You are on page 1of 5

kajian teori Marvin Harris dan Leslie Alvin White

1. Posisi teoritis Marvin Harris dan Leslie A. White mengenai kajian budaya. Cultural Materialism (CM) yang diusung Harris merupakan scientific research strategy yang mengutamakan proses-proses material, perilaku, dan etik dalam upaya menjelaskan perkembangan sistem sosial budaya manusia. Harris mengatakan bahwa tugas utama antropologi adalah untuk memberikan penjelasan kausalitas bagi perbedaan dan persamaan dalam cara berfikir dan perilaku kelompok-kelompok manusia. CM memegang teguh prinsip kausalitas dalam sistem sosial budaya dan untuk itu kita harus mempelajari kondisi dan kendala material yang mempengaruhi eksistensi manusia. Untuk bertahan hidup, manusia harus makan, berlindung, dan reproduksi; ini merupakan hal penting bagi eksistensi manusia. CM tidak berfikir bahwa semua perubahan budaya merupakan hasil dari kontradiksi dialektis tetapi sebagai hasil dari akumulasi unsur-unsur relevan melalui proses trial and error. LAW melihat budaya sebagai seperangkat fenomena (bendawi maupun kejadian) yang tergantung pada kemampuan mental khas species manusia yang disebut simboling. Secara spesifik, budaya terdiri dari objek materi, kepercayaan, dan sikap yang berfungsi dan beroperasi dalam konteks yang ditandai dengan simboling. Budaya tidak lain adalah upaya melanjutkan kehidupan: mekanisme yang memberikan subsistensi, perlindungan, regulasi, dan rekreasi. Untuk ini semua jelas diperlukan energi. Jadi, fungsi utama budaya adalah untuk menghimpun dan mengontrol energi demi kelangsungan hidup manusia. 2. Persamaan Teori Marvin Harris dan Teori Leslie A. White LAW berpendapat bahwa salah satu ciri penting budaya adalah kemampuan pengalihannya (transmissibility) yang menggunakan sarana non-biologissebuah mekanisme sosial. Melalui mekanisme inilah budaya disosialisasikan, sehingga budaya adalah warisan sosial. Tidak berbeda dengan CM. Materialisme budaya melihat kelangsungan hidup populasi tergantung pada seperangkat interaksi yang dipelajari secara sosial dan yang kemudian ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Repertoar interaksi ini adalah apa yang disebut budaya. Konjungtur dari suatu populasi, sebuah masyarakat, dan budaya ini disebut sistem sosial budaya yang kemudian membentuk dan mengikat perilaku dan pikiran masyarakat pendukung sistem tersebut. Sub-sistem teknologi (C.ev) terdiri dari aspek material, fisik, dan kimiawi termasuk juga berbagai teknik yang digunakan manusia untuk berinterkasi dengan habitat alamiahnya. Pada sub-sistem ini kita bisa menemukan perkakas untuk produksi, sumber dan alat bertahan hidup, alat dan bahan untuk tempat tinggal, dan alat untuk perlindungan diri sekaligus alat untuk menyerang. Kalau dilihat, walaupun White memaparkannya secara umum tentang aspek yang terlibat dan teknik yang di gunakan, tapi secara substansi sama dengan CM, yakni Mode of production: mencakup teknologi dan aktivitas yang dilakukan untuk mengendalikan produksi kebutuhan dasar. Namun disitu tidak disebutkan oleh White tentang pengendalian ukuran populasi seperti CM pada Mode of reproduction yang mencakup teknologi dan aktivitas untuk mengendalikan ukuran populasi. Dan kedua komponen CM ini juga lebih ditegaskan bahwa keduanya dipengaruhi dan ditentukan oleh kombinasi varibel-variabel ekologi, teknologi, dan demografi Sub-sistem sosiologis (C.ev) mencakup seluruh relasi interpersonal yang berwujud pola perilaku, baik individual maupun kolektif. Dalam kategori ini kita bisa temukan kategori sistem sosial, kekerabatan, ekonomi, etik, politik, militer, struktur dan hirarki religius, kedudukan dan peran, rekreasi, dan yang lainnya. Pada intinya sama saja, CM dengan Strukturnya ditandai oleh pengorganisasian dan pengendalian aspek-aspek budaya dalam ekonomi domestik (kekerabatan, pembagian kerja, dan sebagainya) dan ekonomi politik.

