You are on page 1of 8

BAB II. KARAKTERISTIK TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI ECOMMERCE 1. Analisis Hukum Tentang Transaksi Elektronik 1.1.

Perjanjian Elektronik adalah Perjanjian Konvensional 1.1.1. Yurisdiksi 1.1.2. Kekuatan Hukum Bukti Transaksi Elektronik 1.1.3. Pengakuan Tanda tangan Elektronik 1.1.4. Pengamanan Orisinalitas Informasi 1.1.5. Aspek Hukum Perjanjian Online 1.1.5.1. Syarat Keabsahan Jual-beli Ecommerce 1.1.5.2. Saat Terjadinya Kontrak dalam Transaksi E-commerce 1.1.5.3. Tanggung Jawab Para Pihak dalam Transaksi E-commerce 1.2. Klausula Baku dalam Transaksi E-commerce 1.2.1. Pengertian Clik-Wrap Agreement 1.2.2. Pengertian Browse-Wrap Agreement 2. Mekanisme Perjanjian Jual Beli E-commerce BAB III. BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN 1. Instrumen Perlindungan Hukum bagi Konsumen dalam E-commerce 1.1. Perlindungan Konsumen E-commerce dalam Perspektif Undang Undang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang Informasi dan Teknologi Elektronik

1.2. Efektifitas Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Ecommerce 1.3. Perlindungan Konsumen E-commerce dalam Sistem Keamanan Teknologi Informasi 2. Upaya Hukum Konsumen Yang Dirugikan Prinsip Prinsip Penyelesaian Sengketa Bentuk Penyelesaian Sengketa Litigasi Non-Litigasi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

1.

2.

3.

BAB II. KARAKTERISTIK TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI ECOMMERCE Perkembangan hubungan hukum bisnis di dunia sekarang mengalami perubahan prinsipial karena berbagai pekerjaan kehidupan fisik telah beralih melalui migrasi besar-besaran ke kehidupan cyber terutama dalam hubungan hukum yang dilakukan yaitu melalui sarana online dari semula melalui cara-cara konvensional yang berbasiskan pada kertas (paper based). Hukum konvensional terasa mengalami kesulitan dengan perkembangan informasi elektronik ini karena semua berbasiskan pada elektronik dan digital. Keterhubungan dan konvergensi melalui jaringan internet memunculkan masalah hukum yaitu berkenaan dengan keamanan (security), keabsahan (validity), keaslian (authenticity), kerahasiaan (confidentiality), keberadaan barang/jasa (availability)(Ign. Sumarsono hal.59). Disamping itu, masalah yurisdiksi menjadi krusial karena akhirnya hukum yang diberlakukan terhadap transaksi online adalah menggunakan pedoman hukum perdata internasional biarpun kadang-kadang bahkan sering tidak adil dan memadai karena spesifikasi transaksi online yang tidak mengenal batas-batas geografis dan geopolitis yang akhirnya bermuara pada keberlakuan hukum negaranegara setempat dan hukum perdagangan internasional. Transaksi online telah merevolusi hubungan bisnis antara konsumen dan produsen/pelaku usaha. Transaksi online yang lebih dikenal sebagai E-commerce memudahkan konsumen dalam memilih barang, meningkatkan kenyamanan dalam bertransaksi, menekan dana karena bisa dilakukan di mana saja, kapan saja tanpa batas waktu karena ditawarkan dan ditransaksikan online 24 jam sehari sehingga menciptakan efisiensi dan efektifitas konsumen dalam bertransaksi sehingga menjadi murah. Bagi produsen/pelaku usaha, transaksi melalui E-commerce berarti suatu

efisiensi yang luar biasa karena mendekatkan produk-produk barang dan jasa langsung di depan konsumen yaitu melalui layar komputer konsumen. Perkembangan transaksi melalui E-commerce tersebut perlu disyukuri karena banyak memberikan manfaat bagi perkembangan dunia bisnis dan kehidupan manusia. Namun dengan bertumbuhnya perkembangan transaksi online ini juga menumbuhkan pula pelanggaran terhadap perjanjian yang dilakukan dan kejahatan yang memanfaatkan transaksi itu. Variasi pelanggaran dan kejahatan melalui transaksi online semakin tinggi berbanding lurus dengan kemajuan teknologi informasi itu sendiri. Sebagai contoh, penggunaan kartu kredit sebagai alat pembayaran untuk transaksi online semakin rentan disalahgunakan oleh orang lain melalui hacking dan cara-cara lain dengan variasi tindakan yang pada dasarnya melanggar hukum. Indonesia dalam mengikuti laju transaksi-transaksi online tersebut berada di belakang negara-negara tetangga, antara lain Singapura, Malaysia, Philipina, Vietnam, karena negara-negara ini telah lebih dulu melakukan regulasi yang memadai untuk transaksi-transaksi online (Ign. Sumarsono, hal.60). Dalam menyikapi perkembangan transaksi online tidak dapat hanya mengandalkan kebebasan berkontrak yang ada dalam BW yang akan berakibat pada ketidak-setaraan para pihak dalam kontrak-kontrak baku yang dikembangkan, biarpun undang-undang

