You are on page 1of 6

www.pksplipb.or.

id

SEMINAR BIOREMEDIASI
Kontribusi Dari PKSPL-IPB Tuesday, 26 February 2008

SEMINAR BIOREMEDIASI

MULTI-PROSES REMEDIASI DIDALAM PENANGANAN TUMPAHAN MINYAK (OIL SPILL) DI PERAIRAN LAUT DAN PESISIR 1) Oleh : Dr. Agung Dhamar SYAKTI, S.Pi, DEA a,b a.Divisi Bioteknologi Lingkungan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. b. Program Sarjana Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal SOEDIRMAN e-mail : AgungSYAKTI@chemist.com

Sabtu, 10 Desember 2005 Fakultas Pertanian - Universitas Mulawarman

Laboratorium Geologi dan Mineralogi Tanah Gedung OECF Lt. II FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS MULAWARMANMULTI-PROSES REMEDIASI DIDALAM PENANGANAN TUMPAHAN MINYAK (OIL SPILL) DI PERAIRAN LAUT DAN PESISIR 1)

Agung Dhamar SYAKTI a,b a.Divisi Bioteknologi Lingkungan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan-Institut Pertanian Bogor. b. Program Sarjana Perikanan dan Kelautan Universitas Jenderal SOEDIRMAN e-mail : AgungSYAKTI@chemist.com 1. Pendahuluan Propinsi Kalimantan Timur dikenal sebagai salah simpul utama investasi di Indonesia. Iklim investasi yang kondusif di dunia industri, melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam selain memberikan sumbangsih yang besar bagi pertumbuhan ekonomi provinsi juga berpotensi menyebabkan peningkatan resiko pencemaran dan perusakan lingkungan. Di Propinsi Kalimantan Timur, industri berbasis kelautan seperti industri galangan kapal, tranportasi, perikanan, pelayaran, pertanian, kehutanan dan eksplorasi migas menjadi sektor industri unggulan. Beberapa dampak yang umum dijumpai dari kontaminasi dan pencemaran ke lingkungan antara lain adalah menghilangnya vegetasi dan fauna endemik, rusaknya struktur fisik vegetasi dan ekosistem laut dan pantai seperti terumbu karang, mangrove dan padang lamun, pada daerah onshore dimana instalasi industri berdiri dampak yang dapat diidentifikasi adalah menghilangnya lapisan top soil yang memiliki nilai penting secara biologis serta dihasilkannya limbah yang masuk didalam kategori B3 (bahan beracun berbahaya). Sebagai contoh, drill cutting, oil based mud, slop minyak, sludge minyak dan residu dasar tangki, adalah limbah B3 (kode limbah : D220 dan D221) dari kegiatan migas yang menurut PP No. 18 Jo. 85 Tahun 1999 berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan baik secara biologi, geologi, fisik, kimia dan sosekbud. Berangkat dari permasalahan diatas, diperlukan suatu program pengelolaan lingkungan yang efektif dan efisien terhadap pengeolaan limbah minyak hasil kegiatan industri sehingga dampak balik (reverse effect) dari manfaat kegiatan eksplorasi dan eksploitasi tidak menurunkan ataupun merusak kualitas lingkungan dan kesehatan manusia.

2. Karakteristik Minyak Bumi (crude oil) Limbah minyak yang berasal dari minyak mentah (crude oil) terdiri dari ribuan konstituen pembentuk yang secara struktur kimia dapat dibagi menjadi lima famili:
http://pksplipb.or.id Menggunakan Joomla! Generated: 26 January, 2011, 15:47

