You are on page 1of 24

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Udang Vannamei

2.1.1. Taksonomi dan Morfologi Menurut Widodo et al (2005), udang vannamei mempuyai klasifikasi sebagai berikut : Kingdom Sub kingdom Filum Sub filum Kelas Sub kelas Ordo Sub ordo Genus Spesies : Animalia : Metazoa : Arthopoda : Crustacea : Malacostraca : Eumalacostraca : Decapoda : Dendrobrachiata : Litopenaeus : LitoLitopenaeus vannamei

Udang Vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous), yaitu exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktivitas berganti kulit luar dan eksoskleton secara periodik (moulting). Bagian tubuh Udang Vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan sebagai berikut. 1. Makan bergerak dan membenamkan diri kedalam lumpur(burrowing); 2. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas; 3. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula (Widodo et al, 2005).

2.1.2. Biologi dan Anatomi. Litopenaeus vannamei biasa juga disebut sebagai udang putih dan masuk ke dalam famili Penaidae. Anggota famili ini menetaskan telurnya di luar tubuh setelah telur dikeluarkan oleh udang betina. Udang Penaeid dapat dibedakan dengan jenis lainnya dari bentuk dan jumlah gigi pada rostrumnya. Litopenaeus vannamei memiliki 2 gigi pada tepi rostrum bagian ventral dan 8-9 gigi pada tepi rostrum bagian dorsal (Supono, 2007). Litopenaeus vannamei memiliki karakteristik kultur yang unggul. Berat udang ini dapat bertambah lebih dari 3 gram tiap minggu dalam kultur dengan densitas tinggi (100 udang/m2). Berat udang dewasa dapat mencapai 20 gram dan diatas berat tersebut, Litopenaeus vannamei tumbuh dengan lambat yaitu sekitar 1 gram/ minggu. Udang betina tumbuh lebih cepat daripada udang jantan. Litopenaeus vannamei memiliki toleransi salinitas yang lebar, yaitu dari 2 40 ppt, tapi akan tumbuh cepat pada salinitas yang lebih rendah, saat lingkungan dan darah isoosmotik (Wyban et al., 1991). Temperatur juga memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan udang. Litopenaeus vannamei akan mati jika tepapar pada air dengan suhu dibawah 15oC atau diatas 33oC selama 24 jam atau lebih. Stres subletal dapat terjadi pada 15-22 oC dan 3033oC. Temperatur yang cocok bagi pertumbuhan Litopenaeus vannamei adalah 23-30oC. Pengaruh temperatur pada pertumbuhan Litopenaeus vannamei adalah pada spesifitas tahap dan ukuran. Udang muda dapat tumbuh dengan baik dalam air dengan temperatur hangat, tapi semakin besar udang tersebut, maka temperatur optimum air akan semakin menurun seiring dengan sifat udang vaname (Wyban et al., 1991).

2.1.3.

Pakan dan Kebiasaan Pakan

Pakan udang selama ini sering diartikan sebagai pelet karena kebutuhan nutrisi udang budidaya dipenuhi dari pakan buatan yang berbentuk pelet. Selain pakan pakan buatan terdapat juga pakan alami. Pakan alami atau pakan tambahan yang mempunyai fungsi tidak kalah penting. Pakan alami lebih banyak digunakan pada saat udang masih berukuran kecil. Pada fase zoea, udang akan bersifat herbivora atau pemakan tumbuhan dan memakan fitoplankton. Pada fase mysis, udang akan bersifat karnivora sehingga pakan yang dikonsumsi berupa zooplankton. Secara alami, tambak mampu menyediakan pakan alami berlimpah. Tetapi hal tersebut tergantung daya dukung lingkungan tambak yang dapat memacu pertumbuhan pakan alami (Widodo, et al, 2005). Pakan tamabahan digunakan sebagai nutrisi pelengkap pakan alami dan pakan buatan. Selain itu, pakan tambahan dapat berfungsi merangsang nafsu makan udang, mempercepat moulting, dan meperkecil FCR. Pakan yang diberikan harus mengandung nutrisi sesuai kebutuhan udang vannamei. Nutrisi yang dibutuhkan udang vannamei antara lain protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan asam amino esensial. Nutrisi tersebut digunakan untuk aktivitas pertumbuhan dan reproduksi udang. Protein digunakan untuk menyusun jaringan dan mengganti jaringan lama yang rusak didalam tubuh udang. Kebutuhan protein pada udang tergantung beberapa faktor, seperti jenis udang yang dipelihara dan fase pertumbuhan (larva-juvenil-dewasa). Pertumbuhan udang yang diberi pakan dengan tingkat kandungan protein yang berbeda-beda (Widodo, et al, 2005). Lemak dan karbohidrat merupakan sumber energi. Mineral dan vitamin berfungsi memperlancar proses metabolisme didalam tubuh udang. Secara khusus, mineral berfungsi membantu transfor energi, menjaga keseimbangan osmosis, menyusun

