You are on page 1of 35

PARASITOLOGI CACING TAMBANG (NECATOR AMERICANUS)

Disusun untuk memenuhi tugas pembekalan parasitologi yang diampu oleh Didik Sumanto, SKM Semester II Blok 6 Tahun Ajaran 2010/2011

Disusun oleh : Ayu Rindwitia Indah Peanasari NIM : H2A010008

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG TAHUN AJARAN 2010-2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan apa yang kami harapkan. Makalah Parasitologi mengenai helmintologi (berupa cacing) yang dispesifikasikan pada cacing tambang Necator americanus. merupakan bahasan yang akan kami uraikan selanjutnya. Kegiatan ini merupakan salah satu tugas mata kuliah parasitologi, yang menjadi pembelajaran bagi kami agar bertambahnya wawasan kami mengenai kesehatan, terutama pada kesehatan manusia. Semoga apa yang kami persembahkan dapat menjadi motivasi dalam meningkatkan prestasi belajar para mahasiswa khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Kami mohon maaf bila ada kesalahan, olah karena itu saran yang baik sangat kami harapkan bagi para mahasiswa guna meningkatkan kualitas makalah selanjutnya.

Semarang. 3 Juli 2011

ttd ( Penulis )

DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................................2 Daftar isi.......3 BAB I. Kasus 1.1 Latar belakang.......................................................................................................4 1.2 Kasus.....................................................................................................................5 1.3 Rumusan masalah..................................................................................................6 1.4 Ruang lingkup permasalahan.................................................................................6 1.5 Tujuan Penulisan....................................................................................................6 1.6 Manfaat Penulisan..................................................................................................6 BAB II. Pembahasan 2.1 Pengertian cacing tambang (Necator americanus)................5 2.2 Morfologi cacing tambang (Necator americanI)..........8 2.3 Epidemiologi cacing tambang (Necator americanus) .........12 2.4 Siklus hidup cacing tambang (Necator americanus)............14 2.5 Cara penularan cacing tambang (Necator americanus)............15 2.6 Patofisiologi cacing tambang (Necator americanus) ...........16 2.7 Gejala cacing tambang (Necator americanus)..............23 2.8 Diagnosa cacing tambang (Necator americanus).....24 2.9 Komplikasi cacing tambang (Necator americanus).24 2.10 Prognosis cacing tambang (Necator americanus)...........24 2.11Pengobatan cacing tambang (Necator americanus).............................................25 2.12Cara pencegahan dan pemberantasan cacing tambang (Necator americanus)....26 2.13 Faktor resiko cacing tambang (Necator americanus).........................................27 BAB III . Penutup A. Simpulan..........................................................................................................32 B. Saran.................................................................................................................32 Daftar Pustaka..................33

BAB I KASUS

1.1 Latar Belakang Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 50% di berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan wanita maupun pria yang menolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus terpapar terhadap kontaminasi. Beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya : 1. Necator americanus 2. Ancylostoma duodenale 3. Ancylostoma braziliense 4. Ancylostoma ceylanicum 5. Ancylostoma caninum Cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam untuk kemudian pada hari ke 5 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.americanus adalah 28C 32 C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah 23C 25 C. Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale.

Seekor cacing dapat menghisap darah, karbohidrat dan protein dari tubuh manusia, dan cacing tambang Setiap ekor cacing N. americanus akan menghilangkan 0,005-1 cc darah per hari sedangkan setiap ekor cacing A. duodenale akan menyebabkan manusia kehilangan 0,08-0,34 cc per hari. Oleh karena itulah, cacing tambang menjadi berbahaya karena dapat menyebabkan anemia pada manusia. Bayangkan apabila terdapat 1000 cacing, maka setiap hari penderita akan kehilangan darah sebanyak 30 ml perhari. Maka dari itu, gejala utama dari penyakit ini adalah anemia. Bahkan pernah ditemukan seorang penderita dengan kadar haemoglobin 1,2 gram % karena disebabkan oleh cacing ini. Disamping itu, penderita akan mengeluhkan lemah, lesu, pusing, serta nafsu makan berkurang . Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk memberi sedikit ilmu agar dapat diterapkan pembaca di kehidupan sehari-hari maupun bermasyarakat. Dengan tujuan, penerapan tersebut dapat meningkatkan derajat kesehatan di Indonesia. 1.2 Kasus Seorang anak perempuan 9 tahun datang bersama ibunya ke dokter. Di dapatkan dari pemeriksaan fisik gatal di antara jari kaki, konjungtiva berwarna pucat, lemah dan lesu. Kurang nafsu mkan, mual dan 2 hari terakhir mengalami diare. Dari anamnesis ia tinggal di perkampungan kumuh padat penduduk di pertambangan bijih timah.

