You are on page 1of 3

PERANG SHIFFIN (Bag 1)

Posted on 3 Juli 2008 by renungan


Perang Shiffin. Pertempuran itu terjadi tahun 37 H. (656 M.), antara Amirul Mukminin dan
Gubernur Suriah, Mu`awiah, untuk apa yang dinamakan membalas dendam atas kematian
KhaliIah Utsman. Tetapi penyebab sebenarnya hanyalah karena Mu`awiyah, yang telah lama
menjadi Gubernur Suriah yang otonom sejak diangkat KhaliIah Umar, tidak mau kehilangan
jabatannya itu dengan membaiat kepada Amirul Mukminin Ali ibn Abi Thalib. Ia hendak
mempertahankan keutuhan wewenangnya dengan mengeksploitasi pembunuhan KhaliIah
Utsman. Peristiwa-peristiwa di hari-hari kemudian membuktikan bahwa setelah
mengamankan pemerintahan ia tidak mengambil suatu langkah nyata untuk membalaskan
darah Utsman, dan sama sekali tak pernah berbicara tentang para pembunuh Utsman.
Walaupun Amirul Mukminin menyadari sejak semula bahwa peperangan akan tak terelakkan,
ia masih terus berusaha menyadarkan Mu`awiah. Pada hari Senin 12 Rajab 36 H., setelah
kembali ke KuIah dari Perang Jamal, Amirul Mukminin mengutus Jarir ibn AbduIlah al-
Bajali ke Mu`awiah di Damsyik dengan membawa sepucuk surat di mana ia mengatakan
bahwa kaum Muhajirin dan Anshar telah membaiatnya dan Mu`awiah pun harus membaiat
kepadanya dahulu baru kemudian mengajukan kasus pembunuhan Utsman kepadanya
supaya Amirul Mukminin dapat menjatuhkan keputusan berdasarkan Al-Qur`an dan sunah.
Tetapi Mu`awiah menahan Jarir dengan berbagai alasan, dan setelah berunding dengan Amr
ibn al-Ash, ia membangkang dengan dalih kasus pembunuhan Utsman.
Gubernur Suriah itu menahan Jarir dengan dalih untuk memberikan jawaban. Sementara ia
mulai menyelidiki sejauh mana rakyat Suriah mendukungnya dengan membangkitkan
semangat balas dendam atas darah Utsman, ia bermusyawarah dengan saudaranya Utbah
ibn Abi SuIyan. Utbah menyarankan, 'Apabila dalam hal ini Amr ibn Ash dihubungi, ia
akan menyelesaikan banyak kesulitan dengan kecerdikannya. Tetapi, ia tak akan mudah
bersedia untuk menguatkan kekuasaan Anda apabila untuk itu ia tidak dibayari dengan apa
yang diinginkannya. Apabila Anda telah bersedia untuk itu maka akan ternyata bahwa dia
penasihat dan penolong yang terbaik. Mu`awiah menyukai saran ini. Ia myuruh panggil
Amr ibn '`Ash lalu membicarakan hal itu, dan akhiraya diputuskan bahwa ia akan menuntut
balas atas darah Utsman dengan menuduh Amirul Mukminin bertanggung jawab atasnya.
Sebagai imbalan ia akan menjadi Guberaur Mesir, dan bahwa dalam keadaan bagaimanapun
ia tak akan membiarkan kekuasaan Mu`awiah di Suriah terganggu. Sesuai dengan itu,
keduanya menepati dan memenuhi perjanjian itu.
Dengan Bantuan orang-orang penting di Suriah ia meyakinkan rakyat yang tak mengetahui
persoalan, bahwa tanggung jawab pembunuhan Utsman terpikul pada Ali, dan bahwa Ali
memberi semangat dan melindungi para pengepung Utsman. Sementara itu ia
menggantungkan baju Utsman yang berlumur darah serta potongan jari-jari istrinya Na`ilah
binti al-FaraIishah di mimbar mesjid jamik Damsyik di mana sekitar 70.000 orang Suriah
berikrar untuk membalaskan dendam atas darah Utsman. Setelah berhasil membangkitkan
emosi rakyat Suriah sehingga mereka bertekad bulat untuk mengorbankan nyawa, ia
mendapatkan baiat mereka demi membalas dendam atas pembunuhan Utsman, lalu ia
bersiap untuk berperang. Sesudah itu ia memperlihatkan semua hal itu kepada Jarir lalu
mengirimkannya kembali ke KuIah dalam keadaan malu.
Ketika Amirul Mukminin mendengar tentang hal ini dari Jarir, ia terpaksa bangkit
menghadapi Mu`awiah. Ia memerintahkan Malik ibn Habib al-Yarbu`i untuk mengerahkan
pasukan di lembah al-Nukhailah. Sehubungan dengan itu, orang dari sekitar KuIah datang ke
sana dalam kelompok-kelompok besar sehingga jumlahnya melebihi 80.000 orang. Mula-
mula Amirul Mukminin mengirimkan kontingen depan sebesar 8.000 di bawah komando
Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi dan pasukan 4.000 orang di bawah pimpinan Syuraih ibn Hani
al-Haritsi ke Suriah. Setelah berangkatnya kontingen depan ini, Amirul Mukminin sendiri
berangkat ke Suriah memimpin sisa tentara itu, pada hari Rabu 5 Syawal.
Setelah keluar perbatasan kota KuIah, ia mendirikan salat lohor dan setelah berkemah di Dair
