ADA YANG BERKOMENTAR TAK ADA YANG BERKATA DAN BAHKAN SEMUA HANYA MEMBISU
Indonesia di Mata Penyair

23

HUFFHHH HARUSKAH KUTANYAKAN PADA PUNCAK MENARA EIFFEL HARUSKAH KUTANYAKAN PADA KOKOHNYA GEDUNG PUTIH HARUSKAH KUTANYAKAN PADA BUKU-BUKU YANG BERSERAK DI QOM HARUSKAH KUTANYAKAN PADA TINGGINYA MOUNT EVEREST BODOH AKU .. GOBLOK ... DUNGU AKU ... TOLOL HA ... IYA ... LEBIH BAIK KUTANYAKAN PADANYA SEKUMPULAN OMBAK YANG MENGHEMPAS ACEH SEKUMPULAN AWAN PANAS YANG MENARI DI MERAPI SEKUMPULAN AIR YANG MENGGENANG DI JAKARTA ATAU PADA SEKUMPULAN TANGIS BAYI YANG DITEMUKAN DI TONG SAMPAH AKU CERDAS AKU HEBAT AKU BRILLIAN DAN AKU TERTAWA ATAS KECERDASANKU YANG TAK TERHINGGA SALAM ATASMU DIMANA AKU BERPIJAK SALAM ATASMU DIMANA LANGIT KUJUNJUNG SALAM ATASMU BUNDA SALAM ATASMU PERTIWI

Indonesia di Mata Penyair

24

Badut PC KEMBALIKAN PARU-PARU BANGSAKU

Aku sudah bosan dengan aroma tulisan : Anyirnya darah Bagaimana jika ku ganti suasana lukisan : Air dan tanah Ah, selalu saja kita menghasilkan luka goresan : Banjir yang parah Manusia, Kembalikan laut dan hutanku! 10 Januari 2010

Indonesia di Mata Penyair

25

Noer Komari MENATAP INDONESIA Kucoba naik ke ujung puncak Merapi Dan menatap Indonesia Ternyata semua masih berabu kelabu Kucoba mendaki ke puncak tertinggi Bromo Dan menatap Indonesia Ternyata semua masih berpasir debu Kucoba naik ke puncak es Jayawijaya Dan menatap Indonesia Ternyata semua masih putih membatu Kucoba naik ke puncak Monas Dan menatap Indonesia Ternyata semua masih telanjang malu NK, Bjb, 15 Jan 2011

Indonesia di Mata Penyair

26

Jumardi Putra MENTAWAI Mentawai porak poranda Gamang membayang Tetapi Pilu tak boleh menggurita Kami mesti berlayar menebar jala di samudra asa

Indonesia di Mata Penyair

27

Ummi Hasfa ADA SURGA Ada surga di negeriku Andai malaikat - malaikat kami tak pergi dan mati muda Atau dibunuh Kreasi dan inspirasinya.

Indonesia di Mata Penyair

28

Nero Taopik Abdillah PUISI UNTUK BOEDI Bagaimana kabarmu Boedi? lama kita tak bersua Aku ingin mengenang puisi yang pernah kita bacakan sebagai tanda kesetiakawanan Di sebuah padang yang kemudian kita kenal sebagai medan perang Sebuah padang kembang yang merah yang putih yang merah putih yang merah darah yang putih tulang. O, kenangan Padang telah menjadi kebun ilalang. Kampung kita sudah tak punya cukup ruang untuk menanam kembang, sedang engkau menua dalam denyut kota Pernah aku cari engkau ke gunung-gunung ke laut ke goagoa ke langit-langit pertobatan hingga ke sela-sela lumut. Kemudian aku hanya mencium baumu. Katanya engkau sakit :sakit apa yang kau idap Boedi? Boedi engkau adalah aku, adalah tubuhku, adalah kekasihku Sebelum kusudahi hidup ini, sebelum aku gantung diri atau sebelum aku mati suri Izinkan aku bertanya : kapan engkau bereinkarnasi menjadi aku menjadi tubuhku menjadi kekasihku. Menjadi merah menjadi putih menjadi merah putih menjadi merah darah menjadi putih tulang. Kau tahu Boedi Aku ingin menjadi matamu yang bulat hitam Lalu membaca puisi, menanam kembang di kampung ibu. Tasikmalaya, November 2010

