You are on page 1of 70

Konsep Spiritualitas dalam Keperawatan

Pengertian Spiritual/Spiritualitas Kata spiritual berasal dari kata spirit yang diartikan sebagai semangat, penuh harapan, dan optimis (Vogelsang, 1983). Simsen (1986) mengatakan bahwa spirit artinya pandangan mengenai jiwa manusia dan keprihatinannya terhadap makna akhir dan realitas kehidupan yang abadi. Keyakinan spiritual atau spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Pencipta (Burckhardt dikutip oleh Achir Yani, 1993:2). Menurut Burkhardt (1983), spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut : 1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan 2) Menemukan arti dan tujuan hidup 3) Menyadari kemampuan untuk meggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri 4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Tinggi Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres emosional, penyakit fisik, atau kematian. Kekuatan timbul diluar kemampuan manusia ( Kozier, Erb, Balis & Wilkinson 1995 ; Murray & Zentner, 1993:80). Mickley et al (1992), dikutip Achir Yani (1999:3), menguraikan spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Stoll (1989) dikutip oleh Achir Yani (1999:3), selanjutnya menguraikan bahwa spiritualitas sebagai konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horisontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut. Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan rasa percaya dengan Tuhan. Artinya kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta keterikatan, dan kebutuhan untuk memberikan maaf/pengampunan (Carson, 1989) dikutip oleh Achir Yani (1999: 3)

Pengertian Kepercayaan Mempunyai kepercayaan atau keyakinan berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang. Secara umum agama atau keyakinan spiritual 1 merupakan upaya seseorang untuk memahami tempat seseorang di dalam kehidupan, yaitu bagaimana seseorang melihat dirinya dalam hubungannya dengan lingkungan secara menyeluruh. Pengertian Agama Agama merupakan suatu sistem ibadah yang terorganisasi atau teratur. Agama mempunyai keyakinan sentral dan praktik yang biasanya berhubungan dengan kelahiran, kematian, perkawinan dan keselamatan/penyelamatan (salvation). Agama mempunyai aturanaturan tertentu yang dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari yang memberikan kepuasan bagi yang menjalankannya. Perkembangan keagamaan individu merujuk pada penerimaan keyakinan, nilai, aturan dan ritual tertentu.

Karakteristik Spiritualitas Karakteristik spiritualitas seseorang dapat diamati melalui : 1) Hubungan dengan diri sendiri Kekuatan dalam/dan self-reliance a. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya) b. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan/masa depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselaran dengan diri sendiri). 2) Hubungan dengan orang lain Harmonis/suportif (1) Membagi waktu, pengetahuan dan sumber secara timbal balik (2) Mengasuh anak, orang tua dan orang sakit (3) Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat) Tidak harmonis (1) Konflik dengan orang lain (2) Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi 3) Hubungan dengan Tuhan Agamais atau tidak agamais (1) Sembahyang/berdoa/meditasi

(2) Perlengkapan keagamaan (3) Bersatu dengan agama 4) Hubungan dengan alam Harmoni (1) Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa dan iklim (2) Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki). 2 Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan spiritualnya apabila mampu : 1) Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia/kehidupan 2) Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu kejadian/penderitaan 3) Menjalin hubungan yang positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa percaya diri dan cinta 4) Membina integritas personal dan merasa diri berharga 5) Merasakan kehidupan yang terarah, terlihat melalui harapan 6) Mengembangkan hubungan antar manusia yang positif Keterkaitan Antara Spiritualitas, Kesehatan dan Sakit Keyakinan spiritual sangat penting bagi perawat karena dapat mempengaruhi tingkat kesehatan dan perilaku self care klien. Menurut Taylor C. dkk (1989:1101), ada beberapa pengaruh dari keyakinan spiritual yang perlu dipahami adalah sebagai berikut : 1) Menuntun kebiasaan hidup sehari-hari Praktek tertentu berhubungan dengan dengan pelayanan kesehatan mungkin mempunyai makna bagi klien. Sebagi contoh ada agama yang menetapkan makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan. Begitu pula metode keluarga berencana ada agama yang melarang cara tertentu untuk mencegah kehamilan termasuk terapi medik atau pengobatan. 2) Sumber dukungan Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Sembahyang atau berdoa, membaca kitab suci dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritual yang juga merupakan suatu perlindungan. 3) Sumber kekuatan dan penyembuhan Nilai dari keyakinan agama tidak dapat dipahami dengan mudah dan dievaluasi. Walaupun demikian pengaruh keyakinan tersebut dapat diamati oleh tenaga kesehatan

dengan mengetahui bahwa individu cenderung dapat menahan distress fisik yang luar biasa karena mempunyai keyakinan yang kuat. Keluarga klien akan mengikuti semua proses penyembuhan yang memerlukan upaya luar biasa, karena keyakinan bahwa semua upaya tersebut akan berhasil. 4) Sumber konflik Pada suatu situasi tertentu, bisa terjadi konflik antara keyakinan agama dengan praktek kesehatan. Misalnya ada orang yang memandang penyakit sebagai suatu hukuman atas dosa. Ada agama tertentu yang menganggap manusia sebagai makluk yang tidak berdaya dalam pengendalian lingkungannya, oleh karena itu penyakit diterima sebagai nasib bukan sebagai sesuatu yang disembuhkan. 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997) dan Craven & Hirnle (1996), dikutip oleh Achir Yani (1999:13), faktor penting yang dapat mempengaruhi spiritualitas seseorang adalah : 1) Pertimbangan faktor perkembangan Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. Tema utama yang diuraikan oleh semua anak tentang Tuhan mencakup : (1) Gambaran tentang Tuhan yang bekerja melaui kedekatan dengan manusia dan saling berkaitan dengan kahidupan (2) Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia dunia tetap segar, penuh kehidupan dan berarti (3) Meyakini bahwa Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut mengahdapi kekuasaan Tuhan (4) Gambaran cahaya atau sinar 2) Keluarga Peran orang tua sangat penting dalam menentukan perkembangan spiritualitas anak. Anak belajar bukan dari apa yang diajarkan oleh orang tua kepadanya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari perilaku orang tua mereka. Oleh karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan di dunia, maka pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka dalam berhubungan dengan orang tua dan saudaranya.

3) Latar belakang etik dan budaya Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. Anak belajar pentingnya menjalankan kegiatan agama termasuk nilai moral dari hubungan keluarga dan peran serta dalam berbagai bentuk kegiatan keagamaan. Perlu diperhatikan apapun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu, tetap saja pengalaman spiritual unik bagi setiap individu. 4) Pengalaman hidup sebelumnya Pengalaman hidup baik yang positif maupun yang negatif dapat mempengaruhi sistem spiritualitas seseorang. Sebaliknya dapat dipengaruhi juga oleh bagaimana seseorang mengartikan kegiatan spiritual kejadian atau pengalaman tersebut. Pengalaman hidup yang menyenangkan seperti pernikahan, pelantikan kelulusan, kenaikan pangkat atau jabatan dapat menimbulkan perasaan bersyukur kepada Tuhan, namun ada juga yang tidak mensyukurinya. Peristiwa dalam kehidupan sering dianggap sebagai suatu cobaan yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk menguji kekuatan imannya. Pada saat ini 4 kebutuhan sipiritual akan meningkat yang memerlukan kedalaman spiritual dan kemampuan koping untuk memenuhinya. 5) Krisis dan perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan kedalaman spiritual seseorang, dan krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan bahkan kematian atau penyakit dengan prognosa buruk. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang sering dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual selain juga pengalaman yang bersifat fisikal dan emosional. Krisis bisa berhubungan dengan perubahan fisiologi, terapi, atau situasi yang mempengaruhi seseorang. Apabila klien dihadapkan pada kematian, maka keyakinan spiritual dan keinginan untuk sembahyang atau berdoa lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang berpenyakit terminal. 6) Terpisah dari ikatan spiritual Menderita penyakit terutama yang bersifat akut, sering membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan diri dan sistem dukungan sosial (sosial suport sistem). Klien yang dirawat merasa terisolasi dalam ruangan yang asing baginya dan merasa tidak aman. Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat menghadiri acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul

dengan anggota kelaurga atau teman dekat yang biasanya memberikan dukungan setiap saat diinginkan. Terpisahnya klien dari ikatan spiritual berisiko terjadinya perubahan fungsi sipiritualnya. 7) Isu moral terkait dengan terapi Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan menunjukkan kesabarannya, walaupun ada juga agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medis seringkali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, seperti sirkumsisi, transpalantasi organ, pencegahan kehamilan, sterilisasi, konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan tenaga kesehatan. 8) Asuhan keperawatan yang kurang sesuai Ketika memberikan asuhan keperawatan klien, perawat diharapkan peka terhadap kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat juga menghindari untuk memberikan asuhan spiritual. Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spritual klien bukan menjadi tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama. Ada 4 (empat) isu nilai yang timbul antara perawat dan klien yaitu : 1) Prularisme : perawat dan klien menganut kepercayaan dan iman dengan spektrum yang luas 52) Cemas : berhubungan dengan ketidakmampuan mengatasi situasi, melanggar privasi klien atau merasa tidak pasti dengan sistem kepercayaan dan nilai dirinya sendiri 3) Kesadaran tentang pertanyaan spiritual : apa yang memberikan arti dalam kehidupan, tujuan, harapan dan merasakan cinta dalam kehidupan pribadi perawat. 4) Bingung : terjadi karena adanya perbedaan antara agama dan konsep spiritual. Manifestasi Perubahan Fungsi Spiritual Berbagai perilaku dan ekspresi yang dimanifestasikan klien perlu diwaspadai perawat, karena mungkin saja klien sedang mengalami masalah spiritual adalah sebagai berikut : 1) Verbalisasi distres Individu yang mengalami gangguan fungsi spiritual biasanya memverbalisasikan apa yang dialaminya atau mengespresikan kebutuhan untuk mendapatkan bantuan. Biasanya klien meminta perawat berdoa bagi kesembuhannya atau memberitahukan kepada pemuka agama untuk mengunjunginya. Perawat juga harus peka terhadap keluhan klien

tentang kematian atau merasa tidak berharga dan kehilangan arti hidup. Kepekaan perawat sangat penting dalam menarik kesimpulan dari verbalisasi klien tentang distres yang dialami klien. 2) Perubahan perilaku Perubahan perilaku juga dapat merupakan manifestasi gangguan fungsi spiritual. Klien yang merasa cemas dengan hasil pemeriksaan atau menunjukan kemarahan setelah mendengar hasil pemeriksaan mungkin saja sedang menderita distres sipiritual. Ada yang bereaksi dengan perilaku mengintrospeksi diri dan mencari alasan terjadinya suatu situasi dan berupaya mencari fakta yang dapat menjelaskan situasi tersebut, namun ada yang bereaksi secara emosional dan mencari informasi serta dukungan dari keluarga atau teman. Perasaan bersalah, rasa takut, depresi, dan ansietas mungkin menunjukkan perubahan fungsi spiritual yang adaptif dan maladaptif. Tabel 2.1 Perilaku Adaptif dan Maladaptif (Achir Yani, 1999: 21) Kebutuhan Tanda Pola atau perilaku adaptif Tanda Pola atau perilaku maladaptif Rasa percaya Rasa percaya terhadap diri sendiri, sabar, rasa percaya terhadap kehidupan dan terbuka terhadap Tuhan dan sesama Tidak nyaman dengan kesadaran diri, mudah tertipu, tidak terbuka, tidak mengharapkan bantuan orang lain dan tidak tergantung, tidak terbuka terhadap Tuhan dan sesame Kemauan memberikan maaf Menerima diri sendiri dan orang lain yang berbuat salah, tidak mendakwa atau berprasangka buruk, memandang penyakit sebagai

sesuatu yang nyata, Merasakan penyakit sebagai suatu hukuman, merasa Tuhan sebagai penghukum, tidak mampu menerima diri sendiri, menyalahkan diri sendiri dan orang lain 6 Kebutuhan Tanda Pola atau perilaku adaptif Tanda Pola atau perilaku maladaptif memaafkan diri sendir dan orang lain, dan pandangan realistik terhadap masa lalu Mencintai dan keterikatan Mengekspresikan perasaan dicintai oleh orang lain atau oleh Tuhan. Mampu menerima bantuan, menerima diri sendiri, dan mencari kebaikan dari orang lain Takut untuk bergantung pada orang lain, menolak bekerja sama dengan tenaga kesehatan, cemas berpisah dengan keluarga, menolak diri sendiri atau angkuh dan mementingkan diri sendiri, tidak mepunyai hubungan rasa cinta dengan Tuhan, merasa bergantung dan merasa jauh dari Tuhan Keyakinan Ketergantungan pada anuhgerah Tuhan, termotivasi untuk tumbuh,

