You are on page 1of 8

Sri Susuhunan Paku Buwono X : Layak Mendapat Anugerah Gelar Pahlawan Nasional

ri Susuhunan Paku Buwono X lahir pada hari Kamis 29 November 1866 dari permaisuri Raden Ajeng Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku Buwono IX. Nama kecilnya adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.1 Pada tahun 1893, beliau dinobatkan sebagai raja Keraton Surakarta menggantikan ayahnya, dengan gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdurahman Sayidin Panotogomo Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Nagari Surakarta Hadiningrat atau ringkasnya Sri Susuhunan Paku Buwono X.2

Paku Buwono X adalah Seorang Visioner


Sri Susuhunan Paku Buwono X mendapat sebutan : Ingkang Wicaksana. Saha Ingkang Minulya; karena memiliki kawaskitan, kebijaksanaan, daya linuwih, daya alus/gaib, berkat Nur Illahi, sehingga bisa melihat zaman yang akan terjadi. Ketika menjelang pergantian abad XIX ke XX, terjadi perkembangan politik etis di Belanda, dimana terdapat pikiran bahwa Belanda mempunyai hutang budi kepada Indonesia; dan untuk membalasnya, Belanda mendirikan banyak sekolah di Indonesia. Sebagai dampaknya, pada awal abad ke XX muncul berbagai studi club yang membangkitkan rasa kebangsaan Indonesia dan menjadi embryo partai-partai politik yang menumbuhkan keinginan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.3 Sri Susuhunan Paku Buwono X dapat melihat perkembangan baru itu dan sadar bahwa generasi muda harus menjadi orang-orang pintar agar dapat mengimbangi kepintaran orang Belanda hingga suatu saat dapat melepaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Atas dasar pemikiran itu, Sri Susuhunan Paku Buwono X mendirikan sekolahsekolah di wilayah Kasunanan Surakarta, yakni : sekolah dasar bagi rakyat di kampung dan desa, Sekolah Kasatrian semacam Hollands Inlandsche School bagi para sentana (sekolah bagi orang Indonesia asli yang diberi bahasa Belanda) di Baluwarti, Sekolah Pamardisiwi (Taman Kanak-kanak) bagi putra-putri dan cucu-cucu Raja Sekolah "Pamardi Putri" setaraf HIS, khusus bagi wanita, anak, cucu dan sentana.

Para putra Raja tidak dimasukkan ke Sekolah Kasatrian atau HIS umum, melainkan ke Europesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang barat dengan bahasa Belanda), selanjutnya ke MULO (SMP) ke AMS (=SMA) atau HBS (5 tahun), baru masuk ke Perguruan Tinggi baik di Indonesia maupun di negeri Belanda.
1 2 3

Suryandari Puspaningrat, 1996. Mengenal Sri Susuhunan Paku Buwono X. Surakarta : Cendrawasih: hal 12. Suryandari Puspaningrat, 1996. ibid, hal 6. Karno, RM, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinoehoen Sri Soesoehoenan Pakoeboewono keX 1893 1939, 1990, hal 45

Selain mendirikan sekolah-sekolah umum, pada tahun 1905 Sri Susuhunan Paku Buwono X juga mendirikan sekolah khusus untuk mempelajari agama Islam (madrasah) yang dikenal dengan nama Mambaul Ulum. Sekolah itu dibangun di halaman masjid agung. Lulusan sekolah itu dapat diterima menjadi siswa pada Universitas Al Azhar di Kairo, dan beberapa Universitas lain di luar negeri yang menerima siswa lulusan Mamaul Ulum dengan tambahan Kursus pendidikan umum. Sekolah "Pamardi Siwi", "Pamardi putri" dan "Kasatrian" dibiayai dengan uang dari kas keraton. Sedangkan sekolah dasar untuk umum yang tersebar diseluruh Kasunanan Soerakarta, termasuk juga sekolah khusus "Mambaul Ulum" dibiayai dengan uang kas Pemerintah Kasunanan (Rijkskas) di Kantor Kepatihan. Pendirian madrasah Mambaul Ulum merupakan terobosan berani Sri Susuhunan Paku Buwono X, karena menurut staatblad van Nedrland-Indie 1893 diatur larangan pengajaran Islam di sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Maka, Mambaul Ulum adalah salah satu simbol perlawanan jihad Sri Susuhunan Paku Buwono X terhadap Belanda