Indonesia di Mata Penyair

29

Ach. Nurcholis Majid ABRA KADABRA FULUSA Semalam, sepotong ranting lepas dari pohonnya. Ia bunuh diri di malam yang gelisah, saat bulan kehilangan gairah dan luluh dalam kelam. Ada kemelut yang tak menemukan dingin dan tak menemukan peraduan, ia adalah negeriku tanah bagi darah dan tulang-belulangku. Semakin hari semakin kabur cuaca di negeriku, ia menjadi sebuah ruang kosong dengan sekian penyihir tanpa rumah gelisah dan belas kasih. Karenanya, siapapun boleh berlaku dengan hajat apapun ia inginkan. Boleh membuat gemeratuk untuk mengesankan gigil, menyalakan api kemudian membakar pasar-pasar, untuk mengusir pedagang yang gelisah tanpa mata uang tetap. Sudah tidak ada cuaca yang asli di negeriku. Angin hampir purna, embun hampir tiada, tetapi bulan terus dimatikan berulang-ulang. Penyihir telah merobek-robek poster-poster kebenaran dengan angkuh. Caranya sudah pasti, menciptakan poster-poster kecantikan dengan abra kadabra fulusa. Ah, negeriku, setelah terbangun dari tidurku, kau hanya menjadi sekumpulan batu, tanah dan gununggunung yang angkuh. Matahari pecah telah menjadi percikan api.

Indonesia di Mata Penyair

30

Moh. Ghufron Cholid AKULAH BHINEKA TUNGGAL IKA Akulah bhineka tunggal ika Ruh dari segala raga Udara dari segala nafas Indonesia Beriring ridhaNya Kamar Hati,2011

Indonesia di Mata Penyair

31

Biodata Penyair

Muna Yuki Sastradirja, lahir 27 April 1980. Kini tinggal di Jln Petamburan VII, Rt. 009/06 No. 21 Kelurahan Petamburan Kecamatan Tanah Abang. Kode Pos 10260. Jakarta Pusat. No 021 95113933 Syarif Hidayatullah menulis puisi dan cerpen di berbagai media massa. Karyanya tersebar di berbagai antologi seperti Dian Sastro For President End Of Trilogy (On Off, 2005), O. De (Sanggar Sastra Al-Amien, 2005), Mengasah Alif (Sanggar Sastra Al-Amien, 2005), Perempuan Joget Hutan (Sanggar Sastra Al-Amien, 2006), Kumpulan Cerpen Terbaik Lomba Menulis Cerpen 2008 (INTI DKI Jakarta, 2008), Antologi Puisi Berbahasa Daerah (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat, 2008), antologi puisi sampena pertemuan penyair nusantara ke-3 Kuala Lumpur, Rumpun Kita (PENA, 2009), Bukan Perempuan (Grafindo, 2010), Puisi Menolak Lupa (Obsesi, 2010), Berjalan ke Utara (ASAS, 2010), Orang Gila yang Marah pada Tuhannya (Sanggar Sastra Al-Amien, 2010), Si Murai dan Orang Gila (KPG, 2010), dan Empat Amanat Hujan (KPG, 2010). Zahra Zhou, memiliki nama lengkap Zuhrotul Makrifah binti Abdul Hamid. Lahir di Kendal, tanggal 12 oktober 1989. Menyelesaikan pendidikan di SMA 1 CEPIRING pada tahun 2007 dan bekerja sebagai perawat orang jompo di Taiwan sejak januari 2008-2011 demi meraih cita-cita. Berdomisili di No. 480 sec. 1 Sanfong Road Baoshan Township Hsinchu County 30844

