You are on page 1of 38

LAPORAN KIMIA V

HIDROLISIS METIL SALISILAT DALAM MINYAK GONDOPURO

Disusun oleh : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Sari Pratiwi Setyo Rini Utomo Siska Yulyana T. Siti Khumairoh Sri Handayani Suprihatin Tyas Ayu E. Wawan Prasetyo Wilda Khumairoh J2C 008 064 J2C 008 065 J2C 008 066 J2C 008 067 J2C 008 068 J2C 008 069 J2C 008 073 J2C 008 098 J2C 008 099

Asisten : 1. Nadiyah J2C 607 009

2. Veronika Adelina

J2C 007 047

JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010 HALAMAN PENGESAHAN

Semarang, 4 Januari 2011

Praktikan,

Sari Pratiwi J2C 008 064

Setyo Rini Utomo J2C 008 065

Siska Yulyana T. J2C 008 066

Siti Khumairoh

Sri Handayani

Suprihatin

J2C 008 067

J2C 008 068

J2C 008 069

Tyas Ayu E. J2C 008 073

Wawan Prasetyo J2C 008 098

Wilda Khumairoh J2C 008 099

Mengetahui, Asisten 1, Asisten 2,

Nadiyah J2C 607 009

Veronika Adelina J2C 007 047

ABSTRAK Telah dilakukan percobaan hidrolisis metil salisilat dalam minyak gondopuro yang bertujuan untuk menentukan reaksi hidrolisis metil salisilat dengan katalis basa. Prinsip percobaan ini adalah reaksi hidrolisis ester dengan

menggunakan NaOH sebagai katalis basa. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah metode refluks, kristalisasi dan rekristalisasi. Metil salisilat yang terdapat dalam minyak gondopuro akan membentuk garam natrium salisilat saat direaksikan dengan NaOH yang kemudian akan membentuk asam salisilat saat direaksikan dengan H2SO4. Asam salisilat yang diperoleh merupakan kristal putih dengan bentuk kristal kecil, rapuh dan banyak sebesar 2,06 gram dengan rendemen prosentase sebesar 36,14 % dan titik lelehnya sebesar 157 0C.

Kata kunci : asam salisilat, hidrolisis ester, minyak gondopuro

PERCOBAAN II

HIDROLISIS METIL SALISILAT DALAM MINYAK GONDOPURO

I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Menentukan reaksi hidrolisis metil salisilat dengan katalis basa.

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Wintergreen Tanaman gondopuro (Wintergreen) termasuk family Euaceae. Tanaman ini mempunyai daun berwarna hijau dan harum, batangnya merambat, tangkai cabangnya licin dan tingginya lebih dari 6 inci, serta dibagian pucuk terdapat kelopak daun yang berwarna hijau tua dan mengkilat serta dibagian bawah lebih terang (Ketaren, 1985). 2.2 Minyak Gondopuro (Wintergreen) Minyak gondopuro dahulu dikenal dengan nama minyak wintergreen, diperoleh dari daun dan gagang tanaman gondopuro (Gaultheria sp.) melalui proses penyulingan uap. Kandungan utamanya yaitu metil salisilat (98%). Minyak gondopuro jernih, baunya khas aromatik, dan memiliki rasa manis pedas (Ketaren, 1985). 2.3 Taksonomi Gondopuro

Familia Sinonim Sumatera Jawa 1985).

: Maluaceae : Hibiscus Albemaschus L. : Gondopuro, Kapas Sadeli : Hakapasan, Kaworo, Wanan Kastapa, Bukal (Ketaren,

2.4 Sifat Fisik dan Kimia Minyak Gondopuro (Wintergreen) Bentuk fisik : cairan Rasanya agak manis Baunya khas

Berat molekulnya 152,15 gmol-1 Warnanya kuning bening Titik didih = 223 0C, titik lebur = 8,6 0C Berat jenis 1,18-1,184 Dapat menurunkan panas (Hembing, 1996).

2.5 Kandungan Kimia Gondopuro a. Daun kering


b. Bunga c. Batang

: -sitosterol, -aglikosida : -sitosterol, minoetin, glikosida : 2-chealin, plavara tidyl serin, plasmalogen, phospatydyl

(Ketaren, 1985). 2.6 Hidrolisis Hidrolisis merupakan proses penguraian senyawa oleh air yang menghasilkan asam dan basanya kembali. Hidrolisis ada dua macam yaitu: a. Hidrolisis parsial, hanya salah satu ion saja yang mengalami reaksi hidrolisis
b. Hidrolisis total, seluruh ionnya mengalami reaksi hidrolisis (Fessenden,

1999). 2.6.1 Hidrolisis Asam Esterifikasi asam karboksilat dengan alkohol merupakan reaksi reversibel. Bila asam karboksilat diesterkan, digunakan alkohol berlebih. Untuk membuat reaksi kebalikannya, yaitu hidrolisis berkataliskan asam dari ester menjadi asam karboksilat, digunakan air berlebih. Kelebihan air akan menggeser kesetimbangan ke arah sisi asam karboksilat. Reaksi hidrolisis:
O C OCH 3 O

H2O

C OH

CH3OH

Metil benzoat

air berlebih

asam benzoat

metanol

Mekanisme hidrolisis ester:


O R C OR' OH O OR' R C OH

H2O

H+

C OH

+ HOR'

Ester (Fessenden, 1999) 2.6.2 Hidrolisis Basa (Penyabunan / Saponifikasi) Hidrolisis ester dalam basa merupakan reaksi irreversibel, menghasilkan asam karboksilat dan alkohol dengan rendemen yang lebih baik daripada hidrolisis asam. Oleh karena reaksi berlangsung dalam suasana basa, hasil penyabunan adalah garam karboksilat. Tahap I (Adisi OH-, lambat)
R C OR' O O R C OH OR'

+ -OH

O R C OH OR' R

O C OH

+ OR'

