You are on page 1of 21

Sistem Ekonomi Indonesia: Politik Adalah Panglima

Posted: 4 Oktober 2010 in Ekonomi-Politik


Tag:Kapitalisme, pancasila, sistem ekonomi, sosialisme
1
Pola dan proses pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh dua macam Iaktor, yakni
internal dan eksternal. Untuk Iaktor-Iaktor internal terdiri dari: kondisi Iisik, lokasi geograIi,
kuantitas dan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, social
dan budaya, system politik, dan peranan pemerintah dalam ekonomi. Sedangkan Iactor eksternal
terdiri dari : perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, dan keamanan
global.
Pada negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, tahun-tahun pertama merupakan
periode yang sangat kritis. Indonesia pun sempat mengalami keadaan seperti itu. Selain kondisi
politik di dalam negeri yang tidak mendukung; keterbatasan akan Iactor produksi mulai dari
kualitas SDM, modal, teknologi, hingga kemampuan pemerintah dalam menyususn rencana dan
strategi pembangunan yang baik juga masih menjadi kendala untuk perekonomian Indonesia.
Kecenderungan pemerintahan Sukarno yang dianggap berhaluan Komunis membuat Indonesia
sulit untuk mendapatkan dana dari negara-negara Barat baik dalam bentuk pinjaman maupun
penanaman modal asing. Padahal pada saat itu Indonesia benar-benar membutuhkan dana yang
sangat besar dalam upayanya merekonstruksi ekonomi negaranya. Sebenarnya haluan politik
yang agak berhaluan komunis (sejatinya adalah reIleksi dari nasionalisme Indonesia) itu
hanyalah meruapakan suatu reIleksi dari perasaan antikolonialisasi, anti imperialisasi, dan
antikapitalis. Ketidakstabilan politik terus berlangsung hingga masa orde ini selesai ketika kudeta
dari PKI berhasil digagalkan dan kemudian system ekonomi Indonesia menjadi berubah haluan
dari pemikiran (cenderung) sosialis ke kapitalis.

