Tag:Kapitalisme, pancasila, sistem ekonomi, sosialisme 1 Pola dan proses pembangunan ekonomi di suatu negara ditentukan oleh dua macam Iaktor, yakni internal dan eksternal. Untuk Iaktor-Iaktor internal terdiri dari: kondisi Iisik, lokasi geograIi, kuantitas dan kualitas sumber daya alam dan sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, social dan budaya, system politik, dan peranan pemerintah dalam ekonomi. Sedangkan Iactor eksternal terdiri dari : perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, dan keamanan global. Pada negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia II, tahun-tahun pertama merupakan periode yang sangat kritis. Indonesia pun sempat mengalami keadaan seperti itu. Selain kondisi politik di dalam negeri yang tidak mendukung; keterbatasan akan Iactor produksi mulai dari kualitas SDM, modal, teknologi, hingga kemampuan pemerintah dalam menyususn rencana dan strategi pembangunan yang baik juga masih menjadi kendala untuk perekonomian Indonesia. Kecenderungan pemerintahan Sukarno yang dianggap berhaluan Komunis membuat Indonesia sulit untuk mendapatkan dana dari negara-negara Barat baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing. Padahal pada saat itu Indonesia benar-benar membutuhkan dana yang sangat besar dalam upayanya merekonstruksi ekonomi negaranya. Sebenarnya haluan politik yang agak berhaluan komunis (sejatinya adalah reIleksi dari nasionalisme Indonesia) itu hanyalah meruapakan suatu reIleksi dari perasaan antikolonialisasi, anti imperialisasi, dan antikapitalis. Ketidakstabilan politik terus berlangsung hingga masa orde ini selesai ketika kudeta dari PKI berhasil digagalkan dan kemudian system ekonomi Indonesia menjadi berubah haluan dari pemikiran (cenderung) sosialis ke kapitalis.
Adalah Orde Baru yang menjadi era baru setelah Orde Lama. Orde yang dipimpin oleh Suharto lebih memIokuskan pada peningkatan kesejahteraan dengan Iokus pada pertumbuhan ekonomi yang berideologi pembangunanisme dengan stabilitas keamanan dan politik sebagai pendukung utama, dan melupakan sisi pemerataan pendapatan masyarakat. Pada masa ini Indonesia menjadi lebih condong ke arah Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Awalanya pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, social, dan politik, serta rehabilitas ekonomi. Hal tersebut bertujuan untuk menekan kembali tingkat stagIlasi, mengurangi deIicit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor. Pemerintah juga menyusun rnacana pembangunan lima tahun secara bertahap yang mencerminkan pemikiran Rostow yakni 'stages oI growth. Usaha-usaha pemerintah tersebut mendapatkan apresiasi dari lembaga internasional seperti IMF, World Bank, dan ADB beserta negara-negara maju lain dengan membentuk kelompok IGGI (Inter Government Group on Indonesia) yang bertujuan untk membiayai pembanguan ekonomi Indonesia. Dampak repelita yangtelah disusun ternyata memberikan hasil yang cukup memuaskan. Laju pertumbuhan rata-rata per tahun menjadi cukup tinggi dibandingkan pada masa Orde lama. Perubahan ekonomi structural juga terlihat terutama dari sector pertanian dan sktor industri. Perningakatan kontrbuis output dari sector industry manuIaktur terhadap pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi di Indonesia. Penerapan system ekonomi terbuka yang dilakukan oleh Suharto memang berdampaak baik pada pembangunan Indonesia di tingkat makro. Namun, pada tingkat mikro justru berbalik 180 derajat. Hal ini terlihat dari tingakt kesenjangan yang semakin besar dan jumlah kemiskinan yang terus meningkat. Orde Baru menghadapi permasalahan sulit yakni ketika krisis ekonomi Asia yang kemudian menjelma menjadi krisis politik dimana ribuan mahasiswa berunjukrasa menuntut agar Suharto di turunkan. Tanggal 21 Mei 1998 Suharto mengundurkan diri dan diganti oleh BJ Habibie. Pada masa pemerintahannya tidak ada perubahan yang nyata bahkan permasalahan semakin bertambah dan muncul banyak konIlik. Kedudukan BJ Habibie digeser oleh KH Abdurrahman Wahid yang memenangkan pemilu tahun1999 dan kemudian berganti dengan pemerintahan reIormasi. Dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positiI meskipun hanya mengalami kenaikan sedikit. Pada tahun 2000, perekonomian Indnesia menjadi jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hamper mencapai 5. Kondisi moneter pun sudah mulai stabil, terlihat dari laju inIlasi dan tingkat suku bunga yang rendah. Namun, kondisi social masyarakat Indonesia masih dipenuhi dengan konIlik disintegrasi dan SARA. Belum lagi demonstrasi buruh yang semakin gencar karena tidak puas dengan kondisi perekonomian dalam negeri, juga pertikaian elite politik yang semakin besar. Hubungan pemerintah Indonesia dengan IMF juga tidak baik karena sering ditundanya APBN 2001. Penerapan otonomi daerah (terutama tentang kebebasab daerah untuk pinjam dari luar negeri), serta masalah amandemen UU No.23/1999. ketidakstabilan di berbagai bidang membuat para pelaku bisnis termasuk investor asing enggan untuk melakukan bisnis dan menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini justru membuta keadaan ekonomi Indonesia menjadi lebih terpuruk dair sebelumnya. Dengan kondisi perekonomian yang carut marut, system ekonomi Indonesia juga mengalami banyak pergeseran dalam segala hal. Ketergantungan terhadap pihak asing, dominasi kekuatan capital terhadap arah kebijakan pemerintah, dan peranan Negara yang diperkecil di bidang ekonomi menjadikan Indonesia pada zaman orde baru dan reIormasi sekarang ini mengalami instabilitas. Kondisi demikian dapat dilihat dari amandemen UUD 1945 yang ke-4 pada pasal 33 yang mana menjadi katup pengaman sekarang berubah drastic untuk melayani kebutuhan modal. Karena itu, perubahan system ekonomi yang diterapkan dari masa ke masa di Indonesia menjadi Iocus utama makalah ini. Hal ini ditujukan untuk mengetahui perkembangan system ekonomi Indonesia, Iactor-Iaktor penyebab perubahan system ekonomi, dan mengetahui pengaruh kebijakan politik terhadap arah pembangunan ekonomi. Selain itu, makalah ini juga berusaha mendeskripsikan sitem ekonomi yang diambil dengan patokan perubahan politik dalam skala nasional, yaitu: orde lama, orde baru, dan orde reIormasi. Untuk menjelaskan dan mendeskripsikan penerapan system ekonomi di Indonesia dari masa ke masa, maka diperlukan seperangkat pisau analisa untuk mengetahui mengapa suatu system ekonomi dijadikan rujukan. Untuk itu, world system theory digunakan untuk menganalisis perubahan-perubahan yang terjadi mengingat variable ketergantungan sangat dominant dalam perumausan kebijakan. Menurut teori ini, dunia dunia terdiri dari 3 kelompok besar Negara: core, semiperiphery, dan periphery yang dikemudikan oleh kapitalisme global. Negara periphery sangat tergantung terhadap Negara-nergara yang posisinya lebih tinggi karena adanya heemoni kapitalime didalamnya dan mendapatkan persetujuan dari