O-

+ HOR'

Tahap II (Eliminasi OR dan Transfer Proton, Cepat)

(Fessenden, 1999) 2.7 Asam Salisilat Asam salisilat merupakan bahan dasar pembuatan metil salisilat dari aspirin. Kegunaannya yaitu sebagai obat sakit kepala, menurunkan panas, penghilang nyeri, sakit syaraf, dan sakit tenggorokan. Reaksi pembuatan aspirin:

O O OH H 3C C O CH 3 C O C OCH 3

+
COOH

+ CH3COOH
COOH

Asam salisilat

asam asetat anhidrin

aspirin (Fessenden, 1999)

2.8 Metil Salisilat Metil salisilat dapat dibuat melalui esterifikasi asam salisilat. Metil salisilat merupakan turunan asam salisilat dengan jalan memanaskan metanol dengan asam salisilat atau dengan mencampurkan asam sulfit dengan distilasi dari sisa tumbuhan menjalar atau kulit pohon batula lerda. Strukturnya:
OH

O C O CH 3

Bobot molar = 159,29 gmol-1 Indeks bias Titik leleh Titik didih = 1,535-1,538 = -8,3 0C = 159 0C (Budaveri, 1989).

2.9 Kegunaan Metil Salisilat Sebagai obat-obatan Parfum Flavouring Pelarut untuk derivat selulosa

Tinta copy, printing (Ketaren, 1985).

2.10 Esterifikasi Esterifikasi atau pengesteran merupakan reaksi pembentukan ester dengan cara merefluks campuran asam organik dengan alkohol. Proses esterifikasi ini merupakan reaksi kesetimbangan sehingga untuk menghasilkan produk yang optimal maka salah satu produk harus dikurangi jumlahnya, yaitu H2O sehingga jumlah ester yang didapatkan menjadi lebih banyak (Fessenden, 1999). 2.11 Refluks Refluks adalah suatu metode untuk mencampurkan dua zat atau senyawa dengan cara pemanasan tanpa adanya senyawa yang hilang. Refluks dilakukan dengan mendidihkan cairan dalam wadah yang disambung dengan kondensor sehingga cairan yang teruapkan akan mengembun kembali ke wadah. Keuntungan proses refluks, antara lain:

Alat yang digunakan relatif sederhana Hasil reaksi tidak terbuang (Wilcox, 1995).

2.12 Kristalisasi 2.12.1 Pengertian Merupakan metode pemurnian dengan cara pembentukan kristal sehingga campuran dapat dipisahkan. Suatu gas atau cairan dapat mendingin atau memadat serta membentuk kristal karena proses kristalisasi. Kristal-kristal dapat terbentuk dari larutan yang dijenuhkan dengan pelarut tertentu. Makin besar kristal, maka makin baik karena makin kecil cemaran pengotornya (Arsyad, 2001). 2.12.2 Tahap-Tahap Kristalisasi a. Melarutkan zat dalam pelarut panas
b. Menyaring larutan panas untuk menghilangkan pengotor

c. Mendinginkan larutan dan mengendapkan kristalnya

d. Menyaring larutan dingin untuk memisahkan kristal dari larutan panas

e. Mencuci kristal untuk menghilangkan pelarut yang melekat


f. Mengeringkan kristal untuk menghilangkan sisa pelarut (Wilcox, 1995).

2.12.3 Proses Kristalisasi a. Cara Pendinginan Berlaku untuk zat yang memiliki perubahan daya larut besar terhadap perubahan suhu b. Cara Penguapan Untuk larutan yang mempunyai daya larut kecil terhadap perubahan suhu c. Adiabatik Penggabungan cara penguapan dan pendinginan d. Salting Out Dilakukan dengan penambahan zat baru ke dalam larutan yang bertujuan menurunkan daya larut solven terhadap solute pada temperatur itu (Cahyono, 1991). 2.12.4 Faktor yang Mempengaruhi Kristalisasi a. Temperatur Meningkatnya temperatur, maka kristal sulit terbentuk b. Konsentrasi Konsentrasi besar maka kristal sulit terbentuk c. Tekanan

Tekanan mempengaruhi konsentrasi d. Ion Sejenis Kelarutan meningkat sehingga kristal sulit terbentuk e. Luas Permukaan Kristal f. Derajat Lewat Jenuh g. Jenis dan Banyaknya Pengotor
h. Viskositas Larutan (Wilcox, 1995).

2.12.5 Faktor Terbentuknya Kristal


a. Pembentukan Inti Kristal

Inti kristal adalah partikel-partikel kristal yang amat kecil yang terbentuk spontan akibat larutan lewat jenuh. b. Pertumbuhan Kristal

Transportasi molekul dari bahan yang dikristalkan Penempatan molekul pada kristal (Wilcox, 1995).

2.12.6 Pengaruh Penurunan Suhu pada Kristalisasi a. Bila penurunan suhu cepat, maka kecepatan pertumbuhan inti lebih cepat dari kecepatan pertumbuhan kristal, maka kristalnya kecil, rapuh, dan banyak.

b. Bila penurunan suhu perlahan, kecepatan pertumbuhan kristal lebih cepat dari pertumbuhan inti, maka kristalnya besar, liat, dan elastis.

(Austin, 1986) 2.13 Pemilihan Pelarut untuk Kristalisasi a. Pelarut hanya melarutkan zat yang akan dimurnikan b. Pelarut harus mempermudah pengeringan kristal c. Mudah dihilangkan dari kristal
d. Tidak bereaksi dengan senyawa yang dimurnikan (Wilcox, 1995).

