You are on page 1of 12

MIOMA UTERI

Arzia Pramadi Rahman Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Mataram / RSUP NTB 10 Desember 2011

1. Pendahuluan Mioma adalah tumor jinak otot polos yang terdiri atas unsur-unsur otot[1], berupa sel-sel otot polos serta jaringan pengikat fibroid dan kolagen[2]. Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma, ataupun fibroid. Menurut letaknya, mioma dapat kita dapati sebagai mioma submukosum, mioma intramural, dan mioma subserosum[3]. Usia reproduktif menjadi faktor resiko terjadinya mioma karena kadar hormon ovarium yang dicurigai sebagai penyebab mioma masih tinggi[4]. Pada usia reproduktif, terdapat peningkatan insidensi terjadinya mioma uteri seiring bertambahnya usia[5]. Kejadian mioma uteri paling banyak ditemui pada umur 35-45 tahun, kurang lebih sebesar 25%[3]. Penyebab sebenarnya dari mioma uteri masih belum jelas[6]. Tidak ada bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium[2]. Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu[3]. Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 - 50% pasien [2] dan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi[3], serta jumlah mioma[2]. Gejala yang sering ditemiu antara lain adalah perdarahan abnormal, nyeri panggul, gejala penekanan, dan disfungsi reproduksi[2]. Pendekatan diagnosis diawali dengan menanyakan keluhan berupa gejala-gejala yang mengarah ke mioma utaeri seoerti yang telah disebutkan sebelumnya, yang kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik berupa adanya massa kenyal berbatas tegas pada daerah suprapubis, dan dikonfirmasi lagi

dengan menggunakan pemeriksaan ultrasonografi yang menunjukkan adanya massa pada uterus[2,3,6]. Penatalaksanaan mioma uteri bisa berupa pengobatan farmakologik berupa hormon, ataupun tindakan operatif dengan melakukan miomektomi ataupun histerektomi. Histerektomi merupakan terapi kuratif terbaik[2]. Pada miomektomi, perlu diperhatikan kemungkinan terjadinya kekambuhan. Hasil penelitian menunjukkan kekambuhan sebesar 2-3% per tahun setelah dilakukan miomektomi[6].

2. Definisi Mioma adalah tumor jinak otot polos yang terdiri atas unsur-unsur otot[1], berupa sel-sel otot polos serta jaringan pengikat fibroid dan kolagen[2]. Neoplasma jinak ini berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomioma, ataupun fibroid[3]. Sarang mioma di uterus dapat berasal dari serviks uterus hanya 1-3%, sisanya adalah dari korpus uterus. Menurut letaknya, mioma dapat kita dapati sebagai[3]: a) Mioma submukosum: berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus. b) Mioma intramural: mioma terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. c) Mioma subserosum: apabila tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada permukaan uterus, diliputi oleh serosa. Mioma submukosum dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks (myomgeburt). Mioma subserosum dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter. Mioma subserosum dapat pula tumbuh menempel pada jaringan lain misalnya ke ligamentum atau omentum dan kemudian membebaskan diri dari uterus, sehingga disebut wandering/parasitic fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam satu uterus. Mioma pada serviks dapat menonjol ke dalam saluran serviks sehingga ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak bahwa mioma terdiri atas berkas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti konde/pusaran air (whorl like pattern), dengan pseudocapsule yang terdiri dari jaringan ikat longgar yang terdesak karena pertumbuhan sarang mioma ini. Pernah ditemukan 200 sarang mioma dalam satu uterus, namun biasanya hanya 5-20 sarang saja. Dengan pertumbuhan mioma

