1. Epidemiologi, Epidemiogi Klinik, dan Evidence-Based Medicine
Banyak kalangan yang tidak mengetahui bahwa evidence-based medicine sesungguhnya merupakan istilah baru penerapan epidemiologi klinik dalam pelayanan pasien. Sedang epidemiologi klinik adalah penerapan prinsip epidemiologi populasi untuk pelayanan klinis pasien. Fletcher dan Fletcher (2005) dalam buku Clinical Epidemiology: The Essentials menegaskan, Evidence-based medicine is a modern term Ior the application oI clinical epidemiology to the care oI patient. Sedang epidemiologi klinik (clinical epidemiology) sudah dikenal 50 tahun yang lalu ketika John R Paul mendeIinisikan epidemiologi klinik 'a marriage between quantitative concepts used by epidemilogists to study disease in populations and decision making in the individual case which is the daily Iare oI clinical medicine epidemiologi klinik adalah perkawinan antara konsep kuantitatiI yang digunakan ahli epidemiologi untuk mempelajari penyakit pada populasi dan pengambilan keputusan pada individu kasus yang merupakan kegiatan sehari-hari kedokteran klinis (Last, 1988). DeIinisi tersebut mengisyaratkan, epidemiologi klinik merupakan ilmu yang berasal dari dua disiplin induk kedokteran klinis (clinical medicine) dan epidemiologi (epidemiology). Disebut clinical karena epidemiologi klinik bertujuan membantu klinisi untuk membuat keputusan klinis dengan lebih baik untuk pelayanan pasien, menyangkut diagnosis, kausa, prognosis, terapi, maupun pencegahan. Epidemiologi klinik disebut epidemiology karena semua prinsip, konsep, dan metode yang digunakan untuk membuat keputusan klinis pasien diadopsi dari prinsip, konsep dan metode kuantitatiI epidemiologi populasi (Fletcher dan Fletcher, 2005). Epidemiologi (epidemiologi populasi, epidemiologi klasik) adalah 'the study oI the distribution and determinants oI health-related states or events in speciIied populations, and the application oI this study to control oI health problems - Epidemiologi adalah ilmu tentang distribusi dan determinan keadaan atau peristiwa terkait kesehatan pada populasi tertentu, dan penerapannya untuk mengendalikan masalah kesehatan (Last, 2001). Epidemiologi klinik disebut epidemiology karena masalah klinis individu pasien diamati, dikuantiIikasi, dan dianalisis dalam konteks populasi yang melatari pasien. Berbeda dengan pendekatan pelayanan biomedis yang tidak ditujukan spesiIik kepada masing-masing pasien, maupun pendekatan klinis yang mengindividualisasi masalah klinis pasien tanpa menghubungkannya dengan populasi pasien, pendekatan epidemiologi klinik mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien penting diperhitungkan untuk menghindari contextual error. Contextual error adalah kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen lingkungan, perilaku, dan preIerensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang tepat (Scott, 2009; Weiner et al., 2010).
Berikut disajikan contoh penerapan prinsip epidemiologi dalam pengambilan keputusan klinis. Riset kedokteran, baik biomedis, klinis, epidemiologis, menghasilkan bukti (evidence) yang bisa digunakan untuk mendukung pengambilan keputusan klinis. Tetapi kualitas bukti yang dihasilkan berbagai riset tidak sama. 'Not all evidences are created equal. Ada riset yang memberikan bukti yang bernilai tinggi tentang eIektivitas terapi, tetapi ada pula riset yang memberikan bukti sampah tentang eIektivitas terapi. Prinsip epidemiologi populasi mengajarkan tentang perlunya mengidentiIikasi, mengkaji, dan mengontrol kesalahan sistematis (systematic error) dan kesalahan random (random error) yang mempengaruhi validitas (kebenaran) dan presisi (ketelitian) bukti-bukti yang dihasilkan riset kedokteran. Berbagai prinsip, konsep, dan metode standar epidemiologi populasi, misalnya peran bias seleksi (selection bias), bias inIormasi (inIormation bias), dan kerancuan (conIounding), yang menyebabkan kesalahan sistematis, dan peran peluang (chance) yang menyebabkan kesalahan random dalam penarikan kesimpulan riset kedokteran, tidak dipelajari dalam kedokteran klinis, melainkan ilmu epidemiologi populasi. Gagasan gerakan penggunaan bukti ilmiah terbaik untuk praktik kedokteran klinis dikemukakan pertama kali oleh ProIesor Archie Cochrane pada 1972. Cochrane adalah seorang ahli epidemiologi Inggris yang menjabat Direktur Medical Research Council Epidemiology Research Unit di CardiII, Inggris. Dalam bukunya berjudul EIIectiveness and EIIiciency: Random ReIlections on Health Services, Cochrane mengemukakan gagasan evidence based medicine (CorpBlack, 2010). Pada tahun 1981 Dr. David Sackett dan para pakar epidemiologi klinik lainnya pada McMaster University, Toronto, Kanada, mempublikasikan strategi pemanIaatan bukti riset untuk praktik kedokteran dalam sejumlah artikel pada Canadian Medical Association Journal (CMAJ). Salah satu strategi itu disebut critical appraisal. Critical appraisal (penilaian kritis) tentang kekuatan bukti dan interpretasi yang benar bukti riset merupakan salah satu langkah penting yang digunakan dalam praktik EBM dewasa ini. Pada tahun 1982 terbit untuk pertama kali buku teks epidemiologi klinik yang sangat populer berjudul 'Clinical Epidemiology: The Essentials. Buku tersebut ditulis oleh Robert Fletcher dan Suzanne Fletcher, proIesor epidemiologi pada Harvard Medical School, Boston, Massachussetts, AS. Buku itu mengulas semua konsep dan metode kuantitatiI epidemiologi yang digunakan dalam praktik evidence-based medicine, meliputi abnormalitas, diagnosis, Irekuensi, risiko, prognosis, terapi, pencegahan, kesalahan sistematis, peran peluang, kausasi, dan kajian sistematis (systematic review). Pada tahun 1990 Dr Gordon Guyatt, pakar epidemiologi klinik pada McMaster University, memperkenalkan istilah baru 'evidence-based medicine (EBM). Menurut Guyatt, EBM merupakan paradigma baru praktik kedokteran yang menekankan penggunaan bukti kuat hasil riset, keterampilan klinis, nilai dan preIerensi pasien untuk pengambilan keputusan klinis (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992). Pada tahun 1991 terbit sebuah buku teks epidemiologi klinik berjudul 'Clinical Epidemiology: A Basic Science Ior Clinical Medicine. Buku itu sering dianggap 'kitab suci epidemiologi klinik, ditulis oleh pakar epidemiologi klinik McMaster University, yaitu David Sackett, Brian Haynes, Gordon Guyatt, dan Peter Tugwell. Halaman 366-367 buku itu memuat daItar pertanyaan esensial yang harus dijawab klinisi ketika melakukan penilaian kritis terhadap bukti riset, baik tentang akurasi tes diagnostik, skrining, eIektivitas dan keamanan terapi, Iaktor prognostik yang memperburuk/ memperbaiki akibat penyakit, kausasi, kualitas pelayanan kesehatan, analisis ekonomi, maupun kajian sistematis (systematic review) (Sackett et al., 1991). Buku itu menjelaskan dengan terinci berbagai aspek yang perlu dinilai dalam sebuah critical appraisal, meliputi validitas, kepentingan klinis dan statistik, serta kemampuan penerapan bukti-bukti riset. Buku epidemiologi klinik tersebut juga menjelaskan dengan terinci semua konsep dan metode kuantitatiI epidemiologi yang digunakan dalam evidence-based medicine dewasa ini, misalnya sensitivitas, spesiIisitas, ROC, likelihood ratio, ARR (absolute risk reducation), RRR (relative risk reduction), NNT (number needed to treat), NNH (number needed to harm), decision tree analysis, dan sebagainya. Bab terakhir buku itu mengulas cara mencari bukti dan membaca artikel dengan eIisien. Kemudian sebuah kelompok kerja tingkat internasional disebut Evidence-Based Medicine Working Grup menerbitkan 32 artikel pada Journal oI American Medical Association (JAMA) antara 1992 dan 2000. Rangkaian artikel tersebut mempopulerkan evidence-based medicine di kalangan komunitas medis seluruh dunia (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992; Claridge dan Fabian, 2005; Wikipedia, 2010a). Pada tahun 1996 Sackett dan para pakar epidemiologi klinik pada McMaster University mendeIinsikan EBM "the conscientious, explicit and judicious use oI current best evidence in making decisions about the care oI the individual patient. It means integrating individual clinical expertise with the best available external clinical evidence Irom systematic research" EBM adalah penggunaan bukti terbaik saat ini dengan hati-hati, jelas, dan bijak, untuk pengambilan keputusan pelayanan individu pasien. EBM memadukan keterampilan klinis dengan bukti klinis eksternal terbaik yang tersedia dari riset (Sackett et al, 1996). Pada tahun 2000 Sackett et al. (2000) mendeIinisikan EBM: 'the integration oI best research evidence with clinical expertise and patient values EBM adalah integrasi bukti-bukti riset terbaik dengan keterampilan klinis dan nilai-nilai pasien. Ketiga elemen itu disebut triad EBM. 2. Tujuan EBM EBM bertujuan membantu klinisi memberikan pelayanan medis yang lebih baik agar diperoleh hasil klinis (clinical outcome) yang optimal bagi pasien, dengan cara memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien (Gambar 1). Penggunaan bukti ilmiah terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih eIektiI, aman, bisa diandalkan (reliable), eIisien, dan cost-eIIective. Dua strategi digunakan untuk merealisasi tujuan EBM. Pertama, EBM mengembangkan sistem pengambilan keputusan klinis berbasis bukti terbaik, yaitu bukti dari riset yang menggunakan metodologi yang benar. Metodologi yang benar diperoleh dari penggunaan prinsip, konsep, dan metode kuantitatiI epidemiologi. Pengambilan keputusan klinis yang didukung oleh bukti ilmiah yang kuat memberikan hasil yang lebih bisa diandalkan (BMJ Evidence Centre, 2010). Dengan menggunakan bukti-bukti yang terbaik dan relevan dengan masalah pasien atau sekelompok pasien, dokter dapat memilih tes diagnostik yang berguna, dapat mendiagnosis penyakit dengan tepat, memilih terapi yang terbaik, dan memilih metode yang terbaik untuk mencegah penyakit. Beberapa dokter mungkin berargumen, mereka telah menggunakan bukti dalam membuat keputusan. Apakah bukti tersebut merupakan bukti yang baik? Tidak. Bukti yang diklaim kebanyakan dokter hanya merupakan pengalaman keberhasilan terapi yang telah diberikan kepada pasien sebelumnya, nasihat mentor/ senior/ kolega, pendapat pakar, bukti yang diperoleh secara acak dari artikel jurnal, abstrak, seminar, simposium. Bukti itu merupakan inIormasi bias yang diberikan oleh industri Iarmasi dan detailer obat. Sebagian dokter menelan begitu saja inIormasi tanpa menilai kritis kebenarannya, suatu sikap yang disebut gullible yang menyebabkan dokter poorly-inIormed dan tidak independen dalam membuat keputusan medis (Sackett dan Rosenberg, 1995; Montori dan Guyatt, 2008). Keadaan tersebut mendorong timbulnya gagasan pendekatan baru untuk menggunakan bukti yang terbaik dalam praktik klinis, disebut EBM (Hollingworth dan Jarvik, 2007). Praktik klinis EBM memberdayakan klinisi sehingga klinisi memiliki pandangan yang independen dalam membuat keputusan klinis, dan bersikap kritis terhadap klaim dan kontroversi di bidang kedokteran (Sackett dan Rosenberg, 1995; Gray, 2001; Guyatt et al., 2004). EBM memberikan pendekatan baru dalam praktik kedokteran klinis yang tidak dilakukan sebelumnya. Contoh, EBM mengajarkan bahwa pengambilan keputusan yang lebih baik tentang terapi bukan berbasis opini (opinion-based decision making, OBDM), atau kebijaksanan konvensional (conventional wisdom) yang tidak berbasis bukti, melainkan berbasis bukti (evidence-based decision making, EBDM), yaitu bukti eIektivitas intervensi medis dari kajian sistematis (systematic review), atau randomized controlled trial (RCT), dengan double-blinding dan concealment, dengan ukuran sampel besar (Gambar 2). EBM menggunakan bukti terbaik dalam praktik klinis. Tetapi apakah bukti terbaik saja cukup untuk pengambilan keputusan klinis dokter? Tidak. Dalam BMJ Sackett et al. (1996) mengingatkan ...Without clinical expertise, practice risks becoming tyrannized by evidence, Ior even excellent external evidence may be inapplicable to or inappropriate Ior an individual OBDM opinion-based decision making, conventional wisdom EBDM evidence-based decision making Tekanan lingkungan untuk pelayanan medis yang bermutu Gambar 2 Perubahan paradigma pengambilan keputusan klinis dari berbasis opini ke bukti Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 5 patient. EBM tidak menempatkan peran bukti-bukti