You are on page 1of 15

MAKALAH

KAPITA SLLLKTA HIKIM TATA NLGARA


Judul
PLNGGINAAN HAK ANGKLT DLVAN PLRVAKILAN
RAKYAT RLPIBLIK INDONLSIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak isu pembentukan pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat Bank
Century (BC) pertama kali didengungkan, hingga pada pasca pembentukan
Pansus (4 Des.2009), banyak pihak yang merasa apriori terhadap kompetensi dan
integritas pansus hak anhket Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengungkap
setiap kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang berdampak pada
masyarakat luas salah satunya sekarang adalah skandal bailout BC sebesar Rp
6,7 triliun yang menghebohkan itu. Akibatnya telah menimbulkan huru-hara
politik, dan banyak pihak yang mempertanyakan eIektiIitas dan eksistensi kerja
pansus hak angket Dewan Perwakilan Rakyat,dan sejauh mana mampu
mengungkap tuntas disetiap kasus yang diselidikinya.
Dalam kaitan itu, untuk menentukan apakah pembentukan pansus DPR
tersebut eIektiI atau tidaknya, mampu membongkar tuntas setiap kasus yang
diselidikinya hingga keakar-akamya, sesungguhnya dapat diukur dari beberapa
sudut pandang obyektiI. Pertama, dapat ditinjau dari substansi dan agenda kerja
yang ditetapkan, serta tujuan apa yang ingin dicapai pansus hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat. edua konsistensi pencapaian secara periodik dari agenda
kerja pansus yang ditetapkan. etiga, kompetensi para anggota pansus yang
ditempatkan dalam setiap kasus, khususnya dalam menggali dan membuktikan
Iakta-Iakta hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. eempat,
validitas hukum yang mendasari pembentukan pansus dan apa akibat hukum
yang ditimbulkannya.
Dari susdut pandang tersebut sangat menarik untuk kita diskusikan
kaitannya dengan penggunaan hak angket Dewan Perwakilan rakyat yang
sekarang menjadi Ienomenal di madiam masa maka dalam makala ini penulis
ingin mencoba membahas apa yang menjadi aspek hokum hak angket Dewan
Perwakilan rakyat serta Eksistensinya dalam setiap kasus yang di selidikinya.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian singkat latar belakang diatas, dapat ditarik beberapa
permasalahan yang sekaligus menjadi topik diskusi dalam hal penggunaan hak
angket DPR sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek hukum penggunaan hak angket Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.?
2. Bagaimana eksistensi hak angket Dewan perwakilan rakyat dimasa Orde lama,
Orde Baru, dan masa ReIormasi sampai sekarang ?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Aspek Hukum Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Aspek Hukum Hak Angket dan Proses Pengguliran Hak Angket
Secara normatiI, keberadaan Hak Angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD
1945, yang berbunyi : 'Dalam melaksanakan Iungsinya, selain hak yang diatur
dalam pasal-pasal lain UndangUndang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.
Kemudian ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat
DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043), serta peraturan
Tata Tertib DPR.
Penggunaan Hak Angket juga tidak sembarangan namun diatur dalam
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket Dewan Perwakilan
Rakyat. Meskipun undang-ya ini berasal dari zaman sistem pemerintahan
parlementer di bawah Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950, tetapi
sampai sekarang masih terus digunakan. Mahkamah Konstitusi melalui
putusannya tanggal 26 Maret 2004 menegaskan, Undang-Undang Nomor 6
Tahun 1954 itu masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal I Aturan Peralihan
UUD 1945. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa pun bagi Dewan
Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-ketentuan dalam Undang-
undang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk melaksanakan hak angket Dewan
Perwakilan Rakyat.
Lebih lanjut, Pasal 77 ayat (3) UU No. 27 tahun 2009 menentukan deIinisi
hak angket sebagai hak Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan
Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Tetapi, mengenai
penyelidikan itu sendiri tidak dideIenisikan. Apakah penyelidikan dalam
pengertian dari UU No. 27 tahun 2009 sama dengan pengertian penyelidikan
dalam KUHAP.