1.3 Rumusan Masalah 1. Apa pengertian cacing tambang (Necator americanus)? 2. Bagaimana morfologi cacing tambang (Necator americanI)? 3. Bagaimana epidemiologi cacing tambang (Necator americanus) ? 4. Bagaimana siklus hidup cacing tambang (Necator americanus? 5. Bagaimana cara penularan cacing tambang (Necator americanus)? 6. Bagaimana patofisiologi penularan cacing tambang (Necator americanus)? 7. Apa gejala cacing tambang (Necator americanus)? 8. Bagaimana mendiagnosa cacing tambang (Necator americanus)? 9. Apa komplikasi cacing tambang (Necator americanus)? 10. Prognosis cacing tambang (Necator americanus)? 11. Pengobatan apa cacing tambang (Necator americanus)? 12. Bagaimana cara pencegahan dan pemberantasan cacing tambang (Necator americanus)? 13. Faktor resiko apa akibat cacing tambang (Necator americanus)?

1.4 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup masalah yang akan diulas meliputi hal-hal yang menjadi permasalahan di atas.

1.5 Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ni adalah untuk memenuhi tugas Pratikum parasitologi Fakultas kedokteran Unimus 2010 semester II.

1.6 Manfaat Penulisan Secara umum manfaat dari makalah ini adalah: 1. Menambah pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca maupun penulis 2. Memajukan perkembangan IPTEKES 3. Mendorong timbulnya upaya perbaikan gizi bagi masyarakat khususnya warga Indonesia

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Klasifikasi ilmiah Kerajaan: Animalia Filum Kelas Ordo Genus : : : : Nematoda Secernentea Strongiloidae Ancylostomatidae Necator/Ancylostoma N. americanus

Famili : Spesies :

Cacing tambang paling sering disebabkan oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing dewasa tinggal di usus halus bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan bersama dengan kotoran manusia. Telur akan menetas menjadi larva di luar tubuh manusia, yang kemudian masuk kembali ke tubuh korban menembus kulit telapak kaki yang berjalan tanpa alas kaki. Larva akan berjalan jalan di dalam tubuh melalui peredaran darah yang

akhirnya tiba di paru paru lalu dibatukan dan ditelan kembali. Gejala meliputi reaksi alergi lokal atau seluruh tubuh, anemia dan nyeri abdomen. Hospes parasit ini adalah manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar 1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti huruf S atau C dan di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform.

(Gambar : Necator americanus)

Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250 mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan

Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. Necator americanus ditemukan di daerah tropis Afrika, Asia dan Amerika (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:10).

Gambar : Daur Hidup Cacing Tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale) (Sumber: Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:12).

Cacing tambang paling sering disebabkan oleh Ancylostoma duodenale dan Necator americanus. Cacing dewasa tinggal di usus halus bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan bersama dengan kotoran manusia. Telur akan menetas menjadi larva di luar tubuh manusia, yang akan masuk kembali ke tubuh korban melalui telapak kaki yang berjalan tanpa alas kaki. Larva akan berjalan-jalan di dalam tubuh melalui peredaran darah yang akhirnya tiba di paruparu lalu dibatukkan dan ditelan kembali. Gejala meliputi reaksi alergi lokal atau seluruh tubuh, anemia dan nyeri abdomen. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini. Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu 16 optimum 320C - 380C. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

2.2 Morfologi Necator americanus

a. Ciri Morfologi : 1. Telur - Ukuran : 60x40 mikron -Bentuk lonjong, kedua ujungnya membulat -Kulit telur satu lapis -Isi telur antara 4-8 sel, kadang berisi embrio

10

-Telur kadang menetas ditanah keluar menjadi larva rabditiform kemudian berkembang menjadi larfa filariform

2. Necator Americanus Jantan Dewasa - Bentuk slindris berbentuk S - Lengkung kepala berlawanan dengan lengkung badan dan ekor - Panjang 5-9 mm - Ujung ekor melebar disebut bursa kopulatrik tampak tumpul, digunakan untuk proses kopulasi - Rusuk dorsal celah dalam, ujung tiap cabang bercelah 2, speculum ujungnya tidak menyatu membentuk kait

11

3. Necator americanus Betina Dewasa - Bentuk slindris berbentuk S - Lengkung kepala berlawanan dengan lengkung badan dan ekor - Panjang 9-11 mm - Ujung ekor meruncing, mukron tidak ada 4. Kepala Necator americanus Dewasa - Mulut dilengapi dengan alat lempeng pemotong untuk melekatkan diri pada mukosa usus -Terdapat sepasang bendakitin menggantikan gigi, dari lateral tampak sepasang

Gambar : Kepala Necator americanus

12

5. Larva Rhabditiform - Esofagus dengan rongga mulut mulut besar/lebar - Promordium genital kecil - Menetas dari telur pada waktu 24-48 jam - Keadaan obtimum dengan kelembapan tinggi, teduh, panas, lebih dari 25c tanah lepas berpasir - Aktif makan bahan organik - Mengalami pergantian kulit 2x pada hari ketiga dan kelima

13

6. Larva filariform - Esofagus memanjang sampai panjang tubuh dan menonjol - Bersarung, ujung runcing - Tombak esophagus tidak menonjol, sering tertutup pada ujung anterior,sarung bergaris nyata pada ujung posterior. - Tidak makan, bergerak aktif merupakan bentuk infektif parsit

2.3 Epidemiologi

Kejadian penyakit (Incidens) ini di Indonesia sering ditemukan pada penduduk yang bertempat tinggal di pegunungan, terutama di daerah pedesaan, khususnya di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Srisasi Gandahusada, 2000:15). Tanah yang baik untuk pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu 16 optimum 32oC-38oC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah.