Abi Musa, (sungai) Nahr Nars, Qubat Qubbin, Babil, Dair Ka`b, Karbala`, Sabat, Baburasini,
al-Anbar dan al-Jazirah ia tiba di ar-Riqah. Penduduk tempat ini menyukai Utsman, dan di
tempat inilah Simak ibn Makhtamah al-Asadi bertengkar dengan 800 orangnya. Orang-orang
itu telah berangkat dari KuIah untuk bergabung dengan Mu`awiah setelah membelot dari
Amirul Mukminin. Ketika melihat pasukan Amirul Mukminin, mereka membongkar
jembatan Sungai EIrat supaya pasukan Amirul Mukminin tak dapat menggunakannya untuk
menyeberang. Tetapi, dengan ancaman Malik ibn al-Harits al-Asytar an-Nakha`i mereka
ketakutan, dan setelah berunding di antara sesamanya mereka memperbaiki lagi jembatan itu
dan Amirul Mukminin melewatinya dengan tentaranya. Di seberang sungai itu ia melihat
Ziyad dan Syuraih sedang berhenti di sana bersama pasukan mereka karena keduanya
mengambil jalan darat. Ketika sampai di sana mereka dapati bahwa Mu`awiah sedang maju
dengan tentaranya ke Sungai EIrat, dan karena berpikir bahwa mereka tidak akan mampu
menghadapinya, mereka berhenti di sana sambil menunggu Amirul Mukminin. Ketika
mereka memberikan alasan kepada Amirul Mukminin mengapa mereka berhenti di situ,
Amirul Mukminin menerima alasannya lalu mengirimnya ke depan. Ketika mereka sampai di
Sur ar-Rum, mereka mendapatkan bahwa Abu al-A`war as-Sulami (pihak Mu`awiyah)
sedang berkemah di sana dengan tentaranya. Keduanya melaporkan hal ini kepada Amirul
Mukminin, lalu ia mengirim Malik al-Haritsi al-Asytar untuk menyusul mereka sebagai
komandan sambil mengingatkannya supaya tidak memulai pertempuran melainkan berusaha
menasihati mereka dan memberitahukan kepada mereka keadaan yang sebenarnya sedapat
mungkin.
Ketika tiba di sana Malik al-Asytar berkemah agak jauh dari situ. Pertempuran mungkin akan
meletus setiap saat, tetapi ia tidak mengganggu pihak lainnya dan tidak pula ia mengambil
langkah yang mungkin memulai pertempuran. Tetapi Abu al-A`war menyerang secara tiba-
tiba di malam hari yang atasnya mereka menghunus pedang untuk memukulnya mundur.
Bentrokan itu terjadi beberapa lamanya tetapi akhirnya Abu al-A`war melarikan diri di
malam hari. Karena pertempuran telah dimulai, segera setelah Iajar, seorang komandan
pasukan Iraq, Hasyim ibn Uqbah al-Mirqal az-Zuhri, datang menghadapinya di medan
tempur. Dari pihak lain datang pula suatu kontingen, dan api pertempuran pun berkecamuk.
Pada akhirnya Malik al-Asytar menantang Abu al-A`war bertarung dengannya, tetapi yang
ditantang ini tak berani menghadapinya dan di sore hari Malik al-Asytar maju.dengan
pasukannya. Keesokan harinya Amirul Mukminin sampai di sana dengan pasukannya lalu
berangkat ke ShiIIIn bersama kontingen depannya dan pasukan-pasukan lainnya.
Mu`awiah telah lebih dahulu tiba di sana dan telah mendirikan basisnya. Ia juga telah
menempatkan pengawal di Sungai EIrat dan telah mendudukinya. Ketika tiba di sana Amirul
Mukminin menyampaikan kepadanya untuk menyingkirkan pasukan pengawalnya dari
Sungai EIrat itu, tetapi Mu`awiah menolaknya. Karenanya pasukan Iraq menghunus pedang
lalu menyerang dan merebut tempat di sungai itu.
Setelah itu Amirul Mukminin mengutus Basytr ibn Arnr al-Anshari, Sa`id ibn Qais al-
Hamdani dan Syabats ibn Ribi` at-Tamimi kepada Mu`awiah untuk memperingatkannya
tentang akibat-akibat peperangan dan mengajaknya membaiat. Tetapi jawabannya adalah
bahwa mereka sama sekali tidak akan mengabaikan darah Utsman dan sekarang hanya
pedang yang dapat menjadi perantara mereka.
Akibatnya, dalam bulan Zulhijah 36 H. kedua pihak memutuskan untuk berperang dan para
prajurit dari masing-masing pihak keluar untuk berhadapan di medan. Yang memasuki medan
dari pihak Amirul Mukminin adalah Hujr ibn Adi al-Kindi, Syabats ibn Ribi` at-Tamimi,
Khalid ibn al-Mu`ammar, Ziyad ibn an-Nadhr al-Haritsi, Ziyad ibn KhashaIah at-Taimi,
Sa`id al-Hamdani, Qais ibn Sa`d al-Anshari, dan Malik al-Asytar an-Nakha`i. Dari pihak
Suriah, Abdur-Rahman ibn Khalid ibn Walid al-Makhzumi, Abu al-A`War as-Sulami, Habib
ibn Maslamah al-Fihri, Abdullah ibn Dzil-Kala` al-Himyari, Ubaidullah ibn Umar ibn
Khaththab, Syurahbil ibn Simth al-Kindi, dan Hamzah ibn Malik al-Hamdani.

You might also like