yang bawah diluar kesadaran mereka. kondisi seperti ini menyebabkan segala kebijakan yang akan diambil harus disesuaikan dulu dengan kebijakan Negara diatasnya. Dalam kasus Indonesia, sebagai Negara peripheri, kapitalisme global telah menjadikan system ekonomi Indonesia mengarah pada spectrum kapitalistik karena besarnya pengaruh modal terhadapnya. Kondisi seperti ini terlihat pada ketiadaan kemandirian dengan tergantung pada utang luar negeri yang menyebabkan Indonesia harus tunduk pada pemilik modal. #E LAMA Untuk menjelaskan system ekonomi pada zaman orde lama, maka pemilahan kurun waktu menjadi suatu keharusan karena didalamnya terjadi perubahan politik cukup signiIikan terhadap arah kebijakan ekonomi. Situasi politik ini (sebagai setting waktu) mempunyai pengaruh atas bagaimana pemerintah pada saat itu mengarahkan pembangunan ekonominya dengan menggunakan metode yang mereka jalankan. Tetapi dalam hal ini, masalah pemilahan atas dasar kurun waktu di tumpang tindihkan untuk membatasi peran kondisi politik saat itu, baik internal maupun eksternal. Pada kurun waktu ini, kondisi sosio-politik yang belum stabil terutama di awal kemerdekaan menjadikan Indonesia kurang begitu memperhatikan pembangunan ekonominya. Sebagai sebuah Negara baru, konsepsi yang dilahirkan oleh Iounding Iathers menjadi rujukan didalamnya meskipun terbatas dalam implementasinya karena disibukan urusan mempertahankan eksistensi sebagai Negara baru. Dalam konteks ini, pemerintah menjalankan prinsip-prinsip nasionalisme sebagai upaya mengatasi segala permasalahan. Nasionalisme yang dijalankan atas dasar kepentingan masyarakat secara keseluruhan yang mana segala tinadakan-tindakannya mempunyai makna kontekstual dalam masyarakat itu sendiri. Humanisme dalam hal ini mempunyai tonggak dasar, yaitu, 'pencaharian merdeka. Pencarian kemerdekaan ini tidak terlepas dari situasi dunia kolonial saat itu karena imperialisme telah merebut rasa percaya diri, dan menginjeksi rasa ketidakmampuan pada rakyat Indonesia. Pengkerdilan yang terus-menerus terjadi melalui imperialisme harus mendapatkan titik tekan utama supaya pencapaian atas cita- cita kemerdekaan dapat diwujudkan. Selain itu, penerapan demokrasi menjadi misi utama dalam membangun masyarakat Indonesia dalam wujud demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan ekonomi, demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Suatu bentuk demokrasi yang tidak hanya Iocus pada kesetaraan politik belaka, melainkan juga melirik masalah kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh dengan kata lain adanya suatu perlindungan terhadap masyarakat yang tidak terbatas pada sisi politik belaka, juga sisi ekonomi. Kedua konsepsi diatas secara riil tidak dapat berjalan maksimal mengingat masih adanya invasi-invasi militer belanda dan pemberontakan-pemberontakan di berbagai daerah yang mengharuskan pemerintah untuk bersikap di area ini. Sikap politik pemerintah yang anti kolonialis dan anti imperialis secara riil diwujudkan dalam bentuk penolakan pemerintah terhadap segala bentuk bantuan asing ke Indonesia dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak, dan kebijakan itu terkenal dengan slogan go to hell with your aids dengan penegasan penggolongan dunia dalam dua kelompok: NEFOs dan OLDEFOs. Sikap ini membawa implikasi lanjut terhadap respon luar negeri terutama Negara-negara maju terhadap posisi Indonesia. Secara ekonomi, kebijakan ini membawa konsekuensi-konsekuensi terhadap perkembangan perekonomian, antara lain: 1. adanya kepercayaan diri bangsa Indonesia akan kekuatan yang dimilikinya 2. kemandirian ekonomi 3. kurang diminatinya Indonesia sebagai tempat investasi asing 4. terhentinya dana bantuan luar negeri Implikasi-implikasi diatas merupakan akibat positiI dan negative yang harus diterima karena penerapan kebijakan ekonomi nasinalistik itu. Dilihat dari kacamata barat (konteks perang dingin), Indonesia dianggap menerapkan kebijakan komunis dalam mengatur perekonomian Negara. Hal ini tidak terlepas dari adanya anggapan bahwa liberalisasi ekonomi merupakan prasyarat mutlak agar tidak di cap sebagai Negara komunis. Dan dengan ekonomi nasionalis tersebut, Indonesia mengalami marginalisasi dibidang ekonomi dalam berbagai sektor atas pilihan-pilihannya. Posisi ini merupakan pengejawantahan sikap antikolonialisme dan antiimperialisme yang saat itu sangat deras didengungkan oleh pemerintah sebagai respon atas perkemnagan kondisi perekonomian saat itu. Dalam konteks pemahaman atas system ekonomi yang terdiri dari: system ekonomi sosialis, kapitalis, dan campuran, secara politik Indonesia di cap menerapkan system ekonomi sosialis sebagai dasar pijakan. Tetatpi secara konseptual (ekonomi) dapat digolongkan dalam kerangka system ekonomi campuran meskipun secara mendasar berbeda karena adanaya unsure-unsur nasionalisme dan demokrasi ekonomi yang melandasi pelaksanaan pembangunan ekonomi di masa orde lama. #E BA#& Ketika orde lama runtuh pada tahun 1966 dan digantikan oleh orde baru sebagai suatu rezim, maka secara otomatis juga berpengaruh terhadap penerapan system ekonomi di Indonesia. Pergeseran system ekonomi Indonesia mengalami signiIikansi sangat drastic mengingat perpindahan kekuasaan yang terjadi berjalan tidak alami. Dari system ekonomi yang cenderung sosialis berbalik menjadi system ekonomi kapitalistik yang mana peran Negara dalam mengatur perekonomian digantikan oleh sektor swasta dengan menisbikan eksistensi Negara didalamnya. Pembangunan ekonomi yang semula di tempatkan dalam masyarakan untuk menjaga kemandirian diganti oleh pihak swasta yang mempunyai kelebihan capital dan utang luar negeri sebagai sokoguru. Kebijakan liberalisasi di bidang ekonomi menggejala dimana-mana dan pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi dengan stabilitas keamanan dan politik sebagai pendukung utama. Sejak tahun-tahun awal kemunculannya, kebijakan ekonomi orde baru bertolak belakang dengan orde lama dengan menunjukkan ketertarikan yang luar biasa untuk bersahabat dengan kekuatan capital internasional, lembaga-lembaga donor maupun investor-investor dengan modal besar. Dan pemikiran-pemikiran ekonomi di Indonesia lebih cenderung di dominasi pemikiran pro pasar yang diwujudkan dengan merangkul kembali lembaga-lembaga keuangan internasional (IMF dan Bank Dunia) yang sebelumnya dimusuhi oleh orde lama. Dimulai dari usaha 'maIia Berkeley yang merancang perekonomian Indonesia, dengan pendekatan tabungan dan investasi untuk memicu pertumbuhan, Bank Dunia dan IMF diundang untuk membantu memecahkan persoalan ekonomi yang terjadi dengan meminta bantuan (utang). Bantuan tersebut tidak terbatas sekedar bantuan belaka, melainkan pemerintah harus melakukan serangkaian penyesuaian structural menurut kehendak mereka. Karena itu, lembaga-lembaga tersebut mempunyai keleluasaan untuk mengatur langkah-langkah yang harus ditempuh pemerintah untuk