Mampu Berkiprah Walau Ditekan Belanda


Sri Susuhunan Paku Buwono X berhasil memerintah selama 46 tahun, meskipun ditekan secara ekonomi dan politik oleh Belanda, dengan diberlakukannya UndangUndang Desentralisasi 1903 reorganisasi agraria & administrasi pemerintahan dan reorganisasi peradilan, serta diberlakukannya beamtenstaat yang melarang warga masyarakat melakukan kegiatan politik praktis. Kuntowijoyo menyebut Sri Susuhunan Paku Buwono X tertawan di keratonnya sendiri4

Namun, dalam kondisi tertawan dan tertekan seperti itu, Sri Susuhunan mampu menghadapi segala bentuk tekanan dan memacu mobilitas masyarakat dengan membangkitkan kepiawaiannya bermain simbol politik.5 Menurut Kuntowijoyo : Sri Susuhunan ternyata lebih ahli dalam politik simbolis dari pada Residen Belanda 6 Kuntowijoyo memilah politik simbolis dalam dua bentuk, yaitu simbol personal dan simbol publik.7 Simbol personal meliputi : pemberian gelar, titel, dan hadiah kepada elit politik,8 Simbol publik meliputi : (1) pemeliharaan tradisi budaya Jawa dan Islam; (2) pendirian madrasah dan sekolah umum, (3) udik-udik dan tetirah, yang secara simbolis merupakan pemberian bantuan kepada masjid maupun masyarakat miskin, serta perwujudan simbol kemunikasi antara Sri Susuhunan dengan masyarakat.9

4 5

6 7 8 9

Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula, Yogyakarta, Ombak, 2004, hal 19. Kuntowijoyo, Politik Simbolis Paku Buwana X, 19001915; Simbol Personal dan Simbol Publik, Makalah pada Kongres Nasional Sejarah Tahun 1996 : Ditjen Kebudayaan, Depdikbud, Jakarta, 1215 November 1996, hal 222. Ibid, hal 3. Ibid

Ibid, hal 716 Ibid, hal 1622.

Hermanu Joebagio10 melengkapi simbol publik yang dikemukakan Kuntowijoyo dengan kiprah Paku Buwono X di bidang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, yaitu : (1) Pasar Gede Harjonagoro, (2) bank Bandhalumakso, (3) jembatan Jurug, Bacem dan Mojo yang merupakan akses antara Surakarta, Karanganyar dan Sukoharjo, (4) prasarana jalan dan penerangan (listrik), (5) klinik kesehatan Panti Rogo dan apotik Pantihusodo, yang kemudian menjadi Rumah Sakit Kadipolo, (6) Kebon Rojo Sriwedari dan Taman Tirtonadi, (7) rjksstudiefond, lembaga yang memberi beasiswa sentana dan abdi dalem, (8) Radya Pustaka, (9) rumah Wangkoeng yang merupakan rumah singgah untuk memberi keterampilam penduduk migran. Menurut Hermanu Joebagio, simbol publik merupakan pilar politik Islam yang mendorong kehidupan masyarakat, yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kesadaran politik mereka. Simbol publik juga merupakan jalan membangun solidaritas sosial, baik dalam konteks komunikasi maupun jejaring politik. Simbol publik menumbuhkan sinergi antara kerabat keraton, intelektual, dan pengusaha muslim.

