Professional Documents
Culture Documents
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007
Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II - 2008 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank Haris Munandar, Ferry Kurniawan, Oki Hermansyah Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4 Nova Riana Banjarnahor Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia Ascarya, Heni Hasanah, Noer Azam Achsani
21
53
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia
Di tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomian Indonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggi sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya PDB triwulan II-2008 diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,0% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,3% (yoy) pada triwulan I-2008. Lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh kecenderungan menurunnya permintaan domestik akibat kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Mei 2008. Di sisi permintaan, kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat diprakirakan tumbuh melambat seiring dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya tekanan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM, serta sentimen bisnis yang menurun. Sementara itu, kinerja ekspor juga berpotensi untuk tumbuh lebih rendah dari prakiraan sejalan dengan belum membaiknya iklim perekonomian dunia dan melemahnya permintaan eksternal. Kinerja impor juga diprakirakan akan mengalami penurunan seiring dengan melambatnya kegiatan perekonomian. Kondisi tersebut dapat mendorong turunnya kontribusi permintaan domestik dan net ekspor. Di sisi penawaran, hampir seluruh sektor perekonomian diprakirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan pada triwulan II-2008. Namun demikian, sektor-sektor utama ekonomi seperti sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan dan telekomunikasi masih mencatat pertumbuhan yang tinggi. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakan surplus. akan tetap mencatat surplus Seiring dengan masih tingginya pertumbuhan ekonomi, impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan ekspor dan investasi menunjukkan peningkatan. Kenaikan nilai impor ini dalam jangka waktu pendek akan mengurangi surplus pada NPI. Namun ke depan, dengan tetap solidnya pertumbuhan ekonomi, perkembangan NPI pada tahun 2008 diharapkan tetap mencatat surplus yang tinggi. Sementara itu, perkembangan transaksi modal dan finansial diwarnai oleh penerbitan obligasi valas Pemerintah serta tetap terjaganya minat investor asing terhadap aset domestik. Secara keseluruhan, kinerja NPI pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat surplus. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi posisi
cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2008 mencapai USD59,5 miliar atau setara dengan 5,1 bulan impor dan utang luar negeri Pemerintah. Dengan kinerja NPI tersebut, indikator kerentanan eksternal hingga akhir triwulan II-2008 masih relatif membaik. Posisi utang luar negeri yang terus meningkat dapat diimbangi dengan peningkatan kegiatan ekonomi, termasuk kinerja ekspor dan posisi realisasi cadangan devisa. Nilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalami tekanan. Tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen pasar sempat memberikan tekanan terhadap nilai rupiah. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD. Pergerakan rupiah selama triwulan II-2008 relatif terjaga yang tercermin dari penurunan tingkat volatilitas dari 1,42% pada triwulan I-2008 menjadi 0,61%. Laju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan menggunakan tahun dasar 2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari 8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7% pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food. Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik. Perkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belum kredit. menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit Hingga Mei 2008, suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masih menunjukkan penurunan dengan besaran yang bervariasi, sedangkan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat relatif stabil. Di sisi penghimpunan dana, rata-rata suku bunga deposito periode 1 bulan pada Mei 2008 tercatat sebesar 6,98%, sedikit meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, IHSG pada akhir laporan ditutup pada level 2349 atau melemah 4,01% dibandingkan dengan akhir triwulan I-2008. Kinerja IHSG selama triwulan II-2008 cenderung lebih fluktuatif sejalan dengan meningkatnya berbagai faktor risiko domestik dan regional. Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut didorong oleh kinerja ekspor dan investasi, walaupun dibayangi oleh kemungkinan melambatnya
ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008
pertumbuhan konsumsi swasta akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga komoditas yang tinggi serta pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang tetap kuat diprakirakan menjadi insentif bagi kenaikan ekspor. Prospek ekspor yang cukup cerah diprakirakan mendorong kenaikan pertumbuhan investasi. Dari sisi produksi, prakiraan tersebut didukung oleh pertumbuhan sektorsektor yang berorientasi ekspor, khususnya sektor pertambangan dan sektor pertanian. Sementara itu, pengeluaran pemerintah diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya disebabkan oleh kelonggaran belanja pemerintah pascapengurangan subsidi BBM. Peranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalam perekonomian. memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian Bank Indonesia (BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar 5%+1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagai risiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestik. Risiko paling utama saat ini berasal dari perkembangan eksternal yaitu kenaikan harga-harga komoditas internasional, khususnya harga minyak dan bahan pangan, serta gejolak di pasar finansial global. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Selain itu, masih adanya selisih antara harga pasar dan harga subsidi serta kemungkinan peningkatan konsumsi BBM dapat menimbulkan risiko pengurangan subsidi BBM lebih lanjut. Dalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan perekonomian. hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian Keputusan BI pada awal Juli 2008 untuk menaikkan BI Rate menjadi 8,75% didasari atas pertimbangan secara seksama akan risiko terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia serta prospek pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia melihat adanya peningkatan tekanan pada sisi permintaan dan indikasi kenaikan ekspektasi inflasi yang dapat menimbulkan kenaikan inflasi putaran kedua. Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menaikkan BI Rate untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM dan bahan pangan terhadap harga barang-barang lain serta menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat ke depan.
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
REGIONAL ECONOMIC INTEGRATION, MOBILITY OF PRODUCTION FACTORS AND THE ROLE OF CENTRAL BANK
Haris Munandar, Ferry Kurniawan, Oki Hermansyah 1
Abstrak s i
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian yang terintegrasi penuh yang memungkinkan pergerakan input dan output secara bebas, maka proporsi output dalam perekonomian akan sama dengan proporsi input produktif (yakni physical dan human capital). Ini kami sebut sebagai hubungan proporsional (equal-share relationship). Hubungan ini juga berlaku ketika terdapat perbedaan teknologi atau perbedaan biaya pergerakan input lintas sektor dengan syarat input dan output ini diukur dengan benar dalam merefleksikan perbedaan biaya tersebut. Dalam suatu perekonomian yang terintegrasi, hubungan proporsional ini membatasi distribusi input dan output. Selain itu, hubungan proporsional ini sekaligus memberikan batasan pengambilan kebijakan yang dapat mempengaruhi perkembangan setiap sektor dalam perekonomian yang terintegrasi penuh. Disini investasi memainkan peranan kunci dalam menentukan distribusi produksi. Dengan aplikasi teknik analisis panel pada data negara ASEAN, penelitian ini menelusuri dampak kebijakan moneter terhadap investasi. Hasil penelitian menunjukkan: (i) bank sentral melalui kebijakan moneternya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja investasi, (ii) inflasi yang rendah dan stabilitas perekonomian secara signifikan meningkatkan investasi. Menyongsong terbentuknya ASEAN Economic Community, temuan ini menegaaskan peran penting bank sentral dalam meningkatkan investasi.
1 Haris Munandar is an Economist while Ferry Kurniawan and Oki Hermansyah are Junior Economists at the Modeling and Outlook Unit of Bureau of Economic Research, Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: hmunandar@bi.go.id (corresponding author). The views expressed in this paper are those of the authors and do not necessarily represent those of Bank Indonesia or Bank Indonesia policy. We thank Made Sukada, Wijoyo Santoso, Endy Dwi Tjahjono and conference participants at the Asia Pacific Trade Seminars (APTS) in Sidney, 14-15 July 2008, for providing us comments and encouraging us to do this work.
I. INTRODUCTION
At the January 2007 ASEAN Summit in Cebu, Philippines, ASEAN leaders agreed to bring forward to 2015 an ambitious initiative to integrate their economies and establish an ASEAN Economic Community (AEC). The community was previously planned to be instituted by 2020 as per earlier ASEAN leaders decision at the 2003 ASEAN Summit in Bali. The main motivation in the beginning was the need for a significantly higher level of regional economic integration if the ASEAN economies were to compete in a world in which the weight of China and India would continue to rise. The AEC is now aspired to be a single market and production base, a highly competitive economic region, a region of equitable economic development and a region that is fully integrated into the global economy. To achieve such objectives an AEC blueprint was launched at a more recent ASEAN Summit in Singapore in November 2007. This blueprint is intended to be the roadmap required to implement the AEC by 2015. The manuscript contains action plans, targets and timelines for the implementation of the various economic initiatives to advance the AEC. Developing an ASEAN single market and production base necessitates achieving free flow of goods, services, investment, capital and skilled labor. To this end, 12 priority sectors have been selected as the catalyst and these sectors will pursue a fast track integration path.1 In this context, the ASEAN Free Trade Area (AFTA) has been one of the most important building blocks of the AEC as it has facilitated the agenda towards free movement of goods in the region. AFTA was formed in January 1992 at the ASEAN Summit meeting in Singapore. By now, tariff rates reduction to 0 to 5 percent under AFTA have been adopted by most member countries with full implementation by all members from 2010. Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand (referred to as the ASEAN-6) agreed to complete the comprehensive tariff reduction program in 2008 which was moved forward to 2002. Cambodia, Laos, Myanmar and Viet Nam (CLMV countries) were given longer time frames to complete the program: Viet Nam in 2006, Laos and Myanmar in 2008 and Cambodia in 2010. Conceptually, the AEC is intended to mimic a European Union (EU)-style single market. Within the ASEAN context, it will require all measures to remove discrimination against ASEAN suppliers of goods, services and factors. ASEAN still has indeed a long way to go to achieve a single market. To do so will require a fundamental change in thinking by ASEAN economic policy-makers especially in the way they approach regional economic integration. The relatively successful AFTA implementation (trade-related liberalizations) more or less has left issues concerning factor mobility at the top of the AEC implementation programs.
1 These 12 priority sectors are: electronics, information and communications technology (ICT), healthcare, wood-based products, automotives, rubber-based products, textiles and apparels, agro-based products, fisheries, air travel, tourism and logistics.
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
This paper tries to shed some lights regarding what will happen after fully free factor mobility are achieved following the establishment of AEC in 2015 and as a way to strengthen analytical tools to anticipate ASEAN Economic Community 2015. Such objectives were clearly stated by Governor of Bank Indonesia at the Annual Bankers Dinner January 18, 2008. In this annual strategy presentation, the Governor noted as follows (see Abdullah, 2008, page 154): The third initiative in the monetary sector is strengthening policy analysis related to AEC 2015. The ASEAN Charter in Singapore on 20th November 2007 witnessed the introduction of the ASEAN economic integration program that is no longer up for negotiation. The AEC 2015 intra ASEAN free-trade agenda is nearly complete and will usher in a significant change in the movement of the production factor. The effect of free movement in the production factor is the establishment of a new configuration of intra ASEAN economic production distribution. It is therefore imperative for a central bank to understand the determinants of this new configuration. We need to project new characteristics and determinants of economic production distribution. As we are discussing something that will take place in the future, we do not have any data that can be interpreted through empirical study. Therefore, Bank Indonesia will initiate several theoretical and analytical research programs. Fundamentally, a surge of regional integration agreements over the past two decades, including the formation of the ASEAN Economic Community, have sought to reduce barriers to the exchange of goods, services and, in the extreme, factors of production among subsets of countries.2 Other examples include the NAFTA (United States, Canada and Mexico), the European Unions Europe 1992 internal market program, the recent accession of additional countries into the European Union (EU), and ongoing efforts to initiate or renew agreements among a variety of nations (e.g., the Free Trade for the Americas and MERCOSUR). The literature dealing with the economic implications of regional integration has mostly dealt with the effects of reducing barriers to the movement of goods. Less attention has been given to the implications of also allowing greater mobility of productive factors within an integrated economy. This omission from the literature is important not only because cross-border factor flows are becoming increasingly important,3 but also the international trade literature has long recognized that goods trade and cross-border factor flows can evidence a substitute or complement relationship. Hence, reducing barriers to the movement of productive factors within an integrated area would be expected to affect the final distribution of production across members of an integrated economy.
2 Sachs and Warner (1995) chronicle these liberalization efforts. 3 The importance of factor mobility in many parts of the world is evidenced by the growing importance in many nations balance of payments of remittances from abroad (e.g., International Monetary Fund, 2004). Capital flows in the form of foreign direct investment continue to be important among industrialized countries and they are increasingly also being directed toward developing countries.