2.14 Rekristalisasi 2.14.1 Pengertian Rekristalisasi merupakan metode pemurnian kristal dari pengotorpengotornya. Campuran yang akan dimurnikan dilarutkan dalam pelarut yang bersesuaian pada temperatur yang dekat dengan titik didihnya. Selanjutnya untuk

memisahkan pengotor dari zat yang diinginkan, dilakukan penyaringan dan diteruskan dengan pendinginan sampai terbentuk kristal (Cahyono, 1991). 2.14.2 Tahap-Tahap Rekristalisasi a. Melarutkan zat pada pelarut panas b. Melakukan filtrasi gravity c. Mengambil kristal zat terlarut
d. Mengumpulkan kristal dengan filtrasi vakum e. Mengeringkan kristal (Fessenden, 1999).

2.14.3 Pemilihan Pelarut untuk Rekristalisasi a. Pelarut hanya melarutkan zat yang dimurnikan b. Memiliki titik didih rendah
c. Inert terhadap zat yang akan dimurnikan (Cahyono, 1991).

2.15 Penentuan Titik Leleh Titik leleh suatu zat padat adalah temperatur dimana fase padat dan fase cair dalam keadaan setimbang. Pada titik lelehnya, tekanan udara fasa padat sama dengan tekanan udara fasa cairnya. Suatu senyawa yang tidak murni biasanya akan memiliki titik leleh lebih rendah dari senyawa murni akibat penurunan tekanan udara (Budaveri, 1989). 2.16 Faktor yang Mempengaruhi Ketidakmurnian Sampel Trayek titik leleh Jarak titik leleh cukup besar Senyawa murni mengalami dekomposisi sebelum titik leleh tercapai Ukuran padatan Jumlah sampel

Kecepatan pemanasan (Budaveri, 1989).

2.17 Titik Leleh Titik leleh dicapai saat molekul pecah dan padatan berubah menjadi cair. Senyawa kristal murni biasanya memiliki titik leleh tajam yaitu meleleh pada suhu yang sangat rendah. Adanya sedikit kotoran yang terlarut dalam kristal dapat menurunkan maupun menaikkan titik leleh (Wilcox, 1995). 2.18 Uji Kemurnian Uji kemurnian dilakukan setelah proses kristalisasi dan rekristalisasi dengan terbentuknya suatu kristal yang dihasilkan benar-benar murni, maka dalam hal ini dapat ditambahkan FeCl3. Apabila setelah ditetesi FeCl3 kristal yang dilarutkan berwarna ungu, maka kristal tidak murni. Hal ini disebabkan kontaminasi akibat pengotor-pengotor yang masih terdapat dalam kristal. Sedangkan bila tidak berwarna ungu, maka kristal tersebut dikatakan murni (Khopkar, 1990).
2.19 Persiapan dan Investigasi Asam Asetil Salisilat Glutamat Asam

Kompleks : Sistem Pengiriman Novel Lisan Asetil salisilat asam dan kompleks asam glutamat disiapkan oleh bekuteknik pengeringan untuk sistem drug delivery novel oral. Pembentukan sebuah kompleks tipe ion antara asetil asam salisilat dan glutamat dalam perbandingan molar 1:1. In-vitro pembubaran pengujian kompleks yang terbentuk. Kompleks dianalisis dengan menggunakan differensial scanning kalorimetri (DSC), mikroskop elektron, magnet inti 1H resonansi (1H NMR), spektrometri massa dan transformasi Fourier inframerah (FTIR). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya pelarutan lengkap dari kompleks dalam waktu sepuluh menit. Pengaruh kompleks pada jaringan mukosa lambung menunjukkan bahwa epitel mukosa tampak normal (utuh) tanpa perubahan apapun (Fouad, 2009). 2.20 Sintesis dan Degradasi Karakteristik Asam Salisilat dari Polimer (Anhidrida Ester)

Sintesis dan degradasi karakteristik asam salisilat yang diturunkan dari poli (anhidrida ester) bertujuan untuk menggambarkan sintesis asam salisilat dari poli (anhidrida ester). Prinsip dasar penelitian adalah sintesis asam salisilat dari poli (anhidrida ester) pada gugus aromatik asam salisilat. Metode yang digunakan adalah kristalisasi dan rekristalisasi. Alkil dari asam salisilat dihubungkan dengan ikatan ester pada gugus aromatik. Hasil dari sintesis asam salisilat tergantung pada pH yang digunakan. Hal ini disebabkan proses pembentukannya dilakukan dengan hidrolisis asam salisilat (Erdmann et al, 2000).

2.21 Sintesis dan Aktivitas Anti-inflamasi Asam salisilat Novel dan Diflunisal Amida Derivatif Tujuan dari penelitian ini untuk sintesis serta menguji aktivitas anti inflamasi pada novel asam salisilat dan derivat diflunisal amida. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah sintesis, refluks, serta kristalisasi dan rekristalisasi. Sintesis senyawa melalui reaksi dengan dicyclohexylcarbodimide (DCC) sebagai reagen kopling dalam diklorida metilen . Konversi aspirin anhidrid untuk N (2 Thiazolyl) acetylsalicylamide, N(5Methyl2thiazolyl) N(5Methyl3isooxazolyl)acetyl salicylamide, N(5 pada perlakuan dengan acetyl salicylamide,

Methylthio2(1,3,4thiadiazolyl)Acetylsalicylamide

berbagai cincin heterosiklik amino tersubstitusi . Hasil yang disajikan pada bagian farmakologimenunjukkan bahwa senyawa 25 yaitu 5(2,4Difluorophenyl)N (5methylthio2(1,3,4thiadiazolyl)-salicylamide dalam seri novel memiliki Pengamatan aktivitas anti inflamasi tanpa atau diabaikan ulcerogenik.

menunjukkan selektivitas untuk menghambat COX2 (Muhi-eldeen et.al, 2009).