Taiwan(ROC) sementara domisili di Indonesia di Dk. Raharjo Ds. Lebosari Rt. 01 Rw. 07 Kec. Kangkung Kab. Kendal Jateng 51353. Isbedy Stiawan ZS. Saya lahir di Tanjungkarang, Lampung pada 5 Juni 1958 dan hingga kini masih menetap di kota yang sama. Saya merupakan anak keempat dari delapan bersaudara pasangan Zakirin Senet (alm) bersuku Bengkulu dan Ratminah (Winduhaji, Sindanglaut, Cirebon). Saya memiliki lima anak dan dua cucu, buah perkawinan dengan istri tercinta, Adibah Jalili. Anak-anak saya: Mardiah Novriza (26), Arza Setiawan (24), Rio Fauzul (21), Khairunnisa (15), dan Abdurrobbi Fadillah (9) Menjadi pengarang adalah pilihan hidup saya. Selain menulis karya sastra (cerpen, puisi, esai sastra), kini saya aktif di Dewan Kesenian Lampung dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lampung. Pernah diundang ke berbagai pertemuan sastra dan budaya di Tanah Air dan luar negeri seperti Malaysia, Thailand. Sempat membacakan puisi-puisinya di Utan Kayu Internationan Binnale (2005), Ubud Writers and Readers Festival (2007), dan lainlain. Karya-karya sasya dipublikasikan di Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Pembaruan, Jawa Pos, Suara Merdeka, Sinar Harapan, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Republika, Horison, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Radar Lampung, Riau Pos, dll. Acep Zamzam Noor dilahirkan di Tasikmalaya, 28 Februari 1960. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di lingkungan Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya. 1980 menyelesaikan SLTA di Pondok Pesantren AsSyafiiyah, Jakarta. Lalu melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Seni Lukis Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (1980-1987). Mendapat fellowship dari Pemerintah Italia untuk tinggal dan berkarya di Perugia, Italia (1991-1993). Mengikuti workshof seni rupa di Manila, Filipina (1986), mengikuti workshop seni grafis di Utrecht, Belanda (1996). Mengikuti pameran dan seminar seni rupa di Guangxi Normal University, Guilin, dan Guangxi Art Institute, Nanning, Cina (2009).Sebagian puisinya sudah dikumpulkan antara lain dalam Di Luar Kata (Pustaka Firdaus, 1996), Di Atas Umbria (Indonesia Tera, 1999), Dongeng Dari Negeri Sembako (Aksara Indonesia, 2001), Jalan Menuju Rumahmu (Grasindo, 2004), Menjadi Penyair Lagi (Pustaka Azan, 2007) serta sebuah kumpulan puisi Sunda Dayeuh Matapoe (Geger Sunten, 1993) yang menjadi nominator Hadiah Rancage 1994. karya-karya puisinya diterjemahkan kedalam berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Portugal dan bahasa Jepang serta bahasa Arab. Kini
Indonesia di Mata Penyair

33

Acep tinggal di kampungnya, Cipasung, lima belas kilometer sebelah barat kota Tasikmalaya. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Komunitas Azan seraya menulis. Sufi Akbar adalah seorang penulis novel SAIFULOSOFI, kuliah di FMIPA jur Farmasi UII Yogyakarta, latar belakang hidupnya inilah yang menginspirasi melahirkan puisi berjudul KADO. Ada pun karir yang dijalaninya yakni, seorang Sekjend Komisariat PMII UII Yogyakarta,Ketua Komisariat PMII UII Yogyakarta, Bendahara PMII DIY. Karya lainnya bisa dibaca di sang-sunyi. blogspot.com. Kalau ingin lebih mengenal penyair bisa menghubunginya via email:gussufi@yahoo.com atau cp:083869944862. Ahmad Khamal Abdullah adalah seorang Dato Dr Kemala, poet and literary professor at University Putra Malaysia; President of MCLA since 1993. He read poems at iip 2002 and also at world poetry festivals.He was fellow of IWP, Iowa University, US in 1993.Pemenang SEA Write Award (1986); gelar pujangga dari Universiti Pendidikan Sultan Idris, Tanjung Malim(2003); menerima Anugerah Abdul Rahman bin Auf (2006); menerima Anugerah Tokoh Sasterawan Siber Selangor (2010). Kumpulan puisinya Meditasi (1972), Ayn (1983), Titir Zikir (1995), MIM (1999) memenangkan hadiah Sastera Perdana Malaysia. Dia secara aktif berpartisipasi dengan sasterawan Indonesia semenjak 1976 lagi membaca puisi dan menulis kertas kerja. Dia menerbitkan antologi puisi Nusantara Musibah Gempa Padang (2009) dan Meditasi Dampak 70 (2011). Menerima gelar Dato Paduka Mahkota Selangor (2001). Pada tahun 1993 dia sebagai fellow di IWP, University of Iowa, Amerika Serikat. Kini sebagai Sarjana Tamu pada Universiti Putra Malaysia. Soni Farid Maulana lahir 19 Februari 1962 di Tasikmalaya, Jawa Barat, dari pasangan Yuyu Yuhana bin H. Sulaeman dan Teti Solihati binti Didi Sukardi. Masa kecil dan remaja, termasuk pendidikannya, mulai tingkat SD, SMP, dan SMA ditempuh di kota kelahirannya. Tahun 1985, Soni menyelesaikan kuliah di Jurusan Teater, Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) sekarang Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Saat ini bekerja sebagai jurnalis di HU Pikiran Rakyat Bandung, dan pernah mengelola lembaran seni dan budaya Khazanah bersama teaterawan Suyatna Anirun. Aktif menulis puisi sejak tahun 1976. Sejumlah puisi yang ditulisnya dipublikasikan di berbagai media massa cetak terbitan daerah dan ibukota
Indonesia di Mata Penyair

