You are on page 1of 11

KERAJAAN POLI ( KERAJAAN PEDIR )

Sejarawan Aceh, M. Junus Jamil di dalam bukunya yang berjudul "Silsilah Tawarick Radja-
Radja Kerajaan Aceh, berisi tentang sejarah Negeri Pidie / Sjahir Poli. Kerajaan ini
digambarkan sebagai daerah dataran rendah yang luas dengan tanah yang subur,
sehingga kehidupan penduduknya makmur. Batas-batas kerajaan ini meliputi, sebelah
timur dengan Kerajaan Samudra/Pasai, sebelah barat dengan Kerajaan Aceh Darussalam,
sebelah selatan dengan pegunungan, serta dengan selat Malaka di sebelah utara.



Sementara dalam kisah pelayaran bangsa Portugal, Mereka menyebut Pidie sebagai
Pedir, Sedangkan dalam kisah pelayaran bangsa Tiongkok disebut sebagai Poli.
Asumsinya, orang Tiongkok tidak dapat menyebut kata "Pidie seperti yang kita ucapkan.
Dalam catatan pelayat Tiongkok itu disebutkan, bahwa Kerajaan Pedir luasnya sekitar
seratus kali dua ratus mil, atau sekitar 50 hari perjalanan dari timur ke barat dan 20 hari
perjalanan dari utara ke selatan.

Menurut M. Junus Jamil, Suku yang mendiami kerajaan ini berasal dari Mon Khmer yang
datang dari Asia Tenggara yakni dari Negeri Campa. Suku Mon Khmer itu datang ke Poli
beberapa abad sebelum masehi. Rombongan ini dipimpin oleh Sjahir Pauling yang
kemudian dikenal sebagai Sjahir Poli. Mereka kemudian berbaur dengan masyarakat
sekitar yang telah lebih dahulu mendiami kawasan tersebut.

Setelah berlabuh dan menetap di kawasan itu (Pidie-red), Sjahir Poli mendirikan sebuah
kerajaan yang dinamai Kerajaan Sama ndra. Waktu itu mereka masih menganut agama
Budha Mahayana atau Himayana. Oleh M Junus Djamil diyakini dari agama ini kemudian
masuk pengaruh Hindu.

Lama kelamaan Kerajaan Sama ndra pecah mejadi beberapa kerajaan kecil. Seperti
pecahnya Kerajaan ndra Purwa (Lamuri) menjadi Kerajaan ndrapuri, ndrapatra,
ndrapurwa dan ndrajaya yang dikenal sebagai kerajaan Panton Rie atau Kantoli di
Lhokseudu.

Kala itu Kerajaan Sama ndra menjadi saingan Kerajaan ndrapurba (Lamuri) di sebelah
barat dan kerajaan Plak Plieng (Kerajaan Panca Warna) di sebelah timur. Kerajaan Sama
ndramengalami goncangan dan perubahan yang berat kala itu, Menurut M Junus Djamil,
pada pertengahan abad ke-14 masehi penduduk di Kerajaan Samandra beralih dari
agama lama menjadi pemeluk agama slam, setelah kerajaan itu diserang oleh Kerajaan
Aceh Darussalam yang dipimpin Sultan Mansyur Syah (1354 1408 M). Selanjutnya,
pengaruh slam yang dibawa oleh orang-orang dari Kerajaan Aceh Darussalam terus
mengikis ajaran hindu dan budha di daerah tersebut.

Setelah kerajaan Sama ndra takluk pada Kerajaan Aceh Darussalam, makan sultan
Acehselanjutnya, Sultan Mahmud Alaiddin Johan Sjah mengangkat Raja Husein Sjah
menjadi sultan muda di negeri Sama ndra yang otonom di bawah Kerajaan Aceh
Darussalam. Kerajaan Sama ndra kemudian berganti nama menjadi Kerajaan Pedir, yang
lama kelamaan berubah menjadi Pidie seperti yang dikenal sekarang.

Meski sebagai kerajaan otonom di bawah Kerajaan Aceh Darussalam, peranan raja negeri
Pidie tetap dipererhitungkan. Malah, setiap keputusan Majelis Mahkamah Rakyat
KerajaanAceh Darussalam, sultan tidak memberi cap geulanteu (stempel halilintar)
sebelum mendapat persetujuan dari Laksamana Raja Maharaja Pidie. Maha Raja Pidie
beserta uleebalang syik dalam Kerajaan Aceh Darussalam berhak mengatur daerah
kekuasaannya menurut putusan balai rakyat negeri masing-masing.

