You are on page 1of 94

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN


Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Penyantun/Patron Dewan Gubernur Bank Indonesia Board of Governors of Bank Indonesia Dewan Penasehat/Advisory Board Prof. DR. Anwar Nasution Prof. DR. Insukindro Prof. DR. Iwan Jaya Azis DR. M. Syamsuddin Pemimpin Redaksi/Chairman of Editorial Board Made Sukada Wijoyo Santoso Dewan Penyunting/Editorial Board Halim Alamsyah Perry Warjiyo Suseno Wimboh Santoso Endy Dwi Tjahjono Solikin M. Juhro Haris Munandar Redaktur Pelaksana/Staff Editor/Editorial Administrator Andi Alfian Parewangi Sekretariat/Secretariat Rakianto Irawanto M.S. Artiningsih Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin ini paper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : bemp_bi@yahoo.com. Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober dan Januari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungi Seksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan: telp. (021) 381-8636, fax. (021) 231-1219, email: pusriset@bi.go.id

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Volume 11, Nomor 1, Juli 2008

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II - 2008 Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank Haris Munandar, Ferry Kurniawan, Oki Hermansyah Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4 Nova Riana Banjarnahor Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia Ascarya, Heni Hasanah, Noer Azam Achsani

21

53

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2007

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008
Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Di tengah berkembangnya berbagai gejolak eksternal maupun domestik, perekonomian Indonesia pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat pertumbuhan yang tinggi sebelumnya. meskipun lebih rendah dari triwulan sebelumnya PDB triwulan II-2008 diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,0% (yoy), setelah mencatat pertumbuhan sebesar 6,3% (yoy) pada triwulan I-2008. Lebih rendahnya pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh kecenderungan menurunnya permintaan domestik akibat kenaikan harga BBM bersubsidi pada akhir Mei 2008. Di sisi permintaan, kegiatan konsumsi dan investasi masyarakat diprakirakan tumbuh melambat seiring dengan penurunan daya beli masyarakat akibat tingginya tekanan inflasi sebagai akibat kenaikan harga BBM, serta sentimen bisnis yang menurun. Sementara itu, kinerja ekspor juga berpotensi untuk tumbuh lebih rendah dari prakiraan sejalan dengan belum membaiknya iklim perekonomian dunia dan melemahnya permintaan eksternal. Kinerja impor juga diprakirakan akan mengalami penurunan seiring dengan melambatnya kegiatan perekonomian. Kondisi tersebut dapat mendorong turunnya kontribusi permintaan domestik dan net ekspor. Di sisi penawaran, hampir seluruh sektor perekonomian diprakirakan akan mengalami penurunan pertumbuhan pada triwulan II-2008. Namun demikian, sektor-sektor utama ekonomi seperti sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, serta sektor pengangkutan dan telekomunikasi masih mencatat pertumbuhan yang tinggi. Perkembangan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan II-2008 diprakirakan surplus. akan tetap mencatat surplus Seiring dengan masih tingginya pertumbuhan ekonomi, impor bahan baku dan barang modal untuk keperluan ekspor dan investasi menunjukkan peningkatan. Kenaikan nilai impor ini dalam jangka waktu pendek akan mengurangi surplus pada NPI. Namun ke depan, dengan tetap solidnya pertumbuhan ekonomi, perkembangan NPI pada tahun 2008 diharapkan tetap mencatat surplus yang tinggi. Sementara itu, perkembangan transaksi modal dan finansial diwarnai oleh penerbitan obligasi valas Pemerintah serta tetap terjaganya minat investor asing terhadap aset domestik. Secara keseluruhan, kinerja NPI pada triwulan II-2008 diprakirakan masih mencatat surplus. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi posisi

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2008 mencapai USD59,5 miliar atau setara dengan 5,1 bulan impor dan utang luar negeri Pemerintah. Dengan kinerja NPI tersebut, indikator kerentanan eksternal hingga akhir triwulan II-2008 masih relatif membaik. Posisi utang luar negeri yang terus meningkat dapat diimbangi dengan peningkatan kegiatan ekonomi, termasuk kinerja ekspor dan posisi realisasi cadangan devisa. Nilai tukar rupiah selama triwulan II-2008 bergerak relatif stabil meski sempat mengalami tekanan. Tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen pasar sempat memberikan tekanan terhadap nilai rupiah. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD. Pergerakan rupiah selama triwulan II-2008 relatif terjaga yang tercermin dari penurunan tingkat volatilitas dari 1,42% pada triwulan I-2008 menjadi 0,61%. Laju inflasi IHK pada triwulan II-2008 meningkat signifikan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dan periode yang sama tahun sebelumnya. Dengan menggunakan tahun dasar 2007, laju inflasi tahunan pada akhir triwulan II-2008 mencapai 11,03% (yoy), meningkat dari 8,17% (yoy) pada triwulan I-2008. Peningkatan inflasi IHK tersebut terutama disebabkan oleh dampak langsung dan tidak langsung dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 28,7% pada akhir Mei 2008. Berdasarkan komponennya, tingginya inflasi pada triwulan laporan terutama didorong oleh faktor nonfundamental yaitu administered price dan volatile food. Peningkatan inflasi administered price terutama terkait dengan kenaikan harga BBM dan kelangkaan komoditas energi. Sementara itu, meningkatnya inflasi volatile food terkait dengan dampak kenaikan harga pangan internasional. Di samping itu, kenaikan inflasi juga ditengarai oleh adanya tekanan dari sisi permintaan domestik. Perkembangan BI Rate diikuti dengan peningkatan suku bunga deposito, namun belum kredit. menghalangi berlanjutnya penurunan suku bunga kredit Hingga Mei 2008, suku bunga Kredit Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masih menunjukkan penurunan dengan besaran yang bervariasi, sedangkan suku bunga Kredit Modal Kerja (KMK) tercatat relatif stabil. Di sisi penghimpunan dana, rata-rata suku bunga deposito periode 1 bulan pada Mei 2008 tercatat sebesar 6,98%, sedikit meningkat dibandingkan dengan akhir triwulan sebelumnya. Sementara itu, IHSG pada akhir laporan ditutup pada level 2349 atau melemah 4,01% dibandingkan dengan akhir triwulan I-2008. Kinerja IHSG selama triwulan II-2008 cenderung lebih fluktuatif sejalan dengan meningkatnya berbagai faktor risiko domestik dan regional. Di tengah gejolak yang mewarnai perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2008 diprakirakan mencapai 6,0%. Pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut didorong oleh kinerja ekspor dan investasi, walaupun dibayangi oleh kemungkinan melambatnya

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2008

pertumbuhan konsumsi swasta akibat kenaikan harga BBM bersubsidi. Harga komoditas yang tinggi serta pertumbuhan ekonomi di negara berkembang yang tetap kuat diprakirakan menjadi insentif bagi kenaikan ekspor. Prospek ekspor yang cukup cerah diprakirakan mendorong kenaikan pertumbuhan investasi. Dari sisi produksi, prakiraan tersebut didukung oleh pertumbuhan sektorsektor yang berorientasi ekspor, khususnya sektor pertambangan dan sektor pertanian. Sementara itu, pengeluaran pemerintah diprakirakan dapat tumbuh lebih tinggi dari tahun sebelumnya disebabkan oleh kelonggaran belanja pemerintah pascapengurangan subsidi BBM. Peranan sinergi kebijakan moneter dan fiskal akan menjadi semakin penting dalam perekonomian. memitigasi dampak negatif gejolak eksternal terhadap prospek perekonomian Bank Indonesia (BI) akan tetap konsisten mengarahkan kebijakan moneternya untuk mengamankan arah perkembangan inflasi guna mendukung kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Laju inflasi IHK tahun 2008 diprakirakan akan berada pada kisaran 11,5%-12,5% (yoy), jauh lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya atau berada di atas sasaran yang ditetapkan Pemerintah sebesar 5%+1%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih akan menghadapi berbagai risiko, baik yang bersumber dari gejolak eksternal maupun kondisi domestik. Risiko paling utama saat ini berasal dari perkembangan eksternal yaitu kenaikan harga-harga komoditas internasional, khususnya harga minyak dan bahan pangan, serta gejolak di pasar finansial global. Berbagai hal tersebut dapat meningkatkan tekanan inflasi domestik. Selain itu, masih adanya selisih antara harga pasar dan harga subsidi serta kemungkinan peningkatan konsumsi BBM dapat menimbulkan risiko pengurangan subsidi BBM lebih lanjut. Dalam kaitan ini, BI akan tetap melaksanakan kebijakan moneter secara terukur dan perekonomian. hati-hati dengan terus mencermati berbagai dinamika perekonomian Keputusan BI pada awal Juli 2008 untuk menaikkan BI Rate menjadi 8,75% didasari atas pertimbangan secara seksama akan risiko terhadap stabilitas perekonomian dan sistem keuangan Indonesia serta prospek pertumbuhan ekonomi ke depan. Bank Indonesia melihat adanya peningkatan tekanan pada sisi permintaan dan indikasi kenaikan ekspektasi inflasi yang dapat menimbulkan kenaikan inflasi putaran kedua. Oleh karena itu, Bank Indonesia memandang perlu untuk menaikkan BI Rate untuk mencegah dampak lanjutan kenaikan harga BBM dan bahan pangan terhadap harga barang-barang lain serta menjangkar ekspektasi inflasi masyarakat ke depan.

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

REGIONAL ECONOMIC INTEGRATION, MOBILITY OF PRODUCTION FACTORS AND THE ROLE OF CENTRAL BANK
Haris Munandar, Ferry Kurniawan, Oki Hermansyah 1

Abstrak s i
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam perekonomian yang terintegrasi penuh yang memungkinkan pergerakan input dan output secara bebas, maka proporsi output dalam perekonomian akan sama dengan proporsi input produktif (yakni physical dan human capital). Ini kami sebut sebagai hubungan proporsional (equal-share relationship). Hubungan ini juga berlaku ketika terdapat perbedaan teknologi atau perbedaan biaya pergerakan input lintas sektor dengan syarat input dan output ini diukur dengan benar dalam merefleksikan perbedaan biaya tersebut. Dalam suatu perekonomian yang terintegrasi, hubungan proporsional ini membatasi distribusi input dan output. Selain itu, hubungan proporsional ini sekaligus memberikan batasan pengambilan kebijakan yang dapat mempengaruhi perkembangan setiap sektor dalam perekonomian yang terintegrasi penuh. Disini investasi memainkan peranan kunci dalam menentukan distribusi produksi. Dengan aplikasi teknik analisis panel pada data negara ASEAN, penelitian ini menelusuri dampak kebijakan moneter terhadap investasi. Hasil penelitian menunjukkan: (i) bank sentral melalui kebijakan moneternya memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja investasi, (ii) inflasi yang rendah dan stabilitas perekonomian secara signifikan meningkatkan investasi. Menyongsong terbentuknya ASEAN Economic Community, temuan ini menegaaskan peran penting bank sentral dalam meningkatkan investasi.

JEL Classification: E13, F15, F21, F22, O57

Keywords: distribusi produksi, pertumbuhan, mobilitas input, kebijakan moneter, integrasi,


ASEAN.

1 Haris Munandar is an Economist while Ferry Kurniawan and Oki Hermansyah are Junior Economists at the Modeling and Outlook Unit of Bureau of Economic Research, Directorate of Economic Research and Monetary Policy, Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta 10350, Indonesia; email: hmunandar@bi.go.id (corresponding author). The views expressed in this paper are those of the authors and do not necessarily represent those of Bank Indonesia or Bank Indonesia policy. We thank Made Sukada, Wijoyo Santoso, Endy Dwi Tjahjono and conference participants at the Asia Pacific Trade Seminars (APTS) in Sidney, 14-15 July 2008, for providing us comments and encouraging us to do this work.

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

I. INTRODUCTION
At the January 2007 ASEAN Summit in Cebu, Philippines, ASEAN leaders agreed to bring forward to 2015 an ambitious initiative to integrate their economies and establish an ASEAN Economic Community (AEC). The community was previously planned to be instituted by 2020 as per earlier ASEAN leaders decision at the 2003 ASEAN Summit in Bali. The main motivation in the beginning was the need for a significantly higher level of regional economic integration if the ASEAN economies were to compete in a world in which the weight of China and India would continue to rise. The AEC is now aspired to be a single market and production base, a highly competitive economic region, a region of equitable economic development and a region that is fully integrated into the global economy. To achieve such objectives an AEC blueprint was launched at a more recent ASEAN Summit in Singapore in November 2007. This blueprint is intended to be the roadmap required to implement the AEC by 2015. The manuscript contains action plans, targets and timelines for the implementation of the various economic initiatives to advance the AEC. Developing an ASEAN single market and production base necessitates achieving free flow of goods, services, investment, capital and skilled labor. To this end, 12 priority sectors have been selected as the catalyst and these sectors will pursue a fast track integration path.1 In this context, the ASEAN Free Trade Area (AFTA) has been one of the most important building blocks of the AEC as it has facilitated the agenda towards free movement of goods in the region. AFTA was formed in January 1992 at the ASEAN Summit meeting in Singapore. By now, tariff rates reduction to 0 to 5 percent under AFTA have been adopted by most member countries with full implementation by all members from 2010. Brunei, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore and Thailand (referred to as the ASEAN-6) agreed to complete the comprehensive tariff reduction program in 2008 which was moved forward to 2002. Cambodia, Laos, Myanmar and Viet Nam (CLMV countries) were given longer time frames to complete the program: Viet Nam in 2006, Laos and Myanmar in 2008 and Cambodia in 2010. Conceptually, the AEC is intended to mimic a European Union (EU)-style single market. Within the ASEAN context, it will require all measures to remove discrimination against ASEAN suppliers of goods, services and factors. ASEAN still has indeed a long way to go to achieve a single market. To do so will require a fundamental change in thinking by ASEAN economic policy-makers especially in the way they approach regional economic integration. The relatively successful AFTA implementation (trade-related liberalizations) more or less has left issues concerning factor mobility at the top of the AEC implementation programs.
1 These 12 priority sectors are: electronics, information and communications technology (ICT), healthcare, wood-based products, automotives, rubber-based products, textiles and apparels, agro-based products, fisheries, air travel, tourism and logistics.

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

This paper tries to shed some lights regarding what will happen after fully free factor mobility are achieved following the establishment of AEC in 2015 and as a way to strengthen analytical tools to anticipate ASEAN Economic Community 2015. Such objectives were clearly stated by Governor of Bank Indonesia at the Annual Bankers Dinner January 18, 2008. In this annual strategy presentation, the Governor noted as follows (see Abdullah, 2008, page 154): The third initiative in the monetary sector is strengthening policy analysis related to AEC 2015. The ASEAN Charter in Singapore on 20th November 2007 witnessed the introduction of the ASEAN economic integration program that is no longer up for negotiation. The AEC 2015 intra ASEAN free-trade agenda is nearly complete and will usher in a significant change in the movement of the production factor. The effect of free movement in the production factor is the establishment of a new configuration of intra ASEAN economic production distribution. It is therefore imperative for a central bank to understand the determinants of this new configuration. We need to project new characteristics and determinants of economic production distribution. As we are discussing something that will take place in the future, we do not have any data that can be interpreted through empirical study. Therefore, Bank Indonesia will initiate several theoretical and analytical research programs. Fundamentally, a surge of regional integration agreements over the past two decades, including the formation of the ASEAN Economic Community, have sought to reduce barriers to the exchange of goods, services and, in the extreme, factors of production among subsets of countries.2 Other examples include the NAFTA (United States, Canada and Mexico), the European Unions Europe 1992 internal market program, the recent accession of additional countries into the European Union (EU), and ongoing efforts to initiate or renew agreements among a variety of nations (e.g., the Free Trade for the Americas and MERCOSUR). The literature dealing with the economic implications of regional integration has mostly dealt with the effects of reducing barriers to the movement of goods. Less attention has been given to the implications of also allowing greater mobility of productive factors within an integrated economy. This omission from the literature is important not only because cross-border factor flows are becoming increasingly important,3 but also the international trade literature has long recognized that goods trade and cross-border factor flows can evidence a substitute or complement relationship. Hence, reducing barriers to the movement of productive factors within an integrated area would be expected to affect the final distribution of production across members of an integrated economy.
2 Sachs and Warner (1995) chronicle these liberalization efforts. 3 The importance of factor mobility in many parts of the world is evidenced by the growing importance in many nations balance of payments of remittances from abroad (e.g., International Monetary Fund, 2004). Capital flows in the form of foreign direct investment continue to be important among industrialized countries and they are increasingly also being directed toward developing countries.

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

In this paper we take a general form (not an ASEAN specific) to investigate the implications of allowing factor mobility within an integrated economy for the distribution of production across members. Employing factor price equalization as a driving force, we show that factor mobility among members of an integrated economy (IE) implies that each members share of total IE output will equal its shares of the total IE stock of each productive factor (i.e., its shares of total physical and human capital). We term this theoretical prediction the equal-share relationship.

II. THEORY II.1. The Model


We consider an economy (or economic unit) that produces a single good by means of a constant return to scale production function:4 Yt = F ( Kt, Ht ). (II.1)

where Yt is the level of output, Kt is the level of physical capital stock and Ht is the level of human capital stock, all at time t. To facilitate interpretation we assume the production function takes the Constant Elasticity of Substitution (CES) form:
r Yt = g { K t- + (1-d ) H t- r d

- 1/ r

(II.2)

where is an efficiency parameter, the degree of physical capital usage, and is a substitution parameter such that the elasticity of substitution between the two inputs is = 1 /(1 + ). Given (II.2), the marginal product of physical capital is:
Kt ( FK )t = + (1 ) Ht (1+ ) /

(II.3)

Combining (II.2) and (II.3) one can write:

Y ( FK )t = t Kt

1+

(II.4)

Similarly, the expression for the marginal product of effective labor (human capital) is:

4 For a complete discussion see Bowen, Munandar and Viaene (2005).

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

K ( FH )t = (1 ) (1 ) + t Ht

(1+ ) /

(II.5)

or
1+

( FH )t =

Y (1 ) t Ht

(II.6)

We now introduce a second economy and consider the implications of allowing factor mobility between the two economies. If physical capital and human capital are perfectly mobile between the two economies then we would expect each factor to flow from the low to high rate of return country until each factors rate of return (marginal product) is equalized between the two economies. However, if there are barriers to factor mobility then rates of return will only be partially equalized.5 For simplicity, we can represent such barriers by a time-varying proportional wedge in rates of return to physical capital ( t (k) > 0) and rates of return to human capital ( t (h) > 0). Given this, the relation between the rates of return between the two economies can be written:

Y t Kt

1+

= t ( k )( *)
1+

Y* * t* Kt
*

1+ *

(II.7)
1+ *

Y (1 ) t Ht

= t ( h )( *)

Y* (1 *) t * Ht

(II.8)

where * indicates second economy variables. The ratio of (II.7) to (II.8) gives the ratio of human to physical capital:

H * Ht = ( t )1/(1+ ) t Kt Kt *

(II.9)

5 Barriers to capital mobility can include sovereign and political risk, capital controls, and tax differences that can hinder cross-border investments. Barriers to human capital mobility include government regulations on immigration and work permits, differences in pension systems and languages between countries.

10

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

where :

= [ *(1 ) /(1 *) ]

1/(1+ )

, implying = 1 when = ;

= (1 + ), /(1 + ), implying = 1 when = ;

t = t (k) / t (h), implying t = 1 when t (k) / t (h).