www.pksplipb.or.id

a. Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons), merupakan kelompok minyak yang dicirikan dengan adanya rantai atom karbon (bercabang atau tidak bercabang atau membentuk siklik) berikatan dengan atom hidrogen, dan merupakan rantai atom jenuh (tidak memiliki ikatan ganda). Termasuk dalam kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak mentah. Senyawa alkana bercabang (branched alkanes) biasanya terdiri dari alkana bercabang satu ataupun bercabang banyak (isoprenoid), contoh dari senyawa ini adlah pristana, phytana yang terbentuk dari sisa-sisa pigment chlorofil dari tumbuhan. Kelompok terakhir dari famili ini adalah napthana (Napthenes) atau disebut juga cycloalkanes atau cycloparaffin. Kelompok ini secara umum disusun oleh siklopentana dan siklohexana yang masanya mewakili 30-50% dari massa total minyak mentah. b. Aromatik (Aromatics). Famili minyak ini adalah kelas hidrokarbon dengan karakteritik cincin yang tersusun dari enam atom karbon. Kelompok ini terdiri dari benzene beserta turunannya (monoaromatik dan polyalkil), naphtalena (2 ring aromatik), phenanthren (3 ring), pyren, benzanthracen, chrysen (4 ring) serta senyawa lain dengan 5-6 ring aromatic. Aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relative hidrokarbon aromatic didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 %. c. Asphalten dan Resin. Selain empat komponen utama penyusun minyak tersebut di atas, minyak juga dikarakterisasikan oleh adanya komponen-komponen lain seperti aspal (asphalt) dan resin (5-20 %) yang merupakan komponen berat dengan struktur kimia yang kompleks berupa siklik aromatic terkondensasi dengan lebih dari lima ring aromatic dan napthenoaromatik dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki polaritas yang tinggi. d. Komponen non-hidrokarbon. Kelompok senyawa non-hidrokarbon terdapat dalam jumlah yang relative kecil, kecuali untuk jenis petrol berat (heavy crude). Komponen non-hidrokarbon adalah nitrogen, sulfur, dan oksigen, yang biasanya disingkat sebagai NSO. Biasanya sulphur lebih dominant disbanding nitrogen dan oxygen, sebaga contoh, minyak mentah dari Erika tanker mengandung kadar S, N dn O berturut-turut sebesar 2.5, 1.7, dan 0.4 % (Baars, 2002). e. Porphyrine. Senyawa ini berasal dari degradasi klorofil yang berbentuk komplek Vanadium (V) dan Nikel (Ni). 3. Proses transformasi oil spill di laut Ketika oil spill terjadi di lingkungan laut, minyak akan mengalami serangkaian perubahan/pelapukan (weathering) atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun minyak yang tumpah pada akhirnya akan terurai/terasimilisi oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk itu tergantung pada karakteristik awal fisik dan kimiawi minyak dan proses peluruhan (weathering) minyak secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah: Karaterisik fisika minyak, khususnya gravitasi spesifik, viskositas dan rentang didih; Komposisi dan karakteristik kimiawi minyak; Kondisi meteorologi (sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanograpi dan temperatur udara); dan Karakteristik air laut (pH, gravitasi spesifik, arus, temperatur, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut serta padatan tersuspensi). Adapun proses fisika-kimia yang bertanggungjawab didalam transformasi hidrokarbon minyak bumi antara lain adalah : penyebaran (spreading), penguapan (evaporation), disperse (dispersion), emulsifikasi (emulsification), disolusi, sedimentasi, dan oksidasi. Ilustrasi dari proses yang saling berinteraksi dalam mengubah sifat minyak digambarkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. 4. Dampak Terhadap Lingkungan Pesisir dan Perairan Laut Polutan dari jenis minyak mentah (crude oil) yang di Perairan Kalimantan Timur sering manjadi issue- issue lingkungan sehinnga dapat menjadi ancaman daerah terkait dengan iklim investasi. Adapun dampak dari limbah dalam bentuk tumpahan minyak ini secara spesifik menunjukan pengaruh negatif yang penting terhadap lingkungan pesisir dan perairan laut terutama melalui kontak langsung dengan organisma perairan, effek langsung terhadap kegiatan perikanan termasuk pariwisata laut dan efek tidak langsung melalui gangguan terhadap lingkungan.

http://pksplipb.or.id

Menggunakan Joomla!