enzim dan hormon, serta membantu menyusun ekoskleton. Penyimpanan pakan yang baik akan memperpanjang waktu penyimpanan energi. Pakan yang terkena air menyebabkan kandungan nutrisi berkurang, aroma berubah, dan berjamur. Pakan yang terlalu lama terkena sinar matahari juga tidak baik karena kandungan vitamin C-nya akan rusak. Penyimpanan yang baik dilakukan ditempat yang kering, memiliki sirkulasi udara lancar, serta terlindung dari air dan matahari (Widodo, et al, 2005). Pemberian pakan buatan didasarkan pada sifat dan tingkah laku makan udang vannamei. Udang vannamei mengenali keberadaan pakan dengan bantuan organ (chemoreseptor) yang berupa antena. Penentuan pakan tidak hanya didasarkan pada baunya saja, terutama untuk pakan yang berbentuk pelet. Pertimbangan pakan disesuaikan dengan kehidupan udang yang senang hidup didasar perairan (benthic), pakan yang diberikan yang diberikan harus segera tenggelam bila ditebar kedalam tambak. Pakan harus memiliki stabilitas atau daya tahan minimal 2 jam. Hal ini terkait erat dengan sifat udang yang termasuk pemakan lambat, tetapi terus menerus. Pakan udang juga harus mudah dicerna oleh udang (Widodo, et al, 2005). 2.1.4. Sistem Budidaya Menurut Ferdian (2001), pantai merupakan daerah terendah dari suatu aliran sungai. Akibatnya, kualitas air tawar di daerah hilir atau di lokasi tambak menjadi rawan terhadap pengaruh negatif dari daerah hulu, seperti endapan sedimen, hanyutan pestisida, dan polutan industri atau polutan rumah tangga. Dengan kata lain, pengelolaan air yang tidak baik di daerah hulu dapat berakibat buruk pada daerah hilir. Persoalan ini menunjukkan bahwa pengelolaan daerah pantai tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan

daerah hulu. Karena itu pembangunan tambak budidaya udang vannamei hendaknya didukung oleh persyaratan seperti berikut ini. a. Tambak dibangun di luar wilayah padat penduduk dan industri b. Lokasi tambak bukan kawasan hutan suaka alam, hutan wisata, dan hutan produksi. c. Tambak memiliki sumber air yang memadai, baik kuantitas maupun kualitasnya. d. Tambak memiliki saluran irigasi yang memenuhi syarat agar air tersedia secara teratur, memadai, dan terjamin. e. Sumber air tawar tidak berasal dari air tanah (sumur bor) karena penggunaan air tanah dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian, yakni terjadinya instrusi air laut (peresapan air laut ke perairan tawar) yang menyebabkan terjadinva penurunan permukaan tanah. Induk betina yang dipilih harus memiliki syarat-syarat adalah berat lebih dari 50 gram, kandungan telur tinggi, sudah matang telur (terlihat dari warna abu-abu di punggung), bentuk tubuh normal, tidak cacat, bersih dari kotoran dan parasit, sedangkan persyaratan induk jantan adalah berat lebih dari 40 gram, kaki jalan kedua tidak terlau besar, tidak agresif, bentuk tubuh normal, tidak cacat, bersih dari kotoran dan parasit (Rukyani, 2000). Udang vannamei bersifat nocturnal, artinya aktif mencari makan dan beraktivitas pada malam hari atau pada suasana gelap. Sebaliknya, pada siang hari aktivitasnya menurun dan lebih banyak membenamkan dirinya di dalam lumpur atau pasir. Makanan udang vannamei bervariasi, baik jenis maupun komposisinya, tergantung dari umurnya.

Namun, umumnya udang bersifat karnivora (pemakan hewan). Makanannya berupa hewan-hewan kecil, seperti invertebrata (hewan tidak bertulang belakang) air, udang kecil, kerang (bivalvae), dan ikan kecil. Udang yang dibudidayakan di tambak bisa diberi pelet. Induk udang memerlukan makanan alami yang mempunyai kandungan kolesterol tinggi yang berasal dari kerang-kerangan dan krustase lain (kepiting). Jenis makanan ini diperlukan untuk mempercepat proses pematangan telur (Wibowo, 2001). Menurut Rukyani (2000), di alam, udang vannamei muda banyak ditemukan di perairan payau dengan salinitas rendah, seperti di muara sungai tempat pertemuan antara air laut dan air tawar. Setelah dewasa kelamin, udang vannamei akan menuju perairan laut dalam yang kondisi airnya jernih dan tenang dan menjadikan tempat tersebut untuk berkembang biak. Kondisi yang demikian juga diperlukan jika udang vannamei dipijahkan di luar habitat aslinya, misalnya di tempat pembenihan (hatchery) udang vannamei. Pemijahan udang vannamei sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pemijahan ikan. Udang vannamei akan matang kelamin pada umur 1,5 tahun dan siap melakukan tugasnya untuk berkembangbiak. Pada saat itu, berat tubuhnya mencapai 90-120 gram/ekor. Perkawinan udang vannamei umumnya berlangsung pada malam hari. Ada kecenderungan, pada saat bulan purnama terjadi pemijahan massal udang vannamei yang sudah matang kelamin (Chorul, 2002). Menurut Ferdian (2001), pemijahan terjadi tatkala udang jantan mengeluarkan spermatozoa dari alat kelamin jantan (petasma) kemudian memasukannya ke dalam alat kelamin (telichum) udang betina. Setelah terjadi kontak langsung, induk betina akan nengeluarkan set telur sehingga terjadilah pembuahan. Telur hasil pembuahan ini akan