Jika usulan melaksanakan Hak Angket disetujui, Dewan Perwakilan
Rakyat akan membentuk Panitia Hak Angket yang akan bekerja selama proses
penyelidikan. Dalam masa itu, Panitia Hak Angket DPR dapat mengumpulkan
Iakta dan bukti bukan saja dari kalangan pemerintah, tetapi dari siapa saja yang
dianggap perlu, termasuk mereka yang dianggap ahli mengenai masalah yang
diselidiki. Mereka wajib memenuhi panggilan Panitia Angket dan menjawab
semua pertanyaan dan memberikan keterangan lengkap, termasuk menyerahkan
semua dokumen yang diminta, kecuali apabila penyerahan dokumen itu akan
bertentangan dengan kepentingan negara. Mereka yang dipanggil namun tidak
datang tanpa alasan yang sah, dapat disandera selama-lamanya seratus hari (Pasal
17 ayat 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954). Panitia Angket juga dapat
meminta pengadilan agar memerintahkan pejabat yang tidak mau menyerahkan
dokumen negara yang mereka minta untuk selanjutnya diserahkan kepada Panitia
Hak Angket.
Karena anggota Panitia Angket itu akan bertindak sebagai seorang
penyelidik, maka status mereka haruslah resmi, yakni dibentuk oleh DPR dan
diumumkan dalam Berita Negara, agar diketahui oleh semua orang. Demikian
pula berapa besar anggaran yang akan digunakan oleh Panitia Angket itu.
Keharusan mengumumkan penggunaan Hak Angket, nama-nama anggota
panitianya serta anggarannya dalam Berita Negara itu, merupakan syarat Iormal
keabsahan Panita Angket, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1954 dan Pasal 181 Peraturan Tata Tertib DPR. Untuk itu, guna
memenuhi syarat Iormal pembentukan panitia angket ini, Sekretariat Jenderal
Dewan Perwakilan Rakyat harus segera menyampaikan segala hal yang terkait
dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang penggunaan hak angket ini
kepada Menteri Hukum dan HAM, agar menempatkannya di dalam Berita
Negara. Menteri Hukum dan HAM tidak dapat menolak mengumumkan dalam
Berita Negara itu, karena hal itu adalah kewajibannya yang diperintahkan
undang-undang.
Kedudukan Panitia Angket DPR sesungguhnya sangatlah kuat bila dilihat
dari sudut hukum. Dalam sistem parlementer, keberadaan panitia angket tidaklah
otomatis bubar dengan pembubaran parlemen. Seperti kita pahami dalam sistem
parlementer, Pardana Menteri dapat membubarkan parlemen setiap waktu dan
menentukan kapan akan diselenggarakan pemilihan umum. Meskipun parlemen
dibubarkan, panitia angket terus bekerja sampai terbentuknya parlemen yang
baru, yang akan menentukan nasib panitia angket itu. Dalam sistem presidensial,
hal ini tidak mungkin terjadi, kecuali Presiden telah berubah menjadi diktator
dengan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Suatu hal yang dapat dijadikan
sebagai pegangan dari ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1954 yang
relevan dengan situasi sekarang ialah, pekerjaan panitia angket tidaklah terhalang
oleh adanya reses dan penutupan masa sidang.
Ketika Panitia Angket sudah menyelesaikan tugasnya, semuanya akan
tergantung pada Iakta-Iakta dan bukti-bukti yang terungkap selama penyelidikan
dan tergantung pula pada analisis Panitia Angket terhadap Iakta-Iakta dan bukti-
bukti yang berhasil diungkapkan. Kalau semua yang terungkap disimpulkan
bahwa kebijakan pemerintah sekitar masalah yang diangkat, menguntungkan
rakyat, dan sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka
Pemerintah tentu aman-aman saja. Laporan Panitia Angket kepada rapat
paripurna yang diterima oleh Iraksi-Iraksi dan disahkan DPR, selanjutnya
diserahkan kepada Presiden. Presiden akan dengan senang hati menerima hasil
angket DPR yang ternyata membenarkan segala kebijakan yang ditempuh
Pemerintah. Ini sekaligus berarti DPR telah keliru mengasumsikan sesuatu, yang
setelah diselidiki ternyata tidak benar.