dapat mencapai berat lebih dari 5 kg[3]. Dapat terjadi perubahan sekunder pada mioma, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: Atrofi: sesudah menopause atau pun sesudah kehamilan mioma uteri menjadi kecil[3]. Degenerasi hialin: perubahan ini sering terjadi terutama pada penderita berusia lanjut. Tumor kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu kelompok serabut otot dari kelompok lainnya[7]. Degenerasi kistik: dapat meliputi daerah kecil maupun luas, di mana sebagian dari mioma menjadi cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi seperti agar-agar, dapat juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai limfangiorna. Dengan konsistensi yang lunak ini tumor sukar dibedakan dari kista ovarium atau suatu kehamilan[7]. Degenerasi membatu (calcireous degeneration): terutama terjadi pada wanita berusia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto Rontgen[3]. Degenerasi merah (carneous degeneration): perubahan ini biasanya terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis: diperkirakan karena suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskularisasi. Pada pembelahan dapat dilihat sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan oleh pigmen hemosiderin dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri pada perabaan. Penampilan klinik ini seperti pada putaran tangkai tumor ovarium atau mioma bertangkai[7]. Degenerasi lemak: jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin[7].

3. Epidemiologi dan Faktor Resiko Mioma uteri merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita[2]. Mioma uteri belum pernah (dilaporkan) terjadi sebeluin menars, dan jarang sekali mioma ditemukan pada wanita berumur 20 tahun[3]. Pada usia reproduktif, terdapat peningkatan insidensi terjadinya mioma uteri seiring bertambahnya usia[5]. Usia reproduktif menjadi faktor resiko terjadinya mioma karena kadar hormon ovarium yang dicurigai sebagai penyebab mioma

masih tinggi[4]. Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma. Kejadian mioma uteri paling banyak ditemui pada umur 35-45 tahun, kurang lebih sebesar 25%[3], dan sebesar 20-40% ditemukan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun
[8] [2]

. Mioma

asimptomatik ditemui pada 40-50% wanita berusia lebih dari 35 tahun . Pertumbuhan mioma diperkirakan memerlukan waktu 3 tahun agar dapat mencapai ukuran sebesar tinju, akan tetapi beberapa kasus ternyata tumbuh cepat. Setelah menopause banyak mioma menjadi lisut, hanya 10% saja yang masih dapat tumbuh lebih lanjut. Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,3911,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat[3]. Mioma uteri ini lebih sering didapati pada wanita nulipara atau yang kurang subur[3]. Faktor keturunan juga memegang peran. Selain itu, mioma uteri juga lebih sering dijumpai pada wanita obese[8]. Perubahan sekunder pada mioma uteri yang terjadi sebagian besar bersifat degenerasi. Hal ini oleh karena berkurangnya pemberian darah pada sarang mioma. Mioma ditemukan lebih banyak pada wanita berkulit hitam daripada ras lainnya[3].

4. Etiologi dan Patogenesis Penyebab sebenarnya dari mioma uteri masih belum jelas [6]. Mioma uteri berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori onkogenik maka patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti[2]. Dari penelitian menggunakan glucose-6-phosphatase dihydrogenase diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler[6]. Transformasi neoplastik dari miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. Mutasi somatik ini merupakan peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor[2]. Menurut Meyer asal mioma adalah sel imatur, bukan dari selaput otot yang matur[3]. Tidak ada bukti bahwa hormo n estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Mioma terdiri dari reseptor estrogen dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibanding dari miometrium sekitarnya namun konsentrasinya lebih rendah dibanding endometrium[2]. Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell nest atau teori genitoblast. Percobaan Lipschutz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Puukka dan kawan-kawan menyatakan bahwa reseptor estrogen pada

mioma lebih banyak ditemukan daripada miometrium normal[3]. Estrogen berperan dalam pembesaran tumor dengan meningkatkan produksi matriks ekstraseluler[2]. Ada pernyataan yang menyatakan bahwa efek fibromatosa yang ditimbulkan estrogen dapat dicegah dengan pemberian preparat progresteron atau testosterone[3]. Di sisi lain ada pernyataan lain yang menyatakan bahwa hormon progesteron memungkinkan pembesaran tumor dengan cara down-regulation apoptosis dari tumor. Progesterone meningkatkan aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda namun mekanisme dan faktor pertumbuhan yang terlibat tidak diketahui secara pasti[2].