pemulihan ekonomi secara terus-menerus. Kondisi ini menciptakan ketergantungan dalam diri masyarakat Indonesia karena terus memperlemah kemampuan pemerintah untuk melindungi Negara dan rakyatnya, dan meningkatkan ketergantungan perekonomian Negara terhadap kepentingan para pemodal internasional sehingga Indonesia tidak mampu mengenali identitas diri yang sebenarnya. Kebijakan liberalisasi capital pada zaman ini secara massiI bergulir kencang yang dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah dalam rangka mengurangi peran Negara di sektor ekonomi. Tetapi dalam hal ini Indonesia juga mempunyai potensi untuk jatuh karena rentan akan krisis pembayaran. Kondisi demikian disebabkan oleh ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini telah mematikan sejumlah kreativitas masyarakat untuk mandiri seperti zaman orde lama. Ketergantungan ini juga mengakibatkan pergeseran peran Negara dalam melindungi dan melayani rakyat menjadi penghamba kepada pemodal internasional. Struktur demikian ini mengakibatkan terjadinya kemiskinan structural akibat ketimbangan struktur yang terjadi dalam masyarakat yang mana pemerataan pembangunan tidak terwujud karena adanya konsentrasi capital pada satu titik tertentu. Multiplier eIIect dari kondisi ini menjadikan terbentuknya hegemoni oleh pemilik capital yang menyebabkan krisis identitas. Hegemoni tersebut berperan sebagai mekanisme penguasaan pemodal terhadap kinerja Negara yang menyebabkan terkurungnya ruang gerak pemerintah dalam mengatasi permasalahan terjadi dalam masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa pada masa orde baru system ekonomi Indonesia sangat bernuansas kapitalistik sekali, terlihat dari serangkaian kebijakan deregulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah guna menarik modal asing sebesar-besarnya. Selain itu, utang luar negeri uga dijadikan basis investasi dan tabungan Negara yang menyebabkan lahirnya ketergantungan dalam masyarakat Indonesia dalam membangun perekonomia. Kondisi seperti ini tidak hanya melunturkan peran Negara saja, juga merugikan masyarakat karena ketergantungan itu mematikan kreativitas dan secara sengaja melahirkan kemiskinan dan ketimpangan social. #E #EF#MASI Sejak krisis 1997, maka semua orang menyadari betapa terkaitnya masalah-masalah ekonomi dengan masalah-masalah politik. Bagaimana kejatuhan Suharto sangat terkait erat dengan kejatuhan ekonomi Indonesia; dengan pertumbuhan ekonomi bahkan menjadi minus dan utang meroket 2,5 kali lipat hanya dalam 2 tahun. Dan situasi ekonominya tidak juga membaik-baik, terutama karena situasi politiknya yang serba tidak pasti. Secara awam, orang kini mengerti hubungan antara ekonomi dengan politik. Bahkan kini para ekonom ortodoks, mulai menyadari keterbatasan ilmu ekonominya dan mulai memasukkan Iaktor politik ke dalamnya. Tidak bisa lagi hanya mengutak-atik instrumen ekonomi makro, moneter dan Iiskal; tetapi juga harus mengutak-atik masalah demokrasi, penegakan HAM atau proses pelembagaan politik. Akan tetapi sesungguhnya pendekatan ekonomi-politik jauh lebih dalam daripada hanya hubungan antara ekonomi dan politik maupun penataan kelembagaan dan isu good-governance dari Bank Dunia. Ekonomipolitik adalah pendekatan yang mengupas/ menganalisis pola hubungan dan pola kepentingan berbagai golongan dan kelas yang terkandung dalam berbagai proses perubahan ekonomi modern, khususnya ekonomi modal (ekonomi kapitalisme). Masalah perubahan dan transIormasi sosial dari berbagai kelas dan golongan sepanjang sejarah terkait erat dengan bagaimana berlangsungnya proses pemupukan modal dan akumulasi kekayaan di masyarakat. Hal ini yang semakin lama semakin menciptakan kesenjangan di antara berbagai golongan/kelas di masyarakat, yaitu : kaum kaya dan kaum miskin; kaum tani dan kelompok industrialis; kelompok pekerja dan kelompok majikan; kelas pengusaha dan kelas buruh. Ini adalah analisis ekonomi politik, yaitu keterkaitan mendalam antara hubungan-hubungan sosial- ekonomi dengan kekuasaan (politik). Analisis ekonomi-politik sangat cocok dalam menjelaskan situasi di Indonesia setelah krisis. Dan sebenarnya juga mampu menjelaskan situasi Indonesia sebelum krisis, maupun prediksi Indonesia pasca-krisis. Akan tetapi pendekatan ini bertabrakan dengan ilmu ekonomi ortodoks (economics). Ilmu ekonomi ortodoks bersiIat sangat positivis, tidak menjelaskan kepentingan- kepentingan golongan/kelas, mengabaikan hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan hanya bicara secara agregat saja (besaran umum). Karena itu juga bersiIat doktriner, yaitu melalui konsep pertumbuhan ekonomi, yang dianggap merupakan resep pokok berjalannya sistem ekonomi. Doktrin ekonomi ortodoks adalah pertumbuhan ekonomi dalam mekanisme pasar bebas. Tidak dipermasalahkan siapa yang tumbuh dan siapa yang dirugikan, karena mekanisme pasar bebas yang akan mengatur dengan sendirinya. Doktrin ini semakin besiIat Iundamentalis dengan menguatnya Neo-liberalisme. Mereka adalah segolongan ekonom yang sangat percaya bahwa ekonomi pasar harus bersiIat sebebas-bebasnya; sebuah Iree-Iight liberalism (liberalisme pertarungan bebas). Liberalisme ekonomi memang akan melahirkan korban-korban dan pemenang-pemenang. Hal itu tidak menjadi soal. Ini adalah kembali ke masa awal pertumbuhan kapitalisme, yang tidak diregulasi dan dibatasi. Dan seperti pada masa itu, tumbuh pula ekonomi- politik sebagai penentangnya. Jadi masa kini juga memperlihatkan bahwa ekonomi neo-liberal akan mendapat tentangan dari pendekatan ekonomi-politik. Karena itu para aktivis sosial yang menentang neo-liberalisme, selayaknya mempelajari kembali ekonomi-politik. Doktrin Neo-Liberalisme adalah kembali kepada prinsip 'Laissez-Faire (kompetisi bebas) yang ekstrim, yang menyerahkan sepenuhnya sistem perekonomian kepada kehendak dan mekanisme pasar bebas, tanpa mengindahkan konteks dan keberagaman situasi ekonomi berbagai negara, yang lebih banyak tidak siap atau tidak cocok melakukannya. Pasar bebas menjadi hukum universal pengaturan ekonomi. Bahkan kalau demokrasi menghalanginya, maka lebih baik menyingkirkan demokrasi. Paham ini sekarang juga dipeluk oleh para ekonom mainstream di setiap negara, sehingga ekonom-ekonom ini justru ikut serta menggerogoti negaranya sendiri, dan menjadi corong saja dari kepentingan badan-badan multilateral. Meskipun secara konseptual system ekonomi Indonesia adalah kerakyatan (pancasila), dalam prakteknya mempunyai kecenderungan kea rah system ekonomi kapitalistik yang meliberalisasikan seluruh sumber daya ekonomi yang ada. Pada orde reIormasi ini, kepentingan pasar sangat dominant atas segala arah kebijakan dan ukuran keberhasilannya sehingga masyarakat sebagai subyek dalam hal ini dijadikan obyek ekonomi belaka. Bukti riil besarnya pengaruh pasar beserta lembaga donor terlihat pada kebijakan kenaikan harga BBM yang banyak diengaruhi oleh kesepakatan-kesepakatan