2.22 Optimalisasi Reaktor Kavitasi Hidrodinamika Menggunakan Dosimetri Asam Salisilat Pada penelitian yang berjudul Optimalisasi Reaktor Kavitasi

Hidrodinamika Menggunakan Dosimetri Asam Salisilat bertujuan untuk

memaksimalkan tingkat generasi radikal hidroksil. Prinsip yang digunakan adalah asam salisilat sebagai dosimeter. Metode yang digunakan adalah reaktor kavitasi hidrodinamik. Alat yang digunakan dalam percobaan ini adalah reaktor kavitasi hidrodinamika, kromatografi cair (HPLC; Waters). Bahan yang digunakan adalah asam salisilat dan air. Hasilnya terhadap pengaruh konsentrasi asam salisilat: ketika air terkena kavitasi hidrodinamika hidrogen untuk obligasi oksigen pecah mengakibatkan pembentukan hidroksil radikal dan atom hidrogen. Keberadaan asam salisilat yang hidroksil radikal terperangkap membentuk asam 2,3dihydroxybenzoic dan asam 2,5-dihydroxybenzoic. Reaksi: H2O HO +H (1)

(2) Asam salisilat dosimetri telah digunakan secara efektif untuk mengkuantifikasi generasi radikal hidroksil dalam reaktor kavitasi hidrodinamik dan informasi penting yang terkait desain berikut dapat dibuat berdasarkan temuan penelitian ini: 1. Konsentrasi optimum asam salisilat direkomendasikan berdasarkan metode khusus untuk produksi radikal hidroksil karena tingkat menjebak dari radikal akan maksimal pada konsentrasi optimum asam salisilat. 2. Sebuah tekanan operasi kritis ada untuk generasi yang signifikan kavitasi intensitas untuk membawa proses kimia tentang aplikasi yang diinginkan: peningkatan ini melebihi nilai operasi tekanan yang menguntungkan ( hingga maksimum 4000 psi yang digunakan dalam penelitian ini).

3. Nozel dengan luas daerah aliran sedikit adalah yang paling efektif dalam produksi radikal hidroksil. Untuk lubang dengan daerah aliran serupa, yang satu dengan lapisan geser yang lebih besar daerah yang ditemukan menjadi lebih efektif.
4. Penggunaan kombinasi ultrasonik bersama dengan hidrodinamik

kavitasi menghasilkan peningkatan marginal dalam hidroksil generasi radikal dan jarak yang optimal juga ada dimana manfaat maksimal diperoleh. Efek yang diperoleh juga tergantung pada tekanan operasi dan disarankan bahwa pekerjaan lebih lanjut dilakukan pada desain kavitasi ganda reaktor untuk pemilihan kombinasi yang paling efisien dan strategi (Amin et.al, 2009).

2.23 Peran Asam Salisilat Dalam Pertahanan Tomat Terhadap Serangan

Kapas Armigera, Helicoverpa armigera Hubner Telah dilakukan suatu percobaan yang berjudul Peran Asam salisilat dalam pertahanan Tomat terhadap seraagan Kapas Armigera, Helicoverpa armigera Hubner, tujuan dari percobaan ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh penambahan asam salisilat pada tanaman tomat. Metode yang digunakan dalam percobaan ini adalah FT-IR. Prinsip dari percobaan ini adalah penambahan suatu reagen sehingga dapat memberikan hasil yang positif terhadap pengaruh asam salisilat pada tomat. Dari percobaan diperoeh bahwa asam salisilat memainkan peranan dalam hal transduksi sinyal dalam resistensi tomat, namun kemampuan asam salisilat dipengaruhi oleh kerja gen PR1 dan BGL2 (Jinying et.al, 2004).

2.24 Peran Asam salisilat dalam Macrophyte (Typha angustifolia L.) Adaptasi Nitrat Nitrogen Asam salisilat berpartisipasi dalam berbagai reaksi fisiologis tanaman. Tujuannya yaitu untuk mempelajari efek asam salisilat terhadap pertumbuhan,

produksi biomassa, produktivitas benih potensi dan lainnya karakteristik dalam (T. angustifolia L.) perairan macrophyte dalam kondisi polusi dengan nitrogen nitrat. Prinsipnya adalah mendeteksi bahwa jumlah nitrat menurun sehingga merangsang kualitas baik air alami dan meningkatkan diatom. Metode yang digunakan yaitu metode radiokarbon. Dalam biotop terbuka ganggang, biru-hijau terutama diitemukan bahwa asam salisilat diaktifkan produksi dibandingkan dengan ganggang hijau di kontrol. Mereka proporsi proses di macrophyte pada tingkat kenaikan adalah 98,6-99,5% dari jumlah dan 56,5-61,4% dari nitrat nitrogen. Dengan nitrogen nitrat (10 MAC) dalam air alam dapat merangsang pembentukan asam salisilat dari biotop ditumbuhi fraksi protein mengakibatkan stimulasi dan di bagian yg terletak di atas tanah proporsi-macrophyte pemulihan struktur fitoplankton. Kami juga menemukan bahwa pada tingkat komunitas ekologi, menegaskan bahwa asam salisilat dapat mengaktifkannya endo-dan asam salisilat berubah struktur phytoplankters. Dalam proses exometabolic yang dapat mengubah kimia perairan terbuka (tanpa tumbuhan) efek ini tidak komunikasi antara hydrobionts. Hasil hidrokimia menunjukkan bahwa penambahan nitrogen nitrat dalam jumlah yang tinggi asam salisilat untuk ditumbuhi biotop mengakibatkan (10 MAC) untuk air alami menghasilkan stimulasi penurunan konsentrasi nitrogen nitrat penyusunan ulang struktur fitoplankton sejak dalam air alami sampai nilai-nilai yang lebih pengaruh asam salisilat pada dan rezim hidrokimia. Sejumlah nitrat hidrokimia rezim melalui aktivasi metabolisme menurun sehingga merangsang berkualitas baik alam air dan meningkatkan diatom. Memperoleh hasil memberikan data baru pada mekanisme resistensi sistemik benda biologis. Hal ini mungkin untuk mengatakan sekarang pemanfaatan praktis dari asam salisilat dalam pengelolaan struktur organisme perairan. Selain itu, menjadi jelas bahwa asam salisilat dapat digunakan untuk mengatur air mekar melalui penghambatan ganggang biru-hijau (Anna et.al, 2010).

