You are on page 1of 19

BAB II

PEMBAHASAN

Generasi (-generasi) umat Islam yang tidak berkenalan dengan renungan-renungan
IalsaIi atau teologis adalah generasi SalaI, yang terdiri dari generasi sahabat Nabi Saw. dan
tabi`in. Rumusan-rumusan akidah Islam yang mereka pegang tidak lebih dari apa yang tertera
dalam al-Quran dan Hadis. Para SalaI itu tidak terpanggil untuk mempertanyakan,
memperbincangkan, apalagi untuk memperdebatkan perincian makna yang terkandung dalam
nash-nash al-Quran dan Hadis yang berkaitan dengan aspek akidah. Mereka tidak mau
menjadikan nash-nash itu sebagai objek diskusi atau perdebatan, karena mereka sudah merasa
cukup dan puas dengan pemahaman-pemahaman secara garis besar yang mereka miliki. Satu-
satunya persoalan teologis yang timbul pada masa mereka adalah persoalan mukmin yang
melakukan perbuatan dosa besar, apakah masih dapat disebut mukmin atau tidak Persoalan itu,
sebagaimana dimaklumi, timbul karena kaum Khawarij (lahir 37 Hijrah) mengkaIirkan
mukmin yang melakukan dosa besar. Para SalaI atau kaum muslimin di masa SalaI
menyalahkan pndirian Khawarij dan berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar
tidak dapat disebut kaIir; mereka masih dipandang berstatus mukmin, yakni mukmin yang
berdosa.
Ketika kaum muslimin mulai terlibat dalam dialog-dialog atau perdebatan dengan
golongan non-muslim (Kristen, Yahudi, Zoroaster, dan lain-lain) sejak lebih kurang
pertengahan bagian kedua abad pertama Hijrah, mulai pulalah ada unsur-unsur ulama Islam,
yang berkenalan dengan renungan-renungan teologis-IalsaIi; mereka berkenalan dengan
renungan teologi-IalsaIi tersebut, melalui dialog atau perdebatan yang terjadi, atau melalui
mereka yang baru memeluk Islam, yang sebelumnya telah mengenal renumgan teologis agama
yang mereka tinggalkan. Dengan demikian mulai pula bermunculan unsur-unsur muslim yang
tidak merasa cukup dengan pemahaman garis besar terhadap nash-nash al-Quran dan Hadis,
yang berbicara dalam bidang akidah. Renungan-renungan teologis-IalsaIi yang mulai mereka
kenal, dari manapun datangnya, tidak mudah untuk mereka abaikan sama sekali, terutama
renungan-renungan yang terasa ma`qul, logis, tidak mustahil benar, dan terasa tidak
bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan Hadis. Pemahaman mereka terhadap nash-nash
itu (dalam bidang akidah). tidak lagi sederhana seperti pemahaman para SalaI, tapi sudah
berwarna IalsaIi, seperti telah lama dimiliki oleh penganut-penganut agama lain/Pemahaman
demikian tidak lagi terbatas pada pemahaman menurut arti zahir nash. Renungan- renungan
teologis-IalsaIi telah menyebabkan terjadinya upaya pentakwilan sejumlah ayat (ayat
mutasyabihat) dari arti zahir kepada arti yang pantas menurut rasio, seperti pentakwilan arti
'wajah Tuhan dengan hakekat-Nya dan 'tangan Tuhan dengan kekuasaan-Nya.
Reaksi negatiI terhadap upaya pentakwilan ayat-ayat mutasyabihat dengan sendirinya
tambul pula di kalangan ulama-ulama, dengan alasan bahwa para salaI tidak pernah melakukan
takwil seperti itu; pentakwilan nash nash dipandang sebagai perbuatan bid`ah, yang tidak dapat
dibenarkan. Disebutkan bahwa khaliIah Umar bin Abd al-`Aziz (w. 101 H) melarang Ghailan
al-Dimasyqi untuk menyiarkan paham-paham teologisnya, yang dianggap menyimpang dari
kebenaran, yaitu paham qadariyyah, paham bahwa al-Quran itu makhluk, dan paham bahwa
siIat-siIat Tuhan itu tidak lain dari hakekat-nya. Rabi`atual-Ra`Y (w. 135 H/753 M), ketika
ditanya tentang bagaimana
1
istiwa`nya Tuhan, memberikan jawaban bahwa istiwa` itu
dimaklumi, tapi bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan; kita wajib membenarkannya.
2

Malik bin Anas (w. 178 H/795 M), ketika ditanya tentang hal yang sama, juga memberikan
jawaban seperti itu, dan menambahkan bahwa mempertanyakan istiwa` itu adalah perbuatan
bid`ah.
3
Dengan jawaban demikian Rabi`ah dan Maiik dipandang bersikap seperti sikap Salah
Cukup banyak ulama mengambil sikap serupa tidak suka memikirkannya dalam-dalam dan
tidak suka pada upaya pentakwilan.
Ibrahim Madkur menulis bahwa di antara para salaIiyyin awal adalah Abdullah bin
Abbas (w. 68 H), Abdullah bin Umar (w. 74 H), Umar bin Abdul Aziz (w. 101 H), Hasan al-
Bashri (w. 110 H). al-Zuhri (w. 124 H), Ja`Iar al-Shadiq (w. 124 H), dan keempat imam
mazhab, yakni: Abu HaniIah (w. 150 H), Malik bin Anas (w. 179 H), SyaIi`i (w. 204 H), dan
Ibn Hanbal (w. 241 H).
4
Tiga imam terakhir membenci ilmu kalam, yang dibedakannya dari
ilmu tauhid atau ushuluddin, sedangkan imam Abu HaniIah pada mulanya melibatkan dirinya
dalam ilmu kalam, tapi sesudah itu meninggalkannya dan menasihati putranya supaya
menjauhkan diri dari ilmu kalam tersebut.
5


1
AlMozoblb l h 1267
2
lbrahlm Madkur opclL ll h 31
3
lblJ
4
lblJ
3
AlMozoblb ll h 134
Ibn Kullab (w. 240), menurut pandangan Ibrahim Madkur, adalah salaIi pertama yang
pembicaraannya tentang Tuhan tidak bersih atau tidak terhindar sama sekali dari pengaruh
IalsaIat. Tentang nama dan siIat Tuhan, ia menyatakan bahwa nama adalah lain dari diri yang
diberi nama, siIat adalah lain dari diri yang disiIati, siIat adalah lain dari zat, karena siIat itu
berdiri di atas zat, sedangkan zat itu berdiri sendiri. SiIat-siIat Allah adalah nama-nama-Nya
dan siIat-siIat atau nama-nama itu bukanlah Dia dan tidaklah (untuk yang lain dari-Nya
Ibn Kullab hanya mengakui siIat-siIat zat, seperti: mengetahui, mendengar, dan
melihat; ia mengingkari siIat-siIat perbuatan, karena siIat-siIat perbuatan itu menunjukkan
kebaharuannya. Kalamullah menurutnya adalah qadim; al-Quran adalah wahyu yang
diturunkan dan bukan makhluk.
6