Jika penyelidikan yang dilakukan Panitia Angket menyimpulkan telah
terjadi kebijakan yang merugikan negara, merugikan rakyat serta bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apalagi melanggar
ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, laporan Panitia Angket harus
disampaikan ke rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendengarkan
pendapat Iraksi-Iraksi sebelum laporan itu diputuskan untuk diterima atau
ditolak, baik secara aklamasi maupun melalui pemungutan suara. Keputusan
DPR tersebut disampaikan kepada Presiden. Selanjutnya DPR dapat
menindaklanjuti keputusan itu sesuai kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat
(Pasal 182 Peraturan Tata Tertib DPR).
Tindak lanjut atas keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tentang
penggunaan hak angket diatur dalam Pasal 184 ayat (1a) ialah menyampaikan
'Hak Menyatakan Pendapat atas keputusan hasil penyelidikan melalui
penggunaan hak angket, atau langsung menggunakan ketentuan Pasal 184 ayat
(1b) yakni Hak Menyatakan Pendapat untuk menduga bahwa 'Presiden dan/atau
Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela
maupun tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Penggunaan ketentuan pasal ini - yang merupakan ketentuan yang bersumber
dari ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 - memang sangat serius. Ketentuan
inilah yang dikenal dengan istilah 'impeachment terhadap Presiden.
Ketentuan Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 di atas belum pernah ada
praktiknya dalam sejarah ketatanegaraan kita. Kalau pendapat DPR bahwa benar
hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusilah yang harus memutuskan apakah
pendapat DPR itu terbukti atau tidak. Kalau MK memutuskan memang terbukti,
maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR (Pasal 7B ayat 5
UUD 1945 jo Pasal 190 Peraturan Tata Tertib DPR. Sejarah Indonesia mencatat
dua kali sidang istimewa MPRS dan MPR yang terjadi pada masa Presiden
Sukarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. Dan keduanya adalah presiden yang
menjadi korban hak angket, karena harus dipaksa turun dari jabatanya sebelum
masa kepemimpinannya berakhir.
B. Eksistensi Penggunaan Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Masa Orde Lama, Orde Baru Dan Era ReIomsi Sampai Sakarang
1. Orde Lama
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, hak angket digunakan kali
pertama pada 1950-an. Berawal dari usul resolusi RM Margono
Djojohadikusumo agar Dewan Perwakilan Rakyat mengadakan angket atas
usaha pemerintah memperoleh dan cara mempergunakan devisa. Maka
kemudian dibentuklah Panitia Angket beranggotakan 13 orang, diketuai
Margono, yang tugasnya menyelidiki untung-rugi mempertahankan devisen-
regime berdasar Undang-Undang Pengawasan Devisen 1940 dan perubahan-
perubahannya.
Panitia Angket pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo-I (30 Juli 1953-
12 Agustus 1955) ini mula-mula diberi waktu enam bulan, tetapi kemudian
diperpanjang dua kali dan menyelesaikan tugasnya pada Maret 1956 pada
masa Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-24 Maret 1956).
Sayang, hasil kerja tim bersamaan dengan terbentuknya kabinet hasil Pemilu
1955 (Kabinet Ali Sastroamidjojo-II) itu nasibnya tidak jelas.
2. Masa Orde Baru
Meskipun pada masa Orde Baru, parlemen praktis dikuasai Golkar
sebagai Iraksi penopang pemerintah, usul penggunaan hak angket sempat
lolos masuk dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 7 Juli 1980.
Sebanyak 20 anggota DPR (14 dari FPDI dan 6 dari FPP) menandatangani
usul penggunaan hak angket yang kemudian diserahkan R Santoso
Danuseputro (FPDI) dan HM Syarkawie Basri (FPP) kepada Ketua DPR
kala itu, Daryatmo, pada 5 Juli.