Generated: 26 January, 2011, 15:47

www.pksplipb.or.id

Gambar 1. Ilustrasi dari proses transformasi/pelapukan tumpahan minyak di lingkungan laut . Sumber : Modifikasi dari National Research Council, 1985 Penyebaran Pergeseran Penguapan Disolusi Dispersi Emulsifikasi Sedimentasi Biodegradasi Foto-oksidasi Jam Hari Minggu Bulan Tahun

Gambar 2. Kecepatan relatif dari tiap proses bagi peluruhan minyak di laut terhadap waktu. (IMO, 2001)

4.1. Efek langsung terhadap organisma 4.1.1. Efek lethal (kematian) Di perairan lepas pantai efek tumpahan minyak sebagai B3 sering disebabkan oleh kecelakaan kapal tanker, kegiatan off-shore atau oleh rembesan alami minyak bumi dari dasar laut (oil seep), sampai saat ini belum ada laporan tentang kegiatan industri di darat yang melakukan pembuangan limbah jauh kearah perairan oseanik. Untuk kasus oil spill (tumpahan minyak), di perairan terbuka, konsentrasi minyak dibawah slick biasanya sangat rendah, dan maksimum akan berada dalam kisaran 0.1 ppm sehingga tidak menyebabkan kematian masal organisma terutama ikan-ikan akibat tumpahan minyak di perairan lepas pantai. Permasalahannya, kebanyakan kasus tumpahan minyak terjadi di perairan pantai ataupun perairan dalam (inshore). Pernah dilaporkan pada kecelakaan kapal tanker Amono Cadiz tahun 1978 di Perairan Inggris dan Perancis, populasi ikan-ikan dari jenis Pleurenectes platessa dan Solea vulgaris dilaporkan mengalami kematian massal. Resiko kematian masal akan lebih besar lagi bagi ikan-ikan di tambak ataupun di keramba serta jenis kerang-kerangan yang kemampuan migrasi untuk menghindari spill sangat rendah (Davis et al., 1984). 4.1.2. Efek sub-lethal Berbeda dengan efek lethal yang dapat dikuantifikasi dengan mudah dilapangan, efek sublethal akan lebih akurat jika dibuktikan di laboratorium. Uji laboratorium menunjukan bahwa reproduksi dan tingkah laku ikan dan kerang-kerangan dipengaruhi oleh konsentrasi minyak di air. Dengan konsentrasi yang relatif rendah (‹ 0.1 ppm), kemampuan tetas telur, tingkat kelulusan hidup, jumlah larva cacat, penutupan cangkang (pada kerang) dipengaruhi secara signifikan. Banyak jenis udang dan kepiting membangun sistem penciuman yang tajam untuk mengarahkan banyak aktifitasnya, akibatnya eksposure terhadap bahan B3 menyebabkan udang dan kepiting mengalami gangguan didalam tingkah lakunya seperti kemampuan mencari, memakan, dan kawin (GESAMP, 1993). 4.1.3. Efek terhadap plankton Stadium planktonik dari telur dan larva ikan, moluska dan crustaceae memiliki kerentanan yang tinggi dari kontak secara langsung dengan B3. Pada kasus yang ekstim seperti oil spill yang terjadi saat perang Teluk (1991-1992), 75 % stock udang menurun. Kondisi ini akan menjadi lebih buruk jika spillage bertepatan dengan periode memijah (spawning) dan lokasi yang terkena dampak adalah daerah asuhan (nursery ground). Dampak terhadap stadia planktonik dari organisma juga akan semakin tinggi ketika bersamaan waktunya dengan peride pemijahan serta masuknya spesies yang peruraya ke daerah tertutup/semi tertutup seperti teluk yang tercemar. 4.1.4. Efek terhadap ikan migrasi Secara umum, ikan akan dapat menhindari bahan pencemar dan efek jangka panjang terhadap populasi lokal dapat dihindari. Uniknya beberapa jenis ikan yang bersifat teritorial, ikan akan harus kembali kedaerah asal untuk mencari makan dan berkembang biak kendatipun daerah yang dituju adalah daerah yang terkontaminasi B3. Hal ini akan meningkatkan resiko terhadap ikan migrasi. 4.2. Efek langsung terhadap kegiatan perikanan 4.2.1. Tainting (bau lantung) Tainting dapat terjadi pada jenis-jenis ikan keramba dan tambak serta jerang-kerangan yang tidak memiliki kemampuan bergerak menjauhi bahan pencemar sehingga menjadi unfit untuk dijual karena organisma yang tercemar oleh B3 jenis minyak akan menghasilkan bau dan rasa yang tidak enak ataupun perubahan warna pada jaringannya. Biasanya, spesies dengan kandungan lemak tinggi akan lebih mudah menjadi tainted dibanding ikan dengan leanhttp://pksplipb.or.id Menggunakan Joomla! Generated: 26 January, 2011, 15:47