mengekspresikan kepuasan dengan menjelaskan kehidupan setelah kematian, mengekspresikan kebutuhan rirual, dan mengekspresikan kebutuhan untuk berbagi keyakinan Mengekspresikan perasaan ambivalen terhadap Tuhan, tidak percaya pada kekuasaan Tuhan,takut mati, takut terisolasi dari kepercayaan masyarakat sekitar, merasa kecewa, frustasi, dan marah terhadap Tuhan. Nilai keyakinan dan tujuan hidup tidak jelas, dan konflik nilai Kreativitas dan harapan Meminta informasi tentang kondisinya, mencari kenyamanan batin daripada fisik, mengekspresikan harapan tentang masa depan, terbuka terhadap kemungkinan mendapatkan kedamaian Mengekspresikan perasaan takut kehilangan kendali diri, mengekspresikan kebosanan, takut terhadap terapi, putus asa, tidak dapat menolong atau menerima diri, tidak dapat menikmati apapun, dan telah menunda pengambilan keputusan yang penting Arti dan tujuan Mengekspresikan kepuasan

hidup, menjalankan kehidupan sesuai dengan sistem nilai, menerima penderitaan sebagai cara untuk memahami diri sendiri, mengekspresikan arti kehidupan dan kematian dan mengekspresikan komitmen dan orientasi hidup Mengekspresikan tidak ada alasan untuk bertahan hidup, tidak dapat menerima arti penderitaan, mempertanyakan arti kehidupan, tujuan penyakit,penyalahgunaan obat/alkohol. Bersyukur Merasa bersyukur, merasakan anugerah yang berlimpah dari Tuhan, dan merasa harmoni dan utuh Menjelaskan masa lalu dan yang akan datang, berorientasi pad pencapaian/produktifitas, terpusat pada penyesalan, dan selalu ingin sempurna Peran Perawat Dalam Memenuhi Kebutuhan Spiritual Klien Mengingat perawat merupakan orang yang pertama dan secara konsisten selama 24 jam sehari menjalin kontak dengan pasien, perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Baik dengan mengusahakan kemudahan seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan agama yang diyakini pasien, memberikan privacy untuk 7 berdoa, atau memberi kelonggaran bagi pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga / teman). Menjalin komunikasi yang terapeutik terhadap pasien yang sedang menghadapi kematian juga merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan spiritual pasien. Rando (1984), dikutip oleh Achir Yani (1999:52) memberikan pedoman berkomunikasi secara terapeutik pada

pasien yang menghadapi sakratul maut : 1) Komunikasi sebaiknya dilakukan untuk menormalkan perasaan pasien tetapi usahakan jangan terlalu nyata 2) Mendengarkan pasien agar ia mengungkapkan kebutuhannya 3) Menanyakan pada pasien tentang pertanyaan yang ada dibenaknya karena pasien takut untuk bertanya dan mengungkapkan hal-hal yang ada pada pikirannya 4) Memastikan apa yang ditanyakan pasien dengan mengklarifikasi dan merefleksikan kembali pernyataannya 5) Apabila keadaan memungkinkan, perawat perlu menyadari kesulitan pasien dengan penyakit terminal. Jangan dikurangi, begitu juga jangan berdebat dengan pasien 6) Memastikan bahwa perawat dan pasien membicarakan hal yang sama. Selalu berusaha mencocokkan pemahaman dan minta umpan balik 7) Memperhatikan keselarasan perilaku verbal dan non verbal 8) Usahakan menyediakan waktu jika pasien ingin berbicara walaupun kadang-kadang tidak menyenangkan. 8 Asuhan Keperawatan Klien Dengan Distres Spiritual Definisi distres spiritual Distres spiritual adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikan kekuatan, harapan dan arti kehidupan (Carpenito L.J, 2000: 929). Batasan karakteristik 1) Karakteristik mayor : Mengalami gangguan dalam sistem kepercayaan 2) Karakteristik minor : (1) Bertanya tentang arti kehidupan, kematian dan penderitaan (2) Menunjukkan kekecewaan/putus asa (3) Tidak mau melaksanakan upacara keagamaan (4) Memiliki perasaan ambivalensi tentang kepercayaan (5) Mengungkapkan bahwa ia tidak punya alasan untuk hidup (6) Merasakan perasaan batin yang kosong (7) Merasa terpencil dari diri sendiri dan orang lain (8) Mengungkapkan perasaan marah, benci, takut, terlalu mengartikan kehidupan, penderitaan dan kematian

(9) Mengharapkan bantuan/dorongan semangat dari sistem kepercayaan Faktor-faktor yang berhubungan 1) Patofisiologi : (1) Kehilangan bagian atau fungsi tubuh (2) Sakit terminal (3) Penyakit-penyakit (4) Nyeri (5) Trauma/terluka (6) Keguguran/kelahiran anak 2) Tindakan : (1) Aborsi (2) Pembedahan (3) Transfusi darah (4) Isolasi (5) Amputasi (6) Pembatasan diet 9 (7) Obat-obatan (8) Prosedur medis 3) Situasional : (1) Kematian atau kesakitan orang terdekat (2) Perasaan bingung melaksanakan ritual keagamaan (3) Hambatan dalam melaksanakan ritual spiritual ; keterbatasan perawatan intensif, terkurung pada tempat tidur atau ruangan, kurang privasi, kurang tersedia makanan/diet khusus (4) Perceraian, terpisah dari orang yang dicintai Kriteria Pengkajian fokus 1. Data subyektif A. Kaji batasan karakteristik 1. Apakah sumber kekuatan dan arti spiritual anda ? 2. Bagaimana anda melaksanakan keyakinan spiritual ? 3. Apakah ada cara-cara tertentu yang penting bagi keyakinan spiritual anda ? 4. Apakah anda memiliki pemimpin spiritual ? 5. Apakah sakit atau terluka mempengaruhi kepercayaan spiritual anda ?

B. Kaji faktor-faktor yang berhubungan Bagaiman saya (perawat) dapat menolong anda mempertahankan kekuatan spiritual anda ? (misalnya mempertemukan pasien dengan pemuka agama, mendukung privasi pada saat-saat khusus, meminta materi bacaan rohani) 2. Data obyektif Kaji batasan karakteristik 1) Keadaan pasien saat ini (1) Pasien memiliki artikel (pakaian, kalung, teks) (2) Pasien mendapat kunjungan dari pemimpin spiritual (3) Pasien meminta konseling atau bantuan spiritual (4) Pasien menginginkan kunjungan ke tempat-tempat ibadah dan meditasi 2) Respon pasien pada saat wawancara (1) Berduka (2) Ansietas (3) Ragu-ragu (4) Marah 3) Berpartisipasi dalam melaksanakan spiritual (1) Penolakan atau mengabaikan pelaksanakan sebelumnya (2) Peningkatan minat dalam masalah spiritual Diagnosa keperawatan pada pasien dengan distres spiritual 10 1) Distres spiritual berhubungan dengan ketidak-mampuan melaksanakan ritual spiritual 2) Distres spiritual berhubungan dengan konflik antara religius atau keyakinan spiritual dan program kesehatan 3) Distres spiritual berhubungan dengan penyakit/penderitaan/kematian Intervensi keperawatan pada pasien dengan distres spiritual akibat krisis penyakit /penderitaan/kematian 1) Tujuan yang diharapkan (outcome kriteria) (1) Klien dapat mengekspresikan perasaan yang berhubungan dengan perubahan keyakinan spiritual (2) Klien dapat menggambarkan keyakinan spiritual secara positif (3) Klien dapat mengekspresikan keinginan untuk melakukan kegiatan religius/spiritual

(4) Klien dapat menggungkapkan tentang tentang hikmah dari penyakit/penderitaan/kematian 2) Rencana tindakan keperawatan : A. Kaji faktor-faktor penyebab dan penunjang 1) Kegagalan keyakinan spiritual memberikan penjelasan atau kenyamanan selama krisis penyakit/penderitaan/ancaman kematian 2) Keraguan terhadap kekuatan spiritual dalam menghadapi krisis 3) Marah terhadap Tuhan yang telah membiarkan/menyebabkan penyakit/penderitaan/kematian B. Hilangkan faktor penyebab dan penunjang 1) Kegagalan keyakinan spiritual memberikan penjelasan atau kenyamanan selama krisis penyakit/penderitaan/ancaman kematian (1) Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengkomunikasikan permasalahannya (2) Diskusikan masalah spiritual pasien (3) Kaji pengalaman spiritual pasien (4) Bantu pasien dalam memecahkan permasalahan spiritualnya (5) Beri kesempatan pasien kontak dengan pemimpin spiritual yang biasanya atau yang baru (6) Berikan waktu untuk berdoa/meditasi/membaca dengan pasien. (7) Berikan waktu tenang untuk berdoa/bermeditasi/membaca. 2) Keraguan terhadap kekuatan spiritual dalam menghadapi krisis (1) Bersedia mendengarkan keraguan pasien, rasa bersalah, atau perasaan negatif lainnya. 11 (2) Diam/sentuhan perawat efektif dalam mengkomunikasikan keberadaan perawat dan berguna pada saat kecewa (3) Anjurkan klien untuk melihat kembali pengalaman spiritualnya (4) Beri kesempatan pasien untuk kontak dengan pemimpin spiritual yang biasanya atau yang baru 3) Marah terhadap Tuhan yang telah membiarkan/menyebabkan penyakit/penderitaan/kematian (1) Katakan kepada pasien bahwa marah terhadap Tuhan adalah rekasi umum pada penyakit/penderitaan/kematian

(2) Bantu pasien mengenali dan mendiskusikan perasaan marah (3) Izinkan klien untuk mengatasi masalahnya dan menemukan cara untuk mengekspresikan dan menghilangkan perasaan marah (4) Beri kesempatan pasien untuk kontak dengan pemimpin spiritual yang biasanya atau yang baru.

Konsep Dasar Psikososial Distress Spiritual Menurut Carpenito (1999), ada 3 diagnosa keperawatan yang termasuk dalam lingkup nilai/kepercayaan/spiritual, yaitu :

A.

Distres Spiritual Definisi Keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami gangguan dalam sistyem keyakinan atau nilai yang memberi kekuatan, harapan, dfan arti kehidupan seseorang.

Batasan Karakteristik Mayor (harus terdapat)

Minor (mungkin terdapat)

kematian

keyakinan.

Faktor-faktor yang berhubungan 1. Patofisiologis Berhubungan dengan tantangan pada system keyakinan atau perpisahan dari ikatan spiritual sekunder akibat : kehilangan bagian atau fungsi tubuh, penyakit terminal, penyakit yang membuat kondisi lemah, nyeri, trauma, keguguran, kelahiran mati b. Tindakan yang berhubungan Berhubungan dengan konflik diantara (uraikan program yang ditentukan) dan keyakinan, yaitu aborsi, isolasi, pembedahan. Amputasi, transfuse, pengobatan, pembatasan diet dan prosedur medis

1. Situasional (personal, lingkungan) Berhubungan dengan kematian atau penyakit dari orang terdekat Berhubungan dengan keadaan yang memalukan pada saat melakukan ritual keagamaan Berhubungan dengan hambatan dalam melakukan ritual keagamaan (pembatasan perawatan intensif, kurangnya privacy, pembatasan ke kamar tidur atau ruangan, kurangnya tersedia makanan atau diet special) Berhubungan dengan keyakinan yang ditentang oleh keluarga, teman sebaya, pemberi perawatan kesehatan Berhubungan dengan perpisahan dengan orang yang dicintai

Kriteria Hasil Individu akan : 1. 2. 3. Melanjutkan latihan spiritual yang tidak mengganggu kesehatan Mengekspresiakan pengurangan perasaan bersalah dan ansietas Mengekspresikan kepuasan dengan kondisi spiritual.

Intervensi Generik 1. Komunikasikan penerimaan berbagai keyakinan spiritual dan praktisnya. 2. Tunjukkan sikap tidak menghakimi. 3. Nyatakan pentingnya kebutuhan spiritual. 4. Ekspresikan keinginan tim perawatan kesehatan untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan spiritual.