Adalah Orde Baru yang menjadi era baru setelah Orde Lama. Orde yang dipimpin oleh Suharto
lebih memIokuskan pada peningkatan kesejahteraan dengan Iokus pada pertumbuhan ekonomi
yang berideologi pembangunanisme dengan stabilitas keamanan dan politik sebagai pendukung
utama, dan melupakan sisi pemerataan pendapatan masyarakat. Pada masa ini Indonesia menjadi
lebih condong ke arah Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Awalanya pemerintah
melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik, serta rehabilitas ekonomi. Hal
tersebut bertujuan untuk menekan kembali tingkat stagIlasi, mengurangi deIicit keuangan
pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor. Pemerintah juga
menyusun rnacana pembangunan lima tahun secara bertahap yang mencerminkan pemikiran
Rostow yakni 'stages oI growth. Usaha-usaha pemerintah tersebut mendapatkan apresiasi dari
lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB beserta negara-negara maju lain
dengan membentuk kelompok IGGI (Inter Government Group on Indonesia) yang bertujuan untk
membiayai pembanguan ekonomi Indonesia. Dampak repelita yangtelah disusun ternyata
memberikan hasil yang cukup memuaskan. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun menjadi cukup
tinggi dibandingkan pada masa Orde lama. Perubahan ekonomi structural juga terlihat terutama
dari sector pertanian dan sktor industri. Perningakatan kontrbuis output dari sector industry
manuIaktur terhadap pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) mencerminkan adanya suatu
proses industrialisasi di Indonesia. Penerapan system ekonomi terbuka yang dilakukan oleh
Suharto memang berdampaak baik pada pembangunan Indonesia di tingkat makro. Namun, pada
tingkat mikro justru berbalik 180 derajat. Hal ini terlihat dari tingakt kesenjangan yang semakin
besar dan jumlah kemiskinan yang terus meningkat. Orde Baru menghadapi permasalahan sulit
yakni ketika krisis ekonomi Asia yang kemudian menjelma menjadi krisis politik dimana ribuan
mahasiswa berunjukrasa menuntut agar Suharto di turunkan. Tanggal 21 Mei 1998 Suharto
mengundurkan diri dan diganti oleh BJ Habibie. Pada masa pemerintahannya tidak ada
perubahan yang nyata bahkan permasalahan semakin bertambah dan muncul banyak konIlik.
Kedudukan BJ Habibie digeser oleh KH Abdurrahman Wahid yang memenangkan pemilu
tahun1999 dan kemudian berganti dengan pemerintahan reIormasi. Dibandingkan tahun
sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju
pertumbuhan PDB mulai positiI meskipun hanya mengalami kenaikan sedikit. Pada tahun 2000,
perekonomian Indnesia menjadi jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper mencapai
5. Kondisi moneter pun sudah mulai stabil, terlihat dari laju inIlasi dan tingkat suku bunga
yang rendah. Namun, kondisi social masyarakat Indonesia masih dipenuhi dengan konIlik
disintegrasi dan SARA. Belum lagi demonstrasi buruh yang semakin gencar karena tidak puas
dengan kondisi perekonomian dalam negeri, juga pertikaian elite politik yang semakin besar.
Hubungan pemerintah Indonesia dengan IMF juga tidak baik karena sering ditundanya APBN
2001. Penerapan otonomi daerah (terutama tentang kebebasab daerah untuk pinjam dari luar
negeri), serta masalah amandemen UU No.23/1999. ketidakstabilan di berbagai bidang membuat
para pelaku bisnis termasuk investor asing enggan untuk melakukan bisnis dan menanamkan
modalnya di Indonesia. Hal ini justru membuta keadaan ekonomi Indonesia menjadi lebih
terpuruk dair sebelumnya.
Dengan kondisi perekonomian yang carut marut, system ekonomi Indonesia juga mengalami
banyak pergeseran dalam segala hal. Ketergantungan terhadap pihak asing, dominasi kekuatan
capital terhadap arah kebijakan pemerintah, dan peranan Negara yang diperkecil di bidang
ekonomi menjadikan Indonesia pada zaman orde baru dan reIormasi sekarang ini mengalami
instabilitas. Kondisi demikian dapat dilihat dari amandemen UUD 1945 yang ke-4 pada pasal 33
yang mana menjadi katup pengaman sekarang berubah drastic untuk melayani kebutuhan modal.
Karena itu, perubahan system ekonomi yang diterapkan dari masa ke masa di Indonesia menjadi
Iocus utama makalah ini. Hal ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan system ekonomi
Indonesia, Iactor-Iaktor penyebab perubahan system ekonomi, dan mengetahui pengaruh
kebijakan politik terhadap arah pembangunan ekonomi. Selain itu, makalah ini juga berusaha
mendeskripsikan sitem ekonomi yang diambil dengan patokan perubahan politik dalam skala
nasional, yaitu: orde lama, orde baru, dan orde reIormasi.
Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan penerapan system ekonomi di Indonesia dari masa ke
masa, maka diperlukan seperangkat pisau analisa untuk mengetahui mengapa suatu system
ekonomi dijadikan rujukan. Untuk itu, world system theory digunakan untuk menganalisis
perubahan-perubahan yang terjadi mengingat variable ketergantungan sangat dominant dalam
perumausan kebijakan. Menurut teori ini, dunia dunia terdiri dari 3 kelompok besar Negara: core,
semiperiphery, dan periphery yang dikemudikan oleh kapitalisme global. Negara periphery
sangat tergantung terhadap Negara-nergara yang posisinya lebih tinggi karena adanya heemoni
kapitalime didalamnya dan mendapatkan persetujuan dari yang bawah diluar kesadaran mereka.
kondisi seperti ini menyebabkan segala kebijakan yang akan diambil harus disesuaikan dulu
dengan kebijakan Negara diatasnya. Dalam kasus Indonesia, sebagai Negara peripheri,
kapitalisme global telah menjadikan system ekonomi Indonesia mengarah pada spectrum
kapitalistik karena besarnya pengaruh modal terhadapnya. Kondisi seperti ini terlihat pada