2.25 Karakterisasi dan Pertumbuhan Pelarut Asam Salisilat Makro-

Kristal yang Melibatkan Aliran Gas Nitrogen Asam salisilat merupakan salah satu biomolekul mengalami penelitian intensif karena merupakan minat yang besar untuk cakupan luas aplikasi. Tujuan dilakukan percobaan adalah untuk mendapatkan jarum-seperti makro-kristal asam salisilat dan mengetahui karakteristiknya. Prinsipnya adalah aliran gas nitrogen pada suhu di bawah suhu titik leleh organik majemuk. Metode yang digunakan adalah metode kristalisasi asli pelarut yang panas untuk tumbuh asam salisilat besar seperti jarum (SA) kristal 10-12 mm. Metode ini didasarkan pada pemanfaatan aliran nitrogen gaz pada asam salisilat bubuk selama pemanasan tepat di bawah temperatur leleh selama 24 jam asam salisilat menyediakan salah satu yang terbaik contoh zat farmasi yang digunakan untuk kosmetik yang sifat fisika dan kimia menunjukkan pembentukan ikatan hidrogen antara gugus hidroksil dan atom oksigen yang berdekatan dari molekul yang sama. Struktur kristal dikonfirmasikan oleh difraksi kristal tunggal sinar-X, itu adalah monoklinik, a = 4,93 (2) , b = 11.23 (5) , c = 11,56 (6) , = 90,77 (4) dengan grup ruang P21/c. Pembentukan macrocrystals menggunakan metode yang baru dan merupakan temuan yang menarik untuk berbagai macam aplikasi untuk dikembangkan di bidang bioteknologi dan Photonics. Hasil yang didapatkan adalah kristal asam salisilat (B. Menaa et.al, 2010).

2.26 Esterifikasi Asam Salisilat dengan Metanol / Dimetil Karbonat atas

Anion-diubah Oksida Logam Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui menentukan katalis yang baik dalam esterifikasi asam salisilat dalam modifikasi oksida logam.prinsip dari penelitian ini yaitu esterifikasi asam salisilat untuk salisilat metil atas asam padat seperti zirkonia, alumina dan silika dan sulfat mereka, fosfat dan borate bentuk modifikasi dalam autoclave di bawah kondisi autogenous menggunakan metanol dan dimetil karbonat untuk membandingkan kemampuannya dalam metilating. Oksida logam seperti zirkonia, alumina, dan silika serta sulfat, fosfat dan borat

bentuk modifikasi menjadi katalisator efektif untuk konversi asam salisilat untuk metil salisilat. Superasam zirkonia sulfat adalah katalis yang paling cocok karena hasil tinggi, selektivitas, usabilitas dan metode sederhana yang digunakan untuk pembuatan katalis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode BET. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah asterification asam salisilat menggunakan karbonat metanol dan dimetil, dapat disimpulkan bahwa metanol dapat digunakan untuk secara eksklusif esterifi asam salisilat untuk ester metil sudah berakhir oksida logam. meskipun karbonat dimetil adalah selektif dalam mengkonversi asam salisilat untuk metil salisilat, hasil rendah dan tidak menguntungkan dari segi ekonomi atom. demikian, oksida logam seperti alumina, silika, dan zirkonia serta mereka sulfat, fosfat dan borate bentuk diubah menjadi katalisator efektif untuk konversi asam salisilat untuk metil salisilat. situs asam menengah hingga kuat ditemukan bertanggung jawab untuk aktivitas katalitik katalis ini. dari nilai konstanta laju dan energi aktivasi, cukup jelas bahwa superasam, zirkonia sulfat, merupakan katalis yang baik untuk ini reaksi yang memiliki hasil tinggi, selektivitas, usabilitas dan metode sederhana penyusunan katalis. persentase metil salisilat ditemukan lebih tinggi ketika metanol digunakan sebagai agen methylating atas katalis ini bukan karbonat dimetil. Oleh karena itu, metanol tampaknya menjadi agen methylating lebih baik dibandingkan dengan dimethyl karbonat dari segi hasil maupun ekonomi atom. Temperatur Pengaruh reaksi, jumlah katalis, lama reaksi dan perbandingan molar asam salisilat: metanol / karbonat dimetil telah dipelajari lebih zirkonia sulfat (Joyce et.al, 2007).

2.27 Penyusunan Metil Benzoat dan Metil Salisilat pada Kolom Silika Gel Pada percobaan ini bertujuan untuk menganalisis penyusunan metil benzoat dan metil salisilat pada silika gel. Sebuah penyelidikan asam katalis asterifikasi asam benzoat dan asam salisilat dengan metanol pada silika gel sistem pendukung yang sulit dilakukan. Metode ini melibatkan penyulingan terusmenerus atau refluks alkohol di atas kemasan kolom. Metode konvensional esterifikasi juga dilakukan untuk menilai keuntungan dari matode kolom dikemas

pada hasil yang lebih baik dan lebih mudah bekerja uap prosedur. Metode diubah meminimalkan panjang dan rumit kerja uap yang terkait dengan metode konvensional. Prinsip dalam metode ini adalah reaksi esterifikasi. Meskipun hasil yang diperoleh dari metode kolom dikemas dibandingkan baik dengan hasil dari metode konvensional, metode baru akan memerlukan modifikasi lebih lanjut untuk membawa hasil yang optimal dari ester yang diinginkan (Ameen et.al, 2009).