14

Pada umumnya prevalensi cacing tambang berkisar antara 30 50% di berbagai daerah di Indonesia. Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di daerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Prevalensi infeksi cacing tambang cenderung meningkat dengan meningkatnya umur. Tingginya prevalensi juga dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok karyawan atau penduduk. Sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut : kelompok karyawan wanita maupun pria yang menolah tanah di perkebunan teh atau karet, akan terus menerus terpapar terhadap kontaminasi.

Beberapa spesies cacing tambang yang penting, diantaranya : 6. Necator americanus 7. Ancylostoma duodenale 8. Ancylostoma braziliense 9. Ancylostoma ceylanicum 10. Ancylostoma caninum Cacing ini memerlukan tanah pasir yang gembur, tercampur humus dan terlindung dari sinar matahari langsung. Telur cacing tambang menetas menjadi larva rabditiform dalam waktu 24-36 jam untuk kemudian pada hari ke 5 8 menjadi bentuk filariform yang infektif. Suhu optimum bagi N.americanus adalah 28C 32 C dan untuk A.duodenale adalah sedikit lebih rendah 23C 25 C. Ini salah satu sebab mengapa N.americanus lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada A.duodenale. Larva filariform cacing tambang dapat bertahan 7 8 minggu di tanah dan harus masuk menembus kulit manusia untuk meneruskan lingakaran hidupnya. Larva cacing tambang ini memerlukan oksigen untuk pertumbuhannya, oleh karena itu olahan tanah dalam bentuk apapun di lahan pertanian dan perkebunan akan menguntungkan pertumbuhan larva.

15

Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah : 1. Iklim tropis 2. Kesadaran akan kebersihan yang masih rendah 3. Sanitasi yang buruk, kondisi sosial ekonomi yang rendah 4. Kepadatan penduduk.

2.4 Siklus Hidup Cacing tambang Necator americanus banyak ditemukan di Amerika,SubSahara Afrika, Asia Tenggara, Tiongkok, and Indonesia,Ankylostoma duodenale lebih banyak di Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan Eropa bagian selatan. Sekitar seperempat penduduk dunia terinfeksi oleh cacing tambang. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab,dgn tingkat kebersihan yg buruk.

Cacing tambang paling sering disebabkan oleh dan Necator americanus. Cacing dewasa tinggal di usus halus bagian atas, sedangkan telurnya akan dikeluarkan bersama dengan kotoran manusia. Setelah 1-1,5 hari dalam tanah, larva tersebut menetas menjadi larva rhabditiform. Dalam

16

waktu 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan bertahan hidup hingga 7-8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, cacing ikut ke aliran darah, jantung dan lalu paru-paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu trachea dan laring. Cacing dewasa berpindah-pindah tempat di daerah usus halus dan tempat lama yang ditinggalkan mengalami perdarahan lokal. Jumlah darah yang hilang setiap hari tergantung pada: 1. jumlah cacing, terutama yang secara kebetulan melekat pada mukosa yang berdekatan dengan kapiler arteri 2. species cacing : seekor A. duodenale yang lebih besar daripada N. americanus mengisap 5x lebih banyak darah 3. lamanya infeksi. Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang diakibatkan oleh kehilangan darah pada usus halus secara kronik. Terjadinya anemia tergantung pada keseimbangan zat besi dan protein yang hilang dalam usus dan yang diserap dari makanan. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan terhadap infeksi parasit. Beratnya penyakit cacing tambang tergantung pada beberapa faktor, antaza lain umur, wormload, lamanya penyakit dan keadaan gizi penderita. 2.5 Cara penularan Cara penularan penyakit cacing tambang adalah melalui larva cacing yang terdapat di tanah yangmenembus kulit (biasanya diantara jari-jari kaki), cacing ini akan berpindah ke paru kemudian ke tenggorokan dan akan tertelan masuk saluran cerna.

17

2.6 Patofisiologi Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah kerja serta menurunkan produktifitas. Tetapi kekurangan darah (anemia) ini biasanya tidak dianggap sebagai cacingan karena kekurangan darah bisa terjadi di karenakan cacing-cacing tersebut menggunakan alat pemotong untuk menempelkan mereka pada mucosa dan submucosa intestinal/usus dan mengerutkan esophagi otot mereka untuk menciptakan tekanan negative, yang menghisap potongan jaringan kedalam kapsul buccal mereka (Gambar 3). Kapiler dan arteriol pecah bukan hanya secara mekanis tetapi juga secara kimiawi, melalui aksi dari enzim hidrolitis. Untuk memastikan aliran darah, cacing tambang dewasa mengeluarkan agen/unsure anticlotting. (Salah

satunya, sebuah faktor VIIa/faktor inhibitor jaringan, yang sedang dikembangkan sebagai sebuah unsure terapetis untuk memblokir

coagulopathy dari infeksi fulminant dikarenakan virus Ebola.) Cacing tambang mencerna sebagian dari darah extravasasi. Beberapa sel darah merah mengalami lisis, sehingga melepaskan hemoglobin, yang dicerna oleh sebuah kaskade hemoglobinases yang menandai usus parasit.