ketiadaan kemandirian dengan tergantung pada utang luar negeri yang menyebabkan Indonesia
harus tunduk pada pemilik modal.
#E LAMA
Untuk menjelaskan system ekonomi pada zaman orde lama, maka pemilahan kurun waktu
menjadi suatu keharusan karena didalamnya terjadi perubahan politik cukup signiIikan terhadap
arah kebijakan ekonomi. Situasi politik ini (sebagai setting waktu) mempunyai pengaruh atas
bagaimana pemerintah pada saat itu mengarahkan pembangunan ekonominya dengan
menggunakan metode yang mereka jalankan. Tetapi dalam hal ini, masalah pemilahan atas dasar
kurun waktu di tumpang tindihkan untuk membatasi peran kondisi politik saat itu, baik internal
maupun eksternal.
Pada kurun waktu ini, kondisi sosio-politik yang belum stabil terutama di awal kemerdekaan
menjadikan Indonesia kurang begitu memperhatikan pembangunan ekonominya. Sebagai sebuah
Negara baru, konsepsi yang dilahirkan oleh Iounding Iathers menjadi rujukan didalamnya
meskipun terbatas dalam implementasinya karena disibukan urusan mempertahankan eksistensi
sebagai Negara baru. Dalam konteks ini, pemerintah menjalankan prinsip-prinsip nasionalisme
sebagai upaya mengatasi segala permasalahan. Nasionalisme yang dijalankan atas dasar
kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang mana segala tinadakan-tindakannya
mempunyai makna kontekstual dalam masyarakat itu sendiri. Humanisme dalam hal ini
mempunyai tonggak dasar, yaitu, 'pencaharian merdeka. Pencarian kemerdekaan ini tidak
terlepas dari situasi dunia kolonial saat itu karena imperialisme telah merebut rasa percaya diri,
dan menginjeksi rasa ketidakmampuan pada rakyat Indonesia. Pengkerdilan yang terus-menerus
terjadi melalui imperialisme harus mendapatkan titik tekan utama supaya pencapaian atas cita-
cita kemerdekaan dapat diwujudkan.
Selain itu, penerapan demokrasi menjadi misi utama dalam membangun masyarakat Indonesia
dalam wujud demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, demokrasi politik
dan demokrasi ekonomi. Suatu bentuk demokrasi yang tidak hanya Iocus pada kesetaraan politik
belaka, melainkan juga melirik masalah kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan
kata lain adanya suatu perlindungan terhadap masyarakat yang tidak terbatas pada sisi politik
belaka, juga sisi ekonomi. Kedua konsepsi diatas secara riil tidak dapat berjalan maksimal
mengingat masih adanya invasi-invasi militer belanda dan pemberontakan-pemberontakan di
berbagai daerah yang mengharuskan pemerintah untuk bersikap di area ini.
Sikap politik pemerintah yang anti kolonialis dan anti imperialis secara riil diwujudkan dalam
bentuk penolakan pemerintah terhadap segala bentuk bantuan asing ke Indonesia dan
nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak,
dan kebijakan itu terkenal dengan slogan go to hell with your aids dengan penegasan
penggolongan dunia dalam dua kelompok: NEFOs dan OLDEFOs. Sikap ini membawa implikasi
lanjut terhadap respon luar negeri terutama Negara-negara maju terhadap posisi Indonesia.
Secara ekonomi, kebijakan ini membawa konsekuensi-konsekuensi terhadap perkembangan
perekonomian, antara lain:
1. adanya kepercayaan diri bangsa Indonesia akan kekuatan yang dimilikinya
2. kemandirian ekonomi
3. kurang diminatinya Indonesia sebagai tempat investasi asing
4. terhentinya dana bantuan luar negeri
Implikasi-implikasi diatas merupakan akibat positiI dan negative yang harus diterima karena
penerapan kebijakan ekonomi nasinalistik itu.
Dilihat dari kacamata barat (konteks perang dingin), Indonesia dianggap menerapkan kebijakan
komunis dalam mengatur perekonomian Negara. Hal ini tidak terlepas dari adanya anggapan
bahwa liberalisasi ekonomi merupakan prasyarat mutlak agar tidak di cap sebagai Negara
komunis. Dan dengan ekonomi nasionalis tersebut, Indonesia mengalami marginalisasi dibidang
ekonomi dalam berbagai sektor atas pilihan-pilihannya. Posisi ini merupakan pengejawantahan
sikap antikolonialisme dan antiimperialisme yang saat itu sangat deras didengungkan oleh
pemerintah sebagai respon atas perkemnagan kondisi perekonomian saat itu.
Dalam konteks pemahaman atas system ekonomi yang terdiri dari: system ekonomi sosialis,
kapitalis, dan campuran, secara politik Indonesia di cap menerapkan system ekonomi sosialis
sebagai dasar pijakan. Tetatpi secara konseptual (ekonomi) dapat digolongkan dalam kerangka
system ekonomi campuran meskipun secara mendasar berbeda karena adanaya unsure-unsur
nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang melandasi pelaksanaan pembangunan ekonomi di
masa orde lama.
#E BA#&
Ketika orde lama runtuh pada tahun 1966 dan digantikan oleh orde baru sebagai suatu rezim,
maka secara otomatis juga berpengaruh terhadap penerapan system ekonomi di Indonesia.
Pergeseran system ekonomi Indonesia mengalami signiIikansi sangat drastic mengingat
perpindahan kekuasaan yang terjadi berjalan tidak alami. Dari system ekonomi yang cenderung
sosialis berbalik menjadi system ekonomi kapitalistik yang mana peran Negara dalam mengatur
perekonomian digantikan oleh sektor swasta dengan menisbikan eksistensi Negara didalamnya.
Pembangunan ekonomi yang semula di tempatkan dalam masyarakan untuk menjaga
kemandirian diganti oleh pihak swasta yang mempunyai kelebihan capital dan utang luar negeri
sebagai sokoguru. Kebijakan liberalisasi di bidang ekonomi menggejala dimana-mana dan
pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas keamanan dan politik
sebagai pendukung utama.
Sejak tahun-tahun awal kemunculannya, kebijakan ekonomi orde baru bertolak belakang dengan