ilmiah terbaik sebagai tirani yang menaIikan peran penting kedua komponen lainnya. Penggunaan bukti ilmiah terbaik saja tidak cukup bagi dokter untuk memberikan pelayanan medik yang lebih baik. Sebab bukti- bukti terbaik belum tentu dapat atau tepat untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. Bukti ilmiah terbaik yang ada perlu dipadukan dengan keterampilan/ keahlian klinis dokter. Keterampilan klinis diperoleh secara akumulatiI seorang klinisi melalui pendidikan, pengalaman klinis, dan praktik klinis. Keterampilan klinisi yang tinggi diwujudkan dalam berbagai bentuk, khususnya penentuan diagnosis yang lebih akurat dan eIisien, pemilihan terapi yang lebih bijak, yang memperhatikan preIerensi pasien. Pengalaman dan keterampilan klinis dokter merupakan komplemen penting bagi bukti-bukti, yang diperlukan untuk menghasilkan pelayanan medis yang eIektiI. Tetapi penggunaan pengalaman dan keterampilan klinis saja tidak menjamin pelayanan medis yang dapat diandalkan. Paradigma baru EBM mengajarkan, pembuatan keputusan klinis yang baik tidak cukup jika hanya didasarkan pada pengalaman klinis yang tidak sistematis, intuisi, maupun alasan patoIisiologi, khususnya jika masalah klinis pasien yang dihadapi kompleks (Evidence-Based Medicine Working Group, 1992). Kedua, EBM mengembalikan Iokus perhatian dokter dari pelayanan medis berorientasi penyakit ke pelayanan medis berorientasi pasien (patient-centered medical care). Selama lebih dari 80 tahun sccara kasat mata terlihat kecenderungan bahwa praktik kedokteran telah terjebak pada paradigma reduksionis, yang memereteli pendekatan holistik menjadi pendekatan Iragmented dalam memandang dan mengatasi masalah klinis pasien. Dengan pendekatan reduksionis, bukti-bukti yang dicari adalah bukti yang berorientasi penyakit, yaitu surrogate end points, intermediate outcome, bukti-bukti laboratorium, bukannya bukti yang bernilai bagi pasien, bukti-bukti yang menunjukkan perbaikan klinis yang dirasakan pasien. EBM bertujuan meletakkan kembali pasien sebagai principal atau pusat pelayanan medis. EBM mengembalikan Iokus perhatian bahwa tujuan sesungguhnya pelayanan medis adalah untuk membantu pasien hidup lebih panjang, lebih sehat, lebih produktiI, dengan kehidupan yang bebas dari gejala ketidaknyamanan. Implikasi dari re- orientasi praktik kedokteran tersebut, bukti-bukti yang dicari dalam EBM bukan bukti-bukti yang berorientasi penyakit (Disease-Oriented Evidence, DOE), melainkan bukti yang berorientasi pasien (Patient-Oriented Evidence that Matters, POEM) (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Di samping itu, paradigma EBM mengingatkan kembali pentingnya hubungan antara pasien sebagai _principal dan dokter sebagai _agent yang dibutuhkan untuk penyembuhan. Healing requires relationshipsrelationships which lead to trust, hope, and a sense oI being known (Scott et al., 2008). Praktik EBM menuntut dokter untuk mengambil keputusan medis bersama pasien (shared decision making), dengan memperhatikan preIerensi, keprihatinan, nilai-nilai, ekspektasi, dan keunikan biologis individu pasien. Sistem nilai pasien meliputi pertimbangan biaya, keyakinan agama dan moral pasien, dan otonomi pasien, dalam menentukan pilihan yang terbaik bagi dirinya. Guyattt et al. (2004) mengingatkan dalam editorial BMJ, ... Because clinicians' values oIten diIIer Irom those oI patients, even those who are aware oI the evidence risk making the wrong recommendations iI they do not involve patients in the decision making process ". Bukti klinis eksternal bisa memberikan inIormasi tentang pilihan yang lebih baik untuk suatu terapi, tetapi tidak bisa menggantikan hak pasien, sistem nilai pasien, preIerensi pasien, dan harapan pasien, tentang cara yang baik untuk mengatasi masalah klinis pasien. Alasan rasional, bukti eksternal yang terbaik yang dihasilkan riset merupakan inIerensi yang bersiIat umum di tingkat populasi. Karena bersiIat umum maka bukti tersebut tidak bisa mengabaikan keunikan masing-masing individu pasien ketika sebuah tes diagnostik atau terapi akan diterapkan pada masing-masing individu pasien. Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 6 3. Mengapa Perlu EBM? Ada beberapa alasan perlunya EBM, dua alasan utama sebagai berikut. Pertama, jumlah publikasi medis tumbuh sangat cepat, sehingga para dokter dan mahasiswa kedokteran kewalahan untuk mengidentiIikasi bukti yang relevan, berguna, dan dapat dipercaya (Del Mar et al., 2004). Bukti riset yang dipublikasikan sangat banyak jumlahnya. Hampir dua juta artikel kedokteran diterbitkan setiap tahun. Padahal, 'not all evidences are created equal. Tidak semua artikel hasil riset memberikan bukti-bukti dengan kualitas dan validitas (kebenaran) yang sama. Suatu intervensi diagnostik maupun terapetik yang eIektiI dalam memberikan perbaikan klinis kepada pasien bisa pada saat yang sama mengandung risiko kerugian dan biaya bagi pasien. Selain itu tidak semua bukti dibutuhkan untuk pasien dalam praktik klinis. Karena itu para dokter dan tenaga kesehatan proIesional lainnya perlu mengasah keterampilan untuk memilah dan memilih bukti-bukti terbaik yang bisa memberikan inIormasi yang relevan dan terpercaya, dengan cara yang eIektiI, produktiI, dan eIisien (cepat). Teknologi inIormasi memberikan kontribusi besar bagi perkembangan EBM (Claridge dan Fabian, 2005). Komputer dan perangkat lunak database memungkinkan kompilasi sejumlah besar data. Internet memungkinkan akses data dan inIormasi secara masiI dalam waktu singkat. Dalam dua dekade terakhir telah dilakukan upaya untuk mengembangkan, mensintesis, menata bukti-bukti pada berbagai database hasil riset, yang bisa digunakan secara online untuk membantu membuat keputusan klinis. MedLine (PubMed), dan Embase, merupakan contoh database hasil riset primer kedokteran yang telah dipublikasikan. Cochrane Library merupakan contoh database hasil riset sekunder (systematic-review/ meta- analysis) yang mensintesis hasil riset primer dengan topik sama. Pada saat yang sama para ahli epidemiologi mengembangkan strategi untuk menemukan, mengevaluasi, dan menilai kritis tes diagnostik, terapi, dan aplikasi lainnya, untuk mendukung praktik EBM. Metode EBM memudahkan para dokter untuk mendapatkan inIormasi kedokteran yang dapat dipercaya dari database primer dan sekunder. Kegiatan EBM meliputi proses mencari dan menyeleksi bukti dari artikel hasil riset, menganalisis dan menilai bukti, dan menerapkan bukti kepada pasien. Kedua, melunturnya 'trust (kepercayaan) masyarakat terhadap integritas pelayanan kedokteran dan praktisi yang memberikan pelayanan medis. Muncul keprihatinan para stakeholders tentang mutu pelayanan kesehatan. WHO dalam Laporan Tahunan Kesehatan Dunia 2008 Primary Health Care Now More Than Ever, mengemukakan lima masalah serius pelayanan kesehatan di dunia: (1) inverse care; (2) impoverishing care; (3) Iragmented care; (4) unsaIe care; (5) misdirected care (WHO, 2008). Sistem pelayanan kesehatan yang _Iragmented membawa akibat yang tidak diinginkan: ineIisiensi, ketidakeIektiIan, ketidakadilan, komoditisasi, komersialisasi, deproIesionalisasi, depersonalisasi, dan ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan (Stange, 2009). Institute oI Medicine (IOM) dalam laporan bertajuk To Err Is Human mengingatkan pentingnya mengatasi berbagai masalah pelayanan medis yang terjadi di negara maju dan negara berkembang (Khojania et al., 2002; Project HOPE, 2005). Berbagai masalah tersebut mencakup penggunaan prosedur diagnostik yang tidak memiliki nilai inIormasi, terapi yang tidak eIektiI, biaya pelayanan kesehatan yang tinggi, pelayanan berkualitas rendah, kesalahan dalam praktik medis (medical error), pelayanan medis yang tidak manusiawi, pengambilan keputusan klinis tanpa dasar bukti ilmiah riset yang kuat. Berbagai masalah tersebut sebagian besar bisa diatasi jika dokter menerapkan prinsip EBM. Per deIinisi EBM merupakan pendekatan baru dalam memberikan pelayanan kesehatan, Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 7 terdiri atas trilogi: (1) penggunaan bukti-bukti ilmiah terbaik, (2) keterampilan klinis, dan (3) pemenuhan nilai dan ekspektasi pasien. Hasil penelitian menunjukkan, pendekatan EBM dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mencegah kesalahan medis (Price, 2000; Leape et al., 2002; Project HOPE, 2005). 4. Langkah-Langkah EBM Sebuah strategi yang eIisien untuk menerapkan EBM adalah strategi push and pull. Dengan PUSH (JUST IN CASE) dimaksudkan, bukti-bukti riset terbaik tentang masalah klinis pasien yang sering atau banyak dijumpai di tempat praktik secara proaktiI dicari dan dipelajari SEBELUM pasien mengunjungi praktik klinis, lalu bukti-bukti tersebut disimpan ke dalam Iile atau memori dokter. Dengan PULL (JUST IN TIME) dimaksudkan, bukti- bukti riset terbaik yang tersimpan dalam Iile atau memori dokter ditarik, diambil, dan digunakan KETIKA pasien mengunjungi praktik klinis. Intinya, praktik EBM terdiri atas lima langkah (Tabel 1) (Sackett, 1997; Straus et al., 2005). Kelima langkah EBM bisa disingkat 5A: asking, acquiring, appraising, applying, assessing. Langkah 1: Merumuskan pertanyaan klinis BACKGROUND QUESTIONS. Ketika seorang dokter memberikan pelayanan medis kepada pasien hampir selalu timbul pertanyaan di dalam benaknya tentang diagnosis, kausa, prognosis, maupun terapi yang akan diberikan kepada pasien. Sebagian dari pertanyaan itu cukup sederhana atau merupakan pertanyaan rutin yang mudah dijawab, disebut pertanyaan latar belakang (background questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005). Contoh pertanyaan klinis yang mudah dijawab/ background questions: (1) Bagaimana cara mendiagnosis tuberkulosis paru? (2) Apakah gejala dan tanda yang terbanyak dijumpai tentang malaria? (3) Bagaimana cara hiperkolesterolemia meningkatkan risiko pasien untuk mengalami inIark otot jantung? (4) Apakah penyebab hiperbilirubinemia? (5) Apakah kontra-indikasi pemberian kortikosteroid? Tabel 1 Lima langkah Evidence-Based Medicine Langkah 1 Rumuskan pertanyaan klinis tentang pasien, terdiri atas empat komponen: Patient, Intervention, Comparison, dan Outcome Langkah 2 Temukan bukti-bukti yang bisa menjawab pertanyaan itu. Salah satu sumber database yang eIisien untuk mencapai tujuan itu adalah PubMed Clinical Queries. Langkah 3 Lakukan penilaian kritis apakah bukti-bukti benar (valid), penting (importance), dan dapat diterapkan di tempat praktik (applicability) Langkah 4 Terapkan bukti-bukti kepada pasien. Integrasikan hasil penilaian kritis dengan keterampilan klinis dokter, dan situasi unik biologi, nilai-nilai dan harapan pasien Langkah 5 Lakukan evaluasi dan perbaiki eIektivitas dan eIisiensi dalam menerapkan keempat langkah tersebut Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 8 Pertanyaan latar belakang dikemukakan untuk memperoleh pengetahuan medis yang bersiIat umum yang lazim dikemukakan oleh mahasiswa kedokteran, misalnya Iisiologi dan pato- Iisiologi penyakit. Bagi kebanyakan dokter praktik, pertanyaan latar belakang mudah dijawab dengan menggunakan pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dokter, pengalaman praktik klinis, mengikuti seminar, continuing medical education (CME), membuka buku teks, ataupun membaca kajian pustaka. FOREGROUND QUESTIONS. Banyak pertanyaan klinis lainnya yang sulit dijawab, yang tidak memadai untuk dijawab hanya berdasarkan pengalaman, membaca buku teks, atau mengikuti seminar. Pertanyaan yang sulit dijawab disebut pertanyaan latar depan (Ioreground questions) (Sackett et al., 2000; Hawkins, 2005). Pertanyaan latar depan bertujuan untuk memperoleh inIormasi spesiIik yang dibutuhkan untuk membuat keputusan klinis. Contoh pertanyaan klinis yang sulit dijawab/ Ioreground questions: (1) Apakah vaksin MMR (mumps, measles, rubella) menyebabkan autisme pada anak, sehingga sebaiknya tidak diberikan kepada anak? (Halsey et al., 2001) (2) Apakah skrining kanker prostat, baik dengan teknik _digital rectal examination (DRE) ataupun tes darah _prostate-speciIic antigen (PSA), berguna untuk menurunkan mortalitas spesiIik kanker prostat, menurunkan mortalitas semua kausa, meningkatkan kualitas hidup, sehingga dibenarkan untuk dilakukan? (Ilic et al., 2006; Gjertson dan Albertsen, 2011) (3) Manakah yang lebih eIektiI, penisilin intramuskuler atau penisilin per oral untuk mencegah rekurensi demam rematik dan inIeksi streptokokus