5. Gejala dan Tanda Hampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu[3]. Tanda dan gejala dari mioma uteri hanya terjadi pada 35 - 50% pasien[2]. Gejala yang dikeluhkan sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada (serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi[3], serta jumlah mioma[2]. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut. Perdarahan abnormal. Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting (Fortner, Gibbs). Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur[2]. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia[3]. Patofisiologi perdarahan uterus yang abnormal yang berhubungan dengan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian menerangkan bahwa adanya disregulasi dari beberapa faktor pertumbuhan dan reseptor-reseptor yang mempunyai efek langsung pada fungsi vaskuler dan angiogenesis[9]. Perubahan-perubahan ini menyebabkan kelainan vaskularisasi akibat disregulasi struktur vaskuler di dalam uterus[2]. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah [2,3]: - Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium sampai adenokarsinoma endometrium. - Peningkatan vaskularisasi aliran vaskuler ke uterus. - Permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa.

- Atrofi dan ulserasi endometrium di atas mioma submukosum. - Kompresi pada pleksus venosus di dalam miometrium. - Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik. Rasa nyeri. Rasa nyeri bukanlah gejala yang khas[3]. Nyeri dapat disebabkan oleh karena degenerasi akibat oklusi vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi miometrium yang disebabkan mioma subserosum[2,9]. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan, pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan dismenore[3,9]. Tumor yang besar dapat mengisi rongga pelvik dan menekan bagian tulang pelvik yang dapat menekan saraf sehingga menyebabkan rasa nyeri yang menyebar ke bagian punggung dan ekstremitas inferior[2]. Gejala dan tanda penekanan. Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul[2,3,9]. Disfungsi reproduksi. Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab infertilitas masih belum jelas[10]. Dilaporkan sebesar 27 - 40% wanita dengan mioma uteri mengalami infertilitas. Mioma yang terletak didaerah kornu dapat menyebabkan sumbatan dan gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral. Mioma uteri dapat menyebabkan gangguan kontraksi ritmik uterus yang sebenarnya diperlukan untuk motilitas sperma didalam uterus. Perubahan bentuk kavum uteri karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi[2,10]. Mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus[3]. Gangguan implantasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor[2]. Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi[3,10].

6. Diagnosis Seringkali penderita sendiri mengeluh akan rasa berat dan adanya benjolan pada perut bagian bawah[3]. Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosa melalui pemeriksaan bimanual rutin maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang besar. Diagnosa semakin jelas bila pada pemeriksaan bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa maupun adanya pembesaran uterus[2]. Pemeriksaan bimanual akan mengungkapkan tumor padat uterus, yang umumnya terletak di garis tengah atau pun agak ke samping, seringkali teraba berbenjol-benjol. Mioma subserosum dapat mempunyai tangkai yang berhubungan dengan uterus. Mioma intramural akan menyebabkan kavum uteri menjadi luas, yang ditegakkan dengan pemeriksaan dengan uterus sonde. Mioma submukosum kadang-kala dapat teraba dengan jari yang masuk ke dalam kanalis servikalis, dan terasanya benjolan pada pernrukaan kavum uteri[3]. Diagnosis banding yang perlu kita pikirkan tumor abdomen di bagian bawah atau panggul ialah mioma subserosum dan kehamilan; mioma submukosum yang dilahirkan harus dibedakan dengan inversio uteri; mioma intramural harus dibedakan dengan suatu adenomiosis, khoriokarsinoma, karsinoma korporis uteri atau suatu sarkoma uteri[3]. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) abdominal dan transvaginal dapat membantu dan menegakkan dugaan klinis[3] dengan menentukan lokasi, dimensi, dan konsistensi[6]. Selain itu, pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) juga dapat membantu dalam mendeteksi adanya mioma uteri[2].

7. Penatalaksanaan Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode, terapi medisinal (hormonal), dan terapi pembedahan[2]. Tidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah, 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apa pun, terutama apabila mioma itu masih kecil dan tidak menimbulkan gangguan atau keluhan. Walaupun demikian mioma uteri memerlukan pengamatan setiap 6-12 bulan[11], dan setiap 3-6 bulan untuk kasus yang dinilai lebih progresif[3]. Pertumbuhan mioma uteri dapat terhenti atau menjadi lisut setelah terjadi menopause. Apabila terdapat suatu perubahan yang berbahaya, diharapkan dapat terdeteksi dengan cepat agar dapat diadakan tindakan segera[3].