Domestic dan political economy ini berkaitan dengan pengendalian atas ekonomi domestik oleh agent/otoritas tertentu (bisa pemerintah, kepala adat, dsb) Sub-sistem ideologi (C.ev) mencakup ide, kepercayaan, pengetahuan, dan lain-lain, yang terartikulasi dalam ucapan atau bentuk simbol lain. Mitologi dan teologi, legenda, filsafat, ilmu, kearifan masyarakat, juga common sense termasuk dalam kategori ini. Seperti halnya superstruktur dalam CM yang merupakan segmen simbolik dan ideologis dari budaya. Ideologi mencakup norma berkaitan dengan bagaimana organisasi sosial dan politik distrukturkan. Lebih lanjut, ideologi ini juga mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakat. Superstruktur mencakup ritual, tabu, dan simbol. Pengaruh besar diberikan oleh sub-sistem teknologi (C.ev) karena manusia sangat tergantung pada aspek material ini: manusia harus makan, perlu tempat berlindung dan bisa mempertahankan diri dari berbagai hal yang bisa mengancam hidupnya. Seperti halnya pada CM yang menekankan pentingnya infrastruktur sebagai faktor determinan bagi struktur dan superstruktur terkait dengan survival dan adaptasi terhadap alam. LAW memandang bahwa teknologi merupakan kunci pertumbuhan dan perkembangan budaya. Manusia adalah sistem materi, bumi juga sistem materi dan teknologi merupakan sistem mekanis yang mengekspresikan dua sistem materi ini. Dalam konteks ini Harris tidak menegaskan bahwa manusia dan bumi merupakan sistem materi, tapi ia menegaskan bahwa infrastrukturlah yang jelas akan membawa dampak utama pada yang lainnya. Artinya, jika terjadi perubahan pada struktur dan superstruktur, maka pertama yang harus dilihat adalah elemen infrastrukturnya. Sub-sistem sosiologis (C.ev) bisa diartikan sebagai upaya terorganisasi manusia dalam menggunakan segenap instrumen subsistensi, proteksi, bertahan dan menyerang. Dengan kata lain sistem sosial merupakan yang menjalankan fungsi dari sistem teknologi. Sama halnya dengan Struktur (CM) yang ditandai oleh pengorganisasian dan pengendalian aspekaspek budaya dalam ekonomi domestik (kekerabatan, pembagian kerja, dan sebagainya) dan ekonomi politik. Baik dari Cultural Materialism maupun Cultural Evolution, kedua isi teori memiliki relasi probabilistik jika dikaitkan dengan esensi dari isi teori masing-masing. 3. Perbedaan Teori Marvin Harris dan Teori Leslie A. White Harris mempertimbangkan perubahan lingkungan yang akan mempengaruhi bio-psikologis manusia dalam survivalnya., sementara White dengan beragam instrument teknologi, energi dihimpun, dikendalikan, dan dimanfaatkan untuk bekerja dan untuk kemajuan peradaban dan budaya manusia. White menjelaskan, berfungsinya budaya secara utuh tergantung pada besaran energi yang dihimpun dan bagaimana energi tersebut dimanfaatkan untuk kemajuan, sedangkan Harris tidak bisa menjelaskan lebih lanjut tentang energi untuk kemajuan budaya. Harris lebih ke arah bagaimana budaya itu terbentuk oleh sistem organisasi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan. Rumus itu kemudian diterjemahkan LAW menjadi: budaya berkembang/berevolusi sebanding dengan energi yang himpun dan dimanfaatkan per kapita per tahun atau sebanding dengan efisiensi dan efektivitas teknologi untuk memanfaatkan energi semakin tinggi derajat dan tingkat perkembangan budaya bervariasi tergantung pada tingkat efisiensi dan efektivitas teknologi yang digunakan. Dengan demikian, perkembangan budaya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sebagaimana juga oleh sejumlah energi yang berhasil dihimpun dan dimanfaatkan. Jika dibandingkan, Harris tidak berpotensi menjelaskan perkembangan budaya berdasarkan efektifitas dan efisiensi energi dibanding White. Apalagi jika dihubungkan dengan Hukum termodinamika yang berbanding terbalik dengan teori White, disebabkan oleh materi yang menjadi lebih terorganisasi dan energy menjadi lebih terkonsetrasi.

