Professional Documents
Culture Documents
ri Susuhunan Paku Buwono X lahir pada hari Kamis 29 November 1866 dari permaisuri Raden Ajeng Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Nama kecilnya adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.1 Pada tahun 1893, beliau dinobatkan sebagai raja Keraton Surakarta menggantikan ayahnya, dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau ringkasnya Sri Susuhunan Paku Buwono X.2
Para putra Raja tidak dimasukkan ke Sekolah Kasatrian atau HIS umum, melainkan ke Europesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang barat dengan bahasa Belanda), selanjutnya ke MULO (SMP) ke AMS (=SMA) atau HBS (5 tahun), baru masuk ke Perguruan Tinggi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
1 2 3
Suryandari Puspaningrat, 1996. Mengenal Sri Susuhunan Paku Buwono X. Surakarta : Cendrawasih: hal 12. Suryandari Puspaningrat, 1996. ibid, hal 6. Karno, RM, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono keX 1893 1939, 1990, hal 45
Selain mendirikan sekolah-sekolah umum, pada tahun 1905 Sri Susuhunan Paku Buwono X juga mendirikan sekolah khusus untuk mempelajari agama Islam (madrasah) yang dikenal dengan nama Mambaul Ulum. Sekolah itu dibangun di halaman masjid agung. Lulusan sekolah itu dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al Azhar di Kairo, dan beberapa Universitas lain di luar negeri yang menerima siswa lulusan Mamaul Ulum dengan tambahan Kursus pendidikan umum. Sekolah "Pamardi Siwi", "Pamardi putri" dan "Kasatrian" dibiayai dengan uang dari kas keraton. Sedangkan sekolah dasar untuk umum yang tersebar diseluruh Kasunanan Soerakarta, termasuk juga sekolah khusus "Mambaul Ulum" dibiayai dengan uang kas Pemerintah Kasunanan (Rijkskas) di Kantor Kepatihan. Pendirian madrasah Mambaul Ulum merupakan terobosan berani Sri Susuhunan Paku Buwono X, karena menurut staatblad van Nedrland-Indie 1893 diatur larangan pengajaran Islam di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Maka, Mambaul Ulum adalah salah satu simbol perlawanan jihad Sri Susuhunan Paku Buwono X terhadap Belanda
Namun, dalam kondisi tertawan dan tertekan seperti itu, Sri Susuhunan mampu menghadapi segala bentuk tekanan dan memacu mobilitas masyarakat dengan membangkitkan kepiawaiannya bermain simbol politik.5 Menurut Kuntowijoyo : Sri Susuhunan ternyata lebih ahli dalam politik simbolis dari pada Residen Belanda 6 Kuntowijoyo memilah politik simbolis dalam dua bentuk, yaitu simbol personal dan simbol publik.7 Simbol personal meliputi : pemberian gelar, titel, dan hadiah kepada elit politik,8 Simbol publik meliputi : (1) pemeliharaan tradisi budaya Jawa dan Islam; (2) pendirian madrasah dan sekolah umum, (3) udik-udik dan tetirah, yang secara simbolis merupakan pemberian bantuan kepada masjid maupun masyarakat miskin, serta perwujudan simbol kemunikasi antara Sri Susuhunan dengan masyarakat.9
4 5
6 7 8 9
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta, Ombak, 2004, hal 19. Kuntowijoyo, Politik Simbolis Paku Buwana X, 19001915; Simbol Personal dan Simbol Publik, Makalah pada Kongres Nasional Sejarah Tahun 1996 : Ditjen Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, 1215 November 1996, hal 222. Ibid, hal 3. Ibid
Hermanu Joebagio10 melengkapi simbol publik yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan kiprah Paku Buwono X di bidang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, yaitu : (1) Pasar Gede Harjonagoro, (2) bank Bandhalumakso, (3) jembatan Jurug, Bacem dan Mojo yang merupakan akses antara Surakarta, Karanganyar dan Sukoharjo, (4) prasarana jalan dan penerangan (listrik), (5) klinik kesehatan Panti Rogo dan apotik Pantihusodo, yang kemudian menjadi Rumah Sakit Kadipolo, (6) Kebon Rojo Sriwedari dan Taman Tirtonadi, (7) rjksstudiefond, lembaga yang memberi beasiswa sentana dan abdi dalem, (8) Radya Pustaka, (9) rumah Wangkoeng yang merupakan rumah singgah untuk memberi keterampilam penduduk migran. Menurut Hermanu Joebagio, simbol publik merupakan pilar politik Islam yang mendorong kehidupan masyarakat, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran politik mereka. Simbol publik juga merupakan jalan membangun solidaritas sosial, baik dalam konteks komunikasi maupun jejaring politik. Simbol publik menumbuhkan sinergi antara kerabat keraton, intelektual, dan pengusaha muslim.