melayang di dasar perairan laut dalam. Selanjutnya, telur yang sudah menetas akan menjadi larva yang bersifat planktonik (melayang) dan akan naik ke permukaan air. Dalam satu kali musim pemijahan, seekor induk betina menghasilkan telur sebanyak 200.000-500.000 butir. Setelah telur menetas, larva udang vannamei mengalami perubahan bentuk beberapa kali seperti berikut ini. a. Periode nauplius atau periode pertama larva udang. Periode ini dijalani selama 46-50 jam dan larva mengalami enam kali pergantian kulit. b. Periode Zoea atau periode kedua. Periode ini memerlukan waktu sekitar 96-120 jam dan pada saat itu larva mengalami tiga kali pergantian kulit. c. Periode mysis atau periode ketiga. Periode ini memerlukan waktu 96-120 jam dan larva mengalami pergantian kulit sebanyak tiga kali. d. Periode post larva (PL) atau periode keempat. Udang vannamei mencapai substadium post larva sampai 20 tingkatan. Ketika mencapai periode ini, udang lebih menyukai perairan payau dengan salinitas 25-35 ppt. e. Periode juvenil atau periode kelima. Juvenil merupakan udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20-25 ppt. f. Periode udang dewasa. Periode ini berlangsung setelah periode juvenil hingga udang siap berkembang biak. Setelah matang kelamin dan matang gonad, udang dewasa akan kembali ke laut dalam untuk melakukan pemijahan. Udang dewasa menyukai perairan payau dengan salinitas 15-20 ppt. 2.1.5. Manajemen Pemberian Pakan Pemberian pakan buatan berbentuk pelet dapat mulai dilakukan sejak benur ditebar hingga udang siap panen. Menurut Haliman dan Adijaya (2005), Budidaya udang

vannamei yang menganut teknik budidaya intensif sudah tidak menggantungkan pakan dari alam. Pakan yang diberikan berupa pakan tambahan. Pemberian pakan berlebihan bisa menimbulkan pencemaran air. Akibatnya udang mudah stres sehingga pertumbuhan udang terhambat. Daya tahan udang terhadap penyakit pun menurun sehingga angka mortalitasnya meningkat. Seperti udang umumnya, vannamei bersifat nokturnal atau aktif pada malam hari. Frekuensi pemberian pakan dapat diperkirakan dengan memperhitungkan sifat tersebut untuk mendapatkan nilai konversi yang ideal. FCR merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan dengan berat rata-rata udang yang dihasilkan. Semakin kecil nilai FCR maka semakin besar keuntungan yang akan diperoleh (Widodo, et al, 2005). Pakan yang dikonsumsi udang secara normal akan diproses selama 3-4 jam setelah pakan tersebut dikonsumsi, kemudian sisanya dikeluarkan sebagai kotoran. Dengan pertimbangan waktu biologis tersebut, pemberian pakan dapat dilakukan pada interval tertentu. Frekuensi pemberian pakan pada udang kecil cukup 2 sampai 3 kali sehari karena masih mengandalkan pakan alami. Setelah terbiasa dengan pakan buatan berbentuk pelet, frekuensi pemberian dapat ditambah menjadi 4 sampai 6 kali sehari (Widodo, et al, 2005).

2.2.

Ikan Nila

2.2.1. Taksonomi dan Morfologi Kerajaan: Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes

Famili : Genus : Spesies : Ikan nila

Cichlidae Oreochromis O. niloticus pada umumnya mempunyai bentuk tubuh panjang dan ramping,