5. Berikan privacy dan ketenangan seperti yang dibutuhkan untuk orang yang melaksanakan ibadah. 6. Pertahankan diet dengan pembatasan spiritual jika tidak mengganggu kesehatan 7. Anjurkan kegiatan ibadah yang tidak merusak kesehatan 8. Berikan kesempatan individu untuk berdoa dengan orang lain atau dibacakan oleh orang lain atau anggota tim kesehatan yang dapat dengan leluasa dalam aktivitas ini. 9. Berikan izin untuk mendiskusikan masalah spiritual dengan perawata dengan membicarakan subjek kesehatan spiritual jika perlu. 10. Gunakan pertanyaan mengenai pengalaman spiritual dan keyakinan sebelumnya untuk membantu individu menempatkan kejadian kehidupan inio kedalam perspektif yang lebih luas. 11. Usahakan untuk berdoa/membaca dengan klien jika perawat merasa leluasa dengan hal ini atau atur anggota tim kesehatan lainnya jika lebih sesuai 12. Selalu bersedia dan berkeinginan untuk mendengarkan sewaktu klien

mengekspresikan keraguan diri, rasa bersalah/ perasaan negative lainnya. 13. Usahakan untuk menghubungi pendukung spiritual individu seperti ulama, imm rumah sakit. Jika individu tidak dapat perasaan dengan keluarga

Intervensi Pada Anak 1. Berikan anak kesempatan untuk ikut dalam praktek spiritual biasanya (mis. Doa sebelum tidur, kunjungn ke masjid). 2. Perjelas bahwa kecelakaan atau penyakit bukan hukuman untuk prilaku buruk 3. Dukung remaja yang mungkin berusaha untuk memahami pengajaran spiritual. 4. Untuk konflik orang tua tentang pengobatan anak: a. Bila orang tua menolak pengobatan anak, dorong pertimbangan tentang metode alternative terapi (mis. Penggunaan ahli bedah khusus dan teknik pembedahan tanpa transfusi darah) ; dukung individu yang membuat keputusan berdasarkan informasi bahkan konflik dengan diri sendiri. b. Bila tindakan tetap ditolak, dokter atau administrator rumah sakit dapat meminta siding yang menunjuk pembimbing sementara untuk persetujuan tindakan c. d. Hubungi ulama untuk mendukung orang tua Dorong ekspresi perasaan negative.

B.

Risiko Terhadap Distres Spiritual Definisi: Keadaan dimana individu atau kelompok berisiko mengalami gangguan dalam keyakinan atau system nilai yang memberi kekuatan, harapan dan makna hidup.

Faktor-Faktor Risiko Rujuk pada Distress Spiritual untuk faktor-fakto yang berhubungan

Kriteri Hasil Individu akan : 1. 2. Melanjutkan praktek ritual spiritual yang bermamfaat Mengekspresikan peningkatan kenyamanan setelah bantuan

Intervensi Generik Rujuk pada Distres Spritual untuk intervensi.

C.

Kesejahteraa Spritual, potensial terhadap perbaikan Defenisi Keberadaan individu yang mengalami penguatan kehidupan dalam berhubungan dengan kekuasaan yang lebih tinggi (setinggi yang ditetapkan individu), diri, komunitas dan lingkuingan yang memelihara dan merayakan kesatuan (The National Interfaith Coalition on Aging, 1980)

Batasan Karakteristik (Carson,1989) 1. Kekuatan dari dalam diri yang memelihara : rasa kesadaran; hubungan saling percaya; kekuatan yang menyatu; sumber yang sacral; kedamaian dari dalam diri. 2. Motifasi yang tidak ada batasannya dan komitmen yang diarahkan pada nilai tertinggi dari cinta, makna, harapan, keindahan dan kebenaran. 3. Hubungan saling percaya dengan atau hubungan yang sangat memberikan dasar untuk makna dan harapan dalam pengalaman kehidupan dan kasih sayang dalam hubungan seseorang. 4. Mempunyai makna dan tujuan terhadap eksistensio seseorang.

Faktor-faktor Risiko Rujuk pada factor yang berhubungan

Faktor factor yang berhubungan Karena ini merupakan diagnosa tentang fungsi positif, maka penggunaan dari factorfaktor yang berhubungan tidak perlu.

Kriteria Hasil Individu akan: 1. Mempertahankan hubungan yang sebelumnya dengan keberadaan dirinya yang lebih tinggi. 2. Terus melaksanakan spiritual yang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk terhadap kesehatan 3. Mengekspresikan keharmonisan spiritual ndan kesatuan yang berkelanjutan

Intervensi Generik 1. Dukung praktik spiritual individu. 2. Rujuk pada Intervensi untuk mengurangi hambatan praktik spiritual dibawah distress spiritual.

Bab ini membahas aspek yang terkait dengan penelitian ini yaitu : 1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas 1.2 Karakterist ik Spiritualitas 1.3 Fungsi Spiritualitas 1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas 2. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.1 Pasien ICU

2.2 Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.3.1 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Perawat 2.3.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga

1. Karakteristik Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas 1.1 Definisi Spiritualitas Spiritualitas merupakan aspek kepribadian manusia yang memberi kekuatan dan mempengaruhi individu dalam menjalani hidupnya. Spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan bagaimana manusia hidup di dunia. Spiritualitas amat penting bagi keberadaan manusia. Spiritualitas mencakup aspek non fisik dari keberadaan seorang manusia (Young & Koopsen, 2005). Menurut Mickley, et al (1992 dalam Hamid, 1999) menyatakan bahwa spiritualitas sebagai suatu multidimensi yang terdiri dari dimensi eksistensial dan dimensi agama. Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan. Sementara itu Stoll (1989 dalam Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995) menyatakan bahwa spiritualitas merupakan suatu konsep dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal merupakan hubungan individu dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal merupakan hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Spiritualitas merupakan suatu dimensi yang

berhubungan dengan menemukan arti dan tujuan hidup, menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri, mempunyai perasaan yang berkaitan dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Burkhardt, 1993 dalam Hamid, 1999). Spiritualitas merupakan kekuatan yang menyatukan, memberi makna pada kehidupan dan nilai-nilai individu, persepsi, kepercayaan dan keterikatan di antara individu. Spiritualitas merupakan kebutuhan dasar yang terdiri dari Universitas Sumatera Utarakebutuhan akan makna, tujuan, cinta, keterikatan, dan pengampunan (Kozier, et al, 1995).

1.2 Karakteristik Spiritualitas Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada individu didasarkan pada kebutuhan spiritualitas individu yang terdiri dari kebutuhan spiritualitas yang berkaitan dengan Tuhan, hubungan dengan diri sendiri, hubungan dengan orang lain, dan hubungan dengan lingkungan (Bukhardt 1993 dalam Kozier, Erb, & Blais, 1995). 1.2.1 Hubungan dengan Tuhan Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan dapat dilakukan melalui doa dan ritual agama. Doa dan ritual agama merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari individu dan memberikan ketenangan pada individu (Kozier, et al, 1995). Selain itu, doa dan ritual agama dapat membangkitkan harapan dan rasa percaya diri pada seseorang

yang sedang sakit yang dapat meningkatkan imunitas (kekebalan) tubuh sehingga mempercepat proses penyembuhan (Hawari, 2002). 1.2.2 Hubungan dengan diri sendiri Pemenuhan kebutuhan spiritualitas bersumber dari kekuatan diri individu dalam mengatasi berbagai masalah. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas berkaitan dengan hubungan individu dengan diri sendiri melalui kekuatan diri seseorang yang meliput i kepercayaan, harapan, dan makna kehidupan (Kozier, et al, 1995).

1. Kepercayaan Kepercayaan merupakan penerimaan individu terhadap kebenaran yang tidak dapat dibukt ikan dengan pikiran logis. Kepercayaan memberikan kekuatan pada individu dalam menjalani kehidupan ketika individu mengalami kesulitan atau penyakit (Taylor, Lilis, & Le Mone, 1997; Kozier, et al, 1995). 2. Harapan Harapan merupakan suatu proses interpersonal yang terbina melalui hubungan dengan orang lain dan Tuhan yang didasarkan pada kepercayaan. Harapan berperan penting dalam mempertahankan hidup ketika individu sakit (Kozier, et al, 1995). 3. Makna Kehidupan Makna kehidupan merupakan suatu hal yang berarti bagi kehidupan individu ketika individu memiliki perasaan dekat dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Individu merasakan kehidupan sebagai sesuatu yang membuat hidup lebih terarah, memiliki masa depan, dan merasakan kasih sayang dari orang lain

(Puchalski, 2004; Kozier, et al, 1995). 1.2.3 Hubungan dengan orang lain Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dengan menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain. Pemenuhan spiritualitas tersebut meliputi cinta kasih dan dukungan sosial. Cinta kasih dan dukungan sosial merupakan keinginan individu untuk menjalin hubungan positif antar manusia melalui keyakinan dan cinta kasih. Keluarga dan teman dapat memberikan bantuan dan dukungan emosional untuk membantu individu dalam menghadapi penyakitnya (Hart, 2002; Kozier, et al 1995). 1.2.4 Hubungan dengan lingkungan Pemenuhan kebutuhan spiritualitas meliputi hubungan individu dengan lingkungan. Pemenuhan spiritualitas tersebut melalui kedamaian dan lingkungan atau suasana yang tenang. Kedamaian merupakan keadilan, empati, dan kesatuan. Kedamaian membuat individu menjadi tenang dan dapat meningkatkan status kesehatan (Kozier, et al, 1995).

1.3 Fungsi Spiritualitas Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi individu. Pada saat stres individu akan mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci

dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor, et al, 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Haris (1999 dalam Hawari, 2005) pada pasien penyakit jantung yang dirawat di unit perawatan intensif yang diberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas hanya membutuhkan sebesar 11% untuk pengobatan lebih lanjut. Menurut American Psychological Association (1992 dalam Hawari, 2005) bahwa spiritualitas dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam mengatasi penderitaan jika seseorang sedang sakit dan mempercepat penyembuhan selain terapi medis yang diberikan. Hal ini juga didukung penelitian yang dilakukan oleh Abernethy (2000 dalam Hawari, 2005) Universitas Sumatera Utarabahwa spiritualitas dapat meningkatkan imunitas yaitu kadar interleukin-6 (IL-6) seseorang terhadap penyakit sehingga dapat mempercepat penyembuhan bersamaan dengan terapi medis yang diberikan. Menurut Benson, efek spiritualitas terhadap kesehatan sekitar 70-90 persen dari keseluruhan efek pengobatan Hal ini menunjukan bahwa pasien yang berdasarkan perkiraan medis memiliki harapan sembuh 30 persen atau bahkan 10 persen ternyata bisa sembuh total. Dalam hal ini bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan pasien dari penyakit (Young & Koospen, 2005). Selain itu, spiritualitas dapat meningkatkan imunitas, kesejahteraan, dan kemampuan mengatasi peristiwa yang sulit dalam kehidupan (Koenig, et al, 1997 dalam Young & Kooospen, 2005). Pada individu yang menderita suatu penyakit, spiritualitas merupakan

sumber koping bagi individu. Spiritualitas membuat individu memiliki keyakinan dan harapan terhadap kesembuhan penyakitnya, mampu menerima kondisinya, sumber kekuatan, dan dapat membuat hidup individu menjadi lebih berarti (Pulchaski, 2004). Pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membuat individu menerima kondisinya ketika sakit dan memiliki pandangan hidup positif (Young, 1993 dalam Young & Koospen, 2005). Menurut Young & Koopsen (2005) bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas dapat membantu individu dalam menerima keterbatasan kondisi mereka. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberi kekuatan pikiran dan tindakan pada individu. Pemenuhan kebutuhan spiritualitas memberikan semangat pada individu dalam menjalani kehidupan dan menjalani hubungan dengan Tuhan, orang lain, dan lingkungan. Dengan terpenuhinya Universitas Sumatera Utaraspiritualitas, individu menemukan tujuan, makna, kekuatan, dan bimbingan dalam perjalanan hidup.