In this paper we take a general form (not an ASEAN specific) to investigate the implications of allowing factor mobility within an integrated economy for the distribution of production across members. Employing factor price equalization as a driving force, we show that factor mobility among members of an integrated economy (IE) implies that each members share of total IE output will equal its shares of the total IE stock of each productive factor (i.e., its shares of total physical and human capital). We term this theoretical prediction the equal-share relationship.
where Yt is the level of output, Kt is the level of physical capital stock and Ht is the level of human capital stock, all at time t. To facilitate interpretation we assume the production function takes the Constant Elasticity of Substitution (CES) form:
r Yt = g { K t- + (1-d ) H t- r d
- 1/ r
(II.2)
where is an efficiency parameter, the degree of physical capital usage, and is a substitution parameter such that the elasticity of substitution between the two inputs is = 1 /(1 + ). Given (II.2), the marginal product of physical capital is:
Kt ( FK )t = + (1 ) Ht (1+ ) /
(II.3)
Y ( FK )t = t Kt
1+
(II.4)
Similarly, the expression for the marginal product of effective labor (human capital) is:
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
K ( FH )t = (1 ) (1 ) + t Ht
(1+ ) /
(II.5)
or
1+
( FH )t =
Y (1 ) t Ht
(II.6)
We now introduce a second economy and consider the implications of allowing factor mobility between the two economies. If physical capital and human capital are perfectly mobile between the two economies then we would expect each factor to flow from the low to high rate of return country until each factors rate of return (marginal product) is equalized between the two economies. However, if there are barriers to factor mobility then rates of return will only be partially equalized.5 For simplicity, we can represent such barriers by a time-varying proportional wedge in rates of return to physical capital ( t (k) > 0) and rates of return to human capital ( t (h) > 0). Given this, the relation between the rates of return between the two economies can be written:
Y t Kt
1+
= t ( k )( *)
1+
Y* * t* Kt
*
1+ *
(II.7)
1+ *
Y (1 ) t Ht
= t ( h )( *)
Y* (1 *) t * Ht
(II.8)
where * indicates second economy variables. The ratio of (II.7) to (II.8) gives the ratio of human to physical capital:
H * Ht = ( t )1/(1+ ) t Kt Kt *
(II.9)
5 Barriers to capital mobility can include sovereign and political risk, capital controls, and tax differences that can hinder cross-border investments. Barriers to human capital mobility include government regulations on immigration and work permits, differences in pension systems and languages between countries.
10
where :
= [ *(1 ) /(1 *) ]
1/(1+ )
, implying = 1 when = ;
Y * Yt = ( t ( k ))1/(1+ ) t Kt Kt *
where:
(II.10)
v = ( * / )1/(1+ )
= ( *) *
1/(1+ )
We are now fully equipped to illustrate the implications of the model for the distribution of output and factors between the two economies. To show the role of human capital, rewrite (II.8) as:
Y* Yt = ( t (h))1/(1+ ) t * Ht Ht
(II.11)
Traditionally, (II.11) serves as a basis for productivity calculations and comparisons across countries. However, unlike the existing literature (e.g., Hall and Jones, 1999) where productivity is measured by output per worker, equation (II.11) expresses (like the endogenous growth literature) productivity in terms of output per effective unit of labor. For the sake of comparison, consider Hall and Jones (1999) example of the United States and Niger. In 2000, US output per worker was 38 times higher than output per worker in Niger. Using as a measure of human capital the number of persons with at least a secondary education, output per unit of human capital in Niger is instead measured to be 1.3 times higher than in the United States for the same period. This indicates the sensitivity of productivity comparisons to the measurement of human capital. To obtain a first expression of the equal-share relationship, note that (9) and (10) can be written as follows:
H t + (H t *) (t )1/(1+ ) Ht 1/(1+ ) H t * = (t ) = Kt K t + ( K t *) Kt *
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
11
(II.12)
Equation (II.12) establishes a link between the first economys shares of the total output, physical capital, and human capital across the two economies. Differences in technology between the two economies imply only a rescaling of the original variables. A difference between and indicates a neutral difference in technologies that has no effect on the optimal selection of physical capital and human capital, but it does have an effect on the distribution of output through in (II.12). A difference between the substitution elasticities introduces the power whereas differences between the other parameters lead to a multiple rescaling of variables. Equation (II.12) nests several share relationships that relate to different assumptions about technology and factor mobility. If technology is identical between the two economies then (II.12) simplifies to:
Ht Yt Kt = = 1/(1+ ) 1/(1+ ) H t + H t * t Yt + Yt * t (k ) Kt + Kt *
(II.13)
In this new form of the equal-share relationship, some variables for the second economy are rescaled by the proportional differences in rates of return. For example, from (II.13), an absence of barriers to physical capital mobility (t (k) =1 implies equal output and physical capital shares that, however, differ from the human capital share. If we assume that both (t (k)
=1 and (t (h) =1 then the equal-share relationship takes the simple form:
Ht Yt Kt = = H t + H t * Yt + Yt * K t + K t *
(II.14)
This states that when there are no barriers to factor mobility and technologies are identical, each economys shares of total output, total physical capital and total human capital will be identical.
12
The equal-share relationship (II.14) has three main implications. First, a reallocation of physical capital between IE economies, that is, dKt = - dKt, must be accompanied by an increase in output and either an inflow of foreign human capital or an accumulation of domestic human capital to rebalance the equality of world shares. Similarly, a policy that increases a countrys share of total IE human capital will raise both the countrys share of total IE output and its share of total IE physical capital (via either an inflow of foreign physical capital or accumulation of domestic capital). Second, our framework can be related to the broad topic of output convergence by noting that if (II.14) holds then the following two equalities will also hold:
Yt Y + Yt * = t Ht Ht + Ht *
(II.15)
Yt Y * = t Ht Ht *
(II.16)
From (II.16) it is clear that, if the equal-share relationship holds, the two economies will have the same output per efficiency unit of labor. This implication is the essence of the productivity convergence hypothesis (Baumol, 1986), here interpreted in terms of efficiency units of labor and not per capita. Third, the equal-share relationship (II.14) can be extended to the case of an integrated economy that comprises j = 1,...,N members. If all members have the same technology, and there is perfect mobility of either physical or human capital among members, then the equalization of factor rates of return implies:
H it
N
H jt j =1
Yit
N
Y j =1 jt
K it
N
K j =1 it
for i = 1, , N
(II.17)
This set of equalities express the distribution of output and factors among N members of a fully integrated economy. Like (II.12), expression (II.17) can be extended to allow for differences in technology and factor market imperfections among members. In the context of the ASEAN Economic Community (AEC), the equal share relationship can predict the limiting distribution of production among ASEAN members after 2015. Countries with more human capital and therefore have high proportions of total human capital will have larger proportions of physical capital and bigger shares in the pie of regional economic output.
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
13
This makes sense since superior quality human resources become a magnet for and complement advanced technology-intensive physical capital, while technology has the capability of delivering improvement in economic productivity exponentially. In addition, ASEAN countries able to offer the most conducive atmosphere (read: policies) for foreign investment have the greatest opportunities for acquiring the largest share of physical capital in relation to other ASEAN countries. Besides this, a more advanced economy will support a higher rate of domestic investment by the public, which will also expand the proportion of physical capital in that country. A nation with substantial physical capital (financial and nonfinancial) will be able to employ highly skilled domestic and foreign labours that represent a powerful source of energy for high quality and sustainable economic growth. Each ASEAN member will occupy a certain ranking among the AEC participating countries in terms of economic output, human capital and physical capital, commensurate to that countrys resources and the economic policies that it chooses to adopt. Needless to say, there will be great interest in answering this question: Where will Indonesia stand?
14
Some studies have attempted to investigate the possibility of a linkage between monetary policy performance (the central bank domain) and investment levels. At the theoretical level, Barro (1996) made the conceptual discovery that the effect of inflation on growth and investment is negative, while Agenor (2004) claims that improved macroeconomic stability in response to appropriate policies leads to increased savings and investment. In this regard, it is important and interesting to examine whether empirical evidence can be found in the case of Indonesia. The search for this evidence becomes highly important when linked to the imminent formation of the ASEAN Economic Community in 2015. It is therefore crucial to study whether a significant relationship exists between monetary policy performance (most importantly inflation) and investment performance in the ASEAN countries (mainly FDI inflows). If this relationship is discovered, the monetary authority can play a role in building a nations physical capital, which will lead to expansion in that nations share of economic output (read: prosperity). In other words, the monetary authority may have a positive role in the period leading up to the establishment of the ASEAN Economic Community (AEC).
III. METHODOLOGY
To validate the possible existence of the above linkages, an empirical study is conducted using macroeconomic data from the ASEAN-7 countries (Philippines, Indonesia, Cambodia, Malaysia, Singapore, Thailand and Vietnam) for the 1991-2006 period. The first phase of this study involved a short-term analysis using data on investment, inflation and real annual GDP for each country obtained from the International Monetary Fund (IMF) and Asian Development Bank (ADB).6 In the short-term, the model specifications used are as follows: Model 1: yt = a1 + b1 x1, t-1 + 1, Model 2: yt = a2 + b2 x2,
t-1
+ 2,
in which yt is investment growth in year t, x1,t-1 is inflation in the preceding year and x2,t-1 is real GDP growth in the preceding year. 1,t is assumed to have the IID property. The above specifications attempt to capture the nature of the relationship between inflation and economic growth in one period and investment growth in a subsequent period. A significant b1 or b2 coefficient values will confirm the existence of this relationship. Theoretically, the b1 value is negative (high inflation reduces investment) and the b2 value is positive (economic growth will promote investment growth).
6 The IMF data is the International Financial Statistics (IFS) covering a number of years.
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
15
The long run analysis uses cross-section data for inward FDI in 2006 and cross-section data for average inward FDI in the 2002-2006 period for the above seven ASEAN countries. The use of these averages is aimed at minimising volatility in the FDI data. As can be seen, 2006 is used as the reference year. Long-term inflation is calculated for each cross-section data using average annual CPI inflation for the 1991-2005 period, while macroeconomic instability is proxied by a standard deviation of nominal GDP growth, also for the 1991-2005 period. Data on FDI inflows from the International Monetary Fund is used for investment levels in the long run analysis. The long run regression model is prepared as follows: Model 4: yi = c1 + d1 x1,i + 3, Model 5: yi = c2 + d2 x2,i + 4, where yi is FDI inflows to country i, x1,i is long-term inflation in country i and x2,i is the level of macroeconomic instability in country i. 3 and 4 are assumed to have IID properties. The above specifications attempt to capture the nature of the relationship between long-term inflation in combination with macroeconomic stability on FDI inflows in ASEAN countries. A significant d1 or d2 coefficient value will confirm this relationship. Theoretically, low long-term inflation will promote FDI inflows while high levels of macroeconomic instability will deter inward FDI.
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
16
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
17
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value
The findings of the short run analysis must be treated with caution. On one hand, the results obtained are dependent on the business cycle in individual countries, and therefore it is difficult to identify a uniform pattern within ASEAN. On the other hand, an interesting aspect of economic integration concerns its effect in the long run, not short run. In addition, country investment policies are generally focused on foreign capital inflows, given that domestic investment tends to be stable. FDI is the most desired of all types of foreign investment because of the more direct implication it has on the real sector (compared to the effect of portfolio investment which tends to be confined to the financial sector). Therefore, attracting the maximum possible FDI is the goal of many developing nations, including those in ASEAN. The long run analysis in the following section attempts to explain these issues.
18
Table II.8 Inward FDI and Macroeconomic Performance - 2006 Reference Year
Model 3 Long-term Inflation (1991-2005) Macroeconomic Instability (1991-2005)
Note: Dependent variable is Inward FDI 2006 values in brackets are p-value 2006;
Model 4
Table II.9 Inward FDI and Macroeconomic Performance - 2002-2006 Reference Period
Model 3 Long-term Inflation (1991-2005) Macroeconomic Instability (1991-2005)
Note: Dependent variable is Inward FDI 2006 values in brackets are p-value 2006;
Model 4
The results also demonstrate a strong correlation between macroeconomic stability and FDI inflows. Countries with stable macroeconomic conditions enjoy high rates of FDI, and the converse also applies. Both results are valid for all ASEAN countries under study. The conclusion from this analysis seems to be that central bank policy aimed at achieving and maintaining low inflation and stable macroeconomic conditions is a pro-investment monetary policy.
V . CONCLUSION
Regional economic integration will result in an economic distribution that depends on distribution of each countrys production factors, comprising both physical capital and human capital. Investment will play an increasingly central role, directly determining a countrys level of prosperity in relation to its peers in the region. Central banks are able to influence investment performance through their monetary policies: low inflation and stable macroeconomic conditions contribute significantly to increased investment. In other words, monetary policy targeting low inflation and macroeconomic stability is a pro-investment monetary policy. With regional economic integration, central banks will play an increasingly essential role in promoting investment.
Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank
19
References
Abdullah, B., 2008, Opening the Path to Stability, Safeguarding the Nations Economic Development, Address by Governor of Bank Indonesia at the Annual Bankers Dinner. Agenor, P. R., 2004, Macroeconomic Adjustment and the Poor: Analytical Issues and CrossCountry Evidence, Journal of Economic Surveys, 18(3), 351-408. Barro, R. J., 1996, Inflation and Growth, Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 78, May/ June, 153-169. Baumol, W. J., 1986, Productivity Growth, Convergence, and Welfare: What the Long-Run Data Show, American Economic Review 76, 1072-1085. Bowen, H.P., H. Munandar and J.-M. Viaene (2005), The Limiting Distribution of Production in Integrated Economies: Evidence from U.S. States and E.U. Countries, Tinbergen Institute Discussion Paper 05-045/2. Hall, R.E. and C.I. Jones, 1999, Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Than Others? International Monetary Fund, 2004, International Financial Statistics, Washington DC: International Fund. Sachs, J.D. and A. Warner, 1995, Economic Reform and the Process of Global Integration, Brookings Papers on Economic Activity, 1-95.
20
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
21
MEKANISME SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN MONETER DAN VARIABEL MAKROEKONOMI INDONESIA: 1990.1 - 2007.4
Nova Riana Banjarnahor1
Abstract
Bank Indonesia has applied the Inflation Targeting Framework (ITF) to reach its single-final objective; stabilizing Rupiah reflected in the inflation and its exchange rate. The central bank of Indonesia uses the interest rate as his operational target to achieve the targeted inflation. Regardless of whether Bank Indonesia uses the Certificate of Bank Indonesia (SBI) or the money market rate (PUAB), on empirical ground the targeted inflation is hard to achieve. This paper analyzes the monetary policy of Bank Indonesia and its impact on macroeconomic variables. The application of Differenced Vector Autoregressive (DVAR) method shows that the monetary policy has a direct impact on the time deposit rate and an indirect impact on the exchange rate, money supply, gross domestic product and on consumers price index.
1 Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Insukindro M.A. atas segala bimbingan dan bantuan dalam penulisan artikel ini.
22
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
23
Pada tahun 2005 tingkat inflasi yang terjadi jauh berbeda dari perkiraan yang telah ditetapkan. Tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2005 tersebut terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang mengalami kenaikan mengakibatkan inflasi naik secara tajam dan kenaikan tersebut tidak dapat diantisipasi oleh BI sebelumnya. Berkaitan dengan adanya peningkatan harga minyak dunia pada tahun 2005 tersebut, BI melakukan revisi sasaran inflasi tahun 2006 dan 2007. Pada tahun 2003 dan 2006 setelah revisi tingkat inflasi yang terjadi lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sasaran inflasi pada kedua tahun tersebut tetap saja dapat dinyatakan tidak tercapai karena tingkat inflasi yang lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan menunjukkan bahwa penghitungan sasaran inflasi yang telah ditetapkan tidak tepat. Dari Tabel III.1 tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum target inflasi setiap tahun yang telah ditetapkan oleh BI belum dapat tercapai sepenuhnya. Sementara itu, sejak tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah menetapkan sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar mengambang bebas. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Sistem nilai tukar mengambang bebas memungkinkan terjadinya nilai tukar yang sangat fluktuatif sehingga dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar fluktuasinya tidak tinggi. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana tujuan BI seperti tertera pada Undang-undang tentang BI dapat dicapai. Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Sejalan dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dan sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 Tahun 1999 maka BI mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter (Kharie, 2006). Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter yang berpendekatan harga di bawah sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, Warjiyo dan Zulverdi (1998) menyatakan bahwa suku bunga yang cocok dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter adalah suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Pemilihan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional karena pertimbangan bahwa suku bunga PUAB memiliki kaitan yang erat dengan suku bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen operasi pasar terbuka. Mulai Juli 2005, suku bunga BI Rate dipergunakan sebagai sinyal respon kebijakan moneter dan sasaran operasional. BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh BI secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan
24
moneter (www.bi.go.id). BI Rate diimplementasikan melalui operasi pasar terbuka untuk SBI satu bulan karena beberapa pertimbangan. Pertama, SBI satu bulan telah dipergunakan sebagai
benchmark oleh perbankan dan pelaku pasar di Indonesia dalam berbagai aktivitasnya. Kedua,
penggunaan SBI satu bulan sebagai sasaran operasional akan memperkuat sinyal respon kebijakan moneter yang ditempuh BI. Ketiga, dengan perbaikan kondisi perbankan dan sektor keuangan, SBI satu bulan terbukti mampu mentransmisikan kebijakan moneter ke sektor keuangan dan ekonomi. Terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai pengaruh kebijakan moneter melalui suku bunga terhadap beberapa variabel makroekonomi pada satu atau beberapa negara. Cheng (2006) menganalisis dampak kejutan kebijakan moneter di negara Kenya. Cheng (2006) menyatakan bahwa peningkatan suku bunga jangka pendek cenderung diikuti oleh penurunan tingkat harga dan apresiasi nilai tukar nominal, namun tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap output. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menganalisis dampak kebijakan moneter di negara Armenia. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menunjukkan bahwa kemampuan kebijakan moneter dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi masih terbatas. Jalur suku bunga tetap lemah dalam mempengaruhi output, namun terdapat pengaruh yang kecil dari kejutan suku bunga terhadap harga. Penelitian mengenai topik yang relevan di Indonesia sendiri telah banyak dilakukan. Julaihah dan Insukindro (2004) menyatakan bahwa suku bunga SBI mampu mempengaruhi pergerakan suku bunga deposito satu bulan, IHK, tingkat output, dan nilai tukar. Bahkan, kejutan suku bunga SBI mampu memberi kontribusi dalam menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi meskipun dalam jangka panjang. Selanjutnya, Solikin (2005) menyatakan bahwa suku bunga SBI berpengaruh secara signifikan dan persisten hanya pada inflasi. Namun, pengaruhnya terhadap pertumbuhan output dan kesempatan kerja relatif kecil. Selain itu, Nuryati, Siregar dan Ratnawati (2006) menyatakan bahwa suku bunga SBI hanya berpengaruh sangat kecil terhadap tingkat harga dan nilai tukar. Walaupun terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai dampak kebijakan moneter terhadap variabel ekonomi, penelitian ini tetap penting untuk dilakukan. Pengukuran yang tepat mengenai dampak perubahan kebijakan moneter terhadap ekonomi sangatlah penting, baik untuk membuat kebijakan yang tepat maupun untuk memilih diantara alternatif teori makroekonomi (Bernanke dan Mihov, 1998). Sementara itu, masih terdapat ketidakpastian yang besar mengenai dampak kebijakan moneter pada aktivitas ekonomi dan harga (Fung, 2002).
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
25
II. TEORI
Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan sektor riil (Warjiyo, 2004). Secara umum, terdapat enam jenis saluran tranmisi kebijakan moneter yang sering dikemukakan dalam teori ekonomi moneter. Saluran transmisi tersebut antara lain saluran uang, saluran suku bunga, saluran nilai tukar, saluran harga aset, saluran kredit, dan saluran ekspektasi. Masing-masing saluran transmisi tersebut menjelaskan mengenai alur pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan aktivitas ekonomi.
26
Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga besaran moneter dapat berpengaruh efektif terhadap pengendalian tingkat inflasi melalui saluran suku bunga dan nilai tukar (Kharie, 2006). Pada penelitian ini sasaran operasional yang digunakan adalah suku bunga SBI satu bulan. Sementara itu, variabel-variabel informasi yang digunakan, antara lain suku bunga deposito satu bulan, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), PDB, dan nilai tukar yang juga mencerminkan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Mekanisme transmisi yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh suku bunga SBI terhadap variabel analisis lainnya dapat ditunjukkan dengan gambar berikut.
Uang Beredar
Permintaan Domestik Permintaan Agregat Nilai Tukar Permintaan Eksternal Kesenjangan Output PDB
Inflasi
Dari skema di atas terlihat bahwa kebijakan moneter yang ditempuh BI dengan menjalankan instrumen kebijakannya akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga SBI sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka suku bunga deposito akan meningkat juga, jumlah uang beredar akan menurun, dan nilai tukar akan mengalami apresiasi. Mata uang domestik mengalami apresiasi melalui peningkatan arus modal masuk atau peningkatan penawaran mata uang asing dalam pasar valuta asing.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
27
Berbagai perkembangan variabel ekonomi tersebut menyebabkan penurunan jumlah konsumsi dan investasi (sebagai komponen permintaan domestik) serta peningkatan jumlah ekspor dan impor (sebagai komponen permintaan eksternal) (Warjiyo, 2004). Dengan asumsi bahwa permintaan domestik lebih besar dibandingkan dengan permintaan eksternal maka perkembangan permintaan domestik dan eksternal ini menghasilkan penurunan nilai permintaan agregat. Penurunan permintaan agregat tersebut berarti bahwa nilai Produk Domestik Bruto (PDB) menurun. Besarnya permintaan agregat tersebut tidak selamanya seimbang dengan besarnya penawaran agregat yang ditentukan oleh volume produksi barang dan jasa secara nasional. Dengan asumsi bahwa penawaran agregat tidak mengalami perubahan, maka penurunan permintaan agregat akan mengakibatkan kesenjangan output semakin kecil. Kesenjangan output yang terjadi dalam ekonomi tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi yang semakin kecil dari sisi domestik. Selain itu, apresiasi nilai tukar memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Apresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang impor semakin murah sehingga menimbulkan tekanan inflasi yang lebih kecil dari sisi eksternal. Tekanan inflasi dari sisi domestik dan eksternal yang semakin kecil ini mengakibatkan turunnya tingkat inflasi.
International Financial Statistics (IFS). Data yang digunakan adalah data triwulanan periode 1990.1
- 2007.4. Penelitian ini memilih periode tersebut karena periode 1990.1 - 2000.1 merupakan periode transisi menuju penerapan penargetan inflasi pascaliberalisasi keuangan akhir dekade 80-an dan periode setelah 2000.1 merupakan periode penerapan penargetan inflasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah suku bunga SBI dengan tenor satu bulan. 2. Suku bunga Deposito (DEP) adalah suku bunga simpanan berjangka rupiah menurut kelompok bank umum dengan tenor satu bulan. 3. Nilai tukar (KURS) adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika 4. Uang beredar dalam arti sempit (M1) adalah uang kartal dan uang giral. 5. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah PDB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000. 6. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah indeks harga umum berdasarkan harga konstan dengan tahun dasar 2000.
28
Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Estimasi terhadap IRF dilakukan untuk
menganalisis respon beberapa variabel makroekonomi atau respon perubahan variabel makroekonomi terhadap kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahan suku bunga SBI. Estimasi terhadap FEVD bertujuan untuk menganalisis dampak kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahan suku bunga SBI dalam menjelaskan variasi variabel makroekonomi atau variasi perubahan variabel makroekonomi.
j=1
j=1
t j
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
29
t j
+ LNKURS
j=1 n
t j
+ LNIHKt j + 5t
j=1 n
LNIHKt = LNIHK
j=1
t j
+ SBI
j=1
t j
+ DEP
j=1
t j
+ LNM1
j=1
t j
+ LNKURS
j=1
t j
+ LNPDBt j + 6t
j=1
Dengan demikian, jika data yang digunakan merupakan data yang stasioner pada differensi pertama maka sistem persamaan DVAR dapat disusun dengan terlebih dahulu mendifferensikan setiap variabel analisis.
IV. HASIL ANALISIS IV.1. Deskripsi Hubungan Suku Bunga SBI dan Variabel Makroekonomi
Pola hubungan suku bunga SBI dan beberapa variabel makroekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada beberapa grafik berikut.
KURS (Rp/USD) 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0
SBI DEP
70 60 50 40 30 20 10 0
199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007
Grafik III.1 Hubungan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito
30
M1 (Miliar Rp.) 500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 20 10 0 60 50 40 30 80 70
PDB (miliar Rp.) 600000.0 500000.0 400000.0 300000.0 200000.0 100000.0 0.0
199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007
199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007
IHK 250
200
150
100
50
0
199019911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007
Secara umum, grafik pola hubungan suku bunga SBI dengan beberapa variabel makroekonomi yang dianalisis menunjukkan bahwa pergerakan suku bunga SBI hanya diikuti oleh suku bunga deposito selama periode 1990 - 2007. Sementara itu, pergerakan variabel KURS, M1, PDB, dan IHK tidak menyesuaikan dengan pergerakan suku bunga SBI selama periode 1990 - 2007. Dari gambaran ini dapat diduga bahwa kejutan suku bunga SBI hanya direspon
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
31
dengan baik oleh variasi suku bunga deposito. Sementara, variasi variabel makroekonomi lainnya dalam analisis ini memberikan respon yang relatif kecil terhadap kejutan suku bunga SBI. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kejutan suku bunga SBI bukan merupakan variabel yang penting dan berpengaruh pada pergerakan variabel makroekonomi lainnya.
Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil
Berdasarkan tabel hasil uji stasioneritas data pada tingkat aras tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hanya variabel SBI dan DEP yang stasioner pada tingkat aras. Sementara, empat variabel analisis lainnya tidak stasioner pada tingkat aras. Oleh karena itu, pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada tingkat differensi pertama. Hasil uji stasioneritas data pada tingkat differensi pertama dirangkum pada Tabel III.3.
32
Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil
Berdasarkan tabel tersebut, uji stasioneritas data pada differensi pertama memberikan hasil bahwa semua variabel stasioner pada differensi pertama.
Response) akan tidak valid. Pada suatu sistem VAR akan terdapat kp akar-akar unit, dimana k
merupakan jumlah variabel endogen yang dianalisis dan p merupakan tenggat maksimum yang digunakan.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
33
Hasil uji stabilitas sistem DVAR dengan tabel nilai modulus seluruh akar-akar unit ditunjukkan sebagai berikut.
Tabel III.4 Nilai Modulus Seluruh Akar Unit Pada Sistem DVAR Dengan Tenggat Empat
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DDEP DLNKURS DLNM1 DLNPDB DLNIHK Exogenous variables: C Lag specification: 1 4 Root -0.990212 -0.032535 -0.032535 0.788742 0.788742 -0.877685 0.860861 0.355755 0.355755 -0.258807 -0.258807 -0.718896 -0.718896 -0.411644 -0.411644 0.035123 0.035123 -0.758736 0.655764 0.405145 0.405145 -0.380897 -0.230966 0.217915
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.990212 - 0.946060i + 0.946060i - 0.446293i + 0.446293i 0.946619 0.946619 0.906251 0.906251 0.877685 0.860861 0.849990 0.849990 0.842614 0.842614 0.823833 0.823833 0.773263 0.773263 0.767966 0.767966 0.758736 0.655764 0.603987 0.603987 0.380897 0.230966 0.217915
- 0.771960i + 0.771960i - 0.801884i + 0.801884i + 0.402355i - 0.402355i - 0.654587i + 0.654587i - 0.767162i + 0.767162i
- 0.447949i + 0.447949i
Hasil pengujian stabilitas sistem DVAR dengan tenggat empat menunjukkan bahwa seluruh akar-akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Oleh karena itu, sistem DVAR dengan tenggat empat merupakan sistem VAR yang memenuhi kondisi stabilitas. Selain itu, hasil uji stabilitas sistem DVAR tersebut dapat juga ditunjukkan pada gambar sebagai berikut.
34
Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0 -1,5 -1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
Gambar III.2 Nilai Modulus Seluruh Akar Unit Pada Sistem DVAR Dengan Tenggat Empat
Dari gambar III.2 tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh akar unit terletak di dalam
unit circle. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem DVAR yang terbentuk merupakan sistem
yang stabil dan layak untuk diestimasi. Pada tahap kedua penentuan tenggat optimal, panjang tenggat optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat tenggat yang terpilih adalah panjang tenggat menurut kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike
Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
35
Tabel hasil pemilihan tenggat optimal tersebut menunjukkan bahwa dari kelima kriteria yang digunakan, terdapat empat kriteria yang memilih tenggat empat sebagai tenggat optimal. Nilai AIC terkecil juga dihasilkan oleh tenggat empat. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan tenggat empat sebagai tenggat optimal.
36
10
12
14
16
18
20
10
12
14
16
18
20
10
12
14
16
18
20
10
12
14
16
18
20
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
37
Response of DLNKURS to DSBI .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4
10
12
14
16
18
20
Response of DLNKURS to DLNKURS .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4
10
12
14
16
18
20
Response of DLNKURS to DLNPDB .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6
10
12
14
16
18
20
Response of DLNM1 to DDEP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4
10
12
14
16
18
20
38
Response of DLNM1 to DLNM1 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4
10
12
14
16
18
20
Response of DLNPDB to DSBI .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03
10
12
14
16
18
20
Response of DLNPDB to DLNKURS .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4
10
12
14
16
18
20
Response of DLNPDB to DLNPDB .02 .01 .00 .01 -.01 .00 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 -.01 -.02 .04 .03 .02
10
12
14
16
18
20
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
39
Response of DLNIHK to DDEP .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02
10
12
14
16
18
20
Response of DLNIHK to DLNM1 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4
10
12
14
16
18
20
Grafik III.6 yang dihasilkan dapat menunjukkan respon variabel makroekonomi terhadap kejutan suku bunga SBI, yaitu respon positif atau negatif. Jika grafik IRF berada di atas titik keseimbangan maka respon variabel yang dianalisis adalah positif atau mengalami peningkatan. Namun, jika grafik IRF berada di bawah titik keseimbangan maka variabel yang dianalisis memberikan respon negatif atau mengalami penurunan. Selain itu, jika grafik IRF menunjukkan pergerakan yang makin mendekati titik keseimbangan atau kembali ke keseimbangan sebelumnya berarti bahwa respon suatu variabel akibat suatu kejutan makin lama akan menghilang sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen terhadap variabel tersebut. Grafik III.6 yang menunjukkan respon variabel perubahan suku bunga deposito (DDEP) terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI (DSBI) bergerak fluktuatif di sekitar garis keseimbangan dari triwulan pertama hingga ke-10. Selain itu, respon perubahan suku bunga deposito terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI bernilai positif dan negatif secara
40
bergantian pada rentang periode tersebut. Adanya kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan peningkatan perubahan suku bunga deposito pada triwulan pertama sehingga mencapai titik tertinggi. Setelah itu, perubahan suku bunga deposito tersebut mengalami penurunan pada triwulan ke-2 hingga mencapai titik terendah. Kemudian, pada triwulan ke11 hingga ke-20 grafik IRF bergerak mendekati garis keseimbangan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa respon perubahan suku bunga deposito akibat kejutan perubahan suku bunga SBI hanya bersifat sementara pada jangka pendek dan menengah. Namun, respon tersebut akan menghilang pada jangka panjang. Variabel perubahan persentase nilai tukar (DLNKURS) juga memberikan respon yang fluktuatif terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi pada jangka pendek dan menengah. Pada triwulan ke-8, perubahan persentase nilai tukar mencapai titik terendah sebagai dampak dari kejutan perubahan suku bunga SBI. Respon tersebut bernilai fluktuatif antara respon positif dan negatif hingga triwulan ke-9. Setelah triwulan ke-9 tersebut, respon perubahan persentase nilai tukar tersebut bergerak dekat pada garis keseimbangan dan mendekati garis keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, kejutan perubahan suku bunga SBI akan menghilang dan tidak permanen dalam jangka panjang. Sementara itu, respon variabel perubahan persentase jumlah M1 (DLNM1) juga berfluktuasi terhadap kejutan suku bunga SBI selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI direspon secara negatif oleh perubahan persentase jumlah M1. Kemudian, respon tersebut mengalami fluktuasi pada periode selanjutnya. Kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan perubahan persentase jumlah M1 mencapai titik terendah pada triwulan pertama dan ke-8. Sementara, perubahan tertinggi terjadi pada triwulan ke-3 dan ke-9. Respon perubahan persentase jumlah M1 bergerak di sekitar garis keseimbangan hingga triwulan ke-9. Setelah triwulan ke-9 tersebut, pergerakan respon perubahan persentase jumlah M1 sangat dekat dengan garis keseimbangan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kejutan suku bunga SBI tidak meninggalkan dampak permanen terhadap perubahan persentase jumlah M1 tersebut. Secara umum, variabel perubahan persentase nilai PDB (DLNPDB) memberikan respon yang berfluktuasi lebih kecil terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI dibanding variabel analisis lainnya. Grafik III.6 menunjukkan bahwa respon perubahan persentase nilai PDB pada awalnya bergerak dekat di sekitar garis keseimbangan. Kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan perubahan tertinggi persentase nilai PDB pada triwulan ke-5 dan perubahan terendah pada triwulan ke-6. Respon tersebut berfluktuasi hanya pada jangka pendek. Kemudian, respon perubahan persentase nilai PDB bergerak mendekati garis keseimbangan sehingga dampak kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut akan hilang dalam jangka panjang.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
41
Perubahan persentase nilai PDB memberikan respon terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI hanya pada jangka pendek dan menengah. Tidak jauh berbeda dengan variabel analisis lainnya, grafik III.6 juga menunjukkan bahwa respon variabel perubahan persentase nilai IHK (DLNIHK) mengalami fluktuasi dalam jangka pendek dan menengah, yaitu hingga triwulan ke-7. Walaupun respon perubahan persentase nilai IHK berfluktuasi, namun respon tersebut lebih banyak bernilai negatif. Sebagai akibat respon perubahan persentase nilai IHK terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI, perubahan persentase nilai IHK mencapai titik tertinggi pada triwulan ke-3 dan titik terendah pada triwulan ke-6. Kemudian, respon perubahan persentase nilai IHK bergerak sangat dekat di sekitar garis keseimbangan dan mendekati garis keseimbangan pada jangka panjang. Kenyataan dari grafik III.6 tersebut menyatakan bahwa pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tidak permanen terhadap perubahan persentase nilai IHK.
Pada variabel perubahan suku bunga deposito (DDEP), variasi terbesar pada triwulan ke3 hingga ke-20 disebabkan oleh kejutan dari variabel itu sendiri. Sementara, variasi terbesar pada triwulan pertama dan ke-2 disebabkan oleh kejutan variabel perubahan suku bunga SBI
42
(DSBI), yaitu sebesar 53,73 dan 47,94 persen. Dampak kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan suku bunga deposito mengalami penurunan selama 20 triwulan periode pengamatan. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tetap memberikan dampak yang cukup besar selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama dan ke-2, kejutan perubahan suku bunga SBI merupakan penjelas terbesar pertama variasi perubahan suku bunga deposito. Kemudian, pada triwulan ke-3 hingga ke-20 kejutan perubahan suku bunga SBI merupakan penjelas terbesar ke-2 variasi perubahan suku bunga deposito. Pada periode akhir pengamatan, kejutan perubahan suku bunga SBI mempengaruhi 20,52% variasi perubahan suku bunga deposito. Hasil nilai FEVD tersebut menunjukkan bahwa kejutan dari perubahan suku bunga SBI memiliki pengaruh yang besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito hanya pada dua triwulan awal setelah kejutan. Setelah melewati triwulan ke-2, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI mengalami penurunan hingga triwulan ke-20. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI setelah triwulan ke-2 tetap memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito. Hal ini memiliki implikasi bahwa penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI efektif menjelaskan variasi perubahan suku bunga deposito. Bahkan, perubahan suku bunga SBI tersebut sangat efektif menjelaskan variasi perubahan suku bunga deposito pada jangka pendek. Variasi terbesar variabel perubahan persentase nilai tukar (DLNKURS) juga dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri pada triwulan pertama pengamatan, yaitu sebesar 66,42 persen. Kemudian, kejutan dari variabel itu sendiri merupakan penjelas terbesar kedua variasinya pada triwulan ke-2 hingga ke-20. Sementara, sejak triwulan ke-2 hingga ke-20 variasi terbesar lebih disebabkan oleh perubahan suku bunga deposito. Variasi perubahan persentase nilai tukar yang disebabkan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito adalah sebesar 52,17% pada triwulan ke-2. Secara umum, nilai tersebut mengalami sedikit penurunan hingga menjadi sebesar 46% pada periode ke-20. Secara umum, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar mengalami peningkatan dari periode pengamatan pertama hingga ke10 dan kemudian mengalami penurunan lagi hingga periode ke-20. Kejutan perubahan suku bunga SBI hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar. Kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjadi penjelas keempat variasi perubahan persentase nilai tukar selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI menjelaskan 2,35% variasi perubahan persentase nilai tukar. Pada triwulan ke-20, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut menjadi sebesar 9,82 persen.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
43
Hasil dari nilai FEVD tersebut menyatakan bahwa variasi perubahan persentase nilai tukar tidak dapat dikendalikan secara cepat oleh kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI. Perubahan suku bunga SBI tidak dapat langsung memberikan pengaruh terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar, melainkan harus menunggu selama sembilan triwulan setelah perubahan suku bunga SBI agar dampak perubahan suku bunga tersebut dapat mempengaruhi variasi perubahan persentase nilai tukar lebih dari 10 persen. Namun, nilai pengaruh tersebut mengalami penurunan kembali setelah melewati triwulan ke-10. Variasi variabel perubahan persentase jumlah M1 (DLNM1) terbesar disebabkan oleh kejutan variabel itu sendiri selama 20 periode pengamatan. Namun, nilai pengaruh kejutan tersebut mengalami penurunan hingga triwulan ke-11 dan kemudian mengalami peningkatan hingga triwulan ke-20. Pada triwulan pertama, sebesar 85,5% variasi perubahan persentase jumlah M1 dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri. Selain kejutan dari variabel itu sendiri, variasi perubahan persentase jumlah M1 juga disebabkan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar. Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang kecil pada variasi perubahan persentase jumlah M1. Walaupun secara umum nilai pengaruhnya mengalami fluktuasi yang kecil selama 20 periode pengamatan, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjadi penjelas ke-4 dan ke-5 variasi perubahan persentase jumlah M1. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan variasi perubahan persentase jumlah M1 sebesar 7,84 persen. Pada triwulan ke20, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI menjadi sebesar 8,3% variasi perubahan persentase jumlah M1. Penjelasan mengenai variasi perubahan persentase jumlah M1 tersebut menyatakan bahwa kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI tidak langsung direspon oleh perubahan persentase jumlah uang beredar. Pengaruh perubahan suku bunga SBI tersebut bernilai kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase jumlah uang beredar, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Keadaan ini memberikan kesimpulan bahwa perubahan suku bunga SBI kurang efektif dalam mempengaruhi perubahan persentase jumlah uang beredar. Variasi perubahan persentase nilai PDB (DLNPDB) lebih besar dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan dari variabel tersebut menjelaskan sebesar 92,85% variasi variabel itu sendiri. Nilai tersebut secara umum mengalami penurunan hingga pada triwulan ke-20 menjadi sebesar 34,62 persen. Kejutan variabel lain yang juga besar pengaruhnya terhadap variasi perubahan persentase nilai PDB berasal dari perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar.