perbandingan antara panjang dan tinggi badan rata-rata 3 : 1. Sisik-sisik ikan nila berukuran besar dan kasar. Warna tubuh ikan nila amat bervariasi tergantung pada strain atau jenisnya. Ikan nila biasa berwarna hitam keputih-putihan, sedangkan nila hibrida merah berwarna merah. Mata ikan nila berbentuk bulat menonjol, dan bagian tepi berwarna putih.Ciri pada ikan nila adalah garis vertikal yang berwarna gelap di sirip ekor sebanyak enam buah. Garis seperti itu juga terdapat di sirip punggung dan sirip dubur (Rukmana,1997). Menurut Kordi (2000) dalam Andrianto (2005), ikan nila berwarna putih kehitaman, makin ke perut makin terang. Ikan nila mempunyai garis vertikal 9-11 buah berwarna hijau kebiruan. Pada sirip ekor terdapat 6-12 garis melintang yang ujungnya berwana kemerah-merahan, sedangakan punggungnya terdapat garis-garis miring. Letak mulut ikan terminal, garis rusuk(Linea lateralis) terputus menjadi dua bagian, letaknya memanjang di atas sirip dada dengan jumlah sisik pada garis rusuk 34 buah. Seperti halnya ikan nila yang lain, jenis kelamin ikan nila yang masih kecil, belum tampak dengan jelas. Perbedaannya dapat diamati dengan jelas setelah bobot badannya mencapai 50 gram. Ikan nila yang berumur 4-5 bulan (100-150 g) sudah mulai kawin dan bertelur Tanda-tanda ikan nila jantan adalah warna badan lebih gelap dari ikan betina, alat kelamin berupa tonjolan (papila) di belakang lubang anus, dan tulang rahang melebar ke belakang. Sedangkan tanda-tanda ikan nila betina adalah alat kelamin berupa tonjolan di belakang anus, dimana terdapat 2 lubang. Lubang yang di depan untuk

mengeluarkan telur, sedang yang di belakang untuk mengeluarkan air seni dan bila telah mengandung telur yang masak,dan perutnya tampak membesar (Suyanto, 2003). 2.1.2.1. Biologi dan Anatomi Ada 10 sistem anatomi pada tubuh ikan : 1. Sistem penutup tubuh (kulit) : antara lain sisik, kelenjar racun, kelenjar lendir, dan sumber-sumber pewarnaan. 2. 3. Sistem otot (urat daging): penggerak tubuh, sirip-sirip, insang organ listrik Sistem rangka (tulang) : tempat melekatnya otot; pelindung organ-organ dalam dan penegak tubuh 4. Sistem pernapasan (respirasi): organnya terutama insang; ada organ-organ tambahan 5. Sistem peredaran darah (sirkulasi) : organnya jantung dan sel-sel darah mengedarkan O2, nutrisi, dsb 6. 7. 8. 9. 10. Sistem pencernaan : organnya saluran pencernaan dari mulut anus Sistem saraf : organnya otak dan saraf-saraf tepi Sistem hormon : kelenjar-kelenjar hormon; untuk pertumbuhan, reproduksi Sistem ekskresi dan osmoregulasi : organnya terutama ginjal Sistem reproduksi dan embriologi : organnya gonad jantan dan betina Ada hubungan yg sangat erat antara ke-10 sistem anatomi tersebut, misalnya: sistem urat daging dan sistem rangka mempengaruhi bentuk tubuh menentukan cara

bergeraknya sistem pernafasan dan peredaran darah, O2 dari perairan ditangkap oleh darah, dipertukarkan dg CO dibawa ke seluruh tubuh melalui darah.

1.

Ikan mempunyai variasi antara lain dalam hal bentuk, ekologi, habitat,

keragaman jenis dan reproduksi 2. listrik 3. Fungsi pewarnaan pada tubuh ikan adalah untuk penyalamatan diri dan Organ pada kulit adalah sisik, kelenjar lendir, organ cahaya dan organ

mencari makan 4. Organ cahaya pada ikan ada dua macam, yaitu simbiosis mutualistik

antara ikan dengan bakteri yang mengeluarkan cahaya dan berasal dari modifikasi kelenjar lendir 5. Walaupun bentuk ikan bervariasi tetapi pola umumnya tetap yakni terdiri

dari bagian kepala, badan, dan ekor 6. Ikan selain menguntungkan bagi manusia, tetapi ada juga bahayanya

misalnya ikan buas, ikan beracun dan berorgan listrik 7. Dalam sistem sirkulasi, jantung merupakan organ yang sangat penting

karen berperan sebagai pemompa darah ke seluruh bagian tubuh dan bekerja secara otomatis di bawah kendali saraf pusat (Involunteer)

8.

Alat pernapasan tambahan pada ikan berfungsi untuk mengambil O2 dari

dalam air karena kerja insang kurang efektif 9. Morfologi ikan merupakan kombinasi sistem rangka dan urat daging

sebagai evolusi adaptasi ikan terhadap lingkungannya 10. Darah berfungsi mengangkut sari-sari makanan, hormone-hormon,