1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas Menurut Taylor, et al (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang yaitu 1.4.1 Perkembangan Setiap individu memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbedabeda sesuai dengan usia, jenis kelamin, agama, dan kepribadian individu. Spiritualitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dan berhubungan dengan

proses perubahan dan perkembangan pada manusia. Semakin bertambah usia, individu akan memeriksa dan membenarkan keyakinan spiritualitasnya (Taylor, et al, 1997). Menurut Westerhoffs (1976 dalam Kozier, et al, 1995), perkembangan spiritualitas berdasarkan usia terdiri dari yaitu : 1. Pada masa anak-anak, spiritualitas pada masa ini belum bermakna pada dirinya. Spiritualitas didasarkan pada perilaku yang didapat yaitu melalui interaksi dengan orang lain seperti keluarga. Pada masa ini, anak-anak belum mempunyai pemahaman salah atau benar. Kepercayaan atau keyakinan mengikut i ritual atau meniru orang lain. 2. Pada masa remaja, spiritualitas pada masa ini sudah mulai pada keinginan akan pencapaian kebutuhan spiritualitas seperti keinginan melalui berdoa kepada penciptaNya, yang berarti sudah mulai membutuhkan pertolongan melalui keyakinan atau kepercayaan. Bila pemenuhan kebutuhan spiritualitas tidak terpenuhi, akan menimbulkan kekecewaan. . Pada masa dewasa awal, spiritualitas pada masa ini adanya pencarian kepercayaan diri, diawali dengan proses pernyataan akan keyakinan atau kepercayaan yang dikaitkan secara kognitif sebagai bentuk yang tepat untuk mempercayainya. Pada masa ini, pemikiran sudah bersifat rasional. Segala pertanyaan tentang kepercayaan harus dapat dijawab dan timbul perasaan akan penghargaan terhadap kepercayaan. 4. Pada masa dewasa pertengahan dan lansia, spiritualitas pada masa ini yaitu semakin kuatnya kepercayaan diri yang dipertahankan walaupun menghadapi perbedaan keyakinan yang lain dan lebih mengerti akan kepercayaan

dirinya. Perkembangan spiritualitas pada tahap ini lebih matang sehingga membuat individu mampu untuk mengatasi masalah dan menghadapi kenyataan. 1.4.2 Budaya Setiap budaya memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang berbeda-beda. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup dengan seimbang (Taylor, et al, 1997). Pada umumnya seseorang akan mengikuti budaya dan spiritualitas yang dianut oleh keluarga. Individu belajar tentang nilai moral serta spiritualitas dar i hubungan keluarga. Apapun tradisi dan sistem kepercayaan yang dianut individu, pengalaman spiritualitas merupakan hal yang unik bagi setiap individu (Hamid, 1999). 1.4.3 Keluarga Keluarga sangat berperan dalam perkembangan spiritualitas individu. Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan Universitas Sumatera Utarapandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri. Keluarga memiliki peran yang penting dalam memenuhi kebutuhan sipitualitas karena keluarga memiliki ikatan emosional yang kuat dan selalu berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari dengan individu (Hidayat, 2006; Taylor, et al, 1997). 1.4.4 Agama Agama sangat mempengaruhi spiritualitas individu. Agama merupakan

suatu sistem keyakinan dan ibadah yang dipraktikkan individu dalam pemenuhan spiritualitas individu. Agama merupakan cara dalam pemeliharaan hidup terhadap segala aspek kehidupan. Agama berperan sebagai sumber kekuatan dan kesejahteraan pada individu (Potter & Perry, 2005). 1.4.5 Pengalaman Hidup Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap kejadian yang dialaminya. Pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menyebabkan seseorang bersyukur atau tidak bersyukur. Sebagian besar individu bersyukur terhadap pengalaman hidup yang menyenangkan (Taylor, et al, 1997). 1.4.6 Krisis dan Perubahan Krisis dan perubahan dapat menguatkan spiritualitas pada seseorang. Krisis sering dialami seseorang ketika mengahadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan kematian. Perubahan dalam kehidupan dan krisis yang dialami seseorang merupakan pengalaman spiritualitas yang bersifat fisikal dan emosional (Craven & Hirnle, 1996). Universitas Sumatera Utara1.4.7 Isu Moral Terkait dengan Terapi Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya walaupun ada agama yang menolak intervensi pengobatan. Prosedur medik seringkali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama, misalnya sirkumsisi, transplantasi organ, pencegahan kehamilan, sterilisasi. Konflik antara jenis terapi dengan keyakinan agama sering dialami oleh klien dan

tenaga kesehatan (Taylor, et al, 1997). 1.4.8 Asuhan Keperawatan yang Kurang Sesuai Ketika memberikan asuhan keperawatan kepada klien, perawat diharapkan untuk peka terhadap kebutuhan spiritualitas klien, tetapi dengan berbagai alasan ada kemungkinan perawat menghindar untuk memberikan asuhan keperawatan spiritualitas. Hal tersebut terjadi karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritualitas, t idak mendapatkan pendidikan tentang aspek spiritualitas dalam keperawatan atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan spiritualitas klien bukan merupakan tugasnya tetapi tanggung jawab pemuka agama (Taylor, et al, 1997). Asuhan keperawatan untuk kebutuhan spiritualitas mengalir dari sumber spiritualitas perawat. Perawat tidak dapat memenuhi kebutuhan spiritualitas tanpa terlebih dahulu memenuhi kebutuhan spiritualitas mereka sendiri. Perawat yang bekerja digaris terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritualitas klien. Berbagai cara perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritualitas sampai dengan menfasilitasi untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya (Widyatuti, 1999). 2. Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.1 Pasien ICU Pasien yang dirawat di ICU adalah pasien yang sakit gawat bahkan dalam keadaan terminal yang sepenuhnya tergantung pada orang yang merawatnya dan memerlukan perawatan secara intensif. Pasien ICU yaitu pasien yang kondisinya

kritis sehingga memerlukan pengelolaan fungsi sistem organ tubuh secara terkoordinasi, berkelanjutan, dan memerlukan pemantauan secara terus menerus (Hanafie, 2007; Rabb, 1998). Pasien ICU tidak hanya memerlukan perawatan dari segi fisik tetapi memerlukan perawatan secara holistik. Kondisi pasien yang dirawat di ICU (Hanafie, 2007; Rabb, 1998) yaitu (1 ) Pasien sakit berat, pasien tidak stabil yang memerlukan terapi intensif seperti bantuan ventilator, pemberian obat vasoaktif melalui infus secara terus menerus, seperti pasien dengan gagal napas berat, pasien pasca bedah jantung terbuka, dan syok septik (2) Pasien yang memerlukan bantuan pemantauan intensif sehingga komplikasi berat dapat dihindari atau dikurangi seperti pasien pasca bedah besar dan luas, pasien dengan penyakit jantung, paru, dan ginjal (3) Pasien yang memerlukan terapi intensif untuk mengatasi komplikasi-komplikasi dari penyakitnya seperti pasien dengan tumor ganas dengan komplikasi infeksi dan penyakit jantung. Dari pemaparan di atas bahwa kondisi pasien ICU yang mengalami masalah fisik seperti demikian akan mempengaruhi kondisi psikis, sosial, dan spiritualitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hupcey (2000) bahwa pasien 45 pasien ICU yang dirawat selama tiga hari di ICU mengalami distress spiritual. Distress spiritualitas merupakan suatu keadaan ketika pasien mengalami gangguan dalam kepercayaan atau sistem nilai yang memberikannya kekuatan, dan arti kehidupan, yang ditandai dengan pasien meminta pertolongan spiritual, mengungkapkan adanya keraguan dalam sistem kepercayaan, adanya keraguan yang berlebihan dalam mengartikan hidup, mengungkapkan perhatian

yang lebih pada kematian, menolak kegiatan ritual dan terdapat tanda-tanda seperti menangis, menarik diri, cemas dan marah, kemudian didukung dengan tanda-tanda fisik seperti nafsu makan terganggu, kesulitan tidur dan tekanan darah meningkat (Hidayat, 2006).

2.2 Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU Kebutuhan spiritualitas adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan memenuhi kewajiban agama, serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Menurut Hamid (1999) bahwa kebutuhan spiritual yaitu kebutuhan akan arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan berhubungan serta kebutuhan mendapatkan pengampunan. Ketika penyakit menyerang seseorang, kekuatan spiritualitas sangat berperan penting dalam proses penyembuhan. Selama sakit, individu menjadi kurang mampu untuk merawat diri mereka dan lebih bergantung pada orang lain. Individu yang menderita suatu penyakit mengalami distress spiritualitas. Distress spiritualitas menyebabkan individu mencari tahu sesuatu yang terjadi pada dirinya yang menyebabkan individu merasa sendiri dan terisolasi dari orang lain (Potter & Perry, 2005). Pasien yang dirawat di ICU bukan hanya mengalami masalah fisik, psikis dan sosial, tetapi mengalami masalah pada spiritualitas sehingga pasien kehilangan hubungan dengan Tuhan dan hidup tidak berarti. Perasaan-perasaan tersebut menyebabkan seseorang menjadi stres dan depresi berat menurunkan

kekebalan tubuh dan akan memperberat kondisinya (Young & Koopsen, 2005). Pada pasien yang dirawat di ruang ICU memiliki kebutuhan spiritualitas berupa doa dari keluarga, teman, dan sahabat. Selain itu, pasien membutuhkan kehadiran orang yang dicintai dan kehadiran orang-orang yang merawat pasien. Kehadiran orang tersebut dapat memberikan dukungan, merasakan apa yang dirasakan, selalu berada disamping pasien, dan merawat pasien dengan tulus (Zerwekh, 1997 dalam Young & Koopsen, 2005). Hal ini juga didukung oleh O Brien (1999) bahwa kebutuhan spiritualitas pasien yang dirawat di ruang ICU yaitu menginginkan adanya dukungan dari keluarga, ketenangan dari gangguan suara di ruangan, berinteraksi dengan orang-orang yang dibutuhkannya, dan dapat melaksanakan praktik keagamaan seperti beribadah dan berdoa.

2.3 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Pasien ICU 2.3.1 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Perawat Perawat berperan sebagai pemberi asuhan keperawatan. Perawat membantu pasien mendapatkan kembali kesehatannya melalui proses penyembuhan. Proses penyembuhan bukan hanya sembuh dari penyakit tertentu. Asuhan keperawatan yang diberikan tidak hanya berfokus pada perawatan fisik, tetapi perawatan secara holistik. Perawat merupakan orang yang selalu berinteraksi dengan pasien selama 24 jam. Perawat sangat berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritualitas pasien seperti mendatangkan pemuka agama sesuai dengan agama

Universitas Sumatera Utarayang diyakini pasien, memberikan memberi kesempatan

privacy

untuk berdoa,

pada pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga atau teman) (Young & Koopsen, 20005; Hamid, 1999). Selain itu, perawat dapat memberikan pemenuhan kebutuhan spiritualitas kepada pasien yaitu dengan memberikan dukungan emosional, membantu dan mengajarkan doa, memotivasi dan mengingatkan waktu ibadah sholat, mengajarkan relaksasi dengan berzikir ketika sedang kesakitan, berdiri di dekat klien, memberikan sentuhan selama perawatan (Potter & Perry, 2005). 2.3.2 Pemenuhan Kebutuhan Spiritualitas Oleh Keluarga Menurut Duval (1972 dalam Setiadi, 2008) bahwa keluarga merupakan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan meningkatkan perkembangan fisik, psikologis, sosial, dan spiritual dari setiap anggota keluarga. Keluarga merupakan orang terdekat dari individu ketika sakit. Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu mengambil keputusan dalam kesehatan, ikut merawat anggota keluarga yang sakit, dan memodifikasi lingkungan (Friedman, 1998). Keluarga mempunyai fungsi-fungsi yang terdiri dari fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi ekonomi, dan fungsi pelestarian lingkungan (Setiadi, 2008). Keluarga berperan dalam memberikan kasih sayang kepada anggota keluarga, memberikan kenyamanan pada anggota keluarga baik secara fisik maupun psikis, dan membina praktik keagamaan dalam kehidupan sehari-hari (Friedman, 1998).

Pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang dirawat di ruang ICU dapat dilakukan oleh keluarga. Keluarga sangat berperan dalam perkembangan Universitas Sumatera Utaraspiritualitas individu. Keluarga merupakan tempat pertama kali individu memperoleh pengalaman dan pandangan hidup. Dari keluarga, individu belajar tentang Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri (Taylor, et al, 1997). Keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien dalam memberikan dukungan dan keyakinan pada mereka. Menurut Davis (2007) menyatakan bahwa keluarga beperan dalam perawatan pasien ICU khususnya pemenuhan kebutuhan spiritualitas pada pasien yang mempengaruhi penyembuhan pasien. Keluarga dapat memberikan dukungan spiritual pada anggota keluarganya yang sakit dengan bantuan doa, ritual agama, menghiburnya, merasakan penderitaan yang dialami oleh anggota keluarga yang sakit.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebutuhan Spiritualitas 1. Konsep Spiritual a. Definisi

Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebagai contoh seseorang yang percaya kepada Allah sebagai Pencipta atau sebagai Maha Kuasa. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrumen (medium) sholat, puasa, zakat, haji, doa dan sebagainya (Hawari, 2002). b. Aspek spiritualitas Kebutuhan spiritual adalah harmonisasi dimensi kehidupan. Dimensi ini termasuk menemukan arti, tujuan, menderita, dan kematian; kebutuhan akan harapan dan keyakinan hidup, dan kebutuhan akan keyakinan pada diri sendiri, dan Tuhan. Ada 5 dasar kebutuhan spiritual manusia yaitu: arti dan tujuan hidup, perasaan misteri, pengabdian, rasa percaya dan harapan di waktu kesusahan (Hawari, 2002). Menurut Burkhardt (dalam Hamid, 2000) spiritualitas meliputi aspek sebagai berikut: 7 8 1) Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan 2) Menemukan arti dan tujuan hidup 3) Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri 4) Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan

Yang Maha Tinggi. c. Dimensi spiritual Dimensi spiritual berupaya untuk mempertahankan keharmonisan atau keselarasan dengan dunia luar, berjuang untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian. Dimensi spiritual juga dapat menumbuhkan kekuatan yang timbul diluar kekuatan manusia (Kozier, 2004). Spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi, yaitu dimensi eksistensial dan dimensi agama, Dimensi eksistensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Penguasa. Spirituaiitas sebagai konsep dua dimensi. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan 9 lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara dua dimensi tersebut (Hawari, 2002). 2. Kebutuhan spiritual Kebutuhan spiritual adalah kebutuhan untuk mempertahankan atau mengembalikan keyakinan dan rnemenuhi kewajiban agamas serta kebutuhan untuk mendapatkan maaf atau pengampunan, mencintai, menjalin hubungan penuh rasa percaya dengan Tuhan. Kebutuhan spiritual

adalah kebutuhan mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, serta kebutuhan untuk memberikan dan mendapatkan maaf (Kozier, 2004). Menginventarisasi 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia (Clinebell dalam Hawari, 2002), yaitu : a. Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust), kebutuhan ini secara terus-menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah. b. Kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, kebutuhan untuk menemukan makna hidup dalam membangun hubungan yang selaras dengan Tuhannya (vertikal) dan sesama manusia (horisontat) serta alam sekitaraya c. Kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, pengalaman agama integratif antara ritual peribadatan dengan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari. 10 d. Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, tujuannya agar keimanan seseorang tidak melemah. e. Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa. rasa bersaiah dan berdosa ini merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak baik bagi kesehatan jiwa seseorang. Kebutuhan ini mencakup dua hal yaitu pertama secara vertikal adalah kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah, dan berdosa kepada Tuhan. Kedua secara horisontal yaitu

bebas dari rasa bersalah kepada orang lain f. Kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri {self acceptance dan self esteem), setiap orang ingin dihargai, diterima, dan diakui oleh lingkungannya. g. Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan. Bagi orang beriman hidup ini ada dua tahap yaitu jangka pendek (hidup di dunia) dan jangka panjang (hidup di akhirat). Hidup di dunia sifatnya sementara yang merupakan persiapan bagi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. h. Kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin tinggi sebagai pribadi yang utuh. Di hadapan Tuhan, derajat atau kedudukan manusia didasarkan pada tingkat keimanan seseorang. Apabila seseorang ingin agar derajatnya lebih tinggi dihadapan Tuhan maka dia senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanannya. 11 i. Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia. Manusia hidup saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, hubungan dengan orang disekitarnya senantiasa dijaga. Manusia juga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan alamnya sebagai tempat hidupnya. Oleh karena itu manusia mempunyai kewajiban untuk menjaga dan melestarikan alam ini. j. Kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilainilai religius. Komunitas keagamaan diperlukan oleh seseorang dengan sering berkumpul dengan orang yang beriman akan mampu

meningkatkan iman orang tersebut. 3. Pola Normal Spiritual Dimensi spiritual adalah sesuatu yang terintegrasi dan berhubungan dengan dimensi yang lain dalam diri seorang individu. Spiritualitas mewakili totalitas keberadaan seseorang dan berfungsi sebagai perspektif pendorong yang menyatukan berbagai aspek individual. Dimensi spiritual merupakan salah satu dimensi penting yang perlu diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada seorang klien. Keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Keyakinan tersebut diketahui sebagai suatu faktor yang kuat dalam penyembuhan dan pemulihan fisik (Hamid, 2000). Oleh karena itu, menjadi suatu hal penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat 12 memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada klien. Setiap individu memiliki definisi dan konsep yang berbeda mengenai spiritualitas. Kata-kata yang digunakan untuk menjabarkan spiritualitas termasuk makna, transenden, harapan, cinta, kualitas, hubungan, dan eksistensi (Potter & Perry, 2005). Setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda mengenai hal tersebur. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang,

serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Pengaruh tersebut nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep spiritulitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh (Hawari, 2002). Konsep spiritual memiliki arti yang berbeda dengan konsep religius. Banyak perawat dalam praktiknya tidak dapat membedakan kedua konsep tersebut karena menemui kesulitan dalam memahami keduanya. Kedua hal tersebut memang sering digunakan secara bersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Konsep religius biasanya berkaitan dengan pelaksanaan suatu kegiatan atau proses melakukan suatu tindakan. Konsep religius merupakan suatu sistem penyatuan yang spesifik mengenai praktik yang berkaitan bentuk ibadah tertentu. Emblen dalam Potter dan Perry mendefinisikan religi sebagai suatu sistem keyakinan dan ibadah 13 terorganisasi yang dipraktikan seseorang secara jelas menunjukkan spiritualitas mereka (Hawari, 2002) Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa religi adalah proses pelaksanaan suatu kegiatan ibadah yang berkaitan dengan keyakinan tertentu. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan spiritualitas diri mereka. Sedangkan spiritual memiliki konsep yang lebih umum mengenai keyakinan seseorang. Terlepas dari prosesi ibadah yang dilakukan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan tersebut (Hawari, 2002) Konsep spiritual berkaitan dengan nilai, keyakinan, dan

kepercayaan seseorang. Kepercayaan itu sendiri memiliki cakupan mulai dari atheisme (penolakan terhadap keberadaan Tuhan) hingga agnotisme (percaya bahwa Tuhan ada dan selalu mengawasi) atau theism (Keyakinan akan Tuhan dalam bentuk personal tanpa bentuk fisik) seperti dalam Kristen dan Islam. Keyakinan merupakan hal yang lebih dalam dari suatu kepercayaan seorang individu. Keyakinan mendasari seseorang untuk bertindak atau berpikir sesuai dengan kepercayaan yang ia ikuti (Hawari, 2004). Keyakinan dan kepercayaan akan Tuhan biasanya dikaitkan dengan istilah agama. Di dunia ini, banyak agama yang dianut oleh masyarakat sebagai wujud kepercayaan mereka terhadap keberadaan Tuhan. Tiap agama yang ada di dunia memiliki karakteristik yang berbeda mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan keyakinan sesuai dengan 14 prinsip yang mereka pegang teguh. Keyakinan tersebut juga mempengaruhi seorang individu untuk menilai sesuatu yang ada sesuai dengan makna dan filosofi yang diyakininya. Sebagai contoh, persepsi seorang Muslim mengenai perawatan kesehatan dan respon penyakit tentunya berbeda dengan persepsi seorang Budhis. Semua itu tergantung konsep spiritual yang dipahami sesuai dengan keyakinan dan keimanan seorang individu. Konsep spiritual yang dianut atau dipahami oleh seorang klien dapat mempengaruhi cara pandang klien mengenai segala sesuatunya, tak terkecuali dalam bidang kesehatan. Paradigma mengenai sakit, tipe-tipe pengobatan yang dilakukan, persepsi mengenai kehidupan

dan makna yang terkandung di dalamnya adalah contoh penerapan konsep spiritual secara normal pada diri seorang individu. Ada beberapa agama yang menerapkan pola normal spiritualnya dengan cara: a. Beberapa orang menjadi spiritual setelah usia 40 tahun. Pada satu tingkat pergi ke kuil, menghadiri wacana-wacana dan membaca bukubuku atau kitab-kitab dianggap sangat spiritual. b. Tingkat kedua orang memiliki seorang guru mengikuti tradisi maka mereka memiliki sadhana. Ini adalah zaman baru modern gaya c. Ada tingkat ketiga orang yang mempunyai dewa dan mereka upsana. Beberapa praktik seni seperti astrologi atau obat atau tari atau musik dan kemudian mereka menggunakan waktu luang ada dalam sadhana spiritual. 15

d. Beberapa orang menghadiri Bhajan dan kemudian melakukan pelayanan sosial yang juga baik seperi pelayanan kesehatan. 4. Pola normal spiritual Pola normal spiritual sangat erat hubungannya dengan kesehatan, Karena dari pola tersebut dapat menciptakan suatu bentuk perilaku adaptif ataupun maladaptif berhubungan dengan penerimaan kondisi diri. Dimensi spiritual merupakan dimensi yang sangat penting diperhatikan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada semua klien. Carson (2002) menyatakan bahwa keimanan atau keyakinan religius adalah sangat penting dalam kehidupan personal individu. Lebih lanjut dikatakannya bahwa keimanan diketahui sebagai suatu faktor yang sangat

kuat (powerful) dalam penyembuhan dan pemulihan fisik, yang tidak dapat diukur. Mengingat pentingnya peranan spiritual dalam penyembuhan dan pemulihan kesehatan maka penting bagi perawat untuk meningkatkan pemahaman tentang konsep spiritual agar dapat memberikan asuhan spiritual dengan baik kepada semua klien. 5. Perkembangan Aspek Spiritual Perawat yang bekerja di garis terdepan harus mampu memenuhi semua kebutuhan manusia termasuk juga kebutuhan spiritual klien. Berbagai cara dilakukan perawat untuk memenuhi kebutuhan klien mulai dari pemenuhan makna dan tujuan spiritual sampai dengan memfasilitasi klien untuk mengekspresikan agama dan keyakinannya. Pemenuhan aspek spiritual pada klien tidak terlepas dari pandangan terhadap lima dimensi 16 manusia yang harus dintegrasikan dalam kehidupan. Lima dimensi tersebut yaitu dimensi fisik, emosional, intelektual, sosial, dan spiritual. Dimensi-dimensi tersebut berada dalam suatu sistem yang saling berinterksi, interrelasi, dan interdepensi, sehingga adanya gangguan pada suatu dimensi dapat mengganggu dimensi lainnya (Carson, 2002) Perawat harus mengetahui tahap perkembangan spiritual dari manusia, sehingga perawat dapat memberikan asuhan keperawatan dengan tepat dalam rangka memenuhi kebutuhan spiritual klien. Tahap perkembangan klien dimulai dari lahir sampai klien meninggal dunia. Perkembangan spiritual manusia dapat dilihat dari tahap perkembangan mulai dari bayi, anak-anak, pra sekolah, usia sekolah, remaja, desawa

muda, dewasa pertengahan, dewasa akhir, dan lanjut usia. Secara umum tanpa memandang aspek tumbuh-kembang manusia proses perkembangan aspek spiritual dilhat dari kemampuan kognitifnya dimulai dari pengenalan, internalisasi, peniruan, aplikasi dan dilanjutkan dengan instropeksi. Namun, berikut akan dibahas pula perkembangan aspek spiritual berdasarkan tumbuh-kembang manusia (Carson, 2002) Perkembangan spiritual pada anak sangatlah penting untuk diperhatikan. Manusia sebagai klien dalam keperawatan anak adalah individu yang berusia antara 0-18 bulan, yang sedang dalam proses tumbuh kembang, yang mempunyai kebutuhan yang spesifik (fisik, psikologis, sosial, dan spiritual) yang berbeda dengan orang dewasa. Anak adalah individu yang masih bergantung pada orang dewasa dan 17 lingkungan, artinya membutuhkan lingkungan yang dapat memfasilitasi dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan untuk belajar mandiri (Larson, 2009). Tahap awal perkembangan manusia dimulai dari masa perkembangan bayi. Hamid (2000) menjelaskan bahwa perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan spiritual selanjutnya. Bayi memang belum memiliki moral untuk mengenal arti spiritual. Keluarga yang spiritualnya baik merupakan sumber dari terbentuknya perkembangan spiritual yang baik pada bayi. Oleh karena itu, perawat dapat menjalin kerjasama dengan orang tua bayi tersebut untuk membantu pembentukan nilai-nilai spiritual pada bayi.