III. HIPOTESIS

Percobaan Hidrolisis Metil Salisilat dalam Minyak Gondopuro bertujuan menentukan reaksi hidrolisis metil salisilat dengan katalis basa, yaitu NaOH. Prinsip percobaan yaitu reaksi hidrolisis ester dengan katalis basa. Metode yang digunakan yaitu metode refluks, kristalisasi dan rekristalisasi. Kemungkinan hasil yang diperoleh yaitu kristal putih asam salisilat yang memiliki titik leleh sekitar 159 oC. Dimungkinkan kristal yang diperoleh kecil-kecil dan rapuh. Hal ini disebabkan dilakukan penurunan suhu dengan cepat, yaitu dengan menggunakan es, sehingga kecepatan pertumbuhan inti kristal lebih cepat dari kecepatan pertumbuhan kristal. Mekanisme reaksinya :
OH OH

+ 2H + + SO42O C ONa C O OH

-2 + NaOH + SO3

Natrium hidroksida

natrium salisilat

asam salisilat (Fessenden, 1994)

IV. ANALISA BAHAN 4.1 Natrium Hidroksida Sifat fisik : Berupa cairan atau kristal Berwarna putih
Titik didih = 1290 0C, titik lebur = 318 0C

Sifat kimia : Bersifat higroskopis


Larut dalam air dan alkohol (Daintith, 1994).

4.2 Asam Sulfat Sifat fisik : Berbentuk cairan


Bobot molar = 98 gmol-1

Baunya khas
Titik didih = 340 0C, titik lebur = 10,44 0C

Sifat kimia : Bersifat higroskopis Larut dalam air


Korosif (Daintith, 1994).

4.3 Akuades Sifat fisik : Berupa cairan Tak berwarna, tak berbau, tak berasa
Bobot molar = 18 gmol-1 Titik didih = 100 0C, titik beku = 0 0C Densitas = 1,08 gramcm-3

Sifat kimia : Bersifat netral


Sebagai pelarut universal (Basri, 1996).

4.4 Minyak Gondopuro Sifat fisik : Berupa cairan Berwarna kuning bening
Baunya khas aromatik

Warnanya kuning pedas


Titik didih = 223 0C, titik lebur = -8,6 0C

Sifat kimia : Tidak larut dalam air


Komponen utamanya metil salisilat (Hembing, 1996).

V. METODE PERCOBAAN 5.1 Alat dan Bahan 5.1.1 Alat

Labu alas bulat Pemanas Kertas saring Klem dan statif Penangas Pipet tetes Gelas beaker

Gelas ukur Pompa air Gelas arloji Pengaduk Kompor listrik Corong

5.1.2 Bahan Minyak gondopuro NaOH

H2SO4 Akuades

5.2 Skema Alat

5.3 Skema Kerja 5,7 g minyak gondopuro Labu alas bulat Penambahan 50 mL NaOH 5M Perefluksan selama 30 menit Pendinginan dengan es Penambahan 100 mL H2SO4 2M Pengadukan dan Penyaringan

Endapan Penyaringan Rekristalisasi dengan air panas

Filtrat

Filtrat

Residu

Pendinginan Penyaringan

Endapan

Filtrat

Penentuan titik leleh Hasil

VI. DATA PENGAMATAN

No.

Perlakuan

Hasil

1 2

Minyak Gondopuro + 50 mL NaOH 5M Perefluksan selama selama 30 menit

Larutan bening Larutan hangat berwarna putih

Pendinginan + penambahan 100 mL H2SO4 2M

Larutan putih

Penyaringan

Terbentuk endapan putih Filtrat = larutan bening Residu = endapan putih

5 6

Rekristalisasi dengan air panas Pendinginan Kristal

Kristal putih Kristal putih sebanyak

2.06 gram 7 Penentuan titik leleh 157 oC

VII. PEMBAHASAN Percobaan hidrolisis metil salisilat dalam minyak gondopuro bertujuan untuk menentukan reaksi hidrolisis metil salisilat dengan katalis basa, yaitu NaOH. Prinsip percobaan adalah reaksi hidrolisis ester dengan katalis basa. Metode yang digunakan dalam percobaan adalah metode refluks, yaitu suatu metode mencampurkan dua zat atau senyawa dengan cara pemanasan tanpa adanya senyawa yang hilang. Refluks dilakukan dengan mendidihkan cairan dalam wadah yang disambung dengan kondensor sehingga cairan yang teruapkan akan mengembun kembali ke wadah (Wilcox, 1995). Selain itu juga digunakan metode kristalisasi dan rekristalisasi. Kristalisasi merupakan metode pemisahan suatu senyawa dengan cara pembentukan kristal sehingga campuran dapat

dipisahkan. Suatu gas atau cairan dapat mendingin atau memadat serta membentuk kristal karena proses kristalisasi (Arsyad, 2001). Sedangkan rekristalisasi merupakan metode pemurnian kristal dari pengotor-pengotornya. Campuran yang akan dimurnikan dilarutkan dalam pelarut yang bersesuaian pada temperatur yang dekat dengan titik didihnya. Selanjutnya untuk memisahkan pengotor dari zat yang diinginkan, dilakukan penyaringan dan diteruskan dengan pendinginan sampai terbentuk kristal (Cahyono, 1991). Metil salisilat yang digunakan berasal dari minyak gondopuro yang dihasilkan dari daun tanaman wintergreen yaitu Gaultheria sp. melalui proses penyulingan. Komponen utama minyak gondopuro adalah metil salisilat (98%). Dalam percobaan digunakan minyak gondopuro karena kandungan metil salisilatnya cukup tinggi, yaitu 98% (Ketaren, 1985). Hidrolisis ester dengan katalis basa bila direaksikan dengan asam kuat akan menghasilkan asam karboksilat. Sampel yang berupa minyak gondopuro, ditambahkan dengan NaOH yang berfungsi sebagai katalis basa serta sebagai penyerang gugus karbonil pada metil salisilat. NaOH merupakan basa kuat yang memiliki kemampuan mengkatalis reaksi hingga terbentuknya produk, agar reaksinya tidak kembali ke reaktan (irreversibel), sehingga menghasilkan produk yang lebih stabil dan lebih optimal. Produk yang dihasilkan lebih stabil, yaitu berupa garam natrium salisilat yang tidak akan kembali lagi menjadi metil salisilat. Sedangkan bila digunakan basa lemah, maka reaksinya reversibel sehingga dimungkinkan kembali ke produk. Setelah penambahan NaOH, larutan berwarna bening. Reaksi yang terjadi merupakan reaksi penyabunan atau saponifikasi yang bersifat irreversibel yang menghasilkan garam natium salisilat dan metanol. Mekanisme reaksi :
a. Tahap 1 (adisi OH-)

