You are on page 1of 10

1

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Krisis energi khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) global yang terjadi saat ini sangat mengkhawatirkan terutama pada negara-negara yang mempunyai kebutuhan sangat besar pada sektor ini. Tidak dapat dipungkiri Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang sedang menggalakan pertumbuhan industri dalam negeri sekaligus memperbaiki iklim investasi ikut terkena dampak krisis energi global. Sumber-sumber alternatif yang dapat menggantikan bahan bakar minyak pun dicari dan diteliti dengan seksama dengan harapan dapat mensubstitusi bahan bakar minyak. Dewasa ini pemerintah Indonesia sedang marak menggalakkan program biofuel, dilatarbelakangi dengan semakin sadarnya pemerintah akan kebutuhan pengganti bahan bakar minyak yang setiap tahun semakin menipis sedangkan kebutuhan selalu naik. Dengan adanya permasalahan tersebut pemerintah mencoba untuk mencari bahan baku pengganti BBM yang dapat diproduksi secara kontinyu (berkesinambungan) yang diharapkan berasal dari bahan-bahan nabati yang merupakan sumber energi terbarukan. Semakin melonjaknya harga minyak mentah dunia mengakibatkan semakin terbebaninya negara-negara pengimpor minyak. Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor minyak merasakan beban yang begitu besar sehingga dalam tiap tahunnya harus tetap mengalokasikan dana dari Anggaran Per Belanjaan Nasional (APBN). Namun, anggaran subsidi BBM tersebut dari tahun ke tahun selalu mengalami pemangkasan yang pada akhirnya semakin memberatkan masyarakat sebagai pelaku konsumen. Selain hal tersebut, pemerintah Indonesia juga sedang menerapkan langkah-langkah strategis mengenai penghematan energi yang diturunkan melalui Intruksi Presiden No. 10 tahun 2005 tentang penghematan energi, sekaligus mencari sumber-sumber energi baru untuk menggantikan peran minyak bumi. Penghematan penggunaan BBM yang diintruksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pengaplikasiannya belum bisa menunjukan hasil yang meyakinkan. Menurut Widodo (2007) hal itu dapat dibuktikan dari penggunaan bahan bakar yang terus meningkat dari waktu ke waktu. Ketidakjelasan program penghematan pemerintah ini juga dapat dilihat dari rencana program pemungutan pajak kendaraan seperti yang diusulkan BAPENAS. Bila hal ini dilaksanakan, dikhawatirkan justru akan memberi dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi yang sedang berlangsung. Penghematan BBM dalam bentuk mengurangi pemakaiannya berarti mengurangi jumlah kendaraan yang beroperasi, yang sangat mungkin kendaraan tersebut sebenarnya digunakan untuk kepentingan ekonomi. Apabila langkah ini dijalankan di saat pemerintah belum menyediakan sarana-sarana transportasi massal yang memadai sebagai pengganti kendaraan yang telah ada, maka sangat mungkin akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Penghematan energi yang tidak tepat akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi, karena secara umum tingkat konsumsi energi berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi (Widodo, 2007). Sumber energi yang tidak terbarukan (unrenewable energy) seperti halnya Bahan bakar minyak (BBM) yang berasal dari minyak bumi seiring bertambahnya waktu ketersediaan di alam semakin berkurang. Oleh karena itu, sangat perlu untuk mengembangkan sumber energi alternatif yang terbarukan (renewable energy) yang dapat digunakan secara berkelanjutan. Salah satu sumber energi alternatif tersebut adalah biofuel. Beberapa sumber energi terbarukan yang berasal dari bahan nabati berhasil ditemukan, sebagai contoh; Jarak pagar (Jatropha curcas), biji lobak, kelapa dan sawit yang kesemuanya mempunyai kandungan minyak yang berpotensi dapat menggantikan peran dari minyak bumi yang selama ini masih sangat dipercaya sebagai sumber bahan bakar minyak di dunia. Namun ada hal lain yang masih terlupakan oleh negara yang mempunyai beribu-ribu pulau ini. Potensi yang berada dalam perairan baik tawar maupun asin masih banyak yang belum terkuak, salah satunya adalah alga atau orang biasa menyebutnya dengan lumut. Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia, sebagian besar (75%) wilayahnya adalah lautan yang tersusun dari pulau-pulau sehingga mendasari Negara Republik Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 80.791,42 Km, didalam lautan terdapat beraneka ragam makhluk hidup baik berupa tumbuhan maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga. Makhluk hidup yang digolongkan sebagai tumbuhan tingkat rendah yang berklorofil dan membentuk koloni ini diyakini mempunyai kandungan minyak yang sangat besar, bahkan menurut para ilmuwan yang tergabung dalam South Australia's Research and Development Institute (SARDI) kandungan minyak yang berada dalam jarak dan sawit tidak apa-apanya jika dibandingkan dengan kandungan minyak yang berada dalam alga. Menurut Kamase (2007) kandungan minyak yang berada dalam alga dapat mencapai lebih dari 40%. Hal ini didasarkan dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi luar negeri. Sebagai contoh yang telah dilakukan oleh para ilmuwan Amerika Serikat yang sampai saat ini masih melakukan penelitian untuk mendapatkan varietas alga yang mampu menghasilkan minyak tinggi. Disebutkan dalam algae.com (2007) bahwa berdasarkan perhitungan, pengolahan alga pada lahan seluas 10 juta acre (1 acre = 0.4646 ha) mampu menghasilkan biodiesel yang akan dapat mengganti seluruh kebutuhan solar di Amerika Serikat. Luas lahan ini hanya 1% dari total lahan yang sekarang digunakan untuk lahan pertanian dan padang rumput (sekitar 1 milliar acre). Diperkirakan alga mampu menghasilkan minyak 200 kali lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan penghasil minyak (kelapa sawit, jarak pagar, dll) pada kondisi terbaiknya. Proses pembudidayaannya yang dapat dikatakan sangat mudah dan tidak membutuhkan lahan yang begitu luas berbeda dengan tumbuhan seperti kelapa sawit dan jarak pagar untuk dapat menghasilkan minyak serta umur panen yang hanya