Sementara Prof. D. G. E Hall dari nggris, dalam bukunya "A History of South East Asia",
mengambarkan Pidie sebagai sebuah negeri yang maju pada akhir abad ke 15. Hal itu
berdasarklan catatan seorang pelawat Portugal, Ludovico di Varthema, yang pernah
singgah di Pidie pada akhir abad 15.

Dalam catatan Varthema, sebagaimana dikutip Muhammad Said (Pengarang Buku Aceh
Sepanjang Abad) dalam "Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah pada abad tersebut Pedir,
yang masih disebut sebagai negeri Pedir merupakan sebuah negeri maju yang setiap
tahunnya disinggahi sekurang-kurangnya 18 sampai 20 kapal asing, untuk memuat lada
yang selanjutnya diangkut ke Tiongkok, Cina.


Dari pelabuhan Pedir juga diekspor kemenyan dan sutra produksi masyarakat Pidie dalam
jumlah besar. Karena itu pula, banyak pendatang dari bangsa asing yang berdagang ke
pelabuhan Pedir. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi warga pelabuhan waktu itu
meningkat.

Bahkan vartheme menggambarkan, disebuah jalan dekat pelabuhan Pedir, terdapat
sekitar 500 orang penukar mata uang asing. "So extensive was its trade, and so great the
number of merchants resorting there, that one of its street contain about 500 honderd
moneychanger, kata Varhtema.

Varthema oleh Muhammad Said disebutkan sama seperti Snouck Horgronje, yang slam
untuk sebuah tujuan penelitian tentan dunia muslim. Sebelum ke Pedir, ia juga telah
mempelajari slam di Mekkah. Sesuatu yang kemudian juga dilakukan Snouck Hourgronje
dari Belanda, tapi Snouck lebih terkenal ketimbang Varthema, karena berhasil menulis
sejumlah buku tentang Aceh.

Dalam catatannya Varthema mengatakan takjub terhadap negeri Pedir yang saat itu sudah
menggunakan uang emas, perak, dan tembaga sebagai alat jual beli, serta aturan hukum
yang sudah berjalan dengan baik, yang disebutnya "Strict Administration of Justice,.

Selain itu Varthema juga menulis tentang kapal-kapal besar milik nelayan yang disebut
tongkang, yang menggunakan dua buah kemudi. a juga mengupas secara terperinci
tentang keahlian rakyat Pedir tentang perindustrian kala itu, yang sudah mampu membuat
alat-alat peletup atau senjata api.

Dalam sebuah riwayat Tiongkok (Cina) disebutkan, pada tahun 413 Masehi, seorang
musafir Tiongkok, Fa Hian melawat ke Yeep Po Ti dan singgah Poli (Pidie-red). Fa Hian
menyebutkan Poli sebagai sebuah negeri yang makmur, yang rajanya berkenderaan
gajah, berpakaian sutra dan bermahkota emas.

Untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Raja Poli pada tahun 518 Masehi
mengirim utusannya ke Tiongkok. Hubungan itu terus berlanjut. Pada tahun 671 Masehi,
Tsing dari Tiongkok melawat ke Poli. a disebut tinggal selama lima tahun singgah dan
tingagl di enam kerajaan di pesisir Sumatera, mulai dari Kerajaan Lamuri (Aceh Besar),
Poli (Pidie), Samudra dan Pasai (Aceh Utara), Pereulak (Aceh Timur) dan kerjaan
Dangroian

Poli sebagai Pidie yang dikenal sekarang, menurut H. M Zainuddin dalam bukunya "Tarikh
Aceh dan Nusantara disebutkan oleh ahli sejarawan kuno, Winster, sebagai sebuah
negeri yang makmur dan jaya. Menurutnya, setelah Sriwijaya dan Pasai, Poli lah Bandar
pelabuhan yang terkenal. Pelabuhan Poli disebut-sebut berbentu genting, yang oleh H M
Zainuddin kemudian diduga sebagai sebuah muara yang kini dikenal sebagai Kuala Batee.

