You are on page 1of 8

Hukum Menelan Dahak, Ingus dan Sisa Makanan

Saat Puasa
Posted 11 September, 2009 by dr.Abu Hana , ' ~ - -' - - , in Fatwa Kesehatan (,' -
- = ' .-'~~ ). Tagged: hukum dahak, hukum ingus, menelan ingus, menelan sisa makanan,
pembatal puasa, puasa. 2 Comments
Sebelum membahas mengenai Hukum Menelan
ingus, ludah dan sisa makanan saat berpuasa, berikut ini kami sajikan tulisan lengkap Al-
Ustadz Abu Muawiah mengenai Pembatal Puasa yang diperselisihkan, uraian masing-
masing pendapat ulama dan disertai dalil yang lengkap dan memuaskan..
_____________
1. Maksiat.
Imam Al-Auzai berpendapat bahwa gibah itu membatalkan puasa, sementara Ibnu Hazm
menyatakan bahwa semua maksiat itu sama hukumnya dengan gibah, yaitu membatalkan puasa.
bersabda:8Keduanya berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi
. ~ ' ' . _ ~ - ~, .+ =' , ' ~ ~' = _ ~ - =' = -
'Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta dan beramal dengannya serta kejahilan,
maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya. (HR. Al-Bukhari no.
1903)
Juga hadits Abu Hurairah secara marIu`, 'Betapa banyak orang yang berpuasa sedang dia tidak
mendapatkan bagian dari puasanya kecuali haus. (HR. An-Nasai dan Ahmad)
Sementara seluruh ulama lainnya berpandapat bahwa maksiat tidak membatalkan puasa, dan
inilah pendapat yang benar. Adapun pendalilan mereka dengan kedua hadits di atas, maka An-
Nawawi telah mejawabnya dalam Al-Majmu` (6/356), 'Teman-teman semazhab kami telah
menjawab hadits-hadits ini: Bahwa yang dimaksudkan dengan hadits ini adalah bahwa
kesempurnaan puasa dan keutamaannya yang dicari, itu hanya bisa didapatkan dengan menjaga
lisan dari ucapan sia-sia dan ucapan yang rendah, tidak menunjukkan bahwa puasanya batal.
. Makan dan minum dalam keadaan lupa.
Ada dua pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
a. Puasanya syah dan tidak batal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, juga merupakan
mazhab Imam Ahmad dan Asy-SyaIi`i.
bersabda:8Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah bahwa Nabi
-' - - ~ - ~, - ~ . , ~ - - , -' - ~ ' ~ = '~ -
'Barangsiapa yang lupa sedang dia tengah berpuasa, lantas dia makan atau minum, maka
hendaknya dia menyempurnakan puasanya, karena dia hanya diberi makan dan minum oleh
Allah. (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155)
menyuruh untuk menyempurnakan puasanya dan8Dalam hadits ini Nabi tidak
memerintahkannya untuk membayar qadha`, ini menunjukkan puasanya syah. Demikian
diterangkan oleh Ibnu Taimiah dalam Kitab Ash-Shiyam (1/457-458)
b. Puasanya batal dan dia wajib membayar qadha. Ini adalah pendapat Malik dan Rabiah,
gurunya.
Mereka mengatakan: Karena menahan dari pembatal puasa adalah rukun puasa sementara rukun
kalau ditinggalkan maka akan membatalkan ibadah, baik sengaja maupun lupa. Dalam hal ini
mereka mengkiaskannya kepada shalat.
Yang kuat adalah pendapat yang pertama. Adapun kias pendapat kedua maka dia adalah kias
yang batil karena bertentangan dengan dalil.
Catatan:
Walaupun tidak membatalkan puasanya, akan tetapi siapa yang melihat orang yang sedang
berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya dia menegurnya dan mengingatkannya,
berdasarkan keumuman dalil amar ma`ruI dan nahi mungkar. Lihat kitab Al-Furu` (3/53)
. Melakukan jima` bukan pada kemaluan.
Maksudnya dia menyentuhkan kemaluannya pada bagian tubuh istrinya (selain kemaluan) -
misalnya di antara dua pahanya-, maninya keluar maupun tidak.
Ada tiga pendapat dalam masalah ini:
1. Itu membatalkan puasanya dan dia wajib membayar kaIIarah.
Ini adalah pendapat Malik, Atha`, Al-Hasan, Ibnul Mubarak, Ishaq, dan salah satu riwayat dari
Ahmad.