Gambar. Patogenesis dan Sequelae Klinis dari Penyakit Cacing Tambang

18

Panel A memperlihatkan sebuah pemindai mikrograf electron Necator americanus. Capsul buccal ditandai dengan memotong plat yang

memungkinkan parasit dewasa untuk memakan mucosa intestinal, submucosa dan darah. Tiap cacing tambang panjangnya berkisar dari 5 sampai 13 mm dan menyebabkan kehilangan darah 0,3 ml per hari. (Foto oleh David Scharf; dicetak ulang dari Despommier et al. dengan izin dari penerbit.) Panel B memperlihatkan seekor cacing tambang dewasa memakan mucosa intestinal dan submucosa (hematoxylin dan Eosin). (Foto courtesy Dr. Bernard Zook, Departemen Patologi, George Washington University Medical Center.) (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI/, 2006:11).

19

Seekor cacing dapat menghisap darah, karbohidrat dan protein dari tubuh manusia, dan cacing tambang Setiap ekor cacing N. americanus akan menghilangkan 0,005-1 cc darah per hari sedangkan setiap ekor cacing A. duodenale akan menyebabkan manusia kehilangan 0,08-0,34 cc per hari. Oleh karena itulah, cacing tambang menjadi berbahaya karena dapat menyebabkan anemia pada manusia. Bayangkan apabila terdapat 1000 cacing, maka setiap hari penderita akan kehilangan darah sebanyak 30 ml perhari. Maka dari itu, gejala utama dari penyakit ini adalah anemia. Bahkan pernah ditemukan seorang penderita dengan kadar haemoglobin 1,2 gram % karena disebabkan oleh cacing ini. Disamping itu, penderita akan mengeluhkan lemah, lesu, pusing, serta nafsu makan berkurang . Anemia karena kekurangan zat besi terjadi dan hypoalbuminemia berkembang ketika kehilangan darah melebihi asupan dan cadangan zat besi host dan protein. Bergantung pada status zat besi host, beban cacing tambang (yakni, intensitas infeksi, atau jumlah cacing per orang) dari 40 sampai 160 cacing diasosiasikan dengan tingkat hemoglobin di bawah 11g per desiliter. Namun, studi lain telah memperlihakan bahwa anemia bisa terjadi dengan beban cacing tambang yang lebih ringan. Karena infeksi oleh A.duodenale menyebabkan kehilangan darah yang lebih hebat dibandingkan terinfeksi oleh N. americanus, tingkatan anemia karena kekurangan zat besi yang disebabkan oleh cacing tambang bergantung pada spesies. Contohnya, di Zanzibar, di antara anak-anak yang terinfeksi hanya dengan cacing tambang N. americanus, prevalensi hypoferritinemia (tingkat ferritin, <12 g per liter) adalah 33.1 persen Ketika cadangan zat besi di host menjadi habis/berkurang, ada sebuah korelasi langsung antara intensitas infeksi cacing tambang (biasanya diukur dengan total jumlah telur kuntitatif) dan penurunan pada hemoglobin, serum ferritin, dan tingkat protoporphyrin (Gambar di bawah).

20

Gambar. Hubungan antara Berat Cacing Tambang dan Anemia. Keterangan Gambar : Total jumlah telur kuantitatif berfungsi sebagai ukuran tidak langsung dari berat cacing tambang dewasa (yakni, jumlah cacing per pasien). Tingkat hemoglobin turun dalam proporsi terhadap infeksi. (Data dari Albonico et al.)

Kebanyakan tanda fisik dari infeksi cacing tambang kronis mencerminkan adanya anemia karena kekurangan zat besi. Selain itu, anasarca dari plasma hypoproteinemia yang luas diasosiasikan dengan edema di wajah dan anggota tubuh bagian bawah dan dengan perut gendut. Kulit menjadi licin dan memperoleh warna kekuningan yang tidak sehat (sebuah fitur chlorosis tropis). Cacing tambang dapat menyebabkan hypothermia yang cukup parah untuk mengurangi demam yang disebabkan oleh malaria. Selain dari anemia microcytic hypochromic, penemuan laboratorium yang paling menonjol adalah eosinophilia. Eosinophilia mencapai puncaknya pada lima sampai Sembilan minggu setelah awal infeksi, sebuah periode yang bertepatan dengan kemunculan cacing tambang dewasa dalam usus. Pasien dengan beban

21

cacing tambang yang lebih ringan biasanya asympthomatis/tanpa gejala; namun, beberapa pasien melaporkan perbaikan klinis subjektif setelah diobati. Beban cacing tambang yang sedang atau berat mengakibatkan rasa sakit epigastris dan fisik yang lemah, mual, exertional dyspnea, rasa sakit ekstremitis pada bagian bawah, palpitasi, nyeri sendi dan sternum, sakit kepala, kelelahan dan impotensi. Pada orang dewasa, kapasitas untuk bekerja mungkin akan terpengaruh secara berbeda-beda, dan banyak orang melaporkan ketidakmampuan bekerja.