Menurut Varthema sumber Portugis mengatakan bahwa Sultan Ma'ruf Syah Raja Pidie
(Pedir, Sjir, Duli) itu pernah menaklukkan Aceh Besar dalam tahun 1479. Masa itu
diangkat dua orang wakil di Aceh, seorang di Aceh sendiri dan seorang di Daya. Mula-
mula Pidie dikalahkan oleh Raja Aceh Besar dan di dudukkan oleh Wali Negara
(Gubernur) di Pidie, yaitu Raja Ali dan adiknya, brahim.

Kemudian Raja brahim yang menjadi Wali Negara Raja Aceh di Pidie atas Perintah
abangnya menyerbu Benteng Portugis yang baru didirikan di Kuala Gigieng. Cerita lain
menyebutkan bahwa, Kuta Asan, Pidie, merupakan bekas kota yang didirikan Portugis.

Selanjutnya dengan sejata yang dirampas dari Portugis, Raja Pidie menyerang Raja Aceh
Besar pada tahun 1514 dan Sultan Salahuddin bnu Muzaffar Syah diturunkan dari tahkta.
Raja Ali naik menjadi raja dengan Gelar Sultan Ali Mughayat Syah, sedang adiknya Raja
brahim menjadi Laksamana.

Adapun Silsilah Raja-Raja / Pemimpin Pemerintahan Pidier saat itu adalah Sebagai berikut
:

1.Maharaja Sulaiman Noer: Anak Sultan Husein Syah.
2.Maharaha Sjamsu Syah: Kemudian menjadi Sultan Aceh.
3.Maharaja Malik Ma'roef Syah: Putra dari Maharaja Sulaiman Noer. Mangkat pada tahun
1511 M, dikuburkan di Klibeut di sisi kuburan ayahnya.
4.Maharaja Ahmad Sjah: Putra Maharaja Ma'roef Syah. Pernah berperang melawan
Sulthan Ali Mughayat Syah, tapi kalah. Mangkat pada tahun 1520 M, dikuburkan di Klibeut
di sisi kuburan ayahnya.
5.Maharaja Husain Syah: Putra Sultan Riayat Syah (Meureuhom Khaa), kemuian
menggantikan ayahnya menjadi Sulthan Aceh.
6.Maharaja Saidil Mukamil: Putra dari Maharaja Firman Syah, kemudian menjadi Sulthan
Aceh dari 1589 sampai 1604 M. Ayah dari ibu Sulthan skandar Muda.
7.Maharaja Husain Syah: Putra dari Sulthan Saidil Mukamil
8.Maharaja Meurah Poli: Meurah Poli Negri Keumangan dikenal sebagai Laksamana
Panglima Pidie yang terkenal dalam perang Malaka (Pran Raja Siujud).
9.Maharaja Po Meurah: Syahir Poli, Bentara X Mukim Keumangan yang bergelar Pang
Ulee Peunaroe. Pengatur negeri Pidie.
10.Meurah Po tam : Bentara Kumangan bergelar Pang Ulee Peunaroe.
11.Meurah Po Puan : Bentara keumangan bergelar Pang Ulee peunaroe
12.Meurah Po Thahir : Bentara Keumangan yang terkenal dalam perang Pocut
Muhammad dengan Potue Djemaloiy (Sulthan Djamalul Alam Badrul Munir) pada tahun
1740 M. a mempunyai dua orang saudara: Meurah Po Doom dan Meurah Po Djoho.
13.Meurah Po Seuman: Pang Ulee Peunaroe dengan nama asli Usman.
14.Meurah Po Lateh: Pang Ule peunaroe dengan nama asli Abdul Latif, terkenal dengan
sebutan Keumangan Teungeut.
15.Teuku Keumangan Yusuf: Sudah masuk masa perang Aceh dengan Belanda.
16.Teuku Keumangan Umar: Uleebalang X Mukim, Pidie.




KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA
Ditinjau dari sejarah ndonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di ndonesia.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu)
yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan
paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang
Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan
yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di
seberang kota Muara Kaman.
Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang
bernama Kerajaan Kutai Kartanegaradengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa
Sakti (1300-1325).
Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi
diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini.
Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya
berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya
menjadiKerajaan Kutai Kartanegara ng Martadipura.
Pada abad ke-17 agama slam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara.
Selanjutnya banyak nama-nama slami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan
keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan
yang pertama kali menggunakan nama slam adalah Sultan Aji Muhammad dris (1735-1778).
Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.

