You are on page 1of 2

MIMPI ENERGI KERAKYATAN BARU DI PANTAI SELATAN Oleh: Puthut Indroyono1 Demokrasi pengelolaan energi menjadi mimpi banyak

orang di negara manapun yang maju maupun berkembang. Semua mencoba berbagai model demokrasi ekonomi mulai produksi energi, distribusi dan konsumsi, serta penguasaan/kepemilikan faktor produksi. Nilai prinsipiil yang dijunjung tinggi adalah perwujudan keadilan dalam produksi dan pemanfaatannya, dimana manusia langsung menerima sumber energinya dari Tuhan. Di Indonesia, kiranya banyak yang sepakat bahwa pendekatan demokratik cenderung diabaikan dalam kebijakan energi. Tidak saja menyangkut energi listrik namun juga energi bahan pembakar lainnya seperti minyak tanah, batubara, premium, dll. Kalaupun ada, porsinya minimal dan sekedar hanya memberi kesan populis. Semuanya diputuskan secara terpusat, sementara pengawasan oleh rakyat cenderung tidak efektif. Saat ini model demokrasi ekonomi telah menjadi magnitudo dalam pengelolaan energi termasuk energi terbarukan di berbagai penjuru dunia. Pendekatan ini seolah menjadi alternatif bagi pendekatan lama berbasis pasar, yang bersifat monopolistik atau oligopolistik oleh negara dan swasta. Model ini sering dianggap sebagai penyebab munculnya krisis energi dan lingkungan yang berkepanjangan, termasuk munculnya banyak kasus korupsi.

Dampak Energi Kolektif Bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia, pengembangan energi terbarukan berbasis partisipasi masyarakat memiliki banyak keuntungan. Pertama, menjadi sumber modal baru yang potensial dalam mengembangkan kemandirian energi. Sebagaimana kita tahu, investasi energi membutuhkan modal yang sangat besar dan sering modal asing yang menjadi tumpuan. Dilain pihak, pengawasan terhadap investasi proyek-proyek energi sangat lemah sehingga menimbulkan potensi korupsi yang tinggi. Kedua, menurunnya biaya modal. Dalam teori ekonomi kita kenal tingkat pengembalian pasar (ROI-rate on investment). Dengan perhitungan itu, maka biaya investasi energi terbarukan yang sekarang akan semakin mahal. Dengan pendekatan partisipasi, masyarakat akan terdorong berinvestasi karena energi adalah kebutuhan vital mereka. Yang penting adalah bagaimana menyusun program yang dapat meningkatkan investasi masyarakat termasuk konsumen energi. Di banyak negara yang telah mampu menggerakkan investasi rakyatnya, faktor pendorong investasi tidak hanya mengandalkan profit-investment, namun juga pada motif sosial dan etik. Mereka mau menerima jauh di bawah ROI karena percaya akan manfaat sosial dan ekonomi jangka pendek maupun panjang. Ketiga, model partisipasi akan meningkatkan dukungan masyarakat terhadap pemerintah maupun program energi. Kita sadar bahwa pendekatan sentralistik yang mengandalkan pasar sekarang ini makin tidak mempopulerkan pemerintah bahkan bisa menjatuhkan pemerintahan. Ketakutan menaikkan harga BBM adalah contoh model pengelolaan yang tidak partisipatif. Dengan partisipasi dalam kepemilikan misalnya, akan meningkatkan kesadaran masyarakat dan individu bahwa pengembangan energi terbarukan memang milik masyarakat. Keempat, pembangkit (generator) energi terbarukan bisa dibangun dimanapun, baik di daerah terpencil maupun di perkotaan. Biaya transmisi dan jaringan juga bisa dihemat, mengurangi terbuangnya energy dalam transmisi karena lebih dekat dengan pengguna, serta tidak membutuhkan biaya konstruksi yang mahal.
1

Puthut Indroyono adalah peneliti pada Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan salah seorang PIC Program Pengembangan Daya Tawar Kolektif PHKI-UGM 2011

Kritik kami terhadap pengembangan energi baru di pantai Pandansimo adalah dilokalisirnya pembangkit energi di satu tempat. Semula proyek kincir angin milyaran rupiah itu di tempatkan di beberapa lokasi dusun, namun akhir-akhir ini justru dipusatkan di satu lokasi. Ini tentu cenderung menyalahi prinsip distributed generation energi terbarukan. Dalam pembangkit yang terdistribusi dan terdesentralisasi akan cenderung lebih berpotensi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan. Secara teknis, seorang pegiat energi terbarukan pernah mengatakan bahwa kincir angin yang berbahan metal tidak cocok dengan lokasi pesisir yang banyak mengandung garam karena akan cepat terjadi korosi. Ia saat ini sedang memikirkan bagaimana mengganti kincir metal itu dengan bahan lokal, kayu misalnya. Pemikiran atau inovasi lokal tersebut akan sulit berkembang bila kebijakan energi terbarukan cenderung bersifat sentralistik. Kelima, stabilitas harga. Program listrik energi terbarukan yang makin meningkat dan dimiliki masyarakat akan dapat mengunci (hedging) harga di masa depan. Energi adalah vital di negara manapun dan harga yang fluktuatif dapat menghancurkan perekonomian. Memang model partisipasi juga memiliki kendala. Salah satu kendala dari sudut pandang pengembang (pemerintah atau swasta) adalah skala ekonomi yang kecil, tidak bisa sekaligus memenuhi kebutuhan energi skala besar. Karena skala usahanya kecil, maka keuntungan proyek itu juga cenderung kecil. Proyek energi baru idealnya memang ditempatkan di daerah-daerah yang belum mampu dialiri oleh energi konvensional, atau oleh listrik PLN saat ini. Seperti proyek-proyek yang saat ini dikembangkan di pesisir selatan Gunungkidul dan banyak tempat yang lain. Di sana masyarakat nelayan dan petani belum mendapatkan suplai listrik PLN. Proyek energi matahari senilai Rp 300 juta telah mampu menaikkan air dari sumur bawah tanah untuk kebutuhan satu komunitas dusun atau meningkatkan kualitas ikan hasil tangkapan nelayan di pantai Sundak. Yang jadi masalah sekarang adalah belum adanya upaya dari pemerintah daerah maupun masyarakat untuk mengembangkan model kelembagaan pengelola layaknya PLN-PLN kecil di level desa. Kata kunci partisipasi investasi rakyat. Partisipasi rakyat tidak sebatas konsumsi, tapi juga pada produksi, distribusi, dan penguasaan faktor-faktor produksi. Rakyat perlu didorong untuk berpartisipasi dalam arti luas, pada aspek material (bahan baku, peralatan/teknologi, modal finansial, tenaga kerja dll.), intelektual (aspek keahlian/know-how), dan institusional (kelembagaan/modal sosial). Hasilnya, rakyat berbondong-bondong membeli saham energi atau menyetor simpanan wajib/sukarela, membolehkan tanahnya untuk tempat pembangkit atau sekedar dilewati transmisi listrik. Mereka mendukung program, karena kontribusi sekecil apapun diperhitungkan dalam biaya maupun keuntungan. Upaya PUSTEK-UGM memang masih berada pada tahap awal. Namun dengan keseriusan dari semua pihak untuk memberi dukungan dalam pengembangkan gagasan di atas, bukan tidak mungkin dalam waktu yang tidak terlalu lama akan muncul satu model BUMDes energi yang bisa bersanding dengan visi PLN dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Yogyakarta, 13 September 2011

You might also like