Gambar 2. Siklus kehidupan Necator americanus dan Ancylostoma duodenale

22

Keterangan gambar : Manusia mendapatkan cacing tambang ketika tahap ketiga larva yang bersifat infektif berada di tanah menembus kulit (seperti halnya juga N. americanus and A. duodenale). Manusia bisa terinfeksi jika berjalan tanpa alas kaki diatas tanah yang terkontaminasi oleh tinja manusia, karena larva bisa menembus kulit. Beberapa rata-rata tertinggi dari penularan cacing tambang terjadi di daerah pantai dunia, di mana tahap ketiga larva yang bisa menginfeksi dapat bermigrasi secara bebas pada tanah berpasir di mana temperatur dan kelembaban cukup optimal untuk kelangsungan hidup larva. Di wilayahwilayah ini, terpapar yang terjadi berulang-ulang oleh tahap ketiga larva N. americanus menyebabkan pruritis local, erythematous, papular local yang dikenal sebagai ground itch. Walaupun seluruh permukaan tubuh rentan, ground itchi lebih sering muncul di tangan dan kaki, yang merupakan tempat utama masuk untuk tahap ketiga larva. Berbeda dengan ground itch, kulit yang diinvasi oleh zoonotik A. braziliense tahap ketiga larva menghasilkan larva migrans cutaneous, atau creeping eruption, sebuah kondisi dermatologis yang self-limited yang ditandai oleh lubang serpiginous, 1 5 cm panjangnya. Disebabkan oleh tahap ketiga larva yang bermigrasi pada epidermis, lubang mucul pada kaki di 39 persen kasus (Gambar 1), pada bokong sebanyak 18 persen, dan pada abdomen sebanyak 16 persen; dalam kasus yang lain, lubang kebanyakan muncul dibagian bawah kaki, lengan dan wajah. Di Amerika Serikat, larva migrans cutaneous umumnya terlihat pada personel militer, pada pelancong yang pulang dari tempat berlibur yang memiliki pantai berpasir, dan pada penduduk Florida dan Gulf Coast.

23

Gambar. Larva migrans cutaneous disebabkan oleh Ancylostoma braziliense. Sementara di tanah, tahap ketiga larva berada dalam keadaan pemberhentian perkembangan; perkembangan mulai kembali sesudah larva masuk ke dalam host. Pada manusia, jalan masuk melalui kulit diikuti dalam waktu 10 hari oleh migrasi larva ke dalam paru-paru Gambar di atas, menyebabkan batuk karena memasuki pada kapiler kapiler alveoli yang di anggap sebagai benda asing sehingga menyebabkan sakit tenggorokan. Infeksi cacing tambang paru-paru menyerupai sindrom Lffler karena hubungannya dengan eosinophilia dalam paru-paru. Dalam kasus yang jarang, pneumonitis menyertai larva migrans cutaneous. Cacing tambang pneumonitis biasanya tidak parah, walaupun mungkin akan bertahan selama lebih dari sebulan, sampai larva meninggalkan paru-paru dan masuk ke saluran percernaan. Hal ini tidak dikenali secara umum bahwa A. duodenale tahap ketiga larva menginfeksi manusia melalui mulut dan kulit. Ketika infeksi oleh A. duodenale terjadi melalui mulut, migrasi awal dari tahap ketiga larva menyebabkan sebuah sindrom yang dikenal dengan penyakit Wakana, yang ditandai dengan mual, muntah, iritasi pharyngeal, batuk, kesulitan bernafas, dan suara serak. Peningkatan tingkat sirkulasi IgE terjadi sebagai respon pada migrasi larva tingkat tiga di paru-paru dan usus.

24

2.7 Gejala Gejala klinik penyakit cacing tambang berupa anemia yang diakibatkan oleh kehilangan darah pada usus halus secara kronik. Jumlah darah yang hiIang setiap hari tergantung pada : 1. jumlah cacing, terutama yang secara kebetulan melekat pada mukosa yang berdekatan dengan kapiler arteri; 2. species cacing : seekor A. duodenaleyang lebih besar daripada N. americanus mengisap 5x lebih banyak darah; 3. lamanya infeksi. Terjadinya anemia tergantung pada keseimbangan zat besi dan protein yang hilang dalam usus dan yang diserap dari makanan. Kekurangan gizi dapat menurunkan daya tahan terhadap infeksi parasit. Beratnya penyakit cacing tambang tergantung pada beberapa faktor, antaza lain umur,"wormload," lamanya penyakit dan keadaan gizi penderita. Penyakit cacing tambang menahun dapat dibagi dalam tiga golongan : a. Infeksi ringan dengan kehilangan darah yang dapat diatasi tanpa gejala, walaupun penderita mempunyai daya tahan yang menurun terhadap penyakit lain. b. infeksi sedang dengan kehilangan darah yang tidak dapat

dikompensasi dan penderita kekurangan gizi, mempunyai keluhan pencernaan, anemia, lemah, fisik dan mentaI kurang baik. c. infeksi berat yang dapat menyebabkan keadaan fisik buruk dan payah jantung dengan segala akibatnya. Gejala lainnya adalah Ruam yang menonjol dan terasa gatal (ground itch) bisa muncul di tempat masuknya larva pada kulit. Demam, batuk dan bunyi nafas mengi (bengek) bisa terjadi akbiat berpindahnya larva melalui paru-paru. Cacing dewasa seringkali menyebabkan nyeri di perut bagian atas. Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat perdarahan usus. Kehilangan darah yang berat dan berlangsung lama, bisa menyebabkan pertumbuhan yang lambat, gagal

25

jantung dan pembengkakan jaringan yang meluas pada anak-anak. (Surat Keputusan Menteri Kesehatan No: 424/MENKES/SK/VI, 2006:11).