2. Itu membatalkan puasanya akan tetapi tidak ada kewajiban kaIIarah.
Ini adalah pendapat Asy-SyaIi`i, Abu HaniIah, dan riwayat lain dari Ahmad.
Mereka mengatakan: Karena ini bukanlah jima` yang sempurna sehingga dikiaskan dengan
mencium, dan tidak ada dalil akan wajibnya kaIIarah. Ini yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.
3. Tidak membatalkan puasanya walaupun maninya keluar. Ibnu MuIlih menyebutkan
kemungkinan pendapat ini dalam Al-Furu` dan kelihatannya beliau condong kepada pendapat
ini.
Telah berlalu bahwa ini adalah pendapat Ibnu Hazm.
Yang rajih adalah pendapat ketiga kedua, ini yang dirajihkan oleh Ash-Shan`ani dan Syaikh Al-
Albani.
Hal itu karena tidak ada dalil yang menyatakan perbuatan ini adalah pembatal puasa. Adapun
mengkiaskannya dengan jima`, maka kias ini kurang detail, karena adanya perbedaan antara
jima` dengan kasus di atas.
Adapun sekedar karena keluarnya mani, maka para ulama sepakat bahwa melakukan jima` itu
membatalkan puasa walaupun tidak ada mani yang keluar. Maka ini menunjukkan patokan
pembatal puasa adalah perbuatan jima`, bukan keluarnya mani.
Adapun sekedar karena adanya syahwat, maka kita katakan adanya syahwat tidak cukup untuk
menghukumi batalnya puasa seseorang, sebagaimana yang akan datang bahwa orang yang
mencium istrinya karena syahwat tidaklah membatalkan puasanya.
Jadi, yang benar pada kasus di atas puasanya tidak batal, akan tetapi puasanya makruh bahkan
dikhawatirkan dia kehilangan pahala puasanya -walaupun puasanya syah-, wallahu a`lam.
|Al-Mughni: 3/26, Al-InshaI: 3/284, Syarh Kitab Ash-Shiyamk: 1/302, dan Al-Majmu`: 6/342|
. Sisa makanan pada gigi atau yang ikut pada ludah.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
Jika dia tidak bisa untuk mengeluarkannya atau tanpa sengaja menelannya maka para ulama
sepakat bahwa hal itu tidak mengapa, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnul Mundzir. Lihat Al-
Majmu` (6/320)
Jika dia bisa mengeluarkannya tapi dia menelannya, maka mayoritas ulama berpendapat bahwa
itu membatalkan puasanya karena itu dianggap memakan makanan. Sementara Abu HaniIah
berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, dan ucapannya ini tidak berlandaskan dalil.
. Menelan dahak atau ingus dan semacamnya.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. Jika dia tidak keluar ke mulut, akan tetapi dari otak atau hidung langsung ke lambung maka
hal itu tidak membatalkan puasa, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi.
b. Jika dia keluar ke mulut lalu sengaja tertelan, maka ada dua pendapat di kalangan ulama:
4. Membatalkan puasanya. Ini yang masyhur dalam mazhab Al-Hanabilah dan merupakan
mazhab Asy-SyaIi`iyah. Mereka mengatakan karena apa yang ada dalam mulut dihukumi sama
seperti apa yang datang dari luar. Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz -
rahimahullah-.
5. Tidak membatalkan puasanya. Ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad. Mereka
mengatakan karena dia tidak keluar dari mulut sehingga tidak bisa dikatakan makan dan minum.
Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin -
rahimahumallah-.
Kami katakan: Untuk keluar dari khilaI, hendaknya dia membuangnya dan tidak sengaja
menelannya, wallahu a`lam.
6. Infus
Jika inIusnya dimasukkan melalui urat nadi atau otot maka: Jika inIusnya berupa makanan atau
sesuatu yang bisa menguatkan Iisiknya maka itu membatalkan puasanya. Kalau bukan maka
puasanya tetap syah. Ini adalah pendapat yang diIatwakan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz -
rahimahullah-.
Lihat TuhIatul Ikhwan hal 175
Adapun jika inIusnya dimasukkan melalui hidung lalu diteruskan ke otak maka dalam hal ini ada
tiga mazhab di kalangan ulama:
a. Jika dia sampai ke otak maka itu membatalkan puasanya. Karena semua yang sampai ke otak
pasti akan sampai ke lambung atau ke tenggorokan, mengingat antara otak dan lambung ada
saluran yang menyambungkannya.
