Professional Documents
Culture Documents
Selain itu, telah dilaporkan juga Irekuensi dari hipertermia maligna di Amerika Serikat
berkisar sebanyak 1 dari 10.000 pasien yang menerima obat anestesi dari 1 dalam 50.000
pasien. Angka insidens dari hipertermia maligna yang sesungguhnya belum dapat dilaporkan
dengan tepat, hal ini karena kurangnya pelaporan secara universal.
3
DEFINISI
Hipertermia ditandai dengan peningkatan suhu tubuh yang melampaui kemampuan
tubuh untuk mengeluarkan panas. Pada keadaan hipertermia, pengaturan suhu(set point dari
pusat termoregulator hipotalamus tidak berubah. Perbedaan hipertermia dengan demam
adalah bahwa hipertermia tidak berkaitan dengan molekul pirogenik. Paparan panas eksogen
dan produksi panas endogen adalah dua mekanisme yang menyebabkan hipertermia sangat
berbahaya. Produksi panas yang berlebihan dapat dengan mudah menyebabkan hipertermia
selain oleh karena kontrol suhu tubuh Iisiologis yang abnormal.
1, 3, 4
PATOGENESIS
Untuk memahami patogenesis hipertermia, yang perlu diperhatikan adalah respon
sistemik dan selular terhadap pajanan panas. Respon-respon ini termasuk termoregulasi,
respon Iase akut, dan respon yang berkaitan dengan produksi protein-protein akibat cedera
panas.
4
Termoregulasi
Panas tubuh didapatkan dari lingkungan sekitar dan diproduksi dari metabolisme
tubuh. Proses termoregulasi salah satunya adalah membuang panas yang berlebih secara
keseluruhan untuk menjaga agar suhu tubuh tetap sekitar 37
o
C. Peningkatan suhu tubuh
sebesar 1
o
C mengaktivasi reseptor panas di periIer dan di hipotalamus yang kemudian
megirimkan sinyal ke pusat termoregulator hipotalamus, dan respon eIeren dari pusat
termoregulator ini meningkatkan penghantaran panas melalui darah ke permukaan tubuh.
Kemudian, terjadilah vasodilatasi dari pembuluh darah kulit melalui mekanisme simpatis,
disertai juga peningkatan airan darah di kulit hingga sampai 8 liter per menit. Peningkatan
dari temperatur darah juga menyebabkan timbulnnya keringat. Apabila udara di sekitar
permukaan tubuh tidak tersaturasi dengan air, keringat akan menguap dan akan
mendinginkan permukaan tubuh. Penguapan dari 1,7 ml keringat akan menghabiskan energi
sebesar 1 kcal. Pada keadaan udara kering hingga maksimal, berkeringat akan menghabiskan
sebanyak 600 kcal per jam. Gradien termal yang terjadi akibat penguapan keringat sangat
penting untuk perpindahan panas dari tubuh ke luar lingkungan. Peningkatan suhu darah juga
menyebabkan takikardi, peningkatan curah jantung, dan peningkatan ventilasi per menit.
PerIusi ke organ dalam akan berkurang, terutama ke usus dan ginjal, hal ini disebabkan
dialihkannya aliran darah dari sentral ke periIer (kulit dan otot untuk membuang panas
berlebih ke luar tubuh.
1, 4
Respon Fase Akut
Respon Iase akut akibat cedera panas adalah suatu kondisi yang berkesinambungan
yang berkaitan dengan sel-sel endotel, leukosit, dan sel-sel epitel. Mediator yang berperan
dalam peradangan sistemik akibat aktivitas berat adalah interleukin-1. Bermacam-macam
sitokin telah diketahui akan muncul sebagai respon dari panas dari endogen maupun panas
dari lingkungan. Sitokin akan menimbulkan rangsang demam, leukositosis, peningkatan
protein Iase akut, katabolisme otot, stimulasi dari axis hipotalamus-pitiutari-adrenal, dan
aktivasi dari sel-sel leukosit dan endotelial. Interleukin-6 diproduksi selama cedera panas
memodulasi respon inIlamasi akut sistemik dengan mengatur kadar sitokin-sitokin
peradangan. Interleukin-6 juga menstimulasi produksi protein-protein inIlamasi Iase akut dari
protein, protein ini menghambat produksi spesies oksigen reaktiI dan pengeluaran enzim
proteolitik dari leukosit-leukosit yang teraktivasi. Protein Iase akut lainnya menstimulasi
adesi sel endotelial, proliIerasi, dan angiogenesis sehingga berkontribusi juga terhadap
perbaikan dan penyembuhan jaringan. Pada respon Iase akut ini terjadi peningkatan ekspresi
gen pada sel otot, dan tidak ada monosit. Hal ini menunjukkan bahwa onset dari inIlamasi ini
bersiIat lokal.
1, 4
Gambar 1. Urutan kejadian pada progresiIitas pajanan panas (eat stress menjadi hipertermia akibat eat
stroke
4
0,9897088
(pajanan panas)
Respon Fase Akut
Respon
Termoregulator
Respon 0,984.