multilateral dan kondisi pasar dunia, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Globalisasi sebagai suatu Ienomena global dewasa ini mempunyai pengaruh sangat besar terhadap arah kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah. dalam hal ini wacana-praktis pasar bebas menjadi domain dalam pengaturan sumber daya perekonomian yang ada. Sebagai suatu Ienomena social, ekonomi, dan politik, globalisasi mempengaruhi keseluruhan system yang ada dalam Negara. Menurut Giddens, volatilitas pasar uang dan modal berdapengaruh terhadap system Negara-bangsa yang menyebabkan terbentuknya arah kebijakan pemerintah. dan neo-liberalisme sebagai naIasnya sangat merasuk dalam konstitusi Indonesia sekarang yang mana dengan alasan eIisiensi dan eIektivitas, Negara dapat melepaskan aset-asetnya supaya keseimbangan pasar dapat terjadi. Jadi, system ekonomi kapitalistik sangat mewarnai orde reIormasi sekarang ini. onklusi Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa system ekonomi yang diterapkan di Indonesia sangat bergantung atau dipengaruhi oleh system politik yang tengah berkembang. Pada masa orde lama dengan sikap antikolonialisme dan imperialisme sangat kuat dan semangat nasionalisme yang sangat tinggi, perekonomian Indonesia diarahkan pada penciptaan kemandirian ekonomi masyarakat guna menghindari kondisi ketergantungan akut terhadap luar negeri. Hal ini diterapkan sebagai wujud implementasi Negara merdeka yang berdaulat di bidang politik dan ekonomi sehingga arah kebjakan ekonomi dapat diarahkan menurut kebutuhan masyarakat. Pada masa orde baru, kuatnya intervensi kaital dan internasionalisasi capital yang sangat kuat menyebabkan terjadinya arah kebijakan ekonomi. System ekonomi kapitalistik menjadi acuan utama yang diambil oleh pemerintah. penerapan system ekonomi kaptalistik ini membawa ragam implikasi terhadap perekonomian Indonesia yang mana kondisi dependensia yang pada masa orde lama sangat dihindari menjadi kenyataan. Kontradiksi-kontradiksi dalam system ekonomi ini membawa Indonesia pada krisis multidimensional pada tahun 1997 yang menyebabkan ambruknya perekonomian nasional. Sedangkan orde reIormasi sekarang ini tidak ubahnya seperti orde baru dalam konteks perekonomian. Intervensi-intervensi modal Iinancial terhadap arah kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah menjadi panutan decision makers yang menyebabkan Indonesia harus tunduk pada kepentingan kapitalisme global. Surabaya, 2006 DAFTAR PUSTAKA Carunia Mulya Firdausi. 2000. Tantangan dan Peluang Globalisasi bagi Perekonomian Nasional, Indonesia Menapak Abad 21 :Kajian Ekonomi Politik, cetakan ke-1. Milenium Publisher : Jakarta Fakih, Mansour. 2004. Bebas dari Neoliberalisme. Insist Press : Jogjakarta Gilpin, Robert dan J. M. Gilpin. 2002. Tantangan Kapitalisme Global. PT Raja GraIindo Persada:Jakarta Priyono, B. Herry. 1997. Anthony Giddens:Suatu Pengantar. Kepustakaan Populer Gramedia:Jakarta Seda, Frans. 1992. SimIoni Tanpa Henti Ekonomi Politik Masyarakat Baru Indonesia. Grasindo:Jakarta Winarno, Budi. 2004. Globalisasi Wujud Imperialisme Baru:Peran Negara Dalam Pembangunan. Tajidu Press:Jogjakarta Sindhunata. 2003. Dilema Globalisasi Dalam jurnal Basis, No. 01-02, tahun ke-52. Kanisius : Jogjakarta Politik Perundang-undangan
Ditulis oleh Aliamsyah Senin, 19 April 2010 20:55 A. Pendahuluan Peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari sistem hukum. Oleh karena itu, membahas mengenai politik peraturan perundang-undangan pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari membahas mengenai politik hukum. Istilah politik hukum atau politik perundang-undangan didasarkan pada prinsip bahwa hukum dan/atau peraturan perundang- undangan merupakan bagian dari suatu produk politik karena peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan rancangan atau hasil desain lembaga politik (politic body).|1| Sedangkan pemahaman atau deIinisi dari politik hukum secara sederhana dapat diartikan sebagai arah kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah.|2| M. MahIud MD mengemukakan bahwa politik hukum meliputi: Pertama; pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaharuan terhadap materi- materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; Kedua; pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan Iungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.|3|
Sebagaimana telah disebutkan, bahwa politik peraturan perundang-undangan merupakan bagian atau subsistem dari politik hukum, dengan demikian dapat dikatakan bahwa mempelajari atau memahami politik hukum pada dasarnya sama dengan memahami atau mempelajari politik perundang-undangan demikian pula sebaliknya, karena pemahaman dari politik hukum termasuk pula di dalamnya mencakup proses pembentukan dan pelaksanaan/penerapan hukum (salah satunya peraturan perundang-undangan) yang dapat menunjukkan siIat ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.|4| Bagir Manan mengartikan istilah politik perundang-undangan secara sederhana yaitu sebagai kebijaksanaan mengenai penentuan isi atau obyek pembentukan peraturan perundang-undangan
Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri diartikan sebagai tindakan melahirkan suatu peraturan perundang-undangan.|5| Abdul Wahid Masru mengartikan politik peraturan perundang-undangan sebagai kebijakan (beleids/policy) yang diterjemahkan sebagai tindakan pemerintahan/negara dalam membentuk peraturan perundang-undangan sejak tahap perencanaannya sampai dengan penegakannya (implementasinya).|6| Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang- undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya, dimana dapat kita melihat gambaran mengenai politik perundang-undangan yang sedang dijalankan oleh pemerintah/negara? Untuk melihat perkembangan politik perundang- undangan yang berlaku pada masa tertentu secara substansial dan sederhana sebenarnya dapat dilihat dari: 1. produk peraturan perundang-undangan yang dibentuk pada masa itu yang secara mudah dan spesiIik lagi biasanya tergambar pada konsiderans menimbang dan penjelasan umum (bila ada) dari suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk; dan 2. kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/negara pada saat itu yang merupakan garis pokok arah pembentukan hukum, seperti GBHN pada masa pemerintahan orde baru atau Prolegnas dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang berlaku pada saat ini. B. ebijakan Politik Hukum Nasional Sebelum lebih jauh membahas politik perundang-undangan, maka terlebih dahulu perlu kita memahami politik hukum sebagai induk dari politik perundang-undangan. Oleh karena itu, perlu disinggung secara garis besar mengenai arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang dilaksanakan pada saat ini. Arah kebijakan politik hukum nasional dilandaskan pada keinginan untuk melakukan pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3 (tiga) prinsip dasar yang wajib dijunjung oleh setiap warga negara yaitu: 1. supremasi hukum; 2. kesetaraan di hadapan hukum; dan 3. penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan cita-cita terwujudnya negara Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan, maka diharapkan kepastian, rasa aman, tenteram, ataupun kehidupan yang rukun akan dapat terwujud. Untuk itu politik hukum nasional harus senantiasa diarahan pada upaya mengatasi berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. 