orde lama dengan menunjukkan ketertarikan yang luar biasa untuk bersahabat dengan kekuatan
capital internasional, lembaga-lembaga donor maupun investor-investor dengan modal besar.
Dan pemikiran-pemikiran ekonomi di Indonesia lebih cenderung di dominasi pemikiran pro
pasar yang diwujudkan dengan merangkul kembali lembaga-lembaga keuangan internasional
(IMF dan Bank Dunia) yang sebelumnya dimusuhi oleh orde lama. Dimulai dari usaha 'maIia
Berkeley yang merancang perekonomian Indonesia, dengan pendekatan tabungan dan investasi
untuk memicu pertumbuhan, Bank Dunia dan IMF diundang untuk membantu memecahkan
persoalan ekonomi yang terjadi dengan meminta bantuan (utang). Bantuan tersebut tidak terbatas
sekedar bantuan belaka, melainkan pemerintah harus melakukan serangkaian penyesuaian
structural menurut kehendak mereka. Karena itu, lembaga-lembaga tersebut mempunyai
keleluasaan untuk mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk pemulihan
ekonomi secara terus-menerus. Kondisi ini menciptakan ketergantungan dalam diri masyarakat
Indonesia karena terus memperlemah kemampuan pemerintah untuk melindungi Negara dan
rakyatnya, dan meningkatkan ketergantungan perekonomian Negara terhadap kepentingan para
pemodal internasional sehingga Indonesia tidak mampu mengenali identitas diri yang
sebenarnya.
Kebijakan liberalisasi capital pada zaman ini secara massiI bergulir kencang yang dapat dilihat
dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah dalam rangka mengurangi peran
Negara di sektor ekonomi. Tetapi dalam hal ini Indonesia juga mempunyai potensi untuk jatuh
karena rentan akan krisis pembayaran. Kondisi demikian disebabkan oleh ketergantungan
Indonesia terhadap utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini telah mematikan
sejumlah kreativitas masyarakat untuk mandiri seperti zaman orde lama. Ketergantungan ini juga
mengakibatkan pergeseran peran Negara dalam melindungi dan melayani rakyat menjadi
penghamba kepada pemodal internasional. Struktur demikian ini mengakibatkan terjadinya
kemiskinan structural akibat ketimbangan struktur yang terjadi dalam masyarakat yang mana
pemerataan pembangunan tidak terwujud karena adanya konsentrasi capital pada satu titik
tertentu. Multiplier eIIect dari kondisi ini menjadikan terbentuknya hegemoni oleh pemilik
capital yang menyebabkan krisis identitas. Hegemoni tersebut berperan sebagai mekanisme
penguasaan pemodal terhadap kinerja Negara yang menyebabkan terkurungnya ruang gerak
pemerintah dalam mengatasi permasalahan terjadi dalam masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru system ekonomi Indonesia sangat bernuansas
kapitalistik sekali, terlihat dari serangkaian kebijakan deregulasi yang dikeluarkan oleh
pemerintah guna menarik modal asing sebesar-besarnya. Selain itu, utang luar negeri uga
dijadikan basis investasi dan tabungan Negara yang menyebabkan lahirnya ketergantungan
dalam masyarakat Indonesia dalam membangun perekonomia. Kondisi seperti ini tidak hanya
melunturkan peran Negara saja, juga merugikan masyarakat karena ketergantungan itu
mematikan kreativitas dan secara sengaja melahirkan kemiskinan dan ketimpangan social.
#E #EF#MASI
Sejak krisis 1997, maka semua orang menyadari betapa terkaitnya masalah-masalah ekonomi
dengan masalah-masalah politik. Bagaimana kejatuhan Suharto sangat terkait erat dengan
kejatuhan ekonomi Indonesia; dengan pertumbuhan ekonomi bahkan menjadi minus dan utang
meroket 2,5 kali lipat hanya dalam 2 tahun. Dan situasi ekonominya tidak juga membaik-baik,
terutama karena situasi politiknya yang serba tidak pasti. Secara awam, orang kini mengerti
hubungan antara ekonomi dengan politik. Bahkan kini para ekonom ortodoks, mulai menyadari
keterbatasan ilmu ekonominya dan mulai memasukkan Iaktor politik ke dalamnya. Tidak bisa
lagi hanya mengutak-atik instrumen ekonomi makro, moneter dan Iiskal; tetapi juga harus
mengutak-atik masalah demokrasi, penegakan HAM atau proses pelembagaan politik.
Akan tetapi sesungguhnya pendekatan ekonomi-politik jauh lebih dalam daripada hanya
hubungan antara ekonomi dan politik maupun penataan kelembagaan dan isu good-governance
dari Bank Dunia. Ekonomipolitik adalah pendekatan yang mengupas/ menganalisis pola
hubungan dan pola kepentingan berbagai golongan dan kelas yang terkandung dalam berbagai
proses perubahan ekonomi modern, khususnya ekonomi modal (ekonomi kapitalisme). Masalah
perubahan dan transIormasi sosial dari berbagai kelas dan golongan sepanjang sejarah terkait erat
dengan bagaimana berlangsungnya proses pemupukan modal dan akumulasi kekayaan di
masyarakat. Hal ini yang semakin lama semakin menciptakan kesenjangan di antara berbagai
golongan/kelas di masyarakat, yaitu : kaum kaya dan kaum miskin; kaum tani dan kelompok
industrialis; kelompok pekerja dan kelompok majikan; kelas pengusaha dan kelas buruh. Ini
adalah analisis ekonomi politik, yaitu keterkaitan mendalam antara hubungan-hubungan sosial-
ekonomi dengan kekuasaan (politik).
Analisis ekonomi-politik sangat cocok dalam menjelaskan situasi di Indonesia setelah krisis. Dan
sebenarnya juga mampu menjelaskan situasi Indonesia sebelum krisis, maupun prediksi
Indonesia pasca-krisis. Akan tetapi pendekatan ini bertabrakan dengan ilmu ekonomi ortodoks
(economics). Ilmu ekonomi ortodoks bersiIat sangat positivis, tidak menjelaskan kepentingan-
kepentingan golongan/kelas, mengabaikan hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan hanya
bicara secara agregat saja (besaran umum). Karena itu juga bersiIat doktriner, yaitu melalui
konsep pertumbuhan ekonomi, yang dianggap merupakan resep pokok berjalannya sistem