'asodilatasi kulit
'asokonstriksi
splanknik
Hiperrespon
Fase Akut
Gangguan
respon 0,9
84.
Pengeluaran
nitrit oksida
Produksi
nitrogen dan
oksigen reaktif
Peningkatan
permeabilitas usus
Endotoksemia
Gagal
termoregulator,
shock sirkulasi, dan
0,989740
GE1ALA DAN TANDA
Suhu inti tubuh pada keadaan hipertermia dapat berkisar antara 40
o
C sampai 47
o
C.
Pada keadaan ini bisa terjadi disIungsi otak, gejala ringan pada susunan saraI pusat biasanya
gangguan perilaku, seringkali gejala yang timbul adalah delirium. Kejang biasanya timbul
pada saat pasien sedang dilakukan pendinginan. Pada pasien dengan hipertermia akan
menunjukkan takikardi dan hiperventilasi. Pada kondisi eat-stroke, tekanan arteri karbon
dioksida seringkali kurang dari 20 mmHg. Pada 25 pasien bisa terjadi hipotensi.
4
Komplikasi serius dari hipertermia adalah sindrom disIungsi multi-organ. Sindrom
disIungsi multi organ ini adalah enseIalopati, rhabdomiolisis, gagal ginjal akut, ARDS,
cedera miokard, cedera hepatoselular, inIark saluran cerna, cedera pankreas, komplikasi
pendarahan, terutama koagulasi intarvaskular diseminata, dengan trombositopenia yang aling
menonjol.
1, 3
ETIOLOGI
Tabel 1. Penyebab hipertermia yang paling sering
1
Penyebab Hipertermia
0,9$9740
Saat latihan: beraktivitas pada suhu yang panas dan/atau kelembabab tinggi
Tanpa latihan: konsumsi antikolinergik, antihistamin, antiparkinson, diuretik, Ienotiazin
Hipertermia imbas obat
AmIetamin, kokain, Iencyclidin (PCP, metilendioksimetamIetamin (MDMA: ekstasi, asam
lisergik dietilamid, salisilat, litium, antikolinergik, simpatomimetik.
Sindrom Neuroleptik Maligna
Fenotiazin, butiroIenon, haloperidol, Iluoksetin, loxapin, trisiklik dibenzodiazepin,
metoklopramid, domperidon, tiotixen, molindon.
Sindrom Serotonin
$elective serotonin reuptake inibitors (SSRIs, monoamine oxidase inibitors (MAOIs,
antidepresi trisiklik
Hipertermia Maligna
Anestetik inhalasi, suksinilkolin
Endokrinopati
Tirotoksikosis, Ieokromositoma
Kerusakan susunan saraf pusat
Pendarahan serebral, status epileptikus, cedera hipotalamus.
Penyebab tersering hipertermia adalah eat stroke. Heat stroke dapat dikategorikan
menjadi saat latihan dan tanpa latihan. Heat stroke yang terjadi saat latihan biasanya terjadi
pada individu yang sedang latihan pada suhu yang terlampau tinggi dan/atau kelembaban
tinggi. Hipertermia imbas obat telah menjadi penyebab yang semakin sering sebagai
penyebab hipertermia akibat dari peningkatan dari pemberian resep obat-obat psikotropika.
Hipertermia maligna terjadi pada individu dengan kelainan dari retikulum sarkoplasma otot
lurik yang diturunkan. Kelainan ini menyebabkan peningkatan kadar kalsium intraselular
yang cepat akibat pemberian halotan dan obat anestetik inhalasi lainnya atau karena
pemberian suksinilkolin. Sesaat setelah pemberian obat-obat tersebut dapat menyebabkan
peningkatan suhu, peningkatan metablisme otot, kekakuan otot, rhabdomiolisis, asidosis, dan
instabilitas kardiovaskular. Kondisi yang berbahaya ini jarang ditemukan. Sindrom
neuroleptik maligna terjadi akibat pemberian obat-obat neuroleptik. Sindrom ini ditandai oleh
adanya kekakuan otot, eIek samping ekstrapiramidal, disregulasi otonom, dan hipertermia.
Kelainan ini disebabkan oleh penghambatan dari reseptor dopamin di hipotalamus, yang
akhirnya menyebabkan peningkatan produksi panas dan berkurangnya pembuangan panas.
Sindrom serotonin terjadi akibat pemberian obat-obat SSRI (selective serotonin uptake
inibitors, MAOI, dan obat-obat serotoninergik lainnya. Kondisi ini seringkali tumpang
tindih dengan sindrom neuroleptik maligna, dan dapat dibedakan dengan adanya diare,
tremor, dan mioklonus.