Pada abad keempat Hijrah muncul golongan yang gigih menamakan diri mereka
sebagai salaIiyyah atau salaIiyyin: mereka adalah golongan pengikut imam Ahmad ibn Hanbal
dan memandang imam tersebut sebagai tokoh yang sangat teguh bertahan pada pendirian salaI,
kendati inkwisisi Mu`tazilah membuatnya cukup menderita.
7
Sebenarnya golongan
Asy`ariyyah juga mengaku sebagai pengikut SalaI,
8
tapi dalam pandangan golongan Hanbaii,
kaum Asy`ariyyah, kaum Maturidiyyah, dan kaum Mu`tazilah, adalah kaum-kaum yang telah
menyimpang dari sikap dan pencIirian SalaI, karena berani melakukan pentakwilan terhadap
nash-nash mutasyabihat; pentakwilan itu mereka pandang sebagai perbuatan bid`ah dan
menjauh dari kebenaran.
Untuk lebih jelas mengetahui pendirian-pendirian teologis yang dianut oleh golongan
Hanbaliyyah yang menamakan diri mereka sebagai golongan SalaIiyyah atau SalaIiyyin,
perhatian akan kita pusatkan pada diri Ibn Taimiyyah, tokoh Hanbaliyyah yang paling
terkemuka dan paling lantang menyeru, berIatwa, menegur, atau mengeritik, agar semua pihak
dalam Islam kembali kepada akidah dan ibadah SalaI atau akidah dan ibadah ahl al-sunnah
yang salaIiyyah.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Taqiyy al-din Ibn Taimiyyah al-Harrani al-Damsyiqi;
lahir di Harran (Syria Utara) pada tahun 661 H/1263 M (lima tahun sesudah kota Baghdad dan
banyak kota lain dimusnahkan oleh serbuan tentara Holago Khan, Mughol/Tar-tar); waIat
dalam penjara di Damaskus pada tahun 728 H/1328 M. Ibnu Taimiyyah lahir dan hidup dalam

6
lbrahlm Madkur opclL ll h 32
7
AlMozoblb l h 211
8
lblJ
suasana perang untuk membendung serbuan-serbuan yang berulang kali dilakukan tentara
Mughal terhadap wilayah Syam (Syiria). Ibn Taimiyyah, pada usia tujuh tahun, bersama orang-
tuanya terpaksa mengungsi dari Harran, yang mendapat ancaman dan serbuan tentara Mughol,
dan selanjutnya bermukim di Damaskus sejak tahun 668 H.
9

Ia belajar pada beberapa madrasah Hanbaliyyah (madrasah Sakariyyah, yang dipimpin
ayahnya; madrasah Jauziyyah; dan madrasah Umariyyah) yang terdapat di Damaskus.
10

Berkat ketajaman otaknya, ketekunannya dalam belajar, serta bimbingan dan pergaulannya
dengan banyak ulama (termasuk ayahnya), ia berhasil menjadi seorang ulama yang kokoh, luas
dan dalam, serta sukar untuk ditandingi. Belum sampai usianya 20 tahun, ia sudah mengajar,
memberi Iatwa, dan rajin menulis. Ibnu Taimiyyah, pada usianya 21 tahun (682 H), mendapati
ayahnya waIat, dan dengan demikian ia harus memikul tanggung jawab, yang selama ini
dipikul ayahnya, sebagai pemimpin madrasah Sakariyyah, dan menduduki kursi, yang selama
ini diduduki ayahnya, pada sebuah mesji jami` yang besar di Damaskus.
11

Ibnu Taimiyyah adalah tipe ulama yang sangat berani, tidak mengenal takut dalam
menyatakan apa yang dipandangnya benar. Lidah dan penanya sangat tajam dalam menyerang
aneka paham agamis (baik dalam bidang teologi, IalsaIat, tasawwuI, maupun Iiqh) yang
dianggapnya bid`ah, tidak benar, atau tidak berdasar pada nash-nash al-Quran dan Hadis
shahih. Kuliah-kuliah umum yang diberikannya setiap Jum`at pada mesjid jami` membuatnya
semakin berwibawa dan semakin populer di kalangan masyarakat luas, tapi tokoh-tokoh atau
para ulama dari golongan atau mazhab/aliran yang terkena serangan Ibn Taimiyyah menjadi
gusar dan sakit hati, serta berupaya untuk menyingkirkannya.
Tatkala kota Damaskus pada tahun 669 H dikepung oleh tentara Mughol, banyak para
pembesar dan ulama yang mengungsi, tapi Ibn Taimiyyah memberanikan diri untuk
mendatangi panglima pasukan Mughol dan dengan suara yang man tap meminta pasukan
Mughol tidak memasuki dan tidak berbuat onar di Damaskus. Keberanian Ibn Taimiyyah
menimbulkan rasa kagum pada panglima pasukan Mughol dan panglima berjanji untuk
memenuhi permintaan Ibn Taimiyyah, tapi ternyata kemudian janji itu dilanggar.
12
Masyarakat
yang mengetahui keberanian Ibn Taimiyyah semakin kagum dan hormat padanya. Pada masa-

9
Abu Zahrah lbo 1olmlyyob kalro h 178
10
lblJ h 26
11
lblJ h 29
12
lblJ h 37
masa berikutnya Ibn Taimiyyah, disamping mendorong rakyat dan penguasa (termasuk Sultan
di Mesir) supaya berani berjuang melawan serbuan tentara Mughol, juga ikut memanggul
senjata/menyandang pedang ke medan pertempuran (pada tahun 700 H, 702 H, dan 713 H).
13

Upaya dan tipu-daya berbagai golongan yang tidak sepaham dengan Ibn Taimiyyah
berhasil mempengaruhi pihak penguasa untuk memenjarakannya beberapa kali: dipenjarakan
selama lebih kurang satu setengah tahun di Kairo (705-7 H),
14
dibuang ke Iskandariah selama
tujuh bulan (709 H),
15
dipenjarakan selama lima bulan di Damaskus (720/1 H)
16
dan terakhir
juga di Damaskus dari tahun 726 H sampai ia waIat di penjara itu pada tahun 728 H/1328 M.
17

Ibn Taimiyyah tidak merasa kecewa berada di penjara, karena disitu ia bisa bertekun dalam
ibadah, bisa merenungkan pendirian-pendiriannya, dan bisa banyak menulis Iatwa-Iatwanya.
Bila ia dibebaskan dari penjara; ia tetap bertekun mengajar di madrasah, terus memberi kuliah
umum dan memberi Iatwa, serta rajin menulis. Hasil karya tulisnya lebih kurang 500 buah
buku,
18
tapi sebagian dari karya tulisnya itu tidak dapat dijumpai lagi. Majmu` Fatawa Ibn
Taimiyyah, yang telah diterbitkan di Riyadh pada abad ini, berjumlah lebih dari satu meter;
berbicara dalam bidang yang luas, meliputi: taIsir, hadis, teologi, Iiqh, tasawwuI, logika, dan
lain-lain. Di antara buku-bukunya dalam bidang teologi adalah : al-`aqidah al-wasithiyyah, al-
risalah al-tadmuryyah, at-Iatwa al-hamawiyyah al-kubra, risalah Ii ushul al-din, al-ihtijaj bi al-
qadar, ma`arij al-wushul ila anna ushul al-din wa Iuru`a hu qad bayyanaha al-Rasul, dan al-
nubuwwat.
Sikap hidup dan pendirian Ibn Taimiyyah dalam bidang agama sangat tegas: orang
islam haruslah berakidah dan beribadah seperti apa yang diajarkan oleh al-Quran dan Hadis
Nabi, tidak oleh melebihinya dan tidak boleh melebihi dan juga tidak boleh menguranginya.
Sikap beragamaseperti yang dimaksudkannya adalah sikap beragama para sahabat dan tabi`in,
yang kedua generasi pertama itu biasa disebutnya sebagai para salaI. Ibn Taimiyyah secara
umum dapat dikatakan sebagai ulama yang mengabdikan hidupnya untuk menghidupkan
sunnah Nabi dan berusaha keras menghancurkan (melalui lisan dan tulisan) pandangan dan
perbuatan yang dinilainya bid`ah. Berikut ini kita akan melihat pandangan-pandangan Ibn