www.pksplipb.or.id

muscle species. Bau dan rasa lantung pada organisma akan hilang melalui proses metabolisme (depuration) dengan kecepatan yang berbeda untuk setiap jenis limbah, spesies dan kondisi optimal hidup bagi spesies tersebut (Baker et al., 1990). 4.2.2. Budidaya Untuk ukuran kecil dari suatu spillage ( ex. 50 ton), dampak terhadap kegiatan budidaya akan sangat besar, selain dari organisma yang dibudidayakan akan terkena dampak langsung, beberapa peralatan terkait dengan kegiatan budidaya seperti jaring dan temali menjadi tidak dapat digunakan lagi. Selain itu stock juga dapat dipengaruhi jika ada intake air laut yang digunakan mensupplai kebutuhan stock. 4.2.3. Efek terhadap ekosistem Ekosistem pesisir dan laut (mangrove, delta sungai, estuari, padang lamun, dan terumbu karang) memiliki fungsi dan peran yang penting secara ekologis, ekonomi dan juga sosial budaya. Secara ekologi, ekosistem tersebut merupakan daerah perkembangbiakan, penyedia habitat dan makanan untuk organisma dewasa serta mendukung jejaring makanan (ex. Input nutrient dari daun-daun mati) bagi ekosistem ataupun habitat lain disekitarnya. Tekanan dari masuknya limbah B3 akan mempengaruhi peruntukan sistem-sistem tersebut, ditambah lagi vulnerabilitas dari ekosistem ekosistem tersebut sangat tinggi terhadap bahan beracun berbahaya disamping natural attenuation (dispertion and dilution) pada beberapa ekosistem seperti mangrove, estuari, padang lamun dan daerah dangkal di pantai relatif lebih lambat (IUNC, 1993). 5. Penanganan tumpahan minyak (oil spill) Didalam tulisannya diharian Republika, Syakti (23 Oktober 2005) menulis bahwa setiap tahunnya lebih dari 3 miliar metrik ton minyak mencemari dari aktivitas antrofogenik (baca: manusia dan industri-nya) di mana hampir 40 persennya berasal dari kegiatan tanker minyak (data dikutip dari International Maritim Organization). Pernah dicatat dalam sejarah di perairan selat Malaka, misalnya, sekitar 4 juta liter minyak tertumpah dan mengakibatkan pencemaran laut pada kasus kecelakaan kapal tanker Showa Maru. Bencana yang skalanya ''catastrophique'', tabrakan tanker Maersk Navigator dan Sanko Honour (1,8 juta barel), adalah contoh lain kejadian tumpahan minyak di Indonesia yang masuk di dalam daftar hitam pencemaran laut oleh petroleum hidrokarbon di dunia. Sampai saat ini belum ada suatu model pengorganisasian ataupun alat yang mampu diaplikasikan di setiap kasus pencemaran laut oleh minyak bumi. Mekanisme penanganan pencemaran minyak di laut baik melalui peraturan serta kebijakan yang terkait termasuk di dalamnya program action plan belum mampu menjawab permasalahan dengan memuaskan. Paradigma out-of-sight and out-of-mind dalam filosofi penanggulangan tumpahan minyak akhirnya menjadi status quo dan harus segera kita tinggalkan. Secara umum penanganan tumpahan minyak dilakukan dengan salah satu atau ketiga metode sebagai berikut: Penanganan secara fisika, adalah perlakuan pertama dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa (oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima "reservoar" baik dalam bentuk tangki ataupun balon. Salah satu kelemahan dari metoda adalah hanya dapat dipakai secara efektif di perairan yang memiliki hidrodinamika air yang rendah (arus, pasang-surut, ombak, dll) dan cuaca yang tidak ekstrem. Aplikasi metode ini juga sulit dilakukan di pelabuhan karena dapat mengganggu aktivitas keluar dan masuk kapal-kapal dari dan menuju pelabuhan. Kendala lain juga dijumpai karena belum seluruh pelabuhan di Indonesia memiliki Local Cotingency Plan for Oil Pollution, semacam manajemen penanggulangan bahaya tumpahan minyak. Teknik lain (secara fisika) yang lazim digunakan adalah pembakaran yang dari sudut pandang ekologis hanya memindahkan masalah pencemaran ke udara. Penanganan secara kimia, awalnya penggunaan metode ini kurang dikehendaki, aplikasinya untuk menangani tumpahan minyak Torrey Canyon di perairan Inggris tahun 1967 dianggap menimbulkan kerusakan lingkungan terutama dikarenakan dispersan, nama agen kimia yang digunakan untuk penanganan tumpahan minyak, maupun produk yang terbentuk dari pencampuran minyak dan dispersan, bersifat racun yang lebih berbahaya dari minyak mentah yang tersebar di perairan itu sendiri. Untungnya, dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun, pengembangan riset agen dispersan menunjukkan hasil yang sangat menggembirakan, salah satu contoh dari dispersan ini adalah COREXIT 9500 yang diproduksi oleh Exxon Energy Chemical yang sukses diaplikasikan untuk membersihkan tumpahan minyak tabrakan kapal tanker Evoikos dan Orapin Global di Selat Malaka. 6. Teknologi Bioremediasi Upaya pengolahan limbah B3 baik di darat (tanah dan air tanah) ataupun di laut telah banyak dilakukan dengan menggunakan tehnik ataupun metoda konvensional dalam mengatasi pencemaran seperti dengan cara membakar (incinerasi), menimbun (landfill), menginjeksikan kembali sludge keformas minyak (slurry fracture injection) dan memadatkan limbah (solidification). Teknologi-teknologi ini dianggap tidak efektif dari segi biaya (cost effective technology), waktu (time consuming) dan juga keamanan (risk). Bioremediasi didefinisikan sebagai proses penguraian limbah organik/anorganik polutan secara biologi dalam kondisi terkendali dengan tujuan mengontrol, mereduksi atau bahkan mereduksi bahan pencemar dari lingkungan. Kelebihan teknologi ini ditinjau dari aspek komersil adalah relatif lebih ramah lingkungan, biaya penanganan yang relatif lebih murah dan bersifat fleksibel. Teknik pengolahan limbah jenis B3 dengan bioremediasi umumnya menggunakan mikroorganisme (khamir, fungi, dan bakteri) sebagai agen bioremediator. Pendekatan umum yang dilakukan untuk meningkatkan kecepatan biotransformasi ataupun biodegradasi adalah dengan cara: (i) seeding, atau mengoptimalkan populasi dan aktivitas mikroba indigenous (bioremediasi instrinsik) dan/atau penambahan mikroorganisme exogenous (bioaugmentasi) dan (ii) feeding, atau
http://pksplipb.or.id Menggunakan Joomla! Generated: 26 January, 2011, 15:47