44
Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI sangat kecil menjelaskan variasi perubahan persentase nilai PDB. Bahkan, hingga akhir periode pengamatan kejutan perubahan suku bunga SBI hanya menjadi penjelas terkecil variasi perubahan persentase nilai PDB. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan 0,1% variasi perubahan persentase nilai PDB. Nilai pengaruh tersebut secara umum mengalami peningkatan selama periode pengamatan. Selama triwulan pertama hingga ke-4, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI sangat kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai PDB, yaitu sekitar 0,1 - 0,61 persen. Namun, selama triwulan ke-6 hingga ke-20, nilai pengaruh tersebut hanya menjelaskan 4,05 - 4,74% dari variasi perubahan persentase nilai PDB. Keadaan yang ditunjukkan respon perubahan persentase nilai PDB terhadap kejutan suku bunga SBI menyatakan bahwa perubahan suku bunga SBI memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap variasi perubahan persentase nilai PDB. Pengaruh perubahan suku bunga yang kecil tersebut terjadi hingga periode jangka panjang. Perubahan suku bunga SBI tersebut harus menunggu selama enam triwulan agar perubahan tersebut mampu menjelaskan sebesar 4,05% variasi perubahan persentase nilai PDB. Bahkan, setelah menunggu selama 20 triwulan sejak terjadi perubahan suku bunga SBI tersebut, variasi perubahan persentase nilai PDB yang mampu dipengaruhi hanya sebesar 4,31 persen. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa perubahan suku bunga SBI tidak efektif dalam mentransmisikan kebijakan moneter terhadap perubahan persentase nilai PDB. Seperti variabel lainnya dalam penelitian ini secara umum, variasi terbesar variabel perubahan persentase nilai IHK (DLNIHK) juga disebabkan oleh kejutan dari variabel itu sendiri pada dua periode awal pengamatan. Secara umum, kemampuan kejutan itu sendiri dalam menjelaskan variasinya juga mengalami penurunan selama 20 periode pengamatan. Variasi perubahan persentase nilai IHK juga dijelaskan cukup besar oleh kejutan dari perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar. Kejutan perubahan suku bunga deposito merupakan penjelas terbesar pertama variasi perubahan persentase nilai IHK setelah triwulan ke-2. Sementara itu, kemampuan kejutan perubahan suku bunga SBI dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK mengalami peningkatan hingga triwulan ke-9 dan kemudian mengalami penurunan yang kecil hingga triwulan ke-20. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tidak memberi pengaruh yang besar. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI mampu menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK sebesar 4,17 persen. Setelah triwulan ke-8, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut mampu menjelaskan sekitar 6% variasi perubahan persentase nilai IHK. Nilai pengaruh kejutan tersebut hanya mampu menjadi penjelas ke-4 dari variasi perubahan persentase nilai IHK.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
45
Keadaan yang ditunjukkan oleh respon perubahan persentase nilai IHK terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut menyatakan bahwa perubahan suku bunga SBI tidak secara cepat direspon oleh perubahan persentase nilai IHK. Selain itu, pengaruhnya juga bernilai kecil terhadap perubahan persentase nilai IHK. Perubahan suku bunga SBI harus menunggu hingga triwulan ke-6 agar kejutan dari perubahan suku bunga SBI tersebut menjadi penjelas ke-4 variasi perubahan persentase nilai IHK. Bahkan, setelah menunggu selama 20 triwulan sejak perubahan suku bunga SBI, kejutan dari perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK sebesar 6,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan suku bunga SBI kurang efektif dalam mempengaruhi variasi perubahan persentase nilai IHK.
V.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance
Decomposition (FEVD) yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Dari hasil analisis IRF ditemukan bahwa perubahan suku bunga deposito, perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK memberikan respon terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruh kejutan dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat permanen terhadap semua variabel analisis tersebut, melainkan akan menghilang dan tidak lagi mempengaruhi respon variabel-variabel tersebut. 2. Dari hasil nilai FEVD dapat dinyatakan bahwa kejutan perubahan suku bunga SBI menjadi penjelas terbesar fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka pendek. Dampak kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka panjang semakin menurun namun tetap memberikan pengaruh yang besar. Sementara itu, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK secara umum mengalami peningkatan selama periode pengamatan. Pada jangka pendek, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, dan perubahan persentase nilai IHK. Namun, pada jangka panjang kemampuan kejutan tersebut semakin meningkat. Sementara itu, variasi perubahan
46
persentase nilai PDB sangat kecil dijelaskan oleh kejutan perubahan suku bunga SBI, baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. 3. Secara umum, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito. Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI memiliki kemampuan yang kecil dan butuh waktu yang lama dalam mempengaruhi variasi variabel analisis lainnya. Namun, variasi variabel analisis lainnya cukup besar dijelaskan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan suku bunga SBI dapat memberikan pengaruh secara tidak langsung pada variabel makroekonomi lainnya, yaitu melalui perubahan suku bunga deposito.
V.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan yang diperoleh, maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Walaupun kejutan dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat permanen dalam jangka panjang, namun tetap perlu kehati-hatian dalam mengambil keputusan mengenai penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI. Hal ini diperlukan karena pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI direspon oleh variasi perubahan variabel makroekonomi pada jangka pendek dan menengah. 2. Efektivitas pengaruh penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku SBI terhadap sektor perbankan perlu semakin ditingkatkan sehingga kemampuan kejutan suku bunga SBI semakin besar mempengaruhi variasi perubahan suku bunga deposito pada jangka pendek dan jangka panjang. Hal tersebut dimaksudkan agar kejutan perubahan suku bunga SBI dapat lebih besar mempengaruhi variabel makroekonomi lainnya melalui sektor perbankan, yaitu melalui perubahan suku bunga deposito. 3. Pihak otoritas moneter perlu mulai mempertimbangkan dan menganalisis peran sasaran operasional lainnya, misalnya suku bunga PUAB, dalam mentransmisikan kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi Indonesia.
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
47
Daftar Pustaka
Arif, M. M. dan A. Tohari, (2006), Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian Indonesia Sebagai Respon Terhadap Fluktuasi Perekonomian Dunia, Buletin
Eviews 4 Users Guide, (2002), Quantitative Micro Software, LLC, Bab 20: 519 - 550.
Fung, B. S. C., (2002), A VAR Analysis of the Effects of Monetary Policy in East Asia, BIS
48
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Materi Kebijakan Moneter di Indonesia,
Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK),
Bank Indonesia, Jakarta. www.bi.go.id
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
49
Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DSBI(-1) -0.844849 (0.21074) [-4.00904] -0.575955 (0.30884) [-1.86487] 0.243039 (0.26344) [ 0.92258] -0.162914 (0.17156) [-0.94961] 0.653539 (0.21804) [ 2.99739] 0.601701 (0.31888) [ 1.88694] -0.221847 (0.28408) [-0.78093] 0.409691 (0.20715) [ 1.97775] 11.05186 (4.58467) [ 2.41061] 7.002194 (5.11525) [ 1.36889] DDEP -0.359927 (0.27599) [-1.30414] -0.372007 (0.40447) [-0.91973] 0.250963 (0.34500) [ 0.72742] 0.155321 (0.22468) [ 0.69130] -0.010297 (0.28555) [-0.03606] 0.788825 (0.41761) [ 1.88890] -0.076583 (0.37204) [-0.20585] -0.091059 (0.27129) [-0.33565] 6.892171 (6.00424) [ 1.14788] 9.802153 (6.69910) [ 1.46320] DLNKURS -0.045693 (0.00871) [-5.24663] -0.008846 (0.01276) [-0.69308] -0.014108 (0.01089) [-1.29585] 0.012350 (0.00709) [ 1.74191] 0.037712 (0.00901) [ 4.18527] 0.021011 (0.01318) [ 1.59440] 0.009397 (0.01174) [ 0.80045] -0.010084 (0.00856) [-1.17791] 0.403562 (0.18947) [ 2.12997] 0.354119 (0.21140) [ 1.67515] DLNM1 -0.006392 (0.00415) [-1.53930] 0.002126 (0.00609) [ 0.34930] -0.000172 (0.00519) [-0.03315] 0.003155 (0.00338) [ 0.93319] 0.001212 (0.00430) [ 0.28215] 0.001580 (0.00628) [ 0.25142] -0.002251 (0.00560) [-0.40212] -0.000642 (0.00408) [-0.15739] 0.296200 (0.09034) [ 3.27860] 0.119313 (0.10080) [ 1.18368] DLNPDB 0.002603 (0.00157) [ 1.65938] 0.001864 (0.00230) [ 0.81063] 0.003631 (0.00196) [ 1.85171] 0.000425 (0.00128) [ 0.33253] -0.002248 (0.00162) [-1.38468] -0.002929 (0.00237) [-1.23375] -0.002621 (0.00211) [-1.23951] 0.000598 (0.00154) [ 0.38808] -0.043089 (0.03413) [-1.26252] -0.100581 (0.03808) [-2.64134] DLNIHK -0.001391 (0.00201) [-0.69039] -0.001887 (0.00295) [-0.63901] 0.000645 (0.00252) [ 0.25590] 0.001281 (0.00164) [ 0.78094] 1.71E-05 (0.00208) [ 0.00821] 0.005711 (0.00305) [ 1.87339] -0.000392 (0.00272) [-0.14445] -0.001720 (0.00198) [-0.86825] 0.138788 (0.04383) [ 3.16625] 0.161271 (0.04891) [ 3.29753]
DSBI(-2)
DSBI(-3)
DSBI(-4)
DDEP(-1)
DDEP(-2)
DDEP(-3)
DDEP(-4)
DLNKURS(-1)
DLNKURS(-2)
50
Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DLNKURS(-3) 0.138589 (5.48000) [ 0.02529] -7.465786 (5.11490) [-1.45962] 38.58507 (7.56185) [ 5.10260] 9.024668 (9.83740) [ 0.91738] -9.292726 (9.45158) [-0.98319] 27.69066 (9.58050) [ 2.89032] -29.17912 (21.0289) [-1.38758] -33.17521 (20.8175) [-1.59362] -1.596791 (20.6903) [-0.07718] 20.23994 (19.9195) [ 1.01609] 13.82631 (21.1097) [ 0.65497] 4.110925 (19.9055) [ 0.20652] DDEP 0.905028 (7.17680) [ 0.12610] -3.205248 (6.69865) [-0.47849] 35.08496 (9.90326) [ 3.54277] 5.767623 (12.8834) [ 0.44768] -4.204082 (12.3781) [-0.33964] 17.01857 (12.5469) [ 1.35639] -26.87659 (27.5401) [-0.97591] -45.84931 (27.2633) [-1.68172] -0.113000 (27.0967) [-0.00417] 18.34388 (26.0873) [ 0.70317] -26.20371 (27.6460) [-0.94783] -29.99332 (26.0689) [-1.15054] DLNKURS 0.148824 (0.22647) [ 0.65715] -0.055550 (0.21138) [-0.26280] 0.719810 (0.31251) [ 2.30335] 0.144235 (0.40655) [ 0.35478] -0.158592 (0.39060) [-0.40602] 0.295654 (0.39593) [ 0.74673] -1.178285 (0.86905) [-1.35583] -1.512290 (0.86032) [-1.75783] -1.133727 (0.85506) [-1.32591] -1.483279 (0.82320) [-1.80183] -1.609337 (0.87239) [-1.84474] -0.318528 (0.82263) [-0.38721] DLNM1 -0.085971 (0.10799) [-0.79613] -0.289320 (0.10079) [-2.87047] -0.326772 (0.14901) [-2.19295] -0.136796 (0.19385) [-0.70567] -0.275309 (0.18625) [-1.47818] 0.572104 (0.18879) [ 3.03039] 0.054871 (0.41439) [ 0.13242] 0.228154 (0.41022) [ 0.55617] 0.049444 (0.40771) [ 0.12127] -0.362621 (0.39253) [-0.92381] -0.070567 (0.41598) [-0.16964] 0.279331 (0.39225) [ 0.71213] DLNPDB -0.086296 (0.04079) [-2.11537] -0.003353 (0.03808) [-0.08807] -0.093612 (0.05629) [-1.66296] 0.013375 (0.07323) [ 0.18264] 0.102671 (0.07036) [ 1.45922] -0.057694 (0.07132) [-0.80895] -0.149589 (0.15655) [-0.95556] -0.203252 (0.15497) [-1.31154] -0.376660 (0.15402) [-2.44545] 0.521834 (0.14829) [ 3.51908] -0.048634 (0.15715) [-0.30948] 0.060498 (0.14818) [ 0.40827] DLNIHK 0.071902 (0.05239) [ 1.37233] -0.022527 (0.04890) [-0.46064] 0.045307 (0.07230) [ 0.62667] -0.071888 (0.09405) [-0.76432] -0.198472 (0.09037) [-2.19631] 0.017875 (0.09160) [ 0.19514] -0.428790 (0.20106) [-2.13270] -0.131487 (0.19903) [-0.66062] -0.063850 (0.19782) [-0.32277] -0.221675 (0.19045) [-1.16396] -0.250250 (0.20183) [-1.23992] -0.267282 (0.19032) [-1.40442]