Using these definitions we can write (7) as:

Y * Yt = ( t ( k ))1/(1+ ) t Kt Kt *
where:

(II.10)

v = ( * / )1/(1+ )

= ( *) *

1/(1+ )

We are now fully equipped to illustrate the implications of the model for the distribution of output and factors between the two economies. To show the role of human capital, rewrite (II.8) as:

Y* Yt = ( t (h))1/(1+ ) t * Ht Ht

(II.11)

Traditionally, (II.11) serves as a basis for productivity calculations and comparisons across countries. However, unlike the existing literature (e.g., Hall and Jones, 1999) where productivity is measured by output per worker, equation (II.11) expresses (like the endogenous growth literature) productivity in terms of output per effective unit of labor. For the sake of comparison, consider Hall and Jones (1999) example of the United States and Niger. In 2000, US output per worker was 38 times higher than output per worker in Niger. Using as a measure of human capital the number of persons with at least a secondary education, output per unit of human capital in Niger is instead measured to be 1.3 times higher than in the United States for the same period. This indicates the sensitivity of productivity comparisons to the measurement of human capital. To obtain a first expression of the equal-share relationship, note that (9) and (10) can be written as follows:

H t + (H t *) (t )1/(1+ ) Ht 1/(1+ ) H t * = (t ) = Kt K t + ( K t *) Kt *

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

11

Y * Y + (Yt *) (t (k ))1/(1+ ) Yt = (t (k ))1/(1+ ) t = t Kt K t + ( K t *) Kt *

Combining these two expressions gives:

Ht Yt Kt = = 1/(1+ ) 1/(1+ ) H t + ( H t *) t Yt + (Yt *) t (k ) K t + ( K t *)

(II.12)

Equation (II.12) establishes a link between the first economys shares of the total output, physical capital, and human capital across the two economies. Differences in technology between the two economies imply only a rescaling of the original variables. A difference between and indicates a neutral difference in technologies that has no effect on the optimal selection of physical capital and human capital, but it does have an effect on the distribution of output through in (II.12). A difference between the substitution elasticities introduces the power whereas differences between the other parameters lead to a multiple rescaling of variables. Equation (II.12) nests several share relationships that relate to different assumptions about technology and factor mobility. If technology is identical between the two economies then (II.12) simplifies to:

Ht Yt Kt = = 1/(1+ ) 1/(1+ ) H t + H t * t Yt + Yt * t (k ) Kt + Kt *

(II.13)

In this new form of the equal-share relationship, some variables for the second economy are rescaled by the proportional differences in rates of return. For example, from (II.13), an absence of barriers to physical capital mobility (t (k) =1 implies equal output and physical capital shares that, however, differ from the human capital share. If we assume that both (t (k)

=1 and (t (h) =1 then the equal-share relationship takes the simple form:

Ht Yt Kt = = H t + H t * Yt + Yt * K t + K t *

(II.14)

This states that when there are no barriers to factor mobility and technologies are identical, each economys shares of total output, total physical capital and total human capital will be identical.

12

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

The equal-share relationship (II.14) has three main implications. First, a reallocation of physical capital between IE economies, that is, dKt = - dKt, must be accompanied by an increase in output and either an inflow of foreign human capital or an accumulation of domestic human capital to rebalance the equality of world shares. Similarly, a policy that increases a countrys share of total IE human capital will raise both the countrys share of total IE output and its share of total IE physical capital (via either an inflow of foreign physical capital or accumulation of domestic capital). Second, our framework can be related to the broad topic of output convergence by noting that if (II.14) holds then the following two equalities will also hold:

Yt Y + Yt * = t Ht Ht + Ht *

(II.15)

Yt Y * = t Ht Ht *

(II.16)

From (II.16) it is clear that, if the equal-share relationship holds, the two economies will have the same output per efficiency unit of labor. This implication is the essence of the productivity convergence hypothesis (Baumol, 1986), here interpreted in terms of efficiency units of labor and not per capita. Third, the equal-share relationship (II.14) can be extended to the case of an integrated economy that comprises j = 1,...,N members. If all members have the same technology, and there is perfect mobility of either physical or human capital among members, then the equalization of factor rates of return implies:

H it
N

H jt j =1

Yit
N

Y j =1 jt

K it
N

K j =1 it

for i = 1, , N

(II.17)

This set of equalities express the distribution of output and factors among N members of a fully integrated economy. Like (II.12), expression (II.17) can be extended to allow for differences in technology and factor market imperfections among members. In the context of the ASEAN Economic Community (AEC), the equal share relationship can predict the limiting distribution of production among ASEAN members after 2015. Countries with more human capital and therefore have high proportions of total human capital will have larger proportions of physical capital and bigger shares in the pie of regional economic output.

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

13

This makes sense since superior quality human resources become a magnet for and complement advanced technology-intensive physical capital, while technology has the capability of delivering improvement in economic productivity exponentially. In addition, ASEAN countries able to offer the most conducive atmosphere (read: policies) for foreign investment have the greatest opportunities for acquiring the largest share of physical capital in relation to other ASEAN countries. Besides this, a more advanced economy will support a higher rate of domestic investment by the public, which will also expand the proportion of physical capital in that country. A nation with substantial physical capital (financial and nonfinancial) will be able to employ highly skilled domestic and foreign labours that represent a powerful source of energy for high quality and sustainable economic growth. Each ASEAN member will occupy a certain ranking among the AEC participating countries in terms of economic output, human capital and physical capital, commensurate to that countrys resources and the economic policies that it chooses to adopt. Needless to say, there will be great interest in answering this question: Where will Indonesia stand?

2.2. Equal Share Relationship, Investment and Monetary Policy


From (II.17) it is observed that in an integrated economy where barriers to factor mobility no longer exist and the production technology is increasingly uniform, the share of total output, total physical capital and total human capital of a nation is becoming more identical. Nations with a small share of output will have a comparably small proportion of capital stock (physical and human). The implication of this relationship is that reallocation of physical capital (investment) to a country will result in an increase in that countrys output accompanied by inflows of foreign human capital or accumulation of domestic human capital. As a result, policies to create a conducive investment climate and improvement of human capital are vital not only for a country to become competitive, but also for national survival. A reduced share of human capital will also lead to a deterioration in economic output and in turn a decline in the living standards of the people of that economy. Considered further, a strategy to build human capital requires implementation of longterm policies involving commitment, major budget expenditures and untiring hard work, particularly in the world of education, and hence the role of central bank in this area is very limited. On the other hand, however, the central bank could do something in relation to the strategy to accumulate physical capital. A significant increase in physical capital requires high investment from domestic sources (accumulation of private savings) and foreign sources (FDI inflows).

14

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Some studies have attempted to investigate the possibility of a linkage between monetary policy performance (the central bank domain) and investment levels. At the theoretical level, Barro (1996) made the conceptual discovery that the effect of inflation on growth and investment is negative, while Agenor (2004) claims that improved macroeconomic stability in response to appropriate policies leads to increased savings and investment. In this regard, it is important and interesting to examine whether empirical evidence can be found in the case of Indonesia. The search for this evidence becomes highly important when linked to the imminent formation of the ASEAN Economic Community in 2015. It is therefore crucial to study whether a significant relationship exists between monetary policy performance (most importantly inflation) and investment performance in the ASEAN countries (mainly FDI inflows). If this relationship is discovered, the monetary authority can play a role in building a nations physical capital, which will lead to expansion in that nations share of economic output (read: prosperity). In other words, the monetary authority may have a positive role in the period leading up to the establishment of the ASEAN Economic Community (AEC).

III. METHODOLOGY
To validate the possible existence of the above linkages, an empirical study is conducted using macroeconomic data from the ASEAN-7 countries (Philippines, Indonesia, Cambodia, Malaysia, Singapore, Thailand and Vietnam) for the 1991-2006 period. The first phase of this study involved a short-term analysis using data on investment, inflation and real annual GDP for each country obtained from the International Monetary Fund (IMF) and Asian Development Bank (ADB).6 In the short-term, the model specifications used are as follows: Model 1: yt = a1 + b1 x1, t-1 + 1, Model 2: yt = a2 + b2 x2,
t-1

+ 2,

in which yt is investment growth in year t, x1,t-1 is inflation in the preceding year and x2,t-1 is real GDP growth in the preceding year. 1,t is assumed to have the IID property. The above specifications attempt to capture the nature of the relationship between inflation and economic growth in one period and investment growth in a subsequent period. A significant b1 or b2 coefficient values will confirm the existence of this relationship. Theoretically, the b1 value is negative (high inflation reduces investment) and the b2 value is positive (economic growth will promote investment growth).

6 The IMF data is the International Financial Statistics (IFS) covering a number of years.

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

15

The long run analysis uses cross-section data for inward FDI in 2006 and cross-section data for average inward FDI in the 2002-2006 period for the above seven ASEAN countries. The use of these averages is aimed at minimising volatility in the FDI data. As can be seen, 2006 is used as the reference year. Long-term inflation is calculated for each cross-section data using average annual CPI inflation for the 1991-2005 period, while macroeconomic instability is proxied by a standard deviation of nominal GDP growth, also for the 1991-2005 period. Data on FDI inflows from the International Monetary Fund is used for investment levels in the long run analysis. The long run regression model is prepared as follows: Model 4: yi = c1 + d1 x1,i + 3, Model 5: yi = c2 + d2 x2,i + 4, where yi is FDI inflows to country i, x1,i is long-term inflation in country i and x2,i is the level of macroeconomic instability in country i. 3 and 4 are assumed to have IID properties. The above specifications attempt to capture the nature of the relationship between long-term inflation in combination with macroeconomic stability on FDI inflows in ASEAN countries. A significant d1 or d2 coefficient value will confirm this relationship. Theoretically, low long-term inflation will promote FDI inflows while high levels of macroeconomic instability will deter inward FDI.

IV. RESULT AND ANALYSIS IV.1. Short-Run Analysis


The results of the short run (annual) regression analysis are presented in Tables II.1 to II.7. In some countries (including Indonesia and Thailand), low annual inflation and real GDP growth are associated with investment growth. However, this linkage is less convincing in the case of other ASEAN countries in the study (Cambodia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Vietnam), and results are therefore inconclusive.

Table II.1 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Thailand


THAILAND Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) -0.006 (0.8086) 0.030 (0.0319) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 -0.035 (0.0696) 0.018 (0.0354) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

16

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Table II.2 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Indonesia


INDONESIA Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) -0.028 (0.0250) 0.070 (0.2783) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 -0.005 (0.0023) 0.012 (0.0124) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

Table II.3 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Cambodia


KAMBOJA Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) -0.009 (0.6111) 0.006 (0.7109) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 0.002 (0.2095) -0.001 (0.9830) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

Table II.4 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Singapore


SINGAPURA Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) -0.017 (0.8380) 0.014 (0.2882) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 0.038 (0.1042) 0.012 (0.0638) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

Table II.5 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Malaysia


MALAYSIA Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) 0.036 (0.2049) 0.011 (0.1636) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 0.019 (0.6281) 0.013 (0.2173) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

17

Table II.6 Investment Growth and Macroeconomic Performance in the Philippines


FILIPINA Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) 0.000 (0.9981) -0.017 (0.4737) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 0.007 (0.3104) -0.010 (0.3992) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

Table II.7 Investment Growth and Macroeconomic Performance in Vietnam


VIETNAM Sample : 2002-2006 Model 1 Annual Inflation (-1) Real GDP Growth (-1) -0.003 (0.4570) -0.024 (0.2468) Model 2 Sample : 1992-2006 Model 1 0.007 (0.0000) 0.007 (0.8188) Model 2

Note : Dependent variable is Investment Growth; the value in the brackets is p-value

The findings of the short run analysis must be treated with caution. On one hand, the results obtained are dependent on the business cycle in individual countries, and therefore it is difficult to identify a uniform pattern within ASEAN. On the other hand, an interesting aspect of economic integration concerns its effect in the long run, not short run. In addition, country investment policies are generally focused on foreign capital inflows, given that domestic investment tends to be stable. FDI is the most desired of all types of foreign investment because of the more direct implication it has on the real sector (compared to the effect of portfolio investment which tends to be confined to the financial sector). Therefore, attracting the maximum possible FDI is the goal of many developing nations, including those in ASEAN. The long run analysis in the following section attempts to explain these issues.

IV.2. Long-Run Analysis


The results of a long run analysis appear in Table II.8 and II.9. Both tables indicate to a strong correlation between low inflation and high rates of inward FDI. Countries that succeed in achieving a consistent level of low inflation will benefit from high inflows of FDI.

18

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Table II.8 Inward FDI and Macroeconomic Performance - 2006 Reference Year
Model 3 Long-term Inflation (1991-2005) Macroeconomic Instability (1991-2005)
Note: Dependent variable is Inward FDI 2006 values in brackets are p-value 2006;

Model 4

-0.141 (0.0112) -0.061 (0.052)

Table II.9 Inward FDI and Macroeconomic Performance - 2002-2006 Reference Period
Model 3 Long-term Inflation (1991-2005) Macroeconomic Instability (1991-2005)
Note: Dependent variable is Inward FDI 2006 values in brackets are p-value 2006;

Model 4

-0.148 (0.0031) -0.064 (0.0325)

The results also demonstrate a strong correlation between macroeconomic stability and FDI inflows. Countries with stable macroeconomic conditions enjoy high rates of FDI, and the converse also applies. Both results are valid for all ASEAN countries under study. The conclusion from this analysis seems to be that central bank policy aimed at achieving and maintaining low inflation and stable macroeconomic conditions is a pro-investment monetary policy.

V . CONCLUSION
Regional economic integration will result in an economic distribution that depends on distribution of each countrys production factors, comprising both physical capital and human capital. Investment will play an increasingly central role, directly determining a countrys level of prosperity in relation to its peers in the region. Central banks are able to influence investment performance through their monetary policies: low inflation and stable macroeconomic conditions contribute significantly to increased investment. In other words, monetary policy targeting low inflation and macroeconomic stability is a pro-investment monetary policy. With regional economic integration, central banks will play an increasingly essential role in promoting investment.

Regional Economic Integration, Mobility of Production Factors and the Role of Central Bank

19

References

Abdullah, B., 2008, Opening the Path to Stability, Safeguarding the Nations Economic Development, Address by Governor of Bank Indonesia at the Annual Bankers Dinner. Agenor, P. R., 2004, Macroeconomic Adjustment and the Poor: Analytical Issues and CrossCountry Evidence, Journal of Economic Surveys, 18(3), 351-408. Barro, R. J., 1996, Inflation and Growth, Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 78, May/ June, 153-169. Baumol, W. J., 1986, Productivity Growth, Convergence, and Welfare: What the Long-Run Data Show, American Economic Review 76, 1072-1085. Bowen, H.P., H. Munandar and J.-M. Viaene (2005), The Limiting Distribution of Production in Integrated Economies: Evidence from U.S. States and E.U. Countries, Tinbergen Institute Discussion Paper 05-045/2. Hall, R.E. and C.I. Jones, 1999, Why Do Some Countries Produce So Much More Output Per Worker Than Others? International Monetary Fund, 2004, International Financial Statistics, Washington DC: International Fund. Sachs, J.D. and A. Warner, 1995, Economic Reform and the Process of Global Integration, Brookings Papers on Economic Activity, 1-95.

20

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

21

MEKANISME SUKU BUNGA SBI SEBAGAI SASARAN OPERASIONAL KEBIJAKAN MONETER DAN VARIABEL MAKROEKONOMI INDONESIA: 1990.1 - 2007.4
Nova Riana Banjarnahor1

Abstract

Bank Indonesia has applied the Inflation Targeting Framework (ITF) to reach its single-final objective; stabilizing Rupiah reflected in the inflation and its exchange rate. The central bank of Indonesia uses the interest rate as his operational target to achieve the targeted inflation. Regardless of whether Bank Indonesia uses the Certificate of Bank Indonesia (SBI) or the money market rate (PUAB), on empirical ground the targeted inflation is hard to achieve. This paper analyzes the monetary policy of Bank Indonesia and its impact on macroeconomic variables. The application of Differenced Vector Autoregressive (DVAR) method shows that the monetary policy has a direct impact on the time deposit rate and an indirect impact on the exchange rate, money supply, gross domestic product and on consumers price index.

JEL Classification: C32, E52, E58

Keywords: SBI Interest Rate Mechanism, DVAR, IRF, FEVD

1 Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Prof. Dr. Insukindro M.A. atas segala bimbingan dan bantuan dalam penulisan artikel ini.

22

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang


Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI) sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2004 pada Pasal 7 menyatakan bahwa Indonesia telah menganut kebijakan moneter dengan tujuan tunggal yakni mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Stabilitas nilai rupiah terhadap barang dan jasa dapat tercermin pada perkembangan laju inflasi dan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah. Kebijakan moneter dengan tujuan stabilisasi nilai rupiah mulai diterapkan sejak tahun 2000. Tujuan tunggal kebijakan moneter BI tersebut terangkum dalam kerangka strategis penargetan inflasi (inflation targeting). Penargetan inflasi adalah sebuah kerangka kerja untuk kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada masyarakat tentang angka target inflasi dalam satu periode tertentu (Warjiyo dkk, 2003: 113). Penargetan inflasi secara eksplisit menyatakan bahwa tujuan akhir kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Berkaitan dengan tujuan penargetan inflasi, yaitu untuk mencapai laju inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, maka pemerintah dan BI menetapkan bahwa sasaran inflasi jangka menengah dan panjang yang ingin dicapai adalah sebesar 3%. Untuk mencapai keinginan tersebut, Pemerintah dan BI menetapkan sasaran inflasi jangka pendek yang harus dicapai setiap tahun. Sasaran inflasi yang pernah ditetapkan serta realisasinya setiap tahun dapat ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel III.1 Sasaran Inflasi dan Realisasinya


Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 20061) 20071) Sasaran inflasi yang diinginkan 3,0-5,0% 4,0-6,0% 9,0-10,0% 8,0-10,0% 6,0-8,0% 5,0-7,0% 4,5-6,5% 4,0-6,0% 7,0-9,0% 5,0-7,0% Tingkat Inflasi Akhir Periode 9,4% 12,5% 10,0% 5,2% 6,4% 17,1% 6,6% 6,6% 6,6% 6,6% Pencapaian sasaran inflasi Tidak Tercapai Tidak Tercapai Tercapai Tidak Tercapai Tercapai Tidak Tercapai Tidak Tercapai Tidak Tercapai Tidak Tercapai Tercapai

Sumber: www.bi.go.id (diolah) Keterangan: 1) Revisi pada 17 Maret 2006

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

23

Pada tahun 2005 tingkat inflasi yang terjadi jauh berbeda dari perkiraan yang telah ditetapkan. Tingkat inflasi yang tinggi pada tahun 2005 tersebut terjadi sebagai akibat dari kenaikan harga minyak dunia. Harga minyak dunia yang mengalami kenaikan mengakibatkan inflasi naik secara tajam dan kenaikan tersebut tidak dapat diantisipasi oleh BI sebelumnya. Berkaitan dengan adanya peningkatan harga minyak dunia pada tahun 2005 tersebut, BI melakukan revisi sasaran inflasi tahun 2006 dan 2007. Pada tahun 2003 dan 2006 setelah revisi tingkat inflasi yang terjadi lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Sasaran inflasi pada kedua tahun tersebut tetap saja dapat dinyatakan tidak tercapai karena tingkat inflasi yang lebih rendah dari sasaran inflasi yang telah ditetapkan menunjukkan bahwa penghitungan sasaran inflasi yang telah ditetapkan tidak tepat. Dari Tabel III.1 tersebut dapat dinyatakan bahwa secara umum target inflasi setiap tahun yang telah ditetapkan oleh BI belum dapat tercapai sepenuhnya. Sementara itu, sejak tanggal 14 Agustus 1997 pemerintah menetapkan sistem nilai tukar yang dianut adalah sistem nilai tukar mengambang bebas. Dalam sistem nilai tukar mengambang bebas, nilai tukar dibiarkan bergerak sesuai dengan kekuatan permintaan dan penawaran yang terjadi di pasar. Sistem nilai tukar mengambang bebas memungkinkan terjadinya nilai tukar yang sangat fluktuatif sehingga dapat menambah ketidakpastian bagi dunia usaha. Yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar fluktuasinya tidak tinggi. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan sejauh mana tujuan BI seperti tertera pada Undang-undang tentang BI dapat dicapai. Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Sejalan dengan penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas dan sesuai dengan amanat Undang-undang No. 23 Tahun 1999 maka BI mewacanakan penggunaan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebagai sasaran operasional kebijakan moneter (Kharie, 2006). Kebijakan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan efektivitas kebijakan moneter yang berpendekatan harga di bawah sistem nilai tukar mengambang bebas. Sementara itu, Warjiyo dan Zulverdi (1998) menyatakan bahwa suku bunga yang cocok dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter adalah suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB). Pemilihan suku bunga PUAB sebagai sasaran operasional karena pertimbangan bahwa suku bunga PUAB memiliki kaitan yang erat dengan suku bunga deposito, mencerminkan kondisi likuiditas di pasar uang, dan sekaligus dapat dipengaruhi oleh instrumen operasi pasar terbuka. Mulai Juli 2005, suku bunga BI Rate dipergunakan sebagai sinyal respon kebijakan moneter dan sasaran operasional. BI Rate adalah suku bunga dengan tenor satu bulan yang diumumkan oleh BI secara periodik untuk jangka waktu tertentu yang berfungsi sebagai sinyal kebijakan