2
membutuhkan waktu satu minggu dapat dijadikan suatu solusi yang realistik untuk mengganti kebutuhan minyak suatu negara. Kelebihan alga dibanding bahan nabati lain adalah pengambilan minyaknya tanpa perlu penggilingan. Minyak alga (algae oil) bisa langsung diekstrak dengan bantuan zat pelarut, enzim, pengempaan (pemerasan), ekstraksi CO2, ekstraksi ultrasonik, dan osmotic shock. Panen alga bisa dilakukan dengan aneka cara, mulai dari penyaringan mikro, sentrifugal (pemutaran), dan flokulasi (flocculation). Flokulasi adalah pemisahan alga dari air dengan bantuan zat kimia (Rahardi, 2006). B. Perumusan Masalah Produksi minyak nabati (biofuel) yang saat ini sedang digalakkan pemerintah dengan bahan baku biji jarak pagar dan sawit diperkirakan tetap tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Dikarenakan proses pembudidayaannya yang membutuhkan lahan yang luas dan waktu yang lama sekaligus proses pengambilan minyak yang cenderung cukup merepotkan. Oleh karena itu, permasalahan yang dapat dikaji antar lain: 1. Bagaimana mendapatkan sumber alternatif energi biofuel

2.

Bagaimana teknologi proses produksi biofuel berbahan dasar alga

C. Tujuan Penulisan Tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah: 1. Memberikan informasi mengenai sumber energi alternatif biofuel

2.

Mengetahui teknologi proses produksi biofuel berbahan dasar alga

D. Manfaat Penulisan Manfaat yang diharapkan dengan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah: 1. Mendapatkan informasi mengenai sumber energi alternatif biofuel

2.

Memahami teknologi proses produksi biofuel berbahan dasar alga II. TELAAH PUSTAKA

A. Alga (Algae) Alga merupakan sejenis rumput atau lumut air dan merupakan tumbuhan pertama di dunia. Alga biru dan hijau merupakan yang pertama kali ditemukan sekitar 3,5 juta tahun silam. Alga disebut juga organisme autotrof karena mampu membuat makanan mereka sendiri melalui proses fotosintesis. Alga memainkan peranannya dalam air, yaitu menghasilkan oksigen, dan memberikan makanan kepada makhluk hidup laut lain. Tumbuhan ini dapat dijumpai hampir di semua habitat seperti laut, sungai, kolam, dinding, permukaan tanah yang lembap, batu, batang, bahkan pada kulit manusia yang senantiasa lembab (Ismail, 1995). Menurut Ismail (1995) proses hidup alga terdiri dari 2 aspek yaitu semantik atau morfologi dan sitologi. Aspek morfologi melibatkan peringkat vegetatif dan aspek sitologi pula berkenaan bilangan kromosom dalam satu peringkat. Jasad alga adalah dapat jelas dilihat dengan kasat mata. Sebagai contoh, alga telah membentuk hampir 94% dari keseluruhan spesies tumbuhan yang ditemui di laut. Kebanyakan alga akan ditemui di sekitar air tawar. Di laut Samudera hanya terdapat 900 spesies alga hijau. Disebutkan oleh Ismail (1995) bahwa faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan alga ialah cahaya, aliran, suhu, nutrien dan pesaing. Dari segi cahaya, iklim khatulistiwa yang bermatahari cerah sepanjang tahun sangat cocok dengan pertumbuhan alga. pemancaran cahaya selama 12 hingga 16 jam sehari merupakan kondisi yang sangat cocok. Bagi nutrien pula, kebanyakan alga yang berbulu dan berlendir akan tumbuh dengan banyak dalam air yang kaya dengan nutrien. Terutamanya nitrat dan fosfat. Suhu bukan merupakan masalah besar kepada pertumbuhan alga, karena alga dapat menahan suhu yang cukup tinggi. Pesaing alga merupakan organisme laut lain yang makan sama dan bersaing antara satu sama lain untuk mendapatkan nutrien laut. Menurut Morris (1988), Alga dapat dikelaskan kepada 10 divisi, yaitu; Cyanophyta, Chlorophyta, Xantophyta, Chrysophyta, Bacillariophyta, Pyrrophyta, Cryptophyta, Euglenophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta. Secara keseluruhan, alga dapat dikelaskan berdasarkan 5 kriteria utama yaitu: 1. Pigmen fotosintesis 2. Jenis bahan makanan simpanan 3. Jenis komponen dinding sel 4. Bentuk flagelum 5. Beberapa aspek struktur sel Morris (1988) menjelaskan alga dari berbagai filum menunjukkan perbedaan warna yang menarik. Namun, warna alga sering berubah bergantung kepada perubahan sekitarnya. Oleh karena itu, pengelasan haruslah tepat berdasarkan penganalisa kimia pigmen fotosintesisnya. Terdapat 3 jenis pigmen fotosintesis dalam alga yaitu klorofil, karotenoid dan biloprotein. Dinding sel lazimnya terdiri dari 2 bahan, yaitu bahan yang tidak larut dalam air bagian dalam sel serta bahan yang berlendir dan larut dalam air mendidih pada bagian luar sel. Walaupun kedua bagian ini terdiri daripada polisakarida. Terdapat juga