11 12 13
Joebagio, Hermanu, Biografi Politik Paku Buwana X : Studi Gerakan Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta, Disertasi UIN Kalijaga, 2010, hal 164165
Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 25/XIX/19 Agustus 1989 : Raja Jawa Mengantar Revolusi. Ricklefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press, hal 8083. Darsiti Soeratman, 1990. Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 30/XVIII/24 September 1988 : The Kraton Connection
14
15
16
Dr. Hermanu Jubagio, Merajut Nusantara : menguak Peran Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan di Surakarta, Makalah Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011 Abdullah, Prof.Dr. Taufik, Dari genealogi ke Sejarah: Makna Kehadiran Paku Buwono X dalam Sejarah Bangsa, Makalah Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011
a) Telah sekian banyak buku, tulisan dan makalah ditulis tentang Paku Buwono X; dan telah sekian kali juga seminar membicarakan arti kehadiran dan peranannya bagi kasunanan Surakarta, bagi masyarakat Jawa serta dampak langsung dan tak langsung dalam proses nation formation pada masa-masa awal NKRI. Tetapi penekanan pada peristiwa yang dikaitkan secara genealogis dengan dinamika nation formation menyebabkan Paku Buwono X dibiarkan hanya sebagai aktor saja tanpa pengakuan akan kepahlawanan, meskipun Paku Buwono X yang menciptakan struktur yang congenial bagi pertumbuhan bangsa dan penegakan negara-bangsa. Kehadiran seorang aktor dalam sejarah tidak selamanya dengan cepat bisa dirasakan. Ada kalanya diperlukan sekian puluh tahun bahkan abad, arti kehadirannya dalam dinamika sejarah dipahami dan dirasakan. Ketika masa lalu telah digali lagi dan kecenderungan genealogis berdasarkan ideologi tertentu tidak lagi dipakai maka tampaklah bahwa ada aktor yang memainkan peranan yang penting dalam menyediakan dan memupuk realitas struktural bagi munculnya peristiwa yang bersifat transformatif. Ketika itu pulalah sang aktor tidak lagi dilihat sebagai dirinya saja, tetapi telah dirasakan sebagai personifikasi dari idealisme yang kini masih terus dipupuk. Begitulah halnya dengan Paku Buwono X. Jika pandangan sejarah dilayangkan ke zaman ketika ia memainkan peranan aktif dan pada masa-masa sesudah ia meninggalkan sejarah maka terasalah arti kehadirannya. Ketika itulah ia akan tampak bahwa ia bukan lagi sekadar aktor sejarah saja tetapi tampil sebagai seorang "pahlawan". Begitulah dalam kesadaran dan semoga demikian pula dalam pengakuan resmi negara. b) Sejarah harus mengatakan peranan penting yang dijalankan Keraton Surakarta di bawah Paku Buwono X seperti telah dikaji secara akademik oleh seorang ilmuwan asing George D. Larson dalam sebuah bukunya yang berjudul Prelude to Revolution : Palaces and Politics in Surakarta, 1912-1942 yang merupakan karya penting dalam merekontruksi sejarah nasional kebangsaan Indonesia. c) Sri Susuhunan Paku Buwono X hidup dalam ingatan kolektif masyarakat. Dalam menjalankan perjuangannya telah menciptakan struktur Nation Formation yang pengaruhnya sangat luar biasa bagi perjalanan pergerakan kebangsaan mula awal abad 20 hingga menjelang kemerdekaan. Oleh karena itu Sri Susuhunan Paku Buwono X sadar pada posisinya yang tinggi menghadapi kesulitan sangat tinggi pula. Sehingga, strategi perjuangan simboliknya benar-benar mampu menyulitkan pihak kolonial Belanda untuk menundukkannya. d) Sri Susuhunan Paku Buwono X telah membangun konteks structural yang menguntungkan bagi terjadinya peristiwa yang menjadi bagian yang utuh dari genealogi kebangsaan. Bukan saja mendirikan sekolah dan madrasah, membangun sarana ekonomi, mendidik dan menyediakan tenaga yang kemudian menghidupkan berbagai aktivitas kebudayaan sampai juga mendidik anakanaknya agar kelak bisa memainkan peranan penting dalam konstelasi politik dan sosial yang telah mengalami perubahan. Bahkan salah seorang anaknya (Jenderal Jatikusumo) pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat yang pertama, sedangkan sekian banyak pemuda yang disponsornya kemudian tampil sebagai pemimpin, pemikir dan pembesar Republik Indonesia.
Selanjutnya, Prof.Dr. Nina Herlina Lubis, MS,17 dalam seminar yang sama juga menegaskan bahwa setelah mengkaji secara akademik, maka semua karya akademik yang memuat sejarah Paku Buwono X telah menggunakan sumber primer, baik tulisan maupun foto, yang kredibilitas dan otentisitasnya tidak diragukan lagi. Sehingga, kajian akademik yang telah dilakukan terhadap sejarah Paku Buwono X sebagai referensi untuk pengusulan mendapatkan gelar pahlawan nasional telah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan dan dapat dibuktikan oleh siapapun. Dan jika menggunakan pendekatan komparatif atas para pahlawan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, terkait apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat sehingga seseorang diberikan gelar pahlawan nasional; menurut Prof.Dr. Nina Herlina Lubis pada hakekatnya jasa-jasa yang diberikan Sri Susuhunan Paku Buwono X TELAH MELEBIHI jasa para pahlawan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ditegaskan pula oleh Prof. Dr. Nina Herlina Lubis bahwa untuk mendapatkan anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Republik Indonesia, Sri Susuhunan Paku Buwono X telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009, yaitu telah memenuhi Syarat Umum (Pasal 25) dan Syarat Khusus (Pasal 26). Dengan demikian, dapat dinyatakan sekali lagi bahwa SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO X SANGAT LAYAK UNTUK MENDAPATKAN ANUGERAH GELAR PAHLAWAN NASIONAL dari Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
17
Lubis, Prof. Dr. Nina Herlina, NilaiNilai Kepahlawanan Sri Susuhunan Paku Buwono X, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011.