13
lblJ h 3940
14
lblJ h 33
13
lblJ h 69
16
lblJ h 82
17
lblJ h 83 dsL
18
M ?usuf Musa lbo 1olmlyyob kalro 1977 h 118
Taimiyyah dalam bidang teologi. Baiklah kita lihat dulu pandanganya tentang Tuhan. Ibn
Taimiyyah, ketika berbicara tentang adanya Tuhan, menegaskan bahwa akal dapat mengetahui
secara dlaruri (pasti) bahwa mestilah ada maujud yang qadim yang tidak perlu kepada selain
diri-Nya, sebab kita menyaksikan tentang baharunya semua yang kita saksikan ini seperti
hewan, tumbuh- tumbuhan, dan Iain-lain; setiap yang baharu adalah mumkin, bukan wajib dan
bukan pula mustahil adanya. Diketahui secara idhthirar (pasti) bahwa yang muhdats
(diciptakan) mestilah ada baginya suatu yang muhdits (menjadikan), yang mumkin mestilah
ada baginya suatu yang menjadikan, sebagimana Allah berIirman:
'-= ~ -= _~ - -'=' . =' : 33
Apakah mereka diciptakan tanpa suatu (pencipta) atau merekakah para pencipta?).
Maka apabila mereka, kata Ibn Taimiyyah. bukan diciptakan tanpa Khaliq dan tidak pula
mereka menciptakan diri mereka sendiri, jelaslah sudah bahwa ada Khaliq yang menciptakan
mereka.
19

Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa dapat diketahui secara dharuri (pasti; tanpa
membutuhkan pemikiran yang panjang) bahwa wujud ini terbagi dua, yaitu wujud yang wajib
(wajib al-wujud) dan wujud yang mumkin (mumkin al-wujud); wujud yang mumkin adalah
sesuatu yang dapat ada dan dapat pula tidak ada. Wujud yang wajib tidaklah sama dengan
wujud yang mumkin, kendati keduanya sama-sama wujud. Persamaan dari segi nama atau
sebutan tidaklah menghendaki persamaan diri yang diberi dengan nama atau sebutan tersebut.
Arasy, kata Ibn Taimiyyah, adalah suatu yang maujud dan labah-labah juga suatu yang
berwujud (maujud); meskipun keduanya sama-sama maujud, tidaklah keduanya sama.
Derriikian pula halnya dengan nama-nama dan siIat- siIat yang dinisbahkan kepada Tuhan dan
makhluk-Nya; kendati dari segi sebutan, nama atau siIat ada persamaan, tapi tidaklah
persamaan sebutan, nama, atau siIat itu, menurut Ibn Taimiyyah, menghendaki persamaan diri
Tuhan dengan diri makhluk-Nya. Allah hidup dan manusia juga hidup, tapi tidaklah sama
hidupnya Allah dengan hidupnya manusia. Allah mengetahui, mendengar, pengasih, dan
sebagainya, begitu pula manusia, tapi tidaklah sama pengetahuan, pendengaran, dan
pengasihnya Allah dengan pendengaran, pengetahuan, dan pengasihnya manusia. Allah
menerangkan bahwa ia bersemayam di atas arasy, maka tidaklah sama bersemayamnya Allah

19
lbn 1almlyyah olklsolob ol1oJmotlyyob alMaLhba'ah alSalaflyyah wa MakLabaLuha kalro 1387 P h 8
dengan bersemayamnya manusia atau makhluk-Nya. Demikianlah seterusnya dengan nama,
siIat, atau sebutan lainnya yang dinisbahkan kepada Allah dan makhuk-Nya; Pgrsamaan nama,
siIat, sebutan atau keterangan itu tidaklah menghendaki persamaan dalalah atau maksudnya.
20

Kita, kata Ibn Taimiyyah, haruslah menetapkan bagi Allah semua nama, siIat, sebutan
atau keterangan. sebagaimana yang telah dltetapkan sendiri oleh Allah dan Rasul Nya (oleh al-
Qur`an dan Hadis) tanpa menyamakan-Nya dengan makhluk-Nya. Ia mengatakan bahwa siapa
yang menyatakan bahwa tidak ada bagi Allah: ilmu, qudrah, rahmah, dan kalam, serta
menyatakan bahwa ia tidak mengasihi, tidak meridhai, tidak menyeru, dan tidak bersemayam,
maka orang itu adalah orang yang ingkar, yang mengosongkan siIat-siIat Allah dan
menyamakan Allah dengan 'suatu yang tidak ada atau dengan 'benda-benda mati.
Sebaliknya siapa yang mengatakan bahwa ilmu Tuhan seperti ilmuku, kekuatan-Nya seperti
kekuatanku, cinta-Nya seperti cintaku, ridha-Nya seperti ridhaku, kedua tangan-Nya seperti
kedua tanganku, atau istiwa`-Nya seperti istiwa`ku, maka orng itu adalah orang yang
menyamakan Tuhan dengan makhluk hidup. Kita, kata Ibn Taimiyyah, tidak boleh berbuat
seperti itu; kita harus menetapkan (mengitsbatkan) tanpa menyamakan (tamtsil, dan haruslah
menyucikan (tanzih) tanpa mengosongkan (ta`thil):
21

. ~` ~ '` ` .-~~ -- ` .-=
Pada bagian lain Ibn Taimiyyah menegaskan bahwa pembicaraan tentang siIat-siIat
Allah adalah seperti pembicaraan tentang zat-Nya. Sesungguhnya Allah tidaklah sama dengan
yang lain, baik dari segi zat, siIat-siIat, maupun perbuatan-Nya. Bila orang bertanya bagaimana
caranya Allah bersemayam di atas arasy, maka kata Ibn Taimiyyah jawablah seperti
jawaban yang diberikan oleh Rabiah dan muridnya, Imam Malik, yakni 'bersemayam itu
dimaklumi, bagaimana caranya tidak diketahui, mengimaninya adalah wajib dan
mempertanyakan caranya itu adalah bid`ah, karena pertanyaan itu adalah pertanyaan tentang
sesuatu yang tidak bisa diketahui oleh manusia dan tidak ada sesuatu yang memungklnkannya
untuk bisa mengetahui hal tersebut Begitu pula bila orang bertanya, kata Ibn Taimiyyah,
tentang bagaimana turunnya Allah ke langit dunia, jawablah bahwa kita tidak mengetahui
bagaimana caranya itu, karena pengetahuan tentang caranya (kaiIiyyah) siIat itu memestikan
pengetahuan tentang kaiIiyyah diri yang disiIati; mengapa anda, kata Ibn Taimiyyah. menuntut