Peran dalam Pergerakan Nasional


Selain karya monumental yang masih dirasakan manfaatnya sampai sekarang (pasar, jembatan, masjid, sekolah, dll) Sri Susuhunan Pakubuwono X juga mendukung dan bahkan terjun langsung dalam kancah pergerakan nasional.11 Pada dekade pertama pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwono X terdapat perubahan sosial politik yang cukup besar. Di mana-mana muncul gerakan nasionalisme.12 Cina, India, Mesir dan negara-negara di bawah hegemoni kolonialisme Barat bangkit untuk merdeka. Tak kecuali bangsa kita. Di bawah kepemimpinan Dr. Sutomo terbentuk organisasi Budi Utomo yang menjadi titik awal Kebangkitan Nasional. Perjuangan Budi Utomo ini mendapat apresiasi yang cukup menggembirakan dari Paku Buwono X. Para Pangeran dan bangsawan kraton didukung untuk menjadi pengurus Budi Utomo. Putra-putri Sri Susuhunan banyak yang terlibat aktif berjuang untuk memajukan bangsanya lewat organisasi modern.13 Seiring dengan perjalanan waktu, Kota Solo menjadi pusat gerakan politik Syarikat Islam. Para pemimpin utamanya, Haji Samanhudi, HOS Cokroaminoto, KH Agus Salim dan Abdul Muis dibantu dalam bidang keuangan dan fasilitas kerajaan. Para pejuang nasional ini kerap berhubungan dengan istana. Berkat kepiawaian Sang Raja, aktivitas politik yang mengancam kekuatan penjajah ini berjalan aman. Kedudukan Sri Susuhunan sebenarnya amat dipertaruhkan. Baik Budi utomo maupun Syarikat Islam, keduanya berkembang dan berkibar di kota Surakarta karena jasa baik Sri Susuhunan. Pada masa itu, di Kraton Surakarta memang terjadi connection antara Raja, pangeran beserta para bupati dan pemuka gerakan nasional. Nama-nama Dr. Radjiman Wedyodiningrat, RMA Woeryaningrat, Mr. Wongsonegoro, P. Hangabehi, P Kusumoyudo, P. Sumodiningrat dan lain-lain tercatat punya peranan penting, bahkan sebagian besar di antara mereka tetap berada di pentas pimpinan nasional hingga awal kemerdekaan RI14
10

11 12 13

Joebagio, Hermanu, Biografi Politik Paku Buwana X : Studi Gerakan Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta, Disertasi UIN Kalijaga, 2010, hal 164165
Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 25/XIX/19 Agustus 1989 : Raja Jawa Mengantar Revolusi. Ricklefs, 1995. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Press, hal 8083. Darsiti Soeratman, 1990. Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini. Yogyakarta: Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi 30/XVIII/24 September 1988 : The Kraton Connection

14

Peran dalam Penanaman Wawasan Kebangsaan


Salah satu tindakan PB X melakukan perlawanan politik pada Belanda adalah melalui kunjungan ke daerah sebagai perjalanan incognito. Bahasa istana menyebut udik-udik dan tetirah. Perjalanan incognito dibalut dengan pemberian bantuan, cindera mata, dan gelar kerajaan kepada tokoh masyarakat serta tokoh politik, bahkan Sri Susuhunan menginap di daerah itu untuk menghormati pejabat setempat. Menurut Kuntowijoyo, perjalanan incognito adalah bagian dari politik simbolis, karena politik yang dimainkan PB X sejak tahun 1910 [sic.] bermakna sosial serta menggugah nasionalisme rakyat daerah yang dikunjungi. Perjalanan incognito mengandung unsur penyamaran dan nuansa politis yang ditujukan untuk menampilkan kebesaran PB X. Daerah yang dikunjungi tidak terbatas di Surakarta atau di Jawa saja, bahkan ke berbagai daerah di Indonesia yakni: Yogyakarta, Magelang, Temanggung, Purbalingga, Ambarawa, Salatiga, Semarang, Demak, Pekalongan, Kutoarjo, Cepu, Maos, Cilacap, Banyumas, Purwokerto, Madiun, Kediri, Surabaya, Gresik, Pasuruan, Madura, Malang, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Batavia, Banten, Bogor, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Banyaknya tempat yang dikunjungi dikaitkan dengan sistem beamtenstaat dan dactyloscopy yang merupakan teropong pemerintah Belanda untuk mengawasi gerak gerik orang yang dicurigai maka perjalanan incognito mencitrakan raja yang memiliki kebebasan dan kemandirian. Berpijak pada sistem beamtenstaat dan sistem dactyloscopy maka perjalanan dengan rombongan besar dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Kedatangan Sri Susuhunan di suatu daerah dapat memacu kerumunan massa, karena adanya keinginan masyarakat untuk melihat rombongan raja. Munculnya kerumunan memungkinkan tumbuhnya dialog antar orang yang berkerumun. Dalam perspektif pemikiran Islam kerumunan massa merefleksikan kebebasan yang seharusnya dimiliki setiap warga masyarakat. Mereka mulai memikirkan tentang selfreliance (kemandirian), self-sufficiency (swasembada), self defence (swapertahanan), serta kreativitas dalam usaha dan perdagangan. Beamtenstaat dan dactyloscopy bila ditempatkan pada pemikiran Vilfredo Pareto menunjukkan bahwa Belanda tidak mampu menahan gerakan politik keagamaan meskipun telah dilakukan pengawasan secara ketat, baik tingkat lokal maupun pusat. Pada dasarnya gerakan politik keagamaan meningkatkan kualitas politik Muslim, karena memacu mereka berkomunikasi menghadapi kenyataan sosial-ekonomi maupun sosial-politik. Komunikasi dan tukar pikiran adalah pencerahan yang mereproduksi self-image (citra diri), dan membuka cakrawala nahdah (kebangkitan) untuk menghadapi kolonialisme Belanda yang memicu terjadinya kemiskinan struktural. Berpijak pada perjalanan incognito, secara simbolik terkandung keinginan menyatukan kelas sosial yang ada dalam kerumunan menjadi sebuah kekuatan politik berbingkai Sarekat Islam dan Boedi Oetomo. Tindakan ini yang paling rasional yang dapat dicapai, karena PB X mustahil menjadi pengurus ataupun anggota organisasi politik. Masyarakat paternalistik akan selalu mengikuti bingkai sang patron (raja). Artinya, citra politik patron dapat memacu rakyat untuk mengikuti orientasiorientasi politik tersebut.

