You are on page 1of 18

Rena tidak ingat nama pestisida yang mereka pakai untuk membunuh hama wereng.

Yang dia ingat pestisida itu beracun karena petugas penyuluh lapangan (PPL) mengatakan itu padanya. Dia harus pakai masker agar tidak keracunan ketika menggunakan obat itu untuk mengusir hama. Tapi kami biasa saja mengaduk obat itu tanpa sarung tangan dan menyemprotkannya tanpa masker, katanya. Rena dan petani lain di desa tersebut mulai menggunakan pupuk dan pestisida sejak 1970an. Dia tidak ingat pasti kapan. Saya ingatnya waktu itu ada petugas pemerintah menyuruh kami untuk menggunakan bibit, pupuk, dan pestisida yang diberikan pemerintah, tambahnya. Pada zaman Orde Baru siapa sih yang berani melawan pemerintah, kata Made Muliarta, petani lain. Bagi petani kecil seperti Rena dan Muliarta, tunduk pada pemerintah jadi satu-satunya jalan. Mereka tidak cukup berani melawan pemerintah. Maka dari yang sebelumnya mengandalkan semua asupan pada alam, kini mereka bergantung pada pemerintah. Apalagi semua asupan seperti bibit, pupuk, dan pestisida kimia itu diberikan secara cuma-cuma pada awalnya. Mereka tak pernah sadar bahwa skenario besar bernama Revolusi Hijau tengah menjeratnya. Sejarah Revolusi Hijau diperkenalkan pertama kali oleh William Gaud pada 1968. Mantan Direktur USAID, lembaga donor milik pemerintah Amerika Serikat, ini membandingkan masifnya perubahan di bidang pertanian itu dengan Revolusi Merah di Soviet dan Revolusi Putih di Iran, dua perubahan besar secara politik di dua negara musuh bebuyutan Amerika Serikat itu. Perubahan yang oleh Gaud disebut revolusi itu dimulai dari Meksiko. Negara di Amerika Latin ini mengubah sistem pertaniannya secara radikal pada 1945. Salah satu alasannya adalah karena berbanding terbaliknya pertambahan jumlah penduduk dengan kapasitas produksi gandum. Penduduk terus bertambah sementara produksi gandum terus berkurang. Mereka pun menggenjot pertaniannya melalui riset, penyuluhan, dan pembangunan infrastruktur yang didanai Ford Foundation, Rockefeller Foundation, dan beberapa lembaga besar lainnya. Hasilnya, dari semula mengimpor gandum pada 1943, negara ini bisa memenuhi kebutuhan gandumnya pada 1956. Delapan tahun kemudian, Meksiko bahkan sudah mengekspor gandum ke negara lain. Karena perubahan itu dianggap berhasil maka Ford Foundation dan Rockefeller Foundation kemudian membawa teknologi yang sama ke berbagai dunia. Kalau di Meksiko mereka fokus pada gandum, maka di belahan dunia lain mereka fokus pada padi. Salah satunya dengan mendirikan International Rice Research Institute (IRRI) di Los Banos, Filipina. Dari pusat riset padi ini lahir padi varietas baru bernama International