24

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

moneter (www.bi.go.id). BI Rate diimplementasikan melalui operasi pasar terbuka untuk SBI satu bulan karena beberapa pertimbangan. Pertama, SBI satu bulan telah dipergunakan sebagai

benchmark oleh perbankan dan pelaku pasar di Indonesia dalam berbagai aktivitasnya. Kedua,
penggunaan SBI satu bulan sebagai sasaran operasional akan memperkuat sinyal respon kebijakan moneter yang ditempuh BI. Ketiga, dengan perbaikan kondisi perbankan dan sektor keuangan, SBI satu bulan terbukti mampu mentransmisikan kebijakan moneter ke sektor keuangan dan ekonomi. Terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai pengaruh kebijakan moneter melalui suku bunga terhadap beberapa variabel makroekonomi pada satu atau beberapa negara. Cheng (2006) menganalisis dampak kejutan kebijakan moneter di negara Kenya. Cheng (2006) menyatakan bahwa peningkatan suku bunga jangka pendek cenderung diikuti oleh penurunan tingkat harga dan apresiasi nilai tukar nominal, namun tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap output. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menganalisis dampak kebijakan moneter di negara Armenia. Dabla-Norris dan Floerkemeier (2006) menunjukkan bahwa kemampuan kebijakan moneter dalam mempengaruhi aktivitas ekonomi dan inflasi masih terbatas. Jalur suku bunga tetap lemah dalam mempengaruhi output, namun terdapat pengaruh yang kecil dari kejutan suku bunga terhadap harga. Penelitian mengenai topik yang relevan di Indonesia sendiri telah banyak dilakukan. Julaihah dan Insukindro (2004) menyatakan bahwa suku bunga SBI mampu mempengaruhi pergerakan suku bunga deposito satu bulan, IHK, tingkat output, dan nilai tukar. Bahkan, kejutan suku bunga SBI mampu memberi kontribusi dalam menjelaskan variabilitas pertumbuhan ekonomi meskipun dalam jangka panjang. Selanjutnya, Solikin (2005) menyatakan bahwa suku bunga SBI berpengaruh secara signifikan dan persisten hanya pada inflasi. Namun, pengaruhnya terhadap pertumbuhan output dan kesempatan kerja relatif kecil. Selain itu, Nuryati, Siregar dan Ratnawati (2006) menyatakan bahwa suku bunga SBI hanya berpengaruh sangat kecil terhadap tingkat harga dan nilai tukar. Walaupun terdapat beberapa penelitian terdahulu mengenai dampak kebijakan moneter terhadap variabel ekonomi, penelitian ini tetap penting untuk dilakukan. Pengukuran yang tepat mengenai dampak perubahan kebijakan moneter terhadap ekonomi sangatlah penting, baik untuk membuat kebijakan yang tepat maupun untuk memilih diantara alternatif teori makroekonomi (Bernanke dan Mihov, 1998). Sementara itu, masih terdapat ketidakpastian yang besar mengenai dampak kebijakan moneter pada aktivitas ekonomi dan harga (Fung, 2002).

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

25

I.2. Perumusan Masalah


Tugas pokok BI saat ini menjadi lebih fokus karena memiliki sasaran tunggal. Namun, dalam pelaksanaannya tugas tersebut cukup berat mengingat kestabilan nilai rupiah tidak sepenuhnya dapat dikendalikan oleh BI. BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi dari sisi permintaan, sedang tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Demikian pula, dengan ditetapkannya sistem nilai tukar mengambang bebas maka nilai tukar rupiah akan sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan pasar. Tujuan tunggal kebijakan moneter BI untuk menjaga stabilitas nilai rupiah terangkum dalam kerangka kerja penargetan inflasi. Dalam penerapan penargetan inflasi, kebijakan moneter dijalankan dengan menggunakan suku bunga sebagai sasaran operasionalnya. Sementara itu, pemilihan suku bunga yang dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter masih meninggalkan perdebatan. Perdebatan tersebut berkisar pada apakah suku bunga SBI atau suku bunga PUAB yang tepat dijadikan sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Penelitian ini menggunakan suku bunga SBI sebagai sasaran operasional untuk mengetahui kemampuan suku bunga SBI sebagai sasaran operasional dalam mentransmisikan kebijakan moneter pada beberapa variabel makroekonomi Indonesia. Pada penelitian ini, analisis mengenai peranan suku bunga SBI dalam mentransmisikan kebijakan moneter tersebut diperoleh dengan melakukan analisis mengenai respon inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan suku bunga SBI. Atau, analisis mengenai respon perubahan inflasi, nilai tukar dan beberapa variabel makroekonomi lainnya terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI. Selain itu, analisis lain yang dapat dilakukan adalah analisis mengenai kemampuan kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahannya dalam menjelaskan variasi beberapa variabel makroekonomi Indonesia atau variasi perubahannya. Hal-hal tersebutlah yang menjadi masalah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut akan dikaji dengan menggunakan analisis model Vector

Autoregression (VAR) atau model differensi pertama VAR (DVAR).

II. TEORI
Mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan proses pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan sektor riil (Warjiyo, 2004). Secara umum, terdapat enam jenis saluran tranmisi kebijakan moneter yang sering dikemukakan dalam teori ekonomi moneter. Saluran transmisi tersebut antara lain saluran uang, saluran suku bunga, saluran nilai tukar, saluran harga aset, saluran kredit, dan saluran ekspektasi. Masing-masing saluran transmisi tersebut menjelaskan mengenai alur pengaruh kebijakan moneter terhadap sektor keuangan dan aktivitas ekonomi.

26

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Dalam penerapan penargetan inflasi, kerangka kebijakan moneter dijalankan dengan pendekatan berdasarkan harga besaran moneter. Kebijakan moneter dengan pendekatan harga besaran moneter dapat berpengaruh efektif terhadap pengendalian tingkat inflasi melalui saluran suku bunga dan nilai tukar (Kharie, 2006). Pada penelitian ini sasaran operasional yang digunakan adalah suku bunga SBI satu bulan. Sementara itu, variabel-variabel informasi yang digunakan, antara lain suku bunga deposito satu bulan, jumlah uang beredar dalam arti sempit (M1), PDB, dan nilai tukar yang juga mencerminkan stabilitas nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Mekanisme transmisi yang digunakan untuk menjelaskan pengaruh suku bunga SBI terhadap variabel analisis lainnya dapat ditunjukkan dengan gambar berikut.

Suku Bunga SBI

Suku Bunga Deposito

Uang Beredar

Permintaan Domestik Permintaan Agregat Nilai Tukar Permintaan Eksternal Kesenjangan Output PDB

Harga Barang Impor

Inflasi

Sumber: Warjiyo, 2004: 29 (dimodifikasi)

Gambar III.1 Skema Mekanisme Transmisi Jalur Suku Bunga SBI

Dari skema di atas terlihat bahwa kebijakan moneter yang ditempuh BI dengan menjalankan instrumen kebijakannya akan berpengaruh terhadap perkembangan suku bunga SBI sebagai sasaran operasional kebijakan moneter. Ketika suku bunga SBI dinaikkan maka suku bunga deposito akan meningkat juga, jumlah uang beredar akan menurun, dan nilai tukar akan mengalami apresiasi. Mata uang domestik mengalami apresiasi melalui peningkatan arus modal masuk atau peningkatan penawaran mata uang asing dalam pasar valuta asing.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

27

Berbagai perkembangan variabel ekonomi tersebut menyebabkan penurunan jumlah konsumsi dan investasi (sebagai komponen permintaan domestik) serta peningkatan jumlah ekspor dan impor (sebagai komponen permintaan eksternal) (Warjiyo, 2004). Dengan asumsi bahwa permintaan domestik lebih besar dibandingkan dengan permintaan eksternal maka perkembangan permintaan domestik dan eksternal ini menghasilkan penurunan nilai permintaan agregat. Penurunan permintaan agregat tersebut berarti bahwa nilai Produk Domestik Bruto (PDB) menurun. Besarnya permintaan agregat tersebut tidak selamanya seimbang dengan besarnya penawaran agregat yang ditentukan oleh volume produksi barang dan jasa secara nasional. Dengan asumsi bahwa penawaran agregat tidak mengalami perubahan, maka penurunan permintaan agregat akan mengakibatkan kesenjangan output semakin kecil. Kesenjangan output yang terjadi dalam ekonomi tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi yang semakin kecil dari sisi domestik. Selain itu, apresiasi nilai tukar memiliki pengaruh langsung terhadap perkembangan harga barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Apresiasi nilai tukar menyebabkan harga barang impor semakin murah sehingga menimbulkan tekanan inflasi yang lebih kecil dari sisi eksternal. Tekanan inflasi dari sisi domestik dan eksternal yang semakin kecil ini mengakibatkan turunnya tingkat inflasi.

III. METODOLOGI III.1. Data


Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder dari publikasi BI dan

International Financial Statistics (IFS). Data yang digunakan adalah data triwulanan periode 1990.1
- 2007.4. Penelitian ini memilih periode tersebut karena periode 1990.1 - 2000.1 merupakan periode transisi menuju penerapan penargetan inflasi pascaliberalisasi keuangan akhir dekade 80-an dan periode setelah 2000.1 merupakan periode penerapan penargetan inflasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah suku bunga SBI dengan tenor satu bulan. 2. Suku bunga Deposito (DEP) adalah suku bunga simpanan berjangka rupiah menurut kelompok bank umum dengan tenor satu bulan. 3. Nilai tukar (KURS) adalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika 4. Uang beredar dalam arti sempit (M1) adalah uang kartal dan uang giral. 5. Produk Domestik Bruto (PDB) adalah PDB menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000. 6. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah indeks harga umum berdasarkan harga konstan dengan tahun dasar 2000.

28

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

III.2. Alat Analisis


Penelitian ini akan menggunakan Vector Autoregression (VAR) sebagai alat analisis. Secara umum, VAR digunakan untuk menganalisis sistem variabel-variabel runtun waktu dan untuk menganalisis dampak dinamis dari faktor kejutan yang terdapat dalam sistem variabel tersebut. Analisis VAR dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa variabel endogen secara bersamasama dalam satu model. Masing-masing variabel endogen tersebut dijelaskan oleh nilainya di masa lampau (tenggat) dan nilai masa lalu dari semua variabel endogen lainnya dalam model yang dianalisis. Penelitian akan memilih model yang digunakan berdasarkan hasil pengujian stasioneritas data. Apabila semua data stasioner pada tingkat aras maka model yang dipilih adalah VAR pada tingkat aras. Namun, apabila data stasioner pada differensi pertama maka model yang dipilih adalah VAR pada differensi pertama. VAR pada differensi pertama ini sering disebut sebagai Difference of VAR (DVAR). Analisis VAR atau DVAR ini akan memuat analisis Impulse Response Function (IRF) dan

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Estimasi terhadap IRF dilakukan untuk
menganalisis respon beberapa variabel makroekonomi atau respon perubahan variabel makroekonomi terhadap kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahan suku bunga SBI. Estimasi terhadap FEVD bertujuan untuk menganalisis dampak kejutan suku bunga SBI atau kejutan perubahan suku bunga SBI dalam menjelaskan variasi variabel makroekonomi atau variasi perubahan variabel makroekonomi.

III.3. Model Analisis


Apabila data yang dianalisis merupakan data yang stasioner pada tingkat aras maka sistem persamaan VAR dalam penelitian ini dapat disusun sebagai berikut.
SBI t = SBI t j + DEPt j + LNM1t j + LNKURSt j + LNPDBt j + LNIHK t j + 1t
j=1 j=1 j=1 j=1 j=1 j=1 n n n n n n

DEPt = DEPt j + SBI t j + LNM1t j + LNKURSt j + LNPDBt j + LNIHKt j + 2t


j=1 j=1 j=1 j=1
n

j=1

j=1

LNM1t = LNM1t j + SBI t j + DEPt j + LNKURSt j + LNPDBt j + LNIHKt j + 3t


j=1 j=1 j=1 j=1 j=1 j=1

LNKURS = LNKURS j + SBI t t


j=1 j=1

t j

+ DEP + LNM1 + LNPDB + LNIHKt j + 4t t j t j t j


j=1 j=1 j=1 j=1

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

29

LNPDBt = LNPDBt j + SBIt j + DEPt j + LNM1


j=1 n j=1 j=1 n j=1 n

t j

+ LNKURS
j=1 n

t j

+ LNIHKt j + 5t
j=1 n

LNIHKt = LNIHK
j=1

t j

+ SBI
j=1

t j

+ DEP
j=1

t j

+ LNM1
j=1

t j

+ LNKURS
j=1

t j

+ LNPDBt j + 6t
j=1

Dengan demikian, jika data yang digunakan merupakan data yang stasioner pada differensi pertama maka sistem persamaan DVAR dapat disusun dengan terlebih dahulu mendifferensikan setiap variabel analisis.

IV. HASIL ANALISIS IV.1. Deskripsi Hubungan Suku Bunga SBI dan Variabel Makroekonomi
Pola hubungan suku bunga SBI dan beberapa variabel makroekonomi yang dianalisis dalam penelitian ini dapat ditunjukkan pada beberapa grafik berikut.

SBI, DEP (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0


1990 1991 1992 1993 1995 1996 1997 1998 2000 2001 2002 2003 2005 2006 2007

SBI (%) 80 SBI KURS

KURS (Rp/USD) 16000 14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0

SBI DEP

70 60 50 40 30 20 10 0

199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007

Sumber: BI dan IFS (diolah)

Sumber: BI dan IFS (diolah)

Grafik III.1 Hubungan Suku Bunga SBI dan Suku Bunga Deposito

Grafik III.2 Hubungan Suku Bunga SBI dan Nilai Tukar

30

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

SBI (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 SBI M1

M1 (Miliar Rp.) 500000 450000 400000 350000 300000 250000 200000 150000 100000 50000 0 20 10 0 60 50 40 30 80 70

SBI (%) SBI PDB

PDB (miliar Rp.) 600000.0 500000.0 400000.0 300000.0 200000.0 100000.0 0.0

199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007

199019911992199319951996199719982000200120022003200520062007

Sumber: BI dan IFS (diolah)

Sumber: BI dan IFS (diolah)

Grafik III.3 Hubungan Suku Bunga SBI dan M1

Grafik III.4 Hubungan suku bunga SBI dan PDB

SBI (%) 80 70 60 50 40 30 20 10 0 SBI IHK

IHK 250

200

150

100

50

0
199019911992199319941995199619971998199920002001200220032004200520062007

Sumber: BI dan IFS (diolah)

Grafik III.5 Hubungan suku bunga SBI dan IHK

Secara umum, grafik pola hubungan suku bunga SBI dengan beberapa variabel makroekonomi yang dianalisis menunjukkan bahwa pergerakan suku bunga SBI hanya diikuti oleh suku bunga deposito selama periode 1990 - 2007. Sementara itu, pergerakan variabel KURS, M1, PDB, dan IHK tidak menyesuaikan dengan pergerakan suku bunga SBI selama periode 1990 - 2007. Dari gambaran ini dapat diduga bahwa kejutan suku bunga SBI hanya direspon

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

31

dengan baik oleh variasi suku bunga deposito. Sementara, variasi variabel makroekonomi lainnya dalam analisis ini memberikan respon yang relatif kecil terhadap kejutan suku bunga SBI. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa kejutan suku bunga SBI bukan merupakan variabel yang penting dan berpengaruh pada pergerakan variabel makroekonomi lainnya.

IV.2. Hasil Estimasi Model VAR IV.2.1. Uji Stasioneritas Data


Uji stasioneritas data dilakukan pada setiap variabel analisis dengan menggunakan dua alat analisis uji akar-akar unit, yaitu Augmented Dickey Fuller (ADF) dan Phillips Perron (PP). Tujuan penggunaan dua metode uji stasioneritas data ini adalah untuk mendapatkan hasil stasioneritas data yang dapat dipercaya. Pengujian pada masing-masing variabel dimulai dengan pengujian stasioneritas pada tingkat aras dengan menggunakan kedua alat tersebut. Apabila variabel tidak stasioner pada tingkat aras maka pengujian dilanjutkan pada tingkat integrasi (differensi pertama) untuk mendapatkan data yang stasioner. Hasil uji stasioneritas data pada tingkat aras dirangkum pada Tabel III.2 di bawah ini.
Tabel III.2 Hasil Uji Stasioneritas Pada Tingkat Aras
Variabel i SBI DEP LNKURS LNM1 LNPDB LNIHK -3.5795* -3.4624 -1.3032 -0.0638 -0.8399 -0.5341 Uji ADF i,t -3.6934 -3.7943* -2.1165* -1.9549* -2.6347* -2.0708* N -1.7496 -1.8492 0.9279 3.9827 1.5788 2.9459 I -2.9299* -2.4075* -1.2069 1.626871 -0.9814 -0.5237 Uji PP i,t -3.0464 -2.6909 -1.9047 -2.9371* -2.4162* -1.9919 n -1.5562 -1.3789 1.0816* 20.2518 4.2608 4.0250* Stasioner Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Tidak Stasioner Keterangan

Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil

Berdasarkan tabel hasil uji stasioneritas data pada tingkat aras tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hanya variabel SBI dan DEP yang stasioner pada tingkat aras. Sementara, empat variabel analisis lainnya tidak stasioner pada tingkat aras. Oleh karena itu, pengujian stasioneritas data dilanjutkan pada tingkat differensi pertama. Hasil uji stasioneritas data pada tingkat differensi pertama dirangkum pada Tabel III.3.

32

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Tabel III.3 Hasil Uji Stasioneritas Pada Tingkat Differensi Pertama


Variabel i SBI DEP LNKURS LNM1 LNPDB LNIHK -5.0354 -5.1436 -6.2148 -4.3433* -3.0998* -4.5997* Uji ADF i,t -5.0002 -5.1045 -5.0726 -4.3098 -3.0725 -4.5689 N -5.0703* -5.1671* -6.1225* -1.4045 -2.2214 -3.1687 I -7.1015 -7.4256 -6.2147 -10.5018* -10.407* -5.2543* Uji PP i,t -7.0516 -7.3866 -6.1874 -10.2639 -10.3881 -5.2211 n -7.1503* -7.4767* -6.1331* -6.4477 -9.4896 -3.7687 Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Keterangan

Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil

Berdasarkan tabel tersebut, uji stasioneritas data pada differensi pertama memberikan hasil bahwa semua variabel stasioner pada differensi pertama.

IV.2.2. Pemilihan Model VAR


Berdasarkan uji stasioneritas yang telah dilakukan, model yang dipilih untuk dianalisis selanjutnya adalah model differensi VAR (DVAR). Pemilihan ini dilakukan karena hanya terdapat dua variabel yang stasioner pada tingkat aras, yaitu SBI dan DEP. Sementara itu, semua variabel adalah stasioner pada tingkat differensi pertama. Oleh karena itu, tahapan analisis selanjutnya akan menggunakan model DVAR.

IV.2.3. Penentuan Tenggat Optimal


Penentuan tenggat optimal dilakukan pada model DVAR. Untuk memperoleh panjang tenggat yang tepat akan dilakukan dua tahap pengujian. Pada tahap pertama, pengujian akan melihat panjang tenggat maksimum sistem DVAR yang stabil. Stabilitas sistem DVAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinominalnya. Pengujian stabilitas sistem DVAR akan dimulai dengan tenggat empat. Apabila DVAR dengan tenggat empat tidak stabil maka harus diuji lagi dengan tenggat lainnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil (stasioner) jika seluruh akar-akar unit memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle (Eviews 4 Users Guide, 2002: 522). Jika sistem VAR tidak stabil maka beberapa hasil (seperti standard error pada Impulse

Response) akan tidak valid. Pada suatu sistem VAR akan terdapat kp akar-akar unit, dimana k
merupakan jumlah variabel endogen yang dianalisis dan p merupakan tenggat maksimum yang digunakan.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

33

Hasil uji stabilitas sistem DVAR dengan tabel nilai modulus seluruh akar-akar unit ditunjukkan sebagai berikut.