Para pengusul angket tidak puas atas jawaban Presiden Soeharto
menyangkut kasus H Thahir dan Pertamina yang disampaikan Mensesneg
Sudharmono dalam sidang pleno Dewan Perwakilan Rakyat 21 Juli 1980,
menanggapi interpelasi atau hak bertanya yang uniknya dilakukan tujuh
anggota FKP sendiri. Dalam usul angket tentang Pertamina tersebut
dicantumkan rencana pembentukan Panitia Angket yang terdiri atas 14 orang
dengan 24 anggota pengganti, plus sejumlah tenaga ahli yang khusus
dipekerjakan untuk itu, dengan anggaran waktu itu sebesar Rp 108 juta.
Panitia angket diprogramkan bekerja selama satu tahun, dan setiap bulan
bersidang sedikitnya empat kali dan sebanyaknya delapan kali. Jadi dalam
satu tahun mereka bersidang hingga sekitar 75 kali.
Reaksi keras pun muncul, terutama dari kalangan anggota FKP dan
Fraksi ABRI yang menyoal perlunya menggunakan hak angket. Nasib
selanjutnya pun sangat jelas: hak angket ditolak. Angket mentok di sidang
pleno DPR. Setelah itu, hak ini nyaris tak pernah terdengar lagi gaungnya
hingga rezim Orde Baru tumbang pada 1998.
3. Masa ReIormasi (1998-sekarang)
PascareIormasi, penggunaan hak angket kembali digulirkan. Itu terjadi
ketika Dewan Perwakilan Rakyat mencium keterlibatan Presiden
Abdurrahman Wahid dalam penyalahgunaan uang Yayasan Dana
Kesejahteraan (Yanatera) Bulog. Hak angket digunakan untuk menyelidiki
penyelewengan dana Bulog serta bantuan dana dari Sultan Brunei atau yang
lebih dikenal dengan istilah Buloggate dan Bruneigate.
Tidak seperti sebelumnya, hak angket yang dipicu keluarnya
memorandum Gus Dur untuk membubarkan parlemen itu berujung pada
impeachment presiden.
Pada periode pertama masa jabatan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY), hak angket pernah dicoba digulirkan atas sejumlah
kasus. Di antaranya menyangkut kenaikan harga BBM yang mengundang
reaksi mahasiswa, masalah impor beras 2006, penyelenggaraan ibadah haji
2008, dan ruwetnya daItar pemilih tetap (DPT) Pemilu 2009. Namun, usaha
tersebut hanya menghasilkan keputusan normatiI.
Dalam pidato di depan Sidang Paripurna Pembukaan Masa
Persidangan I Tahun Sidang 2009-2010, pertengahan Agustus lalu Ketua
DPR HR Agung Laksono mengaku DPR masih terus berusaha untuk
menuntaskan beberapa hak DPR yang sedang dalam proses. Di antaranya
menuntaskan hak angket menyangkut penyelenggaraan ibadah haji
1429H/2008, hak angket DPT, dan hak angket menyangkut kebijakan
Pemerintah menaikkan harga BBM.
pada Hak Angket Century Belajar dari kasus-kasus sebelumnya, hak
angket nampak hanya menjadi sebuah keputusan normatiI tanpa ada solusi
yang dapat diberikan. Padahal peraturan Tata Tertib DPR menegaskan, hak
angket digunakan untuk menyelidiki "kebijakan pemerintah yang penting
dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan".
Sehubungan dengan skandal Bank Century, kebijakan pemerintah
"menyelamatkan" Bank Century dengan sendirinya dapat menjadi objek Hak
Angket DPR karena berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, apalagi kebijakan itu juga berkaitan dengan keuangan negara.
Namun, apakah kebijakan itu benar-benar bertentangan dengan Undang-
Uundang sebagaimana dugaan DPR, inilah yang harus "dibuktikan" melalui
penggunaan hak angket itu.