OH O C OCH3 HO

OH

Na+ OHC

O OCH3

Na+

(Fessenden, 1999) Anion dari katalis NaOH yaitu OH- menyerang atom C yang memiliki muatan parsial positif pada C karbonil sehingga ikatan rangkap karbonil C=O putus dan O bermuatan negatif.
b. Tahap 2 (eliminasi CH3)
OH O C HO OCH 3 C OH OH O
+

O- CH3

OH O C O
+

CH3OH

OH O C O

+ Na+

OH O C ONa

(Fessenden, 1999)

c. Tahap 3 (Pembentukan garam natrium salisilat)

(Fessenden, 1999) Adanya muatan negatif dari O karbonil maka senyawa tersebut dalam keadaan tidak stabil sehingga antara C dan O akan terbentuk ikatan rangkap. Dengan terbentuknya ikatan rangkap antara C dan O maka ikatan antara C dengan OCH3 menjadi lebih labil sehingga terjadi pemutusan ikatan antara C dengan OCH3. Terbentuknya OCH3- akan menyerang H yang bermuatan parsial positif pada OH karbonil sehingga akan terbentuk metanol dan karboksilat yang bermuatan

negatif. Na+ dari katalis NaOH akan diserang karboksilat dan terbentuk garam natrium salisilat. Kemudian dilakukan perefluksan yang bertujuan untuk memaksimalkan reaksi antara metil salisilat dan NaOH sehingga diperoleh natrium salisilat. Hal ini disebabkan pada proses refluks tidak ada senyawa yang hilang sebab senyawa yang menguap, uapnya didinginkan oleh kondensor sehingga menjadi cair dan kembali ke labu. Prinsip kondensor pada refluks yaitu air masuk dari bawah dan air keluar dari atas, tujuannya untuk membantu mempercepat penguapan karena uap air dapat menjaga agar senyawa yang direfluks tidak hilang. Sedangkan bila air masuk dari atas dan keluar dari bawah maka hanya berupa aliran air biasa yang memperlambat proses refluks. Fungsi pemanasan pada saat refluks yaitu mempercepat reaksi, karena dengan adanya kenaikan temperatur maka dapat mempercepat pergerakan partikel karena molekul mendapat tambahan energi kinetik, sehingga tumbukan lebih cepat terjadi dan energi aktivasi dapat terlampaui. Dengan laju reaksi yang semakin cepat, maka reaksi antara metil salisilat dan NaOH lebih cepat berlangsung. Setelah perefluksan, terbentuk endapan putih yang merupakan garam natrium salisilat. Kemudian dilanjutkan dengan proses kristalisasi yaitu campuran didinginkan dengan air es yang bertujuan agar kristal terbentuk dengan cepat. Namun, bila penurunan suhu cepat, maka kecepatan pertumbuhan inti kristal lebih cepat dari pada kecepatan pertumbuhan kristal, sehingga kristal yang diperoleh kecil, rapuh, dan banyak.

Sedangkan bila pendinginan dilakukan dalam suhu kamar, maka penurunan suhu perlahan, kecepatan pertumbuhan kristal lebih cepat dari pertumbuhan inti kristal, sehingga kristal yang diperoleh besar, liat, dan elastis.

(Austin, 1986) Setelah dingin, dilakukan penambahan H2SO4 dalam campuran yang bertujuan untuk mendapatkan asam salisilat. H2SO4 ini sebagai penyedia H+ untuk pembentukan asam salisilat dari garam natrium salisilat. Penambahan H2SO4 dilakukan pada saat dingin karena reaksi dengan H2SO4 merupakan reaksi eksotermal yaitu reaksi yang menghasilkan panas. Sehingga apabila larutan dalam keadaan panas direaksikan dengan H2SO4 maka akan dihasilkan panas yang berlebih sehingga dapat berbahaya.

Mekanisme reaksi :

OH
2+ 2H + + SO4

OH
-2 + NaOH + SO3

O C ONa C

O OH

Natrium hidroksida

Natrium Salisilat

Asam Salisilat (Fessenden, 1999)

Setelah penambahan H2SO4, endapan yang terbentuk semakin banyak. Kemudian dilakukan penyaringan dengan kertas saring untuk memisahkan endapan dari larutannya. Kemudian dilakukan rekristalisasi yang bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa pengotor. Dalam proses rekristalisasi, digunakan akuades sebagai pelarutnya karena akuades merupakan pelarut universal yang memiliki pH netral dan bersifat polar (Basri, 1996). Karena kepolarannya yang tinggi, sehingga akuades mampu mengikat pengotor-pengotor yang bersifat polar seperti sisa Na2SO4 dan H2SO4 yang tidak ikut bereaksi. Sesuai dengan prinsip kristalisasi, yaitu pelarut dapat melarutkan pengotor pada suhu tinggi, namun pada suhu rendah pengotor tetap terlarut dan kristal yang diinginkan tetap atau tidak terlarut (Wilcox, 1995). Begitu pula dengan kristal asam salisilat yang juga terlarut dalam akuades karena asam salisilat bersifat polar. Hal ini disesuai dengan prinsip rekristalisasi, yaitu campuran yang akan dimurnikan dilarutkan dalam pelarut yang bersesuaian pada temperatur yang dekat dengan titik didihnya. Selanjutnya untuk memisahkan pengotor dari zat yang diinginkan, dilakukan penyaringan dan diteruskan dengan pendinginan sampai terbentuk kristal (Cahyono, 1991). Dari sifat-sifat tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa akuades merupakan pelarut yang tepat. Rekristalisasi dilakukan dengan mencelupkan kristal yang terbentuk dalam air panas sambil dilakukan pengadukan dan dilakukan penyaringan dalam keadaan panas untuk mendapatkan kristalnya kembali. Apabila penyaringan dilakukan dalam keadaan dingin, maka larutan akan mengkristal sebelum dilakukan penyaringan. Oleh karena itu, larutan harus selalu dipanaskan agar diperoleh kristal murni yang telah terekristalisasi. Dalam percobaan, metil salisilat perlu diubah menjadi asam salisilat karena asam salisilat memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari pada metil