Tabel III.4 Nilai Modulus Seluruh Akar Unit Pada Sistem DVAR Dengan Tenggat Empat
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: DSBI DDEP DLNKURS DLNM1 DLNPDB DLNIHK Exogenous variables: C Lag specification: 1 4 Root -0.990212 -0.032535 -0.032535 0.788742 0.788742 -0.877685 0.860861 0.355755 0.355755 -0.258807 -0.258807 -0.718896 -0.718896 -0.411644 -0.411644 0.035123 0.035123 -0.758736 0.655764 0.405145 0.405145 -0.380897 -0.230966 0.217915
No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.

Modulus 0.990212 - 0.946060i + 0.946060i - 0.446293i + 0.446293i 0.946619 0.946619 0.906251 0.906251 0.877685 0.860861 0.849990 0.849990 0.842614 0.842614 0.823833 0.823833 0.773263 0.773263 0.767966 0.767966 0.758736 0.655764 0.603987 0.603987 0.380897 0.230966 0.217915

- 0.771960i + 0.771960i - 0.801884i + 0.801884i + 0.402355i - 0.402355i - 0.654587i + 0.654587i - 0.767162i + 0.767162i

- 0.447949i + 0.447949i

Hasil pengujian stabilitas sistem DVAR dengan tenggat empat menunjukkan bahwa seluruh akar-akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu. Oleh karena itu, sistem DVAR dengan tenggat empat merupakan sistem VAR yang memenuhi kondisi stabilitas. Selain itu, hasil uji stabilitas sistem DVAR tersebut dapat juga ditunjukkan pada gambar sebagai berikut.

34

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Inverse Roots of AR Characteristic Polynomial 1,5 1,0 0,5 0,0 -0,5 -1,0 -1,5 -1,5

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

Gambar III.2 Nilai Modulus Seluruh Akar Unit Pada Sistem DVAR Dengan Tenggat Empat

Dari gambar III.2 tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh akar unit terletak di dalam

unit circle. Keadaan ini menunjukkan bahwa sistem DVAR yang terbentuk merupakan sistem
yang stabil dan layak untuk diestimasi. Pada tahap kedua penentuan tenggat optimal, panjang tenggat optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat tenggat yang terpilih adalah panjang tenggat menurut kriteria Likelihood Ratio (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike

Information Criterion(AIC), Schwarz Information Criterion (SIC) dan Hannan-Quin Criterion


(HQ). Penelitian ini akan memilih panjang tenggat optimal yang memberikan nilai AIC minimum (Gujarati, 2003: 849). Hasil pemilihan tenggat optimal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut.
Tabel III.5 Hasil Pemilihan Tenggat Optimal Berdasaran Kriteria
Variabel i SBI DEP LNKURS LNM1 LNPDB LNIHK -5.0354 -5.1436 -6.2148 -4.3433* -3.0998* -4.5997* Uji ADF i,t -5.0002 -5.1045 -5.0726 -4.3098 -3.0725 -4.5689 N -5.0703* -5.1671* -6.1225* -1.4045 -2.2214 -3.1687 I -7.1015 -7.4256 -6.2147 -10.5018* -10.407* -5.2543* Uji PP i,t -7.0516 -7.3866 -6.1874 -10.2639 -10.3881 -5.2211 n -7.1503* -7.4767* -6.1331* -6.4477 -9.4896 -3.7687 Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner Stasioner

Keterangan: i, t, n : uji stasioneritas dengan menggunakan intersep, tren, atau none (tanpa intersep dan tren) * : memberikan nilai AIC terkecil

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

35

Tabel hasil pemilihan tenggat optimal tersebut menunjukkan bahwa dari kelima kriteria yang digunakan, terdapat empat kriteria yang memilih tenggat empat sebagai tenggat optimal. Nilai AIC terkecil juga dihasilkan oleh tenggat empat. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan tenggat empat sebagai tenggat optimal.

IV.2.4. Impulse Response Function (IRF)


Analisis IRF yang dilakukan menggunakan 20 periode pengamatan dan metode Cholesky

Decomposition. Penggunaan 20 periode pengamatan ini diasumsikan sudah cukup mewakili


pengamatan analisis jangka pendek dan jangka panjang. Penggunaan metode Cholesky dimaksudkan agar urutan dalam IRF dapat disesuaikan dengan mekanisme transmisi kebijakan moneter yang dijelaskan pada bab sebelumnya. Hasil IRF yang diperoleh dari variabel analisis ditampilkan dalam bentuk grafik keseluruhan IRF (Grafik III.6). Grafik III.6 menunjukkan seluruh IRF variabel analisis. Namun, IRF yang akan dibahas adalah IRF yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini. Penelitian ini hanya akan menganalisis dampak kejutan perubahan SBI terhadap perubahan suku bunga deposito, perubahan dari persentase nilai tukar, perubahan dari persentase jumlah M1, perubahan dari persentase nilai PDB, dan perubahan dari persentase IHK. Oleh karena itu, IRF yang akan dibahas adalah masing-masing respon variabel DDEP, DLNKURS, DLNM1, DLNPDB, dan DLNIHK terhadap kejutan DSBI.

Response to Cholesky One S.D, Innovations + 2 S.E.


Response of DSBI to DSBI 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Response of DSBI to DDEP

Grafik III.6. Impulse Response Function (IRF)

36

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of DSBI to DLNKURS 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 2 4 6

Response of DSBI to DLNM1

10

12

14

16

18

20

Response of DSBI to DLNPDB 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 -5 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 4 6

Response of DDEP to DSBI

10

12

14

16

18

20

Response of DDEP to DDEP 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 4 6

Response of DDEP to DLNKURS

10

12

14

16

18

20

Response of DDEP to DLNM1 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 -4 2 4 6

Response of DDEP to DLNPDB

10

12

14

16

18

20

Grafik III.6. Impulse Response Function (IRF) (lanjutan)

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

37

Response of DLNKURS to DSBI .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4

Response of DLNKURS to DDEP

10

12

14

16

18

20

Response of DLNKURS to DLNKURS .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4

Response of DLNKURS to DLNM1

10

12

14

16

18

20

Response of DLNKURS to DLNPDB .12 .08 .04 .00 -.04 -.08 -.12 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6

Response of DLNM1 to DSBI

10

12

14

16

18

20

Response of DLNM1 to DDEP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4

Response of DLNM1 to DLNKURS

10

12

14

16

18

20

Grafik III.6. Impulse Response Function (IRF) (lanjutan)

38

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of DLNM1 to DLNM1 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4

Response of DLNM1 to DLNPDB

10

12

14

16

18

20

Response of DLNPDB to DSBI .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03

Response of DLNPDB to DDEP

10

12

14

16

18

20

Response of DLNPDB to DLNKURS .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 2 4

Response of DLNPDB to DLNM1

10

12

14

16

18

20

Response of DLNPDB to DLNPDB .02 .01 .00 .01 -.01 .00 -.02 -.03 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 -.01 -.02 .04 .03 .02

Response of DLNIHK to DSBI

10

12

14

16

18

20

Grafik III.6. Impulse Response Function (IRF) (lanjutan)

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

39

Response of DLNIHK to DDEP .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02

Response of DLNIHK to DLNKURS

10

12

14

16

18

20

Response of DLNIHK to DLNM1 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 2 4

Response of DLNIHK to DLNPDB

10

12

14

16

18

20

Grafik III.6 Impulse Response Function (IRF) (lanjutan)

Grafik III.6 yang dihasilkan dapat menunjukkan respon variabel makroekonomi terhadap kejutan suku bunga SBI, yaitu respon positif atau negatif. Jika grafik IRF berada di atas titik keseimbangan maka respon variabel yang dianalisis adalah positif atau mengalami peningkatan. Namun, jika grafik IRF berada di bawah titik keseimbangan maka variabel yang dianalisis memberikan respon negatif atau mengalami penurunan. Selain itu, jika grafik IRF menunjukkan pergerakan yang makin mendekati titik keseimbangan atau kembali ke keseimbangan sebelumnya berarti bahwa respon suatu variabel akibat suatu kejutan makin lama akan menghilang sehingga kejutan tersebut tidak meninggalkan pengaruh permanen terhadap variabel tersebut. Grafik III.6 yang menunjukkan respon variabel perubahan suku bunga deposito (DDEP) terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI (DSBI) bergerak fluktuatif di sekitar garis keseimbangan dari triwulan pertama hingga ke-10. Selain itu, respon perubahan suku bunga deposito terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI bernilai positif dan negatif secara

40

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

bergantian pada rentang periode tersebut. Adanya kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan peningkatan perubahan suku bunga deposito pada triwulan pertama sehingga mencapai titik tertinggi. Setelah itu, perubahan suku bunga deposito tersebut mengalami penurunan pada triwulan ke-2 hingga mencapai titik terendah. Kemudian, pada triwulan ke11 hingga ke-20 grafik IRF bergerak mendekati garis keseimbangan. Secara umum dapat dinyatakan bahwa respon perubahan suku bunga deposito akibat kejutan perubahan suku bunga SBI hanya bersifat sementara pada jangka pendek dan menengah. Namun, respon tersebut akan menghilang pada jangka panjang. Variabel perubahan persentase nilai tukar (DLNKURS) juga memberikan respon yang fluktuatif terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI sebesar satu standar deviasi pada jangka pendek dan menengah. Pada triwulan ke-8, perubahan persentase nilai tukar mencapai titik terendah sebagai dampak dari kejutan perubahan suku bunga SBI. Respon tersebut bernilai fluktuatif antara respon positif dan negatif hingga triwulan ke-9. Setelah triwulan ke-9 tersebut, respon perubahan persentase nilai tukar tersebut bergerak dekat pada garis keseimbangan dan mendekati garis keseimbangan tersebut. Oleh karena itu, kejutan perubahan suku bunga SBI akan menghilang dan tidak permanen dalam jangka panjang. Sementara itu, respon variabel perubahan persentase jumlah M1 (DLNM1) juga berfluktuasi terhadap kejutan suku bunga SBI selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI direspon secara negatif oleh perubahan persentase jumlah M1. Kemudian, respon tersebut mengalami fluktuasi pada periode selanjutnya. Kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan perubahan persentase jumlah M1 mencapai titik terendah pada triwulan pertama dan ke-8. Sementara, perubahan tertinggi terjadi pada triwulan ke-3 dan ke-9. Respon perubahan persentase jumlah M1 bergerak di sekitar garis keseimbangan hingga triwulan ke-9. Setelah triwulan ke-9 tersebut, pergerakan respon perubahan persentase jumlah M1 sangat dekat dengan garis keseimbangan. Keadaan ini menunjukkan bahwa kejutan suku bunga SBI tidak meninggalkan dampak permanen terhadap perubahan persentase jumlah M1 tersebut. Secara umum, variabel perubahan persentase nilai PDB (DLNPDB) memberikan respon yang berfluktuasi lebih kecil terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI dibanding variabel analisis lainnya. Grafik III.6 menunjukkan bahwa respon perubahan persentase nilai PDB pada awalnya bergerak dekat di sekitar garis keseimbangan. Kejutan perubahan suku bunga SBI mengakibatkan perubahan tertinggi persentase nilai PDB pada triwulan ke-5 dan perubahan terendah pada triwulan ke-6. Respon tersebut berfluktuasi hanya pada jangka pendek. Kemudian, respon perubahan persentase nilai PDB bergerak mendekati garis keseimbangan sehingga dampak kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut akan hilang dalam jangka panjang.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

41

Perubahan persentase nilai PDB memberikan respon terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI hanya pada jangka pendek dan menengah. Tidak jauh berbeda dengan variabel analisis lainnya, grafik III.6 juga menunjukkan bahwa respon variabel perubahan persentase nilai IHK (DLNIHK) mengalami fluktuasi dalam jangka pendek dan menengah, yaitu hingga triwulan ke-7. Walaupun respon perubahan persentase nilai IHK berfluktuasi, namun respon tersebut lebih banyak bernilai negatif. Sebagai akibat respon perubahan persentase nilai IHK terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI, perubahan persentase nilai IHK mencapai titik tertinggi pada triwulan ke-3 dan titik terendah pada triwulan ke-6. Kemudian, respon perubahan persentase nilai IHK bergerak sangat dekat di sekitar garis keseimbangan dan mendekati garis keseimbangan pada jangka panjang. Kenyataan dari grafik III.6 tersebut menyatakan bahwa pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tidak permanen terhadap perubahan persentase nilai IHK.

IV.2.5. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)


Seperti IRF, hasil FEVD yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya mencakup hasil FEVD yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Nilai FEVD tiap variabel terhadap kejutan variabel DSBI dirangkum dalam tabel berikut.

Tabel 4.5 Nilai FEVD Tiap Variabel Terhadap Kejutan DSBI


Response: Impulse: Periode
2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 DSBI DSBI 35.71894 23.28329 20.04875 20.24717 20.26201 20.18388 19.46703 19.24196 19.22685 19.11197 DDEP DSBI 47.94391 29.14783 25.30385 22.28275 21.71849 21.59651 21.02802 20.77073 20.68569 20.52099 DLNKURS DSBI 5.897142 5.637095 6.726678 9.637108 10.04675 10.12627 9.828850 9.770487 9.832097 9.815695 DLNM1 DSBI 6.109387 8.017953 5.579514 8.366168 9.028638 8.925709 8.667030 8.576414 8.357557 8.304606 DLNPDB DSBI 0.614492 0.339046 4.052438 4.163382 4.735793 4.436636 4.492983 4.342296 4.422248 4.314305 DLNIHK DSBI 3.779815 4.799320 5.698409 6.267271 6.546011 6.446060 6.395271 6.272895 6.253619 6.274154

Pada variabel perubahan suku bunga deposito (DDEP), variasi terbesar pada triwulan ke3 hingga ke-20 disebabkan oleh kejutan dari variabel itu sendiri. Sementara, variasi terbesar pada triwulan pertama dan ke-2 disebabkan oleh kejutan variabel perubahan suku bunga SBI

42

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

(DSBI), yaitu sebesar 53,73 dan 47,94 persen. Dampak kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan suku bunga deposito mengalami penurunan selama 20 triwulan periode pengamatan. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tetap memberikan dampak yang cukup besar selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama dan ke-2, kejutan perubahan suku bunga SBI merupakan penjelas terbesar pertama variasi perubahan suku bunga deposito. Kemudian, pada triwulan ke-3 hingga ke-20 kejutan perubahan suku bunga SBI merupakan penjelas terbesar ke-2 variasi perubahan suku bunga deposito. Pada periode akhir pengamatan, kejutan perubahan suku bunga SBI mempengaruhi 20,52% variasi perubahan suku bunga deposito. Hasil nilai FEVD tersebut menunjukkan bahwa kejutan dari perubahan suku bunga SBI memiliki pengaruh yang besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito hanya pada dua triwulan awal setelah kejutan. Setelah melewati triwulan ke-2, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI mengalami penurunan hingga triwulan ke-20. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI setelah triwulan ke-2 tetap memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito. Hal ini memiliki implikasi bahwa penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI efektif menjelaskan variasi perubahan suku bunga deposito. Bahkan, perubahan suku bunga SBI tersebut sangat efektif menjelaskan variasi perubahan suku bunga deposito pada jangka pendek. Variasi terbesar variabel perubahan persentase nilai tukar (DLNKURS) juga dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri pada triwulan pertama pengamatan, yaitu sebesar 66,42 persen. Kemudian, kejutan dari variabel itu sendiri merupakan penjelas terbesar kedua variasinya pada triwulan ke-2 hingga ke-20. Sementara, sejak triwulan ke-2 hingga ke-20 variasi terbesar lebih disebabkan oleh perubahan suku bunga deposito. Variasi perubahan persentase nilai tukar yang disebabkan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito adalah sebesar 52,17% pada triwulan ke-2. Secara umum, nilai tersebut mengalami sedikit penurunan hingga menjadi sebesar 46% pada periode ke-20. Secara umum, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar mengalami peningkatan dari periode pengamatan pertama hingga ke10 dan kemudian mengalami penurunan lagi hingga periode ke-20. Kejutan perubahan suku bunga SBI hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar. Kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjadi penjelas keempat variasi perubahan persentase nilai tukar selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI menjelaskan 2,35% variasi perubahan persentase nilai tukar. Pada triwulan ke-20, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut menjadi sebesar 9,82 persen.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

43

Hasil dari nilai FEVD tersebut menyatakan bahwa variasi perubahan persentase nilai tukar tidak dapat dikendalikan secara cepat oleh kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI. Perubahan suku bunga SBI tidak dapat langsung memberikan pengaruh terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar, melainkan harus menunggu selama sembilan triwulan setelah perubahan suku bunga SBI agar dampak perubahan suku bunga tersebut dapat mempengaruhi variasi perubahan persentase nilai tukar lebih dari 10 persen. Namun, nilai pengaruh tersebut mengalami penurunan kembali setelah melewati triwulan ke-10. Variasi variabel perubahan persentase jumlah M1 (DLNM1) terbesar disebabkan oleh kejutan variabel itu sendiri selama 20 periode pengamatan. Namun, nilai pengaruh kejutan tersebut mengalami penurunan hingga triwulan ke-11 dan kemudian mengalami peningkatan hingga triwulan ke-20. Pada triwulan pertama, sebesar 85,5% variasi perubahan persentase jumlah M1 dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri. Selain kejutan dari variabel itu sendiri, variasi perubahan persentase jumlah M1 juga disebabkan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar. Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang kecil pada variasi perubahan persentase jumlah M1. Walaupun secara umum nilai pengaruhnya mengalami fluktuasi yang kecil selama 20 periode pengamatan, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjadi penjelas ke-4 dan ke-5 variasi perubahan persentase jumlah M1. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan variasi perubahan persentase jumlah M1 sebesar 7,84 persen. Pada triwulan ke20, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI menjadi sebesar 8,3% variasi perubahan persentase jumlah M1. Penjelasan mengenai variasi perubahan persentase jumlah M1 tersebut menyatakan bahwa kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI tidak langsung direspon oleh perubahan persentase jumlah uang beredar. Pengaruh perubahan suku bunga SBI tersebut bernilai kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase jumlah uang beredar, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Keadaan ini memberikan kesimpulan bahwa perubahan suku bunga SBI kurang efektif dalam mempengaruhi perubahan persentase jumlah uang beredar. Variasi perubahan persentase nilai PDB (DLNPDB) lebih besar dijelaskan oleh kejutan dari variabel itu sendiri selama periode pengamatan. Pada triwulan pertama, kejutan dari variabel tersebut menjelaskan sebesar 92,85% variasi variabel itu sendiri. Nilai tersebut secara umum mengalami penurunan hingga pada triwulan ke-20 menjadi sebesar 34,62 persen. Kejutan variabel lain yang juga besar pengaruhnya terhadap variasi perubahan persentase nilai PDB berasal dari perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar.