3
bahan lipid dan bahan berprotein. Polisakarida yang tidak larut air yaitu selulosa (bagian dalam) terdapat dalam hampir semua divisi alga kecuali Chrysophyta dan Bacillariophyta yang mempunyai dinding sel yang bersilika (Salleh, 1996). Terdapat 4 macam pembiakan pada alga yaitu; 1. Pembiakan vegetatif 2. Pembiakan Aseks 3. Pembiakan seks 4. Percambahan zigot B. Biofuel Diversifikasi energi yang saat ini sedang gencar diteliti oleh para peneliti sudah cukup banyak menghasilkan sumber-sumber alternatif yang dapat dijadikan sebagai penghasil minyak yang diharapkan kedepannya dapat mensubstitusi peran dari minyak bumi yang sampai saat ini masih berperan sebagai satu-satunya bahan baku penghasil bahan bakar minyak. Salah satu sumber alternatif yang saat ini sedang marak adalah pemanfaatan bahan-bahan nabati yang ketersediaannya melimpah sehingga diharapkan produksinya dapat terus berlangsung (kontinyu). Secara umum dapat dikatakan bahwa bahan bakar nabati dapat disebut sebagai biofuel. Pengembangan biofuel sangat potensial sekali untuk ditindak lanjuti oleh pemerintah Indonesia mengingat sumber-sumber bahan dasar yang mendukung cukup melimpah di Indonesia. Widodo (2007) menyatakan bahwa melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemanfaatan bahan bakar nabati (biofuel) ditargetkan 5% pada tahun 2025. Kebijakan ini dijadikan acuan oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dalam pengelolaan energi nasional sehingga pemerintah mentargetkan substitusi solar dan bensin masing-masing 2% oleh bahan bakar nabati pada tahun 2010 dan naik menjadi 5% pada tahun 2025. Meskipun dalam hitungan persentasi masih sangat kecil, namun jumlah sumber minyak nabati yang diperlukan untuk mencapai target tersebut sedikitnya 720 ribu kiloliter biodiesel untuk pengganti solar dan 420 ribu kiloliter bioetanol untuk pengganti bensin pada tahun 2010. Usaha melancarkan penggunakan minyak nabati tersebut pemeritah melalui Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi telah mengeluarkan SK Dirjen Minyak dan Gas Bumi No.3674K/24/DJM/2006 tertanggal 17 Maret 2006 tentang diperbolehkannya pencampuran bensin dengan 10% ethanol. Produknya menjadi gasohol E-10 yang bila dipasarkan setara dengan bensin dengan angka oktan 91 (premium) tanpa timbal. Pemerintah juga telah menetapkan SNI 04 7182 2006 yaitu standar untuk bahan bakar subsitusi motor diesel (B 10). Dengan peraturan tersebut berarti penggunakaan B-10 dan E10 bisa dilakukan secara resmi oleh masyarakat. Meskipun begitu, langkah Indonesia ini sebenarnya terbilang lambat dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang telah lebih dahulu mengeluarkan B20 (20% biodiesel dalam solarnya) (Widodo, 2007). 1. Biodiesel Biodiesel adalah bahan bakar motor diesel yang berupa ester alkil/alkil asam-asam lemak (biasanya ester metil) yang dibuat dari minyak nabati melalui proses trans atau esterifikasi. Istilah biodiesel identik dengan bahan bakar murni. Campuran biodiesel (BXX) adalah biodiesel sebanyak XX% yang telah dicampur dengan solar sejumlah 1-XX % (ESDM, 2007). Biodiesel merupakan bahan bakar yang diperuntukan untuk mengganti peran solar, peran yang begitu signifikan dalam dunia industri dan otomotif sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Tingkat konsumsi solar di Indonesia rata-rata dapat mencapai 14 juta kiloliter setiap tahunnya, hasil perhitungan yang dilakukan Widodo (2007) untuk melakukan subtitusi 5% saja, maka diperlukan 700 ribu kiloliter biodiesel setiap tahunnya. Keperluan biodiesel tersebut sebenarnya bisa diperoleh dengan mudah di Indonesia mengingat Indonesia cukup kaya dengan berbagai tanaman yang dapat menghasilkan campuran biodiesel. Sumber utama biodiesel yang paling mudah adalah CPO (kelapa sawit) dan minyak jarak. Ditegaskan oleh Widodo (2007) bahwa sebenarnya Indonesia dapat menerapkan program substitusi solar seperti apa yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat yaitu B-20 dengan menerapkan 20% campuran biodiesel pada solar, hal ini didasarkan pada produksi CPO di Indonesia yang cukup besar. Pada tahun 2003, Indonesia telah mampu memproduksi CPO sebesar 10.68 juta ton. Untuk membuat 700 ribu kiloliter biodiesel hanya diperlukan sekitar 616 ribu ton CPO atau hanya sekitar 5.7 % dari seluruh total produksi CPO di Indonesia saat ini (lihat Tabel 1). Tidak terpenuhinya kebutuhan biodiesel saat ini sebenarnya lebih disebabkan pada kemampuan Indonesia dalam teknologi pengolahan biodiesel yang masih lemah dan keinginan masyarakat serta pemerintah sendiri yang masih kurang. Mengkonversi CPO menjadi biodiesel memang memerlukan investasi yang tidak sedikit dan memerlukan usaha yang lebih banyak, sehingga mengekspor CPO mentah tentu lebih mudah dan cepat mendatangkan uang. Jelas jauh lebih mudah daripada harus mengkonversi menjadi biodiesel. Biodiesel berbahan dasar tanaman jarak pagar dipercaya jauh lebih murah dibandingkan dengan menggunakan bahan dasar CPO (kelapa sawit). Akan tetapi, tetap memiliki kelemahan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja, kelemahan yang terdapat pada jarak adalah masalah produktivitasnya. Dijelaskan oleh Rahardi (2006) bahwa produktivitas tanaman jarak justru menurun jika dibudidayakan dilahan subur, dikawasan basah. Dan hanya mampu menghasilkan 1.500 liter per hektar per tahun. Kendala lain yang menghambat adalah Indonesia belum berpengalaman melakukan budidaya jarak, baik pembibitan, pemeliharaan, penyakit dan hama tanaman.