Dimensi spiritual mulai menunjukkan perkembangan pada masa kanak-kanak awal (18 bulan-3 tahun). Anak sudah mengalami peningkatan kemampuan kognitif. Anak dapat belajar membandingkan hal yang baik dan buruk untuk melanjuti peran kemandirian yang lebih besar. Tahap perkembangan ini memperlihatkan bahwa anak-anak mulai berlatih untuk berpendapat dan menghormati acara-acara ritual dimana mereka merasa tinggal dengan aman. Observasi kehidupan spiritual anak dapat dimulai dari kebiasaan yang sederhana seperti cara berdoa sebelum tidur dan berdoa sebelum makan, atau cara anak memberi salam dalam kehidupan sehari-hari. Anak akan lebih merasa senang jika menerima pengalamanpengalaman baru, termasuk pengalaman spiritual (Hamid, 2000). 18 Perkembangan spiritual pada anak masa pra sekolah (3-6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi psikologis dominannya yaitu super ego. Anak usia pra sekolah mulai memahami kebutuhan sosial, norma, dan harapan, serta berusaha menyesuaikan dengan norma keluarga. Anak tidak hanya membandingkan sesuatu benar atau salah, tetapi membandingkan norma yang dimiliki keluarganya dengan norma keluarga lain. Kebutuhan anak pada masa pra sekolah adalah mengetahui filosofi yang mendasar tentang isu-isu spiritual. Kebutuhan spiritual ini harus diperhatikan karena anak sudah mulai berfikiran konkrit. Mereka kadang sulit menerima penjelasan mengenai Tuhan yang abstrak, bahkan mereka masih kesulitan membedakan Tuhan dan orang tuanya (Hamid, 2000). Usia sekolah merupakan masa yang paling banyak mengalami

peningkatan kualitas kognitif pada anak. Anak usia sekolah (6-12 tahun) berfikir secara konkrit, tetapi mereka sudah dapat menggunakan konsep abstrak untuk memahami gambaran dan makna spriritual dan agama mereka. Minat anak sudah mulai ditunjukan dalam sebuah ide, dan anak dapat diajak berdiskusi dan menjelaskan apakah keyakinan. Orang tua dapat mengevaluasi pemikiran sang anak terhadap dimensi spiritual mereka (Hamid, 2000). Remaja (12-18 tahun). Pada tahap ini individu sudah mengerti akan arti dan tujuan hidup, Menggunakan pengetahuan misalnya untuk mengambil keputusan saat ini dan yang akan datang. Kepercayaan berkembang dengan mencoba dalam hidup. Remaja menguji nilai dan 19 kepercayaan orang tua mereka dan dapat menolak atau menerimanya. Secara alami, mereka dapat bingung ketika menemukan perilaku dan role model yang tidak konsisten. Pada tahap ini kepercayaan pada kelompok paling tinggi perannya daripada keluarga. Tetapi keyakinan yang diambil dari orang lain biasanya lebih mirip dengan keluarga, walaupun mereka protes dan memberontak saat remaja. Bagi orang tua ini merupakan tahap paling sulit karena orang tua melepas otoritasnya dan membimbing anak untuk bertanggung jawab. Seringkali muncul konflik orang tua dan remaja (Hamid, 2000). Dewasa muda (18-25 tahun). Pada tahap ini individu menjalani proses perkembangannya dengan melanjutkan pencarian identitas spiritual, memikirkan untuk memilih nilai dan kepercayaan mereka yang dipelajari

saaat kanak-kanak dan berusaha melaksanakan sistem kepercayaan mereka sendiri. Spiritual bukan merupakan perhatian utama pada usia ini, mereka lebih banyak memudahkan hidup walaupun mereka tidak memungkiri bahwa mereka sudah dewasa (Hamid, 2000). Dewasa pertengahan (25-38 tahun). Dewasa pertenghan merupakan tahap perkembangan spiritual yang sudah benar-benar mengetahui konsep yang benar dan yang salah, mereka menggunakan keyakinan moral, agama dan etik sebagai dasar dari sistem nilai. Mereka sudah merencanakan kehidupan, mengevaluasi apa yang sudah dikerjakan terhadap kepercayaan dan nilai spiritual (Hamid, 2000). 20 Dewasa akhir (38-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimensi yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan ritual spiritual meningkat (Hamid, 2000). Lanjut usia (65 tahun sampai kematian). Pada tahap perkembangan ini, pada masa ini walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagian dan rasa berguna bagi orang lain. Riset membuktikan orang yang agamanya baik, mempunyai kemungkinan melanjutkan kehidupan lebih baik. Bagi lansia yang agamanya tidak baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa

tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian disebabkan cemas pada proses bukan pada kematian itu sendiri (Hamid, 2000). Dimensi spiritual menjadi bagian yang komprehensif dalam kehidupan manusia. Karena setiap individu pasti memiliki aspek spiritual, walaupun dengan tingkat pengalaman dan pengamalan yang berbeda-beda berdasarkan nilai dan keyaninan mereka yang mereka percaya. Setiap fase dari tahap perkembangan individu menunjukkan perbedaan tingkat atau pengalaman spiritual yang berbeda (Hamid, 2000). 21 B. Peran Perawat Dalam Pemenuhan Kebutuhan Spiritual Menurut Undang-undang Kesehatan No.23 tahun 1992 bahwa Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberian asuhan atau pelayanan keperawatan, praktek keperawatan, pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan klien (individu, keluarga dan masyarakat) serta kegiatan penelitian dibidang keperawatan (Gaffar, 1999). Dalam hal ini klien dianggap sebagai tokoh utama (central figure) dan menyadari bahwa tim kesehatan pada pokoknya adalah membantu tokoh utama tadi. Usaha perawat menjadi sia-sia bila klien tidak mengerti, tidak menerima atau menolak atas asuhan keperawatan, karenanya jangan sampai

muncul klien tergantung pada perawat/tim kesehatan. Jadi pada dasarnya tanggung jawab seorang perawat adalah menolong klien dalam membantu klien dalam menjalankan pekerjaan-pekerjaan yang biasanya dia lakukan tanpa bantuan. Perawat dapat melakukan beberapa hal yang dapat membantu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan klien, diantaranya : Menciptakan rasa kekeluargaan dengan klien, berusaha mengerti maksud klien, berusaha untuk selalu peka terhadap ekspresi non verbal, berusaha mendorong klien untuk mengekspresikan perasaannya, berusaha mengenal dan menghargai klien. Mengingat perawat merupakan orang pertama dan secara konsisten selama 24 jam sehari menjalin kontak dengan pasien, sehingga dia sangat 22 berperan dalam membantu memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Menurut Andrew dan Boyle (2002) pemenuhan kebutuhan spiritual memerlukan hubungan interpersonal, oleh karena itu perawat sebagai satu-satunya petugas kesehatan yang berinteraksi dengan pasien selama 24 jam maka perawat adalah orang yang tepat untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien. Kebutuhan spiritual klien sering ditemui oleh perawat dalam menjalankan perannya sebagai pemberi pelayanan atau asuahn keperawatan. Hal ini perawat menjadi contoh peran spiritual bagi klienya. Perawat harus mempunyai pegangan tentang keyakianan spiritual yang memenuhi kebutuhanya untuk mendapatkan arti dan tujuan hidup, mencintai, dan berhubungan serta pengampunan (Hamid, 2000). Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan tahun 1989 terdiri

dari peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, advokad pasien, pendidik, koordinator, kolaborator, konsultan, dan peneliti yang dapat digambarkan sebagai berikut (Hidayat, 2008): 1. Peran Sebagai Pemberi Asuhan Keperawatan Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikan keadaan kebutuhan keadaan dasar manusia yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan dengan menggunakan proses keperawatan sehingga dapat ditentukan diagnosis keperawatan agar bisa direncanakan dan dilaksanakan tindakan yang sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. 23 2. Peran Sebagai Advokat Klien Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-hak pasian yang meliputi hak atas peleyanan sebaik-baiknya, hak atas informasi tentang penyakitnya, hak atas privasi, hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti rugi akibat kelalaian. 3. Peran Edukator Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit, bahkan tindakan yang diberikan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien setelah mendapatkan pendidikan kesehatan. 4. Peran Koordinator Peran ini dilaksakan dengan mengarahkan, merencanakan, serta mengorganisasi pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberian pelayanan kesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien. 5. Peran Kolaborator Peran perawat disini dilakukan karena perawat bekerja melalaui tim kesehatan yang terdiri dari dokter, fiisoterapis, ahli gizi dan lain-lain dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang 24 diperlukan termasuk diskusi, atau bertukar pendapat dalam bentuk pelayanan selanjutnya. 6. Peran Konsultan Peran perawat sebagai konsultan adalah sebagai tempat konsultasi terhadap masalah atau tindakan keperawatan yang tepat untuk diberikan. Peran ini dilakukan atas permintaan klien terhadap informasi tentang tujuan pelayanan keperawatan yang diberikan. 7. Peran Pembaharu Peran sebagai pembaharu dapat dilakukan dengan mengadakan perencanaan, kerja sama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian pelayanan keperawatan. Peran perawat dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pasien

merupakan bagian dari peran dan fungsi perawat dalam pemberian asuhan keperawatan. Untuk itu diperlukan sebuah metode ilmiah untuk menyelesaikan masalah keperawatan, yang dilakukan secara sitematis yaitu dengan pendekatan proses keperawatan yang diawali dari pengkajian data, penetapan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Berikut ini akan diuraikan mengenai proses keperawatan pada aspek spiritual (Hamid, 2000): 1. Pengkajian Ketepatan waktu pengkajian merupakan hal yang penting yaitu dilakukan setelah pengkajian aspek psikososial pasien. Pengkajian aspek spiritual memerlukan hubungan interpersonal yang baik dengan pasien. Oleh karena itu pengkajian sebaiknya dilakukan setelah perawat dapat 25 membentuk hubungan yang baik dengan pasien atau dengan orang terdekat dengan pasien, atau perawat telah merasa nyaman untuk membicarakannya. Pengkajian yang perlu dilakukan meliputi: a. Pengkajian data subjektif Pedoman pengkajian yang disusun oleh Stoll (dalam Kozier, 2005) mencakup (a) konsep tentang ketuhanan, (b) sumber kekuatan dan harapan, (c) praktik agama dan ritual, dan (d) hubungan antara keyakinan spiritual dan kondisi kesehatan. b. Pengkajian data objektif Pengkajian data objektif dilakukan melalui pengkajian klinik yang meliputi pengkajian afek dan sikap, perilaku, verbalisasi, hubungan interpersonal dan lingkungan. Pengkajian data objektif

terutama dilakukan melalui observasi, Pengkajian tersebut meliputi: 1) Afek dan sikap Apakah pasien tampak kesepian, depresi, marah, cemas, agitasi, apatis atau preokupasi? 2) Perilaku Apakah pasien tampak berdoa sebelum makan, membaca kitab suci atau buku keagamaan? dan apakah pasien seringkali mengeluh, tidak dapat tidur, bermimpi buruk dan berbagai bentuk gangguan tidur lainnya, serta bercanda yang tidak sesuai atau mengekspresikan kemarahannya terhadap agama?. 26 3) Verbalisasi Apakah pasien menyebut Tuhan, doa, rumah ibadah atau topik keagamaan lainnya?, apakah pasien pernah minta dikunjungi oleh pemuka agama? dan apakah pasien mengekspresikan rasa takutnya terhadap kematian? 4) Hubungan interpersonal Siapa pengunjung pasien? bagaimana pasien berespon terhadap pengunjung? apakah pemuka agama datang mengunjungi pasien? Dan bagaimana pasien berhubungan dengan pasien yang lain dan juga dengan perawat? 5) Lingkungan Apakah pasien membawa kitab suci atau perlengkapan ibadah

lainnya? apakah pasien menerima kiriman tanda simpati dari unsur keagamaan dan apakah pasien memakai tanda keagamaan (misalnya memakai jilbab?). 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang berkaitan dengan masalah spiritual menurut North American Nursing Diagnosis Association adalah distres spiritual (NANDA, 2006). Pengertian dari distres spiritual adalah kerusakan kemampuan dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dihubungkan dengan din, orang lain, seni, musik, literature, alam, atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya (NANDA, 2006). 27 Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) batasan karakteristik dari diagnosa keperawatan distres spiritual adalah 1) berhubungan dengan diri, meliputi; pertama mengekspresikan kurang dalam harapan, arti dan tujuan hidup, kedamaian, penerimaan, cinta, memaafkan diri, dan keberanian. Kedua marah, ketiga rasa bersalah, dan keempat koping buruk. 2) Berhubungan dengan orang lain, meliputi; menolak berinteraksi dengan pemimpin agama, menolak berinteraksi dengan teman dan keluarga, mengungkapkan terpisah dari sistem dukungan, mengekspresikan terasing. 3) Berhubungan dengan seni, musik, literatur dan alam, meliputi; tidak mampu mengekspresikan kondisi kreatif (bernyanyi, mendengar / menulis musik), tidak ada ketertarikan kepada alam, dan tidak ada ketertarikan kepada bacaan agama. 4)