1. Substansi Hukum (egal Substance) Pembenahan substansi hukum merupakan upaya menata kembali materi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan tertib perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hirarki perundang- undangan dan menghormati serta memperkuat keariIan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Hal ini yang akan dibahas selanjutnya karena materi ini merupakan bagian dari politik perundang-undangan. 2. Struktur Hukum (egal Structure) Pembenahan terhadap struktur hukum lebih diIokuskan pada penguatan kelembagaan dengan meningkatkan proIesionalisme hakim dan staI peradilan serta kualitas sistem peradilan yang terbuka dan transparan; menyederhanakan sistem peradilan, meningkatkan transparansi agar peradilan dapat diakses oleh masyarakat dan memastikan bahwa hukum diterapkan dengan adil dan memihak pada kebenaran; memperkuat keariIan lokal dan hukum adat untuk memperkaya sistem hukum dan peraturan melalui pemberdayaan yurisprudensi sebagai bagian dari upaya pembaruan materi hukum nasional. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur hukum ini, langkah-langkah yang diterapkan adalah:
a. Menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum dan kepastian hukum. Kurangnya independensi lembaga penegak hukum yang terjadi selama kurun waktu silam membawa dampak besar dalam sistem hukum. Intervensi berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatiI telah mengakibatkan terjadinya partialitas dalam berbagai putusan, walaupun hal seperti ini menyalahi prinsip-prinsip impartialitas dalam sistem peradilan telah mengakibatkan degradasi kepercayaan masyarakat kepada sistem hukum maupun hilangnya kepastian hukum.
b. Penyelenggaraan proses hukum secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan (akuntabilitas). Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada siapa atau lembaga mana lembaga tersebut harus bertanggung jawab maupun tata cara bagaimana yang harus dilakukan untuk memberikan pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum tidak transparan. Hal ini juga berkaitan dengan 'budaya para penegak hukum dan masyarakatnya, sebagai contoh kurangnya inIormasi mengenai alur atau proses beracara di pengadilan sehingga hal tersebut sering dipakai oleh oknum yang memanIaatkan hal tersebut untuk menguntungkan dirinya sendiri. Kurangnya bahkan sulitnya akses masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilan membuka kesempatan terjadinya penyimpangan kolektiI di dalam proses peradilan sebagaimana dikenal dengan istilah maIia peradilan yang sampai saat ini tiada kunjung dapat teratasi, oleh kerena itu sangat diperlukan penetapan langkah-langkah prioritas dalam pembenahan lembaga peradilan.
c. Pembenahan dan peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum. Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai para peneliti hukum, perancang peraturan perundang-undangan sampai tingkat pelaksana dan penegak hukum masih perlu peningkatan, termasuk dalam hal memahami dan berperilaku responsiI gender. Rendahnya kualitas sumber daya manusia di bidang hukum juga tidak terlepas dari belum mantapnya sistem pendidikan hukum yang ada. Selain itu telah menjadi rahasia umum bahwa proses seleksi maupun kebijakan pengembangan sumber daya manusia di bidang hukum yang diterapkan banyak menyimpang yang akhirnya tidak menghasilkan SDM yang berkualitas. Hal ini pula yang memberikan berpengaruh besar terhadap memudarnya supremasi hukum serta semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang ada. 3. Budaya Hukum (egal Culture) Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional adalah meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pendidikan dan sosialisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan kembali budaya hukum yang sepertinya 'semakin hari semakin memudar (terdegradasi). Apatisme dan menurunnya tingkat appresiasi masyarakat pada hukum dewasa ini sudah sangat mengkhawatirkan, maraknya kasus main hakim sendiri, pembakaran para pelaku kriminal, pelaksanaan sweeping oleh sebagian anggota masyarakat bahkan di depan aparat penegak hukum merupakan gambaran nyata semakin menipisnya budaya hukum masyarakat. Sehingga konsep dan makna hukum sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan individu dan sosial hampir sudah kehilangan bentuknya yang berdampak pada terjadinya ketidakpastian hukum yang tercipta melalui proses pembenaran perilaku salah dan menyimpang bahkan hukum sepetinya hanya merupakan instrumen pembenar bagi perilaku salah, seperti sweeping yang dilakukan oleh kelompok masa, oknum aparat yang membacking orang atau kelompok tertentu, dan lain sebagainya.
Tingkat kesadaran masyarakat terhadap hak, kewajibannya, dan hukum sangat berkaitan dengan (antara lain) tingkat pendidikan dan proses sosialisasi terhadap hukum itu sendiri. Di lain pihak kualitas, proIesionalisme, dan kesadaran aparat penegak hukum juga merupakan hal mutlak yang harus dibenahi. Walaupun tingkat pendidikan sebagian masyarakat masih kurang memadai, namun dengan kemampuan dan proIesionalisme dalam melakukan pendekatan dan penyuluhan hukum oleh para praktisi dan aparatur ke dalam masyarakat, sehingga pesan yang disampaikan kepada masyarakat dapat diterima secara baik dan dapat diterapkan apabila masyarakat menghadapi berbagai persoalan yang terkait dengan hak dan kewajibannya serta bagaimana menyelesaikan suatu permasalahan sesuai dengan jalur hukum yang benar dan tidak menyimpang. Untuk mendukung pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, telah ditetapkan sasaran politik hukum nasional yaitu terciptanya suatu sistem hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatiI (termasuk bias gender); terjaminnya konsistensi seluruh peraturan perundang- undangan pada tingkat pusat dan daerah, serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang berwibawa, bersih, proIesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan hukum masyarakat secara keseluruhan. Untuk mewujudkan sasaran tersebut, maka disusun suatu program pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan: 1. program perencanaan hukum; 2. Program pembentukan hukum; 3. program peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum lainnya; 4. program peningkatan kualitas proIesi hukum; dan 5. program peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.