4
Tabel 1. Tabel kebutuhan biodiesel dari produksi CPO (Widodo, 2007). Tahun 2003 Kebutuhan solar (juta kiloliter) 14 Substitusi solar* 0 Jumlah biodiesel (juta kiloliter) 0 Jumlah CPO yang diperlukan untuk pembuatan 0 biodiesel (juta ton)*** Produksi CPO** (juta ton) 10.68 Penggunaan CPO untuk biodiesel 0%

2010 36 2% 0.720 0.65 17.5 3.7 %

2025 94 5% 4.7 4.23 36.29 11.7 %

* Rencana pengembangan pemerintah ** Perhitungan kasar dengan asumsi pertumbuhan CPO sekitar 15% sampai 2010 dan 5% setelah 2010 *** 1 kiloliter Biodiesel sama dengan 0.88 ton (sumber: Departemen energi US) Bahan nabati lain yang saat ini paling potensial untuk diambil minyaknya adalah alga mengingat kelebihan-kelebihan bahan ini dibandingkan dengan sumber bahan nabati lain. Proses pembudidayaannya yang yang cukup mudah serta tidak membutuhkan lahan yang luas dan pemrosesan untuk pengambilan minyaknya yang dapat dikatakan tidak serumit bahan nabati lain. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang dua per tiga luas wilayahnya adalah lautan, serta kandungan minyaknya yang cukup tinggi alga perlu mendapat perhatian yang lebih. Menurut Priyadi (2007), untuk membuat biodiesel maka kita harus mengetahui terlebih dahulu produksi bahan bakar setiap hektarnya sehingga dikemudian hari tidak merugikan, beberapa bahan nabati yang dapat dijadikan biodiesel memberikan hasil tiap hektarnya sebagai berikut: Kacang kedelai: 375 liter/hektar/tahun

Rapeseed: 1000 liter/hektar/tahun Mustard: 1300 liter/hektar/tahun Jarak: 1590 liter/hektar/tahun Minyak sawit: 5800 liter/hektar/tahun Alga: 95000 liter/hektar/tahun