34

seperti HU Pelita, HU Berita Buana, HU Sinar Harapan, HU Prioritas, HU Suara Karya Minggu, HU. Bandung Pos, HU Suara Pembaruan, HU Pikiran Rakyat, HU Kompas, HU Tempo, dan HU Republika. Juga dimuat di Majalah Sasra Horison, Jurnal Puisi, Jurnal Ulumul Quran, Jurnal Puisi Renung, dan Jurnal Orientirungen (Jerman.Sejumlah puisi yang ditulisnya sudah dibukukan dalam sejumlah antologi puisi tunggal, antara lain dalam antologi puisi Variasi Parijs van Java (PT. Kiblat Buku Utama, 2004), Secangkir Teh (PT. Grasindo, 2005), Sehampar Kabut (Ultimus, 2006), Angsana (Ultimus, 2007), Opera Malam (PT. Kiblat Buku Utama, 2008), Pemetik Bintang (PT Kiblat Buku Utama, 2008) dan Peneguk Sunyi (PT Kiblat Buku Utama, 2009), Mengukir Sisa Hujan (Ultimus, 2010) dam Antologi Puisi Bersama seperti dalam Antologi Puisi Indonesia Modern Tonggak IV (PT Gramedia, 1987), Winternachten ( Stichting de Winternachten, Den Haag, 1999), Angkatan 2000 (PT. Gramedia, 2001), Dari Fansuri Ke Handayani (Horison, 2001), Gelak Esai & Ombak Sajak Anno 2001(Penerbit Buku Kompas, 2001) Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002) Horison Sastra Indonesia (Horison, 2002), Puisi Tak Pernah Pergi Penerbit Buku Kompas, 2003) Nafas Gunung (Dewan Kesenian Jakarta, 2004) dan Living Together (Kalam, 2005), Antologia de Poticas (PT Gramedia, 2009) dan sejumlah antologi puisi lainnya.Berbagai kegiatan sastra digelutinya baik di dalam negeri maupun diluar negeri.Dalam berkarya sastra, selain menulis puisi, Soni menulis pula esai, dan cerita pendek. Esainya tentang puisi dibukukan dalam Menulis Puisi Satu Sisi (Pustaka Latifah, 2004), Selintas Pintas Puisi Indonesia (Jilid 1, PT. Grafindo, 2004, dan Jilid 2, 2007). Sedangkan sejumlah cerita pendek yang ditulisnya antara lain dibukukan dalam Orang Malam (Q-Press, 2005). Di samping itu, namanya dicatat Ajip Rosidi dalam entri Enslikopedi Budaya Sunda (PT. Pustaka Jaya, 2000) dan Apa Siapa Orang Sunda (Kiblat Buku Utama, 2003). Muhammad Zainon, lahir di Sumenep 26 April 1971. Pernah mengikuti Workshop baca puisi bersama WS Rendra di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Juara baca puisi tak terbantahkan sampai saat ini se Madura (penyelenggara teater Akura UNIRA) Pamekasan. Dramawan terbai dalam lakon Syayyid Qutub se Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponerogon (Delegasi Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, 1992). Prestasi fenomenal juara pertama baca puisi se Jawa Timur 2 kali, Juara 1 Porseni SMA se Jawa Timur di Tulungagung, 1990 dan juara 1 baca puisi secabang IAIN Sunan Ampel Jawa Timur, 1995.
Indonesia di Mata Penyair

