You are on page 1of 7

Akar Masalah dalam system Hukum yang bisa digunakan oleh Konsultan Pajak Banyaknya kelemahan yang ada

di system dan peraturan perpajakan yang ada di Indonesia yang bnayak menimbulkan celah dan peluang yang bisa digunakan oleh pihak yang berkepentingan dengan pajak itu sendiri. Yang berkaitan langsung dengan masalah perpajakan ini tentunya adalah wajib pajak. Selama ini tidak transparannya hasil pajak yang diperoleh yang digunakan untuk kepentingan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, meyebabkan keengganan dan ketidak pedulian wajib pajak dalam membayar pajak yang harus mereka tanggung. Atas dasar hal tersebut banyak wajib pajak yang lebih memilih untuk tidak membayar pajak yang harus mereka tanggung. Hal inilah yang menjadi peluang bagi konsultan pajak sebagai yang menjembatani antara wajib pajak dan pihak pemerintah. Apalagi banyaknya kelemahan di system perpajakan kita yang bisa dimanfaatkan untuk mengurangi biaya yang ditanggug wajib pajak. Secara umum, untuk mengetahui tingkat kepatuhan dapat diukur dengan rasio dari wajib pajak yang mengisi laporan pajak dengan jumlah wajib pajak potensial yang terdaftar dalam pranata-pranata sosial. Sebenarnya keadaan yang ideal dalam negara-negara yang sedang berkembang, tingkat efisiensi sektor pajak dapat mencapai level di atas 1%, dan Indonesia diperkirakan hanya mencapai 0,95%, Sedangkan Filipina dan Malaysia dapat mencapai masing-masing 1,34% dan 1,15%. Hal ini dapat mengakibatkan mengurangi efektivitas kebijakan fiskal untuk stabilisasi yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah pada kebijakan ekonomi Indonesia. Rendahnya tingkat efisiensi pajak dan tingginya angka calon wajib pajak yang potensial dapat disebabkan, karena kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia untuk mendaftarkan dirinya ke kantor pajak dan masih banyaknya kelemahan-kelemahan sistem hukum pajak Indonesia. Analisa ini juga didukung dengan pendapat Direktur Jenderal Pajak yang menjelaskan bahwa, lebih dari setengah legislator, menteri-menteri dan pejabat tinggi pemerintahan melakukan penghindaran pajak dari sektor penghasilan sampingan yang besar, tetapi tidak melaporkan diri kepada institusinya. Selain itu, tindakan penghindaran pajak oleh para wajib pajak potensial dapat juga disebabkan, karena kurangnya sosialisasi pajak, baik sosialisasi dibidang pajak material maupun sosialisasi pajak formil (tata cara perpajakan). Pendapat ini, penulis dasarkan pada beberapa orang yang berkonsultasi kepada penulis, mengenai perhitungan pajak dan tata cara mendapatkan NPWP.

Selain system perpajakan yang masih lemah, hal lain yang menjadi sumber permasalahan adalah lemahnya penanganan dan penegakan hukum di