ekonomi. Doktrin ekonomi ortodoks adalah pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme pasar
bebas. Tidak dipermasalahkan siapa yang tumbuh dan siapa yang dirugikan, karena mekanisme
pasar bebas yang akan mengatur dengan sendirinya. Doktrin ini semakin besiIat Iundamentalis
dengan menguatnya Neo-liberalisme. Mereka adalah segolongan ekonom yang sangat percaya
bahwa ekonomi pasar harus bersiIat sebebas-bebasnya; sebuah Iree-Iight liberalism (liberalisme
pertarungan bebas). Liberalisme ekonomi memang akan melahirkan korban-korban dan
pemenang-pemenang. Hal itu tidak menjadi soal. Ini adalah kembali ke masa awal pertumbuhan
kapitalisme, yang tidak diregulasi dan dibatasi. Dan seperti pada masa itu, tumbuh pula ekonomi-
politik sebagai penentangnya. Jadi masa kini juga memperlihatkan bahwa ekonomi neo-liberal
akan mendapat tentangan dari pendekatan ekonomi-politik. Karena itu para aktivis sosial yang
menentang neo-liberalisme, selayaknya mempelajari kembali ekonomi-politik.
Doktrin Neo-Liberalisme adalah kembali kepada prinsip 'Laissez-Faire (kompetisi bebas) yang
ekstrim, yang menyerahkan sepenuhnya sistem perekonomian kepada kehendak dan mekanisme
pasar bebas, tanpa mengindahkan konteks dan keberagaman situasi ekonomi berbagai negara,
yang lebih banyak tidak siap atau tidak cocok melakukannya. Pasar bebas menjadi hukum
universal pengaturan ekonomi. Bahkan kalau demokrasi menghalanginya, maka lebih baik
menyingkirkan demokrasi. Paham ini sekarang juga dipeluk oleh para ekonom mainstream di
setiap negara, sehingga ekonom-ekonom ini justru ikut serta menggerogoti negaranya sendiri,
dan menjadi corong saja dari kepentingan badan-badan multilateral.
Meskipun secara konseptual system ekonomi Indonesia adalah kerakyatan (pancasila), dalam
prakteknya mempunyai kecenderungan kea rah system ekonomi kapitalistik yang
meliberalisasikan seluruh sumber daya ekonomi yang ada. Pada orde reIormasi ini, kepentingan
pasar sangat dominant atas segala arah kebijakan dan ukuran keberhasilannya sehingga
masyarakat sebagai subyek dalam hal ini dijadikan obyek ekonomi belaka. Bukti riil besarnya
pengaruh pasar beserta lembaga donor terlihat pada kebijakan kenaikan harga BBM yang banyak
diengaruhi oleh kesepakatan-kesepakatan multilateral dan kondisi pasar dunia, bukan atas dasar
kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Globalisasi sebagai suatu Ienomena global dewasa
ini mempunyai pengaruh sangat besar terhadap arah kebijakan ekonomi yang diambil oleh
pemerintah. dalam hal ini wacana-praktis pasar bebas menjadi domain dalam pengaturan sumber
daya perekonomian yang ada. Sebagai suatu Ienomena social, ekonomi, dan politik, globalisasi
mempengaruhi keseluruhan system yang ada dalam Negara. Menurut Giddens, volatilitas pasar
uang dan modal berdapengaruh terhadap system Negara-bangsa yang menyebabkan
terbentuknya arah kebijakan pemerintah. dan neo-liberalisme sebagai naIasnya sangat merasuk
dalam konstitusi Indonesia sekarang yang mana dengan alasan eIisiensi dan eIektivitas, Negara
dapat melepaskan aset-asetnya supaya keseimbangan pasar dapat terjadi. Jadi, system ekonomi
kapitalistik sangat mewarnai orde reIormasi sekarang ini.
onklusi
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa system ekonomi yang diterapkan di Indonesia sangat
bergantung atau dipengaruhi oleh system politik yang tengah berkembang. Pada masa orde lama
dengan sikap antikolonialisme dan imperialisme sangat kuat dan semangat nasionalisme yang
sangat tinggi, perekonomian Indonesia diarahkan pada penciptaan kemandirian ekonomi
masyarakat guna menghindari kondisi ketergantungan akut terhadap luar negeri. Hal ini
diterapkan sebagai wujud implementasi Negara merdeka yang berdaulat di bidang politik dan
ekonomi sehingga arah kebjakan ekonomi dapat diarahkan menurut kebutuhan masyarakat.
Pada masa orde baru, kuatnya intervensi kaital dan internasionalisasi capital yang sangat kuat
menyebabkan terjadinya arah kebijakan ekonomi. System ekonomi kapitalistik menjadi acuan
utama yang diambil oleh pemerintah. penerapan system ekonomi kaptalistik ini membawa ragam
implikasi terhadap perekonomian Indonesia yang mana kondisi dependensia yang pada masa
orde lama sangat dihindari menjadi kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi dalam system ekonomi
ini membawa Indonesia pada krisis multidimensional pada tahun 1997 yang menyebabkan
ambruknya perekonomian nasional. Sedangkan orde reIormasi sekarang ini tidak ubahnya seperti
orde baru dalam konteks perekonomian. Intervensi-intervensi modal Iinancial terhadap arah
kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah menjadi panutan decision makers yang
menyebabkan Indonesia harus tunduk pada kepentingan kapitalisme global.
Surabaya, 2006
DAFTAR PUSTAKA
Carunia Mulya Firdausi. 2000. Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional,
Indonesia Menapak Abad 21 :Kajian Ekonomi Politik, cetakan ke-1. Milenium Publisher :
Jakarta
Fakih, Mansour. 2004. Bebas dari Neoliberalisme. Insist Press : Jogjakarta
Gilpin, Robert dan J. M. Gilpin. 2002. Tantangan Kapitalisme Global. PT Raja GraIindo
Persada:Jakarta
Priyono, B. Herry. 1997. Anthony Giddens:Suatu Pengantar. Kepustakaan Populer
Gramedia:Jakarta
Seda, Frans. 1992. SimIoni Tanpa Henti Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia.
Grasindo:Jakarta
Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru:Peran Negara Dalam Pembangunan.
Tajidu Press:Jogjakarta
Sindhunata. 2003. Dilema Globalisasi Dalam jurnal Basis, No. 01-02, tahun ke-52. Kanisius :
Jogjakarta
Politik Perundang-undangan