LAW membedakan lima tahap perkembangan budaya berdasarkan energi yang digunakan. Sedangkan Harris tidak menjelaskan tahapan perkembangan budaya berdasarkan energi yang digunakan.

4. Visi Marvin Harris dan Leslie A. White mengenai masa depan kajian budaya dalam antropologi. Visi Marvin Harris mengenai masa depan kajian budaya dalam antropologi. Harris melihat budaya lebih merupakan sebuah sistem, yang masing-masing terkait satu sama lain atau interrelasi sistemik. CM berusaha menjelaskan aspek-aspek pengorganisasian politik dan ekonomi (structure) dan simbol dan ideologi (superstructrure) sebagai akibat kombinasi berbagai variabel yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan bio-psikologi (modes of production and reproduction) dalam infrastructure. Sehingga infrastruktur inilah yang pertama-tama akan menentukan eksistensi manusia, terutama berkaitan dengan bagaimana cara manusia bertahan hidup dan beradaptasi terhadap lingkungan. Jadi kita bisa menyebutkan bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai sistem sosial; sistem yang terdiri atas elemen yang saling berkaitan muncul dari adanya kebutuhan dasar (basic needs) seluruh manusia: makanan, rumah, kebutuhan biologis dan psikologis, dsb. Dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar ini, manusia mengembangkan kebutuhan sekunder seperti komunikasi, ko-operasi, dsb. Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut, Harris mengembangkan kerangka konseptual tentang masyarakat sebagai suatu sistem yang terintegrasi, terkoordinasi, yang dihasilkan manusia untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni Mode of production (mencakup teknologi dan aktivitas yang dilakukan untuk mengendalikan produksi kebutuhan dasar) dan Mode of reproduction (mencakup teknologi dan aktivitas untuk mengendalikan ukuran populasi). Pengutamaan infrastruktur ini sebagai akibat dari kenyataan bahwa masyarakat mengadaptasikan diri terhadap lingkungan melalui cara memproduksi makanan dan mengatur populasi agar keseimbangan makanan dan populasi terjaga. Jadi ketika kita melihat perubahan pada superstruktur atau struktur suatu masyarakat, pertama kali kita harus melihat elemen inftrastrukturnya. Namun, Cutural Materialism tidak mengatakan bahwa tidak semua perubahan sosial budaya berawal dari perubahan infrastruktur, sehingga struktur maupun superstruktur merupakan elemen pasif, kedua aspek ini juga mempengaruhi infrastruktur. Namun bila perubahan pada superstruktur atau struktur tidak kompatibel dengan dengan modes of production dan reproduction yang ada, maka perubahan superstruktur atau struktur tidak akan berjalan baik. Dengan determinisme infrastruktur ini juga Harris mengatakan bahwa antropologi harus memusatkan perhatian pada kajian "strategic priority," karena bila tujuan aktivitas keilmuan adalah untuk mencari hukum universal dan generalisasi, maka kita harus memulainya dengan mempelajari kendala dan konstanta lingkungan. Inilah yang menjadi masalah kontroversi baik pada waktu CM mulai diperkenalkan pada 1970-an maupun sampai sekarang. Ketika CM mulai diperkenalkan pada 1970an, kalangan antropologi Amerika terbagi dua kelompok: (1) mereka yang beranggapan bahwa kajian antropologi hendaknya mengikuti kajian ilmu-ilmu alam dan (2) mereka yang beranggapan bahwa antropologi merupakan disiplin humaniora, seperti dikatakan Geertz bahwa, antropologi bukanlah experimental science yang berupaya mencari hukum tetapi ilmu interpretive yang mencari makna. Jika antropologi menngikuti kajian ilmu alam dengan experimental design research, maka antropologi dalam kaitannya dengan masyarakat adalah tidak pasti dan tidak bisa mengontrol masyarakat yang merupakan fungsi agama. Walaupun begitu ada cabang dari antropologi yang mengkhususkan diri pada perubahan kebudayaan yang direncanakan dinamakan Antropologi Terapan.