2. Bioethanol Jenis bahan bakar minyak (BBM) selain solar yang cukup besar konsumsinya di Indonesia adalah bensin. Jenis bahan bakar minyak ini banyak sekali dibutuhkan oleh penduduk Indonesia karena hampir sebagian besar kendaraan bermotor menggunakan jenis bahan bakar minyak ini. Bioethanol dapat dengan mudah diproduksi dari tanaman-tanaman yang mengandung gula. Sampai saat ini bahan yang paling banyak digunakan adalah tetes tebu, sagu, singkong dan jagung. Untuk mengurangi konsumsi BBM jenis bensin ini, dapat dilakukan dengan mengganti atau menambahkan bioethanol. Dalam hal ini pemerintah juga telah mengeluarkan peraturan penggunakan gasohol 10 % dalam bahan bakar bensin (E-10). Seperti juga biodiesel, seharusnya pemerintah dapat membuat target yang lebih besar lagi agar konsumsi BBM jenis bensin dapat lebih ditekan sehingga impor BBM yang menggerogoti APBN dapat dikurangi (Widodo, 2007). Soerawidjaja (2005) menyebutkan bahwa terdapat bahan nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi bioethanol akan tetapi belum banyak diteliti sebagai pengganti bensin yaitu alga. Dijelaskan oleh Putra (2007) bahwa selama ini tumbuhan alga hanya dimanfaatkan sebagai baku pembuat kosmetika, pupuk organik serta makanan. Diversifikasi energi yang dicanangkan pemerintah mulai tahun 2006 cukup menggugah para pembudidaya alga dan peneliti untuk lebih meneliti kandungan minyak dari tumbuhan ini. Sehingga diharapkan benar-benar mampu menjadi substitusi bahan bakar minyak. Dari seluruh penjelasan di atas, jika kita perhatikan potensi sumber bahan biofuel dan sifatnya, baik biodiesel maupun bioethanol, keduanya memiliki potensi yang besar untuk dipakai sebagai pengganti kebutuhan bahan bakar minyak secara keseluruhan di Indonesia. Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah kongkrit seperti penyiapan teknologi pengolahan bahan baku dan juga kebijakan pemerintah dalam penggunaan substitusi bahan bakar, seperti peningkatan presentasi B-10 atau E-10 dapat ditingkatkan lagi dengan besaran yang lebih tinggi (Widodo, 2007). C. Pengolahan Biofuel Alga Dijelaskan oleh Kamase (2007) bahwa semua jenis alga memiliki komposisi kimia sel yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak (fatty acids) dan nucleic acids. Prosentase keempat komponen tersebut bervariasi tergantung jenis alga. Ada jenis alga yang memiliki komponen fatty acids lebih dari 40%. Dari komponen fatty acids inilah yang akan diekstraksi dan diubah menjadi biofuel. Dapat dilihat pada Tabel 1, komposisi kimia sel pada beberapa jenis alga.

Table 2. Komposisi kimia alga ditunjukkan dalam zat kering (%) Komposisi Kimia Protein Karbohidrat Scenedesmus obliquus 50-56 10-17 Scenedesmus quadricauda 47 Scenedesmus dimorphus 8-18 21-52 Chlamydomonas rheinhardii 48 17 Chlorella vulgaris 51-58 12-17 Chlorella pyrenoidosa 57 26 Spirogyra sp. 6-20 33-64 Dunaliella bioculata 49 4 Dunaliella salina 57 32 Euglena gracilis 39-61 14-18 Prymnesium parvum 28-45 25-33 Tetraselmis maculata 52 15 Porphyridium cruentum 28-39 40-57 Spirulina platensis 46-63 8-14 Spirulina maxima 60-71 13-16 Synechoccus sp. 63 15 Anabaena cylindrica 43-56 25-30

Lemak 12-14 1.9 16-40 21 14-22 2 11-21 8 6 14-20 22-38 3 9-14 49 6-7 11 4-7

Nucleic Acid 3-6 4-5 1-2 2-5 3-4.5 5 -

Biodiesel dari alga hampir mirip dengan biodiesel yang diproduksi dari tumbuhan penghasil minyak (jarak pagar, sawit, dll) sebab semua biodiesel diproduksi menggunakan triglycerides (biasa disebut lemak) dari minyak nabati/alga. Alga memproduksi banyak polyunsaturates, dimana semakin tinggi kandungan lemak asam polyunsaturates akan mengurangi kestabilan biodiesel yang dihasilkan. Di lain pihak, polyunsaturates memiliki titik cair yang lebih rendah dibandingkan monounsaturates sehingga biodiesel alga akan lebih baik pada cuaca dingin dibandingkan jenis bio-feedstock yang lain. Diketahui kekurangan biodiesel adalah buruknya kinerja pada temperatur yang dingin sehingga biodiesel alga mungkin akan dapat mengatasi masalah ini (Kamase, 2007). Alga yang akan diambil manfaat lemaknya untuk dijadikan minyak sebelum diolah lebih lanjut harus dikeringkan terlebih dahulu agar air yang berada dalam alga keluar. Proses pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan energi surya yang dapat dimanfaatkan setiap hari di Indonesia. Setelah proses pengeringan dan air yang terkandung dalam alga sudah dapat dipastikan sebagian besar keluar dapat dilanjutkan kedalam proses selanjutnya yaitu pengepresan alga dengan menggunakan alat pengepres sehingga didapatkan ekstraksi alga yang sudah dalam bentuk minyak. Menurut Soemarno (2007) bahwa pangambilan minyak dari alga dapat dilakukan dengan mencampurkan senyawa dengan keasaman tinggi umpama asam klorida ke alga. Dan hasilnya didapatkan sungguh menakjubkan hasil minyak yang diperoleh dapat langsung digunakan dan hal ini sudah dibuktikan dengan mengisi kendaraan bermotor menggunakan bahan bakar minyak yang berasal dari alga olahannya. Walaupun minyak biodiesel yang berhasil didapat masih cukup sedikit hanya 10%, 10% berbentuk air dan 80% berbentuk limbah dari alga yang diujicobakan. III. METODE PENULISAN Karya tulis ini disusun berdasarkan telaah pustaka yang didukung dengan data yang didapat dari buku pustaka, jurnal penelitian, internet, dan referensi pendukung lain yang berkaitan dengan tulisan ini. Adapun tahapan yang ditempuh sebagai berikut. A. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka yang didapat berdasarkan buku pustaka, hasil penelitian, internet, dan referensi pendukung yang berkaitan dengan tema yang dibahas. B. Metode Analisis Kemudian data dan informasi yang telah diperoleh, dianalisis dengan menyesuaikan permasalahan yang telah dirumuskan. Metode analisis yang digunakan dalam pembahasan karya tulis ini adalah . 1. Merumuskan masalah berdasarkan teori dan hasil penelitian. 2. Menganalisis masalah yang diangkat berdasarkan pada pustaka yang ada. C. Pengambilan Keputusan Simpulan pada karya tulis ini diambil setelah mengkaji permasalahan yang ada dengan mengacu pada tujuan penulisan. Dalam mencari sumber energi alternatif yang digunakan untuk menggantikan bahan bakar minyak dengan berbahan dasar alga serta mampu memahami proses produksi biofuel berbahan dasar alga.