Ini adalah pendapat Asy-SyaIi`iyah, Al-Hanabilah, dan yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah -
rahimahullah-.
b. Tidak membatalkan puasa kecuali diyakini dia masuk ke tenggorokan. Ini adalah pendapat
Imam Malik.
c. Tidak membatalkan puasa secara mutlak. Ini adalah pendapat Ibrahim dan Ibnu Hazm.
Yang dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumallah- adalah pendapat
yang kedua.
. Onani.
Imam Empat dan mayoritas ulama berpendapat bahwa onani membatalkan puasa, karena dia
dihukumi tidak meninggalkan syahwatnya. Ini yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani, Syaikh Ibnu
Baz, dan Syaikh Ibnu Al-Utsaimin.
Sementara Ibnu Hazm berpendapat bahwa itu tidak membatalkan puasa karena tidak adanya dalil
yang menunjukkan batalnya. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ash-Shan`ani dan Syaikh Al-
Albani -rahimahumullah-.
Wallahu a`lam, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat Ibnu Hazm, sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas sekedar keluarnya mani bukanlah pembatal puasa -walaupun puasanya
makruh-. Kembali ke hukum asal, puasa seseorang tidaklah batal kecuali ada dalil tegas yang
menyatakannya.
8. Bermesraan atau mencium atau memandang wanita.
Dalam hal ini ada dua keadaan:
a. 1ika hal itu menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Ada beberapa pendapat dalam masalah ini:
1. Dia mengqadha kalau keluar maninya bukan karena memandang (yakni karena mencium
atau bermesraan). Jika hanya keluar madzi maka tidak ada qadha.
Ini adalah pendapat para ulama KuIah dan Imam Asy-SyaIi`i.
2. Jika yang keluar mani (karena salah satu dari tiga sebab di atas) maka dia mengqadha
sekaligus bayar kaIIarah. Tapi jika yang keluar madzi maka dia hanya mengqadha.
Ini adalah pendapat Imam Malik dan Ishaq bin Rahawaih. Yang dijadikan dalil bagi pendapat
mereka adalah bahwa keluarnya mani merupakan puncak tujuan dari jima`, sementara jima
mengharuskan membayar kaIIarah.
3. Tidak ada kewajiban qadha` atasnya dan tidak pula kaIIarah.
Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm dan yang dikuatkan oleh Ash-Shan`ani tatkala beliau
mengatakan, Yang nampak, tidak ada qadha` dan tidak pula kaIIarah kecuali atas orang yang
melakukan jima`. Mengikutkan perbuatan selain jima` kepadanya (jima`) adalah hal yang tidak
tepat.
Pendapat yang kuat adalah pendapat yang terakhir, ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-Albani -
rahimahullah-.
Adapun pendapat pertama, mereka tidak mempunyai dalil atas pembedaan hukum yang mereka
sebutkan. Sedangkan dalil pendapat kedua terbantahkan dengan kenyataan bahwa orang yang
melakukan jima` tetap wajib membayar kaIIarah walaupun tidak ada mani yang keluar, wallahu
a`lam.
b. 1ika hal itu tidak menyebabkan keluarnya mani atau madzi.
Dalam masalah ini ada lima pendapat di kalangan ulama:
1. Boleh.
Pendapat ini dinukil dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah dan Sa`ad bin Abi Waqqash.
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq (3/60) dan (4/185) dan dishahihkan oleh Ibnu Hazm. Hanya saja
Ibnu Hazm terlalu berlebihan hingga menyatakan sunnahnya.
Mereka berdalil dengan 3 hadits dari: HaIshah, Aisyah, dan Ummu Salamah, dimana dalam
ketiga hadits ini disebutkan bahwa Nabi -shallallahu alaihi wasallam- mencium istrinya sedang
beliau berpuasa. Hadits Aisyah diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim sedang dua lainnya
diriwayatkan oleh Muslim.
2. Haram.
Bahkan sebagian ulama -seperti Abdullah bin Syubrumah- berpendapat bahwa itu membatalkan
puasa. Pendapat ini juga dibawakan dari Said bin Al-Musayyab.
Mereka berdalil dengan Iirman Allah Ta`ala, Maka sekarang (setelah malam), sentuhlah mereka
(istri kalian). (QS. Al-Baqarah: 187)
Mereka menjawab hadits-hadits yang membolehkan bahwa itu hukum itu hanya khusus berlaku
untuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
3. Makruh secara mutlak.
Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Al-Malikiah.
Mereka mengatakan karena perbuatan ini merupakan wasilah terjadinya hal yang diharamkan.