Menurut R.Brown : Antropologi Terapan harus berlandaskan pada antropologi teori, terutama pada pengembangan ilmu-ilmu murni atau teori yaitu dengan adanya penemuan-penemuan atau formulasi prinsip-prinsip integrasi sosial yang fundamental. Antropologi Terapan berisikan konsep-konsep umum yang antara lainnya kebudayaan, integrasi budaya, dinamika budaya, nilai-nilai struktur social, hubungan interaksi individu dan motivasi-motivasi. Menurut Hauser : Perbedaan antara antropologi teori dengan antropologi terapan terhadap terhadap ilmu sosial secara umum yaitu tidak dalam beberapa point atau metode-metode atau dalam gejala-gejala alam yang diselidiki, tetapi lebih pada masalah-masalah yang terseleksi dengan ditandai suatu penelitian yang langsung pada objek-objek yang berjalan dalam wktu yang lama. Ya, dari berbagai asumsi, bisa kita lihat bahwa antropologi adalah ilmu yang kontekstual. Artinya, kita harus bisa menempatkan posisi kita antara peneliti dan objek yang diteliti. Jadi, baik antropologi itu eksak ataupun interpretive, buat saya itu adalah suatu metode yang bersifat teknis saja dan bukan untuk diperdebatkan. Karena elemen-elemen kebudayaan dibentuk atau diabstraksikan dari batuan dasar pemikiran dan perilaku individu yang berubah-ubah. Sejurus dengan ini, maka dalam pandangan materialisme budaya, generalisasi tidak bisa digunakan. Partikularitas budaya yang tidak terbatas membuat generalisasi dalam kajian budaya jadi mustahil. Satu kesimpulan umum tentang suatu kebudayaan tidak selalu berlaku pada kebudayaan lain karena perbedaan-perbedaan mendasar antara keduanya dan perubahan-perubahan yang kadang berlangsung cepat di dalamnya. Dan lagi, berapa banyak bukti kebudayaan yang diperlukan untuk menggeneralisasi sebuah kesimpulan? Lima? Lima puluh? Tak ada kepastian dan kejelasan. Itu sebabnya, tak akan ada hukum budaya yang bersifat pasti dan tetap, sebagaimana hukum alam dalam ilmu fisika misalnya. Dalam usaha mengembangkan teori materialisme budaya, Marvin Harris mengemukakan adanya infrastruktur, struktur, dan suprastruktur dalam sistem sosio-budaya berikut hubungan kompleks antara ketiganya. Materialisme budaya jelas menempatkan infrastruktur sebagai faktor determinatif dalam hubungannya dengan struktur dan suprastruktur. Tetapi Marvin menolak jika dengan pandangan ini materialisme budaya dipandang sebagai menggunakan prinsip teleologis, yaitu prinsip yang menafikan proses yang bersifat acak dalam evolusi budaya, atau bahwa evolusi budaya hanya ditentukan searah oleh infrastruktur sebagai satu-satunya faktor. Marvin Harris menegaskan, jika prinsip materialisme budaya ini akan disebut teleologis, itu hanya bisa diterima sejauh dalam pengertian terbatas dari evolusionisme Darwinian. Sebagaimana dalam biologi, kata Harris, dalam kebudayaan pun berlangsung inovasi dan seleksi (menerima atau menolak bentuk kebudayaan tertentu). Dengan demikian, dalam pandangan materialisme budaya, infrastruktur, struktur, dan suprastruktur tidaklah sejajar dalam sistem sosio-budaya. Infrastruktur jelas lebih determinatif. Tetapi, ini tidak berarti bahwa infrastruktur bisa bekerja tanpa struktur dan suprastruktur. Mengatakan bahwa struktur dan suprastruktur tergantung pada infrastruktur tidak berarti mengatakan bahwa dalam proses kesinambungan dan perubahan kebudayaan, seleksi budaya hanya berlangsung dari infrastruktur ke suprastruktur. Sebaliknya, struktur dan suprastruktur secara aktif dapat memberikan kontribusi pada kesinambungan dan perubahan dalam infrastruktur sistem kebudayaan. Hanya saja, hal itu bisa berlangsung dalam batas-batas dan kemungkinan-kemungkinan yang inheren dalam lingkungan demografi, teknologi, ekonomi, dan lingkungan kebudayaan itu sendiri.