DLNKURS(-4)
DLNM1(-1)
DLNM1(-2)
DLNM1(-3)
DLNM1(-4)
DLNPDB(-1)
DLNPDB(-2)
DLNPDB(-3)
DLNPDB(-4)
DLNIHK(-1)
DLNIHK(-2)
Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4
51
Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DLNIHK(-3) -46.00114 (20.1325) [-2.28492] -43.63190 (18.1705) [-2.40125] -0.720102 (1.80752) [-0.39839] 0.935804 0.899120 164.6447 1.979928 25.51017 -125.1886 4.483243 5.305890 -0.232090 6.233719 DDEP -43.94383 (26.3663) [-1.66667] -32.84421 (23.7967) [-1.38020] 1.429541 (2.36719) [ 0.60390] 0.828073 0.729829 282.3891 2.592981 8.428743 -143.2618 5.022739 5.845385 -0.283881 4.988616 2.64E-12 322.7308 -5.156142 -0.220263 DLNKURS -1.285632 (0.83201) [-1.54522] -0.684239 (0.75092) [-0.91120] 0.127278 (0.07470) [ 1.70388] 0.787012 0.665305 0.281194 0.081824 6.466427 88.29011 -1.889257 -1.066610 0.023644 0.141434 DLNM1 0.492789 (0.39672) [ 1.24215] -0.498432 (0.35806) [-1.39203] 0.044881 (0.03562) [ 1.26005] 0.700419 0.529230 0.063933 0.039016 4.091494 137.9106 -3.370465 -2.547819 0.044374 0.056864 DLNPDB -0.153714 (0.14987) [-1.02563] -0.083814 (0.13527) [-0.61962] 0.025790 (0.01346) [ 1.91665] 0.879239 0.810232 0.009124 0.014739 12.74138 203.1318 -5.317367 -4.494721 0.010081 0.033835 DLNIHK 0.095369 (0.19249) [ 0.49546] 0.015349 (0.17373) [ 0.08835] 0.048524 (0.01728) [ 2.80784] 0.853794 0.770247 0.015050 0.018930 10.21938 186.3661 -4.816900 -3.994253 0.027745 0.039493
DLNIHK(-4)
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria
52
53
54
I. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, sistem keuangan internasional semakin berkembang pesat, khususnya sistem keuangan Islam. Perkembangan yang sangat pesat khususnya terjadi pada perbankan syariah. Joharris (2007) memperkirakan bahwa saat ini lebih dari 276 lembaga keuangan Islam di dunia yang tersebar di lebih dari 70 negara, dari London, New York dan Zurich ke Timur Tengah, Afrika dan Asia dengan kapitalisasi lebih dari US$13 miliar. Semua ini termasuk bank, reksadana, KPR dan takaful (asuransi Syariah). Jumlah dana yang dikuasai oleh Muslim lebih dari US$13 triliun. Saat ini diperkirakan ada US$1 triliun dana Syariah di pasar. Pasar modal Syariah global berkembang sekitar 15% - 20% per tahun, termasuk simpanan/investasi di bank Syariah yang diperkirakan lebih dari US$560 miliar. Bank Syariah di Indonesia mulai terkenal ketika terbukti di masa krisis tahun 1997-1998 Bank Muamalat Indonesia, satu-satunya bank Syariah saat itu, dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Semenjak itu perbankan Syariah mulai bermunculan sebagai lembaga keuangan alternatif yang bebas dari bunga. Operasi bank syariah yang tidak menggunakan sistem bunga dalam semua aktivitasnya digantikan utamanya dengan sistem bagi hasil, ditambah dengan sistem jual beli dan sewa. Inilah perbedaan utama sistem keuangan Islam pada masa kontemporer ini dengan sistem keuangan konvensional. Secara konseptual sistem keuangan Islam yang ideal tidak menggunakan uang fiat dan juga tidak menggunakan fractional reserve banking system sebagaimana dianut oleh sistem keuangan konvensional, karena keduanya mengandung unsur riba di dalamnya. Meskipun system keuangan Islam tumbuh pesat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, porsinya masih sangat kecil (di Indonesia kurang dari 2%) sehingga, meskipun banyak negara telah menerapkan sistem keuangan ganda, secara keseluruhan sistem keuangan Islam masih terdominasi oleh kekuatan sistem keuangan konvensional yang berbasis bunga, uang fiat, dan fractional reserve banking system. Secara teoritis, para ahli ekonomi Islam, yang memberi perhatian terhadap perkembangan sistem keuangan Islam, menunjukan bahwa konsep bagi hasil jauh lebih baik daripada instrumen suku bunga yang digunakan oleh sistem keuangan konvensional dilihat dari segi keadilan, reduksi kegiatan spekulasi, efisiensi sumber daya, dan lain-lain (Lihat misalnya: Khan, 1986 sampai Zangeneh, 1995; Fardmanesh dan Siddiqui, 1995; Meera, 2004; Ryandono, 2006; Ascarya, 2007; dan Sakti, 2007). Oleh karena itu, harus dibuktikan secara empiris bahwa dengan tidak adanya instrumen suku bunga dalam sistem keuangan Islam yang digantikan dengan konsep bagi hasil ini dapat mendukung sistem
55
keuangan ganda secara keseluruhan, khususnya dalam studi permintaan uang dan stabilitas moneter dalam sistem keuangan/perbankan ganda. Tujuan dari penelitian ini, pertama, adalah untuk merumuskan fungsi permintaan uang yang didefinisikan secara konvensional dan permintaan uang yang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, penelitian ini akan menganalisis tentang bagaimana dampak dari adanya pelarangan sistem bunga yang digantikan oleh sistem bagi hasil dalam sistem keuangan Islam terhadap stabilitas agregat moneter.
II. TEORI II.1 Sistem Moneter Konvensional dan Sistem Moneter Islam
Secara garis besar ada tiga pilar sistem moneter yang membedakan satu dengan lainnya, yaitu sistem uang, sistem perbankan, dan sistem operasi keuangannya. Perbedaan utama sistem moneter Islam secara konseptual, sistem moneter Islam kontemporer dan sistem moneter konvensional ditunjukkan dalam tabel IV.1 berikut (Ascarya, 2007).
Tabel IV.1. Perbandingan Sistem Moneter Konvensional dan Sistem Moneter Islam
No. 1. Konvensional Sistem Uang Fiat Islam Konseptual Sistem Uang Islam - full bodied/ fully backed money Islam Kontemporer Sistem Uang Fiat
2. 3.
Dalam sistem keuangan ganda yang ada saat ini, hanya konsep bagi hasil saja yang menjadi pembeda antara sistem moneter konvensional dan sistem moneter Islam. Sistem moneter Islam dalam sistem keuangan ganda masih menggunakan uang fiat konvensional dan masih menerapkan fractional reserve banking system (baca table IV.1, kolom kanan). Karakteristik sistem bunga sendiri sangat berbeda dengan karakteristik sistem bagi hasil. Suku bunga sebagai tingkat pengembalian pada sistem konvensional bisa ditetapkan kapan saja oleh otoritas perbankan dan pergerakan nominalnya bisa terlihat oleh masyarakat umum, sehingga menimbulkan kegiatan spekulasi. Sedangkan dalam sistem bagi hasil yang ditetapkan adalah nisbahnya yang nilainya tetap sepanjang akad berlaku. Sedangkan tingkat pengembaliannya
56
mengikuti hasil yang benar-benar terjadi di lapangan. Artinya, return itu sendiri tidak ditetapkan secara eksogenus oleh otoritas perbankan Syariah.
fiat money, fractional reserve system dalam perbankan, dan diperbolehkannya spekulasi
Sistem Bunga
Inflasi
57
menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa risiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, tujuan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Sementara itu, pada Gambar IV.2 dengan sistem bagi hasil, disertai sistem zakat dan pelarangan spekulasi dalam perekonomian Islam, akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktivitas dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya pertumbuhan ekonomi terdorong, dan pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan masyarakat.
M d = f (i, Y )
(IV.1)
58
dimana i merupakan suku bunga yang berbanding terbalik dengan permintaan uang dan Y merupakan pendapatan nasional riil yang berpengaruh positif terhadap permintaan uang. Mengikuti Goldfeld dan Sichel dalam Achsani, Holtemoller, dan Sofyan (2005) permintaan terhadap keseimbangan uang riil konvensional adalah:
ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 Rt + 3 t
dan ekspektasi inflasi.
(IV.2)
Sementara itu, fungsi permintaan uang dalam Islam, salah satunya dirumuskan oleh Chapra (1996) mengikuti pendekatan Keynes. Chapra mengusulkan model permintaan uang dalam ekonomi Islam sebagai berikut. Md = f(Ys, S, ) (IV.3)
dimana, Ys = barang dan jasa yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; S = semua nilai moral dan social dan institusi-institusi (termasuk zakat) yang mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya dan dapat membantu meminimalkan Md, tidak hanya yang untuk konsumsi berlebihan dan investasi tidak produktif, tetapi juga yang untuk maksud berjaga-jaga dan spekulasi; dan = tingkat bagi hasil dalam sistem yang tidak mengizinkan penggunaan suku bunga untuk intermediasi keuangan. Model ini belum pernah digunakan untuk kajian empiris, kemungkinan karena karakterisasi Ys yang normatif dan tidak mencerminkan realitas yang ada, serta nilai S yang rumit dan kemungkinan tidak dapat dikuantifisir dan tidak dapat dipraktekkan. Model permintaan uang dalam sistem keuangan ganda salah satunya dipaparkan oleh Kaleem (2000) mengikuti model yang dikembangkan oleh Ahmad dan Khan (1990) yang intinya berbasis persamaan (IV.2) dengan menghilangkan komponen suku bunga R, sehingga permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam dalam sistem keuangan ganda dapat dibandingkan, sebagai berikut.
ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 t
dan
(IV.4)
ln MISLRt = 0 + 1 ln Yt + 2 t
uang riil Islam.
(IV.5)
Dimana MR adalah keseimbangan uang riil konvensional dan MISLR adalah keseimbangan
Model yang diajukan Kaleem (2000) mendapat kritik dari Hasanah et al (2008) karena mereka berpendapat bahwa dengan menghilangkan unsur suku bunga dari persamaan (IV.4), ciri utama sistem keuangan konvensional menjadi hilang, sedangkan return Syariah yang
59
merupakan ciri sistem keuangan Islam tidak muncul dalam persamaan (5). Hasanah et al (2008) kemudian mengajukan model alternatif untuk memasukkan kembali suku bunga ke dalam persamaan permintaan uang konvensional dan memasukkan return Syariah ke dalam persamaan permintaan uang Islam sebagai variabel pembeda utama antara kedua model, yang sejalan dengan pendapat Ascarya (2007) pada tabel IV.1. Model persamaan permintaan uang dalam sistem keuangan ganda
ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 Rt + 3 t
dan
(6)
ln MISLRt = 0 + 1 ln Yt + 2 RS t + 3 t
(7)
Dimana MR adalah keseimbangan uang riil konvensional, R adalah suku bunga, MISLR adalah keseimbangan uang riil Islam, RS adalah return Syariah, dan adalah ekspektasi inflasi.