www.pksplipb.or.id

dengan memodifikasi lingkungan dengan penambahan nutrisi (biostimulasi) dan aerasi (bioventing). Penanganan bioremediasi dapat dilakukan secara in situ ataupun ex situ, faktor-faktor penting untuk menjamin kondisi mikroorganisma dapat tumbuh dan berkembangbiak adalah ketersediaan oksigen, kandungan nutrisi, pH dan kelembaban. Kelebihan spesifik dari senyawa hidrokarbon dibanding bahan pencemar lain (ex. Logam berat) adalah penggunaannya sebagai sumber karbon sebagai pembentuk biomassa dan sumber energi untuk melangsungkan metabolisme oleh mikroorganisma. Nitrogen dan Phosphore adalah nutrisi utama bagi organisme dan didalam air laut kedua unsur ini adalah faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisma. Peluang kedepan adalah pengembangan green business yang berbasis pada teknologi bioremediasi dengan system one top solution (close system) dan dengan pendekatan multi-proses remediation technologies, artinya pemulihan (remediasi) kondisi lingkungan yang terdegradasi dapat diteruskan sampai kepada kondisi lingkungan seperti kondisi awal sebelum kontaminasi ataupun pencemaran terjadi. Usaha mencapai total grenning program ini dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi lahan dengan melakukan kegiatan phytoremediasi dan penghijauan (vegetation establishement) untuk lebih efektif dalam mereduksi, mengkonrol atau bahkan mengeliminasi B3 hasil bioremediasi kepada tingkatan yang sangat aman lagi buat lingkungan. Dengan keseluruhan rangkaian proses dari mulai limbah dikeluarkan, bioremediasi, phytoremediasi dan pembentukan vegetasi adalah greening program yang merupakan bentuk pengelolaan limbah B3 secara terpadu (integrated waste management). Biasanya greening program juga merupakan salah satu bentuk aktifitas community development dari perusahaan-perusahan. Untuk wilayah pesisir dan pantai greening program dapat berupa penanaman kembali bibit mangrove dan vegetasi pantai lain ataupun program lain seperti artificial reef, fish shelter ataupun reef transplantation. Bagi industri, penanganan lahan tercemar dengan teknologi bioremediasi memberikan nilai stategis ditinjau dari sudut pandang: (i) Effisiensi, kesadaran bahwa banyak sumber daya alam kita adalah non-renewable resources (ex. minyak dan gas), dengan teknologi ramah lingkungan yang cost-effective (seperti bioremediasi) akan secara langsung berimplikasi kepada pengurangan biaya pengolahan. Biaya tehnologi Bioremediasi di Indonesia berada didalam kisaran 20-200 USD per meter kubik bahan yang akan diolah (tergantung dari jumlah dan konsentrasi limbah awalserta metoda aplikasi), jauh lebih murah dari harga yang harus dikeluarkan dengan teknologi lain seperti incinerasi dan soil washing (150-600 USD). (ii) Lingkungan, ketika suatu perusahaan begitu konsern dengan lingkungan, diharapkan akan terbentuk sikap positif dari pasar yang pada akhirnya seiring dengan kesadaran lingkungan masyarakat akan mengkondisikan masyarakat untuk lebih memilih “green Industry” dibanding industri yang berlabel “red industri” atau mungkin “black industry”, evaluasi kinerja industri dalam pengelolaan lingkungan hidup (Proper) sudah mulai dilakukan oleh pemerintah (KLH), diharapkan kedepan, akan terus dikembangkan menjadi pemberian sertifikasi ISO 14001, hasilnya