2.8 Diagnosa

Jika timbul gejala, maka pada pemeriksaan tinja penderita akan ditemukan telur cacing tambang. Jika dalam beberapa jam tinja dibiarkan dahulu, maka telur akan mengeram dan menetaskan larva.

2.9 Komplikasi 1. Dermatitis pada kulit 2. Anemia berat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan, perkembangan, dan payah jantung. 2.10 Prognosis Pengobatan yang adekuat akan memberikan kesembuhan, sekalipun telah terjadi komplikasi.

26

2.11 Pengobatan Prioritas utama adalah memperbaiki anemia dengan cara memberikan tambahan zat besi per-oral atau suntikan zat besi. Pada kasus yang berat mungkin perlu dilakukan transfusi darah. Jika kondisi penderita stabil, diberikan obat pirantel pamoat atau mebendazol selama 1-3 hari untuk membunuh cacing tambang. 100 mg, 2 kali sehari selama 3 hari. Tiap tablet mengandung Mebendazol 100 mg. Obat ini tidak boleh diberikan kepada wanita hamil karena bisa membahayakan janin yang dikandungnya. Pengobatan penyakit cacing tambang dapat dilakukan dengan berbagai macam anthelmintik, antara lain befenium hidroksinaftoat, tetraldoretilen, albendazole (400mg), pirantel pamoat dan mebendazol. Bila cacing tambang telah dikeluarkan, perdarahan akan berhenti, tetapi pengobatan dengan preparat besi (sulfas ferrosus) per os dalam jangka waktu panjang dibutuhkan untuk memulihkan kekurangan zat besinya. Di samping itu keadaan gizi diperbaiki dengan diet protein tinggi.

27

2.12 Cara pencegahan dan pemberantasan Pencegahan dan pemberantasan cacing-cacing ini adalah dengan : 1. Memutuskan rantai daun hidup dengan cara : a. Berdefekasi di kakus b. Menjaga kebersihan, cukup air bersih di kakus, mandi dan cuci tangan secara teratur dan rajin membersihkan kakus atau septictank, tidak menyiram jalanan dengan air got. c. Pengobatan masal dengan antelmintik yang efektif, terutama pada golongan rawan. 2. Pemberian penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara menghindari infeksi cacing-cacing ini. Pengalaman membuktikan, bahwa ketentuan-ketentuan yang tertera di atas sangat sulit diterapkan di suatu masyarakat yang sedang berkembang. Pengertian sanitasi lingkungan yang baik sulit dikembangkan dalam masyarakat yang mempunyai keadaan sosio-ekonomi rendah, dengna keadaan seperti berikut : 1. Rumah-rumah berhimpitan di daerah kumuh (slum area) di kota-kota besar yang mempunyai sanitasi lingkungan buruk, khususnya tempat anak balita tumbuh. 2. Di daerah pedesaan anak berdefekasi dekat rumah dan orang dewasa di pinggir kali, di lading dan perkebunan tempat ia bekerja. 3. Penggunaan tinja yang mengandung telur hidup untuk pupuk di kebun sayuran. 4. Cuci sayuran mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke air mengalir. 5. Pengolah tanah pertanian/perkebunan dan pertambangan dengan tangan dan kaki telanjang, tidak terlindung. 6. Masak bahan makanan sampai matang

28

7. Infeksi cacing tambang bisa dihindari dengan selalu mengenakan alas kaki. 8. Gunakan desinfektan setiap hari di tempat mandi dan tempat buang air besar. 2.13 Faktor resiko Hasil penelitian menunjukkan bahwa Prevalensi infeksi cacing tambang adalah 61,2%. Sedangakn Prevalensi infeksi cacing tambang berdasarkan kebiasaan BAB yaitu 78,6% untuk yang BAB di sembarang tempat dan 58,4 untuk yang BAB di kakus. Prevalensi berdasarkan munum obat dalam waktu 3 bulan terakhir yaitu 63,5% untuk yang tidak minum obat dan 28,6% untuk yang minum obat. Prevalensi berdasarkan kebiasaan memakai alaskaki yaitu 69,7% untuk yang tidak biasa memakai alas kaki dan 37,1% untuk yang biasa memakai alas kaki. Besarnya faktor resiko terinfeksi berdasarkan kebiasaan memakai alas kaki adalah 1,88 artinya kebiasaan memakai alas kaki merupakan faktor resiko yang kuat untuk terjadinya infeksi cacing tambang. Dari hasil tersebut diharapkan adanya upaya untuk melakukan penyuluhan tentang pentingnya kegunaan pemakaian alas kaki/sepatu but pada waktu bekerja dan membiasakan untuk selalu buang air besar dikakus. Untuk penelitian lebih lanjut dapt dikembangkan dan pemeriksaan besarnya derajat infeksi, pemeriksaan kadar Hb, pemeriksaan sampel tanah danpembiakan telur cacing tembang untuk indentifikasi dan membedakan antara larva cacing Necato americanus dan Ancylostoma duodenale Di semua daerah di mana cacing tambang merupakan endemik, variasi dalam beban cacing di antara orang-orang yang terinfeksi cukup besar. Infeksi intensitas tinggi dan intensitas rendah telah dicatat di antara orang-orang yang tinggal di kondisi yang sama yang terpapar oleh parasit. Distribusi beban cacing di antara host manusia yang berbeda penyebaran yang berlebihan cukup tinggi sehingga sering hanya 10 persen dari populasi yang terinfeksi membawa 70