Berhubungan dengan kekuatan yang melebihi dirinya, meliputi; tidak mampu ibadah, tidak mampu berpartisipasi 'alam aktifitas agama, mengekspresikan ditinggalkan atau marah kepada Tuhan, tidak mampu untuk mengalami transenden, meminta untuk bertemu pemimpin agama, perubahan mendadak dalam praktek keagamaan, tidak mampu introspeksi dan mengalami penderitaan tanpa harapan. Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA, 2006) faktor yang berhubungan dari diagnosa keperawatan distress spiritual adalah; mengasingkan diri, kesendirian atau pengasingan sosial, cemas, deprivasi/kurang sosiokultural, kematian dan sekarat diri 28 atau orang lain, nyeri, perubahan hidup, dan penyakit kronis diri atau orang lain. 3. Perencanaan Setelah diagnosa keperawatan dan faktor yang berhubungan teridentifikasi, selanjutnya perawat dan pasien menyusun kriteria hasil dan rencana intervensi. Tujuan asuhan keperawatan pada pasien dengan distres spiritual difokuskan pada menciptakan lingkungan yang mendukung praktek keagamaan dan kepercayaan yang biasanya dilakukan. Tujuan ditetapkan secara individual dengan mempertimbangkan riwayat pasien, area beresiko, dan tanda-tanda disfungsi serta data objektif yang relevan. Menurut (Kozier, 2005) perencanaan pada pasien dengan distres spiritual dirancang untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien dengan: 1) membantu pasien memenuhi kewajiban agamanya, 2) membantu pasien

menggunakan sumber dari dalam dirinya dengan cara yang lebih efektif untuk mengatasi situasi yang sedang dialami, 3) membantu pasien mempertahankan atau membina hubungan personal yang dinamik dengan Maha Pencipta ketika sedang menghadapi peristiwa yang kurang menyenangkan, 4) membantu pasien mencari arti keberadaannya dan situasi yang sedang dihadapinya, 5) meningkatkan perasaan penuh harapan, dan 6) memberikan sumber spiritual atau cara lain yang relevan. 4. Implementasi Pada tahap implementasi, perawat menerapkan rencana intervensi dengan melakukan prinsip-prinsip kegiatan asuhan keperawatan sebagai 29 berikut : 1) periksa keyakinan spiritual pribadi perawat, 2) fokuskan perhatian pada persepsi pasien terhadap kebutuhan spiritualnya, 3) jangan beranggapan pasien tidak mempunyai kebutuhan spiritual, 4) mengetahui pesan non verbal tentang kebutuhan spiritual pasien, 5) berespon secara singkat, spesifik, dan aktual, 6) mendengarkan secara aktif dan menunjukkan empati yang berarti menghayati masalah pasien, dan 7) membantu memfasilitasi pasien agar dapat memenuhi kewajiban agama, 8) memberitahu pelayanan spiritual yang tersedia di rumah sakit. Pada tahap implementasi ini, perawat juga harus memperhatikan 10 butir kebutuhan dasar spiritual manusia seperti yang disampaikan oleh Clinebell (Hawari, 2002) yang meliputi: 1) kebutuhan akan kepercayaan dasar, 2) kebutuhan akan makna dan tujuan hidup, 3) kebutuhan akan komitmen peribadatan dan hubungannya dengan keseharian, 4) kebutuhan akan pengisian

keimanan dengan secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan, 5) kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan dosa, 6) kebutuhan akan penerimaan diri dan harga diri, 7) kebutuhan akan rasa aman terjamin dan keselamatan terhadap harapan masa depan, 8) kebutuhan akan dicapainya derajat dan martabat yang makin. tinggi sebagai pribadl yang utuh, 9) kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan alam dan sesama manusia, 10) kebutuhan akan kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan nilainilai religius. 30 Perawat berperan sebagai communicator bila pasien menginginkan untuk bertemu dengan petugas rohaniawan atau bila menurut perawat memerlukan bantuan rohaniawan dalam mengatasi masalah spirituahiya. Menurut McCloskey dan Bulechek (2006) dalam Nursing Interventions Classification (NIC), intervensi keperawatan dari diagnosa distres spiritual salah satunya adalah support spiritual. Definisi support spiritual adalah membantu pasien untuk merasa seimbang dan berhubungan dengan kekuatan Maha Besar. Adapun aktivitasnya meliputi : 1) buka ekspresi pasien terhadap kesendirian dan ketidakberdayaan, 2) beri semangat untuk menggunakan sumber-sumber spiritual, jika diperlukan, 3) siapkan artikel tentang spiritual, sesuai pilihan pasien, 4) tunjuk penasihat spiritual pilihan pasien, 5) gunakan teknik klarifikasi nilai untuk membantu pasien mengklarifikasi kepercayaan dan nilai, jika diperlukan, 6) mampu untuk mendengar perasaan pasien, 7) berekspersi empati dengan perasaan pasien, 8) fasilitasi pasien dalam meditasi, berdo'a dan ritual keagamaan lainnya, 9) dengarkan dengan baik-baik komunikasi

pasien, dan kembangkan rasa pemanfaatan waktu untuk berdo'a atau ritual keagamaan, 10) yakinkan kepada pasien bahwa perawat akan dapat mensupport pasien ketika sedang menderita, 11) buka perasaan pasien terhadap keadaan sakit dan kematian, dan 12) bantu pasien untuk berekspresi yang sesuai dan bantu mengungkapkan rasa marah dengan cara yang baik (McCloskey dan Bulechek, 2006). 31 5. Evaluasi Untuk mengetahui apakah pasien telah mencapai kriteria hasil yang ditetapkan pada fase perencanaan, perawat perlu mengumpulkan data terkait dengan pencapaian tujuan asuhan keperawatan. Tujuan asuhan keperawatan tercapai apabila secara umum pasien : 1) mampu beristirahat dengan tenang, 2) mengekspresikan rasa damai berhubungan dengan Tuhan, 3) menunjukkan hubungan yang hangat dan terbuka dengan pemuka agama, 4) mengekspresikan arti positif terhadap situasi dan keberadaannya, dan 5) menunjukkan afek positif, tanpa rasa bersalah dan kecemasan.

C. Pasien dengan Pre-Operasi 1. Pengertian Pre Operasi Fase Pre operasi adalah waktu dimulai ketika keputusan untuk informasi bedah dibuat dan berakhir ketika pasien dikirim ke meja operasi (Brunner dan Suddarth, 2002). Keputusan untuk bedah ini dipengaruhi

oleh kondisi fisik dan anesthesi, untuk hal tersebut maka pasien perlu dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan radiology. 2. Perawatan Pre Operasi Perawatan pada pasien pre operasi harus memandang pasien secara utuh, yaitu mencakup unsur bio, psiko, sosio dan spiritual. Hal tersebut berjalan dengan definisi keperawatan hasil lokakarya keperawatan nasional tahun 1983 yang menyatakan bahwa keperawatan adalah suatu 32 bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio, psiko, sosio, kulturul dan spiritual yang komprehensif serta dtunjukkan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus kehidupan manusia (Gaffar, 1999). Depkes (1989) bahwa perawatan pre operasi adalah perawatan yang memberikan kepada pasien yang akan menjalani operasi. Tujuan dari perawatan pre operasi adalah untuk mempersiapkan diri pasien menghadapi anesthesia dan operasi, baik mental maupun emosional. 3. Persiapan Pasien Pre operasi Sjamsuhidajat (2005) menjelaskan bahwa persiapan pasien pre operasi meliputi persiapan fisik dan persiapan mental, persiapan mi penting sekali untuk mengurangi faktor resiko yang diakibatkan dari suatu pembedahan. a. Persiapan fisik

Perawatan yang harus diberikan pada pasien pre operasi adalah mempersiapkan secara fisik hal-hal yang dapat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap keberhasilan tindakan pembedahan atau operasi, diantaranya adalah pertama keadaan umum pasien yang meliputi: kesadaran, tensi, nadi, suhu serta pemeriksaan fisik seperti dekubitus, edema, atau bunyi nafas abnormal; kedua keseimbangan cairan dan elektrolit harus normal; 33 ketiga status nutrisi harus baik; keempat klisma dan puasa yaitu pengosongan lambung dan kolon harus baik dan bersih; kelima personal hygiene pasien harus baik; dan keenam pengosongan kandung kemih (Sjamsuhidajat, 2005). b. Persiapan mental Pasien secara mental harus dipersiapkan untuk menghadapi pembedahan, karena selalu ada rasa cemas atau takut terhadap penyuntikan, nyeri luka, anestesia, bahkan terhadap kemungkinan cacat atau mati. Dalam hal ini, hubungan baik antara penderita, keluarga dan tenaga kesehatan sangat membantu untuk memberikan dukungan sosial atau yang lebih dikenal dengan Istilah support system. Kecemasan ini adalah reaksi normal yang dapat dihadapi dengan sikap terbuka dan penerangan dari dokter dan petugas pelayanan kesehatan lainnya (Sjamsuhidajat, 2005). Perawat juga harus mampu memberikan dukungan psikologis terhadap pasien pre operasi. Dukungan psikologis yang dapat

diberikan misalnya dengan menginformasikan pada pasien sesuatu yang bisa terjadi, menentukan status psikologis pasien, memberikan prioritas peringatan dari hal-hal yang dapat membahayakan, dan mengkomunikasikan status emosional pasien kepada anggota tim kesehatan lain secara tepat (LeMone, 1996). Upaya pemenuhan kebutuhan spiritual ini dapat dilakukan dengan ,mengusahakan kemudahan seperti mendatangkan pemuka 34 agama sesuai dengan agama yang diyakini pasien, memberikan privacy untuk berdoa, memberikan kelonggaran bagi pasien untuk berinteraksi dengan orang lain (keluarga, teman, dan sebagainya) serta menjalin komunikasi yang terapeutik terhadap pasien (Hamid, 2000). Suatu penelitian terhadap pasien-pasien yang akan menjalani operasi dilakukan oleh Larson (2009) hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa pasien-pasien lanjut usia dan religius (banyak berdo'a dan berdzikir) kurang mengalami rasa ketakutan atau kecemasan terhadap operasi yang akan dijalaninya. 35 D. Kerangka Teori

Bagan 2.1 Kerangka Teori Sumber : Hamid (2000), Hawari (2002), Hidayat (2008),

dan Sjamsuhidajat (2005)

Kebutuhan Fisik: - Keadaan umum - Keseimbangan cairan dan elektrolit - Status nutrisi - Klisma & puasa - Personal hygiene - Pengosongan kandung kemih Kebutuhan Mental: - Dukungan sosial - Dukungan psikologis - Pemenuhan kebutuhan spiritual Pendekatan Proses Keperawatan: - Pengkajian - Diagnosa keperawatan - Perencanaan - Pelaksanaan

- Evaluasi Peran Perawat : - Pemberi asuhan keperawatan - Advokat Klien - Educator - Koordinator - Kolaborator - Konsiltan - Pembaharu Kebutuhan Pasien pre operasi 36

E. Kerangka Konsep

Bagan 2.2 Kerangka Konsep E. Hipotesis Penelitian ini hanya mengetahui gambaran peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan spiritual pada pasien pre operasi di Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Semarang, jadi t

Distres

spiritual adalah

gangguan

dalam

sistem

kepercayaan

seseorang. Sebagai

disetujui diagnosis keperawatan , Distress spiritualdidefinisikan sebagai "gangguan dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh diri seseorang dan yang mengintegrasikan dan melampaui alam seseorang biologis dan psikologis." [ 1 ] Diagnosis keperawatan Penulis dalam bidang keperawatan yang memberikan kontribusi untuk definisi

karakteristik Distress Rohani indikator yang digunakan untuk memvalidasi diagnosis. Manifestasi berikut Distress spiritual adalah bagian dari suatu data abstrak yang dikumpulkan oleh LearnWell Resources, Inc dari studi Maria Elizabeth O'Brien dan digunakan sebagai Panduan Penilaian Rohani untuk perubahan hadir dalam integritas spiritual. Diagnosis Distress spiritual didefinisikan oleh indikator yang hadir: rasa sakit rohani, keterasingan spiritual, kecemasan spiritual, rasa bersalah rohani, kehilangan spiritual, dan keputusasaan spiritual. Tujuh Manifestasi Spiritual Distress: [ 2 ] [ 3 ]

"Perawatan diagnosis: rasa sakit rohani, yang dibuktikan dengan ekspresi ketidaknyamanan penderitaan relatif terhadap hubungan seseorang dengan Allah, verbalisasi perasaan memiliki kekosongan atau kurangnya pemenuhan spiritual, dan / atau kurangnya kedamaian dalam hal hubungan seseorang untuk pencipta seseorang .