bidang perpajakan. Secara historis, semangat pengadilan pajak tidak terlepas dari asumsi peningkatan pendapatan baik pajak pusat, bea, cukai dan pajak daerah yang diikuti dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Pengadilan pajak dinyatakan sebagai pengadilan yang memiliki kekhususan dikarenakan penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah Sarjana Hukum atau sarjana lain, kemudian sengketa yang diproses dalam pengadilan pajak menyangkut sengketa perpajakan, dan putusan pengadilan pajak selain memuat jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa putusan seperti mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar. Tetapi pengadilan pajak yang merupakan pengadilan khusus dilingkungan peradilan tata usaha negara ternyata tidak diimbangi dengan dinamika kebutuhan masyarakat akan reformasi hukum dan transparansi informasi. Kondisi ini membuat ada celah yang bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk tumbuh suburnya mafia pajak. Integritas, wibawa, kejujuran dan Independensi hakim masih menjadi hal yang langka. Krisis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan adalah hal yang wajar, selama belum ada pembenahan dengan prisnsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam seleksi dan pengawasan hakim. Sentralnya posisi hakim untuk membenahi sistem peradilan secara internal tidak terlepas dari proses seleksi dan pengawasanya. Proses seleksi hakim harus melibatkan banyak pihak-pihak yang berkepentingan guna melahirkan hakim-hakim yang bermartabat, adil dan independen. Begitupula dalam hal pengawasan, baik pengawasan atas putusan hakim, dan juga pengawasan atas prilaku hakim. kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan yang mandiri dan merdeka, kewibawaan kekuasaan yudikatif tercermin dari bebasnya intervensi eksekutif dalam proses penegakan hukum. lemahnya kekuasaan yudikatif dalam melakukan pengawasan sistem peradilan, maka akan berdampak pada carut marutnya tatanan peradilan. Carut marutnya tatanan perdilan tersebut termanifestasi didalam pengadilan pajak di Indonesia. Landasan yuridis berdirinya pengadilan pajak ternyata banyak bertentangan dengan aturan-aturan pendukungnya, menyebabkan desinkronisasi dan disharmonisasi antar lembaga yudikatif. Keadaan ini berdampak pada lemahnya pengawasan hakim di peradilan pajak di Indonesia.

Banyaknya kritik dan masukan dari berbagai pihak, terkait banyaknya celah penyimpangan dan maraknya praktik mafia hukum di pengadilan pajak telah merangsang Mahkamah Agung, Departemen Keuangan, Komisi Yudisial dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum membentuk tim kajian untuk sesegera merevisi undang-undang tersebut. Bahkan revisi undang-undang pengadilan pajak menjadi prioritas dalam program legislasi nasional di DPR.

Lantas, apa yang seharusnya dilakukan pemerintah? Pemerintah dalam hal ini Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara ini harus turun tangan dan bersikap tegas untuk menutup celah-celah terjadinya penyelewengan tersebut. Semua lini penegakan hukum harus bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Bila hal ini mampu ia wujudkan, maka secara otomatis sistem pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan setiap sen pemungutan dan penggunaan akuntabel. uang negara demikian dapat maka dipertanggungjawabkan secara Dengan

masyarakat akan dapat merasakan hasil pembangunan yang diharapkan.

Peran Direktorat Jenderal Pajak Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi yang mengemban amanah masyarakat Indonesia untuk memungut, mengadministrasikan dan mengawasi pembayaran pajak sebagai sumber pendapatan negara memiliki tugas besar dalam mewujudkan harapan-harapan masyarakat. Direktorat ini dituntut untuk dapat memberikan pajak dalam pelayanan rangka yang terbaik kepada masyarakat pembayar memenuhi kewajibannya.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tugas DJP dalam melaksanakan tugasnya, yaitu pelayanan, penggalian potensi dan penegakan hukum.

Pelayanan Pelayanan kepada wajib pajak meliputi pembuatan NPWP hingga konsultasi masalah perpajakan yang dialami oleh Wajib Pajak tersebut. Kurangnya pemahaman masyarakat dalam menjalankan kewajiban perpajakan menjadi cambuk bagi DJP untuk lebih giat melaksanakan sosialisasi dan memberikan pelayanan yang efektif kepada Wajib Pajak.

Penggalian Potensi Perpajakan Selama ini Surat Pemberitahuan Pajak menjadi data utama bagi DJP untuk melakukan penggalian potensi perpajakan, namun sejatinya data yang tertuang dalam SPT akan menjadi lebih powerfull dalam penggalian potensi apabila dibandingkan dengan data pendukung lainnya dari pihak ketiga. Penggalian potensi khususnya mengenai data-data WP banyak mengalami kendala karena sifat data yang confidential dan susahnya meminta data dari institusi lain. Penegakan Hukum Bidang ini menjadi hal yang paling krusial karena menyangkut pemeriksaan dan pemberian sanksi kepada wajib pajak. Namun, penegakan hukum akan lebih mudah dilakukan apabila didukung dengan perangkat dan peraturanperaturan yang memadai, hingga tidak ada celah bagi wajib pajak maupun aparat untuk melakukan penyelewengan.