44

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI sangat kecil menjelaskan variasi perubahan persentase nilai PDB. Bahkan, hingga akhir periode pengamatan kejutan perubahan suku bunga SBI hanya menjadi penjelas terkecil variasi perubahan persentase nilai PDB. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan 0,1% variasi perubahan persentase nilai PDB. Nilai pengaruh tersebut secara umum mengalami peningkatan selama periode pengamatan. Selama triwulan pertama hingga ke-4, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI sangat kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai PDB, yaitu sekitar 0,1 - 0,61 persen. Namun, selama triwulan ke-6 hingga ke-20, nilai pengaruh tersebut hanya menjelaskan 4,05 - 4,74% dari variasi perubahan persentase nilai PDB. Keadaan yang ditunjukkan respon perubahan persentase nilai PDB terhadap kejutan suku bunga SBI menyatakan bahwa perubahan suku bunga SBI memiliki pengaruh yang sangat kecil terhadap variasi perubahan persentase nilai PDB. Pengaruh perubahan suku bunga yang kecil tersebut terjadi hingga periode jangka panjang. Perubahan suku bunga SBI tersebut harus menunggu selama enam triwulan agar perubahan tersebut mampu menjelaskan sebesar 4,05% variasi perubahan persentase nilai PDB. Bahkan, setelah menunggu selama 20 triwulan sejak terjadi perubahan suku bunga SBI tersebut, variasi perubahan persentase nilai PDB yang mampu dipengaruhi hanya sebesar 4,31 persen. Hal ini memberikan kesimpulan bahwa perubahan suku bunga SBI tidak efektif dalam mentransmisikan kebijakan moneter terhadap perubahan persentase nilai PDB. Seperti variabel lainnya dalam penelitian ini secara umum, variasi terbesar variabel perubahan persentase nilai IHK (DLNIHK) juga disebabkan oleh kejutan dari variabel itu sendiri pada dua periode awal pengamatan. Secara umum, kemampuan kejutan itu sendiri dalam menjelaskan variasinya juga mengalami penurunan selama 20 periode pengamatan. Variasi perubahan persentase nilai IHK juga dijelaskan cukup besar oleh kejutan dari perubahan suku bunga deposito dan perubahan persentase nilai tukar. Kejutan perubahan suku bunga deposito merupakan penjelas terbesar pertama variasi perubahan persentase nilai IHK setelah triwulan ke-2. Sementara itu, kemampuan kejutan perubahan suku bunga SBI dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK mengalami peningkatan hingga triwulan ke-9 dan kemudian mengalami penurunan yang kecil hingga triwulan ke-20. Namun, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut tidak memberi pengaruh yang besar. Pada triwulan pertama, kejutan perubahan suku bunga SBI mampu menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK sebesar 4,17 persen. Setelah triwulan ke-8, kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut mampu menjelaskan sekitar 6% variasi perubahan persentase nilai IHK. Nilai pengaruh kejutan tersebut hanya mampu menjadi penjelas ke-4 dari variasi perubahan persentase nilai IHK.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

45

Keadaan yang ditunjukkan oleh respon perubahan persentase nilai IHK terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI tersebut menyatakan bahwa perubahan suku bunga SBI tidak secara cepat direspon oleh perubahan persentase nilai IHK. Selain itu, pengaruhnya juga bernilai kecil terhadap perubahan persentase nilai IHK. Perubahan suku bunga SBI harus menunggu hingga triwulan ke-6 agar kejutan dari perubahan suku bunga SBI tersebut menjadi penjelas ke-4 variasi perubahan persentase nilai IHK. Bahkan, setelah menunggu selama 20 triwulan sejak perubahan suku bunga SBI, kejutan dari perubahan suku bunga SBI hanya mampu menjelaskan variasi perubahan persentase nilai IHK sebesar 6,27 persen. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan suku bunga SBI kurang efektif dalam mempengaruhi variasi perubahan persentase nilai IHK.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


Dari hasil analisis yang telah diperoleh maka kesimpulan dan saran penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut.

V.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis Impulse Response Function (IRF) dan Forecast Error Variance

Decomposition (FEVD) yang telah dilakukan maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
1. Dari hasil analisis IRF ditemukan bahwa perubahan suku bunga deposito, perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK memberikan respon terhadap kejutan perubahan suku bunga SBI dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, pengaruh kejutan dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat permanen terhadap semua variabel analisis tersebut, melainkan akan menghilang dan tidak lagi mempengaruhi respon variabel-variabel tersebut. 2. Dari hasil nilai FEVD dapat dinyatakan bahwa kejutan perubahan suku bunga SBI menjadi penjelas terbesar fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka pendek. Dampak kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap fluktuasi perubahan suku bunga deposito dalam jangka panjang semakin menurun namun tetap memberikan pengaruh yang besar. Sementara itu, pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI terhadap variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, perubahan persentase nilai PDB, dan perubahan persentase nilai IHK secara umum mengalami peningkatan selama periode pengamatan. Pada jangka pendek, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang kecil dalam menjelaskan variasi perubahan persentase nilai tukar, perubahan persentase jumlah uang beredar, dan perubahan persentase nilai IHK. Namun, pada jangka panjang kemampuan kejutan tersebut semakin meningkat. Sementara itu, variasi perubahan

46

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

persentase nilai PDB sangat kecil dijelaskan oleh kejutan perubahan suku bunga SBI, baik pada jangka pendek maupun pada jangka panjang. 3. Secara umum, kejutan perubahan suku bunga SBI memberikan pengaruh yang besar terhadap variasi perubahan suku bunga deposito. Sementara itu, kejutan perubahan suku bunga SBI memiliki kemampuan yang kecil dan butuh waktu yang lama dalam mempengaruhi variasi variabel analisis lainnya. Namun, variasi variabel analisis lainnya cukup besar dijelaskan oleh kejutan perubahan suku bunga deposito. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan suku bunga SBI dapat memberikan pengaruh secara tidak langsung pada variabel makroekonomi lainnya, yaitu melalui perubahan suku bunga deposito.

V.2. Saran
Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan yang diperoleh, maka terdapat beberapa saran yang dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Walaupun kejutan dari perubahan suku bunga SBI tidak bersifat permanen dalam jangka panjang, namun tetap perlu kehati-hatian dalam mengambil keputusan mengenai penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku bunga SBI. Hal ini diperlukan karena pengaruh kejutan perubahan suku bunga SBI direspon oleh variasi perubahan variabel makroekonomi pada jangka pendek dan menengah. 2. Efektivitas pengaruh penerapan kebijakan moneter melalui perubahan suku SBI terhadap sektor perbankan perlu semakin ditingkatkan sehingga kemampuan kejutan suku bunga SBI semakin besar mempengaruhi variasi perubahan suku bunga deposito pada jangka pendek dan jangka panjang. Hal tersebut dimaksudkan agar kejutan perubahan suku bunga SBI dapat lebih besar mempengaruhi variabel makroekonomi lainnya melalui sektor perbankan, yaitu melalui perubahan suku bunga deposito. 3. Pihak otoritas moneter perlu mulai mempertimbangkan dan menganalisis peran sasaran operasional lainnya, misalnya suku bunga PUAB, dalam mentransmisikan kebijakan moneter terhadap variabel makroekonomi Indonesia.

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

47

Daftar Pustaka

Arif, M. M. dan A. Tohari, (2006), Peranan Kebijakan Moneter Dalam Menjaga Stabilitas Perekonomian Indonesia Sebagai Respon Terhadap Fluktuasi Perekonomian Dunia, Buletin

Ekonomi Moneter dan Perbankan. Oktober, Vol. 9 (2): 145 - 177.


Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Berbagai Terbitan. Laporan Tahunan Perekonomian Indonesia, Berbagai Terbitan. Bernanke, B. S. dan I. Mihov, (1998), Measuring Monetary Policy, The Quarterly Journal of

Economics, Agustus, Vol. 113 (3): 869 - 902.


Cheng, K. C., (2006), A VAR Analysis of Kenyas Monetary Policy Transmission Mechanism: How Does the Central Banks REPO Rate Affect the Economy?, IMF Working Paper, Desember, No.300: 1 - 26. Dabla-Norris, E. dan H. Floerkemeier, ( (2006), Transmission Mechanisms of Monetary Policy in Armenia: Evidence from VAR Analysis, IMF Working Paper, November, No.248: 1 - 27. Enders, W., (1995), Applied Econometric Time Series, New York: Jhon Wiley & Sons.

Eviews 4 Users Guide, (2002), Quantitative Micro Software, LLC, Bab 20: 519 - 550.
Fung, B. S. C., (2002), A VAR Analysis of the Effects of Monetary Policy in East Asia, BIS

Working Paper, No.119.


Gujarati, D. N., (2003), Basic Econometrics, Fourth Edition, Singapore: McGraw-Hill. Haryono, E., W. A. Nugroho dan W. Pratomo, (2000), Mekanisme Pengendalian Moneter Dengan Inflasi Sebagai Sasaran Tunggal, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Maret, Vol 1(1): 73 - 74. International Monetary Fund, International Financial Statistics, Berbagai Terbitan. Julaihah, U. dan Insukindro, (2004), Analisis Dampak Kebijakan Moneter Terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia Tahun 1983.1 - 2003.2, Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan, September, Vol. 7 (2): 323 - 341.


Kharie, L., (2006), Hubungan Kausal Dinamis Antara Variabel-Variabel Moneter Utama dan Output: Kasus Indonesia di Bawah Sistem Nilai Tukar Mengambang dan Mengambang Terkendali, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni, Vol. 9 (1): 75 - 112. Kuijs, L., (2002), Monetary Policy Transmission Mechanisms and Inflation in The Slovak Republic, IMF Working Paper, Mei, No.80: 1 - 26. Nuryati, Y., H. Siregar dan A. Ratnawati, (2006), Dampak Kebijakan Inflation Targeting Terhadap Beberapa Variabel Makroekonomi di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juni, Vol. 9 (1): 113 - 134.

48

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Materi Kebijakan Moneter di Indonesia,

Training For Trainers Kebanksentralan, Bank Indonesia, Jakarta.


Simorangkir, I. dan Suseno, (2004), Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia, Jakarta. Solikin, (2005), Analisis Kebijakan Moneter Dalam Model Makroekonometrik Struktural Jangka Panjang: Structural Cointegrating Vector Autoregression, Buletin Ekonomi Moneter dan

Perbankan, September, Vol. 8 (2): 191 - 229.


Warjiyo, P., (2004), Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK), Bank Indonesia, Jakarta. dan D. Zulverdi, (1998), Penggunaan Suku Bunga Sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter di Indonesia, Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli, Vol. 1 (1): 25-58. , dkk, (2003), Bank Indonesia: Bank sentral Republik Indonesia Tinjauan,

Kelembagaan, Kebijakan, dan Organisasi, Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK),
Bank Indonesia, Jakarta. www.bi.go.id

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

49

LAMPIRAN : Sistem DVAR

Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DSBI(-1) -0.844849 (0.21074) [-4.00904] -0.575955 (0.30884) [-1.86487] 0.243039 (0.26344) [ 0.92258] -0.162914 (0.17156) [-0.94961] 0.653539 (0.21804) [ 2.99739] 0.601701 (0.31888) [ 1.88694] -0.221847 (0.28408) [-0.78093] 0.409691 (0.20715) [ 1.97775] 11.05186 (4.58467) [ 2.41061] 7.002194 (5.11525) [ 1.36889] DDEP -0.359927 (0.27599) [-1.30414] -0.372007 (0.40447) [-0.91973] 0.250963 (0.34500) [ 0.72742] 0.155321 (0.22468) [ 0.69130] -0.010297 (0.28555) [-0.03606] 0.788825 (0.41761) [ 1.88890] -0.076583 (0.37204) [-0.20585] -0.091059 (0.27129) [-0.33565] 6.892171 (6.00424) [ 1.14788] 9.802153 (6.69910) [ 1.46320] DLNKURS -0.045693 (0.00871) [-5.24663] -0.008846 (0.01276) [-0.69308] -0.014108 (0.01089) [-1.29585] 0.012350 (0.00709) [ 1.74191] 0.037712 (0.00901) [ 4.18527] 0.021011 (0.01318) [ 1.59440] 0.009397 (0.01174) [ 0.80045] -0.010084 (0.00856) [-1.17791] 0.403562 (0.18947) [ 2.12997] 0.354119 (0.21140) [ 1.67515] DLNM1 -0.006392 (0.00415) [-1.53930] 0.002126 (0.00609) [ 0.34930] -0.000172 (0.00519) [-0.03315] 0.003155 (0.00338) [ 0.93319] 0.001212 (0.00430) [ 0.28215] 0.001580 (0.00628) [ 0.25142] -0.002251 (0.00560) [-0.40212] -0.000642 (0.00408) [-0.15739] 0.296200 (0.09034) [ 3.27860] 0.119313 (0.10080) [ 1.18368] DLNPDB 0.002603 (0.00157) [ 1.65938] 0.001864 (0.00230) [ 0.81063] 0.003631 (0.00196) [ 1.85171] 0.000425 (0.00128) [ 0.33253] -0.002248 (0.00162) [-1.38468] -0.002929 (0.00237) [-1.23375] -0.002621 (0.00211) [-1.23951] 0.000598 (0.00154) [ 0.38808] -0.043089 (0.03413) [-1.26252] -0.100581 (0.03808) [-2.64134] DLNIHK -0.001391 (0.00201) [-0.69039] -0.001887 (0.00295) [-0.63901] 0.000645 (0.00252) [ 0.25590] 0.001281 (0.00164) [ 0.78094] 1.71E-05 (0.00208) [ 0.00821] 0.005711 (0.00305) [ 1.87339] -0.000392 (0.00272) [-0.14445] -0.001720 (0.00198) [-0.86825] 0.138788 (0.04383) [ 3.16625] 0.161271 (0.04891) [ 3.29753]

DSBI(-2)

DSBI(-3)

DSBI(-4)

DDEP(-1)

DDEP(-2)

DDEP(-3)

DDEP(-4)

DLNKURS(-1)

DLNKURS(-2)

50

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DLNKURS(-3) 0.138589 (5.48000) [ 0.02529] -7.465786 (5.11490) [-1.45962] 38.58507 (7.56185) [ 5.10260] 9.024668 (9.83740) [ 0.91738] -9.292726 (9.45158) [-0.98319] 27.69066 (9.58050) [ 2.89032] -29.17912 (21.0289) [-1.38758] -33.17521 (20.8175) [-1.59362] -1.596791 (20.6903) [-0.07718] 20.23994 (19.9195) [ 1.01609] 13.82631 (21.1097) [ 0.65497] 4.110925 (19.9055) [ 0.20652] DDEP 0.905028 (7.17680) [ 0.12610] -3.205248 (6.69865) [-0.47849] 35.08496 (9.90326) [ 3.54277] 5.767623 (12.8834) [ 0.44768] -4.204082 (12.3781) [-0.33964] 17.01857 (12.5469) [ 1.35639] -26.87659 (27.5401) [-0.97591] -45.84931 (27.2633) [-1.68172] -0.113000 (27.0967) [-0.00417] 18.34388 (26.0873) [ 0.70317] -26.20371 (27.6460) [-0.94783] -29.99332 (26.0689) [-1.15054] DLNKURS 0.148824 (0.22647) [ 0.65715] -0.055550 (0.21138) [-0.26280] 0.719810 (0.31251) [ 2.30335] 0.144235 (0.40655) [ 0.35478] -0.158592 (0.39060) [-0.40602] 0.295654 (0.39593) [ 0.74673] -1.178285 (0.86905) [-1.35583] -1.512290 (0.86032) [-1.75783] -1.133727 (0.85506) [-1.32591] -1.483279 (0.82320) [-1.80183] -1.609337 (0.87239) [-1.84474] -0.318528 (0.82263) [-0.38721] DLNM1 -0.085971 (0.10799) [-0.79613] -0.289320 (0.10079) [-2.87047] -0.326772 (0.14901) [-2.19295] -0.136796 (0.19385) [-0.70567] -0.275309 (0.18625) [-1.47818] 0.572104 (0.18879) [ 3.03039] 0.054871 (0.41439) [ 0.13242] 0.228154 (0.41022) [ 0.55617] 0.049444 (0.40771) [ 0.12127] -0.362621 (0.39253) [-0.92381] -0.070567 (0.41598) [-0.16964] 0.279331 (0.39225) [ 0.71213] DLNPDB -0.086296 (0.04079) [-2.11537] -0.003353 (0.03808) [-0.08807] -0.093612 (0.05629) [-1.66296] 0.013375 (0.07323) [ 0.18264] 0.102671 (0.07036) [ 1.45922] -0.057694 (0.07132) [-0.80895] -0.149589 (0.15655) [-0.95556] -0.203252 (0.15497) [-1.31154] -0.376660 (0.15402) [-2.44545] 0.521834 (0.14829) [ 3.51908] -0.048634 (0.15715) [-0.30948] 0.060498 (0.14818) [ 0.40827] DLNIHK 0.071902 (0.05239) [ 1.37233] -0.022527 (0.04890) [-0.46064] 0.045307 (0.07230) [ 0.62667] -0.071888 (0.09405) [-0.76432] -0.198472 (0.09037) [-2.19631] 0.017875 (0.09160) [ 0.19514] -0.428790 (0.20106) [-2.13270] -0.131487 (0.19903) [-0.66062] -0.063850 (0.19782) [-0.32277] -0.221675 (0.19045) [-1.16396] -0.250250 (0.20183) [-1.23992] -0.267282 (0.19032) [-1.40442]

DLNKURS(-4)

DLNM1(-1)

DLNM1(-2)

DLNM1(-3)

DLNM1(-4)

DLNPDB(-1)

DLNPDB(-2)

DLNPDB(-3)

DLNPDB(-4)

DLNIHK(-1)

DLNIHK(-2)

Mekanisme Suku Bunga SBI sebagai Sasaran Operasional Kebijakan Moneter dan Variabel Makroekonomi Indonesia: 1990.1 - 2007.4

51

Vector Autoregression Estimates Sample(adjusted): 1991:2 2007:4 Included observations: 67 after adjusting endpoints Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] DSBI DLNIHK(-3) -46.00114 (20.1325) [-2.28492] -43.63190 (18.1705) [-2.40125] -0.720102 (1.80752) [-0.39839] 0.935804 0.899120 164.6447 1.979928 25.51017 -125.1886 4.483243 5.305890 -0.232090 6.233719 DDEP -43.94383 (26.3663) [-1.66667] -32.84421 (23.7967) [-1.38020] 1.429541 (2.36719) [ 0.60390] 0.828073 0.729829 282.3891 2.592981 8.428743 -143.2618 5.022739 5.845385 -0.283881 4.988616 2.64E-12 322.7308 -5.156142 -0.220263 DLNKURS -1.285632 (0.83201) [-1.54522] -0.684239 (0.75092) [-0.91120] 0.127278 (0.07470) [ 1.70388] 0.787012 0.665305 0.281194 0.081824 6.466427 88.29011 -1.889257 -1.066610 0.023644 0.141434 DLNM1 0.492789 (0.39672) [ 1.24215] -0.498432 (0.35806) [-1.39203] 0.044881 (0.03562) [ 1.26005] 0.700419 0.529230 0.063933 0.039016 4.091494 137.9106 -3.370465 -2.547819 0.044374 0.056864 DLNPDB -0.153714 (0.14987) [-1.02563] -0.083814 (0.13527) [-0.61962] 0.025790 (0.01346) [ 1.91665] 0.879239 0.810232 0.009124 0.014739 12.74138 203.1318 -5.317367 -4.494721 0.010081 0.033835 DLNIHK 0.095369 (0.19249) [ 0.49546] 0.015349 (0.17373) [ 0.08835] 0.048524 (0.01728) [ 2.80784] 0.853794 0.770247 0.015050 0.018930 10.21938 186.3661 -4.816900 -3.994253 0.027745 0.039493

DLNIHK(-4)

R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent

Determinant Residual Covariance Log Likelihood (d.f. adjusted) Akaike Information Criteria Schwarz Criteria

52

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

halaman ini sengaja dikosongkan

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

53

PERILAKU PERMINTAAN UANG DALAM SISTEM MONETER GANDA DI INDONESIA


Ascarya, Heni Hasanah, Noer Azam Achsani 1
Abstract
The cotemporary dual monetary system is characterized by an interest system in conventional system and the profit-and-loss sharing (PLS) system in Islamic system, where each of them has a different behavior in influencing the money demand and the monetary stability. This study analyses the components of money demand under both the conventional and Islamic financial system in Indonesia, using a Vector Auto Regression (VAR) and Vector Error Correction Model (VECM) methods. The results show that in Islamic system, PLS return negatively correlated with all Islamic demand for money components (currency, Wadiah demand deposit, Mudharabah saving deposit, and Mudharabah time deposit). While in conventional system, interest is negatively correlated with the demand for currency, the demand deposit, and the saving deposit, but positively correlated with the demand for time deposit. The Islamic demand for money stabilizes quiclier to respons the shock from other variables compare to conventional system. Moreover, the interest rate contributes 20%-29% in the conventional demand for money variation, while in PLS system the return almost has no role on Islamic money demand variation. Our research also shows that the savings deposits in Indonesia have the characteristics of the demand deposits, hence preferably included in M1 instead of in M2. These findings suggest the monetary authority to gradually shift their mindset from the conventional monetary operation to the dual monetary operation and explore further the possibility of using PLS return as the policy rate benchmark to achieve the principal objectives in maximizing distributive social welfare and justice, as well as minimizing inefficiency.