Peran dalam Penyiapan SDM Perjuangan


Sri Susuhunan Paku Buwono X sangat berperan dalam menyiapkan SDM yang kelak menjadi martir perjuangan kemerdekaan RI. Inilah peranan nyata Sri Susuhunan di balik panggung politik nasional. Posisinya sebagai seorang raja Jawa, jelas menjadi situasi yang sangat sulit untuk terjun sendiri di medan perjuangan. Untuk itulah, peranan sebagai pengayom dan pendorong gerakan kemerdekaan, beliau mainkan dengan sangat baik dengan mempersiapkan putera-puteri dan kerabat beliau agar terus menggerakkan perjuangan di manapun dan dalam lapangan tugas apapun. Putera-putera Sri Susuhunan seperti Hangabehi giat menjadi pengurus Sarekat Islam dan Kusumoyudo sebagai aktivis Boedi Oetomo. Sri Susuhunan Paku Buwono X juga memprakarsai berdirinya Kepanduan Taruna Kembang yang merupakan aktivitas terselubung guna memberikan pendidikan dasar kemiliteran. Anggotanya diwajibkan bagi putera-putera pangeran dan abdi dalem kraton. Pemerintah Kolonial kemudian membekukan Taruna Kembang yang dicurigai akan mengarah pada aktivitas mobilisasi kekuatan pemuda. Kanjeng Pangeran Suryobroto, alumni Akademi Militer Perwira Cadangan atau Vor Reserve Officier Nederland yang memimpin Taruna Kembang disingkirkan Belanda keluar dari kraton dengan dalih tugas menjaga makam Paku Buwono VI di Ambon hingga tutup usia. Menyadari semakin dalamnya cengkeraman kekuasaan Belanda, Sri Susuhunan Paku Buwono X juga melibatkan peran lapisan elit intelektual dalam usaha membentuk pemerintahan yang kuat. Sri Susuhunan Paku Buwono X kemudian menyiapkan sumber daya manusia kraton dengan menyekolahkan putera-putera hingga ke Negeri Belanda. Selain Suryobroto, Sri Susuhunan Paku Buwono X juga menyekolahkan puteranya Jatikusumo dan GPH Purbonagoro ke Akademi Militer Breda. Lalu cucucucunya seperti Joyokusumo, Sumodiningrat dan Hadinagoro meng ambil studi ilmu hukum ke Leiden Nederland. Belum lagi para pejabat kraton seperti Rajiman Wedyodiningrat diberi tugas membangun prasarana kesehatan rakyat, Mr. Wongsonagoro menata bidang hukum dan pertanahan serta Danunagoro di bidang Pekerjaan Umum. Kelak saat revolusi 1945, mereka yang mendapatkan terpaan pendidikan di era Paku Buwono X memiliki peran besar dalam penyiapan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dr. Rajiman tercatat menjadi Ketua BPUPKI, Prof. Notonagoro mendalami filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara RI, Prof. Dr. Soepomo kemudian menjadi tokoh sentral dalam penyusunan UUD 1945, Jenderal Jatikusumo sebagai ahli strategi militer dan KASAD pertama, Prof. Dr. Purbocaroko mendalami kebudayaan dan Purbonagoro menjabat Sekretaris Militer Presiden RI yang pertama.