Perpindahan ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara dari Kutai Lama (1300-1732) ke Pemarangan
(1732-1782) kemudian pindah ke Tenggarong (1782-kini).
Sultan Aji Muhammad dris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng
berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama
rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh
Dewan Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan A.M. dris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan dris, terjadilah
perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji mbut yang saat itu masih
kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan
Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji mbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai
Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada
mendiang Sultan dris, Aji mbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar
Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di
Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap
Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan
penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan
VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji mbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana
Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.
Aji mbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai
Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan
untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan
dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga
Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan
Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad
Salehuddin setelah Aji mbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal nggris memasuki
perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk
mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam.
Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah
Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di
perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam kearah istana dan dibalas oleh
pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray
akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas
dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.
nsiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke
pihak nggris. Sebenarnya nggris hendak melakukan
serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi
oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu
bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan
menyelesaikan permasalahan tersebut dengan
caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan
armadanya dibawah komando t'Hooft dengan
membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di
Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan
Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota
Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long
gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan
gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk
mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam
pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah
dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan
mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang
berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur
Kalimantan.
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai
kartanegara ng Martadipura.
Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten
Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman
Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian
dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Relief peristiwa pertempuran Awang
Long Senopati pada Monumen
Pancasila, Tenggarong

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur
tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak
pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga
membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas
pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan
gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun
kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan
kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai
Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau
wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget
masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara
kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran
Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget
dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji
Muhammad Parikesit.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat
pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co.
Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara
mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun
1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah
yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah
dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu
tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai
harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi
Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
ndonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara
dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama
daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan
membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik
ndonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah stimewa Kutai yang merupakan daerah
otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah
Tingkat di Kalimantan", wilayah Daerah stimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat ,

A.P.
Mangkunegoro

Sultan A.M. Parikesit
yakni:
1. Daerah Tingkat Kutai dengan ibukota Tenggarong
2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang
menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri
Republik ndonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah
swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai,
Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah stimewa Kutai. nti dari acara ini adalah
serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah stimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad
Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat Kutai, Kapten
Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan).
Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir,
dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR,
MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai
Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai
ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di
daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan
budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di ndonesia.
Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara
adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur
dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun
mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara
bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem
Soerja Adiningrat menghadap Presiden R Abdurrahman Wahid di
Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan
merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni
putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji
Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin . Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan
Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.