. Politik Perundang-undangan Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa politik perundang-undangan merupakan arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan (substansi) hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) untuk mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengapa hanya menggambarkan keinginan atau kebijakan pemerintah atau negara? Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa kewenangan atau organ pembentuk peraturan perundang-undangan adalah hanya negara atau Pemerintah.|7|
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk monopoli negara yang absolut, tunggal, dan tidak dapat dialihkan pada badan yang bukan badan negara atau bukan badan pemerintah. Sehingga pada prinsipnya tidak akan ada deregulasi yang memungkinkan penswastaan pembentukan peraturan perundang-undangan. Namun demikian dalam proses pembentukannya sangat mungkin mengikutsertakan pihak bukan negara atau Pemerintah.|8| Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa peraturan perundang- undangan, baik langsung maupun tidak langsung akan selalu berkenaan dengan kepentingan umum, oleh karena itu sangat wajar apabila masyarakat diikutsertakan dalam penyusunannya. Keikutsertaan tersebut dapat dalam bentuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan negara atau Pemerintah di bidang perundang-undangan. Dalam praktek, pengikutsertaan dilakukan melalui kegiatan seperti pengkajian ilmiah, penelitian, berpartisipasi dalam Iorum-Iorum diskusi atau duduk dalam kepanitiaan untuk mempersiapkan suatu rancangan peraturan perundang-undangan. Pada Iorum Dewan Perwakilan Rakyat juga dilakukan pemberian sarana partisipasi yang dilakukan melalui pranata dengar pendapat atau public hearing. Berbagai sarana untuk berpartisipasi tersebut akan lebih eIektiI bila dilakukan dalam lingkup yang lebih luas bukan saja dari kalangan ilmiah atau kelompok proIesi, tetapi dari berbagai golongan kepentingan (interest groups) atau masyarakat pada umumnya. Untuk mewujudkan hal tersebut biasanya diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan perundang-undangan yang dilaksanakan. Sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi pada terciptanya hukum yang responsive. Berkaitan dengan hal tersebut MahIud MD juga menyatakan: Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya.|9| Dari yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundang-undangan dapat diIormulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga produk hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsiI, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan Iormulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri.|10| Dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia pernah terjadi bahwa selama lebih dari 30 tahun sebelum reIormasi tahun 1998, konIigurasi politik yang berkembang di negara Indonesia dibangun secara tidak demokratis sehingga hukum kita menjadi hukum yang konservatiI dan terpuruk karena selalu dijadikan sub ordinat dari politik. Sedangkan ciri atau karakteristik yang melekat pada hukum konservatiI antara lain: 1. Proses pembuatannya sentralistik (tidak partisipatiI) karena didominasi oleh lembaga- lembaga negara yang dibentuk secara tidak demokrastis pula oleh negara. Di sini peran lembaga peradilan dan kekuatan-kekuatan masyarakat sangat sumir. 2. Isinya bersiIat positivist-instrumentalistik (tidak aspiratiI) dalam arti lebih mencerminkan kehendak penguasa karena sejak semula hukum telah dijadikan alat (instrumen) pembenar yang akan maupun (terlanjur) dilakukan oleh pemegang kekuasaan yang dominan. 3. Lingkup isinya bersiIat open responsive (tidak responsiI) sehingga mudah ditaIsir secara sepihak dan dipaksakan penerimanya oleh pemegang kekuasaan negara. 4. Pelaksanaannya lebih mengutamakan program dan kebijakan sektoral jangka pendek dari pada menegakkan aturan-aturan hukum yang resmi berlaku. 5. Penegakannya lebih mengutamakan perlindungan korp sehingga tidak jarang pembelokan kasus hukum oleh aparat dengan mengaburkan kasus pelanggaran menjadi kasus prosedur atau menampilkan kambang hitam sebagai pelaku yang harus dihukum.|11| Sejalan dengan M. MahIud MD, mengenai ciri tersebut, Satya Arinanto memberikan pendapatnya bahwa produk hukum yang konservatiI mempunyai makna: Produk hukum 4nservatif/4rt4d4s/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersiIat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. Ia lebih tertutup terhadap tuntutan- tuntutan kelompok-kelompok maupun individu-individu dalam masyarakat. Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatiI kecil. Sedangkan produk hukum resp4nsif/p4pulisti adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersiIat responsiI terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat.|12| Dari pengalaman sejarah hukum|13| tersebut seharusnya perlu dirancang suatu skenario politik perundang-undangan nasional yang berorientasi pada pemahaman konsep sistem hukum nasional yang diwujudkan dalam bentuk penyusunan peraturan perundang-undangan secara komprehensiI dan aspiratiI. Penyusunan atau pembentukan peraturan perundang-undangan yang aspiratiI tersebut merupakan rangkaian dari langkah-langkah strategis yang dituangkan dalam program pembangunan hukum nasional yang dilaksanakan untuk mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis serta berintikan keadilan dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. . Landasan Politik Perundang-undangan Sebagai bagian dari suatu konsep pembangunan, politik perundang-undangan sudah pasti bertumpu pada suatu landasan (yuridis), yaitu antara lain: 1. Pancasila. Pancasila ladasan awal dari politik hukum dan peraturan perundang-undangan hal ini dimaksudkan agar kebijakan dan strategi (politik) hukum dan peraturan perundang- undangan sejalan sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia dengan tetap membuka diri terhadap berbagai hal-hal yang baik yang merupakan hasil perubahan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara baik di lingkungan pergaulan nasional maupun internasional. 2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. UUD NRI Tahun 1945 merupakan landasan Iormal dan materiil konstitusional dalam politik hukum dan peraturan perundang-undangan sehingga setiap kebijakan dan strategi di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan mendapatkan legitimasi konstitusional sebagai salah satu bentuk penjabaran negara berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan asas konstitusionalisme.|14| 3. Peraturan atau Kebijakan implementatiI dari politik peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud disini adalah peraturan atau kebjikan yang memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang bersiIat implementatiI dari landasan IilosoIis, konstitusional, operasional, Iormal, dan prosedural, misalnya antara lain Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005, Program Legislasi Nasional (Prolegnas), Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan lain sebagainya. Di samping landasan tersebut, dalam melaksanakan politik peraturan perundang-undangan, seharusnya perlu diperhatikan pula mengenai pola pikir pembentukan peraturan perundang- undangan (hukum) yang harus disesuaikan dengan prinsip-prinsip: 1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang bersumbar pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. 2. Tidak semua aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan peraturan perundang- undangan. Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak bertentangan dengan cita hukum, asas hukum umum yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional dan karena itu mempunyai kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan. 3. Pembentukan peraturan perundang-undangan, selain mempunyai dasar-dasar yuridis, harus dengan seksama mempertimbangkan dasar-dasar IilosiIis dan kemasyarakatan tempat kaidah tersebut akan berlaku. 4. Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada harus mempunyai jangkauan masa depan. 5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan hanya sekedar menciptakan instrumen kepastian hukum tetapi juga merupakan instrumen keadilan dan kebenaran. 6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung (peran serta masyarakat). 7. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan asas dan materi muatan peraturan perundang-undangan.