adalah perluasan pasar dengan "greening image". (iii) Environmental Compliance, ketaatan terhadap peraturan lingkungan menunjukan bentuk integrasi total dan aktif dari industri terhadap regulasi yang dibangun oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat luas. Sikap ini juga akan memberi penilai positif dari masyarakat selaku konsumen terhadap perusahaan tertentu. Seiring dengan penegakan hukum di Indonesia yang iklimnya semakin membaik kepatuhan akan peraturan yang ditetapkan oleh regulator akan menjadi sebuah tuntutan yang tidak dapat dihindarkan. Regulator, dalam hal ini adalah pemerintah, melalui Kementrian Lingungan Hidup, misalnya, saat ini sudah membuat sebuah payung hukum yang mengatur standar baku kegiatan Bioremediasi untuk mengatasi permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) yang disusun dan tertuang didalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.128 tahun 2003 tentang tatacara dan persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi oleh minyak bumi secara biologis (Bioremediasi). Terakhir, didalam aplikasi teknologi bioremediasi, parsisipasi aktif dari kelompok masyarakat dapat terakomodisir guna mendukung upaya-upaya dalam pengelolaan dan penanganan limbah hasil kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terutama dalam tahapan rehabilitasi lahan terbuka akibat eksplorasi dan eksploitasi SDA. Bentuk disseminasi publik juga dapat dikemas dalam bentuk pelatihan dan tranfer teknologi agar applikasi bioremediasi kepada masyarakat sebagai share holder (pola kemitraan), bersama-sama pemerintah dapat mengontrol kegiatan monitoring dan evaluasi dari kegiatan bioremediasi dan rehabilitasi lahan. Produk akhir dari kegiatan bioremediasi dapat berupa air terproduksi yang sudah memenuhi baku mutu lingkungan dan padatan (solid), produk yang dapat digunakan untuk bahan pembentuk batu concrete untuk bahan bangunan dan pupuk. Terkait dengan pengembangan dan pengelolaan lanskap pada area pertambangan dan area pasca tambang dapat dilakukan dengan cara reklamasi lahan dan penanaman ulang (revegetation). Untuk meningkatkan kualitas tanah pada lahan yang terdegradasi tersebut dapat dilakukan dengan penimbunan tanah organik, top soil atau tanah tambang yang telah ditreatment dengan teknik bioremediasi. Konsep ekologis yang memperhatikan hubungan antara kondisi tanah pada setiap tapak, kesesuaian lahan untuk penggunaan tanaman tertentu, pemilihan jenis tanaman lokal yang diketahui telah memiliki daya adaptasi tinggi akan menjadi kunci utama dari keberhasilan program revegetasi. Dengan demikian pengelolaan lanskap (landscape management) secara berkelanjutan pada lahan pertambangan dan lahan pasca tambang dapat dikembangkan melalui konsep perencanaan lanskap dan perancangan lanskap yang lebih baik dengan peruntukan yang sesuai dengan keinginan pemilik dan pengguna. Peruntukan tersebut bisa menuju ke penghutanan kembali, atau untuk lahan pertanian, atau untuk resor wisata alam yang diusahakan dapat mengembalikan potensi keragaman jenis biologi flora dan fauna (Arifin et al., 2004). Lahan yang sudah diolah dengan teknologi ramah lingkungan dapat dikonversi menjadi unit kegiatan bisnis lain seperti pemanfaatan lahan untuk padang golf (golf court), peternakan (ranch) dan sebagainya.