60
Darrat (2000) melakukan penelitian di Iran dan Pakistan dengan menggunakan data dari tahun 1960-1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat stabilitas dari permintaan uang baik pada sistem bunga maupun pada sistem non bunga dalam jangka panjang. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk melihat stabilitas permintaan uang dari perilaku agen ekonomi baik pada sistem bunga maupun sistem bagi hasil. Hasilnya menunjukkan bahwa interest free mempunyai hubungan yang kuat dengan instrumen kebijakan dan stabilitas harga. Sementara itu, Kia (2001) melakukan penelitian serupa di Iran dengan kurun waktu 19661998. Hasilnya menunjukkan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, permintaan uang pada interest-free (M1) stabil dan invarian terhadap kebijakan dan guncangan lain dalam perubahan rezim, sedangkan permintaan uang pada interest-bearing (M2) tidak stabil. Studi ini juga menunjukkan bahwa perilaku agen ekonomi terhadap asset yang berbasiskan bunga adalah cenderung forward looking sehingga ekspektasi yang terbetuk adalah rasional terhadap pasar keuangan Iran. Atau dengan kata lain bahwa koefisien permintaah uang dengan menggunakan bunga tidak terpengaruh oleh perubahan kebijakan. Kajian sistem moneter dalam sistem perbankan ganda di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Astiyah et al. (2006). Mereka melakukan kajian konseptual yang selanjutnya dirumuskan guna mendapatkan pendekatan yang paling cocok untuk menggambarkan perilaku sistem moneter dalam sistem perbankan ganda. Studi ini berkesimpulan bahwa dengan tidak diperkenankannya penggunaan suku bunga dalam ekonomi Islam, maka implementasi kebijakan moneter yang diambil sebaiknya cenderung kepada quantity targeting yang utuh dengan mengedepankan konsistensi antara instrumen syariah dan instrumen konvensional serta memperhatikan prinsip equality terhadap kedua jenis perbankan, baik konvensional maupun syariah. Setelah itu, Ascarya (2007) melakukan studi deskriptif analitis tentang kebijakan moneter optimum pada sistem perbankan ganda. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan moneter optimum pada suatu negara yang mengadopsi sistem perbankan atau keuangan ganda harusnya mengacu pada tingkat pengembalian pada sistem bagi hasil untuk memaksimalkan keadilan distributif dan kesejahteraan sosial dan meminimalkan inefisiensi. Selanjutnya, Izhar dan Asutay (2007) juga melakukan penelitian tentang stabilitas moneter pada sistem perbankan ganda di Indonesia, dengan data time series dari tahun 2001 sampai 2004. Hasilnya menunjukkan bahwa baik dalam persamaan jangka panjang maupun persamaan
error correction model variabel M2 konvensional dan M2 Islam tidak mempunyai hubungan
yang signifikan dengan tingkat harga. Namun demikian, nilai error correction term (ECT) pada sistem konvensional lebih besar daripada ECT pada sistem Islam.
61
Penelitian terbaru yang cukup penting adalah yang dilakukan oleh Hasanah et al (2008) yang mengkaji perilaku agregat moneter dalam sistem keuangan/perbankan ganda di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2006 dengan memasukkan variabel return bagi hasil dalam model permintaan uang Islam yang dikembangkan Kaleem (2000) untuk membedakan dengan model permintaan uang konvensional yang mempunyai variabel suku bunga, dengan hasil sebagai berikut.
Response of LM1R to IDEP 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 5 10
Response of LM1ISLR to RS
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.3. Respon Permintaan M1 Konvensional terhadap Suku Bunga vs. Respon M1 Islam terhadap Return Syariah
Sementara itu, gambar IV.4 menunjukkan bahwa suku bunga (IDEP) memberikan andil cukup besar ( 20%) dalam perilaku permintaan M1 konvensional. Sedangkan return Syariah (RS) memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M1 Islam. Dengan demikian, permintaan M1 konvensional dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga, sedangkan permintaan M1 Islam tidak begitu dipengaruhi oleh fluktuasi return Syariah.
62
% EXPINF
12
24 Periode
36
48
Response og LM2R IDEP 0,20 0,16 0,12 0,08 0,04 0,00 -0,04 -0,08 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 5 10
Response of LM2ISLR to RS
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.5. Respon Permintaan M2 Konvensional terhadap Suku Bunga vs. Respon M2 Islam terhadap Return Syariah
63
Gambar IV.6 menunjukkan bahwa suku bunga (IDEP) memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M2 konvensional. Sedangkan return Syariah (RS) juga memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M2 Islam.
% EXPINF
12
24 Periode
36
48
Adanya pergeseran perilaku M1 konvensional ke M2 konvensional menyiratkan kemungkinan adanya pengaruh positif dari suku bunga terhadap tabungan atau deposito. Besar kemungkinan suku bunga berpengaruh positif terhadap deposito konvensional karena tingginya suku bunga akan menarik masyarakat untuk menyimpan dananya di deposito. Hal ini perlu pembuktian lebih lanjut dalam penelitian berikutnya.
64
Uang Kartal SUKU BUNGA Giro Konvensional Tabungan Konvensional Deposito Konvensional KONVENSIONAL Perilaku Permintaan Uang & Stabilitas Moneter
RETURN SYARIAH
Gambar IV.7. Komponen Agregat Moneter yang MempengaruhiPerilaku Permintaan Uang dan Stabilitas Moneter dalam Sistem Keuangan Ganda
return Syariah dari Bank Muamalat Indonesia dalam periode waktu antara bulan Januari 2001
sampai dengan bulan Desember 2006. Dengan demikian data yang digunakan merupakan data time series.
65
c. Komponen uang beredar Islam dalam arti sempit (M1ISL) adalah uang kartal dan giro Wadiah pada bank Syariah. d. Komponen uang beredar Islam dalam arti luas (M2ISL) adalah komponen M1ISL, tabungan
h. Return Syariah (RS) adalah tingkat pengembalian dana pada bank umum Syariah berupa equivalent rate dari return deposito/investasi Mudharabah.
Keterbatasan model yang digunakan adalah penggunaan uang kartal yang tidak dapat dipisahkan mana bagian uang kartal konvensional dan mana bagian uang kartal Islam, sehingga dalam analisis permintaan uang Islam M1 dan M2 di Indonesia, yang porsi perbankan Syariah masih kurang dari 2%, akan didominasi oleh perilaku uang kartal. Hal ini mendorong penulis untuk menganalisis komponen M1 dan M2 agar dapat memisahkan pengaruh komponen uang kartal dari komponen lainnya.
Autoregression (VAR) dari model permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam
yang diajukan oleh Hasanah et al (2008), seperti pada persamaan (6) dan (7). Kemudian jika data yang digunakan stasioner pada perbedaan pertama maka model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM). Analisis impulse
response function juga dilakukan untuk melihat respon suatu variabel endogen terhadap
guncangan variabel lain dalam model. Analisis variance decomposititon juga dilakukan untuk melihat kontribusi relatif suatu variabel dalam menjelaskan variabilitas variabel endogenusnya. Semua data dalam penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali suku bunga, rate of return, dan inflasi yang diharapkan untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah
66
IV.4 Permintaan Uang Kartal a. Analisis Impulse Response Function untuk Uang Kartal
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan uang kartal (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.7, serta gambar IV.8 dan gambar IV.9 di Lampiran.
67
Gambar IV.8 di Lampiran menunjukkan bahwa respon permintaan uang kartal terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Permintaan uang kartal merespon positif berkisar 1.1 sampai 2.8 persen dari mulai periode kelima sampai periode ke-48 terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi. Sedangkan guncangan pada variabel suku bunga dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh permintaan uang kartal. Permintaan uang kartal dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-37, dengan respon ratarata sebesar 1.5 persen. Permintaan uang kartal mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ke-26 dengan respon sebesar 0.9 persen. Sedangkan guncangan pada suku bunga mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 1.7 sampai 1.8 persen. Gambar IV.9 di Lampiran menunjukkan bahwa respon permintaan uang kartal terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi adalah positif berkisar 0.5 sampai 2.3 persen dari mulai periode keempat sampai periode ke-48. Sedangkan guncangan pada variabel
return Mudharabah dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh permintaan uang kartal.
Permintaan uang kartal dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-21, dengan respon rata-rata sebesar 1.4 persen. Permintaan uang kartal mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ke-19 dengan respon sebesar 1.9 persen. Sedangkan guncangan pada return Mudharabah mulai direspon stabil pada periode ke-18 sebesar 0.9 persen.
68
Response of LN_RCURRENCY to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45
.03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.8 Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)
Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.8) terlihat bahwa, dibanding return
Mudharabah, suku bunga memberikan pengaruh lebih besar (0.02 SD vs. 0.01 SD) dan lebih
lama (24 periode vs. 18 periode) terhadap permintaan uang kartal.
Gambar IV.9. Variance Decomposition Permintaan Uang Kartal (Konvensional dan Islam)
69
Seperti dapat dilihat pada Gambar IV.9 kiri, fluktuasi permintaan uang kartal dipengaruhi paling dominan oleh permintaan uang kartal itu sendiri, sedangkan suku bunga berada pada urutan kedua untuk periode ke-12 sampai periode ke-48, dan GDP pada urutan ketiga. Sedangkan variabel ekspektasi inflasi tidak terlalu mempengaruhi variabilitas permintaan uang kartal. Pada periode pertama, fluktuasi variabel permintaan uang kartal dipengaruhi oleh guncangan uang kartal itu sendiri sebesar 100 persen. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan permintaan uang kartal itu sendiri makin menurun mempengaruhi variabilitas permintaan uang kartal, tetapi masih dominan, sedangkan variabel suku bunga mulai berperan besar kedua. Pada periode ke-48 variabilitas uang kartal dapat dijelaskan oleh variabel suku bunga dengan kontribusi sebesar 29.2 persen. Hasil variance decomposition permintaan uang kartal dengan memasukkan tingkat return
mudharabah dapat dilihat pada Gambar IV.9 kanan. Variabilitas permintaan uang kartal dominan
dipengaruhi oleh inovasi permintaan uang kartal itu sendiri, kemudian inovasi ekspektasi inflasi pada urutan kedua, dan inovasi GDP pada urutan ketiga. Sedangkan tingkat return Mudharabah justru tidak dominan dalam menjelaskan permintaan uang kartal berdasarkan hasil variance
IV.5 Giro Konvensional dan Giro Wadiah a. Analisis Impulse Response Function untuk Giro
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan giro (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.8 di bawah ini, serta gambar IV.12 dan gambar IV.13 di Lampiran.
70
Pada Gambar IV.12 di Lampiran dapat dilihat bahwa respon giro konvensional terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Giro konvensional merespon positif berkisar 0.1 sampai 0.9 persen dari mulai periode kedua sampai periode ke-48 terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi. Sedangkan guncangan pada variabel suku bunga dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh giro konvensional. Giro konvensional dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-22, dengan respon rata-rata sebesar 0.4 persen. Giro konvensional mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ketujuh dengan respon sebesar 0.5 persen. Sedangkan guncangan pada suku bunga mulai direspon stabil pada periode keenam sebesar 1.1 persen. Gambar 13 di Lampiran menunjukkan hasil IRF permintaan giro Wadiah akibat guncangan variabel lain. Pada saat terjadi guncangan variabel GDP, giro Wadiah merespon positif dengan terjadinya kenaikan mulai dari periode kedua sampai akhir periode peramalan. Giro Wadiah dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-26 dengan ratarata respon sebesar 1.9 persen. Guncangan variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi secara umum direspon negatif oleh giro Wadiah. Respon negatif ini terus berlangsung sampai akhir periode peramalan. Mulai periode ke-16, terlihat adanya kestabilan respon giro
Response of LN_RDD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45
.03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.10. Respon Permintaan Giro Wadiah terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)
Secara umum guncangan variabel return Mudharabah direspon negatif oleh giro Wadiah. Tetapi seperti terlihat dari gambar, guncangan pada tingkat return Mudharabah tidak terlalu direspon oleh giro Wadiah. Respon giro Wadiah terhadap guncangan variabel return
71
Mudharabah sudah terlihat stabil pada periode kedelapan peramalan. Mulai periode ini, respon
permintaan giro Wadiah terhadap guncangan return Mudharabah sebesar satu standar deviasi hanya sekitar 0.4 persen. Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.10) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh negatif terhadap permintaan giro konvensional lebih besar (0.014 SD) dari pada pengaruh return Mudharabah terhadap permintaan giro Wadiah (Islam) yang hampir tidak ada.