Dalam upaya pencegahan tindak pidana korupsi dan untuk meningkatkan efektivitas serta efisiensi pelayanan perpajakan, Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK) melakukan kajian terhadap sistem pelayanan perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP), khususnya terhadap program delapan layanan unggulan DJP. Kajian tersebut telah dilakukan sejak 23 Januari 2008 hingga 11 Juli 2008. Hasil kajian diserahkan Ketua KPK, Antasari Azhar kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada tanggal 20 Agustus 2008 di Gedung E, Departemen Keuangan, Jakarta. Acara penyerahan hasil Kajian tersebut dihadiri juga oleh Direktur Jenderal Pajak, Darmin Nasution dan sejumlah pejabat terkait. Dalam rangka kajian tersebut, KPK telah melakukan kajian lapangan di 23 lokasi, yaitu: Kantor Pusat DJP, enam kantor wilayah DJP, dan 16 Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Selain itu, KPK juga melakukan kajian literatur dan observasi singkat di sejumlah KPP. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, diperoleh temuan-temuan pokok sebagai berikut: 1.Masih terdapat dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam proses pelayanan 2.Lemahnya fungsi pengawasan. 3. Belum diimplementasikannya pelayanan prima secara penuh. 4. Tidak adanya batasan besaran lebih bayar pajak yang permohonan restitusinya harus melalui pemeriksaan. 5. Sistem informasi perpajakan yang beragam dan tidak terintegrasi. 6.Manajemen Sumber Daya Manusia yang belum baik: a. Dasar penempatan pegawai baru tidak jelas dan tidak transparan. b. Sistem mutasi dan promosi tidak transparan. c. Kurangnya pegawai yang berkualitas. d. Alokasi SDM kurang mempertimbangkan beban kerja tiap KPP dan kualitas 7Jauhnya lokasi KPP dari wilayah pegawai. kerjanya. pajak.

8. Penyebaran aktiva tetap (sarana teknologi informasi dan kendaraan dinas) dari Kantor Pusat DJP ke Kantor wilayah DJP dan KPP yang kurang sesuai 9. Peraturan perpajakan dengan yang kurang mendukung kebutuhan. pelaksanaan

pelayanan. 10. Kebijakan dan peraturan internal yang kurang mempertimbangkan kondisi di lapangan. 11. Kurang baiknya pengadministrasian aktiva tetap. Berdasarkan hasil kajian tersebut, untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan perpajakan, KPK merekomendasikan sejumlah perbaikan yang garis besarnya adalah: peningkatan komitmen pimpinan pada lembaga yang mengurusi perpajakan; diadakannya pembenahan sistem (reformasi birokrasi) meliputi manajemen SDM, bussiness process dan infrastruktur, serta anggaran; dan peningkatan pengawasan dan penindakan (law enforcement). Dengan melakukan pembenahan sistem yang disertai dengan law enforcement serta komitmen kuat dari pimpinan, maka dapat diharapkan tingkat integritas dan produktivitas pegawai pajak semakin tinggi, sehingga sistem pelayanan perpajakan akan semakin baik. Hal tersebut pada akhirnya akan memperbaiki tingkat kepatuhan pajak dan tingkat kepercayaan terhadap administrasi perpajakan. Sebagai tindak lanjut atas hasil kajian sistem pelayanan perpajakan ini, Dirjen Pajak perlu menyusun rencana tindak (action plan) untuk mengimplementasikan rekomendasi perbaikan sistem yang disampaikan KPK. Action plan tersebut akan digunakan KPK sebagai dasar untuk memantau implementasi rekomendasi perbaikan sistem yang dilakukan oleh DJP. Melakukan monitor terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah, merupakan sebagian dari tugas KPK sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Untuk Johan Hubungan Komisi Pemberantasan informasi lebih Budi lanjut silakan SP Masyarakat Korupsi hubungi :

Jl

HR

Rasuna

Said

Kav

C-1

Jakarta

Selatan

(021) 2557-8300

You might also like