20
lblJ h 811
21
lblJ h 11
aku untuk mengetahui kaitiyyah pendengaran, penglihatan, pembicaraan, istiysa`, dan turunnya
Allah, pada hal anda tidak bisa mengetahui kaiIiyyah zat-Nya.
22

Allah, kata Ibn Taimiyyah, juga memberikan berita tentang apa yang akan dijumpai
orang nanti di Surga, seperti: makanan, pakaian, tempat tinggal, susu, madu, khamar, air,
daging, sutra, emas, perak, buah-buahan, dan lain-lain, dan Ibn Abbas mengomentari bahwa
tidak ada di dunia ini sesuatu yang juga terdapat di surga, kecuali sekedar persamaan nama;
jadi nama-nama dari sesuatu yang ada di surga boleh saja sama dengan nama-nama benda yang
ada di dunia, tapi hakekat dari apa yang ada di surga dan apa yang ada di dunia, kendati sama-
sama makhluk Tuhan, adalah berbeda, tidak sama. Jika demikian halnya antara surga dan
dunia, kata Ibn Taimiyyah, apalagi antara Allah dengan makhluknya: tentu amat besar
perbedaan antara keduanya.
23

Kaum SalaI, kata Ibn Taimiyyah, mengisbat (menetapkan) sesuatu bagi Allah atau
menaIikan sesuatu dari-Nya, tidak lebih dan tidak kurang dari apa yang tertera dalam kitab suci
al-Quran dan Sunnah atau Hadis Nabi. Apa yang disampaikan oleh Rasul, baik itu merupakan
bagian dari al-Quran atau bagian dari Hadis, tentang Tuhan, wajiblah kita imani, baik kita
paham akan maknanya atau tidak kita pahami, karena Rasul itu adalah orang yang benar;
demikian pula sikap kita, kata Ibn.Taimiyah, terhadap apa yang telah diisbatkan oleh para salaI
dan imam-imam mereka secara sepakat.
24

Mengambil arti zhahir dari nas-nas al-Quran dan Hadis Nabi, kata Ibn Taimiyyah,
tidaklah berarti mengambil pengertian menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya; maksud
zhahir dari nas-nas itu sekali-kali bukanlah menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya.
25
Ibn
Taimiyyah menyimpulkan bahwa metode SalaI berkenaan dengan siIat-siIat Tuhan adalah
mengitsbatkan apa yang diitsbatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, menaIikan apa yang dinaIikan
oleh Allah dan Rasul-Nya, tanpa takyiI (menanyakan bagaimana), tanpa tamtsil (menyamakan-
Nya dengan makhluk-Nya), tanpa tahriI (merobah arti), dan tanpa ta`thil (mengosongkan siIat-
siIat).
26
Kaum SalaI, yang ahl al-sunnah wa al-jama`ah itu, menurut Ibn Taimiyyah, dalam hal
mengisbatkan siIat Tuhan. berada pada posisi tengah antara dua kaum yang berada di kedua

22
lblJ h 17
23
lblJ h 18
24
lblJ h 24
23
lblJ h 26
26
lblJ h 4
pinggir, yakni pada posisi antara posisi kaum yang mengosongkan siIat Tuhan (kaum
Jahmiyyah) dan posisi kaum yang menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya?
27

Pindah kepada persoalan yang lain, yakni persoalan iman dan mukmin yang melakukan
dosa besar. Ibnu Taimiyyah mengecam pandangan teologis Jahmiyyah, Murji`ah, Asy`ariyyah,
dan lain-lain, yang mengatakan bahwa batasan iman menurut syara` tidak lain-dari iman
menurut arti bahasa yakni membenarkan, dengan hati tentang keesaan Allah dan kerasulan
Nabi Muhammad Saw. Ia juga mengecam pendapat al-Baqillani, yang menyatakan adanya
kesepakatan (ijma`) para ahli bahasa tentang iman itu sebagai pembenaran (tashdiq) dengan
hati. Dari mana, kata Ibnu Taimiyyah, diketahui adanya ijma` itu dan dalam kitab apa hal itu
diungkapkan? Setelah menyebut sejumlah nama ahli bahasa, Ibnu Taimiyyah menegaskan
bahwa dari apa yang dinukilkan orang tentang mereka, tidak dijumpai pembicaraan mereka
tentang iman, apalagi tentang kesepakatan mereka bahwa iman itu adalah pembenaran dengan
hati. Seandainya ada satu dua orang yang menyatakan demikian, maka hal itu bukanlah ijma`
(kesepakatan).
28

Ungkapan yang dikemukakan oleh al-Baqillani bahwa si Iulan beriman dengan syaIaat,
surga, neraka, dan azab kubur, atau ungkapan bahwa si Iulan itu tidak mengimani hal-hal
tersebut, dinilai oleh Ibnu Taimiyyah sebagai bukan ungkapan orang-orang Arab sebelum
turunnya al-Quran, tapi merupakan ungkapan yang muncul sesudah masa shahabat Nabi,
namun maksud ungkapan iman itu bukan semata pembenaran dengan hati, pembenaran dengan
lidah, sebab pembenaran dengan hati tanpa pembenaran dengan lidah tidak akan diketahui
orang.
29

Orang-orang Arab, kata Ibn Taimiyyah, tidak akan menyebut seseorang sebagai
mukmin, sekiranya orang itu membenarkan bahwa ia akan diazab di dalam kubur, tapi ia tidak
merasa takut pada azab itu. Mereka juga tidak akan menyebut seseorang beriman dengan surga
dan neraka, kecuali bila orang itu mengharapkan surga dan takut pada neraka. Mereka tidak
akan mengatakan Iblis itu mukmin dengan Allah, kendati Iblis itu membenarkan ketuhanan
Allah. Tidak dijumpai dalam percakapan orang-orang Arab, kata Ibnu Taimiyyah, bahwa
seorang adalah mukmin, bila ia mengetahui sesuatu yang wajib ditakuti, diharapkan, dicintai,
dan diagungkan, tapi orang itu tidak mencintai, tidak mengagungkan, tidak takut dan Tidak

27
M khalll Parras yotb olAplJob olwosltblyyob olMoktobob alSalaflyyah Medlnah h 1067
28
Ma[mu' laLawa lbn 1almlyyah vll h 1213
29
lblJ h123
harap padanya, bahkan mendustai dengan lidahnya. Kalau siIujan mengakui dengan hati, tapi
mendustakan dengan lidahnya, tidaklah ia disebut oleh mereka sebagai mukmin. Tidak ada
satu buktipun, kata Ibnu Taimiyyah, yang dapat menunjukkan kebenaran dakwaan bahwa iman
menurut bahasa adalah tashdiq (pembenaran) dengan hati.
30

Sejumlah pengandaian dikemukakan olehlbnu Taimiyyah dalam usahanya menolak
paham bahwa iman itu adalah pembenaran dengan hati. Di antaranya dikatakan bahwa
seandainya benar iman menurut bahasa adalah pembenaran dengan hati, maka pembenaran
yang sempurna dari hati itu memestikan adanya suatu yang tidak dapat dipisahkan darinya,
yaitu perbuatan-perbuatan hati dan anggota badan. Jika perbuatan hati dan anggota badan
(sebagai konsekwensi/lawazim iman) tidak ada, berarti iman itu tidak ada.
31