Sultan H.A.M. Salehuddin

KERAJAAN NAGUR
1. Pengantar
Terdapat dua kerajaan kuno terbesar (the great ancient kingdom) di Sumatra Utara, yaitu Aru
dan Nagur. Kerajaan Aru sangat popular dalam tulisan Karo dan khususnya Melayu. Artifak
kerajaan ini masih berdiri kokoh berupa batu Nisan bernuansa slam(Islamic tomb) yang
terhampar di Kota Rentang Hamparan Perak maupun Benteng Putri Hijau di Delitua
Namurambe. Sedangkan kerajaan Nagur dikenal luas sebagai kerajaan Batak yakni
Simalungun.
Kedua kerajaan ini, rentan mendapat serangan dari Aceh dalam rencana unifikasi kerajaan di
Sumatra dalam genggaman Aceh. Seperti diketahui, Kerajaan Aceh berencana untuk
mempersatukan seluruh kerajaan di Sumatra sehingga melakukan agresi dan pelenyapan
kerajaan hingga Bintan. Tentang hal ini, dapat dibaca dalam buku Tarich Atjeh dan
Nusantara (1967) ataupun Singa Atjeh (1957) tulisan HM. Zainuddin. Demikian pula dalam
buku Kerajaan Aceh (2007) tulisan Denys Lombard, Kronika Pasai(1987) oleh brahim
Alfian, Aceh: Dimata Kolonialis (1984) tulisan Snouck Hurgronje, atau pula surat skandar Muda
kepada King James- di nggris pada tahun 1615 (Golden Letter: Surat Emas Raja
Nusantara, 1997: Lontar ndonesia).
. Catatan Tentang Nagur
Kerajaan Nagur diyakini merupakan salah satu kerajaan besar di Sumatra Utara yang berlokasi
di Simalungun, penguasa ataupun pemerintahnya adalah dinasti Damanik. Sumber-sumber
tulisan tentang Nagur umumnya diperoleh dari tulisan pengelana Tiongkok seperti Cheng Ho
dan Ma Huan. Tulisan-tulisan tersebut telah dikompilasi oleh Groenoveltd, dalam istorical
Notes in Indonesia and Malay (1960). Selanjutnya, menurut catatan Parlindungan (2007) dalam
bukunya Tuanku Rao, Nagur berdiri pada abad ke-5 dan runtuh pada abad ke-12. Dalam buku
tersebut diuraikan bahwa, Raja Nagur terakhir yang bernama Mara Silu, pada saat keruntuhan
swapraja tersebut melarikan diri ke Aceh, berganti nama dan menjadi slam. Di Aceh ia dikenal
dengan gelar Malik As Saleh (Malikul Saleh). Dalam Riwayat Raja-Raja Pasai (penulis dan
tahun penulis tidak diketahui), diakui bahwa pendiri kerajaan Pasai adalah Merah Silu.
Namun demikian, apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan
dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng o) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423,
kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002)
disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat
terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan
pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan 'Nakkur';
'Nakureh' atau 'Japur'. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng
Lan, dimana nama Nagur yakni 'Napur' merupakan kerajaan 'Batta'
Selanjutnya, dalam laporan Tomme Pires, penguasa Portugis di Malaka (1512-1515), dalam
bukunya Summa Orientalterjemahan Cortesao (1944), banyak menyinggung nama Nagur yang
berdekatan dengan Aru. Atau dalam tulisan Mendes Pinto yang berjudul Acehs Crusades
against the Batak 1539. Demikian pula laporan Marco Polo yang melakukan perjalanan ke
Sumatra pada tahun 1292 yakni, Cannibals and Kings: Nothern Sumatra in the
1290s. Pengelana lainnya adalah laksamana Prancis bernama Augustin De Beaulieu yang
melakukan perjalanan ke Sumatra (Pasai) pada tahun 1621 dalam tulisannya yang berjudul The
Tyranny of Iskandar Muda. Demikian pula pengelana Maroko bn Battuta yang singgah di Pasai
pada tahun 1345 dalam laporannya The Sultanate of Pasai around 1345.
Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh
T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-
I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM.
Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra
Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya,
dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo
dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-
Karo-kan ARU, Nagur dan Batak Timur Raya. Sebagaimana diketahui, yang dimaksud
dengan 'Timur Raja' dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena
posisinya yang percis berada di pesisir Timur Sumatra Utara.
Terbukanya tabir Sumatra secara heurastik, dimulai saat penguasa nggris di Bengkulu yakni
Thomas Raffles, mengutus William Marsden pada tahun 1770 untuk menyelidiki potensi
ekonomi Sumatra. Buku penyelidikan tersebut kini sudah dibukukan dengan judul "The istory
of Sumatra (2007). Di dalam buku tersebut banyak dituliskan tentang potensi ekonomi di
Asahan yang disebutnya dengan term 'Batta' (Batak). Kemungkinan yang dimaksud adalah
orang Simalungun yang bermukim didaerah tu. Selanjutnya, pada tahun 1823, Whrite Philips,
Gubernur Jenderal nggris di Penang mengutus John Anderson untuk penyelidikan lebih intensif
terhadap potensi ekonomi Sumatra. Buku laporan Anderson yang terkenal itu adalah Mission to
the East Cost Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1826. Buku tersebut, juga telah
mendeskripsikan keadaan di Asahan atau pesisir timur Sumatra. Kuat dugaan bahwa penghuni
Asahan pada saat itu adalah orang Simalungun dimana daerah domisili orang Simalungun pada
saat itu memanjang hingga Asahan, Batubara dan Pagurawan (Juandaharaya dan Martin
Lukito, Tole den Timorlanden das Evanggelium, 2003). Buku yang lebih sempurna, berdasarkan
tinjauan akademis dan sistematika ilmiah adalah karangan Edwin M. Loeb (1935) dengan
judul Sumatra: Its istory and the People. Dalam karangan itu, juga disebut tentang riwayat
kerajaan di Simalungun.
Penyelidikan tentang kondisi sejarah, kebudayaan dan penguasaan daerah sangat penting
dilakukan terutama terhadap laporan-laporan pemerinatah Kolonial seperti laporan
kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag, OV), Laporan umum (Algemeen Verslag, AV), laporan
Politik (Politiek Verslag), Laporan Penanaman (Cultuur Verslag) atau juga Laporan Serah
Terima Jabatan(Memorie van Overgrave), seperti yang diwajibkan dalam tata administrasi
kolonial, karena laporan-laporan tersebut banyak menuliskan tentang kondisi wilayah yang
sedang dikuasai. Di Simalungun, nama-nama yang mesti diperhatikan adalah Tidemann,
Kroesen, Theis, Westenberg, Neumann, Voorhoeve, dan lain-lain.
Keberadaan Nagur (512-1252) seperti dalam buku Tuanku Rao karangan MOP, dikatakan
bahwa ayahnya, Sutan Martua Raja (SMR) adalah seorang guru Kristen di Pematang Siantar
dan banyak mengumpulkan bahan-bahan sejarah. Hanya saja, dokumen-dokumen tersebut
musnah terbakar sebelum sempat ditulis dengan sempurna. Buku Tuaku Rao hanyalah 20%
dari sejumlah dokumen yang dikumpulkan oleh SMR. Bisa jadi, laporan SMR tentang
Simalungun ikut musnah terbakar.