Terapi medisinal (hormonal). Saat ini pemakaian gonadotropin-releasing hormone agonis (GnRHa) memberikan hasil untuk memperbaiki gejala-gejala klinis yang ditimbulkan oleh mioma uteri[2]. Hal ini didasarkan atas pemikiran mioma uterus terdiri atas sel-sel otot yang diperkirakan dipengaruhi oleh estrogen. GnRHa yang mengatur reseptor gonadotropin di hipofisis akan mengurangi sekresi gonadotropin [3] sehingga mengurangi ukuran mioma dengan cara mengurangi produksi estrogen dari ovarium[2]. Dari suatu penelitian multisenter didapati data pada pemberian GnRHa selama 6 bulan pada pasien dengan mioma uteri didapati adanya pengurangan volume mioma sebesar 44%. Efek maksimal pemberian GnRHa baru terlihat setelah 3 bulan. Pada 3 bulan berikutnya tidak terjadi pengurangan volume mioma secara bermakna[2]. Pemberian GnRHa (buseriline acetate) selama 16 minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga uterus dalam keseluruhannya menjadi lebih kecil. Akan tetapi setelah pemberian GnRHa dihentikan, mioma yang lisut itu tumbuh kembali di bawah pengaruh estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung reseptor estrogen dalam konsentrasi yang tinggi. Perlu diingat bahwa penderita mioma uteri sering mengalami menopause yang terlambat[3]. Pemberian GnRHa sebelum dilakukan tindakan pembedahan akan mengurangi vaskularisasi pada tumor sehingga akan memudahkan tindakan pembedahan. Terapi hormonal lainnya seperti kontrasepsi oral dan preparat progesteron akan mengurangi gejala perdarahan uterus yang abnormal namun tidak dapat mengurangi ukuran dari mioma[2]. Terapi pembedahan. Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang menimbulkan gejala. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) dan American Society for Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan pada pasien dengan mioma uteri adalah[2]: 1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif. 2. Sangkaan adanya keganasan. 3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause. 4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba. 5. Nyeri dan penekanan yang sangat menganggu.

6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius. 7. Anemia akibat perdarahan. Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi. Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukoum pada myom geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila tumor bertangkai[3]. Miomektomi sering dilakukan pada wanita yang ingin mempertahankan fungsi reproduksinya dan tidak ingin dilakukan histerektomi[2,11]. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. Perlu disadari bahwa 25-35% dan penderita tersebut akan masih memerlukan histerektomi[3]. Dewasa ini ada beberapa pilihan tindakan untuk melakukan miomektomi, berdasarkan ukuran dan lokasi dari mioma. Tindakan miomektomi dapat dilakukan dengan laparotomi, histeroskopi maupun dengan laparoskopi[2]. Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnva merupakan tindakan terpilih [3,11]. Tindakan histerektomi pada mioma uteri sebesar 30% dari seluruh kasus. Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu dengan pendekatan abdominal (laparotomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara laparoskopi[2]. Hiesterektomi pervaginam jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus uteri akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umurnnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnva karsinoma servisis uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus keseluruhannya[3]. Tindakan histerektomi pada pasien dengan mioma uteri merupakan indikasi bila didapati keluhan menorrhagia, metrorrhagia, keluhan obstruksi pada traktus urinarius dan kuran uterus sebesar usia kehamilan 12-14 minggu[2]. Radioterapi. Tindakan ini bertujuan agar ovarium tidak berfungsi lagi sehingga penderita mengalami menopause. Radioterapi ini umumnya hanya dikerjakan jika terdapat kontra indikasi untuk tindakan operatif. Akhir-akhir ini kontra indikasi tersebut makin berkurang. Radioterapi hendaknya hanya dikerjakan apabila tidak ada keganasan pada uterus[3]. Terapi yang terbaik untuk mioma uteri adalah melakukan histerektomi. Dari berbagai pendekatan, prosedur histerektomi laparoskopi memiliki kelebihan dimana resiko perdarahan

yang lebih minimal, masa penyembuhan yang lebih cepat dan angka morbiditas yang lebih rendah dibanding prosedur histerektomi abdominal[2].