Selanjutnya dikatakannya pula bahwa seandainya iman itu menurut bahasa adalah
pembenaran (tashdiq), maka sebenarnya tidaklah cukup iman itu dengan pembenaran hati dan
lidah, apalagi dengan pembenaran hati semata; ia mestilah dengan mengamalkan apa yang
dimestikan oleh pembenaran itu, sebagaimana dikatakan oleh Allah Swt: 'Sebenarnya orang-
orang yang beriman itu ialah mereka yang ketika disebut nama Allah hati mereka penuh
ketakutan dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah keimanan
mereka dan mereka bertawakal kepada Tuhan (Q.8:2); 'Orang-orang yang sebenarnya
beriman itu hanyalah mereka yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka
tidak pernah ragu-ragu dan mereka berjuang di jalan Allah dengan harta dan diri mereka;
mereka itulah orang-orang yang benar (Q 49:15). Nabi juga menegaskan bahwa ` _-- _-''
-= _-- - ~~ (tidaklah akan berzina seseorang pezina manakala ia seorang mukmin) dan
~-` ~ ` ~- -'= --' (tidak beriman seseorang bila tetangganya tidak aman dari
kejahatannya). Al-Quran dan Sunnah, kata Ibnu Taimiyyah, penuh dengan dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa seseorng tidak memiliki iman dengan amal shaleh yang ada bersama
pembenaran.
32

Para salaI dan imam-imam sunnah, kata Ibnu Taimiyyah, kadang-kadang menaIsirkan
iman dengan perkataan dan amal, kadang-kadang dengan perkataan, amal, dan niat, kadang-
kadang dengan perkataan, amal, niat, dan mengikuti sunnah, kadang-kadang dengan perkataan

30
lblJ h 1236
31
lblJ h 122
32
lblJ h 1289
lidah, i`tiqad hati, dan amal anggota badan. Masing-masing penaIsiran atau rumusan itu, kata
Ibnu Taimiyyah, adalah benar. Bila mereka mengatakan bahwa iman itu adalah perkataan dan
amal-perbuatan, maka termasuk ke dalam perkataan itu adalah sekaligus perkataan hati dan
lidah.
33

Demikianlah pendirian Ibnu Taimiyyah tentang batasan iman, yang mencakup
perkataan hati dan lidah. serta perbuatan hati. lidah, dan anggota badan. Iman itu bertambah
karena ketaatan dan berkurang karena kedurhakaan (melakukan dosa/maksiat)!
34
Sejauh
keterangan ini Ibnu Taimiyyah sama pahamnya dengan paham kaum Khawarij dan Mu`tazilah.
Perbedaannya dengan Khawarij dan Mu`tazilah adalah tentang status mukmin yang kemudian
melakukan dosa besar dan nasibnya kelak di Akhirat. Kalau Khawarij menilainya jatuh
menjadi kaIir yang akan kekal dalam neraka, dan Mu`tazilah menilainya berstatus Iasiq (yang
bukan mukmin dan bukan pula kaIir) yang juga akan kekal dalam neraka walau dengan azab
yang lebih ringan dari apa yang akan dirasakan oleh orang kaIir, maka Ibnu Taimiyyah
sepaham dengan kaum Murji`ah moderat, Asy`ariyyah dan Maturidiyyah dalam penegasan
bahwa keIasikan tidaklah menghapus iman dari diri seseorang yang mukmin.
Setiap muslim, kata Ibnu Taimiyyah mengetahui bahwa orang yang meminum
minuman keras, orang yang berzina, orang yang menuduh orang lain berzina, dan orang yang
mencuri, tidaklah diperlakukan oleh Nabi Saw. sebagai murtad (kembali kepada kekaIiran)
yang wajib dibunuh, tetapi mereka mendapat hukuman yang lain.
35
Di kalangan kaum
muslimin terdapat golongan munaIik yang nanti di Akhirat akan ditempatkan di lapisan
terbawah dari neraka: di samping itu ada golongan yang beriman dengan iman sebenarnya
(sempurna) yang akan masuk surga langsung. Selain dua golongan itu ada lagi golongan yang
bukan munaIik dan bukan pula golongan mukmin yang sempurna; golongan ini memiliki
perbuatan taat dan baik disamping perbuatan maksiat dan buruk, serta memiliki iman yang
karenanya orang tidak akan kekal dalam neraka, sesuai dengan bunyi hadis:
_=- ~ ~'-' '-' ~ ' _ .'-`~ ~ ~ '~-
(akan keluar dari neraka orang yang terdapat dalam hatinya iman seberat biji sawi,
diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

33
lblJ h 170
34
Syarh al'Aqldah alCaslLhlyyah h 138
33
Mojmo lotowo lbo 1olmlyyob vll h 237
Mukmin yang melakukan dosa besar itu disebut oleh Ibnu Taimiyyah dengan sebutan
'mukmin yang kurang iman ~~ '- '~-`' atau mukmin (karena imannya) yang Iasiq
(karena dosa besar yang dilakukannya).
36
Begitulah pandangan Ibnu Taimiyyah di sekitar iman
dan mukmin yang melakukan dosa.
Selanjutnya kita lihat pandangannya di sekitar perbuatan/Tuhan. Ibnu Taimiyyah
terlihat mempunyai pandangan yang lebih dekat dengan paham Mu`tazilah yang menyatakan
bahwa Allah Ta`ala hanya melakukan perbuatan yang baik (al-skalah atau al-khair) dan
berdasarkan hikmat tertentu wajib menjaga kemashlahatan manusia; pandangannya jauh dari
paham Asy`ariyyah (dan Jahamiyyah), yang mengatakan bahwa perbuatan Tuhan timbul bukan
karena sebab atau hikmat tertentu, tetapi semata-mata karena kehendak-Nya yang mutlak.
Menurut Ibnu Taimiyyah, mayoritas manusia, baik muslim maupun bukan muslim, sepakat
pada pendirian bahwa Tuhan memperbuat sesuatu, karena hikmat tertentu; sebagian dari
perincian hikmat itu disingkapkan kepada manusia atau sebagian manusia, sedangkan sebagian
lagi dari perincian hikmat itu tidak disingkapkan-Nya kepada manusia, namun manusia dapat
mengetahui secara umum bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan itu adalah karena atau demi
hikmat dan rahmat tertentu.
37

Mengenai adanya keburukan (kejahatan/syarr) dalam alam ini; Ibnu Taimiyyah
menegaskan bahwa keburukan itu tidak boleh dihubungkan kepada Allah. Pendirian itu
didasarkan pada: Iirman-Nya yang tercantum dalam al-Quran 4:79, yang berbunyi:
='-'~ ~ -~= ~ -' '~ ='- ~ --~ ~ =~--
(Kebaikan yang kamu peroleh adalah dari Allah, sedang keburukan yang menimpa
kamu adalah dari diri kamu); dan hadis Nabi (dalam Shahih Muslim) yang berisi pujian pada
Tuhan:
=- =-~~ , -=' =~- ~' - =- , ' -' .
(Labbaik wahai Yang Maha Agung, kebaikan berada di tangan-Mu, sedangkan
keburukan tidaklah (-dinisbahkan) kepada-Mu. Maha Suci Engkau dan Maha Tinggi
Engkau).
38