tenggorok? Manakah yang lebih baik, injeksi penisilin tiap 2-3 minggu atau tiap 4 minggu? (Manyemba dan Mayosi, 2002, diperbarui 2009). (4) Manakah yang lebih akurat, magnetic resonance imaging (MRI) atau computed tomography (CT) scan, untuk mengidentiIikasi stroke kecil multipel di dalam otak? (Cedars- Sinai, 2010) (5) Bagaimana eIektivitas antigen H. pylori Ieses dibandingkan dengan endoskopi untuk mendeteksi inIeksi H. pylori?" (Zakowski et al., 2004) (6) Manakah yang lebih baik, implantasi lensa intra-okuler multiIokal atau monoIokal standar, untuk memperbaiki ketajaman visus, meningkatkan kepuasan subjektiI penglihatan, menurunkan ketergantungan pada kacamata, mengurangi kesilauan dan sensitivitas kontras, pada pasien pasca ekstraksi katarak? (Leyland dan Pringle, 2006). (7) Manakah yang lebih eIektiI, doxapram intravena atau methylxanthine (misalnya, theophylline, aminophylline atau caIIeine) intravena untuk pengobatan apnea pada bayi prematur? (Henderson-Smart dan Steer, 2000, diperbarui 2010) (8) Apakah akupunktur eIektiI dan aman untuk mengobati depresi? (Smith et al., 2010) (9) Apakah PRO 140, suatu antibodi buatan laboratorium untuk memblok reseptor CCR5 pada sel CD4, eIektiI dan aman untuk mengobati pasien yang terinIeksi HIV-1? (Li et al., 2010) (10) Apakah suplemen mikronutrien multipel eIektiI dan aman untuk mengurangi mortalitas dan morbiditas orang dewasa dan anak dengan inIeksi HIV? (Irlam et al., 2010) Pertanyaan latar depan tentang keakuratan diagnosis, kebenaran kausa, keakuratan prognosis, eIektivitas dan kerugian terapi, tidak memadai dan tidak dibenarkan jika diperoleh jawabnya hanya berdasarkan mengikuti seminar, membaca tinjauan pustaka dan buku teks. Pertanyaan latar depan memerlukan upaya yang lebih sistematis untuk Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 9 menjawabnya, dengan menggunakan bukti-bukti dari sumber database hasil riset yang otoritatiI dan terpercaya kebenarannya. Jawaban yang benar atas pertanyaan latar depan memerlukan keterampilan dokter untuk menilai kritis kualitas bukti hasil riset. Bukti-bukti terbaik dan terkini untuk menjawab pertanyaan latar depan diperoleh dari aneka sumber data base hasil riset yang bisa diakses melalui web, misalnya, PIER, ACP Journal, Cochrane Library (www.nelh.nhs.uk/cochrane.asp), Evidence Based Medicine (www.ebm.bmjjournals.com/), Bandolier (www.ebandolier. com/), dan perpustakaan elektronik/e-library, misalnya, PubMed (www.pubmed.gov), National Electronic Library Ior Health (www.nelh.nhs.uk/). Agar jawaban yang benar atas pertanyaan klinis latar depan bisa diperoleh dari database, maka pertanyaan itu perlu dirumuskan dengan spesiIik, dengan struktur terdiri atas empat komponen, disingkat PICO: 1. Patient and problem 2. Intervention 3. Comparison 4. Outcome Sebagai contoh, seorang dokter menghadapi pasien laki-laki berusia 30 tahun dengan keluhan nyeri abdomen akut. Dokter itu masih ragu tentang kebenaran diagnosis yang dibuat setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan Iisik. Dia ingin mengetahui tes diagnostik yang baik yang bisa membantu membuat diagnosis dengan lebih meyakinkan. Pertanyaan klinis yang baik dirumuskan dengan spesiIik sebagai berikut, 'Manakah yang lebih baik, computed tomography (CT) atau ultrasonograIi untuk mendiagnosis apendisitis pada laki-laki usia 30 tahun dengan nyeri abdomen akut? Patient and problem Pertanyaan klinis perlu mendeskripsikan dengan jelas karakteristik pasien dan masalah klinis pasien yang dihadapi pada praktik klinis. Karakteristik pasien dan masalahnya perlu dideskripsikan dengan eksplisit agar bukti-bukti yang dicari dari database hasil riset relevan dengan masalah pasien dan dapat diterapkan, yaitu bukti-bukti yang berasal dari riset yang menggunakan sampel pasien dengan karakteristik serupa dengan pasien/ populasi pasien yang datang pada praktik klinik. Keserupaan antara karakteristik demograIis, morbiditas, klinis, dari sampel penelitian dan pasien yang datang pada praktik klinik penting untuk diperhatikan, karena mempengaruhi kemampuan penerapan bukti-bukti (applicability). Jika karakteristik kedua populasi berbeda, maka bukti-bukti yang dicari tidak dapat diterapkan, atau dapat diterapkan dengan pertimbangan yang hati-hati dan bijak (conscientious and judicious judgment). Masalah klinis yang dihadapi dokter dan perlu dijawab dengan metode EBM perlu dirumuskan dengan jelas apakah mengenai kausa/ etiologi penyakit pasien, akurasi tes diagnostik, manIaat terapi, kerugian (harm) dari terapi, atau prognosis. Intervention Pertanyaan klinis perlu menyebutkan dengan spesiIik intervensi yang ingin diketahui manIaat klinisnya. Intervensi diagnostik mencakup tes skrining, tes/ alat/ prosedur diagnostik, dan biomarker. Intervensi terapetik meliputi terapi obat, vaksin, prosedur bedah, konseling, penyuluhan kesehatan, upaya rehabilitatiI, intervensi medis dan pelayanan kesehatan lainnya. Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 10 Tetapi intervensi yang dirumuskan dalam pertanyaan klinis bisa juga merupakan paparan (exposure) suatu Iaktor yang diduga merupakan Iaktor risiko/ etiologi/ kausa yang mempengaruhi terjadinya penyakit/ masalah kesehataan pada pasien. Intervensi bisa juga merupakan Iaktor prognostik yang mempengaruhi terjadinya akibat-akibat penyakit, seperti kematian, komplikasi, kecacatan, dan sebagainya (bad outcome) pada pasien. Comparison Prinsipnya, secara metodologis untuk dapat menarik kesimpulan tentang manIaat suatu tes diagnostik, maka akurasi tes diagnostik itu perlu dibandingkan dengan keberadaan penyakit yang sesungguhnya, tes diagnostik yang lebih akurat yang disebut rujukan standar (standar emas), atau tes diagnostik lainnya. Hanya dengan melakukan perbandingan maka dapat disimpulkan apakah tes diagnostik tersebut bermanIaat atau tidak bermanIaat untuk dilakukan. Sebagai contoh, jika hasil tes diagnostik mendekati keberadaan penyakit yang sesungguhnya, atau mendekati hasil tes diagnostik standar emas, maka tes diagnostik tersebut memiliki akurasi yang baik, sehingga bermanIaat untuk dilakukan. Demikian pula untuk menarik kesimpulan tentang eIektivitas terapi, maka hasil dari pemberian terapi perlu dibandingkan dengan hasil tanpa terapi. Jika terapi memberikan perbaikan klinis pada pasien, tetapi pasien tanpa terapi juga menunjukkan perbaikan klinis yang sama, suatu keadaan yang disebut _eIek plasebo, maka terapi tersebut tidak eIektiI. Pembanding yang digunakan tidak harus tanpa intervensi (do nothing) ataupun plasebo. Pembanding bisa juga merupakan intervensi alternatiI atau terapi standar yang digunakan selama ini (status quo). Jenis pembanding yang digunakan sangat penting untuk dicermati karena sangat mempengaruhi kesimpulan dan penerapan temuan. Contoh, sebuah terapi baru mungkin memberikan perbaikan klinis cukup besar dan secara statistik signiIikan ketika dibandingkan dengan tanpa terapi. Dinyatakan dalam ukuran eIek terapi yang disebut NNT (number needed to treat), terapi baru mungkin memiliki NNT cukup rendah sehingga cukup eIektiI dibandingkan dengan plasebo. Tetapi terapi baru sesungguhnya tidak memberikan perbaikan inkremental klinis dengan cukup besar dan secara statistik tidak signiIikan jika dibandingkan dengan terapi standar. Jika eIek terapi dinyatakan dalam NNT, terapi baru mungkin memiliki NNT yang tidak cukup kecil untuk bisa disebut eIektiI jika dibandingkan dengan terapi lama (standar). Bila dalam aspek kerugian (harm, adverse events) serta biaya yang diakibatkan oleh terapi baru dan terapi standar sama, maka tidak ada alasan untuk menyimpulkan terapi baru lebih baik daripada terapi standar. Outcome EIektivitas intervensi diukur berdasarkan perubahan pada hasil klinis (clinical outcome). Konsisten dengan triad EBM, EBM memandang penting hasil akhir yang berorientasi pasien (patient-oriented outcome) dari sebuah intervensi medis (Shaugnessy dan Slawson, 1997). Patient-oriented outcome dapat diringkas menjadi 3D: (1) Death; (2) Disability; dan (3) DiscomIort. Intervensi medis seharusnya bertujuan untuk mencegah kematian dini, mencegah kecacatan, dan mengurangi ketidaknyamanan. 1. Death. Death (kematian) merupakan sebuah hasil buruk (bad outcome) jika terjadi dini atau tidak tepat waktunya. Contoh, balita yang mati akibat dehidrasi pasca diare, kematian mendadak (sudden death) yang dialami laki-laki usia 50 tahun pasca serangan jantung, merupakan kematian dini yang seharusnya bisa dicegah. 2. Disability. Disability (kecacatan) adalah ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari di rumah, di tempat bekerja, melakukan aktivitas sosial, atau melakukan rekreasi. Contoh, kebutaan karena retinopati diabetik pada pasien Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 11 diabetes melitus, hemiplegi pasca serangan stroke, merupakan kecacatan yang seharusnya bisa dihindari. Kecacatan mempengaruhi kualitas hidup pasien, diukur dengan QALY (quality-adjusted liIe year), DALY (disability-adjusted liIe year), HYE (healthy years equivalent), dan sebagainya. 3. DiscomIort. DiscomIort (ketidaknyamanan) merupakan gejala-gejala seperti nyeri, mual, sesak, gatal, telinga berdenging, cemas, paranoia, dan aneka gejala lainnya yang mengganggu kenyamanan kehidupan normal manusia, dan menyebabkan penderitaan Iisik dan/ atau psikis manusia. Contoh, dispnea pada pasien dengan asma atau kanker paru, merupakan ketidaknyamanan yang menurut ekspektasi pasien penting, yang lebih penting untuk diatasi daripada gambaran hasil laboratorium yang ditunjukkan tentang penyakit itu sendiri. Ketidaknyamanan merupakan bagian dari kualitas hidup pasien. Bukti yang digunakan dalam EBM adalah bukti yang bernilai bagi pasien (Patient Oriented Evidence that Matters, 'POEM), bukan bukti yang berorientasi penyakit (Disease Oriented Evidence, DOE) (Shaughnessy dan Slawson, 1997, Mathew, 2010). Bukti yang berorientasi penyakit meliputi bukti prematur (premature evidence), surrogate end points, atau hasil antara (intermediate outcome) , misalnya hepatitis B surIace antigen, kadar glycohemoglobin, volume akhir diastolik ventrikel kiri, persentase stenosis arteri koroner, saturasi O2, ukuran tumor, waktu operasi, dan sebagainya. Perlu dicamkan bahwa bukti tentang penyakit tidak identik dengan bukti perbaikan klinis pasien. Hasil riset menunjukkan, sering kali bukti penyakit ( hasil pemeriksaan laboratorium) tidak berkorelasi atau berkorelasi lemah dengan bukti perbaikan klinis pasien. Contoh, terapi antihipertensi menurunkan tekanan darah dan kematian. Jadi bukti penyakit sesuai dengan bukti tentang pasien. Sebaliknya pemberian antiaritmia (misalnya, ecainide) menurunkan kontraksi ventrikel dini (premature ventricular contraction) yang ditunjukkan oleh EKG. Tetapi encainide memiliki eIek inotropik negatiI, meningkatkan mortalitas pasien, meningkatkan risiko aritmia Iatal (Ebell et al., 1999, Wikipedia, 2010b). Jadi bukti tentang penyakit bertentangan dengan bukti tentang pasien . Demikian pula prostate speciIic antigen (PSA) mampu mendeteksi dini kanker prostat, tetapi tidak memberikan dampak yang signiIikan bagi penurunan mortalitas karena kanker prostat maupun penyebab lainnya (Djulbegovic et al., 2010; Gjertson dan Albertsen, 2011) (Tabel 2). Tabel 2 Bukti berorientasi penyakit (_DOE) versus bukti berorientasi pasien (_POEM) Contoh Disease-Oriented Evidence (DOE) Patient-Oriented Evidence that Matters (POEM) Catatan Terapi Antiaritmia Encainide menurunkan PVC pada pembacaan EKG Encainide meningkatkan kematian Hasil riset yang menghasilkan DOE bertentangan dengan riset POEM Terapi Antihipertensi Terapi antihipertensi menurunkan tekanan darah Terapi antihipertensi menurunkan kematian Hasil riset DOE sesuai dengan riset POEM Skrining prostat Skrining PSA mendeteksi dini kanker Skrining PSA tidak menurunkan kematian karena kanker prostat Hasil riset POEM tidak mendukung riset DOE PVC premature ventricle contraction, disebut juga denyut jantung ektopik, extrasystole. Tes PSA tes Prostate SpeciIic Antigen Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 12 Death menentukan kuantitas hidup. Sedang disability dan discomIort mempengaruhi kualitas hidup (quality oI liIe). Dalam paradigma EBM, manIaat dari intervensi medis dinilai dari kuantitas maupun kualitas hidup pasien. Contoh, terapi paliatiI bertujuan mengurangi gejala penyakit dan penderitaan pasien, meningkatkan kualitas hidup pasien