antibodi dan sisa-sisa metabolisme gas-gas antara lain O2 2.1.3. Pakan dan Kebiasaan Makan Ikan nila termasuk golongan ikan pemakan segala atau lazim disebut omnivore. Larva ikan nila tidak sanggup memakan makanan dai luar selama masih tersedia makanan cadangan berupa kuning telur yang melekat di bawah perut larva yang baru menetas. Hal ini berbeda dengan jenis ikan air tawar pada umumnya yang sesaat setelah menetas lubang mulut sudah terbuka. Setelah rongga mulut terbuka, larva ikan nila memakan tumbuh-tumbuhan dan hewan air berupa plankton. Jenis-jenis plankton yang biasa dimakan antara lain yaitu alga bersel tunggal maupun benthos dan krustase berukuran kecil. Makanan ini diperoleh dengan cara diserap dalam air (Djarijah, 1995). Ikan nila setelah cukup besar memakan fitoplankton seperti alga berfilamen, detritus dan tumbuh-tumbuhan air serta organisme renik yang melayang-layang di air. Kebiasaan hidup di habitat alami memberikan petunjuk bahwa usaha budidaya nila memerlukan ketersediaan pakan alami yang memadai. Meskipun pada skala usaha budidaya intensif diberikan pakan buatan (pelet), tetapi pakan alami masih tetap diperlukan (Rukmana,1997). Ikan nila tidak perlu diberikan pakan tambahan pada pemeliharaan sistem ekstensif (tradisional) dengan padat penebaran yang rendah. Pada pemeliharaan semi

intensif, habitat dipupuk agar pakan alami tumbuh lebih subur. Sedangkan pada pemeliharaan secara intensif, selain dipupuk juga perlu diberikan pakan tambahan (pelet) dengan kadar protein 25 - 26 %. Banyaknya pakan tambahan (pelet) yang diberikan per hari sebesar 2 - 3 % dari berat tubuh ikan (Suyanto, 2004). Menurut Kordi (2000) dalam Andrianto (2005), ikan nila dewasa mempunyai kemampuan untuk mengumpulkan makanan di perairan dengan bantuan lender dalam mulut, makanan tersebut menjadi gumpalan partikel sehingga tidak mudah keluar. Ikanikan nila yang masih kecil suka mencari makanan di perairan dangkal, sedangkan ikan nila yang berukuran lebih besar lebih menyukai di perairan yang dalam. Ikan nila lebih suka bergerombol di tengah atau di dasar kolam jika dalam kondisi kenyang. Dari beberapa penelitian menunujukkan bahwa kebiasaan makan ikan nila berhubungan dengan suhu perairan dan intensitas sinar matahari. Pada siang hari di mana intensitas matahari cukup tinggi dan suhu air meningkat, ikan nila lebih agresif terhadap makanan . Keadaan mendung atau hujan, apalagi di waktu malam hari ketika suhu air rendah, ikan nila menjadi kurang agresif terhadap makanan (Djarijah, 2002). 2.1.3. Sistem Budidaya Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal dari Sungal Nil dan danau-danau sekitarnya. Sekarang ikan ini telah tersebar ke negara-negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Wilayah yang beriklim dingin, ikan nila tidak dapat hidup baik Ikan nila disukai oleh berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan akap merah. Bibit ikan didatangkan ke Indonesia adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Nila adalah

nama khas Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Setelah melalui masa penelitian dan yang diberikan oleh Pemerintah melalui (Direktur Jenderal Perikanan, 1969). Klasifikasi ikan nila adalah sebagai berikut: Kelas Sub-kelas Ordo Sub-ordo Famili Genus Spesies : Osteichthyes : Acanthoptherigii : Percomorphi : Percoidea : Cichlidae : Oreochromis : Oreochromisniloticus

Terdapat 3 jenis nila yang dikenal, yaitu: nila biasa, nila merah (nirah) dan nila albino. Persyaratan lokasi / side selection yang baik bagi budidaya ikan nila, yaitu : 1. Tanah yang baik untuk kolam pemeliharaan adalah jenis tanah liat/lempung, tidak berporos. Jenis tanah tersebut dapat menahan massa air yang besar dan tidak bocor sehingga dapat dibuat pematang/dinding kolam. 2. Kemiringan tanah yang baik untuk pembuatan kolam berkisar antara 3-5% untuk memudahkan pengairan kolam secara gravitasi. 3. Ikan nila cocok dipelihara di dataran rendah sampai agak tinggi (500 m dpl). 4. Kualitas air untuk pemeliharaan ikan nila harus bersih, tidak terlalu keruh dan tidak tercemar bahan-bahan kimia beracun, dan minyak/limbah pabrik. Kekeruhan air yang disebabkan oleh pelumpuran akan memperlambat pertumbuhan ikan. Lain halnya bila kekeruhan air disebabkan oleh adanya plankton. Air yang kaya

plankton dapat berwarna hijau kekuningan dan hijau kecokelatan karena banyak mengandung Diatomae. Sedangkan plankton/alga biru kurang baik untuk pertumbuhan ikan. Tingkat kecerahan air karena plankton harus dikendalikan yang dapat diukur dengan alat yang disebut piring secchi (secchi disc). Untuk di kolam dan tambak, angka kecerahan yang baik antara 20-35 cm. 5. Debit air untuk kolam air tenang 8-15 liter/detik/ha. Kondisi perairan tenang dan bersih, karena ikan nila tidak dapat berkembang biak dengan baik di air arus deras. 6. Nilai keasaman air (pH) tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5. Sedangkan keasaman air (pH) yang optimal adalah antara 7-8. 7. Suhu air yang optimal berkisar antara 25-30 derajat C. 8. Kadar garam air yang disukai antara 0-35 per mil. Pedoman teknis budidaya yang baik bagi budidaya ikan nila, yaitu : 1. Penyiapan Sarana dan Peralatan 1. Kolam