36
lblJ h 2413
37
Abd allaLLah Ahmad luadlbo 1olmlyyob wo Mooplfob mlo olllkt ollolsofy lskandarlyah 1980 h 99
38
lbn1almlyyah Iowob Abl olllm wo ollmoo alMaLhaba'ah alSalaflyyah waMakLabaLuha kalro 1393 P h 37
Kejahatan atau keburukan, menurut Ibnu Taimiyyah, terbagi dua. Pertama, keburukan
(pada manusia) dengan pengertian tidak adanya suatu siIat dari siIat-siIat kesempurnaan atau
tidak adanya suatu perbuatan dari berbagai perbuatan baik, seperti adanya kebodohan derigan
arti tidak adanya ilmu, dan bertindak buruk dengan pengertian tidak bertindak baik. Keburukan
seperti itu merupakan kelaziman manusia atau hakekatnya (mustahil manusia sempurna seperti
Tuhan!). Kejahatan yang timbul akibat kekurangan atau kelemahan manusia, tidak boleh
dinisbahkan kepada Tuhan, tapi harus kepada manusia itu sendiri. Kedua, kejahatan (alam)
yang bersiIat nisbi (relatiI), seperti suatu peristiwa alam menjadi musibah bagi suatu kaum,
tapi memberi manIaat bagi kaum yang lain. Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa tidak ada
keburukan atau kejahatan dalam alam ini yang terus menerus melanda seluruh manusia atau
selamanya melanda bagian terbesar makhluk. Kejahatan nisbi itu dijadikan Tuhan, menurut
Ibnu Taimiyyah, karena hikmat tertentu, yakni sebagai ujian atau cobaan. Ia mengatakan
bahwa bila cobaan itu besar, maka hal itu bagi mukmin yang shaleh merupakan sebab untuk
meninggikan derajatnya dan membanyakkan pahala baginya. Pandangannya itu didasarkan
pada pernyataan Nabi Saw, sebagai jawaban terhadap suatu pertanyaan yang disampaikan
kepadanya, bahwa orang yang paling berat mengalami cobaan/ujian adalah para Nabi,
kemudian orang-orang shaleh, dan seterusnya; seseorang dicobai menurut kadar agamanya;
bila agamanya kuat maka diperberat cobaan baginya dan bila lemah agamanya maka
diringankan cobaan baginya; senantiasa cobaan menyertai orang-orang yang beriman, sampai
ia berjalan di permukaan bumi tanpa kesalahan; maka hendaklah dalam mengerjakan perbuatan
baik yang diperintahkan dan bersabar dalam meninggalkan kejahatan yang dilarang. Begitulah
pandangan Ibnu Taimiyyah, bahwa kejahatan/keburukan alam yang bersiIat nisbi itu bukanlah
diadakan demi kejahatan atau keburukan, tapi demi hikmat yang tinggi.
39

Tuhan, kata Ibnu Taimiyyah, mengirim para rasul, demi kemashlahatan umat manusia.
Ia menyuruh manusia supaya melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan, demi untuk
kemashlahatan (kebaikan) manusia itu sendiri.
40
Ia berikan takliI (beban), berupa perintah dan
larangan itu, dalam batas-batas kemampuan manusia. Pandangan bahwa Tuhan boleh (jaiz)
saja memberi takliI melebihi batas kemampuan manusia adalah pandangan bid`ah yang salah.

39
lblJ h 60
40
Muhammad bln usman alZdahably olMootopo mlo Mloboj olltlJol tollf lbo 1olmlyyob alMaLhaba'ah al
Salaflyyah wa MakLabaLuha kalro 1374 P h 49
Al-Quran dan Sunnah, kata Ibnu Taimiyyah, telah menunjukkan bahwa takliI itu digantungkan
kepada kemampuan manusia; Tuhan berIirman :
- _= '-' _= -' ~ _'=-' - `-~ . '~' 97
(dan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi siapa yang sanggup
mengadakan perjalanan kepadanya), sedang Nabi Saw. bersabda: 'Lakukanlah shalat berdiri;
jika tidak sanggup, lakukanlah dengan cara duduk; jika tidak sanggup, lakukanlah dengan cara
berbaring. Dari kedua nash itu, kata Ibnu Taimiyyah, diketahui bahwa haji dan shalat
diwajibkan bagi siapa yang mam- pu. Ibnu Taimiyyah juga mengingatkan nash-nash lain,
antara lain nash al-Quran, yang berbunyi :
` -- -' '~-- ` '+~ . -' : 86 (
(Allah tidak memberi takliI atas diri (manusia), kecuali dalam batas kemampuannya).
41

Berkenaan dengan wa ad (janji baik) dan wa`id (ancaman) Ibnu Taimiyyah
menegaskan bahwa tidak dapat tidak Tuhan akan memenuhi janji dan ancamannya seperti yang
terdapat dalam al-Quran aan Sunnah. Mukmin yang kebaikannya lebih berat dari kejahatannya
akan hidup dalam Sorga, sedang mukmin yang kejahatannya lebih banyak dari kebaikannya
akan masuk neraka, tetapi tidak kekal didalamnya.
42
Para salaI sepakat menyatakan bahwa
Nabi Saw. mjgnyediakan syaIaatnya pada hari Akhirat bagi mukmin yang melakukan dosa
besar. Sedang para kaIir (yang tidak mengakui kerasulan Muhammad Saw) niscaya masuk
neraka dan kekal di dalamnya. Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Isra` ayat 15, orang-
orang yang tidak didatangi oleh ajarah wahyu, maka mereka tidak dianggap mukallaI dan
karena itu nanti tidak akan diazab di Akhirat. Demikian juga halnya anak-anak (belum baligh),
termasuk anak-anak orang kaIir, sebagaimana disebutkan dalam Sunnah, tidak akan diazab di
Akhirat. Hadis yang menyebutkan bahwa anak-anak kaum musyrikin akan dimasukkan dalam
neraka, dipandang oleh Ibnu Taimiyyah sebagai hadis palsu. Ibnu Taimiyyah menegaskan
bahwa pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan boleh saja mengazab orang yang tidak ber
dosa, adalah pandaagan yang keliru.
43


41
lbn1almlyyah olklsolob fl usbol olulo alMaLhaba'ah alSalaflyyah waMakLabaLuha kalro 1393 P h 223
42
Mojmo lotowo lbo 1olmlyyob lv h 30312
43
lbn1almlyyah olNobowwot alMaLhaba'ah alSalaflyyah waMakLabaLuha kalro 1386 P h1037
Demikianlah pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah berkenaan dengan perbuatan
Tuhan. Kendati ia sering menyalahkan kaum Mu`tazilah, namun pandangannya tentang
perbuatan Tuhan, secara esensil, lebih dekat kepada paham Mu`tazilah.
Kita pindah lagi kepada persoalan lain, yaitu persoalan perbuatan manusia. Menurut
pandangan Ibnu Taimiyyah, manusia memiliki masyiah (kemauan), qudrak (kemuatan), dan
iradah (kehendak); manusia adalah pelaku hakiki bagi perbuatannya; ia berbuat dengan ikhtiar,
masyiah, ridha, dan mahabbah yang dimilikinya; ia bukan majbur (terpaksa) atau bukan tanpa
iradah. Tuhanlah yang menciptakan semuanya itu, yakni menciptakan kemauan, kekuatan,
kehendak, dan perbuatan yang menjadi milik manusia.
44