dengan masalah penyakit serius dan kompleks, misalnya kanker. Terapi paliatiI bukan bertujuan menyetop, menunda, atau membalikkan arah progresi penyakit, atau menyembuhkan (cure) penyakit. Terapi paliatiI merupakan contoh pelayanan medis yang menggunakan paradigma EBM, karena hasil yang dinginkan adalah perbaikan yang dirasakan oleh pasien (FallowIield, 2009; Wikipedia, 2010c). Kualitas hidup yang digunakan dalam konteks pelayanan kesehatan adalah kualitas hidup terkait kesehatan (Health-Related QoL, HRQoL). HRQoL merupakan kualitas hidup terkait kesehatan yang dinilai oleh pasien, meliputi dimensi Iisik/ biologis, Iungsi, sosial/ okupasional, dan psikologis/ emosional, dari seorang (FallowIield, 2009). HRoL merupakan contoh bukti yang berorientasi pasien (POEM). Langkah 2: Mencari Bukti Setelah merumuskan pertanyaan klinis secara terstruktur, langkah berikutnya adalah mencari bukti-bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut. Bukti adalah hasil dari pengamatan dan eksperimentasi sistematis (McQueen dan Anderson 2001). Jadi pendekatan berbasis bukti sangat mengandalkan riset, yaitu data yang dikumpulkan secara sistematis dan dianalisis dengan kuat setelah perencanaan riset (Banta 2003). Bukti ilmiah yang dicari dalam EBM memiliki ciri-ciri EUREKA - Evidence that is Understandable, Relevant, Extendible, Current and Appraised yaitu bukti yang dapat dipahami, relevan, dapat diterapkan/ diekstrapolasi, terkini, dan telah dilakukan penilaian (Mathew, 2010). Gambar 3 menyajikan algoritme untuk mencari bukti dari artikel riset asli dengan lebih eIisien. Pertama, mulailah dengan memperhatikan judul artikel. Meskipun hanya terdiri atas sekitar 10-15 kata, judul artikel sangat penting. Judul lazimnya mengindikasikan variabel yang diteliti (baik intervensi maupun variabel hasil yang diteliti), populasi sasaran, dan setting/ lokasi penelitian. Jadi judul artikel sesungguhnya sudah bisa mengisyaratkan apakah artikel yang bersangkutan relevan dan Gambar 3 Strategi mencari bukti dari artikel dalam jurnal Perhatikan judul artikel Artikel asli atau kajian kritis? Apakah berhubungan langsung dengan praktik? Lihat abstrak Apakah relevan dengan pertanyaan klinis (PICO)? Ya Tidak Teruskan pencarian bukti dari artikel berikutnya Tidak Lakukan penilaian kritis (VIA) artikel Ya Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 13 akan menjawab pertanyaan klinis (PICO). Jika judul tidak relevan dengan praktik klinis, artikel tersebut tidak perlu dibaca, dan klinisi bisa meneruskan pencarian bukti dari artikel lainnya. Sebaliknya jika relevan dengan praktik klinis, klinisi perlu membaca abstrak artikel. ABSTRACT (abstrak) jurnal kedokteran umumnya terstruktur, terdiri atas BACKGROUND (berisi latar belakang dan tujuan), SUBJECT/ MATERIAL AND METHODS (subjek/ materi dan metode), RESULTS (hasil), dan CONCLUSIONS (kesimpulan). Jika isi abstrak mengindikasikan bahwa artikel itu tidak menjawab pertanyaan klinis (PICO) dan/ atau menggunakan metode dasar yang tidak benar, maka teruskan dengan mencari bukti dari artikel lainnya. Sebaliknya jika relevan, maka lakukan penilaian kritis (critical appraisal) menyangkut VIA (validity, importance, acceptability) bukti-bukti pada artikel tersebut. Editorial berguna untuk dibaca, karena mengulas dan memberi komentar atau kritik terhadap artikel asli, sehingga memberikan konteks masalah klinis. Editorial biasanya merujuk kepada artikel dari sejumlah jurnal lain, sehingga merupakan sinopsis (ringkasan) dari publikasi artikel asli, dan memaparkan isu yang perlu mendapat perhatian khusus. Sumber Bukti Keberhasilan menerapkan EBM sangat tergantung pada ketersediaan bukti terbaik dan terkini. Dokter membutuhkan akses cepat terhadap bukti tentang diagnosis, terapi, dan pencegahan penyakit atau masalah kesehatan pasien. Idealnya bukti tersebut sesuai dengan karakteristik dan konteks individu pasien atau populasi, dan sumberdaya yang ada pada pemberi pelayanan kesehatan. Lalu di mana sebaiknya dokter mencari bukti? Buku teks bukan merupakan sumber bukti yang baik untuk Ioreground questions, karena umumnya kedaluwarsa dan hanya memadai untuk background questions. Sumber bukti yang dianjurkan untuk Ioreground questions adalah sumber yang berbasis artikel riset yang dipublikasikan, yang valid (benar) dan aktual (terkini). Bukti yang disediakan lebih mudah untuk digunakan jika secara eksplisit merupakan hasil dari proses penyiapan dan penyajian untuk menjawab masalah klinis pasien, berbasis ringkasan sejumlah artikel dan kajian riset. Sumber bukti klinis dapat dibagi menjadi dua kategori: sumber primer dan sumber sekunder. Sumber bukti primer adalah bukti dari riset asli. Sumber sekunder adalah bukti dari ringkasan arau sintesis dari sejumlah riset asli. Haynes (2005) mengembangkan model hirarki organisasi pelayanan inIormasi klinis yang disebut 4S(Gambar 4) Model hirarki bukti 4S terdiri atas Studi (riset asli, terletak pada dasar hirarki), Sintesis (kajian sistematis pada level berikutnya), Sinopsis (deskripsi singkat dari artikel dan kajian jurnal EBM), dan Sistem (sistem pendukung keputusan berbasis komputer yang Sistem Sinopsis Sintesis Studi Sistem pendukung keputusan berbasis komputer Abstrak dari kajian jurnal EBM Kajian sistematis Cochrane Artikel asli yang diterbitkan di jurnal Gambar 4 Model organisasi pelayanan inIormasi klinis hirarki 4S berdasarkan kemudahan inIormasi untuk digunakan. Sumber: Haynes (2005) Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 14 menghubungan karakteristik individu pasien dengan bukti yang relevan, terletak pada puncak hirarki). Hirarki tersebut menunjukkan tingkat kesiapan bukti dan kecepatan penggunaan bukti. Haynes (2001) menyarankan klinisi untuk menggunakan model hirarki 4s dalam mencari bukti, berturut-turut dimulai dari sistem, sinopsis, sintesis, diakhiri dengan studi. Makin tinggi sumber bukti pada hirarki, makin dekat bukti yang dipersiapkan dan disajikan dengan pertanyaan klinis yang dihadapi klinisi pada praktik klinis, makin cepat dan relevan klinisi dalam mendapatkan bukti. Meski demikian penggunaan model 4S perlu dilakukan dengan hati-hati. Haynes (2006) sendiri dengan mengutip kata-kata George Box, seorang statistikawan industri, All models are wrong, some are useIul, mengingatkan bahwa tidak ada model yang sempurna. Semua model adalah salah, tetapi beberapa berguna. Demikian pula model hirarki 4S memiliki kekurangan terlalu menyederhanakan hubungan antara berbagai sumber pelayanan inIormasi klinis tersebut. Model 4S sebaiknya dipahami sebagai gambaran tentang tingkat kemudahan pelayanan inIormasi dari masing-masing sumber bukti untuk digunakan. Sebagai contoh, sistem dan sinopsis merupakan sumber pelayanan inIormasi yang memang secara eksplisit dipersiapkan dan disajikan untuk menjawab pertanyaan klinis spesiIik yang dibutuhkan klinisi. Karena itu sistem dan sinopsis memberikan keuntungan lebih cepat untuk bisa digunakan oleh klinisi. Tetapi klinisi perlu mencermati siapa yang membuat ringkasan (sinopsis). Reputasi pembuat ringkasan menentukan validitas (kebenaran) bukti/ inIormasi. Klinisi perlu memilih sumber sistem dan sinopsis yang otoritatiI/ kredibel. Sintesis dan studi tidak secara khusus dipersiapkan untuk memberikan pelayanan inIormasi klinis, karena itu klinisi perlu mengolah dan menyesuaikan inIormasi yang diperoleh dengan masalah klinis pasien. Dalam hal validitas (kebenaran) bukti, sintesis yaitu systematic review dan meta-analisis, merupakan sumber bukti yang paling otoritatiI/ kredibel. Tetapi kualitas systemtic review dan meta-analisis juga tergantung dari kualitas masing-masing studi yang dikaji. Bukti yang diberikan systematic review dan meta-analisis perlu dianalisis dengan kritis (critical appraisal) sebelum diterapkan pada praktik klinis (Schranz dan Dunn, 2007). Sistem. Dengan sistem dimaksudkan sistem inIormasi klinis berbasis komputer yang mengintegrasikan dan meringkas semua bukti riset yang penting dan relevan dengan masalah klinis spesiIik pasien. InIormasi yang tersedia dalam sistem merupakan hasil dari proses kajian yang secara eksplisit dilakukan untuk menyediakan bukti baru yang berasal dari artikel pada jurnal. Sistem diperbarui jika tersedia bukti riset yang baru dan penting. Sumber bukti sistem meliputi: BMJ Clinical Evidence (http://www.clinicalevidence. com), UpToDate (http://www.uptodate.com), PIER: The Physicians InIormation and Education Resource (http://pier.acponline.org/index.html), WebMD (http://webmd.com)denan koneksi ke ACP Medicine (www.acpmedicine.com), dan Bandolier (http:// www.ebandolier.com/). Sinopsis. Sinopsis (abstrak) merupakan ringkasan temuan penting dari sebuah atau sejumlah riset asli dan kajian. Sinopsis merupakan sumber berikutnya jika tidak tersedia sistem. Sinopsis disebut juga Clinically Appraised Topics (CATs), memberikan inIormasi dengan topik yang dibutuhkan untuk menjawab masalah klinis di tempat praktik. CATs merupakan ringkasan sebuah atau sejumlah studi dan temuan-temuannya yang dapat dikaji dan digunakan oleh klinisi di kemudian hari. Sebuah CATs terdiri atas judul artikel, kesimpulan yang disebut Clinical Bottom Line, pertanyaan klinis, ringkasan hasil, komentar, tanggal publikasi studi, dan sitasi yang relevan (Schranz dan Dunn, 2007). Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 15 Judul sinopsis biasanya dinyatakan dalam kalimat deklaratiI atau interogatiI untuk memperjelas temuan. Sebagai contoh, beberapa judul sinopsis dari database BestBETs: 1. __Antibiotics do not lead to general improvement in upper respiratory tract, 2. IbuproIen is probably better than paracetamol in reducing Iever in children, 3. Is continuous positive airway pressure eIIective in bronchiolitis?, dan sebagainya. Sumber bukti sinopsis meliputi ACP |American College oI Physicians| Journal Club (http://www.acpjc.org) , EBM (http://ebm. bmj.com), CATs (www.cebm.jr2.ox.ac.uk), POEMs (www.inIopoems.com), BestBETS (www.bestbets.com). Gambar 5 menyajikan Search BETs untuk mencari sinopsis dari database BestBETS. Sebagai contoh, seorang klinisi ingin mengetahui eIektivitas ibuproIen dibandingkan parasetamol untuk menurunkan demam pada anak berusia 12 tahun. Pertanyaan klinis dapat dirumuskan dengan PICO: Pada anak berusia 12 tahun dengan demam, apakah pemberian ibuproIen lebih eIektiI daripada parasetamol untuk menurunkan demam?. Struktur PICO dari pertanyaan klinis sebagai berikut: 1. Patient and problem: Anak usia 12 tahun, manIaat terapi 2. Intervention: IbuproIen 3. Comparison: Parasetamol 4. Outcome: Penurunan demam Dengan mengetik kata kunci ibuproIen pada Search BETs, diperoleh sinopsis dengan judul IbuproIen is probably better than paracetamol in reducing Iever in children (Gambar 6). Sinopsis tersebut berisi ringkasan dari 6 artikel yang relevan, terdiri dari 3 artikel dari Medline dan 3 artikel dari EMBASE. Enam artikel terpilih dari hasil penelusuran ratusan artikel dari Medline, EMBASE, CINAHL, dan Cochrane library. Gambar 5 Mencari sinopsis dari database BestBETS, dengan mengetik kata kunci pada Search BETs. Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 16 Kesimpulan (Clinical Bottom Line) pada BestBETs menyebutkan, kedua antipiretika eIektiI untuk menurunkan suhu anak dengan demam. IbuproIen menunjukkan durasi aksi yang lebih panjang, dan eIektivitasnya dalam menurunkan suhu dapat ditingkatkan dengan dosis yang lebih tinggi. Sintesis. Sintesis merupakan ringkasan sistematis dan terinci dari hasil sejumlah riset tunggal, sehingga disebut kajian sistematis (systematic review). Kajian sistematis yang dinyatakan dengan ukuran kuantitatiI disebut meta-analisis. Kajian sistematis memberikan bukti bernilai paling tinggi dari 4S. Tetapi klinisi tetap perlu melakukan penilaian kritis terhadap bukti-bukti kajian sistematis. Karena kualitas kajian sistematis tergantung dari masing-masing studi primer/ asli yang dikaji (Schranz dan Dunn, 2007). Sumber bukti sintesis meliputi Cochrane Library (http://www3. interscience.wiley. com/ cgi-bin/mrwhome/106568753/HOME) dan DARE www.york.ac.uk/inst/crd/welcome.htm). Tetapi kajian sistematis bisa juga diperoleh melalui dabase Medline, Ovid EBMR, Evidence- Based Medicine / ACP Journal Club, dan lain-lain. Bagian dari Cochrane Library yang memberikan pelayanan database kajian sistematis adalah Cochrane Reviews. Cochrane Reviews menginvestigasi dan mengumpulkan sejumlah studi primer/ asli (sebagian besar randomized controlled trials /RCT, clinical controlled trials, dan sebagian kecil studi observasional). Hasil investigasi berbagai riset primer lalu disintesis dengan membatasi bias dan kesalahan random. Hasil kajian sistematis dari Cochrane Reviews disajikan dalam Abstract dan Summary. Abstract terdiri atas Background, Objectives, Search strategy, Selection criteria, Data collection and analysis, Main results, Authors conclusions. Sedang Summary intinya mirip abstract, hanya saja dinarasikan dalam Iormat yang mudah dicerna. Gambar 6 Sinopsis hasil penelusuran dari sumber database BestBETs Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 17 Sebagai contoh, seorang klinisi ingin mengetahui apakah ada gunanya memberikan suplemen vitamin A sebagai terapi ajuvan (tambahan) untuk mengurangi mortalitas dan beratnya perjalanan pneumonia pada anak. Pertanyaan klinis dengan struktur PICO: 1. Patient problem: anak dengan pneumonia, manIaat terapi 2. Intervention: vitamin A sebagai terapi ajuvan 3. Comparison: tanpa vitamin A sebagai terapi ajuvan 4. Outcome: mortalitas, beratnya penyakit (durasi rawat inap) Buka Cochrane Reviews (http://www.cochrane.org/cochrane-reviews). Ketik kata kunci berdasarkan PICO. Penulisan kata kunci dalam Cochrane Reviews tidak memerlukan operator Boolean seperti AND atau OR (Gambar 7). Pencarian pada Cochrane Reviews menghasilkan 48 kajian sistematis tentang manIaat pemberian vitamin A sebagai terapi ajuvan pada anak dengan pneumonia (Gambar 8). Pilih dan klik salah satu kajian sistematis yang paling relevan, misalnya kajian sistematis bertajuk Vitamin A Ior non-measles pneumonia in children (Wu et al., 2005). Kajian tersebut merangkum enam RCT, melibatkan 1740 anak berusia kurang dari 15 tahun dengan penumonia tanpa campak. Kajian sistematis menyimpulkan, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pemberian terapi ajuvan vitamin A menurunkan mortalitas (OR 1.29;CI 95 0.63 hingga 2.66), morbiditas, maupun durasi (hari) rawat inap (beda mean 0.08; CI95 0.43 hingga 0.59), pada anak dengan pneumonia tanpa campak. Tetapi kajian sistematis itu memberikan catatan, tidak semua studi yang dikaji mengukur semua variabel hasil (outcome) yang diinginkan, sehingga mengurangi jumlah studi yang bisa dimasukkan dalam meta-analisis. Akibatnya, kajian itu mungkin kurang memiliki kuasa statistik untuk mendeteksi perbedaan. Selain itu penulis menambahkan, vitamin A tidak menunjukkan manIaat pada pneumonia non campak mungkin karena eIek vitamin A bersiIat spesiIik untuk penyakit tertentu Gambar 7 Cochrane Reviews untuk mencari bukti dalam bentuk sintesis, yaitu kajian sistematis (meta-analisis) Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 18 (disease-speciIic). Vitamin A boleh jadi eIektiI jika pneumonia disertai komplikasi campak. Untuk menguji hipotesis itu dibutuhkan riset lanjutan. Cochrane Reviews juga memberikan pelayanan kajian sistematis dalam teks penuh (Iull-text). Tetapi pengguna perlu registrasi dan mengeluarkan biaya. Studi. Jika semua S (sistem, sinopsis, sintesis) tidak tersedia, maka waktunya bagi klinisi untuk menggunakan riset asli, yaitu studi. Bukti dari riset asli bisa diakses melalui beberapa cara: (1) Database on-line; (2) Arsip on-line artikel teks penuh; (3) Penerbit jurnal; (4) Mesin pencari. Sumber bukti database berisi studi yang otoritatiI meliputi MEDLINE/ PubMed (www.pubmed.com/), Embase (www.ovid.com), Trip database (www.tripdatabase.com/). Arsip on-line artikel teks penuh meliputi: HighWire (http://highwire.stanIord.edu/lists/ Ireeart.dtl), BMJ Journals (http://group.bmj.com/group/media/bmj-journals-inIormation- centre); Free Medical Journals (http://www.Ireemedicaljournals.com/), dan lain-lain. Website arsip on-line merupakan portal (pintu masuk) kepada sejumlah besar jurnal yang sebagian besar menyediakan artikel teks penuh. Umumnya artikel teks penuh bisa diunduh dengan cuma-cuma (gratis) untuk nomer terbitan lebih dari satu atau dua tahun dan tidak lebih lama dari 1997. Bahkan beberapa jurnal tertentu, misalnya New England Journal oI Medicine, menggratiskan nomer terbaru. Mesin pencari (search engine) yang tepat untuk mencari inIormasi ilmiah meliputi, SUMSearch (http://sumsearch.uthscsa.edu), Google (www.google.com), Google Scholar (http://scholar.google.co.id/schhp?hl en&tabws), dan Elseviers Scirus (www.scirus.com/ srsapp/) (Giustini, 2005). Homepage dari masing penerbit jurnal bisa dengan mudah diketahui dengan mengetik nama jurnal pada mesin pencari Google. Gambar 8 Hasil pencarian kajian sistematis dari Cochrane Reviews tentang manIaat vitamin A pada anak dengan pneumonia tanpa campak Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 19 Pengguna inIormasi dari artikel riset asli perlu melakukan penilaian kritis (critical appraisal) terhadap inIormasi yang diberikan. Langkah 3: Menilai Kritis Bukti EBM merupakan praktik penggunaan bukti riset terbaik yang tersedia (best available evidence). Tetapi ,not all evidences are created equal- tidak semua sumber bukti memberikan kualitas bukti yang sama. Dokter dituntut untuk berpikir kritis dan menilai kritis bukti (critical appraisal). Nilai bukti ditentukan oleh dua hal: (1) Desain riset; dan (2) Kualitas pelaksanaan riset. Tidak semua desain riset memberikan bukti yang sama kuatnya. Karena itu berdasarkan desain riset, dikenal hirarki bukti desain riset. Sebagai contoh, ada kecenderungan di antara dokter untuk bersikap paternalistik dan mengekor pendapat pakar (expert opinion) ketika membuat keputusan masalah klinis yang cukup kompleks. Apakah pendapat pakar memiliki nilai tinggi sebagai sebuah bukti ilmiah? Tidak. Dalam aspek eIektivitas terapi, bukti yang memiliki nilai tertinggi (excellent evidence) berasal dari kajian sistematis (systematic review) dari sejumlah randomized controlled trial (RCT), dan bukti yang buruk (poor evidence) berasal dari pendapat pakar. Tentang bukti yang buruk Evans (2003) menggambarkannya sebagai berikut ... This level oI evidence provides a poor basis Ior clinical practice and is at serious risk oI error or bias. Additionally, while this evidence can help in determining research priorities, because there is a greater risk that it may be wrong, and thereIore misleading, it is ranked below other Iorms oI evidence. Di samping desain riset, kualitas pelaksanaan riset juga menentukan kualitas bukti. Sebagai contoh, jika pengumpulan data pada RCT dilakukan dengan sembrono, tentu bukti yang dihasilkan dari RCT merupakan bukti yang buruk. Secara Iormal penilaian kritis (critical appraisal) perlu dilakukan terhadap kualitas buki-bukti yang dilaporkan oleh artikel riset pada jurnal. Intinya, penilaian kritis kualitas bukti dari artikel riset meliputi penilaian tentang validitas (validity), kepentingan (importance), dan kemampuan penerapan (applicability) bukti-bukti klinis tentang etiologi, diagnosis, terapi, prognosis, pencegahan, kerugian, yang akan digunakan untuk pelayanan medis individu pasien, disingkat 'VIA. Validity Setiap artikel laporan hasil riset perlu dinilai kritis tentang apakah kesimpulan yang ditarik benar (valid), tidak mengandung bias. Bias adalah kesalahan sistematis (systematic error) yang menyebabkan kesimpulan hasil riset yang salah tentang akurasi tes diagnosis, eIektivitas intervensi, akurasi prognosis, maupun kerugian/ etiologi penyakit. Validitas (kebenaran) bukti yang diperoleh dari sebuah riset tergantung dari cara peneliti memilih subjek/ sampel pasien penelitian, cara mengukur variabel, dan mengendalikan pengaruh Iaktor ketiga yang disebut Iaktor perancu (conIounding Iactor). Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti dalam memilih sampel pasien sehingga sampel kelompok- kelompok yang dibandingkan tidak sebanding dalam distribusi Iaktor perancu, atau sampel yang diperoleh tidak merepresentasikan populasi sasaran penelitian, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, eIek intervensi, atau kesimpulan tentang Iaktor risiko/ etiologi/ kausa penyakit atau akibat-akibat penyakit, disebut bias seleksi. Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 20 Kesalahan sistematis yang dilakukan peneliti pada berbagai Iase pengumpulan data penelitian, sejak mendesain instrumen, mengukur/ mengamati variabel, mencatat dan memasukkan data penelitian, menganalisis data, sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, eIektivitas intervensi, atau hubungan antara Iaktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut bias inIormasi (bias observasi, bias pengukuran). Kegagalan peneliti dalam mengendalikan Iaktor ketiga yang memiliki pengaruh independen terhadap variabel hasil yang diteliti, yang disebut Iaktor perancu (conIounding Iactor), sehingga diperoleh kesimpulan yang salah (bias, tidak valid) tentang akurasi tes diagnostik, keIektiIan intervensi, atau hubungan antara Iaktor risiko/ etiologi/ kausa dan penyakit atau akibat penyakit, disebut kerancuan (conIounding). Untuk memperoleh hasi riset yang benar (valid), maka sebuah riset perlu menggunakan desain studi yang tepat. Sebagai contoh, jika bukti yang diinginkan menyangkut eIektivitas dan keamanan intervensi terapetik, maka bukti yang terbaik berasal dari kajian sistematis/ meta-analisis dari randomized, triple-blind, placebo-controlled trial (RCT), yaitu eksperimen random dengan pembutaan ganda dan pembanding plasebo, dengan penyembunyian (concealment) hasil randomisasi, serta waktu Iollow-up yang cukup untuk melihat hasil yang diinginkan. Di pihak lain, testimoni (pengakuan) pasien, laporan kasus (case report), bahkan pendapat pakar, memiliki nilai rendah sebagai bukti, karena eIek plasebo (yaitu, perbaikan kesehatan yang dapat dihasilkan oleh intervensi medis palsu), bias yang timbul ketika mengamati atau melaporkan kasus, dan kesulitan dalam memastikan siapa yang bisa disebut pakar, dan sebagainya. Importance Bukti yang disampaikan oleh suatu artikel tentang intervensi medis perlu dinilai tidak hanya validitas (kebenaran)nya tetapi juga apakah intervensi tersebut memberikan inIormasi diagnostik ataupun terapetik yang substansial, yang cukup penting (important), sehingga berguna untuk menegakkan diagnosis ataupun memilih terapi yang eIektiI. Suatu tes diagnostik dipandang penting jika mampu mendiskriminasi (membedakan) pasien yang sakit dan orang yang tidak sakit dengan cukup substansial, sebagaimana ditunjukkan oleh ukuran akurasi tes diagnostik, khususnya Likelihood Ratio (LR). Jika sebuah tes mengklasiIikasikan sakit di antara orang-orang yang sakit dan yang tidak sakit dalam proporsi sama, maka tes diagnostik tersebut tidak memberikan inIormasi apapun untuk memperbaiki diagnosis, sehingga merupakan tes diagnostik yang tidak penting dan tidak bermanIaat untuk dilakukan. Suatu intervensi medis yang mampu secara substantiI dan konsisten mengurangi risiko terjadinya hasil buruk (bad outcome), atau meningkatkan probabilitas terjadinya hasil baik (good outcome), merupakan intervensi yang penting dan berguna untuk diberikan kepada pasien. Perubahan substantiI yang dihasilkan oleh suatu intervensi terhadap hasil klinis (clinical outcome) pada pasien, disebut signiIikansi klinis (kemaknaan klinis). Perubahan konsisten yang dihasilkan oleh suatu intervensi terhadap hasil klinis pada pasien, disebut signiIikansi statistik (kemaknaan statistik). Suatu intervensi disebut penting hanya jika mampu memberikan perubahan yang secara klinis maupun statistik signiIikan, tidak bisa hanya secara klinis signiIikan atau hanya secara statistik signiIikan. Ukuran eIek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manIaat terapi dalam mencegah risiko terjadinya hasil buruk adalah absolute risk reduction (ARR), relative risk reduction (RRR), dan number needed to treat (NNT). Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 21 Ukuran eIek yang lazim digunakan untuk menunjukkan manIaat terapi dalam meningkatkan kemungkinan terjadinya hasil baik adalah absolute beneIit increase (ABI), relative beneIit increase (RBI), dan number needed to treat (NNT). Setiap intervensi medis di samping berpotensi memberikan manIaat juga kerugian (harm). Ukuran eIek yang digunakan untuk menunjukkan meningkatnya risiko terjadi kerugian oleh suatu intervensi medis adalah rasio risiko (RR), odds ratio (OR), absolute risk increase (ARI), relative risk increase (RRI), dan number needed to harm (NNH). Applicability Bukti yang valid dan penting dari sebuah riset hanya berguna jika bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis. _Bukti terbaik dari sebuah setting riset belum tentu bisa langsung diekstrapolasi (diperluas) kepada setting praktik klinis dokter. Untuk memahami pernyataan itu perlu dipahami perbedaan antara konsep eIikasi (eIIicacy) dan eIektivitas (eIIectiveness). EIikasi (eIIicacy) adalah bukti tentang kemaknaan eIek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, seperti yang ditunjukkan pada situasi riset yang sangat terkontrol. Situasi yang sangat terkontrol sering kali tidak sama dengan situasi praktik klinis sehari-hari. Suatu intervensi menunjukkan eIikasi jika eIek intervensi itu valid secara internal (internal validity), dengan kata lain intervensi itu memberikan eIektiI ketika diterapkan pada populasi sasaran (target population) (Gambar 9). Agar intervensi eIektiI ketika diterapkan pada populasi yang lebih luas, yang tidak hanya meliputi populasi sasaran tetapi juga populasi eksternal (external population), maka intervensi tersebut harus menunjukkan eIektivitas. EIektivitas (eIIectiveness) adalah bukti tentang kemaknaan eIek yang dihasilkan oleh suatu intervensi, baik secara klinis maupun statistik, sebagaimana ditunjukkan/ diterapkan pada dunia yang nyata (,the real world). EIektivitas menunjukkan manIaat praktis-pragmatis dari sebuah intervensi ketika diterapkan pada lingkungan pelayanan dokter yang sesungguhnya, di mana banyak terdapat ketidakteraturan (irregularity) dan ketidakpastian (uncertainty), meskipun pada lingkungan yang sangat terkontrol alias terkendali intervensi itu mungkin eIektiI. Kemampuan penerapan intervensi dipengaruhi oleh banyak Iaktor, misalnya kesesuaian antara Sampling Sampling InIerensi statistik Gambar 9 Populasi sasaran, populasi eksternal, dan kemampuan penerapan (applicability) bukti riset Populasi pasien sasaran riset (target population) Populasi sumber (populasi terjangkau) Sampel pasien Bukti riset dapat diterapkan Bukti riset tidak dapat/mungkin dapat diterapkan Validitas eksternal (generalizability, ekstrapolasi, applicability, transIerability) Validitas internal Populasi pasien dalam praktik (populasi eksternal) Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 22 karakteristik populasi pasien dalam riset dan pasien di tempat praktik, kesesuaian antara variabel hasil yang diteliti dalam riset dan hasil yang diinginkan pada pasien (perbaikan klinis), akseptabilitas dan kepatuhan pasien, keamanan (jangka pendek maupun jangka panjang), biaya, cost-eIIectiveness, Iisibilitas (kelayakan), perbandingan dengan alternatiI intervensi lainnya, preIerensi pasien, akseptabilitas sosial, dan sebagainya. Pertimbangan semua Iaktor tersebut diperlukan untuk menentukan kemampuan penerapan intervensi. Dokter bekerja di dunia nyata, bukan dunia maya atau dunia lain. Karena itu keputusan untuk menggunakan/ tidak menggunakan intervensi perlu mempertimbangkan Iaktor-Iaktor yang mempengaruhi eIektivitas (eIIectiveness) intervensi. Suatu riset yang menemukan eIektivitas intervensi, dengan kata lain intervensi yang eIektiI ketika diterapkan pada populasi umum (populasi eksternal), maka temuan riset itu dikatakan memiliki validitas eksternal (external validity). Berdasarkan Iakta tersebut maka dalam praktik EBM, ,bukti eIektivitas (,evidence oI eIIectiveness) lebih bernilai daripada ,bukti eIikasi (,evidence oI eIIicacy) (Mathew, 2010). Langkah 4: Menerapkan Bukti Langkah EBM diawali dengan merumuskan pertanyaan klinis dengan struktur PICO, diakhiri dengan penerapan bukti intervensi yang memperhatikan aspek PICO patient, intervention, comparison, dan outcome. Selain itu, penerapan bukti intervensi perlu mempertimbangkan kelayakan (Ieasibility) penerapan bukti di lingkungan praktik klinis. Patient Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang pasien sebelum menerapkan intervensi: 1. Apakah pasien yang digunakan dalam penelitian memiliki karakteristik yang sama dengan pasien di tempat praktik? 2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan maupun kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien? 3. Bagaimana dampak psikologis-sosial-kutural pada pasien sebelumnya dalam menggunakan intervensi? Prinsip EBM adalah memberikan pelayanan yang berpusat kepada pasien (patient-centered care). Klinisi perlu memperhatikan kesesuaian karaktersistik pasien yang digunakan dalam riset dan pasien yang dihadapi di tempat praktik klinis (Gambar 1.4). Jika peneliti menggunakan pasien berspektrum luas sehingga memiliki karakteristik yang sama/ serupa dengan pasien di tempat praktik, maka bukti riset bisa diterapkan. Tetapi pada banyak kasus tidak seperti itu. Tidak jarang peneliti menerapkan kriteria inklusi dan eksklusi pada sampel pasien yang diteliti, suatu kebiasaan yang kontra-produktiI, sehingga sampel pasien yang diteliti menjadi sangat spesiIik dan berspektrum sempit. Jika pasien yang diteliti berspektrum sempit dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pasien di tempat praktik, maka klinisi harus melakukan pertimbangan seksama dan terbaik untuk memutuskan apakah bukti riset tersebut bisa diterapkan. Bagaimana cara menentukan bahwa suatu intervensi bisa/ tidak bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik? Apakah menggunakan rumus statistik? Perlu diingat bahwa banyak orang memiliki pandangan yang salah tentang statistik dan berharap terlalu banyak kepada statistik, seolah semua masalah bisa dan lebih baik jika diselesaikan dengan cara statistik. Cara berpikir sesat dan tolol tersebut menyebabkan sering kali terjadi statistical misuse, yaitu salah penggunaan statistik, ataupun statistical abuse, yaitu sengaja menyalahgunakan statistik untuk suatu niat yang tidak baik, misalnya membohongi pembaca. Dalam konteks Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 23 ini satu hal pasti bahwa tidak ada resep atau Iormula statistik yang dapat digunakan untuk menentukan generalizability, yakni kemampuan penerapan bukti riset kepada masalah pasien di tempat praktik. Dokter perlu menggunakan pengetahuan yang ada, pertimbangan klinis (clinical judgment) terbaik dan pemikiran logis (logical thinking) untuk menentukan apakah bukti riset tepat untuk diterapkan pada pasien di tempat praktik (Rothman, 2002). Sebagai contoh, dokter di Indonesia menulis resep ratusan jenis obat yang eIektivitasnya diuji dalam riset yang dilakukan di negara maju, seperti AS, Kanada, Eropa Barat, Jepang, Australia, bukan di Indonesia. Hampir tidak ada satupun dari ribuan riset tersebut menggunakan sampel orang Indonesia, sehingga sampel yang digunakan tidak merepresentasikan populasi Indonesia. Tetapi Iaktanya, semua dokter di Indonesia memberikan obat tersebut untuk pasien Indonesia. Jadi salahkah praktik yang dilakukan semua dokter di Indonesia ketika memberikan obat kepada pasien? Jika eIektivitas semua obat tersebut valid secara internal untuk orang Amerika, bisakah kesimpulan tersebut diekstrapolasi kepada orang Indonesia (populasi eksternal)? Tidak ada rumus statistik untuk menentukan generalizability. Tetapi pengetahuan yang ada, pertimbangan klinis dan pemikiran logis bisa mengatakan tidak ada hubungan antara ras dan warna kulit dengan eIektivitas obat. Karena itu perbedaan ras dan warna kulit tidak menghalangi perluasan kesimpulan eIektivitas obat-obat tersebut ketika digunakan pada pasien orang Indonesia. Pada awal bab ini disebutkan, praktik EBM menggunakan pendekatan epidemiologi klinik, yaitu mengindividualisasi pelayanan pasien menurut konteks yang melatari pasien. Konteks pasien penting diperhitungkan untuk menghindari contextual error. Contextual error adalah kesalahan dalam menentukan diagnosis, kausa, prognosis, atau terapi kepada pasien karena kegagalan klinisi untuk mengindividualisasi pasien, yaitu pengabaian klinisi terhadap elemen lingkungan, perilaku, dan preIerensi pasien yang penting dalam merencanakan pelayanan yang tepat (Scott, 2009; Weiner et al., 2010). Karena itu dokter harus mempertimbangkan ketepatan (appropriateness) intervensi sebelum menerapkannya kepada individu pasien. Ketepatan (appropriateness) adalah 'the quality oI being specially suitable, atau 'the extent to which the intended outcomes (or the objectives) Ior an output are the correct ones; that is, whether they match the real needs oI clients and stakeholders. Appropriateness menunjukkan kesesuaian antara hasil intervensi yang akan diberikan dengan keinginan dan kebutuhan pasien. Appropriateness adalah 'the extent to which a particular procedure, treatment, test, or service is clearly indicated, not excessive, adequate in quantity, and provided in the setting best suited to a patient's or member's needs. Appropriateness menunjukkan sejauh mana suatu prosedur, terapi, tes, atau pelayanan memang diperlukan, tidak berlebihan, dalam jumlah yang cukup, dan diberikan pada setting yang paling cocok bagi kebutuhan pasien. Appropriateness berbeda dengan eIikasi. EIikasi merujuk kepada dampak Iisiologis dari sebuah intervensi. Sedang appropriateness merujuk kepada konteks dan dampak psikososial- kultural dari sebuah intervensi. Intervention Tiga pertanyaan perlu dijawab terkait intervensi sebelum diberikan kepada pasien: 1. Apakah intervensi memiliki bukti eIektivitas yang valid? 2. Apakah intervensi memberikan perbaikan klinis yang signiIikan? 3. Apakah intervensi memberikan hasil yang konsisten? Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 24 EIektivitas (eIIectiveness) adalah 'the quality oI being able to bring about an eIIect, atau 'producing a decided or decisive eIIect. EIektivitas adalah kemampuan untuk menghasilkan eIek yang diinginkan. Intervensi yang rasional untuk digunakan adalah intervensi yang eIektivitasnya didukung oleh bukti yang valid, memberikan perbaikan klinis secara substansial (clinically signiIicant), menunjukkan konsistensi hasil (statistically signiIicant), dan dapat diterapkan (applicable). EIektivitas berbeda dengan eIikasi. EIektivitas lebih realistis daripada eIikasi. Intervensi yang menunjukkan eIektivitas memiliki kemungkinan lebih besar untuk bisa diterapkan pada pasien di tempat praktik klinis daripada intervensi yang menunjukkan eIikasi. Comparison Tiga pertanyaan perlu dijawab tentang aspek perbandingan untuk menerapkan bukti: 1. Apakah terdapat kesesuaian antara pembanding/ alternatiI yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatiI yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik? 2. Apakah manIaat intervensi lebih besar daripada mudarat yang diakibatnya? 