E. Langkah Strategis Politik Perundang-undangan Nasional (Jangka Menengah) Sehubungan dengan politik pembangunan hukum dan politik peraturan perundang-undangan nasional, paling tidak pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat telah menetapkan dua langkah strategis, yaitu dengan menetapkan Program Legislasi Nasional 2010-2014 dan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. 1. #encana Pembangunan 1angka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Dalam rangka pembenahan sistem dan politik hukum nasional, pada tanggal 20 Januari 2010 ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014. Satya Arinanto dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini dapat dikatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang pernah ada dalam Era Orde Lama dan Orde Baru.|15|
Bila dilihat dari beberapa hal yang berkaitan dengan pembenahan substansi hukum, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum atau politik peraturan perundang-undangan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ini diarahkan pada permasalahan terjadinya tumpang tindih dan inkonsistensi peraturan perundang-undangan dan implementasi undang-undang yang terhambat peraturan pelaksanaannya. Berdasarkan adanya permasalahan tersebut, maka politik hukum nasional akan diarah pada terciptanya hukum nasional yang adil, konsekuen, dan tidak diskriminatiI serta menjamin terciptanya konsistensi seluruh peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dan daerah serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Untuk itu dalam rangka mengimplementasikan politik pembangunan hukum nasional|16| maka dengan Peraturan Presiden tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tersebut ditetapkan suatu landasan politik perundang-undangan nasional yang sejak tahun 2005 telah menetapkan kebijakan untuk memperbaiki substansi hukum melalui peninjauan dan penataan kembali peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan asas umum dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Peninjauan dan penataan kembali peraturan pundang-undangan tersebut adalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk melakukan peninjauan dan penataan peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya melakukan kegiatan pengharmonisasian berbagai rancangan peraturan perundang-undangan dengan rancangan peraturan perundang-undangan yang lain maupun terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ada, juga melakukan pengharmonisasi peraturan perundang-undangan yang sudah ada dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Hal ini dimaksudkan agar peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih, inkonsistensi, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (disharmonis) dapat ditinjau kembali untuk dilakukan perubahan atau revisi.
Politik perundang-undangan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ditujukan untuk menciptakan persamaan persepsi dari seluruh pelaku pembangunan khususnya di bidang hukum dalam menghadapi berbagai isu strategis dan global yang secara cepat perlu diantipasi agar penegakan dan kepastian hukum tetap berjalan secara berkesinambungan yang diharapkan akan dihasilkan kebijakan/materi hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat serta mempunyai daya laku yang eIektiI dalam masyarakat dan dapat menjadi sarana untuk mewujudkan perubahan-perubahan di bidang sosial kemasyarakatan|17|.
Oleh karena itu, sasaran politik perundang-undangan nasional saat ini harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap dan juga Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2010-2014. Acuan tersebut sangat penting karena politik peraturan perundang-undangan merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional secara keseluruhan yang merupakan suatu proses yang dinamis, mengalami perubahan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat dan politik yang tidak terlepas dari: a. keadaan masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa; b. keadaan saat ini yang berkaitan dengan kondisi obyektiI yang terjadi; serta c. cita-cita atau keinginan yang ingin diwujudkan di masa yang akan datang.|18|
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang telah ditetapkan juga telah mengarahkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang harus dilakukan melalui proses yang benar dengan memperhatikan tertib perundang-undangan serta asas umum peraturan perundang-undangan yang baik. Adapun pokok-pokok politik perundang- undangan yang akan dilaksanakan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dapat dikelompokkan antara lain meliputi kegiatan:
a. Penegakkan dan Kepastian Hukum yang meliputi antara lain: 1) Penguatan dan Pemantapan Hubungan Kelembagaan Antar Penegak Hukum; 2) Peningkatan Kinerja Lembaga Bidang Hukum; 3) Peningkatan Pemberantasan Korupsi; 4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik; 5) Peningkatan Kapasitas dan Akuntabilitas Aparat Hukum; 6) Inventarisasi dan Penyelarasan Peraturan Perundang-undangan yang menghambat pembangunan; 7) Peningkatan Penghormatan, Pemajuan, dan Penegakan HAM
b. Pelaksanaan berbagai pengkajian hukum dengan mendasarkan baik dari hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis yang terkait dengan isu hukum, hak asasi manusia dan peradilan;
c. Pelaksanaan berbagai penelitian hukum untuk dapat lebih memahami kenyataan yang ada dalam masyarakat;
d. Harmonisasi di bidang hukum (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis/hukum adat) terutama pertentangan antara peraturan perundang-undangan pada tingkat pusat dengan peraturan perundang-undangan pada tingkat daerah yang mempunyai implikasi menghambat pencapaian kesejahteraan rakyat;
e. Penyusunan naskah akademis rancangan undang-undang berdasarkan kebutuhan masyarakat;
I. Penyelenggaraan berbagai konsultasi publik terhadap hasil pengkajian dan penelitian sebagai bagian dari proses pelibatan masyarakat dalam proses penyusunan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat;
g. Penyempurnaan dan perubahan dan pembaruan berbagai peraturan perundang- undangan yang tidak sesuai dan tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan, serta yang masih berindikasi diskriminasi dan yang tidak memenuhi prinsip kesetaraan dan keadilan;
h. Penyusunan dan penetapan berbagai peraturan perundang-undangan berdasarkan asas hukum umum, taat prosedur serta sesuai dengan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Program Legislasi Nasional (Prolegnas) adalah bagian dari manajemen dan politik pembentukan peraturan perundang-undangan yang merupakan instrument perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis|19| yang ditetapkan untuk jangka waktu panjang, menengah, dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Undang-Undang. Prolegnas sangat diperlukan untuk menata sistem hukum nasional secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan landasan konstitusional negara hukum Indonesia. Dasar hukum penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) saat ini adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional.
Prolegnas memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang merupakan penjelasan secara lengkap mengenai konsep Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang akan diwujudkan; c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan.|20|
Penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat dikoordinasikan oleh Badan Legislasi dan Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat oleh Badan Legislasi dikoordinasikan dengan Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegnas.
Di lingkungan pemerintah, Menteri Hukum dan HAM sebagai koordinator dalam pelaksanaan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang di lingkungan pemerintah. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang diarahkan pada perwujudan keselarasan dengan IalsaIah Negara, tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut.