Rumusan teologis bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, menurut logika
golongan jabariyyah, Asy`ariyyah, Maturidiyyah Bukhara, qadariyyah, dan Mu`tazilah,
membawa kepada kesimpulan bahwa perbuatan manusia itu pada hakikatnya adalah perbuatan
Tuhan, bukan hakiki perbuatan manusia. Golongan jabariyyah, Asy`ariyyah, dan Maturidiyyah
Bukhara, karena bertolak pada pandangan bahwa memang Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan manusia, dapat menerima kesimpulan bahwa perbuatan manusia pada hakikatnya
adalah perbuatan Tuhan, bukan hakiki perbuatan manusia. Pandangan bahwa perbuatan
manusia pada hakikatnya adalah perbuatan Tuhan tidak dapat diterima oleh kaum
qadariyyah/Mu`tazilah, karena bila pandangan itu benar, maka tidak ada artinya Tuhan
memberikan takliI (perintah dan larangan) pada manusia, dan juga tidak ada artinya janji,
ancaman, pahala, serta hukuman terhadap manusia. Oleh karena itu, perbuatan manusia
menurut kaum qadariyyah/Mu`tazilah haruslah hakiki perbuatan manusia, bukan perbuatan
Tuhan. Atas dasar itu, kaum qadariyyah/Mu`tazilah menegaskan bahwa perbuatan manusia itu
bukan diciptakan oleh Tuhan, tapi oleh manusia itu sendiri, dan tidak boleh diartikan bahwa
penciptaan oleh manusia sama dengan penciptaan oleh Tuhan.
Ibnu Taimiyyah tidak dapat menerima logika bahwa penciptaan Tuhan atas perbuatan
manusia menaIikan hakikinya perbuatan manusia, dan bahwa hakikinya perbuatan manusia
menaIikan peranan penciptaan Tuhan atas perbuatan tersebut. Ibnu Taimiyyah membenarkan
jabariyyah, Asy`ariyyah, dan Maturidiyyah Bukhara, dalam hal pendirian bahwa Tuhanlah
pencipta perbuatan manusia; tapi mengecam golongan-golongan tersebut dalam hal menaIikan
hakikinya perbuatan manusia. Ia membenarkan qadariyyah/Mu`tazilah dalam hal penegasan

44
Mojmo lotowo lbo 1olmlyyob xll h 323
hakikinya perbuatan manusia, tapi mengecam keduanya dalam hal menaIikan penciptaan
Tuhan atas perbuatan manusia. Bagi Ibnu Taimiyyah, seperti telah dikemukakan, perbuatan
manusia yang diciptakan oleh Tuhan itu adalah hakiki perbuatan manusia, bukan perbuatan
Tuhan; rumusan seperti itu tentu dipandang tidak logis baik oleh Jabariyyah, Asy`ariyyah, dan
Maturidiyyah Bukhara, maupun oleh kaum qadariyyah dan Mu`tazilah. Tidak seperti
pemecahan yang memuaskan yang diberikan oleh Baqillani bahwa yang diciptakan oleh Tuhan
adalah gerak yang terdapat dalam diri manusia sedang bentuk atau siIat dari gerak itu
dihasilkan oleh manusia sendiri,
45
keterangan-keterangan yang diberikan oleh Ibnu Taimiyyah
tentang kaitan hakikinya perbuatan manusia dengan penciptaan perbuatan itu oleh Tuhan,
kendati cukup berulang-ulang dijumpai dalam tulisannya yang banyak, tetap saja terasa tidak
memberikan penyelesaian yang melegakan.
Selanjutnya mengenai siIat baik atau buruk yang dihubungkan pada perbuatan manusia,
Ibnu Taimiyyah membagi perbuatan itu kepada tiga macam. Pertama, adalah perbuatan yang
mengandung kebaikan atau mengandung kejahatan dan dapat diketahui oleh akal manusia,
kendati misalnya wahyu tidak datang untuk menjelaskan siIat perbuatan itu. Sebagai cpntoh
Ibnu Taimiyyah menge- mukakan keadilan yang dikatakannya mengandung kemashlahatan
bagi umat manusia dan kezaliman yang memudaratkan; peranan wahyu dalam hal ini bukanlah
memberikan siIat baik atau buruk kepada perbuatan tersebut, tapi untuk menetapkan bahwa
siapa yang melakukan perbuatan baik tersebut akan diberi nikmat pada hari Akhirat dan siapa
yang melakukan perbuatan buruk itu akan diberi azab di hari Akhirat. Berpegang kepada
beberapa nash, antara lain ayat Quran:
'-'~ -~~ _= -- `~
(tidaklah Kami memberikan azab sebelum Kami mengirim rasul), Ibnu Taimiyyah
menegaskan bahwa manakala wahyu belum/tidak datang, maka perbuatan buruk yang
diketahui oleh akal itu tidak memestikan bahwa pelakunya diazab pada hari Akhirat. Kedua,
adalah perbuatan yang menjadi bersiIat baik bila Tuhan memerintahkannya, dan menjadi
bernilai buruk bila Tuhan melarangnya. Dengan kata lain, suatu perbuatan memperoleh siIat
baik atau buruk berdasar perintah atau larangan Tuhan: Sayang sekali Ibnu Taimiyyah tidak
memberikan contoh perbuatan yang termasuk macam kedua ini. Ketiga, adalah perbuatan yang

43
1eoloql lslom h 68
diperintahkan oleh Tuhan, tapi tidak dengan maksud supaya perbuatan itu dikerjakan; Tuhan
hanya bermaksud menguji apakah subyek yang diperintah itu siap sedia untuk mentaatinya.
Ibnu Taimiyyah memberikan contoh perbuatan menyembelih putra sendiri yang menurut
pemahaman Ibnu Taimiyyah diperintahkan Tuhan kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi.
Tatkala Nabi Ibrahim telah siap sedia hendak menyembelih putranya, Ismail, maka Tuhan
mengganti dengan penyembelihan domba. Penyembelihan putra sendiri bukanlah perbuatan
baik, tapi Ibrahim diuji, apakah ia taat tanpa syarat kepada Tuhan. Hikmah terletak pada
perintah, tidak pada perbuatan yang diperintahkan. Inilah macam perbuatan yang, menurut
Ibnu Taimiyyah, tidak dipahami oleh kaum Mu`tazilah, yakni kaum yang memandang bahwa
baik atau buruk suatu perbuatan merupakan siIat esensil dari perbuatan itu, lepas dari ada atau
tidak adanya perintah/larangan wahyu terhadapnya. Ibnu Taimiyyah juga mengecam keras
golongan Asy`ariyyah yang dianggapnya berpendapat bahwa perbuatan manusia itu tidak
mempunyai siIat baik atau buruk, baik sebelum maupun sesudah datangnya perintah/larangan
wahyu terhadapnya.
46