salisilat. Sebagai contoh, metil salisilat merupakan bahan pembuat minyak gosok, sedangkan asam salisilat merupakan bahan pembuat aspirin. Sehingga harga asam salisilat lebih mahal (nilai ekonomis tinggi) dari pada metil salisilat. Dari hasil rekristalisasi diperoleh kristal putih asam salisilat dengan bentuk kristal kecil, rapuh dan banyak sebesar 2,06 gram dengan rendemen prosentase 36,14 %. Untuk menguji kemurnian asam salisilat, maka dilakukan uji titik leleh pada asam salisilat dan diperoleh titik leleh asam salisilat sebesar 157 0C. Sedangkan menurut literatur titik leleh asam salisilat adalah 159 0C (Fessenden, 1999). Dengan adanya selisih titik leleh sebesar 2 C antara hasil percobaan dengan literatur, sehingga asam salisilat yang diperoleh sudah dikatakan murni.

VIII. PENUTUP

8.1 Kesimpulan
1. Reaksi hidrolisis metil salisilat dengan katalis basa NaOH menghasilkan

kristal putih asam salisilat dengan bentuk kristal kecil, rapuh dan banyak. 2. Kemurnian asam salisilat dapat ditentukan dengan pengukuran titik leleh asam salisilat tersebut.
3. Dari hasil percobaan diperoleh asam salisilat sebanyak 2,06 gram dengan

rendemen prosentase sebesar 36,14 % dan titik leleh sebesar 157 0C.

8.2 Saran 1. Penyaringan harus dilakukan dalam keadaan panas agar larutan tidak mengkristal sebelum penyaringan.
2. Pendinginan harus dilakukan pada suhu kamar agar kristal yang diperoleh

lebih liat dan elastis.

LAMPIRAN

PERHITUNGAN Diketahui : massa minyak gondopuro massa asam salisilat Ditanyakan : rendemen prosentase (%) ??? Jawab : = 5,7 gram = 2,06 gram

rendemen prosentase

= 36,14 %

DAFTAR PUSTAKA

Ameen, and Olatunji. 2009. The Preparation of Methyl Benzoate and Methyl Salicylate on Silica Gel Column. University of Lorin: Nigeria Amin, P., et al. 2010. Optimization of a Hydrodynamic Cavitation Reactor Using Salicylic Acid Dosimetry. Chemical Engineering Journal, 165-169: India Anna, AR., Kseniya, IA., and Rifgat, RS. 2010. The Role of Salicylic Acid in Macrophyte (Typha agustifolia L.) Adaptation to Nitrate Nitrogen. American Eurasian J. Agri. and Environ. Sci, 7(3):355-358, 2010 ISSN 1818-6769: IDOSI Publication Arsyad, MN. 2001. Kamus Kimia. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Austin, T. 1986. Chemical Product Industry. Mc Graw Hill Co Inc: New York Basri, S. 1996. Kamus Kimia. Rineka Cipta: Jakarta Budaveri, S. 1989. The Merck Index. The Merck Index: USA

Cahyono, B. 1991. Segi Praktis dan Metode Pemisahan Senyawa Organik. Kimia UNDIP: Semarang Daintith, J. 1994. Kamus Lengkap Kimia. Erlangga: Jakarta Erdmann, L., Uhrich, KE. 2000. Synthesis and degradation characteristics of salicylic acid-derived poly(anhydride-esters). Elsevier Biomaterials 21 (2000) 1941-1946: USA Fessenden, R. 1999. Organic Chemistry. Willard Grant Press Publisher: USA Fouad. 2009. Preparation and Investigation of Acetyl Salicylic Acid Glutamic Acid Complex: a Novel Oral Delivery System. Digest Journal of Nanomaterial and Biostructures: Saudi Arabia Hembing. 1996. Natural Product a Laboratory Glide. Hebrew University: Yerussalem Jinying Peng,et.al. 2004. Role of Salicylic Acid in Tomato Defense against Cotton Bollworm, Helicoverpa armigera Hubner. Institute of Plant Physiology and Ecology: Shanghai Institute for Biological Sciences Joyce, D., Nagaraju, N. 2007. Esterification of Salicylic Acid with

Methanol/dimethyl carbonate OverAnion-Modified Metal Oxides. Indian Journal of Chemical Technology vol.14, pp. 292-300: India Ketaren. 1985. Khasanah Tanaman Obat Indonesia. Pustaka Jaya: Jakarta Khopkar, SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press: Jakarta Menaa, B. 2010. Characterization and Solventless Growth of Salicylic Acid Macro-crystals Involving a Nitrogen Gas Flow. Fluorotronics Inc: San Diego Muhi, AZ., et.al. 2009. Synthesis and Anti-inflammatory Activity of Novel Salicylate Acid and Diflunsial Amide Derivatives. Vol.2 No.2: 99-110

Wilcox. 1995. Experimental Organic Chemistry. Prentice Hall: New Jersey

You might also like