Munculnya gerakan feminisme dapat dijadikan contoh. Pandangan idealistik akan mengatakan bahwa feminisme digerakkan oleh suprastrutkur, yaitu kesadaran tentang adanya ketidakadilan dan ketimpangan gender dalam kebudayaan. Materialisme budaya membantah pandangan idealistik ini: feminisme justru digerakkan oleh infrastruktur, yaitu oleh produksi dan reproduksi secara massif gagasan feminisme itu sendiri lewat teknologi percetakan dan teknologi informasi (radio, televisi, internet, dll.). Perkembangan teknologi telah memungkinkan pelibatgandaan dan pengerasan suara feminisme secara massif ke seluruh penjuru, melampau batas-batas ruang dan waktu sebelumnya. Dengan cara itu, sosialisasi pandangan tentang ketidakadilan dan ketimpangan gender dimungkinkan, sehingga muncullah gagasan dan gerakan feminisme. Namun demikian, adalah jelas bahwa gagasan dan gerakan feminisme akhirnya memberikan umpan balik pada transformasi infrastruktural. Munculnya organisasi-organisasi sosial yang mendedikasikan dirinya pada perjuangan feminisme, berikut jaringan sosial dan produk (aktivitas) yang dihasilkannya, adalah contohnya yang nyata. Dengan demikian, meskipun menempatkan infrastruktur sebagai faktor determinatif, materialisme budaya memandang bahwa hubungan determinatif antara infrastruktur, struktur, dan suprastrutkur sesungguhnya bersifat dialektis. Pola hubungan itu tidak searah, melainkan dua arah dan bahkan saling tergantung satu sama lain. Dengan dialektika hubungan ini, jelaslah bahwa materialisme budaya tidak menafikan peranan struktur dan suprastruktur dalam menjaga kesinambungan, menggerakkan perubahan, dan mewujudkan transformasi kebudayaan. Visi Leslie A. White mengenai masa depan kajian budaya dalam antropologi. Perkembangan budaya sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi sebagaimana juga oleh sejumlah energi yang berhasil dihimpun dan dimanfaatkan. Semakin tinggi efektifitas dan efisiensi teknologi untuk pemanfaatan energi, maka semakin tinggi pula tingkat budaya atau peradabannya. Jadi, derajat dan tingkat perkembangan budaya bervariasi tergantung pada tingkat efisiensi dan efektivitas teknologi yang digunakan. budaya berkembang/berevolusi sebanding dengan energi yang himpun dan dimanfaatkan per kapita per tahun atau sebanding dengan efisiensi dan efektivitas teknologi untuk memanfaatkan energi semakin tinggi Lantas dari ketiga premis ini LAW merumuskan hukum perkembangan peradaban dan budaya sebagai berikut: ExTC C= tingkat perkembangan budaya. E= energi yang himpun dan dimanfaatkan per kapita per tahun. T= kualitas efisiensi dan efektivitas teknologi yang digunakan untuk menghimpun dan memanfaatkan energi. Dengan asumsi faktor habitat/lingkungan konstan. Saya yakin perhitungannya ini tidak seakurat ilmu pasti lainnya, walaupun semua sisi ilmu bersifat relative. Itu karena manusia baik secara individu maupun sosial bersifat multidimensi dari segi substansi maupun kebutuhan. Tetapi, walaupun begitu teori Cultural evolution yang dicetuskan oleh White ini masih relevan dengan kondisi zaman sekarang. Kemudian, Visi White mengenai masa depan kajian budaya dalam antropologi dilihat dari teorinya adalah pengumpulan dan pengolahan energi dengan efektifitas dan efisiensi teknologi, mengefektifkan penggunaan energi untuk kemajuan budaya, pemanfaatan energi seefektif mungkin, dan tentu saja energi harus dikelola dengan baik dan tepat guna

You might also like