Ditulis oleh Aliamsyah Senin, 19 April 2010 20:55
A. Pendahuluan
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh
karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak
dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik
perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang-
undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan
pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).|1|
Sedangkan pemahaman atau deIinisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai
arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.|2| M.
MahIud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi:
Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi-
materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan Iungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum.|3|

Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian
atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau
memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik
perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk
pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah
satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan siIat ke arah mana hukum
akan dibangun dan ditegakkan.|4| Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan
secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan
peraturan perundang-undangan

Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan
melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.|5| Abdul Wahid Masru mengartikan politik
peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai
tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap
perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya).|6| Sehingga dapat
disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau
negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan yang
sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik perundang-
undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana sebenarnya dapat
dilihat dari:
1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara mudah
dan spesiIik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan penjelasan umum
(bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk; dan
2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis pokok
arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru atau
Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat
ini.
B. ebijakan Politik Hukum Nasional
Sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih dahulu perlu kita
memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu
disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang
dilaksanakan pada saat ini.
Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan
pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib
dijunjung oleh setiap warga negara yaitu:
1. supremasi hukum;
2. kesetaraan di hadapan hukum; dan
3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum.
Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya
negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban
diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun
akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya
mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang
meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya
hukum.
1. Substansi Hukum (egal Substance)
Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui
peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan
tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang-
undangan dan menghormati serta memperkuat keariIan lokal dan hukum adat untuk
memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai
bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini yang akan dibahas
selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik perundang-undangan.
2. Struktur Hukum (egal Structure)
Pembenahan terhadap struktur hukum lebih diIokuskan pada penguatan kelembagaan
dengan meningkatkan proIesionalisme hakim dan staI peradilan serta kualitas sistem
peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan,
meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan
bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat
keariIan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui
pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum
nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini, langkah-langkah
yang diterapkan adalah:

a. Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan
kepastian hukum.
Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu silam
membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan lain
terhadap kekuasaan yudikatiI telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai
putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem
peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum
maupun hilangnya kepastian hukum.

b. Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat
dipertanggungjawabkan (akuntabilitas).
Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau
lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana
yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya, sehingga memberikan
kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan 'budaya para
penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya inIormasi mengenai alur
atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut sering dipakai oleh oknum yang
memanIaatkan hal tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan
sulitnya akses masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
peradilan membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektiI di dalam proses
peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah maIia peradilan yang sampai saat ini tiada
kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah
prioritas dalam pembenahan lembaga peradilan.

c. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum.
Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para peneliti
hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak
hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku
responsiI gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak
terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Selain itu telah
menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan pengembangan sumber
daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak
menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar
terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin menambah ketidakpercayaan
masyarakat terhadap sistem hukum yang ada.
3. Budaya Hukum (egal Culture)
Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan
budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan
perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum
yang sepertinya 'semakin hari semakin memudar (terdegradasi). Apatisme dan
menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat
mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku
kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan
aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum
masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi
kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak
pada terjadinya ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran
perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen
pembenar bagi perilaku salah, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa,
oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya.

Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat berkaitan
dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap hukum itu sendiri.
Di lain pihak kualitas, proIesionalisme, dan kesadaran aparat penegak hukum juga
merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan sebagian
masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan proIesionalisme
dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke
dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima
secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan
yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu
permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang.
Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran
politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan
tidak diskriminatiI (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang-
undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan
perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang
berwibawa, bersih, proIesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum
masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum,
antara lain dengan melakukan:
1. program perencanaan hukum;
2. Program pembentukan hukum;
3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya;
4. program peningkatan kualitas proIesi hukum; dan
5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

. Politik Perundang-undangan
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan merupakan arah
kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan
bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara?
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa
kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau
Pemerintah.|7|

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan
yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan
ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan
negara atau Pemerintah.|8| Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang-
undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan
umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya.
Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu
atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas
berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek,
pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi
dalam Iorum-Iorum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu
rancangan peraturan perundang-undangan.
Pada Iorum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang
dilakukan melalui pranata dengar pendapat atau public hearing. Berbagai sarana untuk
berpartisipasi tersebut akan lebih eIektiI bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja
dari kalangan ilmiah atau kelompok proIesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest
groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan
suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat
mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan.
Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada
terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum
yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang
responsive. Berkaitan dengan hal tersebut MahIud MD juga menyatakan:
Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum
yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok
masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat
pada umumnya.|9|
Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat
diIormulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan
partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima
oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari
benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke
dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan
adalah hukum yang responsiI, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya
kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena
lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan Iormulasi materi muatannya telah
menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi
masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial
politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.|10|
Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa
selama lebih dari 30 tahun sebelum reIormasi tahun 1998, konIigurasi politik yang berkembang
di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang
konservatiI dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau
karakteristik yang melekat pada hukum konservatiI antara lain:
1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatiI) karena didominasi oleh lembaga-
lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran
lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir.
2. Isinya bersiIat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratiI) dalam arti lebih mencerminkan
kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen)
pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang
dominan.
3. Lingkup isinya bersiIat open responsive (tidak responsiI) sehingga mudah ditaIsir secara
sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara.
4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari
pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku.
5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan
kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus
prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.|11|
Sejalan dengan M. MahIud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan
pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatiI mempunyai makna:
Produk hukum 4nservatif/4rt4d4s/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih
mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersiIat positivis-instrumentalis,
yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan-
tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam
pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatiI kecil.
Sedangkan produk hukum resp4nsif/p4pulisti adalah produk hukum yang mencerminkan
rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan
peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam
masyarakat. Hasilnya bersiIat responsiI terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial
atau individu-individu dalam masyarakat.|12|
Dari pengalaman sejarah hukum|13| tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik
perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional
yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensiI
dan aspiratiI. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratiI
tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program
pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil
dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan
rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
. Landasan Politik Perundang-undangan
Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan, politik perundang-undangan sudah pasti
bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain:
1. Pancasila.
Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini
dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang-
undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia
dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil
perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional.
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan Iormal dan materiil konstitusional dalam
politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan strategi
di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi
konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum
(rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.|14|
3. Peraturan atau Kebijakan implementatiI dari politik peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan yang
berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang bersiIat
implementatiI dari landasan IilosoIis, konstitusional, operasional, Iormal, dan prosedural,
misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005,
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi Nasional (Prolegnas),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya.
Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-undangan,
seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan perundang-
undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip:
1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang
bersumbar pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, tata urutan,
kesesuaian isi antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Tidak semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan
peraturan perundang- undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang
tidak bertentangan dengan cita hukum, asas hukum umum yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional
dan karena itu mempunyai kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.
3. Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasar-dasar yuridis,
harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar IilosiIis dan kemasyarakatan
tempat kaidah tersebut akan berlaku.
4. Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada harus
mempunyai jangkauan masa depan.
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar menciptakan
instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran.
6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi
masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat).
7. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan materi muatan
peraturan perundang-undangan.

E. Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional (Jangka Menengah)
Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan perundang-undangan
nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan dua langkah
strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi Nasional 2010-2014 dan menetapkan
Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional Tahun 2010-2014.
1. #encana Pembangunan 1angka Menengah Nasional Tahun 2010-2014.
Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal 20 Januari
2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan
sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa
Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat
dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era
Orde Lama dan Orde Baru.|15|

Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum, maka
dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-undangan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan
terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan
implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan
adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah pada terciptanya
hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatiI serta menjamin terciptanya
konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum nasional|16|
maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan nasional yang
sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki substansi hukum
melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan
memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan.

Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah
merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan peraturan
perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian
berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan rancangan peraturan
perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang
telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang sudah
ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar
peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali
untuk dilakukan perubahan atau revisi.

Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku
pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan
global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap
berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi
hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang eIektiI
dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan di
bidang sosial kemasyarakatan|17|.

Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus mengacu
pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan
prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan tersebut
sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur
penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara keseluruhan yang merupakan
suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan
masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari:
a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa;
b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektiI yang terjadi; serta
c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.|18|

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga telah
mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan melalui
proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum
peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik perundang-
undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:

a. Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain:
1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak Hukum;
2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum;
3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi;
4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik;
5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum;
6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang menghambat
pembangunan;
7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM

b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis
maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan
peradilan;

c. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang
ada dalam masyarakat;

d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat)
terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dengan
peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi
menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;

e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan
masyarakat;

I. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian
sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rekomendasi
yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;

g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang-
undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan
pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi
prinsip kesetaraan dan keadilan;

h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas
hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik
pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan
program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis|19| yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan
berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat
diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang
didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum
Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini
adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.

Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang
akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang
merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang
yang meliputi:
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah pengaturan.|20|

Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh
Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan
oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan
Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah
melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.

Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam
pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan
Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan
keselarasan dengan IalsaIah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain
yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang
terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut.

Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan perundang-
undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan peraturan
perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum
secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai gambaran politik
perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan peraturan
perundang-undangan.

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas diharapkan
dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi peraturan perundang-
undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan perundang-undangan baik
yang bersiIat vertikal maupun horizontal. Dengan disusunnya Prolegnas diharapkan akan
dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan,
mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta
mempunyai daya laku yang eIektiI dalam masyarakat.

Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan sasaran
politik hukum atau polotik perundang-undangan secara mendasar, Prolegnas juga
memuat daItar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan
pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian
tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, yaitu:

a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;
b. mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan
c. i kut melaksanakan ketertiban dunia.

Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 20102014 yang berlaku
saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan implementasi dari
substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan perundang-undangan
yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang dituangkan dalam
Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan DPR
RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor 41B/DPR
RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU yang
disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU KumulatiI
Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi prioritas
pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng bersiIa
KumulatiI Terbuka.|21|

F. Penutup
Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa penting dan
strategisnya Iungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-undangan
(hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal substance) untuk
mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang eIektiI,
responsiI, dan demokratiI dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional secara
keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait yaitu
pembangunan substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya atau kesadaran hukum
masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis sebagai landasan dan perekat
pembangunan di bidang lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik,
berkualitas, dan sejalan dengan sosio-kultur masyarakat hanya dapat diwujudkan bila dilakukan
secara terancana, sistematis, dan terpadu.


|1| HM. Laica Marzuki, ekuatan Mengikat Putusan Mahkamah onstitusi Terhadap Undang-
Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. MahIud MD, Politik
Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. MahIud MD menyebutkan bahwa
hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai Iormalitas atau kristalisasi
dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh
MahIud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang
berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang
mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan-
kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. edua, politik
determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak
politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. etiga; politik dan hukum sebagai
subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya.
|2| M. MahIud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9.
|3| Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada
Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985.
|4| Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1.
|5| Ibid, hal. 2.
|6| Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004.
|7| Hal ini disebut sebagai 'asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang terdapat
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
|8| Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara
lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan
rancangan peraturan daerah.
|9| M. MahIud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif,
Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1.
|10| Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table
Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan
dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005.
|11| M. MahIud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum
ita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5.
|12| Satya Arinanto, umpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik
Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan
Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR
RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8.
|13| Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107. Satjipto
Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu
kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang
kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk
mengatur kembali.
|14| Abdul Wahid Masru, Op. Cit., hal. 4.
|15| Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato
Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14
16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai
akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah
tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan
umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN.
|16| Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25.
|17| Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan
Nasional, filid III, No 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo,
Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161.
|18| Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan,
|19| Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
|20| Ibid, Psl. 4.
|21| #&& umulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU
tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara, 4) RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU
KumulatiI Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi
Undang-Undang.

You might also like