Pada periode pertama, fluktuasi variabel giro konvensional (baca gambar IV.11 kiri) dipengaruhi oleh guncangan giro konvensional itu sendiri sebesar 100 persen, sedangkan pengaruh variabel lain belum terlihat. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan giro konvensional itu sendiri makin menurun mempengaruhi fluktuasi giro konvensional tetapi masih dominan dengan kontribusi rata-rata sebesar 84 persen. Variabel suku bunga memberikan kontribusi terbesar kedua dalam menjelaskan variabilitas giro konvensional. Sementara guncangan variabel ekspektasi inflasi dan guncangan GDP tidak dominan mempengaruhi fluktuasi giro konvensional untuk setiap periode peramalan. Sementara itu, fluktuasi variabel giro Wadiah (baca gambar IV.11 kanan) pada periode pertama, dipengaruhi oleh guncangan giroWadiah itu sendiri sebesar 100 persen, sedangkan pengaruh variabel lain belum terlihat. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan giro Wadiah itu sendiri makin menurun mempengaruhi fluktuasi giro
72
Wadiah tetapi masih dominan dengan kontribusi rata-rata sebesar 97.7 persen. Sedangkan
variabel-variabel lainnya tidak memberikan kontribusi yang besar dalam menjelaskan variabilitas giro Wadiah. Variabel tingkat return Mudharabah sendiri hanya mempunyai kontribusi ratarata sebesar 0.07 persen dalam menjelaskan fluktuasi giro Wadiah selama periode peramalan.
IV.6 Tabungan Konvensional dan Tabungan Mudharabah a. Analisis Impulse Response Function untuk Tabungan
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan tabungan (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.9 di bawah ini, serta gambar IV.16 dan gambar IV.17 di Lampiran.
Tabel IV.9. Respon Permintaan Saving Deposit
Respon Saving Deposit (Konvensional) Guncangan PDB Guncangan Ekspektasi Inflasi Guncangan Suku Bunga Guncangan Return Mudharabah Negatif dan permanen -0.01, stabil mulai periode ke-28 Negatif dan permanen -0.004, stabil mulai periode ke-30 Negatif dan permanen -0.029, stabil mulai periode ke-27 Respon Tabungan Mudharabah (Islam) Positif dan permanen 0.006, stabil mulai periode ke-15 Negatif dan permanen -0.041, stabil mulai periode ke-17 Negatif dan permanen -0.019, stabil mulai periode ke-11
Berdasarkan hasil analisis IRF tabungan konvensional (baca gambar IV.16 di Lampiran), dapat dilihat bahwa guncangan pada GDP, guncangan pada suku bunga, dan guncangan pada ekspektasi inflasi secara umum direspon negatif oleh tabungan. Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh tabungan pada periode ke-28. Guncangan pada suku bunga sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh tabungan pada periode ke-22 dengan respon sebesar 2.8 persen. Sedangkan respon yang stabil mulai ditunjukkan oleh tabungan terhadap guncangan variabel ekspektasi inflasi pada periode ke-26. Untuk IRF tabungan Mudharabah (baca gambar IV.17 di Lampiran), dapat dilihat bahwa tabungan Mudharabah ini merespon positif terhadap guncangan variabel GDP, sedangkan guncangan pada return Mudharabah dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh tabungan
Mudharabah. Respon positif tabungan Mudharabah terhadap guncangan variabel GDP sebesar
satu standar deviasi mulai stabil pada periode ke-27. Sedangkan guncangan pada return
Mudharabah dan ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi direspon stabil mulai periode
ke-11 dan periode ke-18.
73
Response of LN_RSD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.12. Respon Permintaan Tabungan terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)
Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.12) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh negatif terhadap permintaan tabungan konvensional lebih besar (0.03 SD) dari pada pengaruh negatif return Mudharabah terhadap permintaan tabungan Mudharabah (Islam) yang sebesar 0.02 SD.
74
Berdasarkan hasil variance decomposition, pada periode pertama variabilitas nilai tabungan konvensional dapat dijelaskan 100 persen oleh tabungan konvensional itu sendiri (baca gambar IV.13 kiri). Pada periode-periode berikutnya variabel tabungan konvensional masih menjadi variabel yang dominan dalam menjelaskan variabilitas nilai tabungan konvensional. Mulai dari periode ke-12 sampai periode ke-48, variabel kedua yang dominan dalam menjelaskan variabilitas dari nilai tabungan konvensional adalah variabel suku bunga. Pengaruh rata-ratanya adalah sebesar 31.7 persen. Sedangkan variabel GDP dan ekspektasi inflasi tidak dominan dalam menjelaskan fluktuasi nilai tabungan konvensional. Pada variance decomposition tabungan Mudharabah (baca gambar IV.13 kanan), variabel tabungan Mudharabah itu sendiri dominan dalam menjelaskan variabilitas nilai tabungan
Mudharabah dengan kontribusi rata-rata sebesar 91 persen. Sedangkan variabel lain yang
dominan kedua dalam menjelaskan fluktuasi nilai tabungan Mudharabah adalah variabel ekspektasi inflasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa terjadi mengingat sistem perbankan syariah dalam dual financial system masih menggunakan ung fiat konvensional yang masih bersifat inflatoir. Sehingga pengaruh ekspektasi inflasi masih terlihat pada tabungan
Mudharabah. Kontribusi rata-ratanya dari periode ke-12 sampai periode ke-48 adalah sebesar
8.37 persen. Sedangkan variabel GDP dan tingkat return Mudharabah tidak dominan dalam menjelasakan variabilitas nilai tabungan Mudharabah.
IV.7 Deposito Konvensional dan Deposito (Investasi) Mudharabah a. Analisis Impulse Response Function untuk Deposito
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan deposito (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.10 di bawah ini, serta gambar IV.20 dan gambar IV.21 di Lampiran.
75
Berdasarkan hasil analisis IRF untuk permintaan deposito konvensional (baca gambar IV.20 di Lampiran), dapat dilihat bahwa guncangan pada GDP, ekspektasi inflasi, dan suku bunga direspon positif oleh deposito. Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh deposito pada periode ke-23 sebesar 1.4 persen. Guncangan pada suku bunga sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-27 sebesar 1.5 persen. Sedangkan guncangan pada variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-14 sebesar 0.5 persen. Sementara itu, secara umum dapat dilihat bahwa deposito Mudharabah merespon positif terhadap guncangan GDP, dan merespon negatif terhadap guncangan return Mudharabah dan ekspektasi inflasi (baca gambar IV.21 di Lampiran). Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh deposito Mudharabah pada periode ke-32 sebesar 4 persen. Guncangan pada tingkat return Mudharabah sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 3 persen. Sedangkan guncangan pada variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 2 persen.
Response of LN_RTD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar IV.14. Respon Permintaan Deposito terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)
Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.14) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh positif terhadap permintaan deposito konvensional, sedangkan return
76
Hasil analisis variance decomposition untuk deposito konvensional (baca gambar IV.15 kiri) menunjukkan bahwa pada periode pertama variabilitas nilai deposito dapat dijelaskan oleh deposito itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode ke-12 sampai periode ke-48, kontribusi rata-rata deposito dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito itu sendiri hanya sebesar 51.4 persen. Pada periode ke-12 sampai ke-48, variabel yang dominan kedua dalm menjelaskan variabilitas nilai deposito adalah variabel suku bunga. Kontribusi rata-ratanya sendiri sebesar 29.3 dalam menjelaskan fluktuasi deposito. Variabel GDP merupakan variabel dominan ketiga dalam menjelaskan variabilitas nilai deposito, sedangkan variabel ekspektasi inflasi tidak dominan dalam menjelaskan nilai deposito. Hasil analisis variance decomposition untuk deposito Mudharabah (baca gambar IV.15 kanan) menunjukkan bahwa pada periode pertama variabilitas nilai deposito Mudharabah dapat dijelaskan deposito Mudharabah itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode ke-12 sampai periode ke-48, kontribusi rata-rata deposito Mudharabah dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito Mudharabah itu sendiri sebesar 92.3 persen. Pada periode ke-12 sampai ke-48, variabelvariabel lainnya kurang dapat memberikan kontribusi dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito
Mudharabah.
77
percent reserve banking system, dan sistem bunga vs. sistem bagi hasil. Pada sistem moneter
ganda kontemporer, hanya sistem bunga vs. sistem bagi hasil yang membedakan ke dua sistem moneter tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa return bagi hasil (Mudharabah) berpengaruh negatif terhadap permintaan semua komponen uang Islam (uang kartal, giro Wadiah, tabungan
V.2 Rekomendasi
Otoritas moneter harus secara bertahap mengubah mindset cara pandang mereka dari operasi moneter konvensional ke operasi moneter ganda, dan mulai memikirkan kemungkinan penggunaan return Syariah sebagai acuan policy rate kebijakan tingkat
78
pengembalian untuk dapat mencapai tujuan utama dalam memaksimalkan kesejahteraan masyarakat yang merata dan keadilan, serta meminimalkan inefisiensi. Perlu dilakukannya kajian-kajian lanjutan tentang sinergi sistem moneter ganda dan bagaimana memaksimalkan kelebihan system ketika diimplementasikan, serta pengembangan operasional instrumen kebijakan moneter ganda yang sesuai dan dapat mengoptimalkan kelebihan system moneter ganda. Selain itu, perlu juga dilakukan kajian-kajian mendalam tentang system uang fiat vs. system uang Islam dan fractional reserve banking system vs. 100 percent reserve banking system, untuk membuktikan bahwa system keuangan Islam yang comprehensive bekerja lebih baik dari pada system keuangan Islam kontemporer dalam mencapai kesejahteraan masyarakat yang merata dan keadilan.
79
Daftar Pustaka
Achsani, N.A., Oliver H., dan Hizir S. (2005), Econometric and Fuzzy Modelling of Indonesian Money Demand, dalam: Cizek, Pavel, Wolfgang H., and Rafal W. Statistical Tools For Finance
Working Paper, Jakarta, Indonesia: Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter, Bank Indonesia. Chapra, M.U. (1996), Monetary Management in Islamic Economy, Islamic Economic Studies, Vol.4, No.1. Darrat, A.F. (2000), On The Efficiency of Interest-free Monetary System: A Case Study, Paper, ERFs Seventh Annual Conference, Amman-Jordan, 26-29 Oktober. Fardmanesh, M. dan S.A. Siddiqui (1994), Financial Instability and a Share Economy, Eastern
80
Mishkin, F.S. (2001), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Colombia University. Ryandono, M.N.H. (2006), Mempertanyakan Kebenaran Paradigma Hubungan Bunga, Investasi (Kredit), dan Pertumbuhan Ekonomi: Haramnya Sistem Bunga (Riba) Secara Teoritik dan Empirik. Paper. Dipresentasikan pada Seminar dan Kolokium Nasional, ITB. Bandung, Indonesia: SBM-ITB, September. Sakti, A. (2007), Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigma & Aqsa Publishing, Jakarta. Zangeneh, H. (1995), A Macroeconomic Model of an Interest-free System, The Pakistan
81
LAMPIRAN
82
83
Response of LN_RCURRENCY to IDEP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.8. Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi
Gambar Lampiran IV.9. Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
84
Response of LN_RCURRENCY to RM .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.9. (lanjutan) Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
Response of LN_RDD to IDEP .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02
10
15
20
25
30
35
40
45
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.12. Respon Permintaan Giro Konvensional terhadap Guncangan Variabel GDP, Expektasi Inflasi, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi
85
Response of LN_RWADIAH to RM .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.13. Respon Permintaan Giro Wadiah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
Gambar Lampiran IV.16. Respon Saving Deposit terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi
86
Response of LN_RSD to LN_RGDP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.16. (lanjutan) Respon Saving Deposit terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi
.10
.10
.05
.05
.00
.00
-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45
-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45
.10
.10
.05
.05
.00
.00
-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45
-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45
Gambar Lampiran IV. 17. Respon Tabungan Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
87
Response of LN_RTD to LN_RGDP .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.20. Respon Deposito Konvensional terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi
Gambar Lampiran IV.21. Respon Deposito Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
88
10
15
20
25
30
35
40
45
Gambar Lampiran IV.21. (lanjutan) Respon Deposito Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi
PETUNJUK PENULISAN
1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan
90
a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New , Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. Empirical Research on Nominal Exchange Rates, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel. Income Distribution Dynamics with Endogenous . Fertility. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. Can Parental Decision Explain . U.S. Income Inequality?, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston, Alan , W. Penn World Table, Version 5.6http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. Killed by Kindness, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.