3. Apakah terdapat alternatiI intervensi lainnya? Pertama, penerapan intervensi perlu memperhatikan kesesuaian antara pembanding/ alternatiI yang digunakan oleh peneliti dan pembanding/ alternatiI yang dihadapi klinisi pada pasien di tempat praktik. Peneliti dalam sebuah riset bisa menggunakan pembanding yang sama sekali tidak mendapatkan intervensi (do nothing), pembanding yang mendapatkan plasebo (menyerupai intervensi tetapi tidak memiliki bahan aktiI alias inert), atau pembanding yang mendapatkan intervensi lainnya, misalnya terapi standar. Kesesuaian antara pembanding dalam riset dan pembanding yang dihadapi pada pasien menentukan eIikasi dan eIektivitas intervensi ketika diterapkan kepada pasien. Sebuah terapi baru yang ditemukan tidak lebih eIektiI ketika dibandingkan terapi standar tidak berarti tidak eIektiI untuk diberikan kepada pasien jika dibandingkan dengan tidak memberikan terapi apapun kepada pasien. Terapi baru tersebut bisa saja digunakan sebagai pengganti (substitute) terapi standar dengan eIektivitas yang serupa dengan terapi standar. Kedua, pengambilan keputusan untuk menerapkan intervensi medis perlu membandingkan manIaat dan kerugian dari melakukan intervensi. Sebuah intervensi yang memberikan manIaat (beneIit, utility) hampir selalu memberikan kerugian yang tidak diinginkan (harm) dan biaya. Biaya adalah nilai ekonomi dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk menyediakan dan melakukan intervensi. Kerugian (disutility) akibat intervensi, misalnya depresi akibat penggunaan suatu sitostatika, stigma akibat menjalani suatu tes diagnostik, dapat dipandang dan dinilai oleh pasien secara kuantitatiI sebagai suatu biaya, disebut intangible cost. Baik manIaat maupun kerugian dan biaya secara kuantitatiI dan kualitatiI perlu diperbandingkan. Besarnya manIaat dan kerugian intervensi bervariasi, mulai dari sangat kecil (negligible) hingga sangat substansial. Prinsip EBM, intervensi yang dapat diterapkan adalah intervensi yang doing more good than harm. Ketiga, pengambilan keputusan klinis hakikatnya adalah menentukan pilihan dari berbagai alternatiI intervensi. Klinisi harus memilih antara memberikan atau tidak memberikan intervensi, atau memilih sebuah dari beberapa alternatiI intervensi. Jadi klinisi harus membandingkan manIaat dan kerugian dari masing-masing alternatiI, dan menentukan pilihan sebuah dari beberapa alternatiI intervensi. Pada beberapa situasi, menentukan pilihan dari beberapa alternatiI pilihan bisa Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 25 dilakukan dengan mudah, karena terdapat perbedaan yang mencolok manIaat dan kerugian dari alternatiI-alternatiI pilihan tersebut, dengan perbedaan yang jelas tentang probabilitas untuk terjadinya manIaat atau kerugian dari masing-masing alternatiI itu. Tetapi praktik kedokteran sering kali berlangsung pada konteks yang kompleks, ireguler, dan tidak pasti. Implikasinya tidak mudah untuk membuat keputusan klinis dengan tepat dan meyakinkan. Pada situasi tersebut pengambilan keputusan medis yang optimal memerlukan proses Iormal yang disebut analisis keputusan (decision analysis). Analisis keputusan bisa dianalogikan sebuah neraca (timbangan) yang membandingkan manIaat dan kerugian dari masing-masing alternatiI pilihan, dengan menggunakan pohon keputusan (Gambar 10). Pohon keputusan (decision tree) merupakan diagram alir yang menggambarkan hasil-hasil (outcome) yang diharapkan terjadi dari masing-masing alternatiI pilihan, baik hasil yang bermanIaat (good outcome) maupun hasil yang merugikan (harm), masing-masing dengan nilai menurut perspektiI pasien dan probabilitas hasil tersdebut untuk terjadi. Analisis keputusan meliputi langkah-langkah sebagai berikut: (1) IdentiIikasi alternatiI pilihan tindakan; (2) Prediksi probabilitas terjadinya hasil dari masing-masing alternatiI pilihan; (3) Integrasikan nilai pasien tentang manIaat dan kerugian akibat dari alternatiI pilihan; (4) Bandingkan manIaat dan kerugian dari masing-masing alternatiI pilihan; dan (5) Lakukan analisis sensitivitas (Friedland, 1998). Prinsipnya, alternatiI yang dipilih adalah alternatiI yang menujukkan rasio kerugian (biaya) dan manIaat, atau cost-eIIectiveness ratio (CER), yang lebih rendah. Dengan kata lain, pilih alternatiI yang lebih banyak memberikan manIaat (good) dibandingkan dengan kerugian (harm) yang diakibatkannya. Outcome Tiga pertanyaan perlu dijawab bertalian dengan hasil: 1. Apakah hasil intervensi yang diharapkan pasien? 2. Apakah hasil intervensi yang akan diberikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan sesungguhnya (real need) pasien? 3. Apakah pasien memandang manIaat dari intervensi lebih penting daripada kerugian yang diakibatkannya? ManIaat dan kerugian A Gambar 10 Neraca (kiri) dan pohon keputusan (kanan) yang membandingkan manIaat dan kerugian dari alternatiI pilihan. Sumber: Friedland, 1998 Neraca Pilihan A Pilihan B ManIaat dan kerugian B Pohon keputusan Pilihan A Pilihan B ManIaat dan kerugian pilihan B ManIaat dan kerugian pilihan A Probabilitas Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 26 Prinsip EBM, hasil yang diharapkan dari suatu intervensi adalah hasil yang berorientasi pada pasien. Pengambilan keputusan klinis harus memperhatikan nilai-nilai dan ekspektasi pasien. Menerapkan bukti riset terbaik dengan mengabaikan nilai-nilai dan preIerensi pasien dapat menyebabkan lebih banyak mudarat (harm) daripada manIaat (beneIit, utility) kepada pasien. Karena itu pengambilan keputusan klinis untuk pasien tidak bersiIat _take-it-or-leave it yang ditentukan semaunya dokter (_provider-driven) tanpa memberikan opsi kepada pasien. Demikian pentingnya nilai-nilai dan hak pasien, sehingga pengambilan keputusan bersama pasien-dokter untuk tidak menerapkan intervensi yang terbukti eIektiI karena mempertimbangkan nilai-nilai pasien bisa dipandang suatu praktik EBM yang baik. Contoh, pemberian kemoterapi yang agresiI untuk melawan kanker harus memperhatikan preIerensi dan toleransi pasien terhadap ketidaknyamanan, kerugian (harm), ketidakpastian hasil, dan biaya penggunaan kemoterapi tersebut. Meskipun bukti menunjukkan, pemberian kemoterapi agresiI pada suatu kanker bisa memperpanjang hidup pasien tiga bulan lebih lama, penerapan kemoterapi tergantung dari preIerensi pasien untuk memilih antara waktu hidup yang lebih lama atau menghindari penderitaan dan kerugian akibat kemoterapi itu. Kelayakan Lima pertanyaan perlu dijawab berkaitan dengan kelayakan (Ieasibility) intervensi yang akan diberikan kepada pasien: 1. Apakah intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik? 2. Apakah tersedia sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasi intervensi dengan berhasil? 3. Apakah tersedia klinisi/ tenaga kesehatan proIesional yang mampu mengimplementasikan intervensi? 4. Jika intervensi tersedia di lingkungan pasien/ di tempat praktik, apakah intervensi terjangkau secara Iinansial (aIIordable)? 5. Apakah konteks sosial-kultural pasien menerima penggunaan intervensi yang akan diberikan kepada pasien? Kelayakan (Ieasibility) adalah 'the quality oI being doable atau 'capable oI being done with means at hand and circumstances as they are. Kelayakan menunjukkan sejauh mana intervensi bisa dilakukan dengan metode yang ada dan pada lingkungan yang diperlukan. Meskipun sebuah intervensi eIektiI, tepat (appropriate) untuk diterapkan kepada individu pasien, sesuai dengan kebutuhan pasien, penerapan intervensi tergantung dari kelayakan, yaitu ketersediaan sumber daya di lingkungan praktik klinis. Contoh, sebuah intervensi terbukti eIektiI, memberikan lebih banyak manIaat daripada mudarat, dan secara sosio-kultural diterima oleh pasien. Tetapi intervensi tidak tersedia di lingkungan pasien, atau tersedia tetapi pasien tidak mampu membayar biaya intervensi. Intervensi tersebut tentu tidak Iisibel untuk dilakukan. Intervensi Iisibel untuk dilakukan jika terdapat pihak ketiga yang membayar biaya pelayanan medis, misalnya Jamkesmas. Langkah 5: Mengevaluasi Kinerja Penerapan EBM Menerapkan EBM ke dalam praktik klinis merupakan proses berdaur ulang, terdiri atas sejumlah langkah EBM (Gambar 11). Penerapan masing-masing langkah EBM membutuhkan berbagai kompetensi yang berbeda, yang menentukan keberhasilan implementasi EBM. Langkah 1 EBM memerlukan pengetahuan untuk merumuskan pertanyaan dengan struktur PICO. Langkah 2 memerlukan pengetahuan dan keterampilan untuk menelusuri literatur pada aneka database hasil-hasil riset pada web. Langkah 3 Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 27 memerlukan pengetahuan dan keterampilan epidemiologi dan biostatistik untuk menilai kritis validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti. Langkah 4 memerlukan pengetahuan dan keterampilan mensintesis bukti-bukti untuk pengambilan keputusan klinis pada pasien. Langkah 5 memerlukan keterampilan untuk mengevaluasi kinerja penerapan bukti pada pasien (Price, 2000; Ilic, 2009). Kinerja penerapan EBM perlu dievaluasi, terdiri atas tiga kegiatan sebagai berikut (Hollowing dan Jarvik, 2007). Pertama, mengevaluasi eIisiensi penerapan langkah-langkah EBM. Penerapan EBM belum berhasil jika klinisi membutuhkan waktu terlalu lama untuk mendapatkan bukti yang dibutuhkan, atau klinisi mendapat bukti dalam waktu cukup singkat tetapi dengan kualitas bukti yang tidak memenuhi VIA (kebenaran, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti). Kedua contoh tersebut menunjukkan ineIisiensi implementasi EBM. Kedua, melakukan audit keberhasilan dalam menggunakan bukti terbaik sebagai dasar praktik klinis. Audit klinis adalah 'a quality improvement process that seeks to improve patient care and outcomes through systematic review oI care against explicit criteria and the implementation oI change". Dalam audit klinis dilakukan kajian (disebut audit) pelayanan yang telah diberikan, untuk dievaluasi apakah terdapat kesesuaian antara pelayanan yang sedang/ telah diberikan (being done) dengan kriteria yang sudah ditetapkan dan harus dilakukan (should be done). Jika belum/ tidak dilakukan, maka audit klinis memberikan saran kerangka kerja yang dibutuhkan agar bisa dilakukan upaya perbaikan pelayanan pasien dan perbaikan klinis pasien. Ketiga, mengidentiIikasi area riset di masa mendatang. Kendala dalam penerapan EBM merupakan masalah penelitian untuk perbaikan implementasi EBM di masa mendatang. Hasil evaluasi kinerja implementasi EBM berguna untuk memperbaiki penerapan EBM, agar penerapan EBM di masa mendatang menjadi lebih baik, eIektiI, dan eIisien. Jadi langkahlangkah EBM sesungguhnya merupakan Iondasi bagi program perbaikan kualitas pelayanan kesehatan yang berkelanjutan (continuous quality improvement) (Ilic, 2009). 5. Strategi Melatih Evidence-Based Medicine EBM merupakan pendekatan pelayanan medis yang relatiI baru (meskipun sesungguhnya telah berusia 20 tahun). Penggagas awal EBM menegaskan bahwa EBM merupakan kegiatan dari bawah ke atas (bottom-up exercise), di mana masing-masing individu klinisi Merumuskan pertanyaan klinis Mencari bukti Menilai kritis bukti Memperbaiki penerapan EBM Menerapkan bukti Mengevaluasi kinerja Gambar 11 Siklus evidence-based medicine. Sumber: Price, 2000 Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 28 diharapkan memiliki keterampilan yang dibutuhkan untuk mengintegrasikan bukti terbaik ke dalam praktik sehari-hari. Sackett et al. (1996) mengingatkan, ide awal EBM sesungguhnya bukan bertujuan mengimplimentasikan suatu kegiatan dari atas ke bawah (top-down exercise), di mana pembuat kebijakan dan pakar menggunakan bukti untuk mengembangkan suatu kerangka pembuatan keputusan klinis kolektiI yang bisa dipakai oleh klinisi untuk menjawab berbagai masalah klinis, misalnya dalam bentuk clinical guideline. Melatih keterampilan EBM kepada individu klinisi dan praktisi kesehatan proIesional lainnya, yang akan melakukan praktik klinisi individual ataupun dalam suatu tim pelayanan medis, memerlukan strategi yang eIektiI. Mengajarkan, mempelajari, dan menerapkan EBM bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Mengajarkan, mempelajari dan mempraktikkan EBM merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan komitmen klinisi dan praktisi kesehatan proIesional lainnya (Hollingworth dan Jarvik, 2007) . Berbagai metode telah dilakukan untuk mengajarkan EBM, meliputi kuliah, lokakarya, tutorial untuk membantu mahasiswa belajar berdasarkan masalah, buku untuk dipraktikkan sendiri, buku sebagai materi lokakarya, maupun belajar melalui internet (misalnya, learning zone Bandolier di http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/learnzone.html ) (Del Mar, 2004). Keterampilan EBM dapat diajarkan kepada mahasiswa kedokteran di tingkat akademik dan klinik, maupun kepada dokter sebagai pengembangan keterampilan proIesional yang berkelanjutan. Dua prinsip perlu diperhatikan dalam melatih keterampilan EBM. Pertama, EBM adalah penerapan epidemiologi untuk pelayanan individu pasien. Implikasinya, untuk menerapkan EBM, mahasiswa kedokteran dan dokter perlu mempelajari beberapa prinsip, konsep, dan metode kuantitatiI epidemiologi dan biostatistik yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan klinis yang optimal (Del Mar et al., 2004). Kedua, EBM tidak bisa dipelajari hanya dengan cara menghaIal. Secara teoretis pembelajaran EBM yang dipadukan dengan praktik klinis rutin memberikan hasil yang lebih baik daripada pembelajaran di kelas, untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku, tentang EBM. Del Mart et al. (2004) mengingatkan, .. Integration means applying the steps to real and current clinical problems. Thinking is not enough and doing is necessary Ior success. Jika materi EBM hanya dilatih di kelas tanpa penguatan di tempat praktik, maka pengetahuan yang diperoleh akan lenyap dengan berjalannya waktu. Beberapa studi mendukung hipotesis tersebut. Contoh, sebuah kajian sistematis dilakukan untuk menilai eIek pelatihan EBM yang hanya diselenggarakan di kelas dibandingkan dengan pelatihan EBM yang dipadukan dengan praktik klinis (Coomarasamy dan Khan, 2004). Sumber data: Medline, Embase, ERIC, Cochrane Library, DARE, HTA database, Best Evidence, BEME, dan SCI. Kajian sistematis itu merangkum hasil dari 23 studi, terdiri atas empat randomized controlled trial (RCT) dan 19 non-randomized controlled trial. Dari 23 studi tersebut, sebanyak 18 studi menilai metode pembelajaran di kelas dan lima studi menilai metode pembelajaran terpadu praktik klinis. Hasil kajian menunjukkan, metode pembelajaran di kelas saja meningkatkan pengetahuan tetapi tidak mengubah keterampilan, sikap, maupun perilaku tentang EBM. Metode pembelajaran dipadukan praktik klinis meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku, tentang EBM (Gambar 12). Kajian sistematis menyimpulkan, pembelajaran EBM perlu dipadukan dengan praktik klinis untuk mendapatkan perubahan yang diinginkan. Pembelajaran EBM memberikan hasil yang lebih baik jika melibatkan seluruh tim pelayanan kesehatan. Berbagai keterampilan EBM bisa dipelajari secara bertahap (Jacobson et al., 1997; Coomarasamy dan Khan, 2004; Del Mar et al., 2004). Jacobson et al. (1997) menambahkan: .. Members oI clinical teams at Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 29 RCT randomized controlled trial NNT non-randomized trial Tidak berubah Meningkat Workshop di kelas Worrkshop dengan praktik klinis Metode pelatihan Pengetahuan Keterampilan Sikap Perilaku Desain studi Gambar 12 Perubahan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku setelah pelatihan EBM dengan metode workshop di kelas saja dan workshop dengan praktik klinis, menurut desain studi. Sumber: Coomarasamy dan Khan, 2004 various stages oI training can collaborate by sharing the searching and appraising tasks. The diIIerent skills required Ior practicing in the using and doing modes can be learned in sequence, thus avoiding learner overload. 