JEL Classification: C32, E31, E41, E52

Keywords: Permintaan Uang Konvensional, Permintaan Uang Islam, Sistem Keuangan/Perbankan


Ganda, VAR/VECM
1 Ascarya is a senior researcher in Center for Central Banking Education and Studies, Central Bank of Indonesia, Jl M. H. Thamrin 2, Sjafruddin Prawiranegara Tower, 20th fl., Jakarta 10110, Indonesia (ascarya@bi.go.id); Hasanah is a researcher in International Center for Applied Finance & Economics (Inter CAF), Department of Economics, Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural University, Indonesia (heni_hasahah@yahoo.co.id); Achsani is a lecturer and researcher in International Center for Applied Finance & Economics (Inter CAF), Department of Economics, Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural University. Currently visiting researcher at Center for Central Banking Education and Studies, Bank Indonesia (achsani@yahoo.com).

54

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

I. PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir, sistem keuangan internasional semakin berkembang pesat, khususnya sistem keuangan Islam. Perkembangan yang sangat pesat khususnya terjadi pada perbankan syariah. Joharris (2007) memperkirakan bahwa saat ini lebih dari 276 lembaga keuangan Islam di dunia yang tersebar di lebih dari 70 negara, dari London, New York dan Zurich ke Timur Tengah, Afrika dan Asia dengan kapitalisasi lebih dari US$13 miliar. Semua ini termasuk bank, reksadana, KPR dan takaful (asuransi Syariah). Jumlah dana yang dikuasai oleh Muslim lebih dari US$13 triliun. Saat ini diperkirakan ada US$1 triliun dana Syariah di pasar. Pasar modal Syariah global berkembang sekitar 15% - 20% per tahun, termasuk simpanan/investasi di bank Syariah yang diperkirakan lebih dari US$560 miliar. Bank Syariah di Indonesia mulai terkenal ketika terbukti di masa krisis tahun 1997-1998 Bank Muamalat Indonesia, satu-satunya bank Syariah saat itu, dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Semenjak itu perbankan Syariah mulai bermunculan sebagai lembaga keuangan alternatif yang bebas dari bunga. Operasi bank syariah yang tidak menggunakan sistem bunga dalam semua aktivitasnya digantikan utamanya dengan sistem bagi hasil, ditambah dengan sistem jual beli dan sewa. Inilah perbedaan utama sistem keuangan Islam pada masa kontemporer ini dengan sistem keuangan konvensional. Secara konseptual sistem keuangan Islam yang ideal tidak menggunakan uang fiat dan juga tidak menggunakan fractional reserve banking system sebagaimana dianut oleh sistem keuangan konvensional, karena keduanya mengandung unsur riba di dalamnya. Meskipun system keuangan Islam tumbuh pesat di seluruh dunia, termasuk Indonesia, porsinya masih sangat kecil (di Indonesia kurang dari 2%) sehingga, meskipun banyak negara telah menerapkan sistem keuangan ganda, secara keseluruhan sistem keuangan Islam masih terdominasi oleh kekuatan sistem keuangan konvensional yang berbasis bunga, uang fiat, dan fractional reserve banking system. Secara teoritis, para ahli ekonomi Islam, yang memberi perhatian terhadap perkembangan sistem keuangan Islam, menunjukan bahwa konsep bagi hasil jauh lebih baik daripada instrumen suku bunga yang digunakan oleh sistem keuangan konvensional dilihat dari segi keadilan, reduksi kegiatan spekulasi, efisiensi sumber daya, dan lain-lain (Lihat misalnya: Khan, 1986 sampai Zangeneh, 1995; Fardmanesh dan Siddiqui, 1995; Meera, 2004; Ryandono, 2006; Ascarya, 2007; dan Sakti, 2007). Oleh karena itu, harus dibuktikan secara empiris bahwa dengan tidak adanya instrumen suku bunga dalam sistem keuangan Islam yang digantikan dengan konsep bagi hasil ini dapat mendukung sistem

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

55

keuangan ganda secara keseluruhan, khususnya dalam studi permintaan uang dan stabilitas moneter dalam sistem keuangan/perbankan ganda. Tujuan dari penelitian ini, pertama, adalah untuk merumuskan fungsi permintaan uang yang didefinisikan secara konvensional dan permintaan uang yang sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, penelitian ini akan menganalisis tentang bagaimana dampak dari adanya pelarangan sistem bunga yang digantikan oleh sistem bagi hasil dalam sistem keuangan Islam terhadap stabilitas agregat moneter.

II. TEORI II.1 Sistem Moneter Konvensional dan Sistem Moneter Islam
Secara garis besar ada tiga pilar sistem moneter yang membedakan satu dengan lainnya, yaitu sistem uang, sistem perbankan, dan sistem operasi keuangannya. Perbedaan utama sistem moneter Islam secara konseptual, sistem moneter Islam kontemporer dan sistem moneter konvensional ditunjukkan dalam tabel IV.1 berikut (Ascarya, 2007).

Tabel IV.1. Perbandingan Sistem Moneter Konvensional dan Sistem Moneter Islam
No. 1. Konvensional Sistem Uang Fiat Islam Konseptual Sistem Uang Islam - full bodied/ fully backed money Islam Kontemporer Sistem Uang Fiat

2. 3.

Fractional Reserve Banking System


Sistem Bunga

100 Percent Reserve Banking System


Sistem Bagi Hasil

Fractional Reserve Banking


Sistem Bagi Hasil

Dalam sistem keuangan ganda yang ada saat ini, hanya konsep bagi hasil saja yang menjadi pembeda antara sistem moneter konvensional dan sistem moneter Islam. Sistem moneter Islam dalam sistem keuangan ganda masih menggunakan uang fiat konvensional dan masih menerapkan fractional reserve banking system (baca table IV.1, kolom kanan). Karakteristik sistem bunga sendiri sangat berbeda dengan karakteristik sistem bagi hasil. Suku bunga sebagai tingkat pengembalian pada sistem konvensional bisa ditetapkan kapan saja oleh otoritas perbankan dan pergerakan nominalnya bisa terlihat oleh masyarakat umum, sehingga menimbulkan kegiatan spekulasi. Sedangkan dalam sistem bagi hasil yang ditetapkan adalah nisbahnya yang nilainya tetap sepanjang akad berlaku. Sedangkan tingkat pengembaliannya

56

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

mengikuti hasil yang benar-benar terjadi di lapangan. Artinya, return itu sendiri tidak ditetapkan secara eksogenus oleh otoritas perbankan Syariah.

II.2 Perbandingan Sistem Bunga dan Sistem Bagi Hasil


Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit-and-loss sharing/PLS), ketika pemilik modal (surplus spending unit) bekerja sama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila menghasilkan keuntungan dibagi berdua, apabila menderita kerugian juga ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi (didzalimi). Sistem bagi hasil dapat berbentuk Musyarakah atau Mudharabah dengan berbagai variasinya. Bank konvensional, return-nya dari sistem bunga yaitu persentase terhadap dana yang disimpan ataupun dipinjamkan dan ditetapkan diawal transaksi sehingga berapa nilai nominal rupiahnya akan dapat diketahui besarnya dan kapan akan diperoleh dapat dipastikan tanpa melihat laba rugi yang akan terjadi nanti. Sedang bank Syariah, return-nya dari sistem bagi hasil (PLS) yaitu nisbah (persentase bagi hasil) yang besarnya ditetapkan diawal transaksi yang bersifat fixed tetapi nilai nominal rupiahnya belum dapat diketahui dengan pasti melainkan melihat laba rugi yang akan terjadi nanti. Pada Gambar IV.1 dapat terlihat bahwa dalam perekonomian konvensional, sistem riba,

fiat money, fractional reserve system dalam perbankan, dan diperbolehkannya spekulasi

Sistem Bunga

Menghambat Laju Ekonomi

Penciptaan & Konsentrasi Uang

Inflasi

Menyusutkan Sektor Riil


Sumber: Sakti (2007)

Gambar IV.1. Implikasi Bunga pada Perekonomian

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

57

menyebabkan penciptaan uang (kartal dan giral) dan tersedotnya uang di sektor moneter untuk mencari keuntungan tanpa risiko. Akibatnya, uang atau investasi yang seharusnya tersalur ke sektor riil untuk tujuan produktif sebagian besar lari ke sektor moneter dan menghambat pertumbuhan bahkan menyusutkan sektor riil. Penciptaan uang tanpa adanya nilai tambah akan menimbulkan inflasi. Pada akhirnya, tujuan pertumbuhan ekonomi akan terhambat. Sementara itu, pada Gambar IV.2 dengan sistem bagi hasil, disertai sistem zakat dan pelarangan spekulasi dalam perekonomian Islam, akan mendorong iklim investasi yang akan tersalur dengan lancar ke sektor riil untuk tujuan yang sepenuhnya produktif. Hal ini akan menjamin terdistribusinya kekayaan dan pendapatan serta menumbuhkan sektor riil. Dengan meningkatnya produktivitas dan kesempatan bekerja dan berusaha pada akhirnya pertumbuhan ekonomi terdorong, dan pada akhirnya akan tercapai kesejahteraan masyarakat.

Sistem Bagi Hasil

Mendorong Laju Ekonomi

Distribusi Kekayaan & Pendapatan

Produktivitas & Kesempatan

Menumbuhkan Sektor Riil


Sumber: Sakti (2007)

Gambar IV.2. Implikasi Bagi Hasil Pada Perekonomian

II.3 Teori Permintaan Uang


Jumlah uang beredar adalah jumlah uang yang tersedia (Mankiw, 2003). Sedangkan menurut Mishkin (2001) uang (diacu juga sebagai money supply) didefinisikan sebagai segala sesuatu yang secara umum diterima sebagai alat pembayaran barang dan jasa atau pembayaran kembali utang. Fungsi permintaan uang menurut Keynes adalah (Mishkin, 2001) :

M d = f (i, Y )

(IV.1)

58

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

dimana i merupakan suku bunga yang berbanding terbalik dengan permintaan uang dan Y merupakan pendapatan nasional riil yang berpengaruh positif terhadap permintaan uang. Mengikuti Goldfeld dan Sichel dalam Achsani, Holtemoller, dan Sofyan (2005) permintaan terhadap keseimbangan uang riil konvensional adalah:

ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 Rt + 3 t
dan ekspektasi inflasi.

(IV.2)

dimana MR merupakan keseimbangan uang riil, Y pendapatan nasional, R suku bunga,

Sementara itu, fungsi permintaan uang dalam Islam, salah satunya dirumuskan oleh Chapra (1996) mengikuti pendekatan Keynes. Chapra mengusulkan model permintaan uang dalam ekonomi Islam sebagai berikut. Md = f(Ys, S, ) (IV.3)

dimana, Ys = barang dan jasa yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan investasi produktif yang sesuai dengan nilai-nilai Islam; S = semua nilai moral dan social dan institusi-institusi (termasuk zakat) yang mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya dan dapat membantu meminimalkan Md, tidak hanya yang untuk konsumsi berlebihan dan investasi tidak produktif, tetapi juga yang untuk maksud berjaga-jaga dan spekulasi; dan = tingkat bagi hasil dalam sistem yang tidak mengizinkan penggunaan suku bunga untuk intermediasi keuangan. Model ini belum pernah digunakan untuk kajian empiris, kemungkinan karena karakterisasi Ys yang normatif dan tidak mencerminkan realitas yang ada, serta nilai S yang rumit dan kemungkinan tidak dapat dikuantifisir dan tidak dapat dipraktekkan. Model permintaan uang dalam sistem keuangan ganda salah satunya dipaparkan oleh Kaleem (2000) mengikuti model yang dikembangkan oleh Ahmad dan Khan (1990) yang intinya berbasis persamaan (IV.2) dengan menghilangkan komponen suku bunga R, sehingga permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam dalam sistem keuangan ganda dapat dibandingkan, sebagai berikut.

ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 t
dan

(IV.4)

ln MISLRt = 0 + 1 ln Yt + 2 t
uang riil Islam.

(IV.5)

Dimana MR adalah keseimbangan uang riil konvensional dan MISLR adalah keseimbangan

Model yang diajukan Kaleem (2000) mendapat kritik dari Hasanah et al (2008) karena mereka berpendapat bahwa dengan menghilangkan unsur suku bunga dari persamaan (IV.4), ciri utama sistem keuangan konvensional menjadi hilang, sedangkan return Syariah yang

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

59

merupakan ciri sistem keuangan Islam tidak muncul dalam persamaan (5). Hasanah et al (2008) kemudian mengajukan model alternatif untuk memasukkan kembali suku bunga ke dalam persamaan permintaan uang konvensional dan memasukkan return Syariah ke dalam persamaan permintaan uang Islam sebagai variabel pembeda utama antara kedua model, yang sejalan dengan pendapat Ascarya (2007) pada tabel IV.1. Model persamaan permintaan uang dalam sistem keuangan ganda

ln MRt = 0 + 1 ln Yt + 2 Rt + 3 t
dan

(6)

ln MISLRt = 0 + 1 ln Yt + 2 RS t + 3 t

(7)

Dimana MR adalah keseimbangan uang riil konvensional, R adalah suku bunga, MISLR adalah keseimbangan uang riil Islam, RS adalah return Syariah, dan adalah ekspektasi inflasi.

II.4 Penelitian Terdahulu


Gambaran umum tentang penelitian di bidang sistem moneter Islam dalam 30 tahun terakhir dapat dibaca dalam Siddiqui (2008). Siddiqui secara kritis mengevaluasi beberapa model teoritis penting yang dikembangkan di bidang ini untuk menjelaskan berbagai hal yang masih dipertanyakan. Perlu dicatat bahwa meskipun sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan system moneter Islam yang relatif baru ini belum juga terjawab, ketertarikan penelitian dalam bidang ini menurun sejalan dengan kegagalan perbankan Syariah untuk menerapkan konsep bagi hasil dalam skala yang dapat mensyaratkan perubahan yang berarti dalam pelaksanaan kebijakan moneter dan instrumennya. Sejalan dengan itu, kajian yang khusus membahas tentang kerangka, manajemen, dan operasi kebijakan moneter dalam sistem keuangan/perbankan ganda masih sangat sedikit dilakukan, meskipun semakin banyak negara yang menerapkan sistem keuangan/perbankan ganda. Beberapa studi tersebut antara lain Kaleem (2000), Darrat (2000), Kia (2001), Astiyah et al. (2006), Ascarya (2007), Izhar dan Asutay (2007), dan Hasanah et al (2008). Kaleem (2000) melakukan penelitian tentang stabilitas moneter pada sistem perbankan ganda di Malaysia. Kaleem mengestimasi permintaan uang konvensional dan Islam tetapi menghilangkan variabel suku bunga dalam permintaan uang konvensional dan tidak menambahkan variabel return Syariah dalam permintaan uang Islam. Hasilnya menunjukkan bahwa permintaan uang konvensional sama saja dengan permintaan uang Islam yaitu tidak tahan terhadap guncangan. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa agregat moneter M1 dan M2 baik konvensional maupun Islam berhubungan dengan tingkat harga.

60

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Darrat (2000) melakukan penelitian di Iran dan Pakistan dengan menggunakan data dari tahun 1960-1998. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat stabilitas dari permintaan uang baik pada sistem bunga maupun pada sistem non bunga dalam jangka panjang. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk melihat stabilitas permintaan uang dari perilaku agen ekonomi baik pada sistem bunga maupun sistem bagi hasil. Hasilnya menunjukkan bahwa interest free mempunyai hubungan yang kuat dengan instrumen kebijakan dan stabilitas harga. Sementara itu, Kia (2001) melakukan penelitian serupa di Iran dengan kurun waktu 19661998. Hasilnya menunjukkan baik pada jangka pendek maupun jangka panjang, permintaan uang pada interest-free (M1) stabil dan invarian terhadap kebijakan dan guncangan lain dalam perubahan rezim, sedangkan permintaan uang pada interest-bearing (M2) tidak stabil. Studi ini juga menunjukkan bahwa perilaku agen ekonomi terhadap asset yang berbasiskan bunga adalah cenderung forward looking sehingga ekspektasi yang terbetuk adalah rasional terhadap pasar keuangan Iran. Atau dengan kata lain bahwa koefisien permintaah uang dengan menggunakan bunga tidak terpengaruh oleh perubahan kebijakan. Kajian sistem moneter dalam sistem perbankan ganda di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Astiyah et al. (2006). Mereka melakukan kajian konseptual yang selanjutnya dirumuskan guna mendapatkan pendekatan yang paling cocok untuk menggambarkan perilaku sistem moneter dalam sistem perbankan ganda. Studi ini berkesimpulan bahwa dengan tidak diperkenankannya penggunaan suku bunga dalam ekonomi Islam, maka implementasi kebijakan moneter yang diambil sebaiknya cenderung kepada quantity targeting yang utuh dengan mengedepankan konsistensi antara instrumen syariah dan instrumen konvensional serta memperhatikan prinsip equality terhadap kedua jenis perbankan, baik konvensional maupun syariah. Setelah itu, Ascarya (2007) melakukan studi deskriptif analitis tentang kebijakan moneter optimum pada sistem perbankan ganda. Hasilnya menunjukkan bahwa kebijakan moneter optimum pada suatu negara yang mengadopsi sistem perbankan atau keuangan ganda harusnya mengacu pada tingkat pengembalian pada sistem bagi hasil untuk memaksimalkan keadilan distributif dan kesejahteraan sosial dan meminimalkan inefisiensi. Selanjutnya, Izhar dan Asutay (2007) juga melakukan penelitian tentang stabilitas moneter pada sistem perbankan ganda di Indonesia, dengan data time series dari tahun 2001 sampai 2004. Hasilnya menunjukkan bahwa baik dalam persamaan jangka panjang maupun persamaan

error correction model variabel M2 konvensional dan M2 Islam tidak mempunyai hubungan
yang signifikan dengan tingkat harga. Namun demikian, nilai error correction term (ECT) pada sistem konvensional lebih besar daripada ECT pada sistem Islam.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

61

Penelitian terbaru yang cukup penting adalah yang dilakukan oleh Hasanah et al (2008) yang mengkaji perilaku agregat moneter dalam sistem keuangan/perbankan ganda di Indonesia dari tahun 2001 sampai tahun 2006 dengan memasukkan variabel return bagi hasil dalam model permintaan uang Islam yang dikembangkan Kaleem (2000) untuk membedakan dengan model permintaan uang konvensional yang mempunyai variabel suku bunga, dengan hasil sebagai berikut.

a. Perbandingan Permintaan M1 Konvensional dan Permintaan M1 Islam


Gambar IV.3 menunjukkan bahwa guncangan suku bunga (IDEP) memberikan pengaruh negatif dan permanen terhadap M1 konvensional (LM1R), dan menjadi stabil setelah periode ke 20. Sedangkan, guncangan return Syariah (RS) memberikan pengaruh negatif dan permanen terhadap M1 Islam (LM1ISLR), dan menjadi stabil setelah periode ke 15. M1 konvensional mencapai kestabilan kembali lebih lama dengan magnitude awal lebih besar dan pengaruh permanen lebih besar.

Response of LM1R to IDEP 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 5 10 15 20 25 30 35 40 45 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 5 10

Response of LM1ISLR to RS

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.3. Respon Permintaan M1 Konvensional terhadap Suku Bunga vs. Respon M1 Islam terhadap Return Syariah

Sementara itu, gambar IV.4 menunjukkan bahwa suku bunga (IDEP) memberikan andil cukup besar ( 20%) dalam perilaku permintaan M1 konvensional. Sedangkan return Syariah (RS) memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M1 Islam. Dengan demikian, permintaan M1 konvensional dipengaruhi oleh fluktuasi suku bunga, sedangkan permintaan M1 Islam tidak begitu dipengaruhi oleh fluktuasi return Syariah.

62

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

% 120 EXPINF 100 80 60 40 20 0 1

Variance Decomposition M1 120 IDEP LPDBR LM1R 100 80 60 40 20 0 12 24 Periode 36 48

% EXPINF

Variance Decomposition M1-ISLAM RS LPDBR LM1ISLR

12

24 Periode

36

48

Gambar IV.4. Variance Decomposition Permintaan M1 Konvensional vs. Permintaan M1 Islam

b. Perbandingan Permintaan M2 Konvensional dan Permintaan M2 Islam


Gambar 5 menunjukkan bahwa guncangan suku bunga (IDEP) memberikan pengaruh negatif dan permanen terhadap M2 konvensional (LM2R), dan menjadi stabil setelah periode ke 17. Sedangkan, guncangan return Syariah (RS) memberikan pengaruh negatif dan permanen terhadap M2 Islam (LM2ISLR), dan menjadi stabil setelah periode ke 15. M2 konvensional mencapai kestabilan kembali sedikit lebih lama tetapi dengan magnitude yang lebih kecil.