35

Retno Handoko memiliki nama pena Jurang Sepi, lahir di Langkat, Sumatera Utara seorang Mahasiswa Universitas Islam Sumatera Utara jurusan sastra Inggris. Kini berdomisili di Bekasi. Kalau ingin mengenal penyair bisa menghubunginya di 081282825491 Dimas Arika Mihardja adalah seorang penyair Angkatan 2000 dan sekaligus seorang dosen puisi di Universitas Jambi Kirana Kejora dengan nama pena Eagle fly alone Terlahir di kota Ngawi, 2 Pebruari, single figther dari dua matahari titipan Tuhan, ELANG Arga Lancana Yuananda (15) dan EIDELWEIS Bunga Almira Yuananda (10). Mulai mencintai kertas dan pena sejak usia 9 tahun. Cinta pada puisi, prosa dan seni peran meski tak pernah ada dukungan formal sepanjang hayat. Just ordinary people. Hanya lulusan cumlaude Fakultas Perikanan Univ. Brawijaya yang dulu hanya jurnalis sebuah tabloid kecil di Surabaya, penulis lepas beberapa media cetak, dan kebetulan pernah menjadi Pemakalah, Pembicara pada Seminar Wajah Kepengarangan Muslimah Nusantara Di Malaysia pada tahun 2009. Dan merasa wajib terus belajar, berujar, mengejar, setelah kebetulan lagi, bisa menulis 30 Script Film TV, 4 Script Film Layar Lebar, 3 video klip solois Nena (script & director), video klip single Aku Selingkuh by Ade Virguna (script & director) dan kolaborasi 8 puisi dalam album Selingkuh (independent album) dengan Ade Virguna (gitaris Jet Liar dan RriD), serta Alhamdulillah bisa menulis buku Kepak Elang Merangkai Eidelweis (Novelete & Antologi Puisi Tunggal), Selingkuh (Antologi Tunggal Cerpen & Puisi), Perempuan & Daun (Antologi Tunggal Cerpen & Puisi), berbagi puisi di buku Musibah Gempa Padang (Antologi Penyair Indonesia-Malaysia), dan kembali bisa melahirkan Elang (Novel) dan Janji Biru Mahameru (Novel). Kirana Kejora merasa masih menjadi sehelai bulu ayam yang ingin menjadi sayap elang. Irfan Firnanda, lahir di Jakarta, June 10, 1982. Memiliki hobi membaca, menulis, mendengarkan musik dan menonton film. Kini berdomisili di JL. Elang 10 Blok E16/05 Rt/Rw. 006/013. Kel. Cimuning, Kec. Mustika Jaya, Bekasi Timur Regency - Kota Bekasi. Kalau lebih ingin mengenal pnyair bisa menghubunginya di 0812 789 999 44 / 0811 811 8960 / 021 972 923 07/021 8261 2043 atau via email : irfan_firnanda@yahoo.com

Indonesia di Mata Penyair

36

Bahana Sang Pelangi merupakan nama pena Abu Baqier, lahir di Samarinda Kalimantan Timur, tanggal 01 Januari, alumni fakultas Ushuluddin Jurusan Aqidah Filsafat, IAIN Alauddin Ujungpandang. Badut PC Gila, lahir di Surabaya 16 November dan berdomisili di Surabaya. Segala hal yang ingin ditanyakan pada penyair bisa melalui phone: 03172722355 085850404446. Noer Komari, dilahirkan di Surabaya, tgl 10 Okt 1967..Sekarang berprofesi sebagai dosen kimia di Univ. Negeri di Banjarbaru Kalsel...menulis puisi dan sajak hanya kesenengan utk melampiaskan dan melembutkan jiwa.... Jumardi Putra. Lahir di pelosok Nusantara, Desa Empelu, Kecamatan Tanah Sepenggal, Kabupaten Bungo-provinsi Jambi (1986). Di samping dimuat di beberapa media massa lokal Sumatra, beberapa puisinya telah dibukukan dalam Antologi Bersama ; Beranda Senja (Kosa Kata Kita Jakarta, 2010), Antologi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan 2010, (Dewan Kesenian Mojokerto, 2010) dan Menjaring Cakrawala (2010). Hingga kini, Antologi Tunggal sedang dalam proses penseleksian. Aktif di berbagai kegiatan sastra, salah satunya pada tahun 2010, mengikuti Seminar Sastra dan Ideologi Se Asia Tenggara yang diselenggarakan oleh MASTERA (Majelis Sastra Asia Tenggara) dan Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional di Jakarta. Hingga kini, berproses kreatif bersama teman seniman-budayawan Jambi. Salah satunya, menjabat Wakil Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Kabupaten Bungo-Provinsi Jambi. Penulis bisa ditemui lewat email: jumardi.putra@ yahoo.com. Cp: 085267323168. Alamat rumah: Jalan Syailandra RT.14 No.02, Kelurahan Rawasari Kec. Kota Baru Jambi. Ummi Hasfa. penikmat hujan. pecinta purnama. ummihasfa.multiply.com Nero Taopik Abdillah lahir di Garut 15 Juli 1983, merupakan alumni UPI Kampus Tasikmalaya. Menulis puisi baginya adalah salah satu cara mensyukuri hidup. Saat ini berprofesi menjadi guru di SDN 2 Cikuya Kecamatan Culamega Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu aktif menjadi pengurus Pondok Media Tasikmalaya, serta menjadi Dewan Penasehat Komunitas AKSARA. Beberapa karyanya termuat di HU Kabar Priangan, HU Radar Tasikmalaya, Kabar Cirebon, Harian Fajar Makasar, Batam Pos,
Indonesia di Mata Penyair