6
D. Sistematika Penulisan Penulisan karya tulis ilmiah ini disusun berdasarkan pedoman umum Lomba Karya Tulis Mahasiswa, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Direktorat Pembinaan Akademik dan Kemahasiswaan tahun 2006. IV. PEMBAHASAN A. Potensi Pengembangan Biofuel Alga Potensi yang begitu besar pada alga yang selama ini hanya digunakan sebagai bahan dasar kosmetika, bahan baku makanan, dan farmasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan hasil bahwa alga mempunyai potensi sebagai penghasil bahan dasar biofuel (bioethanol dan biodiesel) yang sangat menjanjikan. Walaupun masih dalam tahap penelitian yang lebih mendalam, namun Amerika Serikat, Jepang, Kanada serta Australia sudah mengproklamirkan bahwa mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) dapat diproduksi secara kontinyu dengan berbahandasarkan alga mikro yang tumbuh diperairan asin/tawar. Menurut Soerawidjaja (2005), Indonesia sebagai negara yang mempunyai wilayah yang luas sangat berpotensi untuk mengembangkan biofuel. Apabila lahan yang tersedia sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi maka perlu diingat bahwa 75% luas wilayah Negara Indonesia adalah lautan dan hal ini sangat mendukung untuk pembudidayaan alga sebagai bahan dasar pembuat biofuel. Proses pembudidayaan alga sama seperti makhluk hidup (tumbuhan) lainnya, alga juga memerlukan tiga komponen penting untuk tumbuh, yaitu sinar matahari, karbon dioksida dan air. Alga menggunakan sinar matahari untuk menjalankan proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses biokimia penting pada tumbuhan, alga, dan beberapa bakteri untuk mengubah energi matahari menjadi energi kimia. Energi kimia ini akan digunakan untuk menjalankan reaksi kimia, misalnya pembentukan senyawa gula, fiksasi nitrogen menjadi asam amino, dll. Alga menangkap energi dari sinar matahari selama proses fotosintesis dan menggunakannya untuk mengubah substansi inorganik menjadi senyawa gula sederhana. Penanaman alga untuk menghasilkan biodiesel mungkin akan sedikit lebih sulit karena alga membutuhkan perawatan yang sangat baik dan mudah terkontaminasi oleh spesies lain yang tidak diinginkan. Menurut Kamase (2007), alga dapat ditanam di kolam terbuka dan danau. Penggunaan sistem terbuka ini dapat membuat alga mudah diserang oleh kontaminasi spesies alga lain dan bakteri. Akan tetapi, saat ini telah berhasil dikembangkan beberapa spesies alga yang mampu ditanam pada lahan terbuka dan meminimalisir adanya kontaminasi spesies lain. Misalnya penanaman spirulina (salah satu jenis alga) pada suatu kolam terbuka dapat menghilangkan kemungkinan kontaminasi spesies lain secara luas karena spirulina bersifat agresif dan tumbuh pada lingkungan dengan pH yang sangat tinggi. Sistem terbuka juga memiliki sistem kontrol yang lemah, misalnya dalam mengatur temperatur air, konsentrasi karbon dioksida & kondisi pencahayaan. Sedangkan keuntungan penggunaan sistem terbuka adalah metode ini merupakan cara yang murah untuk memproduksi alga karena hanya perlu dibuatkan sirkuit parit atau kolam. Kolam tempat pembudidayaan alga biasanya disebut kolam sirkuit (gambar 1). Dalam kolam ini, alga, air dan nutrisi disebarkan dalam kolam yang berbentuk seperti sirkuit. Aliran air dalam kolam sirkuit dibuat dengan pompa air. Kolam biasanya dibuat dangkal supaya alga tetap dapat memperoleh sinar matahari karena sinar matahari hanya dapat masuk pada kedalaman air yang terbatas. Sebuah variasi kolam terbuka adalah dengan memberikan atap transparan (greenhouse) diatasnya untuk melindungi kerusakan alga dari percikan air hujan. Namun begitu, cara ini hanya dapat diaplikasikan pada kolam terbuka yang berukuran kecil dan tidak dapat mengatasi banyak masalah yang terjadi pada sistem terbuka (Kamase, 2007).