Perawatan-diagnosis: keterasingan spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh ungkapan kesepian atau perasaan bahwa Allah tampaknya sangat jauh dan jauh

dari kehidupan sehari-hari seseorang, verbalisasi bahwa seseorang harus tergantung pada diri seseorang pada saat sidang atau butuhkan, dan / atau negatif sikap terhadap kenyamanan atau setiap menerima bantuan dari Tuhan.

Diagnosis keperawatan: kecemasan spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh ekspresi ketakutan dari murka Allah dan hukuman; takut bahwa Allah tidak mungkin merawat satu, baik segera atau di masa depan, dan / atau khawatir bahwa Allah tidak senang dengan perilaku seseorang.

Diagnosis keperawatan: rasa bersalah spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh ekspresi menunjukkan bahwa salah satu telah gagal untuk melakukan hal-hal yang harus dia lakukan dalam hidup dan / atau melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan Allah; artikulasi kekhawatiran tentang "jenis" dari hidup seseorang telah tinggal.

Diagnosis keperawatan: kemarahan spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh ekspresi frustrasi atau kemarahan pada Tuhan karena telah membiarkan penyakit atau lainnya percobaan, komentar tentang "ketidakadilan" Tuhan, dan / atau komentar negatif tentang agama dilembagakan dan / atau menteri atau pemberi perawatan spiritual .

Diagnosis keperawatan: kehilangan spiritual, sebagaimana dibuktikan oleh ekspresi perasaan memiliki yang hilang atau dihentikan sementara kasih Allah, takut bahwa hubungan seseorang dengan Allah telah terancam, dan / atau perasaan hampa sehubungan dengan hal-hal rohani.

Perawatan-diagnosis: keputusasaan rohani, yang dibuktikan dengan ekspresi menyarankan bahwa tidak ada harapan yang pernah memiliki hubungan dengan Tuhan atau menyenangkan Dia dan / atau perasaan bahwa Allah tidak lagi dapat atau tidak peduli satu ".

Indikator (nyeri, keterasingan, kecemasan, rasa bersalah, kehilangan, dan putus asa) harus atau dapat hadir dalam mendefinisikan karakteristik distres spiritual. Penggunaan indikator dalam mendiagnosis perubahan dalam kesehatan rohani adalah kontroversial karena indikator yang mungkin muncul terkait dengan kedua masalah spiritual dan psikososial.

Wilfred McSherry, dosen senior di School of Perawatan Ilmu di University of Glamorgan , menerbitkan sebuah artikel di Jurnal Keperawatan Lanjutan tentang dilema potensial dalam melakukan penilaian rohani. Artikel ini berpendapat bahwa "bidang penilaian kebutuhan spiritual pertimbangan cermat, baik nasional maupun internasional, oleh orang-orang profesional yang terlibat dalam penyediaan perawatan rohani sehingga dilema potensial dapat diidentifikasi dan ditinjau pertimbangan tersebut dapat mencegah penggunaan konstruksi dan selanjutnya tidak tepat. alat penilaian dalam praktek ". [ 4 ] Contoh Rencana Perawatan Konsep Dasar Psikososial Distress Spiritual May 13, 2008 by mirzal tawi Menurut Carpenito (1999), ada 3 diagnosa keperawatan yang termasuk dalam lingkup nilai/kepercayaan/spiritual, yaitu :

A.

Distres Spiritual Definisi Keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau berisiko mengalami gangguan dalam sistyem keyakinan atau nilai yang memberi kekuatan, harapan, dfan arti kehidupan seseorang.

Batasan Karakteristik Mayor (harus terdapat) Mengalami suatu gangguan dalam system keyakinan Minor (mungkin terdapat) Mempertanyakan makna kehidupan, kematian dan penderitaan Mempertanyakan kredibilitas terhadap system keyakinan Mendemonstrasikan keputusasaan atau ketidak beranian Memilih untuk tidak melakukan ritual keagamaan yang biasa dilakukan Mempunyai perasaan ambivalen (ragu) mengenai keyakinan Mengekspresikan bahwa dia tidak penya alas an untuk hidup Merasakan perasaan kekosongan spiritual Mengekspresikan perhatian, marah, dendam, ketakutan, penderitaan dan kematian

Meminta bantuan spiritual terhadap suatu gangguan dalam system keyakinan.

Faktor-faktor yang berhubungan 1. Patofisiologis Berhubungan dengan tantangan pada system keyakinan atau perpisahan dari ikatan spiritual sekunder akibat : kehilangan bagian atau fungsi tubuh, penyakit terminal, penyakit yang membuat kondisi lemah, nyeri, trauma, keguguran, kelahiran mati b. Tindakan yang berhubungan Berhubungan dengan konflik diantara (uraikan program yang ditentukan) dan keyakinan, yaitu aborsi, isolasi, pembedahan. Amputasi, transfuse, pengobatan, pembatasan diet dan prosedur medis

1. Situasional (personal, lingkungan) Berhubungan dengan kematian atau penyakit dari orang terdekat Berhubungan dengan keadaan yang memalukan pada saat melakukan ritual keagamaan Berhubungan dengan hambatan dalam melakukan ritual keagamaan (pembatasan perawatan intensif, kurangnya privacy, pembatasan ke kamar tidur atau ruangan, kurangnya tersedia makanan atau diet special) Berhubungan dengan keyakinan yang ditentang oleh keluarga, teman sebaya, pemberi perawatan kesehatan Berhubungan dengan perpisahan dengan orang yang dicintai

Kriteria Hasil Individu akan : 1. 2. 3. Melanjutkan latihan spiritual yang tidak mengganggu kesehatan Mengekspresiakan pengurangan perasaan bersalah dan ansietas Mengekspresikan kepuasan dengan kondisi spiritual.

Intervensi Generik 1. Komunikasikan penerimaan berbagai keyakinan spiritual dan praktisnya. 2. Tunjukkan sikap tidak menghakimi. 3. Nyatakan pentingnya kebutuhan spiritual.

4. Ekspresikan keinginan tim perawatan kesehatan untuk membantu dalam memenuhi kebutuhan spiritual. 5. Berikan privacy dan ketenangan seperti yang dibutuhkan untuk orang yang melaksanakan ibadah. 6. Pertahankan diet dengan pembatasan spiritual jika tidak mengganggu kesehatan 7. Anjurkan kegiatan ibadah yang tidak merusak kesehatan 8. Berikan kesempatan individu untuk berdoa dengan orang lain atau dibacakan oleh orang lain atau anggota tim kesehatan yang dapat dengan leluasa dalam aktivitas ini. 9. Berikan izin untuk mendiskusikan masalah spiritual dengan perawata dengan membicarakan subjek kesehatan spiritual jika perlu. 10. Gunakan pertanyaan mengenai pengalaman spiritual dan keyakinan sebelumnya untuk membantu individu menempatkan kejadian kehidupan inio kedalam perspektif yang lebih luas. 11. Usahakan untuk berdoa/membaca dengan klien jika perawat merasa leluasa dengan hal ini atau atur anggota tim kesehatan lainnya jika lebih sesuai 12. Selalu bersedia dan berkeinginan untuk mendengarkan sewaktu klien

mengekspresikan keraguan diri, rasa bersalah/ perasaan negative lainnya. 13. Usahakan untuk menghubungi pendukung spiritual individu seperti ulama, imm rumah sakit. Jika individu tidak dapat perasaan dengan keluarga

Intervensi Pada Anak 1. Berikan anak kesempatan untuk ikut dalam praktek spiritual biasanya (mis. Doa sebelum tidur, kunjungn ke masjid). 2. Perjelas bahwa kecelakaan atau penyakit bukan hukuman untuk prilaku buruk 3. Dukung remaja yang mungkin berusaha untuk memahami pengajaran spiritual. 4. Untuk konflik orang tua tentang pengobatan anak: a. Bila orang tua menolak pengobatan anak, dorong pertimbangan tentang metode alternative terapi (mis. Penggunaan ahli bedah khusus dan teknik pembedahan tanpa transfusi darah) ; dukung individu yang membuat keputusan berdasarkan informasi bahkan konflik dengan diri sendiri. b. Bila tindakan tetap ditolak, dokter atau administrator rumah sakit dapat meminta siding yang menunjuk pembimbing sementara untuk persetujuan tindakan

c. d.

Hubungi ulama untuk mendukung orang tua Dorong ekspresi perasaan negative.

B.

Risiko Terhadap Distres Spiritual Definisi: Keadaan dimana individu atau kelompok berisiko mengalami gangguan dalam keyakinan atau system nilai yang memberi kekuatan, harapan dan makna hidup.

Faktor-Faktor Risiko Rujuk pada Distress Spiritual untuk faktor-fakto yang berhubungan

Kriteri Hasil Individu akan : 1. 2. Melanjutkan praktek ritual spiritual yang bermamfaat Mengekspresikan peningkatan kenyamanan setelah bantuan

Intervensi Generik Rujuk pada Distres Spritual untuk intervensi.

C.

Kesejahteraa Spritual, potensial terhadap perbaikan Defenisi Keberadaan individu yang mengalami penguatan kehidupan dalam berhubungan dengan kekuasaan yang lebih tinggi (setinggi yang ditetapkan individu), diri, komunitas dan lingkuingan yang memelihara dan merayakan kesatuan (The National Interfaith Coalition on Aging, 1980)

Batasan Karakteristik (Carson,1989) 1. Kekuatan dari dalam diri yang memelihara : rasa kesadaran; hubungan saling percaya; kekuatan yang menyatu; sumber yang sacral; kedamaian dari dalam diri. 2. Motifasi yang tidak ada batasannya dan komitmen yang diarahkan pada nilai tertinggi dari cinta, makna, harapan, keindahan dan kebenaran. 3. Hubungan saling percaya dengan atau hubungan yang sangat memberikan dasar untuk makna dan harapan dalam pengalaman kehidupan dan kasih sayang dalam hubungan seseorang. 4. Mempunyai makna dan tujuan terhadap eksistensio seseorang.

Faktor-faktor Risiko Rujuk pada factor yang berhubungan

Faktor factor yang berhubungan Karena ini merupakan diagnosa tentang fungsi positif, maka penggunaan dari factorfaktor yang berhubungan tidak perlu.

Kriteria Hasil Individu akan: 1. Mempertahankan hubungan yang sebelumnya dengan keberadaan dirinya yang lebih tinggi. 2. Terus melaksanakan spiritual yang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk terhadap kesehatan 3. Mengekspresikan keharmonisan spiritual ndan kesatuan yang berkelanjutan

Intervensi Generik 1. Dukung praktik spiritual individu. 2. Rujuk pada Intervensi untuk mengurangi hambatan praktik spiritual dibawah distress spiritual.

You might also like