perlindungan konsumen membatasi persyaratan dalam kontrak baku. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap informasi elektronik yang merupakan core dari semua hubungan hukum online mutlak diperlukan, sehingga pada tahun 2008 pemerintah Indonesia telah memberlakukan undang-undang ITE. Perjanjian yang dibuat secara online adalah faktor penting dalam transaksi elektronik. Perjanjian model ini menggunakan data digital sebagai pengganti kertas

dan data digital itu berfungsi sebagai media dari perjanjian online (Imam Syahputra 105). Dalam kegiatan perniagaan, transaksi merupakan kegiatan yang sangat penting. Dalam perspektif yuridis, terminologi transaksi pada dasarnya adalah keberadaan suatu perikatan ataupun hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Makna yuridis transaksi pada dasarnya lebih ditekankan pada aspek materiil dari hubungan hukum yang disepakati oleh para pihak, bukan perbuatan hukumnya secara riil. (Ramli 44, naskah akademik). Transaksi secara elektronik, pada dasarnya adalah perikatan ataupun hubungan hukum yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan dari sistem elektronik berbasiskan komputer dengan sistem komunikasi, yang selanjutnya difasilitasi oleh keberadaan jaringan komputer global atau Internet. (Ramli 45, naskah kademik)

1. Analisis Hukum Tentang Transaksi Elektronik 1.1. Perjanjian Elektronik adalah Perjanjian Konvensional

Secara harfiah terminologi perniagaan secara elektronik atau lazim disebut sebagai e-commerce adalah sesuatu yang relatif baru dikenal. Akan tetapi, dalam praktiknya e-commerce sebenarnya telah berjalan di Indonesia dalam berbagai varian. (Ramli 43). Pada prinsipnya karakteristik transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce juga merupakan suatu perjanjian jual-beli konvensional yang biasa dilakukan masyarakat umum. Hanya saja terletak perbedaanya pada media yang digunakan, pada transaksi e-commerce yang dipergunakan adalah media elektronik yaitu internet sehingga hal ini berdampak

kepada kesepakatan ataupun kontrak yang tercipta adalah melalui online. (Yahya Ahmad 67-68) Dalam UU ITE dan Naskah Akademisnya, secara jelas mengatakan bahwa perjanjian e-commerce adalah bentuk perjanjian jual-beli yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perjanjian konvensional. Namun, memiliki karakteristik dan aksentuasi berbeda dengan perjanjian yang lazim berlaku dalam transaksi jual-beli konvensional. Hal ini menggambarkan bahwa dalam e-commerce kesepakatan antara pembeli dan penjual dilakukan secara elektronik. Kondisi itu menyebabkan prinsip-prinsip dalam hukum perjanjian konvensional, seperti syarat sahnya suatu perjanjian harus mengalami perubahan yang cukup mendasar. (Imam Syahputra 93). Jual-beli sendiri menurut KUHPerdata (BW) adalah suatu perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. (Yahya 68) Unsur-unsur pokok (essentialia) perjanjian jual-beli adalah barang dan harga, sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian yang ada dalam KUHPerdata (Yahya 68). Pasal 1458 KUHPerdata berbunyi: Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Perjanjian jual-beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya kata sepakat mengenai barang dan harga, begitu juga kedua pihak telah setuju tentang barang dan harga, maka lahirlah perjanjian jual-beli yang sah. (Yahya 68).

Prinsip konsensualisme merupakan prinsip yang sangat penting dalam hukum kontrak, khususnya pada aspek pembentukan. Ini merupakan syarat mutlak dalam setiap kontrak dan berfungsi untuk menjamin kepastian hukum. Dengan prinsip ini dipahami bahwa kontrak dianggap telah terjadi dan karenanya mengikat para pihak sejak tercapainya kata sepakat. Titik tolak prinsip ini berpangkal dari pemikiran bahwa setiap perkataan adalah mengikat, merupakan tuntutan kesusilaan sebagaimana dikemukakan oleh Eggens. Manusia diletakkan dalam martabatnya yang paling tinggi di antara semua makhluk karena perkataanya, sebagaimana tercermin dari pepatah:een man een man, een woord een woord yang mengandung makna bahwa orang yang ditempatkan dalam martabat yang tertinggi sebagai manusia karena perkataanya dapat dipercaya: meletakkan kepercayaan pada perkataan seseorang berarti menganggap orang itu sebagai ksatria. (Sogar 191-192) Dalam hukum positif kita syarat kesepakatan merupakan syarat pertama yang tertuang dalam pasal 1320 BW. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai halhal yang berhubungan dengan kata sepakat, kecuali tentang cacat kehendak sebagaimana diatur dari pasal 1321 sampai dengan pasal 1328 BW. Dari berbagai kepustakaan dapat disimpulkan bahwa kesepakatan adalah keadaan dimana pernyataan kehendak pihak yang satu cocok dengan pernyataan kehendak pihak lain. Cocok yang dimaksudkan adalah terdapat persesuian, jadi bukan berarti sama (Sogar 192). Kesepakatan dalam asas konsensualisme ini berarti persesuaian kehendak, namun kehendak atau keinginan tersebut harus dinyatakan, kehendak atau keinginan yang disimpan dalam hati tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan kesepakatan yang diperlukan untuk melahirkan suatu

perjanjian. Menyatakan kehendak ini tidak terbatas pada pengucapan perkataanperkataan, ia dapat dicapai pula dengan memberikan tanda-tanda berupa apa saja yang dapat menerjemahkan kehendak tersebut (Yahya 70).

You might also like