Gambar 1. Kolam sirkuit pada sistem terbuka. Dijelaskan oleh Kamase (2007) alternatif lain cara pembudidayaan alga adalah dengan menanamnya pada struktur tertutup yang disebut photobioreactor, dimana kondisi lingkungan akan lebih terkontrol dibandingkan kolam terbuka. Sebuah

7
photobioreactor adalah sebuah bioreactor dengan beberapa tipe sumber cahaya, seperti sinar matahari, lampu fluorescent, led. Quasi-closed systems (sebuah kolam yang ditutupi dengan bahan transparan (greenhouse) di semua bagian) dapat digolongkan sebagai photobioreactor. Photobioreactor juga memungkinkan dilakukannya peningkatan konsentrasi karbon dioksida di dalam sistem sehingga akan mempercepat pertumbuhan alga. Meskipun biaya investasi awal dan biaya operasional dari sebuah photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan kolam terbuka, akan tetapi efisiensi dan kemampuan menghasilkan minyak dari photobioreactor akan lebih tinggi dibandingkan dengan kolam terbuka. Hal ini akan membuat pengembalian biaya modal dan biaya operasional dengan cepat. Biofuel yang didapatkan dari hasil olahan alga dipercaya mampu memenuhi total kebutuhan konsumsi kendaraan bermotor Indonesia selama dikembangkan dengan optimal. Disebutkan oleh Priyadi (2007) bahwa konsumsi kendaraan bermotor pada tahun 2003 yaitu Premium: 11482,8 megaliter/tahun, Premium TT: 3164.7 megaliter/tahun, Pertamax: 386,3 megaliter/tahun, Pertamax Plus: 111 megaliter/tahun, Solar: 12108,9 megaliter/tahun. Umur panen yang singkat semakin menambah nilai penguatan bahwa alga sangat perlu dikembangkan untuk mensubstitusi bahan bakar minyak. Dan proses produksi yang tidak terlalu membutuhkan modal yang besar karena sebagian besar bahanbahan penunjang sudah sudah tersedia dialam, sebagai contoh tempat pembudidayaan, nutrien yang menunjang serta gas CO 2 yang diperlukan dapat menggunakan CO2 hasil dari proses pengolahan (gambar 2). Menurut Dahuri (2004), jenis alga yang paling potensial untuk dikembangbiakan dan dimanfaatkan sebagai penghasil minyak adalah Botryococcus braunii. Alga jenis ini termasuk paling berpotensi karena dapat menjadi sumber hidrokarbon rantai panjang (C22 C33) yang dapat diproses lebih lanjut menjadi pengganti terbarukan (renewable substitute) bagi minyak bumi.

Gambar 2. Alur proses bahan bakar hayati alga mikro.

B. Mekanisme Ekstraksi Minyak pada Alga Oilgae.com (2007) menjelaskan bahwa proses pengambilan minyak dari alga memerlukan perhatian yang cukup serius karena belum ada standar baku untuk pengambilan minyak yang dikandung alga. Beberapa proses yang sudah diujicoban antara lain:

1.

Pengepresan (Expeller/Press) Pada metode ini alga yang sudah siap panen dipanaskan dulu untuk menghilangkan air yang masih terkandung di dalamnya. Kemudian alga dipres dengan alat pengepres untuk mengekstraksi minyak yang terkandung dalam alga. Dengan menggunakan alat pengepres ini, dapat diekstrasi sekitar 70-75% minyak yang terkandung dalam alga.

2. Hexane solvent oil extraction Minyak dari alga dapat diambil dengan menggunakan larutan kimia, misalnya dengan menggunakan benzena dan eter. Namun begitu, penggunaan larutan kimia heksana lebih banyak digunakan sebab harganya yang tidak terlalu mahal. Larutan heksana dapat digunakan langsung untuk mengekstaksi minyak dari alga atau dikombinasikan dengan alat pengepres. Cara kerjanya sebagai berikut: setelah minyak berhasil dikeluarkan dari alga dengan menggunakan alat pengepres, kemudian ampas (pulp) alga dicampur dengan larutan cyclo-hexane untuk mengambil sisa minyak alga. Proses selanjutnya, ampas alga disaring dari larutan yang berisi minyak dan cyclo-hexane. Untuk memisahkan minyak dan cyclo-hexane dapat dilakukan proses destilasi. Kombinasi metode pengepresan dan larutan kimia dapat mengekstraksi lebih dari 95% minyak yang terkandung dalam alga.

8
Sebagai catatan, penggunaan larutan kimia untuk mengekstraksi minyak dari tumbuhan sangat beresiko. Misalnya larutan benzena dapat menyebabkan penyakit kanker, dan beberapa larutan kimia juga mudah meledak.

3. Supercritical Fluid Extraction Pada metode ini, CO2 dicairkan dibawah tekanan normal kemudian dipanaskan sampai mencapai titik kesetimbangan antara fase cair dan gas. Pencairan fluida inilah yang bertindak sebagai larutan yang akan mengekstraksi minyak dari alga. Metode ini dapat mengekstraksi hampir 100% minyak yang terkandung dalam alga. Namun begitu, metode ini memerlukan peralatan khusus untuk penahanan tekanan.
Serta ada beberapa metode yang kurang terkenal:

1.