29

persen cacing. Karena kebanyakan cacing tidak bereplikasi pada manusia, ratarata morbiditas dari infeksi oleh cacing umumnya tertinggi di antara pasienpasien dengan beban cacing terberat. Ada bukti bahwa beberapa orang cenderung memiliki beban cacing tambang yang berat (atau ringan) dikarenakan oleh baik genetik maupun faktor terpapar. Keseluruhan prevalensi dan intensitas infeksi cacing tambang lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, sebagian karena lelaki kemungkinan terpapar yang lebih besar terhadap infeksi. Namun, wanita dan anak-anak kecil memiliki cadangan zat besi yang paling sedikit dan sehingga sangat rentan terhadap kehilangan darah kronis sebagai akibat dari infeksi cacing tambang. Pada anak-anak, penyakit cacing tambang kronis menghambat pertumbuhan fisik, yang kadang-kadang lebih menjadi jelas saat pubertas. Kirakira 80 tahun yang lalu, sebuah korelasi terbalik diamati antara jumlah cacing tambang dan kecerdasan anak. Bukti yang lebih terbaru menunjukan bahwa infeksi cacing tambang juga tidak jelas tetapi efek berbahaya yang mendalam pada ingatan, kemampuan penalaran, dan pemahaman bacaan di masa kanakkanak. Sebagian besar efek ini kemungkinan dapat memberikan kontribusi terhadap adanya anemia karena kekurangan zat besi. Bayi dan anak-anak prasekolah khususnya, mereka rentan terhadap kekurangan perkembangan dan perilaku yang disebabkan oleh anemia karena kurang zat besi, dan dua analisis mengindikasikan bahwa infeksi cacing tambang tetap menjadi kontributor penting bagi anemia pada kelompok usia ini. Infeksi cacing tambang pada anakanak bisa mengurangi kehadiran di sekolah, dengan efek berikutnya pada produktifitas dan potensi pendapatan penghasilan pada masa kedewasaan. Infeksi cacing tambang dianggap sebagai ancaman kesehatan yang utama bagi remaja putri dan wanita pada usia produktif, dengan efek

negative/berbahaya pada hasil kehamilannya. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan bahwa dikarenakan kebutuhan fisiologis yang meningkat untuk zat besi selama kehamilan dikombinasikan dengan kekurangan gizi, lebih dari

30

setengah wanita hamil di negara berkembang memiliki masalah yang berhubungan dengan anemia karena kekurangan zat besi. Anemia karena kekurangan zat besi yang parah saat kehamilan telah dihubungkan pada angka kematian ibu, laktasi cacat, dan premature dan berat badan lahir yang rendah. Diperkirakan 44 juta wanita hamil terinfeksi oleh cacing tambang di seluruh dunia, dengan 7.5 juta di Sub-Sahara saja. Pada tahun 1929 A.C. Chandler pertamakali menyebutkan bahwa kehamilan adalah faktor yang kuat dalam menekankan efek dari penyakit cacing tambang, atau mungkin akan lebih akurat untuk menyebutkan sebaliknya. Diperkirakan di Kenya dan Nepal menunjukan bahwa infeksi cacing tambang menyebabkan 30 persen dan 41 persen, masingmasing, kasus yang sedang atau parah dari anemia di antara wanita hamil (tingkat hemoglobin, <9 g per desiliter). Hubungan antara infeksi cacing tambang dan anemia sangat besar dalam multigravidas. Asia Tenggara, umumnya dihubungkan dengan infeksi cacing tambang aktif. Kelemahan abdominal atau adanya anemia karena kekurangan zat besi pada para imigran dari daerah-daerah di mana cacing tambang adalah investigasi penyelidikan endemik untuk infeksi. Pemeriksaan mikroskopis kotoran yang tidak terkonsentrasi cukup untuk mengindentifikasi telur-telur cacing tambang dan untuk mendiagnosa secara klinis infeksi penting. Variasi yang penting/banyak pada umur-profil intensitas infeksi cacing tambang. (gambar 5) Walaupun beban cacing tambang mungkin berat pada anakanak, khususnya mereka pola yang paling umum dikenali adalah peningkatan yang stabil pada intesitas infeksi saat anak-anak, dan baik dengan puncak atau dataran tinggi/penurunan pada masa kedewasaan. Pola infeksi seperti itu memiliki implikasi terhadap populasi lansia dunia yang meluas.