1
DIAGNOSIS
Penegakkan Diagnosis
Sangatlah penting untuk membedakan demam dengan hipertermia karena hipertermia
bisa sangat berbahaya dan tidak memiliki respon terhadap pemberian antipiretik. Pada
keadaan gawat darurat membedakan demam dan hipertermia dapat menjadi sulit. Pada kasus
sepsis sistemik, demam (hiperpireksia onset nya bisa cepat dan suhu tubuh dapat melampaui
40,5
o
C. Hipertermia seringkali didiagnosis berdasarkan kejadian yang tiba-tiba melampaui
kenaikan dari suhu inti tubuh, misalnya pajanan panas atau pengobatan dengan obat-obatan
yang menghambat berkeringat, kulit terasa panas dan kering, sedangkan pada demam kulit
terasa dingin oleh karena vasokonstriksi. Obat antipiretik tidak menurunkan suhu pada
hipertermia, sedangkan pada demam dan bahkan hiperpireksia pemberian aspirin atau
asetaminoIen dengan dosis tepat dapat menurunkan suhu tubuh.
1
Anamnesis. Hipertermia pada umumnya didiagnosis berdasarkan dua kriteria yaitu
didapatkan suhu tubuh yang tinggi dan riwayat yang mengarah kepada hipertermia. Hal yang
perlu ditanyakan adalah peningkatan suhu ini disebabkan oleh suatu aktivitas dalam kondisi
lingkungan yang panas, lembab (eat stroke, atau disebabkan oleh konsumsi obat yang
memiliki eIek samping hipertermia (hipertermia imbas obat. Selain itu, untuk menegakkan
diagnosis perlu ditujukan untuk pengarahan kepada gejala dan tanda yang berhubungan
dengan sindrom hipertermia, seperti gejala ekstrapiramidal yang merupakan karakteristik dari
sindrom neuroleptik maligna, sedangkan ketiadaan dari gejala dan tanda yang menyertai
hipertermia menunjukkan ke arah demam. Untuk menyingkirkan dugaan hipertermia adalah
apabila pasien mengkonsumsi obat antipiretik, kemudian suhu tubuhnya turun walaupun
tidak mencapai suhu normal.
1
Pemeriksaan Fisik. Kronologi kejadian sebelum demam (misalnya, kontak terhadap pasien
yang terinIeksi atau kontak dengan vektor penyakit harus dipastikan. Alat digital untuk
mengukur suhu mulut, membran timpani, dan suhu rektal dapat diandalkan, tapi lokasi yang
sama harus digunakan secara konsisten untuk memonitor demam. Selain itu, yang perlu
diperhatikan adalah bahwa bayi yang baru lahir, pasien lansia, pasien dengan penyakit hepar
kronis atau gagal ginjal, dan pasien yang mengkonsumsi glukokortikoid mungkin memiliki
inIeksi dalam ketiadaan demam.
1
Pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan harus mencakup pemeriksaan darah periIer lengkap;
hitung diIerensial harus dilakukan secara manual atau dengan instrumen sensitiI untuk
identiIikasi bentuk muda atau batang neutroIil, granulasi toksik, dan Dle body, yang
menandakan inIeksi bakteri. Pada beberapa penyakit virus dapat terjadi neutropenia.
1, 4
KLASIFIKASI
Tabel 2. KlasiIikasi suhu
KlasiIikasi Suhu
5
Keadaan Rentang Suhu
Normal 36,5 37,5
o
C
Hipotermia 35,0
o
C
Demam ~ 37,5 38,3
o
C
Hipertermia ~ 37,5 38,3
o
C
Hiperpireksia ~ 40,0 41,5
o
C
Hipertermia diklasiIikasikan apabila suhu inti tubuh melebihi 37.538.3 C, yang
terjadi tanpa perubahan dari set-point suhu tubuh. Suhu tubuh normal pada orang dewasa
dapat mencapai 37,7
o
C pada sore hingga malam hari.
1, 3, 4
PENATALAKSANAAN
Pengobatan hipertermia tergantung dari penyebabnya, penyebab utama dari
hipertermia harus segera dilakukan tindakan. Pada keadaan hipertermia sedang yang
disebabkan eat stroke saat aktivitas dapat ditangani dengan pemberian air minum atau
beristirahat pada tempat yang dingin.
1, 5
Hipertermia yang terjadi akibat pemakaian obat
seringkali ditangani dengan pemberhentian pemakaian obat tersebut atau dengan pemberian
obat yang bekerja berlawanan dengan obat tersebut. Selain itu, hal yang perlu diingat adalah
bahwa obat-obat antipiretik tidak bermanIaat dalam menangani hipertermia.
1
Prinsip utama penatalaksanaan dari hipertermia adalah dengan pendinginan segera dan
suportiI terhadap Iungsi sistem-organ.
4
REFERENSI
1. Fauci AS. Harrison's Principle oI Internal Medicine. In: Longo DL, Kasper DL,
Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, eds. 18th ed: The McGraw-Hill
Companies; 2012.
2. Malignant Hyperthermia. 2011. (Accessed 30 November, 2011, at
http://emedicine.medscape.com/article/1445509-overview.
3. Simon HB. Hyperthermia. The New England Journal oI Medicine 1993;329:483-7.
4. Bouchama A, Knochel JP. Heat Stroke. The New England Journal oI Medicine
2002;346:1978-88.
5. Axelrod YK, Diringer MN. Temperature management in acute neurologic disorders.
Neurol Clin 2008;26:585-603.
6. Bouchama A, Dehbi M. Cooling and hemodynamic management in heatstroke:
practical recommendations. Crit Care 2007;11:54-9.