Osmotic Shock

Dengan menggunakan osmotic shock maka tekanan osmotik dalam sel akan berkurang sehingga akan membuat sel pecah dan komponen di dalam sel akan keluar. Metode osmotic shock memang banyak digunakan untuk mengeluarkan komponenkomponen dalam sel, seperti minyak alga ini.

2.

Ultrasonic Extraction

Pada reaktor ultrasonik, gelombang ultrasonik digunakan untuk membuat gelembung kavitasi (cavitation bubbles) pada material larutan. Ketika gelembung pecah dekat dengan dinding sel maka akan terbentuk gelombang kejut dan pancaran cairan (liquid jets) yang akan membuat dinding sel pecah. Pecahnya dinding sel akan membuat komponen di dalam sel keluar bercampur dengan larutan. V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan Berdasarkan pembahasan maka dapat diambil beberapa simpulan: 1. Alga mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber energi altenatif pengganti bahan bakar minyak dan jauh lebih besar potensinya daripada sawit ataupun jarak pagar (Jatropha curcas). Jenis alga saat ini yang paling potensial adalah Botryococcus braunii. 2. Teknologi proses pengambilan minyak bahan bakar nabati pada alga antara lain dengan cara; Pengepresan, Hexane solvent oil extraction, Ultrasonic Extraction, Osmotic Shock, Supercritical Fluid Extraction. Dan yang paling baik untuk diterapkan adalah Supercritical Fluid Extraction mengingat kandungan minyak yang dapat diambil sampai 100%. B. Saran Melihat begitu besarnya potensi yang ada dalam alga sebagai bahan bakar nabati untuk menggantikan bahan bakar minyak dimasa mendatang maka diperlukan usaha dan penelitian lebih lanjut sehingga didapatkan jenis alga yang mampu menghasilkan minyak lebih banyak. Disamping itu, karena alga merupakan sumber energi alternatif terbarukan (renewable). Proses pengolahan menggunakan supercritical fluid extraction perlu diterapkan mengingat hasil kandungan minyak yang didapatkan lebih besar. DAFTAR PUSTAKA Dahuri, R. 2004. Kebijakan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Nasional, Dalam Kaitannya dengan Penataan Ruang Nasional dan Daerah. Materi Presentasi. Disampaikan dalam rangka RAKERDA BKTRN. 8 Maret 2004. Pekanbaru. Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). 2007. Biodiesel. (On-line). http://www.energiterbarukan.net. Diakses tanggal 23 Maret 2007. Ismail, A. 1995. Rumpai Laut. Dewan Bahasa dan Pustaka. Selangor, Malaysia. Komunitas Mahasiswa Sentra Energi (Kamase). 2007. Membuat Biodiesel Dari Alga. (On-line). http://kamase.org. Diakses tanggal 22 Maret 2007. Morris, I. 1988. Pengenalan alga. Dewan Bahasa dan Pustaka. Selangor., Malaysia. Oilgae. 2007. Algae Biodiesel Characteristics & Properties. (On-line). Diakses tanggal 23 Maret 2007. www.oilgae.com/algae/oil/biod/char/char.html.

Oilgae. 2007. Algae Oil Extraction. (On-line). www.oilgae.com/algae/oil/extract/extract.html. Diakses tanggal 23 Maret 2007.

9
Oilgae. 2007. Cultivation of Algae Strains for Biodiesel. (On-line). www.oilgae.com/algae/oil/biod/cult/cult.html. Diakses tanggal 23 Maret 2007. Priyadi. 2007. Benarkah Bahan Bakar Bio Tidak Ramah Lingkungan?. (On-line). http://Priyadi.net/archive.net. Diakses tanggal 22 Maret 2007. Putra, S.E. 2007. Alga Laut sebagai Biotarget Industri. (On-line). http://www.chem-is-try.org. Diakses tanggal 23 Maret 2007. Rahardi, F. 2006. Krisis BBM, Jarak, dan Algae. (On-line). http://www.indeni.org. Diakses tanggal 22 Maret 2007. Salleh, A. 1996. Panduan Mengenali Alga Air Tawar. Dewan Bahasa dan Pustaka. Selangor, Malaysia. Soemarno. 2007. Dari Lumut Solar Mengalir. (On-line). http://www.indobiofuel.com/biodiesel.php. Diakses tanggal 23 Maret 2007. Soerawidjaja, T. H. 2005. Membangun Industri Biodiesel di Indonesia. Makalah Ilmiah Forum Biodiesel Indonesia. 16 Desember 2005. Bandung Widodo. 2007. Perspektif Pengembangan Biofuel di Indonesia. (On-line). http://www.indeni.org. Diakses tanggal 22 Maret 2007. . 2007. Biodiesel from Algae-Info, Resources & Links. http://www.castoroil.in/reference/plant_oils/uses/fuel/bio_fuels.html. Diakses tanggal 23 Maret 2007. Lampiran 1. Contoh Alga mikro (On-line).

Spirulina

Scenedesmus

Pengeringan Spirulina

Lampiran 2. Biodiesel alga.

10

Biodiesel karya Soemarno

You might also like