31

Gambar. Pola Infeksi Cacing Tambang Berdasarkan Umur. Keterangan Gambar : Beban cacing tambang meningkat dengan usia, berbeda dengan beban cacing yang ditransmisikan oleh tanah (contohnya, Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura), yang jumlahnya sangat tinggi pada anak-anak. Beban cacing diperlihatkan dalam unit arbitrary untuk menekankan bentuk relative kurva.

Pengamatan bahwa intensitas infeksi cacing tambang meningkat dengan usia telah mengarah pada pernyataane bahwa cacing tambang bisa menghindar atau juga menekan respon kekebalan tubuh inang. Untuk memahami bagaimana hal ini terjadi, beberapa para peneliti telah menggambarkan atau mengisolasi anti-inflammatory/anti peradangan dan molekul immunomudulatory dari cacing tambang dewasa, termasuk faktor T-sell apoptotis, antagonis integrin host CD11b dan CD18, protein yang mengikat retinol, lectin tipe C, penghambat jaringan metalloproteases, protein sekretori yang kaya cysteine, dan faktor yang merusak eotaxin. Polypeptides bioaktif

32

ini juga bisa memiliki efek yang mencakup seluruh sistem yang menurunkan respon host terhadap infeksi lain. Dalam proses penggalian genum cacing tambang, para peneliti cenderung untuk menemukan molekul tambahan. Studi lebih lanjut tentang molekul immunomodulating berasal dari parasit yang mungkin menjelaskan kemunculan kontroversi tentang pertanyaan apakah cacing tambang seperti halnya cacing yang lain memberikan kontribusi untuk kerentanan terhadap infeksi HIV,

33

BAB III PENUTUP

A. Simpulan Cacing tambang Necator americanus menggunakan hospes manusia, Cacing dewasa hidup di rongga usus halus dengan giginya melekat pada mucosa usus. Cacing betina menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar bersama tinja, setelah 11,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Infeksi paling sering ditemukan di daerah yang hangat dan lembab, dengan tingkat kebersihan yang buruk. Gejalanya adalah Anemia karena kekurangan zat besi dan rendahnya kadar protein di dalam darah bisa terjadi akibat perdarahan usus.penularanmelalui larva cacing yang terdapat di tanah yangmenembus kulit, Pengobatan dengan anthelmintik, antara lain befenium hidroksinaftoat.

B. Saran 1. Tidak makan makanan mentah (sayuran,daging babi, daging sapi dan daging ikan), buah dan melon dikonsumsi setelah dicuci bersih dengan air. 2. Minum air yang sudah dimasak mendidih baru aman. 3. Menjaga kebersihan diri, sering gunting kuku, membiasakan cuci tangan menjelang makan atau sesudah buang air besar. 4. Tidak boleh buang air kecil/besar di sembarang tempat, tidak menjadikan tinja segar sebagai pupuk; tinja harus dikelola dengan tangki septik, agar tidak mencemari sumber air. 5. Bila sudah terjadi infeksi cacing tambang maka penderita harus segera di beri obat cacingan atau segera di bawa ke dokter untuk tindakan lebih lanjut

34

DAFTAR PUSTAKA

1. Albonico M, Smith PG, Ercole E, et al. Rate of reinfection with intestinal nematodes after treatment of children with mebendazole or albendazole in a highly endemic area. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995;89:538-541. 2. Bleakley H. Disease and development: evidence from the American South. J Eur Econ Assoc 2003;1:376-86. 3. de Silva NR, Brooker S, Hotez PJ, Montresor A, Engels D, Savioli L. Soiltransmitted helminth infections: updating the global picture. Trends Parasitol 2003;19:547-551. 4. FINE, J.D., : Loeffler s syndrome ? Letter. Arch. Dermatol., 117 :677, 1979. 5. Hotez PJ. China's hookworms. China Q 2002;172:1029-1041. 6. Maxwell C, Hussain R, Nutman TB, et al. The clinical and immunologic responses of normal human volunteers to low dose hookworm (Necator americanus) infection. Am J Trop Med Hyg 1987;37:126-134. 7. KARYADI, D., TARWOTJO, 1., BASTA, S., SUKIRMAN, HUSAINI, ENOCH, H., MARGONO, S.S. and SALIM, A., : Nutritionand Health Status of Construcrion Workers at Three Selected Sitesin West Java, Indonesia. Bull. Penel. Keseh. (Bull. Hlth. Studies in Indon.) No. 2, 1: 47 77, 1974. 8. KNOWLES, J.H. : Other disorders of the lung, dalam Wintrobe,M.M., Thorn, G.W., Adams, R.D. (eds) : Harrison s Principles of Internal Medicine ed. 6, New York, Mc Graw-Hill Book Co Inc., 1970, pp. 1370 1371. 9. LIE, K.J. and SANDOSHAM, A.A., : The pathology of classical filariasis due to Wuchereria bancrofti and Brugia malayi and adiscussion of occult filariasis. Seminar on filariasis and Immunology of Pazasitic Infections, Singapore, May 31 June 2, 1968 10. Mabaso MLH, Appleton CC, Hughes JC, Gouws E. The effect of soil type and climate on hookworm (Necator americanus) distribution in KwaZuluNatal, South Africa. Trop Med Int Health 2003;8:722-727.

35

You might also like