Layak Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional


Keberanian Sri Susuhunan Paku Buwono X melawan tekanan Belanda, kepiawaiannya bermain politik simbolis, peranan nyatanya di balik pergerakan dan panggung politik nasional serta keberhasilannya mewujudkan pembangunan berbagai prasarana dan sarana tersebut jelas JAUH MELEBIHI TUGAS YANG DIEMBANNYA, sebagai seorang raja di era penjajahan Belanda. Atas dasar itu, SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO X LAYAK UNTUK DIANUGERAHI GELAR PAHLAWAN NASIONAL. Kelayakan tersebut ditegaskan dalam Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X pada tanggal 7 Juni 2011 di Auditoriun Museum Nasional. Dr. Hermanu Joebagio15 dalam seminar tersebut menyatakan bahwa Tindakan Kepahlawanan Paku Buwono X, antara lain adalah sebagai berikut: a) Paku Buwono X telah menciptakan sebuah struktur untuk mobilitas sosial masyarakat didalam melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan melalui kebijakan yang direalisasikan dengan mendirikan, mendukung dan berbuat nyata untuk bangsa dan negara yang kelak menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. b) Hasil atau peninggalan tindakan kepahlawanan Paku Buwono X pada masa lalu benar-benar masih dapat disaksikan dan dinikmati atau diteladani oleh bangsa Indonesia di masa sekarang dengan wujud monumen fisik sebagai sumber kebanggaan bangsa Indonesia. c) Melalui gerakan politik simbolis maka Sri Susuhunan Paku Buwono X telah membangkitkan harga diri bangsa dengan melalui perjalanan politik ke berbagai daerah dari Jawa sampai daerah-daerah di luar Jawa yang kemudian menjadi wilayah NKRI sekarang. Perjalanan politik harus dipahami dalam konteks simbolsimbol politik dimana kehadiran seorang raja di tengah-tengah rakyatnya adalah legitimasi masih adanya kekuatan pribumi. Sehingga, perjalanan politik tersebut merupakan spirit yang paling dahsyat saat itu dimana rakyat tetap dibangkitkan kesadarannya untuk menghadapi kolonialisme Belanda. d) Paku Buwono X adalah sosok yang bukan saja sebagai actor tetapi sekaligus sang sutradara bagi sebuah perjalanan sejarah bangsa di masanya karena telah berhasil menciptakan capacity building dan berhasil membangun social networking yang memicu bagi mudahnya pertumbuhan gerakan-gerakan kebangsaan mulai dari Budi Utomo sampai gerakan-gerakan kebangsaan di akhir tahun 1930-an. Prof.Dr. Taufik Abdullah16 sejarawan senior, mantan Ketua LIPI 2000-2002 dalam seminar yang sama menyatakan :

15

16

Dr. Hermanu Jubagio, Merajut Nusantara : menguak Peran Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan Kebangsaan di Surakarta, Makalah Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011 Abdullah, Prof.Dr. Taufik, Dari genealogi ke Sejarah: Makna Kehadiran Paku Buwono X dalam Sejarah Bangsa, Makalah Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011