Response og LM2R IDEP 0,20 0,16 0,12 0,08 0,04 0,00 -0,04 -0,08 5 10 15 20 25 30 35 40 45
0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0 -0,1 -0,2 -0,3 5 10

Response of LM2ISLR to RS

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.5. Respon Permintaan M2 Konvensional terhadap Suku Bunga vs. Respon M2 Islam terhadap Return Syariah

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

63

Gambar IV.6 menunjukkan bahwa suku bunga (IDEP) memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M2 konvensional. Sedangkan return Syariah (RS) juga memberikan andil sangat kecil (< 5%) dalam perilaku permintaan M2 Islam.

% 120 EXPINF 100 80 60 40 20 0 1

Variance Decomposition M2 120 IDEP LPDBR LM2R 100 80 60 40 20 0 12 24 Periode 36 48

% EXPINF

Variance Decomposition M2-ISLAM RS LPDBR LM2ISLR

12

24 Periode

36

48

Gambar IV.6. Variance Decomposition Permintaan M2 Konvensional vs. Permintaan M2 Islam

Adanya pergeseran perilaku M1 konvensional ke M2 konvensional menyiratkan kemungkinan adanya pengaruh positif dari suku bunga terhadap tabungan atau deposito. Besar kemungkinan suku bunga berpengaruh positif terhadap deposito konvensional karena tingginya suku bunga akan menarik masyarakat untuk menyimpan dananya di deposito. Hal ini perlu pembuktian lebih lanjut dalam penelitian berikutnya.

II.5 Kerangka Konseptual


Untuk melihat lebih jauh perbedaan perilaku permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam, penelitian ini dilakukan dengan mem-breakdown perilaku masing-masing komponen M1 dan M2 agar terlihat lebih jelas perbedaan perilaku mereka, dengan menggunakan model yang sama seperti persamaan (IV.6) dan (IV.7), yang secara konseptual dapat dibaca pada gambar IV.7. Variabel makroekonomi (PDB dan ekspektasi inflasi mempengaruhi permintaan (komponen) uang konvensional dan permintaan uang Islam. Sebagai opportunity cost dalam memegang uang, suku bunga mempengaruhi permintaan uang konvensional, sedangkan return Syariah mempengaruhi permintaan uang Islam. Kesemuanya itu akan mempengaruhi perilaku permintaan uang dan kestabilan moneter dalam sistem keuangan ganda.

64

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Variabel Makroekonomi: PDB, Ekspektasi Inflasi

Uang Kartal SUKU BUNGA Giro Konvensional Tabungan Konvensional Deposito Konvensional KONVENSIONAL Perilaku Permintaan Uang & Stabilitas Moneter

Giro Wadiah Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah ISLAM

RETURN SYARIAH

Gambar IV.7. Komponen Agregat Moneter yang MempengaruhiPerilaku Permintaan Uang dan Stabilitas Moneter dalam Sistem Keuangan Ganda

III. METODOLOGI III.1 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder negara Indonesia dalam bentuk bulanan yang diperoleh dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank Indonesia (SEKI-BI) dan Statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (SPS-BI) serta data

return Syariah dari Bank Muamalat Indonesia dalam periode waktu antara bulan Januari 2001
sampai dengan bulan Desember 2006. Dengan demikian data yang digunakan merupakan data time series.

III.2 Variabel dan Definisi Operasional


Variabel yang digunakan dalam penelitian beserta definisi operasionalnya adalah sebagai berikut. a. Komponen uang beredar konvensional dalam arti sempit (M1) adalah uang kartal dan giro pada bank konvensional. b. Komponen uang beredar konvensional dalam arti luas (M2) adalah komponen M1, tabungan, dan deposito pada bank konvensional.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

65

c. Komponen uang beredar Islam dalam arti sempit (M1ISL) adalah uang kartal dan giro Wadiah pada bank Syariah. d. Komponen uang beredar Islam dalam arti luas (M2ISL) adalah komponen M1ISL, tabungan

Mudharabah, dan deposito/investasi Mudharabah.


e. Tingkat output riil (PDB riil) adalah nilai Produk Domestik Bruto yang dideflasi dengan tingkat IHK tahun dasar 2002. f. Ekspektasi inflasi (EXPINF) adalah tingkat inflasi pada satu periode sebelumnya dengan IHK tahun dasar 2002. g. Suku bunga deposito (IDEP) adalah suku bunga deposito jangka waktu 6 bulan.

h. Return Syariah (RS) adalah tingkat pengembalian dana pada bank umum Syariah berupa equivalent rate dari return deposito/investasi Mudharabah.
Keterbatasan model yang digunakan adalah penggunaan uang kartal yang tidak dapat dipisahkan mana bagian uang kartal konvensional dan mana bagian uang kartal Islam, sehingga dalam analisis permintaan uang Islam M1 dan M2 di Indonesia, yang porsi perbankan Syariah masih kurang dari 2%, akan didominasi oleh perilaku uang kartal. Hal ini mendorong penulis untuk menganalisis komponen M1 dan M2 agar dapat memisahkan pengaruh komponen uang kartal dari komponen lainnya.

III.3 Metoda Estimasi


Permasalahan pada penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan Vector

Autoregression (VAR) dari model permintaan uang konvensional dan permintaan uang Islam
yang diajukan oleh Hasanah et al (2008), seperti pada persamaan (6) dan (7). Kemudian jika data yang digunakan stasioner pada perbedaan pertama maka model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan menjadi Vector Error Correction Model (VECM). Analisis impulse

response function juga dilakukan untuk melihat respon suatu variabel endogen terhadap
guncangan variabel lain dalam model. Analisis variance decomposititon juga dilakukan untuk melihat kontribusi relatif suatu variabel dalam menjelaskan variabilitas variabel endogenusnya. Semua data dalam penelitian ini ditransformasikan ke dalam bentuk logaritma natural (ln) kecuali suku bunga, rate of return, dan inflasi yang diharapkan untuk mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten. Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Microsoft Excel 2003 dan program Eviews 4.1.

66

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

IV. HASIL DAN ANALISIS IV.1 Uji Stasioneritas Data


Metoda pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data dalam penelitian ini adalah uji ADF (Augmented Dickey Fuller) dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan bahwa data yang digunakan adalah stasioner (tidak mengandung akar unit). Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini ada yang stasioner dan ada pula yang tidak stasioner pada tingkat level. Setelah dilakukan first difference barulah semua data stasioner pada taraf nyata lima persen. Hasil pengujian akar unit dapat dilihat pada tabel IV.1 dalam Lampiran.

IV.2 Penetapan Lag Optimal


Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Penentuan lag optimal yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan lag terpendek dengan menggunakan Schwarz Information Criterion (SIC). Hasil pengujian penentuan lag optimal ini dapat dilihat pada tabel IV.2 dan tabel IV.3 dalam Lampiran.

IV.3 Pengujian Kointegrasi


Pengujian ini dilakukan dalam rangka memperoleh hubungan jangka panjang antar variabel yang telah memenuhi persyaratan selama proses integrasi yaitu dimana semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat 1 I(1). Informasi jangka panjang diperoleh dengan menentukan terlebih dahulu rank kointegrasi untuk mengetahui berapa sistem persamaan yang dapat menerangkan dari keseluruhan sistem yang ada. Hasil pengujian kointegrasi berdasarkan trace statistics dapat dilihat pada tabel IV.4 dan tabel IV.5 dalam Lampiran. Berdasarkan lampiran tersebut menunjukkan bahwa untuk masing-masing persamaan terdapat minimal satu rank kointegrasi pada taraf nyata lima persen.

IV.4 Permintaan Uang Kartal a. Analisis Impulse Response Function untuk Uang Kartal
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan uang kartal (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.7, serta gambar IV.8 dan gambar IV.9 di Lampiran.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

67

Tabel IV.7. Respon Permintaan Uang Kartal


Respon Permintaan Uang Kartal Konvensional Guncangan GDP Guncangan Ekspektasi Inflasi Guncangan Suku Bunga Guncangan Return Mudharabah Positif dan permanen 0.015, stabil mulai periode ke-40 Negatif dan permanen -0.01, stabil mulai periode ke-34 Negatif dan permanen -0.02, stabil mulai periode ke-26 Respon Permintaan Uang Kartal Islam Positif dan permanen 0.015, stabil mulai periode ke-25 Negatif dan permanen -0.02, stabil mulai periode ke-20 Negatif dan permanen -0.01, stabil mulai periode ke-18

Gambar IV.8 di Lampiran menunjukkan bahwa respon permintaan uang kartal terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Permintaan uang kartal merespon positif berkisar 1.1 sampai 2.8 persen dari mulai periode kelima sampai periode ke-48 terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi. Sedangkan guncangan pada variabel suku bunga dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh permintaan uang kartal. Permintaan uang kartal dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-37, dengan respon ratarata sebesar 1.5 persen. Permintaan uang kartal mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ke-26 dengan respon sebesar 0.9 persen. Sedangkan guncangan pada suku bunga mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 1.7 sampai 1.8 persen. Gambar IV.9 di Lampiran menunjukkan bahwa respon permintaan uang kartal terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi adalah positif berkisar 0.5 sampai 2.3 persen dari mulai periode keempat sampai periode ke-48. Sedangkan guncangan pada variabel

return Mudharabah dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh permintaan uang kartal.
Permintaan uang kartal dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-21, dengan respon rata-rata sebesar 1.4 persen. Permintaan uang kartal mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ke-19 dengan respon sebesar 1.9 persen. Sedangkan guncangan pada return Mudharabah mulai direspon stabil pada periode ke-18 sebesar 0.9 persen.

68

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of LN_RCURRENCY to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45
.03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5

Response of LN_RCURRENCY to Cholesky One S.D. RM Innovation

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.8 Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)

Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.8) terlihat bahwa, dibanding return

Mudharabah, suku bunga memberikan pengaruh lebih besar (0.02 SD vs. 0.01 SD) dan lebih
lama (24 periode vs. 18 periode) terhadap permintaan uang kartal.

b. Analisis Variance Decomposition untuk Uang Kartal


Permintaan Uang Kartal (Konvensional) 100 90 80 70 60 50 40 30 1 12 LN_RCURRENCY 24 LN_RGDP 36 IDEP EXP_INF 48 100 90 80 70 60 50 40 30 1 12 LN_RCURRENCY 24 LN_RGDP RM 36 EXP_INF 48 Permintaan Uang Kartal (Syariahl)

Gambar IV.9. Variance Decomposition Permintaan Uang Kartal (Konvensional dan Islam)

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

69

Seperti dapat dilihat pada Gambar IV.9 kiri, fluktuasi permintaan uang kartal dipengaruhi paling dominan oleh permintaan uang kartal itu sendiri, sedangkan suku bunga berada pada urutan kedua untuk periode ke-12 sampai periode ke-48, dan GDP pada urutan ketiga. Sedangkan variabel ekspektasi inflasi tidak terlalu mempengaruhi variabilitas permintaan uang kartal. Pada periode pertama, fluktuasi variabel permintaan uang kartal dipengaruhi oleh guncangan uang kartal itu sendiri sebesar 100 persen. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan permintaan uang kartal itu sendiri makin menurun mempengaruhi variabilitas permintaan uang kartal, tetapi masih dominan, sedangkan variabel suku bunga mulai berperan besar kedua. Pada periode ke-48 variabilitas uang kartal dapat dijelaskan oleh variabel suku bunga dengan kontribusi sebesar 29.2 persen. Hasil variance decomposition permintaan uang kartal dengan memasukkan tingkat return

mudharabah dapat dilihat pada Gambar IV.9 kanan. Variabilitas permintaan uang kartal dominan
dipengaruhi oleh inovasi permintaan uang kartal itu sendiri, kemudian inovasi ekspektasi inflasi pada urutan kedua, dan inovasi GDP pada urutan ketiga. Sedangkan tingkat return Mudharabah justru tidak dominan dalam menjelaskan permintaan uang kartal berdasarkan hasil variance

decomposition. Kontribusi rata-rata inovasi permintaan uang kartal dalam menjelaskan


variabilitas permintaan uang kartal dari periode ke-12 sampai periode ke-48 adalah sebesar 61 persen.

IV.5 Giro Konvensional dan Giro Wadiah a. Analisis Impulse Response Function untuk Giro
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan giro (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.8 di bawah ini, serta gambar IV.12 dan gambar IV.13 di Lampiran.

Tabel IV.8. Respon Permintaan Giro


Respon Permintaan Giro Konvensional Guncangan GDP Guncangan Ekspektasi Inflasi Guncangan Suku Bunga Guncangan Return Mudharabah Positif dan permanen 0.005, stabil mulai periode ke-22 Negatif dan permanen -0.006, stabil mulai periode ke-11 Negatif dan permanen -0.013, stabil mulai periode ke-16 Respon Permintaan Giro Wadiah Positif dan permanen 0.02, stabil mulai periode ke-24 Negatif dan permanen 0.014, stabil mulai periode ke-24 Negatif dan permanen 0.004, stabil mulai periode ke-8

70

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Pada Gambar IV.12 di Lampiran dapat dilihat bahwa respon giro konvensional terhadap guncangan variabel lainnya berfluktuasi. Giro konvensional merespon positif berkisar 0.1 sampai 0.9 persen dari mulai periode kedua sampai periode ke-48 terhadap guncangan variabel GDP sebesar satu standar deviasi. Sedangkan guncangan pada variabel suku bunga dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh giro konvensional. Giro konvensional dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-22, dengan respon rata-rata sebesar 0.4 persen. Giro konvensional mulai stabil dalam merespon guncangan ekspektasi inflasi pada periode ketujuh dengan respon sebesar 0.5 persen. Sedangkan guncangan pada suku bunga mulai direspon stabil pada periode keenam sebesar 1.1 persen. Gambar 13 di Lampiran menunjukkan hasil IRF permintaan giro Wadiah akibat guncangan variabel lain. Pada saat terjadi guncangan variabel GDP, giro Wadiah merespon positif dengan terjadinya kenaikan mulai dari periode kedua sampai akhir periode peramalan. Giro Wadiah dapat dikatakan stabil dalam merespon guncangan GDP setelah periode ke-26 dengan ratarata respon sebesar 1.9 persen. Guncangan variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi secara umum direspon negatif oleh giro Wadiah. Respon negatif ini terus berlangsung sampai akhir periode peramalan. Mulai periode ke-16, terlihat adanya kestabilan respon giro

Wadiah terhadap guncangan ekspektasi inflasi sekitar 1.4 persen.

Response of LN_RDD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45
.03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5

Response of LN_RWADIAH to Cholesky One S.D. RM Innovation

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.10. Respon Permintaan Giro Wadiah terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)

Secara umum guncangan variabel return Mudharabah direspon negatif oleh giro Wadiah. Tetapi seperti terlihat dari gambar, guncangan pada tingkat return Mudharabah tidak terlalu direspon oleh giro Wadiah. Respon giro Wadiah terhadap guncangan variabel return

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

71

Mudharabah sudah terlihat stabil pada periode kedelapan peramalan. Mulai periode ini, respon
permintaan giro Wadiah terhadap guncangan return Mudharabah sebesar satu standar deviasi hanya sekitar 0.4 persen. Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.10) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh negatif terhadap permintaan giro konvensional lebih besar (0.014 SD) dari pada pengaruh return Mudharabah terhadap permintaan giro Wadiah (Islam) yang hampir tidak ada.

b. Analisis Variance Decomposition untuk Giro


Permintaan GIRO (Konvensional) 100 95 90 85 80 75 1 12 LN_RDD 24 LN_RGDP IDEP 36 EXP_INF 48 100 95 90 85 80 75 1 12 LN_RWADIAH 24 LN_RGDP RM 36 EXP_INF 48 Permintaan GIRO WADIAH (Syariah)

Gambar IV.11. Variance Decomposition Giro (Konvensional dan Islam)

Pada periode pertama, fluktuasi variabel giro konvensional (baca gambar IV.11 kiri) dipengaruhi oleh guncangan giro konvensional itu sendiri sebesar 100 persen, sedangkan pengaruh variabel lain belum terlihat. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan giro konvensional itu sendiri makin menurun mempengaruhi fluktuasi giro konvensional tetapi masih dominan dengan kontribusi rata-rata sebesar 84 persen. Variabel suku bunga memberikan kontribusi terbesar kedua dalam menjelaskan variabilitas giro konvensional. Sementara guncangan variabel ekspektasi inflasi dan guncangan GDP tidak dominan mempengaruhi fluktuasi giro konvensional untuk setiap periode peramalan. Sementara itu, fluktuasi variabel giro Wadiah (baca gambar IV.11 kanan) pada periode pertama, dipengaruhi oleh guncangan giroWadiah itu sendiri sebesar 100 persen, sedangkan pengaruh variabel lain belum terlihat. Pada interval peramalan periode-periode selanjutnya, pengaruh guncangan giro Wadiah itu sendiri makin menurun mempengaruhi fluktuasi giro

72

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Wadiah tetapi masih dominan dengan kontribusi rata-rata sebesar 97.7 persen. Sedangkan
variabel-variabel lainnya tidak memberikan kontribusi yang besar dalam menjelaskan variabilitas giro Wadiah. Variabel tingkat return Mudharabah sendiri hanya mempunyai kontribusi ratarata sebesar 0.07 persen dalam menjelaskan fluktuasi giro Wadiah selama periode peramalan.

IV.6 Tabungan Konvensional dan Tabungan Mudharabah a. Analisis Impulse Response Function untuk Tabungan
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan tabungan (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.9 di bawah ini, serta gambar IV.16 dan gambar IV.17 di Lampiran.
Tabel IV.9. Respon Permintaan Saving Deposit
Respon Saving Deposit (Konvensional) Guncangan PDB Guncangan Ekspektasi Inflasi Guncangan Suku Bunga Guncangan Return Mudharabah Negatif dan permanen -0.01, stabil mulai periode ke-28 Negatif dan permanen -0.004, stabil mulai periode ke-30 Negatif dan permanen -0.029, stabil mulai periode ke-27 Respon Tabungan Mudharabah (Islam) Positif dan permanen 0.006, stabil mulai periode ke-15 Negatif dan permanen -0.041, stabil mulai periode ke-17 Negatif dan permanen -0.019, stabil mulai periode ke-11

Berdasarkan hasil analisis IRF tabungan konvensional (baca gambar IV.16 di Lampiran), dapat dilihat bahwa guncangan pada GDP, guncangan pada suku bunga, dan guncangan pada ekspektasi inflasi secara umum direspon negatif oleh tabungan. Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh tabungan pada periode ke-28. Guncangan pada suku bunga sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh tabungan pada periode ke-22 dengan respon sebesar 2.8 persen. Sedangkan respon yang stabil mulai ditunjukkan oleh tabungan terhadap guncangan variabel ekspektasi inflasi pada periode ke-26. Untuk IRF tabungan Mudharabah (baca gambar IV.17 di Lampiran), dapat dilihat bahwa tabungan Mudharabah ini merespon positif terhadap guncangan variabel GDP, sedangkan guncangan pada return Mudharabah dan ekspektasi inflasi direspon negatif oleh tabungan

Mudharabah. Respon positif tabungan Mudharabah terhadap guncangan variabel GDP sebesar
satu standar deviasi mulai stabil pada periode ke-27. Sedangkan guncangan pada return

Mudharabah dan ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi direspon stabil mulai periode
ke-11 dan periode ke-18.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

73

Response of LN_RSD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5

Response of LN_RSAV_MUDHARABAH to Cholesky One S.D. RM Innovation

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.12. Respon Permintaan Tabungan terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)

Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.12) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh negatif terhadap permintaan tabungan konvensional lebih besar (0.03 SD) dari pada pengaruh negatif return Mudharabah terhadap permintaan tabungan Mudharabah (Islam) yang sebesar 0.02 SD.

b. Analisis Variance Decomposition untuk Tabungan

Permintaan TABUNGAN (Konvensional) 100 95 90 85 80 75 70 65 60 1 12 LN_RSD 24 LN_RGDP IDEP 36 EXP_INF 48

Permintaan TABUNGAN MUDHARABAH (Syariah) 100 95 90 85 80 75 70 65 60 1 12 24 LN_RGDP 36 RM 48 EXP_INF LN_RSAV_MUDHARABAH

Gambar IV.13. Variance Decomposition Tabungan (Konvensional dan Islam)

74

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Berdasarkan hasil variance decomposition, pada periode pertama variabilitas nilai tabungan konvensional dapat dijelaskan 100 persen oleh tabungan konvensional itu sendiri (baca gambar IV.13 kiri). Pada periode-periode berikutnya variabel tabungan konvensional masih menjadi variabel yang dominan dalam menjelaskan variabilitas nilai tabungan konvensional. Mulai dari periode ke-12 sampai periode ke-48, variabel kedua yang dominan dalam menjelaskan variabilitas dari nilai tabungan konvensional adalah variabel suku bunga. Pengaruh rata-ratanya adalah sebesar 31.7 persen. Sedangkan variabel GDP dan ekspektasi inflasi tidak dominan dalam menjelaskan fluktuasi nilai tabungan konvensional. Pada variance decomposition tabungan Mudharabah (baca gambar IV.13 kanan), variabel tabungan Mudharabah itu sendiri dominan dalam menjelaskan variabilitas nilai tabungan

Mudharabah dengan kontribusi rata-rata sebesar 91 persen. Sedangkan variabel lain yang
dominan kedua dalam menjelaskan fluktuasi nilai tabungan Mudharabah adalah variabel ekspektasi inflasi. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hal ini bisa terjadi mengingat sistem perbankan syariah dalam dual financial system masih menggunakan ung fiat konvensional yang masih bersifat inflatoir. Sehingga pengaruh ekspektasi inflasi masih terlihat pada tabungan

Mudharabah. Kontribusi rata-ratanya dari periode ke-12 sampai periode ke-48 adalah sebesar
8.37 persen. Sedangkan variabel GDP dan tingkat return Mudharabah tidak dominan dalam menjelasakan variabilitas nilai tabungan Mudharabah.