. Manuskrip Tentang Nagur
Manuskrip yang ada dan meriwayatkan tentang kerajaan Nagur adalah Parpadanan Na Bolag
(PNB). Namun demikian, manuskrip itu membutuhkan analisis tajam serta kehatihatian yang
tinggi karena banyak menyebut nama person, peristiwa dan daerah yang kini tidak dapat
di compare dengan peta yang ada. Misalnya, dimanakah Padang Rapuhan, atau
dimanakahararasan, atau Bondailing?. Oleh sebab itu, terhadap manuskrip tersebut mutlak
dilakukan Discourse Analysis, sehingga dapat memunculkan makna yang terkandung dalam
teks atau naskah.
Literatur Simalungun yang mencoba menyajikan tentang Nagur adalah ukum Adat
Simalungun (Djahutar Damanik, 1984) atauSejarah Simalungun (TBA Tambak, 1976) tidak
banyak mengupas tentang manuskrip dan keberadaan Nagur, namun cenderung
menuliskannya berdasarkan oral tradition version. Demikian pula pada buku Pustaha
Simalungun yang tersimpan di Perpustakaan Daerah Sumut yakni hasil transliterasi latin oleh
JE. Saragih, masih terbatas pada tradisi pengobatan yang ada di Simalungun, tak satupun
dalam pustaha tersebut merujuk pada nama 'Nagur'.
Persoalan lainnya adalah, bahwa riwayat kerajaan Nagur (Nakkureh, Nakkur, Japur) banyak
disebut dalam laporan pengelana Eropa dan Tiongkok, namun dimanakah letak daripada
kerajaan tersebut masih membutuhkan analisis panjang yang melibatkan Arkeolog dan
Sejarawan. Dengan demikian, riwayat kerajaan Nagur dinasti Damanik di Simalungun tersebut
masih memerlukan penelitian dan pengkajian secara menyeluruh (komprehensif) terutama
dengan melibatkan arkeolog dan sejarawan serta antropolog sehingga riwayat kerajaan besar
tersebut semakin sempurna dan berlandaskan perspektif ilmiah. Lagipula, penelitian dan kajian
ilmiah, mutlak dilakukan untuk mendukung sejarah lisan yang berkembang dalam masyarakat.
. Penutup
Berdasarkan persepsi literer (kepustakaan) tersebut diatas, diyakini bahwa kerajaan Nagur
pernah eksis di Sumatra Timur tepatnya di Simalungun. Paling tidak hal tersebut dibuktikan
dengan adanya catatan-catatan dari pengelana asing yang singgah di Sumatra Timur dari abad
ke-6 hingga ke 16.
Demikian pula tersedianya manuskrip yang meriwayatkan kerajaan tersebut, ataupun
dikenalnya kerajaan tersebut melalui tradisi lisan. Namun demikian, untuk memperjelas
eksisitensi kerajaan tersebut, baiknya dilakukan penelitian dan pengkajian yang melibatkan
lintas disiplin sehingga dapat diterima kebenarannya. Paling tidak, saran ini bermanfaat atau
ditujukan kepada pemerintah kabupaten Simalungun di Pematang Raya, ataupun pihak-pihak,
badan atau instansi yang berwenang, demikian pula lembaga kemasyarakatan Simalungun
yang ada.

You might also like