Prolegnas merupakan acuan dalam proses perencanaan penyusunan peraturan perundang- undangan sekaligus sebagai bagian dari proses persiapan pembentukan peraturan perundang-undangan memiliki peran yang sangat penting dalam pembangunan hukum secara keseluruhan. Prolegnas dapat pula dikatakan sebagai gambaran politik perundang-undangan Indonesia yang berisi rencana pembangunan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang terarah melalui Prolegnas diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi peraturan perundang- undangan, serta menghindari adanya disharmonis peraturan perundang-undangan baik yang bersiIat vertikal maupun horizontal. Dengan disusunnya Prolegnas diharapkan akan dihasilkannya suatu kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat yang berkeadilan, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, serta mempunyai daya laku yang eIektiI dalam masyarakat.
Selain sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan sasaran politik hukum atau polotik perundang-undangan secara mendasar, Prolegnas juga memuat daItar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan negara sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
a. melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. mencerdaskan kehidupan bangsa; memajukan kesejahteraan umum; dan c. i kut melaksanakan ketertiban dunia.
Berdasarkan hal tersebut, Program Legislasi Nasional Tahun 20102014 yang berlaku saat ini disusun sebagai politik perundang-undangan yang merupakan implementasi dari substansi politik pembentukan hukum nasional untuk rentang waktu tahun 2010 sampai dengan tahun 2014. Di dalam Prolegnas dimuat rencana peraturan perundang-undangan yang akan dibuat selama kurun waktu lima tahun tersebt yang dituangkan dalam Keputusan Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Berdasarkan Keputusan DPR RI Nomor 41A/DPR RI/I/2009-2010 dan Keputusan DPR RI Nomor 41B/DPR RI/I/2009-2010 terdapat sebanyak 247 (dua ratus empat puluh tujuh) RUU yang disepakati dalam Prolegnas 2010-2014 untuk disusun dan beberapa RUU KumulatiI Terbuka. Dari rencana tersebut, saat 70 RUU telah ditetapkan menjadi prioritas pembahasan pada 2010 dan kemungkinan penambahan dari 5 jenis RUU ng bersiIa KumulatiI Terbuka.|21|
F. Penutup Dari beberapa kebijakan yang menjadi landasan politik hukum dan politik peraturan perundang- undangan sebagaimana yang telah diuraikan di atas menggambarkan betapa penting dan strategisnya Iungsi perencanaan pembangunan dan politik peraturan perundang-undangan (hukum) sebagai salah satu wujud pembangunan substansi hukum (legal substance) untuk mencapai tujuan dan mewujudkan penyusunan peraturan perundang-undangan yang eIektiI, responsiI, dan demokratiI dalam kerangka pembangunan sistem hukum nasional secara keseluruhan yang meliputi pembangunan berbagai subsistem hukum yang saling terkait yaitu pembangunan substansi hukum, kelembagaan hukum, serta budaya atau kesadaran hukum masyarakat dan menempatkan supremasi hukum secara strategis sebagai landasan dan perekat pembangunan di bidang lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, berkualitas, dan sejalan dengan sosio-kultur masyarakat hanya dapat diwujudkan bila dilakukan secara terancana, sistematis, dan terpadu.
|1| HM. Laica Marzuki, ekuatan Mengikat Putusan Mahkamah onstitusi Terhadap Undang- Undang, Jurnal Legislasi Vol. 3 Nomor 1, Maret 2006, hal. 2. Lihat juga M. MahIud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 5. MahIud MD menyebutkan bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai Iormalitas atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersanginan. Lebih jauh MahIud MD mengemukakan bahwa hubungan kausalitas antara hukum dan politik yang berkaitan dengan pertanyaan apakah hukum mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, dapat dijawab Pertama; hukum determinan atas politik yaitu kegiatan- kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. edua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. etiga; politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang sederajat determinasinya. |2| M. MahIud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. II (Jakarta: LP3ES, 2001), hal. 9. |3| Ibid. Lihat juga Abdul Hakim Garuda Nusantara, Politik Hukum Nasional, makalah pada Kerja Latihan Bantuan Hukum, Surabaya, September 1985. |4| Bagir Manan, Politik Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, Mei 1994, hal. 1. |5| Ibid, hal. 2. |6| Abdul Wahid Masru, Politik Hukum dan Perundang-undangan, Makalah, Jakarta, 2004. |7| Hal ini disebut sebagai 'asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. |8| Ibid, Psl 53. Pasal 53 merumuskan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah. |9| M. MahIud MD, Demokratisasi Dalam Rangka Pembangunan Hukum Yang Responsif, Makalah, FH UNDIP, Semarang, 1996, hlm 1. |10| Iskandar Kamil, Peradilan Anak, Makalah, Disampaikan pada Workshop (Round Table Discussion) mengenai Pedoman Diversi untuk Perlindungan Bagi Anak Yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta, 1 Juni 2005. |11| M. MahIud MD, Langkah Politik dan Bingkai Paradikmatik Dalam Penegakan Hukum ita, Makalah, Bahan Kumpulan Perkuliahan Pasca Sarjana FH UI, 2004, hal 3-5. |12| Satya Arinanto, umpulan Materi Pendukung (Transparansi) Politik Hukum dan Politik Perundang-undangan (Dihimpun dari Berbagai Sumber), Disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Perancangan Perundang-undangan Bagi Legislative DrafterSekretariat Jenderal DPR RI, tanggal 14 April 2003, hal. 8. |13| Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 107. Satjipto Rahardjo mengutip Paul Scholten yang mengemukakan konsep bahwa hukum merupakan suatu kesatuan norma-norma yang merupakan rangkaian perjalanan sejarah yang memandang kebelakang kepada peraturan perundang-undangan yang ada dan memandang kedepan untuk mengatur kembali. |14| Abdul Wahid Masru, Op. Cit., hal. 4. |15| Satya Arinanto, Politik Pembangunan Hukum Nasional dalam Era Pasca Reformasi, Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar tetap pada FH-UI, Jakarta, 18 Maret 2006, hal. 14 16. Alasan menyebut sama dengan GBHN dalam era Orde Lama dan Orde Baru, karena sebagai akibat proses perubahan UD 1945, dimana salah satu dasar pemikiran perubahannya adalah tentang kekuasaan tertinggi di tangan MPR, maka semenjak tahun 2004, MPR hasil pemilihan umum pada tahun tersebut tidak lagi menetapkan produk hukum yang berupa GBHN. |16| Satya Arinanto, Op.Cit., hal. 25. |17| Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, filid III, No 4, (Bandung: Padjadjaran), 1970, hal. 5-16, dalam Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (bandung: Penerbit Alumni), 1979, hal. 161. |18| Prolegnas: instrumen perencanaan perundang-undangan, |19| Republik Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005, Psl. 1 angka 1 lihat pula Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. |20| Ibid, Psl. 4. |21| #&& umulatif Terbuka: 1) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 2) RUU tentang Pengesahan Perjanjian Internasional, 3) RUU tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, 4) RUU tentang Pembentukan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota , 5) RUU KumulatiI Terbuka tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Menjadi Undang-Undang.