Sarana berupa kolam yang perlu disediakan dalam usaha budidaya ikan nila tergantung dari sistim pemeliharaannya (sistim 1 kolam, 2 kolam dlsb). Adapun jenis kolam yang umum dipergunakan dalam budidaya ikan nila antara lain: Kolam pemeliharaan induk/kolam pemijahan

Kolam ini berfungsi sebagai kolam pemijahan, kolam sebaiknya berupa kolam tanah yang luasnya 50-100 meter persegi dan kepadatan kolam induk hanya 2

ekor/m 2 . Adapun syarat kolam pemijahan adalah suhu air berkisar antara 2022 derajat C; kedalaman air 40-60 cm; dasar kolam sebaiknya berpasir. Kolam pemeliharaan benih/kolam pendederan

Luas kolam tidak lebih dari 50-100 meter persegi. Kedalaman air kolam antara 30-50 cm. Kepadatan sebaiknya 5-50 ekor/meter persegi. Lama pemeliharaan di dalam kolam pendederan/ipukan antara 3-4 minggu, pada saat benih ikan berukuran 3-5 cm. Kolam pembesaran

Kolam pembesaran berfungsi sebagai tempat untuk memelihara dan membesarkan benih selepas dari kolam pendederan. Adakalanya dalam pemeliharaan ini diperlukan beberapa kolam pembesaran, yaitu: Kolam pembesaran tahap I berfungsi untuk memelihara

benih ikan selepas dari kolam pendederan. Kolam ini sebaiknya berjumlah antara 2-4 buah dengan luas maksimum 250-500 meter persegi/kolam. Pembesaran tahap I ini tidak dianjurkan memakai kolam semen, sebab benih ukuran ini memerlukan ruang yang luas. Setelah benih menjadi gelondongan kecil maka benih memasuki pembesaran tahap kedua atau langsung dijual kepada pera petani. Kolam pembesaran tahap II berfungsi untuk memelihara

benih gelondongan besar. Kolam dapat berupa kolam tanah atau sawah. Keramba apung juga dapat digunakan dengan mata jaring 1,251,5 cm.

Jumlah penebaran pembesaran tahap II sebaiknya tidak lebih dari 10 ekor/meter persegi. Pembesaran tahap III berfungsi untuk membesarkan benih.

Diperlukan kolam tanah antara 80-100 cm dengan luas 500-2.000 meter persegi. Kolam/tempat pemberokan

Pembesaran ikan nila dapat pula dilakukan di jaring apung, berupa Hapa berukuran 1 x 2 m sampai 2 x 3 m dengan kedalaman 75-100 cm. Ukuran hapa dapat disesuaikan dengan kedalaman kolam. Selain itu sawah yang sedang diberokan dapat dipergunakan pula untuk pemijahan dan pemeliharaan benih ikan nila. Sebelum digunakan petak sawah diperdalam dahulu agar dapat menampung air sedalam 50-60 cm, dibuat parit selebar 1 - 1,5 m dengan kedalaman 60-75 cm. 2. Peralatan

Alat-alat yang biasa digunakan dalam usaha pembenihan ikan nila diantaranya adalah: jala, waring (anco), hapa (kotak dari jaring/kelambu untuk menampung sementara induk maupun benih), seser, ember-ember, baskom berbagai ukuran, timbangan skala kecil (gram) dan besar (kg), cangkul, arit, pisau serta piring secchi (secchi disc) untuk mengukur kadar kekeruhan. Sedangkan peralatan lain yang digunakan untuk memanen/menangkap ikan nila antara lain adalah warring/scoopnet yang halus, ayakan panglembangan diameter 100 cm, ayakan penandean diameter 5 cm, tempat menyimpan ikan, keramba kemplung, keramba kupyak, fish bus (untuk mengangkut ikan jarak dekat), kekaban (untuk tempat

penempelan telur yang bersifat melekat), hapa dari kain tricote (untuk penetasan telur secara terkontrol) atau kadang-kadang untuk penangkapan benih, ayakan penyabetan dari alumunium/bambu, oblok/delok (untuk pengangkut benih), sirib (untuk menangkap benih ukuran 10 cm keatas), anco/hanco (untuk menangkap ikan), lambit dari jaring nilon (untuk menangkap ikan konsumsi), scoopnet (untuk menangkap benih ikan yang berumur satu minggu keatas), seser (gunanya= scoopnet, tetapi ukurannya lebih besar), jaring berbentuk segiempat (untuk menangkap induk ikan atau ikan konsumsi). 3. Persiapan Media

