You are on page 1of 3

MELUKIS PELANGI

Oleh: Reta Riayu Putri Kelas: X-D (2011-2012) SMAN 1 Batam

Goresan awan kelabu menghias bentangan langit yang tadinya berwarna biru. Petir yang menyala-nyala seakan menegaskan kembali bahwa hujan akan segera turun dengan derasnya. Arnes mempercepat langkahnya menyusuri jalan setapak melewati lorong kecil di sebuah gang yang sempit. Kak Arnes, panggil seorang anak kecil berpakaian lusuh dari belakang. Seketika Arnes tersenyum lebar. Hai, katanya sembari menghentikan langkahnya menunggu anak kecil yang sedang berlari ke arahnya tersebut. Kamu sendirian? tanya Arnes dengan tersenyum ramah setelah anak kecil itu berhasil menyamai langkahnya. Anak kecil itu menganggukkan kepalanya sebelum kemudian berkata, Iya, Kak. Karena yang lainnya udah pada nunggu duluan di Verde Casa, jawab anak kecil itu sambil menatap ke arah Arnes. Verde Casa adalah tempat yang selalu ia singgahi setiap harinya sepulang sekolah. Verde Casa itu sendiri merupakan bahasa Italia yang artinya Rumah Hijau. Arnes menamainya demikian karena memang tempat itu sangat sejuk dengan nuansa hijau alami dari rerumputan dan pohon yang tumbuh di sekitarnya. Baiklah. Ayo, sudah mau hujan, kata Arnes kemudian lalu menggamit tangan anak kecil itu menuju Verde Casa. Hujan baru turun setibanya mereka di Verde Casa. Untungnya tempat ini dapat melindungi mereka di saat hujan seperti sekarang ini. Rumah kecil yang berada di tepi sungai Bertuah di bawah jembatan Tiban tersebut merupakan rumah milik salah satu penduduk sekitar yang bersedia rumah liar kecilnya itu dijadikan tempat untuk belajar bersama. Baiklah. Hari ini siapa yang bisa memahami pelajaran yang Kak Arnes berikan, akan dapat hadiah cokelat. Mau tidak? kata Arnes sembari bertanya saat semua anak kecil yang putus sekolah itu telah duduk rapi di hadapannya siap untuk menerima pelajaran yang akan ia berikan pada sore hari ini. Mata mereka berbinar-binar memancarkan semangat yang mereka miliki, Mauuuuuuu! teriak mereka kompak. Arnes tersenyum lalu berkata, Nah! Maka dari itu, dengarkan baik-baik apa yang akan Kak Arnes sampaikan ya. Kalau kalian dapat mengerti pelajaran yang Kak Arnes berikan, semuanya akan dapat hadiah cokelat. Horeeeeee! teriak mereka lagi secara bersama-sama.

Kemudian, anak-anak itu memperhatikan dengan serius pelajaran yang diberikan oleh Arnes. Jadi, jika kita sudah mempunyai dua buah apel, lalu membelinya lagi sebanyak lima buah, maka dengan begitu total apel yang kita miliki saat ini adalah tujuh buah. jelas Arnes kepada anak-anak kecil yang memerhatikannya dengan saksama. Tiba-tiba, seorang anak kecil mengangkat tangannya untuk bertanya, Kak, jadi kalau kita membelinya lagi maka hasilnya akan bertambah ya? Lalu, kapan buah-buah apel itu berkurang? tanyanya polos. Dengan senang hati, Arnes menerangkannya. Buah apel yang kita miliki tersebut akan berkurang jika kita menguranginya. Misalnya, kita mempunyai lima buah apel, lalu memakannya sebanyak dua buah. Dengan begitu, buah apel yang kita miliki saat ini tinggal tiga buah dan begitu untuk seterusnya, terang Arnes. Semua anak kecil itu menganggukkan kepalanya secara bersama-sama pertanda mereka memahami materi yang baru saja disampaikan Arnes. Arnes berjalan ke meja kecil yang ada di belakangnya lalu mengambil bungkusan plastik besar yang berisi cokelat. Nah! Ini untuk kalian semua, kata Arnes sambil membagikannya kepada anak-anak kecil itu secara rata. Makasih, Kak Arneeeeessss! seru mereka senang. Arnes mengamati mereka yang sedang bersorak riang karena baru saja diberi cokelat. Ia melihat jam yang ada di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 17:30 WIB yang sekaligus menandakan berakhirnya pertemuannya dengan anak-anak kecil yang putus sekolah itu hari ini. Baik, terimakasih semuanya. Hari ini cukup sekian dari Kak Arnes. Sampai jumpa besok, semuanya. tutup Arnes mengakhiri pertemuan mereka hari ini. Tiga puluh menit berikutnya, Arnes telah sampai di rumahnya. Dengan malas ia berjalan menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Saat-saat seperti ini memang tidak ada siapa-siapa di rumahnya selain dirinya sendiri. Orangtuanya selalu sibuk dengan urusan masing-masing dan tidak pernah punya waktu luang untuk anak mereka sendiri. Terkadang, Arnes benci dengan keadaan rumahnya yang tidak pernah ada kehangatan keluarga di dalamnya. Hingga pukul sebelas malam, orangtuanya belum juga pulang. Namun, tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil dengan nyala lampu yang terlihat dari balkon kamarnya. Arnes hendak turun dari kamarnya untuk menemui kedua orangtuanya sekedar bertukar kabar tentang hari mereka masing-masing. Namun, niat itu ia urungkan saat mendengar keributan dari kedua orangtuanya. Papa pikir mama bekerja siang malam untuk siapa? Semuanya itu juga untuk Arnes! mendengar teriakan mamanya seperti itu Arnes menahan kakinya agar tidak melangkah turun. Arnes memang sangat benci kondisi di mana orangtuanya terlibat pertengkaran hebat seperti sekarang ini.