Adapun hadits-hadits yang membolehkan, mereka juga menjawabnya seperti jawaban pendapat
kedua.
4. Makruh bagi pemuda dan boleh bagi yang sudah tua.
Dalil yang dijadikan pendukung bagi pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu
Daud dari Abu Hurairah dia berkata, Ada seorang lelaki yang mendatangi Nabi -shallallahu
alaihi wasallam- lalu bertanya kepada beliau tentang `menyentuh` istri bagi orang yang berpuasa,
maka beliau memberikannya keringanan. Dan ada orang lain yang datang kepada beliau dan
menanyakan hal yang sama maka beliau melarangnya. Ternyata yang beliau berikan keringan
adalah seorang yang tua, sementara yang beliau larang adalah seorang pemuda.
Sanadnya shahih. Adapun rawi dalam sanadnya yang bernama Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid,
maka dia telah dinyatakan tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Main sebagaimana dalam Tarikh Ad-
Darimi. Karenanya hukum majhul yang dilontarkan sebagian ulama kepadanya tidaklah tepat.
5. Jika dia bisa menguasai syahwatnya maka boleh, dan jika tidak bisa maka tidak boleh.
Ini adalah pendapat Asy-SyaIi`i dan Ats-Tsauri. Mereka berdalilkan hadits Aisyah:
- . - - -' -, -' - - ~' -, ~ - 8 ' . ~ '
mencium dalam keadaan berpuasa dan beliau8Adalah Rasulullah `menyentuh` dalam keadaan
berpuasa, hanya saja beliau adalah orang yang paling kuat menahan hasratnya di antara kalian.
(HR. Al-Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106)
Terlarangnya orang yang tidak bisa menguasai dirinya karena hal itu bisa membahayakan
puasanya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil pendapat keempat.
Yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang kelima. Dan kalaupun dia melakukannya
padahal dia tidak bisa menguasai dirinya maka puasanya tidaklah batal sampai dia melakukan
jima`.
Pendapat pertama terbantahkan dengan dalil pendapat keempat dan kelima.
Pendapat kedua dan ketiga terbantahkan dengan dalil pendapat pertama, keempat, dan kelima.
Adapun ayat yang mereka pakai berdalil, maka dikatakan: Rasulullah -shallallahu alaihi
wasallam- sebagai penjelas Al-Qur`an telah mencium istrinya di siang hari, maka ini
menunjukkan bahwa `menyentuh` dalam ayat itu bermakna lebih khusus yaitu jima`.
Adapun klaim mereka bahwa hukum boleh itu hanya berlaku untuk Nabi saja, maka
terbantahkan dengan hadits Umar bin Abi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rasulullah -
shallallahu alaihi wasallam-, Apakah orang yang berpuasa boleh mencium? maka beliau
menjawab, Tanya dia, maksudnya Ummu Salamah. Maka Ummu Salamah mengabarkan
kepadanya bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- melakukannya. Umar berkata,
Wahai Rasulullah, Allah telah mengampuni semua dosamu yang terdahulu dan belakangan,
maka beliau menjawab, Ketahuilah, demi Allah sungguh saya adalah orang yang paling
bertakwa dan paling takut kepada Allah di antara kalian. (HR. Muslim)
Mirip dengan hadits seorang lelaki dari Al-Anshar mencium istrinya lalu setelah itu dia
menyuruh istrinya untuk menanyakan masalah ini kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-.
Setelah bertanya, istrinya mengabarkan bahwa Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-
melakukannya. Maka dia berkata, Sesungguhnya Nabi telah diberikan keringan pada beberapa
perkara maka kembalilah bertanya kepada beliau. Maka istrinya kembali menanyakannya maka
Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda, Saya adalah orang yang paling bertakwa dan
yang paling tahu tentang batasan-batasan Allah di antara kalian. (HR. Ahmad: 5/434 dan
dishahihkan oleh Al-Wadi`i dalam Ash-Shahih)
Adapun pendapat keempat maka dijawab: Masalah syahwat adalah bersiIat nisbi, tidak ada
hubungannya dengan masalah umur. Terkadang ada orang tua yang syahwatnya lebih besar
daripada pemuda dan sebaliknya. Juga terbantahkan dengan kisah Umar bin Salamah yang ketika
itu beliau seorang pemuda.
|Al-Fath: 1927, As-Subul: 4/128-129, Al-Muhalla masalah no. 753 dan Al-Majmu`: 6/355|

You might also like