IV.7 Deposito Konvensional dan Deposito (Investasi) Mudharabah a. Analisis Impulse Response Function untuk Deposito
Rangkuman hasil analisis IRF untuk permintaan deposito (konvensional dan Islam) dapat dibaca pada tabel IV.10 di bawah ini, serta gambar IV.20 dan gambar IV.21 di Lampiran.

Tabel IV.10. Respon Permintaan Deposito


Respon Deposito (Konvensional) Guncangan PDB Guncangan Ekspektasi Inflasi Guncangan Suku Bunga Guncangan Return Mudharabah Positif dan permanen 0.013, stabil mulai periode ke-30 Positif dan permanen 0.005, stabil mulai periode ke-15 Positif dan permanen 0.017, stabil mulai periode ke-27 Respon Investasi Mudharabah (Islam) Positif dan permanen 0.040, stabil mulai periode ke-30 Negatif dan permanen -0.022, stabil mulai periode ke-27 Negatif dan permanen -0.032, stabil mulai periode ke-30

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

75

Berdasarkan hasil analisis IRF untuk permintaan deposito konvensional (baca gambar IV.20 di Lampiran), dapat dilihat bahwa guncangan pada GDP, ekspektasi inflasi, dan suku bunga direspon positif oleh deposito. Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh deposito pada periode ke-23 sebesar 1.4 persen. Guncangan pada suku bunga sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-27 sebesar 1.5 persen. Sedangkan guncangan pada variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-14 sebesar 0.5 persen. Sementara itu, secara umum dapat dilihat bahwa deposito Mudharabah merespon positif terhadap guncangan GDP, dan merespon negatif terhadap guncangan return Mudharabah dan ekspektasi inflasi (baca gambar IV.21 di Lampiran). Guncangan pada GDP sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil oleh deposito Mudharabah pada periode ke-32 sebesar 4 persen. Guncangan pada tingkat return Mudharabah sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 3 persen. Sedangkan guncangan pada variabel ekspektasi inflasi sebesar satu standar deviasi mulai direspon stabil pada periode ke-24 sebesar 2 persen.

Response of LN_RTD to Cholesky One S.D. IDEP Innovation .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5

Response of LN_RINVEST_MUDHARABAH to Cholesky One S.D. RM Innovation

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar IV.14. Respon Permintaan Deposito terhadap Guncangan Return-nya (Konvensional terhadap Suku Bunga dan Islam terhadap Return Mudharabah)

Apabila dibandingkan bersebelahan (baca gambar IV.14) terlihat bahwa suku bunga memberikan pengaruh positif terhadap permintaan deposito konvensional, sedangkan return

Mudharabah memberikan pengaruh negatif terhadap permintaan deposito Mudharabah (Islam).

76

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

b. Analisis Variance Decomposition untuk Deposito

Permintaan DEPOSITO (Konvensional) 100 90 80 70 60 50 40 1 12 LN_RTD 24 LN_RGDP IDEP 36 EXP_INF 48

Permintaan INVESTASI MUDHARABAH (Syariah) 100 90 80 70 60 50 40 1 12 24 LN_RGDP 36 RM 48 EXP_INF LN_RINVEST_MUDHARABAH

Gambar IV.15. Variance Decomposition Deposito (Konvensional dan Islam)

Hasil analisis variance decomposition untuk deposito konvensional (baca gambar IV.15 kiri) menunjukkan bahwa pada periode pertama variabilitas nilai deposito dapat dijelaskan oleh deposito itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode ke-12 sampai periode ke-48, kontribusi rata-rata deposito dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito itu sendiri hanya sebesar 51.4 persen. Pada periode ke-12 sampai ke-48, variabel yang dominan kedua dalm menjelaskan variabilitas nilai deposito adalah variabel suku bunga. Kontribusi rata-ratanya sendiri sebesar 29.3 dalam menjelaskan fluktuasi deposito. Variabel GDP merupakan variabel dominan ketiga dalam menjelaskan variabilitas nilai deposito, sedangkan variabel ekspektasi inflasi tidak dominan dalam menjelaskan nilai deposito. Hasil analisis variance decomposition untuk deposito Mudharabah (baca gambar IV.15 kanan) menunjukkan bahwa pada periode pertama variabilitas nilai deposito Mudharabah dapat dijelaskan deposito Mudharabah itu sendiri sebesar 100 persen. Pada periode ke-12 sampai periode ke-48, kontribusi rata-rata deposito Mudharabah dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito Mudharabah itu sendiri sebesar 92.3 persen. Pada periode ke-12 sampai ke-48, variabelvariabel lainnya kurang dapat memberikan kontribusi dalam menjelaskan fluktuasi nilai deposito

Mudharabah.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

77

V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI V.1 Kesimpulan


Pada Negara yang menerapkan sistem keuangan/perbankan ganda (konvensional dan Islam), otoritas moneter mempunyai tanggung jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta mensinergikan ke dua sistem untuk mengoptimalkan keuntungan bagi kesejahteraan masyarakat. Sinergi ke dua sistem ini harus menjaga esensi dan karakteristik masing-masing, dan tidak meleburkan salah satu system ke system yang lain, untuk mencapai harmonisasi yang berkessinambungan yang memastikan stabilitas system keuangan, mempercepat aktivitas ekonomi di sector riil, dan meningkatkan kesejahteraan yang merata. Tiga pilar utama yang membedakan sistem moneter konvensional dan sistem moneter Islam adalah sistem uang fiat vs. sistem uang Islam, fractional reserve banking system vs. 100

percent reserve banking system, dan sistem bunga vs. sistem bagi hasil. Pada sistem moneter
ganda kontemporer, hanya sistem bunga vs. sistem bagi hasil yang membedakan ke dua sistem moneter tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa return bagi hasil (Mudharabah) berpengaruh negatif terhadap permintaan semua komponen uang Islam (uang kartal, giro Wadiah, tabungan

Mudharabah, dan deposito Mudharabah). Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa


permintaan uang Islam lebih cepat stabil dari pada permintaan uang konvensional dalam merespon guncangan dari variabel-variabel lain. Dalam permintaan uang konvensional, suku bunga mempunyai pengaruh yang besar pada perilaku permintaan uang kartal (20%-29%), sedangkan dalam permintaan uang Islam, return Mudharabah hampir tidak mempunyai pengaruh pada perilaku permintaan uang Islam. Permintaan uang konvensional secara umum menunjukkan perilaku motif untuk transaksi dan berjaga-jaga (uang kartal, giro, dan tabungan), serta perilaku motif untuk spekulasi/ investasi (deposito). Sedangkan, permintaan uang Islam secara umum hanya menunjukkan perilaku motif untuk transaksi dan berjaga-jaga saja. Temuan lainnya adalah bahwa ternyata tabungan di Indonesia memiliki karakteristik seperti giro yang digunakan untuk keperluan transaksi, sehingga tabungan seharusnya dimasukkan dalam definisi M1 dan dikeluarkan dari definisi M2.

V.2 Rekomendasi
Otoritas moneter harus secara bertahap mengubah mindset cara pandang mereka dari operasi moneter konvensional ke operasi moneter ganda, dan mulai memikirkan kemungkinan penggunaan return Syariah sebagai acuan policy rate kebijakan tingkat

78

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

pengembalian untuk dapat mencapai tujuan utama dalam memaksimalkan kesejahteraan masyarakat yang merata dan keadilan, serta meminimalkan inefisiensi. Perlu dilakukannya kajian-kajian lanjutan tentang sinergi sistem moneter ganda dan bagaimana memaksimalkan kelebihan system ketika diimplementasikan, serta pengembangan operasional instrumen kebijakan moneter ganda yang sesuai dan dapat mengoptimalkan kelebihan system moneter ganda. Selain itu, perlu juga dilakukan kajian-kajian mendalam tentang system uang fiat vs. system uang Islam dan fractional reserve banking system vs. 100 percent reserve banking system, untuk membuktikan bahwa system keuangan Islam yang comprehensive bekerja lebih baik dari pada system keuangan Islam kontemporer dalam mencapai kesejahteraan masyarakat yang merata dan keadilan.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

79

Daftar Pustaka

Achsani, N.A., Oliver H., dan Hizir S. (2005), Econometric and Fuzzy Modelling of Indonesian Money Demand, dalam: Cizek, Pavel, Wolfgang H., and Rafal W. Statistical Tools For Finance

and Insurance, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, Germany.


Ascarya (2007), Optimum Monetary Policy under Dual Financial/Banking System, Paper, Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) Islamic Economics Conference (IECONS 2007), Kuala Lumpur, Malaysia, 17-19 Juli. Astiyah, S. dan D.F. Anugrah (2006), Kebijakan Moneter Tepadu dalam Dual Banking System,

Working Paper, Jakarta, Indonesia: Biro Riset Ekonomi, Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter, Bank Indonesia. Chapra, M.U. (1996), Monetary Management in Islamic Economy, Islamic Economic Studies, Vol.4, No.1. Darrat, A.F. (2000), On The Efficiency of Interest-free Monetary System: A Case Study, Paper, ERFs Seventh Annual Conference, Amman-Jordan, 26-29 Oktober. Fardmanesh, M. dan S.A. Siddiqui (1994), Financial Instability and a Share Economy, Eastern

Economic Journal, USA, Winter 1994, pp. 75-84.


Hasanah, Heni, Ascarya dan N.A. Achsani (2008), Perilaku Agregat Moneter dalam Sistem Keuangan/Perbankan Ganda di Indonesia, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol.23, No.1 Januari 2008. Forthcoming Izhar, H. dan Asutay, M. (2007), The Controllability and Reliability of Monetary Policy in Dual Banking System: Evidence from Indonesia, Paper, International Islamic University Malaysia (IIUM) International Conference on Islamic Banking and Finance (IICiBF), Kuala Lumpur, Malaysia, 23-25 April. Kaleem, A. (2000), Modeling Monetary Stability under Dual Banking System: The Case of Malaysia. International Journal of Islamic Financial Services, Vol. 2, No. 1. Khan, M. (1986), Islamic Interest Free Banking, IMF Staff Papers, Vol.33, No.1, pp. 1-27. Kia, A. (2001), Interest-free and Interest-bearing Money Demand: Policy Invariance and Stability, Paper, Department of Economics, Emory University, Atlanta. Mankiw, N.G. (2003), Teori Makroekonomi, terjemahan, Erlangga, Jakarta. Meera, A.K.M. (2004), The Theft of Nations: Returning to Gold, Selangor, Malaysia: Pelanduk Publications.

80

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Mishkin, F.S. (2001), The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, Colombia University. Ryandono, M.N.H. (2006), Mempertanyakan Kebenaran Paradigma Hubungan Bunga, Investasi (Kredit), dan Pertumbuhan Ekonomi: Haramnya Sistem Bunga (Riba) Secara Teoritik dan Empirik. Paper. Dipresentasikan pada Seminar dan Kolokium Nasional, ITB. Bandung, Indonesia: SBM-ITB, September. Sakti, A. (2007), Sistem Ekonomi Islam: Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern, Paradigma & Aqsa Publishing, Jakarta. Zangeneh, H. (1995), A Macroeconomic Model of an Interest-free System, The Pakistan

Development Review, Vol.34, No.1, pp. 55-68.

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

81

LAMPIRAN

Tabel Lampiran IV.1. Hasil Pengujian Akar Unit


Variabel LN_RCURRENCY LN_RDD LN_RSD LN_RTD LN_RWADIAH LN_RSAV_MUDHARABAH LN_RINVEST_MUDHARABAH LN_RGDP EXP_INF IDEP RM Nilai ADF Level -3.192561 -2.841324 -1.431788 -0.630974 -2.583077 -1.931544 -0.652513 -1.291937 -4.353697 -2.617818 -1.821981 1st Difference -4.686571 -4.862425 -3.163332 -4.434394 -5.247550 -3.265039 -2.832839 -2.568569 -7.525936 -2.376054 -6.917242 Nilai Kritis McKinnon 5 % Level -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 -3.476275 1st Difference -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669 -1.945669

Tabel Lampiran IV.2. Hasil Pengujian Lag Optimal (Model Konvensional)


Lag 0 1 2 3 4 5 LN_RCURRENCY -4.353199 -6.512108 -7.512774 -7.567549* -6.899432 -6.742715 LN_RDD -5.093219 -7.091669 -7.771428 -7.916464* -7.492724 -7.496237 LN_RSD -6.088690 -8.212920 -9.098839 -9.367432* -9.133450 -8.989849 LN_RTD -6.172428 -8.146018 -9.044000 -9.106017* -8.421906 -8.595646

Tabel Lampiran IV.3. Hasil Pengujian Lag Optimal (Model Islam)


Lag 0 1 2 3 4 5 LN_RCURRENCY -1.613846 -2.418921 -3.400025* -3.161683 -2.571215 -2.470653 LN_RWADIAH 0.066684 -0.354656 -1.026714* -0.826588 -0.163521 -0.122472 LN_RSAV_MU DHARABAH -0.871877 -1.325949 -2.118458* -1.893530 -1.281218 -1.166358 LN_RINVEST_MU DHARABAH -1.603561 -2.100949 -2.892165* -2.686452 -2.022378 -2.044016

82

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Tabel Lampiran IV.4. Hasil Pengujian Kointegrasi (Konvensional)


Trace Statistics
Model H0 H1 LN_RCURRENCY LN_RDD LM1ISLR LM2ISLR 5 % critical value r=0 r>=1 53.41750 56.81861 62.70716 55.49325 39.89 r<=1 r>=2 21.14002 21.99543 21.54275 24.28946 24.31 r<=2 r>=3 10.54684 9.736220 8.663544 8.422019 12.53 r<=3 r>=4 3.623332 2.859469 2.158515 2.341894 3.84

Tabel Lampiran IV.5. Hasil Pengujian Kointegrasi (Islam)


Trace Statistics
Model H0 H1 LN_RCURRENCY LN_RWADIAH LN_RSAV_MUDHARABAH LN_RINVES T_MUDHARABAH 5 % critical value r=0 r>=1 59.65586 50.87617 50.56683 63.37379 39.89 r<=1 r>=2 22.32436 18.41788 19.51537 25.11901 24.31 r<=2 r>=3 7.336443 4.714071 7.886067 12.63209 12.53 r<=3 r>=4 1.724978 1.315290 3.600525 3.669596 3.84

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

83

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RCURRENCY to LN_RCURRENCY .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RCURRENCY to LN_RGDP

Response of LN_RCURRENCY to IDEP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10

Response of LN_RCURRENCY to EXP_INF

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.8. Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RCURRENCY to LN_RCURRENCY .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RCURRENCY to LN_RGDP

Gambar Lampiran IV.9. Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

84

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of LN_RCURRENCY to RM .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10

Response of LN_RCURRENCY to EXP_INF

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.9. (lanjutan) Respon Permintaan Uang Kartal terhadap Guncangan Variabel PDB, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RDD to LN_RDD .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RDD to LN_RGDP

Response of LN_RDD to IDEP .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02

Response of LN_RDD to EXP_INF

10

15

20

25

30

35

40

45

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.12. Respon Permintaan Giro Konvensional terhadap Guncangan Variabel GDP, Expektasi Inflasi, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

85

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RWADIAH to LN_RWADIAH .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RWADIAH to LN_RGDP

Response of LN_RWADIAH to RM .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10

Response of LN_RWADIAH to EXP_INF

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.13. Respon Permintaan Giro Wadiah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RSD to LN_RSD .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RSD to IDEP

Gambar Lampiran IV.16. Respon Saving Deposit terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi

86

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of LN_RSD to LN_RGDP .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .05 .04 .03 .02 .01 .00 -.01 -.02 -.03 5 10

Response of LN_RSD to EXP_INF

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.16. (lanjutan) Respon Saving Deposit terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RSAV_MUDHARABAH to LN_RSAV_MUDHARABAH .15 .15 Response of LN_RSAV_MUDHARABAH to LN_RGDP

.10

.10

.05

.05

.00

.00

-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45

-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Response of LN_RSAV_MUDHARABAH to RM .15 .15

Response of LN_RSAV_MUDHARABAH to EXP_INF

.10

.10

.05

.05

.00

.00

-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45

-.05 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Gambar Lampiran IV. 17. Respon Tabungan Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

Perilaku Permintaan Uang dalam Sistem Moneter Ganda di Indonesia

87

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RTD to LN_RTD .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RTD to IDEP

Response of LN_RTD to LN_RGDP .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .024 .020 .016 .012 .008 .004 .000 5 10

Response of LN_RTD to EXP_INF

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.20. Respon Deposito Konvensional terhadap Guncangan Variabel GDP, Expected Inflation, dan Suku Bunga Sebesar Satu Standar Deviasi

Response to Cholesky One S.D. Innovations


Response of LN_RINVEST_MUDHARABAH to LN_RINVEST_MUDHARABAH .20 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 .20 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Response of LN_RINVEST_MUDHARABAH to LN_RGDP

Gambar Lampiran IV.21. Respon Deposito Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

88

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

Response of LN_RINVEST_MUDHARABAH to RM .20 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5 10 15 20 25 30 35 40 45


.20 .16 .12 .08 .04 .00 -.04 5

Response of LN_RINVEST_MUDHARABAH to EXP_INF

10

15

20

25

30

35

40

45

Gambar Lampiran IV.21. (lanjutan) Respon Deposito Mudharabah terhadap Guncangan Variabel GDP, Ekspektasi Inflasi, dan Return Mudharabah Sebesar Satu Standar Deviasi

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima, TETAP menjadi hak penulis. 2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial sebesar Rp 1.000.000,- s.d. Rp 3.000.000,-. 3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:


bemp_bi@yahoo.com Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan melalui pos ke alamat redaksi berikut: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2 Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394 4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan ukuran font 12. 5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation. 6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan sebaliknya. 7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.acaweb.org/journal/


jel_class_system.html. 8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

90

Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2008

I. JUDUL BAB I.1. Sub Bab I.1.1. Sub Sub Bab


9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote. 10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku: John E. Hanke dan Arthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New , Jersey. b. Artikel dalam jurnal: Rangazas, Peter. Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with Human Capital, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416. c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K. Empirical Research on Nominal Exchange Rates, dalam Gene Grossman dan Kenneth Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995, hal. 397-416. d. Kertas kerja (working papers): Kremer, Michael dan Chen, Daniel. Income Distribution Dynamics with Endogenous . Fertility. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper No.7530, 2000. e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, John. Can Parental Decision Explain . U.S. Income Inequality?, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999. f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, Robert dan Heston, Alan , W. Penn World Table, Version 5.6http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997. g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon. Killed by Kindness, Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.
11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk CV (curriculum vitae) lengkap.

You might also like