Mama pikir papa tidak?! Papa juga bekerja siang malam hanya untuk Arnes dan mama sendiri. Untuk apa lagi mama bekerja siang malam dan menelantarkan Arnes seperti itu setiap harinya? Lebih baik mama berhenti bekerja dan fokus dengan urusan rumah! Sepertinya di antara mereka berdua tidak ada yang mau mengalah. Arnes sudah besar! Pasti ia bisa mengurus dirinya sendiri. Mama tidak perlu repot-repot mengantarnya ke sekolah di pagi hari lalu menjemputnya di siang hari. Arnes sudah kelas tiga SMA! tekan mamanya yang seperti tidak mau mengakhiri pertengkaran mereka malam ini. Arnes berlari menuju kamarnya lalu mengunci pintunya. Ia benar-benar tidak kuat melihat pertengkaran hebat kedua orangtuanya malam ini. Menurutnya tidak ada yang salah dengan kesibukan yang mereka miliki masing-masing. Asalkan, kedua orangtuanya itu bisa memberikan kasih sayangnya sebagai orangtua kepadanya di atas kesibukan yang mereka miliki. Selama ini, ia memilih untuk meluangkan waktunya setiap pulang sekolah di Verde Casa selain untuk membantu anak-anak kecil yang putus sekolah itu, juga untuk membunuh rasa kesepiannya di tengah kesibukan kedua orangtuanya. Mengajari mereka berhitung, membaca, dan menulis adalah hal tulus yang ia lakukan dengan ikhlas untuk membantu anak-anak putus sekolah tersebut. Namun, pada akhirnya Arnes tahu bahwa ia seharusnya bersyukur masih memiliki orangtua seperti papa dan mamanya yang masih bisa menyekolahkannya selama ini. Ia seharusnya bersyukur karena masih banyak anak-anak lain yang tidak dapat duduk di bangku sekolah. Kini, ia tidak lagi menyalahkan kedua orangtuanya seperti dulu yang selalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing karena akhirnya ia tahu bahwa semua yang dilakukan oleh kedua orangtuanya itu semata-mata hanya untuk masa depannya. Waktu di mana ia merasa terpuruk akan kurangnya kasih sayang diberikan oleh kedua orangtuanya telah lewat dengan diisi keseriusannya dalam belajar agar dapat membanggakan kedua orangtuanya. Sekarang ia mengerti akan makna sebenarnya di balik semua itu. Kini, Arnes sangat bahagia dengan ditemani kedua orangtuanya ia mendapatkan gelar sarjananya di Universitas Oxford, perguruan tinggi di Britania Raya. Ia percaya, segala sesuatu yang dilakukan jika dengan sungguh-sungguh dan bekerja keras pasti bisa terwujud. Bagaikan melukis pelangi, yang akan muncul setelah turunnya rintik-rintih hujan. Seperti itulah kesuksesan yang akan didapat setelah perjuangan yang dilakukan.

You might also like