Carut marut pengucuran dana talangan Bank Century yang menyeret
keterlibatan beberapa pejabat negara, seperti gubernur BI dan Menkeu,
mendorong sejumlah anggota Dewan menggulirkan hak angket untuk
mengurai benang kusut tersebut. Penting bagi Dewan Perwakilan Rakyat
menggali keterangan ahli dan semua pihak terkait dengan aliran dana dan
masalah lainnya yang terkait dengan "penyelamatan" Bank Century. Dengan
memakai hak angket, diharapkan ada konklusi yang lebih objektiI, bukan
asal kritis. Sebab, orientasi angket menyelidiki dan mencari solusi. Yang
ingin diketahui Dewan Perwakilan Rakyat bukan sebatas mendengar apologi
pemerintah, melainkan menguak lebih jauh ada apa sebenarnya dibalik
kebijakan pemerintah terhadap pengawasan bank-bank selama ini.
Hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut Bank
Century dapat digunakan (atau tidak digunakan) oleh panitia angket Dewan
Perwakilan Rakyat. Nantinya, Dewan Perwakilan Rakyat dapat saja
berpendapat lain dengan BPK. Dengan kata lain, bila hasil audit BPK
berkesimpulan aliran dana pemerintah ke Bank Century sudah sesuai dengan
prosedur, kesimpulan itu dapat dikesampingkan oleh DPR. Apalagi Wapres
Boediono memiliki peran terkait pencairan dana Rp 6,7 triliun saat dirinya
menjadi Gubernur BI. Pada titik inilah kehadiran Panitia Hak Angket DPR
untuk menguak persoalan seputar penyelamatan Bank Century menjadi amat
penting dilakukan.
Persoalan Bank Century menjadi semakin menarik sejak 138 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) secara resmi menyerahkan usulan hak
angket kepada pimpinan DPR (12/11/2009). Jumlah anggota yang
menandatangani usulan tersebut dikabarkan terus bertambah.
Wapres Boediono, yang namanya terseret dalam kasus ini, pernah
menyatakan bahwa penggunaan angket adalah hal yang wajar dalam sistem
demokrasi (13/11/2009). Maka banyak pihak berharap Hak Angket DPR
untuk kasus Century berhasil dilaksanakan, tidak kempis di tengah jalan
seperti penggunaan hak angket pada masa sebelumnya. Modal kejujuran dan
kesungguhan perlu untuk dipegang oleh DPR selaku pemilik Hak Angket.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Aspek hukum hak angket Dewan Perwakilan Rakyat, terlihat jelas Secara
normatiI, bahwa hak angket diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945
kemudian ditegaskan kembali dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Peraturan Tata tertib
DPR. Sedangakan Undang-undang yang mengatur penggunaan hak angket
ialah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR.
Walaupun Undang-undang ini berasal dari zaman sistem pemerintahan
parlementer di bawah UUD Sementara Tahun 1950, tetapi sampai
sekarang belum pernah dicabut. Dengan demikian, tidak ada keraguan apa
pun bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggunakan ketentuan-
ketentuan dalam peraturan perungang-undangan yang disebutkan diatas
termasuk Undang-ndang Nomor 6 Tahun 1954 itu untuk menggunakan
hak angket hak angket DPR.
2. Eksistensi penggunaan hak angket dari masa orde lama,orde baru dan masa
transisi ( reIormasi ),bisa dikatakan masih eksis sampai sekarang
walaupun dalam setiap keputusan hanyalah berpandangan yang normative
saja sehingga dari masa orde lama samapai masa reIormasi keberadaan
hak angket masih dibutuhkan kerja kerja keras bagi DPR dalam setiap
mengusut tuntas kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang
merugikan rakyat berdampak luas pembangunan negara indonesia.
B. Saran
Diharapkan Adanya kerja keras seluruh lembaga Negara Untuk
memperbaiki praktik ketatanegaraan ke depan, khusunya anggota DPR yang
akan menggunakan hak angket perlu mengubah cara yang ditempuh selama
ini. Salah satu caranya, mengelaborasi secara mendalam tentang makna
"kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diduga bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan". Kalau itu bisa dilakukan, upaya setiap
pengusul hak angket akan semakin mendapat tempat di mata publik.

You might also like