Pindah lagi kepada persoalan yang lain, yaitu persoalan melihat Tuhan dengan mata
kepala manusia di Akhirat, Ibnu Taimiyyah mempunyai paham yang sama dengan kaum
Asy`ariyyah dan Maturidiyyah, serta menentang paham Mu`tazilah. Ibnu Taimiyyah
menyebutkan tentang mutawatirnya hadis-hadis Nabi yang menyatakan bahwa para mukmin di
hari Akhirat kelak akan melihat Tuhan dengan mata kepala mereka seperti melihat matahari di
siang hari yang cerah atau bulan purnama pada malam hari: Menurut Ibnu Taimiyyah, tidak
sanggupnya kita, termasuk Nabi Musa As, melihat Tuhan dengan mata kepala kita di dunia ini
adalah karena lemahnya kemampuan pengiihaian mata kita, tapi tidak mustahil bahwa kita
akan bisa`mampu melihat-Nya dengan mata kepala kita pada hari Akhirat, karena Allah kuasa
memperkuat daya penglihatan kita sampai ke taraI mampu melihat-Nya.
47

Ibnu Taimiyyah juga membahas pertikaian teologis tentang al-Quran sebagai kalam
(Iirman) Allah. Paham yang benar menurutnya adalah paham salaI, seperti Ahmad bin Hanbal,
Bukhari dan sekalian imam salaI lainnya. Para salaI sepakat mengatakan bahwa al-quran itu
seluruhnya kalam Allah, meliputi huruI-huruI dan makna-maknanya; tiada sesuatupun dari al-
Quran itu yang merupakan kalam makhlukNya Al-Quran itu Ia turunkan kepada Rasul-Nya

46
Mojmo lotowo lbo 1olmlyyob vlll h 4336
47
lbn 1almlyyah klLab aL8add 'ala alManLhlqlyyln uar alMa'rlLah
dan bukanlah al-Quran nama bagi makna saja dan bukan pula untuk huruI saja, tapi menjadi
nama bagi kesatuan keduanya. Begitu pula halnya sekalian kalam yang lain, bukan semata-
mata huruI dan bukaii pula makna-makna saja, sebagaimana keadaannya manusia ini, yang
tidak semata-mata roh dan tidak pula tubuh saja, tapi merupakan kesatuan keduanya. Allah
berbicara dengan suara, sebagaimana dikatakan oleh hadis-hadis sahih, dan bukanlah suara-
Nya seperti suara makhluk-Nya atau suara para qari. Tidak ada suatupunyang menyamai Allah,
dari segi hakekat, siIat-siIat, dan perbuatan-perbuatan-Nya. Selanjutnya Ibnu Taimiyyah
menegaskan bahwa sebagaimana ilmu, qudrat, dan hayat Tuhan tidak sama dengan ilmu,
qudrat, dan hayat makhluk-Nya, maka demikian pula kalam-Nya tidak sama dengan kalam
makhluk-Nya, makna-makna-Nya tidak sama dengan makna-makna makhluk-Nya, dan suara-
Nya tidak sama dengan suara manusia. Barang siapa menyamakan Allah dengan makhluk-Nya,
maka sesatlah ia, kata Ibnu Taimiyyah. Selanjutnya Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa yang
wajib dikatakan adalah: al-Quran itu adalah kalam Allah, bukan makhluk. Maka al-Quran ada
dalam mashhaI-mashhaI, sebagaimana semua kalam lainnya ada dalam shuhuI (lembaran-
lembaran). Jangan dikatakan bahwa tinta dan kertasnya bukan makhluk; semua kertas dan tinta
di alam ini adalah makhluk.
Katakanlah, kata Ibnu Taimiyyah, bahwa al-Quran yang ada dalam mashhaI adalah
kalam Allah, bukan makhluk, begitu juga al-Quran yang dibawa oleh kaum muslimin adalah
kalam Allah, bukan makhluk-Nya.
Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah tentang al-Quran; pandangan-pandangan yang
lain, seperti pandangan Mu`tazilah (bahwa al-Quran itu makhluk) dan pandangan Asy`ariyyah
serta Maturidiyyah (bahwa al-Quran terdiri dari makna dan laIaz: maknanya yang berdiri pada
zat Tuhan adalah qadim, sedang laIaznya yang berbahasa Arab itu adalah bukan qadim)
dinilainya sebagai pandangan yang salah.
Sebenarnya masih banyak lagi butir-butir pandangan teologis yang dimiliki oleh Ibnu
Taimiyyah, tapi sebagai perkenalan pertama cukuplah satu butir saja lagi yang akan
dibicarakan, yaitu mengenai tauhidullak (mengesakan Allah). Tauhid yang dituntut oleh Islam,
kata Ibnu Taimiyyah, bukanlah sekedar tauhid rububiyyah, yakni mengakui Allah satu-satunya
sebagai pencipta alam ini, tapi juga tauhid ilahiyyah yakni mengakui Allah sebagai satu-
satunya yang harus ditaati. Menurut Ibnu Taimiyyah, bukanlah maksud dari 'al-ilah zat yang
kuasa mencipta, sebab bila demikian maksudnya, maka siapa saja yang mengakui Allah
sebagai satu-satunya pencipta alam ini berarti ia telah mengaku 'la ilah illa Allah, pada hal
kaum musyrikin, yang menurut Ibnu Taimiyah, mengakui Allah sebagai pencipta semesta
alam, tidaklah dipandang sebagai kaum yang mengakui 'la ilah ilia Allah. Arti yang
sebenarnya dari 'al-ilah adalah yang berhak untuk ditaati (disembah), dan tauhid adalah
mentaati (menyembah) Allah saia, tanpa sekutu baginya syirik sebagai lawan tauhid. adalah
menjadikan sesuatu sebagai ilah bersama Allah. Dasar pertama dari Islam, kata Ibnu
Taimiyyah, adalah tauhid ilahiyyah, dan dalam rangka merealisir tauhid itu kita haruslah
menyadari bahwa Allah telah menetapkan bagi diri-nya sendiri, tanpa disekutui oleh makhluk-
Nya, hak untuk menerima ibadat, tawakkul, dan taqwa dari umat manusia. Kepada-Nya sajalah
manusia beribadat, bertawakkal, dan bertaqwa, tidak boleh kepada selain-Nya.
Sampai disinilah penyajian kita tentang pikiran-pikiran teologis dari Ibnu Taimiyyah,
yang dipandangnya sebagai tidak lain pandangan para ulama salaI.
Setelah Ibnu Taimiyyah waIat, tugas untuk menghidupkan paham salaI dipikul oleh
antara lain muridnya yang terkenal, Ibnu al-Qayyim al-Jauzi (691-751 H/1292-1350 M), yang
juga berhasil melahirkan tulisan-tulisan berharga dan banyak. Beberapa abad kemudian, di saat
dunia Islam berada di puncak kemunduran dalam segala bidang, muncullah Muhammad bin
Abd al-Wahhab (1115-1201 H/1703-87 M), pembaharu yang berhasil mempengaruhi Kerajaan
Saudi Arabia untuk menghidupkan akidah salaI. Sampai sekarang kerajaan itu memberikan
dukungan Iinansil yang besar bagi penerbitan dan penyebaran buku-buku yang mengajak
kepada paham atau ajaran salaI. Di Mesir pun, terutama di Dar al-Ulum, Universitas Kairo,
banyak ulama dan sarjananya memberikan dedikasi mereka, juga untuk menghidupkan ajaran
salaI melalui kupasan-kupasan ilmiah.

You might also like