37

Majalah Ekspresi Bali, Buetin Teras Sastra DKJT, Antologi Berjalan Ke Utara, Antologi Puisi Religi Lintas Negara Kun Fayakun Cinta Antologi , puisi Munajat Sesayat Doa, serta tersebar di beberapa media maya seperti situseni.com, kompasiana.com, matapelajar.com dan beberapa media maya lainnya. Segala hal mengenai penyair bisa ditanyakan langsung bia email: gerimisculamega@yahoo.co.id bisa juga lewat Handphone 08132346086 Ach. Nurcholis Majid, lahir di Masalembu 4 Maret 1988. Menyukai puisi, sesekali membuat cerpen dan esai. Karyanya dimuat di berbagai media massa nasional, terkadang memenangkan lomba tingkat nasional dan internasional. Merawat Sanggar Sastra Al-Amien Prenduan bersama kawan-kawan lainnya. Moh. Ghufron Cholid, lahir di Bangkalan 07 Januari 1986 Putra KH. Cholid Mawardi dan Nyai Hj. Munawwaroh seorang Guru Bahasa dan Sastra Indonesia, seorang Pembina Sanggar Sastra Al-Amien (SSA), seorang Ketua Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Yayasan Al-Amien Prenduan. Antologi Puisi Mengasah Alief (2007,bersama 10 Penyair Angkatan 31), Antologi Puisi Yaasin (Balai Bahasa Jatim,2007 bersama penyair pesantren se Jawa Timur) Antologi Puisi Toples (2009, bersama beberapa Mahasiswa Jogjakarta) Antologi Puisi Akar Jejak (2010,bersama 50 Penyair Al-Amien), Antologi Puisi TigaBiruSegi (Hasfa Publishing,2010), Kumpulan Puisi Heart Weather (ebook pertama 2010 di scribd.com dan ebook kedua,2010 di evolitera.co.id), Kumpulan Puisi Dari Huruf Hingga Itikaf (ebook di evolitera.co.id, 2010), Antologi Puisi Menuju Pelabuhan (ebook pertama di scribd.com,2010 dan e-book kedua di evolitera.co.id,2010). Antologi Puisi Ketika Penyair Bercinta (ebook pertama di scribd.com,2010 dan ebook kedua di evolitera.co.id,2010). ANTOLOGI CERPEN CINTA RELIJI LINTAS NEGARA (evolitera.co.id,2010) KUN FAYAKUN CINTA ANTOLOGI PUISI RELIJI LINTAS NEGARA (evolitera. co.id,2010) ANTOLOGI PUISI JADWAL KENCAN (evolitera.co.id, 2011), merupakan kado ultah ke 25 berisi 25 puisi. Antologi Puisi Indonesia Di Mata Penyair (ebook pertama di evolitera.co.id,2011). Segala hal mengenai penulis bisa ditanyakan langsung via email putra_blega@yahoo.com, hp 087852121488.

Indonesia di Mata Penyair

38

di Mata Penyair
ANTOLOGI PUISI

Indonesia

You might also like