Persiapan adalah melakukan penyiapan media untuk pemeliharaan ikan, terutama mengenai pengeringan, pemupukan dlsb. Dalam menyiapkan media pemeliharaan ini, yang perlu dilakukan adalah pengeringan kolam selama beberapa hari, lalu dilakukan pengapuran untuk memberantas hama dan ikan-ikan liar sebanyak 25200 gram/meter persegi, diberi pemupukan berupa pupuk buatan, yaitu urea dan TSP masing-masing dengan dosis 50-700 gram/meter persegi, bisa juga ditambahkan pupuk buatan yang berupa urea dan TSP masing-masing dengan dosis 15 gram dan 10 gram/meter persegi. 2. Pembibitan 1. Pemilihan Bibit dan Induk

Ciri-ciri induk bibit nila yang unggul adalah sebagai berikut: Mampu memproduksi benih dalam jumlah yang besar dengan

kwalitas yang tinggi. Pertumbuhannya sangat cepat.

Sangat responsif terhadap makanan buatan yang diberikan. Resisten terhadap serangan hama, parasit dan penyakit. Dapat hidup dan tumbuh baik pada lingkungan perairan yang

relatif buruk. Ukuran induk yang baik untuk dipijahkan yaitu 120-180 gram

lebih per ekor dan berumur sekitar 4-5 bulan. Adapun ciri-ciri untuk membedakan induk jantan dan induk betina adalah sebagai berikut: Betina Terdapat 3 buah lubang pada urogenetial yaitu:

dubur, lubang pengeluaran telur dan lubang urine. jelas. Jantan Pada alat urogenetial terdapat 2 buah lubang yaitu: Warna perut lebih putih. Warna dagu putih. Jika perut distriping tidak mengeluarkan cairan. Ujung sirip berwarna kemerah-merahan pucat tidak

anus dan lubang sperma merangkap lubang urine. jelas. Warna perut lebih gelap/kehitam-hitaman. Ujung sirip berwarna kemerah-merahan terang dan

merahan.

Warna

dagu

kehitam-hitaman

dan

kemerah-

Jika perut distriping mengeluarkan cairan.

Ikan nila sangat mudah kawin silang dan bertelur secara liar. Akibatnya, kepadatan kolam meningkat. Disamping itu, ikan nila yang sedang beranak lambat pertumbuhan sehingga diperlukan waktu yang lebih lama agar dicapai ukuran untuk dikonsumsi yang diharapkan. Untuk mengatasi kekurangan ikan nila di atas, maka dikembang metode kultur tunggal kelamin (monoseks). Dalam metode ini benih jantan saja yang dipelihara karena ikan nila jantan yang tumbuh lebih cepat dan ikan nila betina. Ada empat cara untuk memproduksi benih ikan nila jantan yaitu: 1) Secara manual (dipilih) 2) Sistem hibridisasi antarjenis tertentu 3) Merangsang perubahan seks dengan hormon 4) Teknik penggunaan hormon seks jantan ada dua cara. a) b) 2. Pembenihan dan Pemeliharaan Benih Pada usaha pembenihan, kegiatan yang dilakukan adalah : Memelihara dan memijahkan induk ikan untuk menghasilkan burayak (anak ikan). Memelihara burayak (mendeder) untuk menghasilkan benih ikan yang lebih besar. Usaha pembenihan biasanya menghasilkan benih yang berbeda-beda ukurannya. Hal ini berkaitan dengan lamanya Perendaman Perlakuan hormon melalui pakan

pemeliharaan benih. Benih ikan nila yang baru lepas dan mulut induknya disebut "benih kebul". Benih yang berumur 2-3 minggu setelah menetas disebut benih kecil, yang disebut juga putihan (Jawa Barat). Ukurannya 3-5 cm. Selanjutnya benih kecil dipelihara di kolam lain atau di sawah. Setelah dipelihara selama 3-1 minggu akan dihasilkan benih berukuran 6 cm dengan berat 810 gram/ekor. Benih ini disebut gelondongan kecil. Benih nila merah. Berumur 2-3 minggu, ukurannya 5 cm. Gelondongan kecil dipelihara di tempat lain lagi selama 1- 1,5 bulan. Pada umur ini panjang benih telah mencapai 10-12 cm dengan berat 15-20 gram. Benih ini disebut gelondongan besar. 3. Pemeliharaan Pembesaran Dua minggu sebelum dan dipergunakan kolam harus dipersiapkan. Dasar kolam dikeringkan, dijemur beberapa hari, dibersihkan dari rerumputan dan dicangkul sambil diratakan. Tanggul dan pintu air diperbaiki jangan sampai teriadi kebocoran. Saluran air diperbaiki agar jalan air lancar. Dipasang saringan pada pintu pemasukan maupun pengeluaran air. Tanah dasar dikapur untuk memperbaiki pH tanah dan memberantas hamanya. Untuk mi dipergunakan kapur tohor sebanyak 100-300 kg/ha (bila dipakai kapur panas, Ca 0). Kalau dipakai kapur pertanian dosisnya 500-1.000 kg/ha. Pupuk kandang ditabur dan diaduk dengan tanah dasar kolam. Dapat juga pupuk kandang dionggokkan di depan pintu air pemasukan agar bila diairi dapat tersebar merata. Dosis pupuk kandang 1-2 ton/ha.