6. EBM dan Health Technology Assessment Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perkembangan pesat inovasi teknologi yang berpengaruh besar terhadap pelayanan kesehatan. Sebagai contoh, dalam beberapa tahun terakhir terjadi terobosan di bidang antivirus, bioteknologi, pencitraan diagnostik, diagnostik molekuler, penggantian organ dan jaringan, teknik bedah, perawatan luka, teknologi komputer, yang semuanya diharapkan dapat memperbaiki pelayanan kesehatan dan memperbaiki keadaan pasien. Tetapi di sisi lain perkembangan, diIusi, dan penggunaan teknologi kesehatan memberikan implikasi/ akibat yang luas di bidang medis, sistem pelayanan kesehatan, sosial, ekonomi, etika, dan hukum. Sebagai contoh, penggunaan teknologi baru dapat menyebabkan meroketnya biaya pelayanan kesehatan. Pengembangan teknologi baru bisa memberikan implikasi etika, berkaitan dengan potensi terjadinya malpraktik, dan sebagainya. Dengan latar belakang itu maka pada pertengahan 1960an timbul gagasan di AS dan negara maju tentang perlunya melakukan penilaian sistematis terhadap karaktersitik, manIaat, kerugian, dan berbagai implikasi lainnya dari pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan, disebut health technology assessment (HTA) (Goodman, 2004). Health technology assessment (HTA) dideIinisikan sebagai 'any process oI examining and reporting properties oI a medical technology used in health care, such as saIety, eIIicacy, Ieasibility, and indications Ior use, cost, and cost-eIIectiveness, as well as social, economic, and ethical consequences, whether intended or unintended (Institute oI Medicine, 1985). International Network oI Agencies Ior Health Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 30 Technology Assessment (2002) mendeIinisikan HTA a multidisciplinary Iield oI policy analysis. It studies the medical, social, ethical, and economic implications oI development, diIIusion, and use oI health technology. HTA adalah 'a Iorm oI policy research that systematically examines the short- and long-term consequences, in terms oI health and resource use, oI the application oI a health technology, a set oI related technologies or a technology related issue (Hensall et al., 1997). Jadi intinya, HTA merupakan suatu riset kebijakan multidisipliner yang meneliti dengan sistematis dan melaporkan karakteristik, eIek, dan dampak pengembangan dan penggunaan aneka teknologi kesehatan dalam sistem pelayanan kesehatan, meliputi karakteristik teknis, keamanan, eIikasi dan eIektivitas, dampak ekonomis, sosial, legal (hukum), etika, politik, baik yang disengaja atau tidak disengaja, dampak jangka pendek maupun panjang. Teknologi kesehatan dideIinisikan secara luas 'obat, alat, prosedur medis dan bedah yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, maupun sistem organisasi dan pendukung berlangsungnya pemberian pelayanan (Banta et al., 1978; Eisenberg dan Zarin, 2002). Goodman (2004) membedakan aneka jenis teknologi kesehatan berdasarkan tujuan penggunaannya dalam pelayanan kesehatan: 1. Pencegahan. Teknologi kesehatan memberikan perlindungan terhadap penyakit, dengan cara mencegah terjadinya penyakit, mengurangi risiko terjadinya penyakit, atau membatasi meluasnya penyakit (misalnya, imunisasi, program pengendalian inIeksi nosokomial di rumah sakit, suplai air minum berIluor) 2. Skrining. Teknologi kesehatan mendeteksi penyakit, abnormalitas, atau Iaktor risiko pada orang yang asimtomatis (misalnya, hapusan Pap, tes tuberkulin, mamograIi, tes kolesterol serum) 3. Diagnosis. Teknologi kesehatan mengidentiIikasi penyakit, siIat, derajat keparahan, dan etiologi penyakit pada seorang dengan tanda dan gejala klinis (misalnya, elektrokardiogram, tes serologis untuk tiIoid, sinar X untuk patah tulang) 4. Terapi. Teknologi kesehatan memperbaiki atau memelihara status kesehatan, mencegah kerusakan gen/ sel/ jaringan/ organ/ sistem/ Iungsi yang lebih jauh, memberikan paliasi (misalnya, terapi antivirus, bedah cangkok pintas arteri koroner, psikoterapi, obat untuk nyeri kanker) 5. Rehabilitasi. Teknologi kesehatan memulihkan atau memperbaiki Iungsi dari keadaan disIungsi kognitiI-aIektiI-psikomotor, kecacatan Iisik atau jiwa (misalnya, program latihan untuk pasien pasca-stroke, alat bantu untuk gangguan bicara berat, alat bantu untuk inkontinensia/ urinasi dan deIikasi tak terkendali). HTA bertujuan memberikan inIormasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan di tingkat nasional, regional, maupun lokal, bertalian dengan: (1) Penggunaan teknologi kesehatan; (2) Pendanaan teknologi; (3) Pengadaan teknologi; (4) Penentuan inklusi dan ekslusi teknologi dalam paket pelayanan kesehatan; (5) Perijinan pemasaran; (6) Petunjuk untuk praktik kesehatan yang terbaik; (7) Organisasi penyediaan pelayanan kesehatan; (8) Disinvestasi (penghentian investasi) terhadap teknologi kesehatan yang tidak eIektiI; (9) Pendanaan/ investasi riset teknologi kesehatan (Goodman, 2004; Velasco-Garrido dan Busse, 2005); Hailey et al., 2010). InIormasi yang diberikan oleh HTA digunakan oleh aneka pengguna (user) sebagai berikut: (1) Pembuat kebijakan kesehatan (regulator) baik pemerintah ataupun parlemen, (2) Perencana program kesehatan; (3) Manajer dan administrator pelayanan kesehatan (misalnya, manajer rumah sakit), (4) Pembayar pelayanan kesehatan (perusahaan asuransi), (5) Industri manuIaktur/ produsen teknologi (memperbaiki atau menghentikan produk yang Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 31 bermasalah); (6) Klinisi dan tenaga kesehatan proIesional lainnya, (7) Pasien, (8) Lembaga advokasi pasien, (9) Warga masyarakat umum; (10) Lembaga riset HTA (Goodman, 2004; Velasco-Garrido dan Busse, 2005; Hailey et al., 2010). EBM dan HTA memiliki kesamaan dan perbedaan (Hollowing dan Jarvik, 2007). Persamaannya, baik EBM maupun HTA bertujuan meningkatkan penggunaan pelayanan medis berbasis bukti ilmiah. Dengan demikian EBM dan HTA diharapkan memberikan dampak kepada status kesehatan pasien yang lebih baik (kelangsungan hidup dan morbiditas), dan selanjutnya secara makro meningkatkan eIektivitas dan eIisiensi investasi/ pengeluaran kesehatan dari produk domestik bruto (PDB). Dalam praktik EBM, klinisi melakukan penilaian kritis (critical appraisal) bukti riset, menyangkut aspek validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti-bukti (disingkat VIA). Demikian pula dalam HTA, peneliti HTA melakukan penilaian terhadap teknologi kesehatan, dan memberikan bukti-bukti yang valid (tidak bias) tentang karakteristik, eIikasi, eIektivitas, keamanan, cost-eIIectiveness, dan aneka dampak penggunaan teknologi kesehatan. Tabel 3 menyakikan kriteria penilaian dalam HTA, meliputi kualitas bukti, konsistensi, dampak klinis, validitas internal, dan kemampuan generalisasi (applicability) dari teknologi kesehatan. Tabel 3 Kriteria penilaian bukti dalam HTA Komponen Kriteria Nilai *) Kualitas bukti Kualitas metodologi dan relevansi bagi pasien Konsistensi Konsistensi hasil riset ( homogen atau heterogen) Dampak klinis Besar eIek, presisi, dan kemaknaan klinis eIek tersebut Validitas internal Kebenaran kesimpulan eIek jika diterapkan pada populasi sasaran Applicability Kemampuan untuk diterapkan pada konteks praktik klinis *) Nilai: A: Excellent. B: Good. C: SatisIactory. D: Poor. Adaptasi dari sumber: NHMRC (2007), dikutip Hailey et al. (2010) Perbedaan EBM dan HTA terletak pada cara yang berbeda untuk mencapai tujuan (yang sama) tersebut. EBM diterapkan oleh klinisi dan tenaga kesehatan proIesional lainnya, baik secara individual atau dalam tim pelayanan kesehatan. EBM memberikan keterampilan kepada para klinisi dan tenaga kesehatan proIesional lainnya dalam menggunakan bukti-bukti ilmiah terbaik untuk pengambilan keputusan klinis yang lebih baik pada praktik klinis individu pasien atau sekelompok pasien. Jika sebagian besar klinisi dan tenaga kesehatan proIesional menerapkan EBM, maka praktik tersebut akan meningkatkan hasil klinis yang diinginkan pasien, dan meningkatkan eIektivitas dan eIisiensi investasi/ pengeluaran kesehatan di tingkat makro. Di pihak lain, HTA dilakukan oleh peneliti HTA. HTA memberikan inIormasi kepada pembuat kebijakan maupun administrator dalam sistem pelayanan kesehatan, baik di tingkat nasional, regional, dan lokal, yang berhubungan dengan pengadaan, pendanaan, atau penggunaan yang tepat teknologi kesehatan, dan disinvestasi teknologi yang tidak eIektiI. InIormasi tentang teknologi kesehatan digunakan untuk memutuskan apakah akan mengadakan/ tidak mengadakan, mendanai/ tidak mendanai, menggunakan/ tidak menggunakan teknologi kesehatan pada sistem pelayanan kesehatan untuk populasi pasien. Jika pembuat kebijakan dan pengambil keputusan hanya mengadakan, mendanai, dan menggunakan teknologi kesehatan yang terbukti secara ilmiah bermanIaat dan cost-eIIective, maka keputusan itu akan meningkatkan hasil kilinis yang diinginkan pada populasi Evidence-Based Medicine ProI. Bhisma Murti, dr, MPH, MSc, PhD 32 pasien, dan meningkatkan eIektivitas dan eIisiensi investasi/ pengeluaran kesehatan di tingkat makro. HTA dibutuhkan dalam EBM, karena HTA merupakan produsen bukti dan EBM pengguna bukti. Agar HTA dapat digunakan dengan optimal oleh klinisi dalam praktik EBM, maka bukti HTA perlu terkini (up-to-date), aksesibel, relevan, dan benar (valid) (Chantler, 2004, dikutip Hollowing dan Jarvik, 2007). 7. Ringkasan EBM merupakan praktik kedokteran klinis yang memadukan bukti terbaik yang ada, keterampilan klinis, dan nilai-nilai pasien. EBM bertujuan membantu klinisi agar pelayanan medis memberikan hasil klinis yang optimal kepada pasien. Penggunaan bukti ilmiah dari riset terbaik memungkinkan pengambilan keputusan klinis yang lebih eIektiI, bisa diandalkan, aman, dan cost-eIIective. EBM terdiri atas lima langkah: (1) Merumuskan pertanyaan klinis tentang masalah pasien; (2) Mencari bukti dari sumber database hasil riset yang otoritatiI; (3) Menilai kritis bukti tentang validitas, kepentingan, dan kemampuan penerapan bukti; (4) Menerapkan bukti pada pasien; (5) Mengevaluasi kinerja penerapan bukti yang telah dilakukan pada pasien. Mempelajari dan mempraktikkan EBM merupakan proses yang berkelanjutan dan membutuhkan komitmen. Pelatihan EBM lebih eIektiI jika diselenggarakan dengan memadukannya ke dalam praktik klinis, melibatkan tim pelayanan kesehatan, daripada diselenggarakan dengan cara klasikal dan individual. HTA menghasilkan bukti-bukti tentang karakteristik, eIektivitas, keamanan, cost- eIIectiveness, dan dampak medis, sosial, ekonomi, etika, legal, dan politik dari teknologi kesehatan. HTA menghasilkan bukti, EBM menggunakan bukti. InIormasi HTA digunakan untuk membuat keputusan dalam sistem pelayanan kesehatan.