8. Komplikasi Degenerasi ganas. Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,320,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause [3]. Torsi (putaran tangkai). Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Hal ini hendaknya dibedakan dengan suatu keadaan di mana terdapat banyak sarang mioma dalam rongga peritoneum[3]. Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. Misalnya terjadi pada mioma yang dilahirkan hingga perdarahan berupa metroragia atau menoragia disertai leukore dan gangguan-gangguan yang disebabkan oleh infeksi dan uterus sendiri[3].

9. Prognosis Histerektomi merupakan tindakan penatalaksanaan kuratif pada mioma. Pada miomektomi, uterus dapat kembali ke bentuk dan kontur awal. Yang perlu diperhatikan pada miomektomi adalah terjadinya kekambuhan. Hasil penelitian menunjukkan kekambuhan sebesar 2-3% per tahun setelah dilakukan miomektomi[6]. Mioma uteri dapat mempengaruhi kehamilan, misalnya menyebabkan infertilitas; risiko terjadinya abortus bertambah karena distorsi rongga uterus; khususnya pada mioma submukosum; letak janin; menghalangi kemajuan persalinan karena letaknya pada serviks uteri; menyebabkan inersia maupun atonia uteri, sehingga menyebabkan perdarahan pasca persalinan karena adanya gangguan mekanik dalam fungsi miometrium; menyebabkan plasenta sukar lepas dari dasarnya; dan mengganggu proses involusi dalam nifas. Memperhatikan hal-hal tersebut,

adanya kehamilan pada mioma uteri memerlukan pengamatan yang cermat secara ekspektatif. Kehamilan sendiri dapat menimbulkan perubahan pada mioma uteri, antara lain [3]: 1. Tumor membesar terutama pada bulan-bulan pertama karena pengaruh estrogen yang kadarnya meningkat[3]. 2. Dapat terjadi degenerasi merah pada waktu hamil maupun masa nifas seperti telah diutarakan di atas, yang kadang-kadang memerlukan pembedahan segera guna mengangkat sarang mioma. Anehnya pengangkatan sarang mioma demikian itu jarang menyebabkan banyak perdarahan [3]. 3. Meskipun jarang mioma uteri bertangkai dapat juga mengalami torsi dengan gejala dan tanda sindrom abdomen akut[3].

DAFTAR PUSTAKA

1. 2. 3. 4. 5.

Dorland WAN. Kamus kedokteran Dorland edisi 29. Jakarta: EGC; 2002. Hadibroto BR. Mioma uteri. Majalah Kedokteran Nusantara. 2005 Sept; 38(3): 254-9. Wiknjosastro H. Ilmu kandungan, ed 2. Jakarta: YBPSP; 2007. Monga A. Gynaecology by ten teachers, 18th ed. New York: Edward Arnold: 2006. Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Hoffman BL, Bradshaw KD, Cunningham FG. Williams gynecology. New York: McGraw-Hill; 2008.

6.

DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N. Current diagnosis & treatment: obstetrics & gynecology, 10 th ed. New York: McGraw-Hill; 2007. Hamilton-Fairley D. Lecture notes: obstetrics and gynaecology, 2nd ed. Massachusetts: Blackwell Publishing; 2004. Berek JS. Berek & Novaks gynecology, 14th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

7.

8.

9.

Fortner KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE. Johns Hopkins manual of gynecology and obstetrics, 3rd ed. Maryland: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

10. Gibbs RS, Karlan BY, Haney AF, Nygaard I. Danforths obstetrics and gynecology, 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2008. 11. Norwitz ER, Arulkumaran S, Symonds IM, Fowlie A. Oxford American handbook of obstetrics and gynecology, 1st ed. New York: Oxford University Press; 2007.

You might also like