Setelah semuanya siap, kolam diairi. Mula-mula sedalam 5-10 cm dan dibiarkan 2-3 hari agar teriadi mineralisasi tanah dasar kolam.Lalu tambahkan air lagi sampai kedalaman 80-100 cm. Kini kolam siap untuk ditebari induk ikan. Pemupukan Pemupukan dengan jenis pupuk organik, anorganik (Urea dan TSP), serta kapur. Cara pemupukan dan dosis yang diterapkan sesuai dengan standar yang ditentukan oleh dinas perikanan daerah setempat, sesuai dengan tingkat kesuburan di tiap daerah. Beberapa hari sebelum penebaran benih ikan, kolam harus dipersiapkan dahulu. Pematang dan pintu air kolam diperbaiki, kemudian dasar kolam dicangkul dan diratakan. Setelah itu, dasar kolam ditaburi kapur sebanyak 100-150 kg/ha. Pengapuran berfungsi untuk menaikkan nilai pH kolam menjadi 7,0-8,0 dan juga dapat mencegah serangan penyakit. Selanjutnya kolam diberi pupuk organik sebanyak 300-1.000 kg/ha. Pupuk Urea dan TSP juga diberikan sebanyak 50 kg/ha. Urea dan TSP diberikan dengan dicampur terlebih dahulu dan ditebarkan merata di dasar kolam. Selesai pemupukan kalam diairi sedalam 10 cm dan dibiarkan 3-4 hari agar terjadi reaksi antara berbagai macam pupuk dan kapur dengan tanah. Han kelima air kolam ditambah sampai menjadi sedalam 50 cm. Setelah sehari semalam, air kolam tersebut ditebari benih ikan. Pada saat itu fitoplankton mulai tumbuh yang ditandai

dengan perubahan warna air kolam menjadi kuning kehijauan. Di dasar kolam juga mulai banyak terdapat organisme renik yang berupa kutu air, jentik-jentik serangga, cacing, anak-anak siput dan sebagainya. Selama pemeliharaan ikan, air kolam diatur sedalam 75- 100 cm. Pemupukan susulan harus dilakukan 2 minggu sekali, yaitu pada saat makanan alami sudah mulai habis. Pupuk susulan ini menggunakan pupuk organik sebanyak 500 kglha. Pupuk itu dibagi menjadi empat dan masing-masing dimasukkan ke dalam keranjang bambu. Kemudian keranjang diletakkan di dasar kolam, dua bush di kin dan dua buah di sisi kanan aliran air masuk. Sedangkan yang dua keranjang lagi diletakkan di sudut-sudut kolam. Urea dan TSP masing-masing sebanyak 30 kg/ha diletakkan di dalam kantong plastik yang diberi lubang-lubang kecil agar pupuk sedikit demi sedikit. Kantong pupuk tersebut digantungkan sebatang bambu yang dipancangkan di dasar kolam. Posisi ng terendam tetapi tidak sampai ke dasar kolam. Selain pukan ulang. ikan nila juga harus tetap diberi dedak dan katul. pemupukan di atas dapat dilakukan untuk kolam air tawar, payau atau sawah yang diberakan. 2.1.4. Manajemen Pemberian Pakan Pemupukan kolam telah merangsang tumbuhnya fitoplankton, zooplankton, maupun binatang yang hidup di dasar, seperti cacing, siput, jentik-jentik nyamuk dan chironomus (cuk). Semua itu dapat menjadi makanan ikan nila. Namun, induk ikan nila

juga masih perlu pakan tambahan berupa pelet yang mengandung protein 30-40% dengan kandungan lemak tidak lebih dan 3%. Pembentukan telur pada ikan memerlukan bahan protein yang cukup di dalam pakannya. Perlu pula ditambahkan vitamin E dan C yang berasal dan taoge dan daun-daunan/sayuran yang duris-iris. Boleh juga diberi makan tumbuhan air seperti ganggeng (Hydrilla). Banyaknya pelet sebagai pakan induk kira-kira 3% berat biomassa per han. Agar diketahui berat bio massa maka diambil sampel 10 ekor ikan, ditimbang, dan dirata-ratakan beratnya. Berat rata-rata yang diperoleh dikalikan dengan jumlah seluruh ikan di dalam kolam. Misal, berat rata-rata ikan 220 gram, jumlah ikan 90 ekor maka berat biomassa 220 x 90 = 19.800 g. Jumlah ransum per han 3% x 19.800 gram = 594 gram. Ransum ini diberikan 2-3 kali sehari. Bahan pakan yang banyak mengandung lemak seperti bungkil kacang dan bungkil kelapa tidak baik untuk induk ikan.

You might also like