a) Telah sekian banyak buku, tulisan dan makalah ditulis tentang Paku Buwono X; dan telah sekian kali juga seminar membicarakan arti kehadiran dan peranannya bagi kasunanan Surakarta, bagi masyarakat Jawa serta dampak langsung dan tak langsung dalam proses nation formation pada masa-masa awal NKRI. Tetapi penekanan pada peristiwa yang dikaitkan secara genealogis dengan dinamika nation formation menyebabkan Paku Buwono X dibiarkan hanya sebagai aktor saja tanpa pengakuan akan kepahlawanan, meskipun Paku Buwono X yang menciptakan struktur yang congenial bagi pertumbuhan bangsa dan penegakan negara-bangsa. Kehadiran seorang aktor dalam sejarah tidak selamanya dengan cepat bisa dirasakan. Ada kalanya diperlukan sekian puluh tahun bahkan abad, arti kehadirannya dalam dinamika sejarah dipahami dan dirasakan. Ketika masa lalu telah digali lagi dan kecenderungan genealogis berdasarkan ideologi tertentu tidak lagi dipakai maka tampaklah bahwa ada aktor yang memainkan peranan yang penting dalam menyediakan dan memupuk realitas struktural bagi munculnya peristiwa yang bersifat transformatif. Ketika itu pulalah sang aktor tidak lagi dilihat sebagai dirinya saja, tetapi telah dirasakan sebagai personifikasi dari idealisme yang kini masih terus dipupuk. Begitulah halnya dengan Paku Buwono X. Jika pandangan sejarah dilayangkan ke zaman ketika ia memainkan peranan aktif dan pada masa-masa sesudah ia meninggalkan sejarah maka terasalah arti kehadirannya. Ketika itulah ia akan tampak bahwa ia bukan lagi sekadar aktor sejarah saja tetapi tampil sebagai seorang "pahlawan". Begitulah dalam kesadaran dan semoga demikian pula dalam pengakuan resmi negara. b) Sejarah harus mengatakan peranan penting yang dijalankan Keraton Surakarta di bawah Paku Buwono X seperti telah dikaji secara akademik oleh seorang ilmuwan asing George D. Larson dalam sebuah bukunya yang berjudul Prelude to Revolution : Palaces and Politics in Surakarta, 1912-1942 yang merupakan karya penting dalam merekontruksi sejarah nasional kebangsaan Indonesia. c) Sri Susuhunan Paku Buwono X hidup dalam ingatan kolektif masyarakat. Dalam menjalankan perjuangannya telah menciptakan struktur Nation Formation yang pengaruhnya sangat luar biasa bagi perjalanan pergerakan kebangsaan mula awal abad 20 hingga menjelang kemerdekaan. Oleh karena itu Sri Susuhunan Paku Buwono X sadar pada posisinya yang tinggi menghadapi kesulitan sangat tinggi pula. Sehingga, strategi perjuangan simboliknya benar-benar mampu menyulitkan pihak kolonial Belanda untuk menundukkannya. d) Sri Susuhunan Paku Buwono X telah membangun konteks structural yang menguntungkan bagi terjadinya peristiwa yang menjadi bagian yang utuh dari genealogi kebangsaan. Bukan saja mendirikan sekolah dan madrasah, membangun sarana ekonomi, mendidik dan menyediakan tenaga yang kemudian menghidupkan berbagai aktivitas kebudayaan sampai juga mendidik anakanaknya agar kelak bisa memainkan peranan penting dalam konstelasi politik dan sosial yang telah mengalami perubahan. Bahkan salah seorang anaknya (Jenderal Jatikusumo) pernah menjadi Kepala Staf Angkatan Darat yang pertama, sedangkan sekian banyak pemuda yang disponsornya kemudian tampil sebagai pemimpin, pemikir dan pembesar Republik Indonesia.

Selanjutnya, Prof.Dr. Nina Herlina Lubis, MS,17 dalam seminar yang sama juga menegaskan bahwa setelah mengkaji secara akademik, maka semua karya akademik yang memuat sejarah Paku Buwono X telah menggunakan sumber primer, baik tulisan maupun foto, yang kredibilitas dan otentisitasnya tidak diragukan lagi. Sehingga, kajian akademik yang telah dilakukan terhadap sejarah Paku Buwono X sebagai referensi untuk pengusulan mendapatkan gelar pahlawan nasional telah memenuhi kaidah-kaidah keilmuan dan dapat dibuktikan oleh siapapun. Dan jika menggunakan pendekatan komparatif atas para pahlawan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, terkait apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat sehingga seseorang diberikan gelar pahlawan nasional; menurut Prof.Dr. Nina Herlina Lubis pada hakekatnya jasa-jasa yang diberikan Sri Susuhunan Paku Buwono X TELAH MELEBIHI jasa para pahlawan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Ditegaskan pula oleh Prof. Dr. Nina Herlina Lubis bahwa untuk mendapatkan anugerah gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah Republik Indonesia, Sri Susuhunan Paku Buwono X telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2009, yaitu telah memenuhi Syarat Umum (Pasal 25) dan Syarat Khusus (Pasal 26). Dengan demikian, dapat dinyatakan sekali lagi bahwa SRI SUSUHUNAN PAKU BUWONO X SANGAT LAYAK UNTUK MENDAPATKAN ANUGERAH GELAR PAHLAWAN NASIONAL dari Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

17

Lubis, Prof. Dr. Nina Herlina, NilaiNilai Kepahlawanan Sri Susuhunan Paku Buwono X, Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional Bagi Sri Susuhunan Paku Buwono X, Auditorium Nasional Jakarta, 7 Juni 2011.

You might also like