Daftar Pustaka
http://pksplipb.or.id Menggunakan Joomla! Generated: 26 January, 2011, 15:47

www.pksplipb.or.id

Arifin, H.S., M. Yani, F. Aribowo, and A.M. Fauzi. 2004. Bioremediation: A Case Study in East Kalimantan, Indonesia. Proceeding the 1st COE International Symposium “Environmental Degradation and Ecosystem Restoration in East Asia” Tokyo University – Japan. 9 p. Baker, J. M., Clark, R. B., Kingston, P. F. and Jenkins, R. H. (1990). Natural Recovery of Cold Water Marine Environments after an Oil Spill. 13th AMOP Seminar, June 1990. Cookson, J.T. 1995. Bioremediation Engineering : Design and Application. McGraw-Hill, Inc. Toronto. Davis, W. P., Hoss, D. E., Scott, G. I. and Sheridan, P.F. (1984). Fisheries resource impacts from spills of oil or hazardous substances. In: Cairns, J. and Buikema, A. L. (eds.) Restoration of Habitats Impacted by Oil Spills. Ecological Steering Group on the Oil Spill in Shetland (1994). The Environmental Impact of the Wreck of the Braer. The Scottish Office, Edinburgh. GESAMP (IMO/FAO/UNESCO/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP Joint Group of Experts on the Scientific Aspects of Marine Pollution) (1993). Impact of Oil and Related Chemicals and Wastes on the Marine Environment. UNEP. IUCN (1993). Oil and Gas Exploration and Production in Mangrove Areas. IUCN Gland, Switzerland and Cambridge, UK, with E&P Forum, London, UK.

http://pksplipb.or.id

Menggunakan Joomla!

Generated: 26 January, 2011, 15:47

You might also like