Rice (IR) seperti IR 64 dan IR 36 yang disebar ke dunia, termasuk Indonesia. Produk mereka inilah yang menjangkau hampir separuh penduduk dunia dan kemudian menggantikan padi lokal, termasuk di Indonesia. IRRI yang punya kantor perwakilan di 14 negara mulai bekerjasama dengan Indonesia pada tahun 1972, melalui Balai Litbang Pertanian Departemen Pertanian (Deptan). Deptan yang seharusnya jadi kepanjangan tangan pemerintah ternyata kemudian hanya jadi kepanjangan tangan korporasi dan lembaga internasional. Kredit untuk Petani Indonesia mulai menerapkan Revolusi Hijau itu melalui program Panca Usaha Pertanian (PUP). Pemerintah melaksanakannya melalui pendirian beberapa pabrik pupuk kimia, memproduksi alat pengolah pertanian, serta pendirian industri pestisida. PUP yang memiliki kegiatan Demo Massal kemudian berubah jadi Bimbingan Massal (Bimas) pada 1964. Bimas dimulai setelah pemerintah mengadakan pilot project pada lahan 100 hektar di Karawang setahun sebelumnya. Karena Bimas dianggap kurang berhasil, pemerintah membuat Bimas Gotong Royong yang disponsori dua perusahaan asing seperti Mitsubishi dan CIBA, anak perusahaan produsen obat-obatan kimia BASF di bidang pertanian. Dua perusahaan tersebut sebenarnya hanya memanfaatkan pemerintah Indonesia untuk memasarkan produknya seperti benih, pupuk, dan pestisida. Revolusi Hijau hanyalah kedok agar produk-produk kimia perusahaan tersebut, terutama CIBA, bisa dijual pada petani. Agar petani mau menerima program ini, pemerintah memberikan bantuan kredit pada petani. Salah satu contoh bentuk kredit Bimas pada tahun 1981 adalah dengan memberikan kredit 250 kilogram pupuk kimia, 2 liter insektisida, dan uang kontan Rp 10.000 dengan buka 1,5 persen sebulan. Pinjaman ini diberikan dalam satu masa tanam selama sekitar tujuh bulan. Tapi kredit ini pun dilakukan dengan paksaan. Petani berhadapan dengan tentara jika mereka menolaknya. Kredit yang diberikan pemerintah memang kemudian jadi alat penting untuk memasukkan program pembangunan pertanian yang disebut juga dengan nama Intensifikasi Pertanian. Selain melaksanakan Bimas yang berganti-ganti nama sejak 1966 hingga 1985, pemerintah juga memberikan Kredit Usaha Tani (KUT). KUT ini sendiri jadi catatan bahwa kredit untuk petani sudah terbukti gagal. Salah satu riset M Syukur dan teman-temannya pada tahun 1999 menunjukkan bahwa penyaluran KUT selama 1990 hingga 1996 mengalami penurunan dari Rp 108 milyar jadi Rp 34 milyar. Ketika uang yang disalurkan mengalami penurunan, jumlah uang macet alias tunggakan petani justru meningkat. Toh pemerintah tetep keukeuh untuk terus melaksanakan kredit untuk petani dengan alasan agar petani bisa meningkatkan hasil pertanian. Revolusi Hijau seperti membutakan mata pemerintah. Inilah yang membuat banyak pihak menduga bahwa pemerintah sebenarnya ada deal tertentu dengan perusahaan pertanian agar tetap melaksanakan program intensifikasi pertanian, kedok lain dari Revolusi Hijau.

Pada perjalanannya, Revolusi Hijau kemudian hanyalah jadi alat perusahaan pertanian untuk menjerat petani, termasuk di Indonesia. Ini terutama ketika perusahaanperusahaan besar seperti Monsanto dan Syingenta juga masuk di Indonesia. Parahnya ini didukung pula oleh akademisi. Pilot project padi di Karawang dilakukan oleh Institut Pertanian Bogor (IPB). Penyuluhan ke desa-desa dilakukan pula oleh mahasiswa dan dosen Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta. Agen Ganda Secara sederhana, pola penyebaran Revolusi Hijau di Indonesia itu dilakukan sebagai berikut. Pertama, lembaga riset membuat penelitian tentang apa saja teknologi yang bisa diterapkan untuk meningkatkan produksi pertanian. Riset ini didukung oleh akademisi sebagai peneliti dan perusahaan kimia serta lembaga donor sebagai penyokong dana. Kedua, setelah riset dinyatakan berhasil, sponsor penelitian tersebut seperti CIBA dan Ford Foundation menyebarluaskannya ke negara-negara berkembang agar mengadopsi teknologi baru itu. Tentu saja dengan dukungan finansial juga. Dalam kasus di Indonesia, pemerintah kemudian membentuk tim pelaksana yang dilegitimasi oleh tentara. Ketiga, untuk kepanjangan tangan dari pemerintah ke petani ada petugas penyuluh lapangan (PPL). Di lapangan, PPL ini juga bertugas ganda. Selaian sebagai penyuluh yang mewakili pemerintah, mereka juga mengenalkan produk-produk perusahaan pertanian mulai benih sampai pestisida. Namun dalam praktiknya, PPL ini justru identik sebagai agen perusahaan pertanian. Para PPL bertugas dengan target yang ditentukan oleh perusahaan pertanian, kata Made Diarta, petani di Guwang. Bagi Revolusi Hijau lahan pertanian tak lagi menjadi tempat budi daya pertanian tapi pabrik penghasil uang bagi perusahaan pertanian. Lalu di mana posisi petani? Mereka hanya dianggap sebagai ikan yang harus dijaring. Petani tidak perlu diajak untuk membicarakan apa yang mereka perlukan. Pokoknya berikan asupan kimia dan haruskan mereka untuk menggunakannya. Kalau tidak mereka harus berhadapan dengan tentara seperti yang terjadi di Sumatera Utara dan Jawa Barat. Atau setidaknya aparat desa akan mencabuti tanaman lain selain yang ditetapkan pemerintah. Tidak ada pilihan bagi petani. Pola pemaksaan di Bali lain lagi. Kalau di Jawa melalui tentara, maka di Bali melalui lembaga seperti subak. Biasanya kelian subak setempat yang dipelihara oleh perusahaan pertanian. Ketika kelian sudah bisa dikendalikan, maka otomatis anggota subak yang lain akan menuruti kemauan kelian. Bila melawan, subak secara kelompok akan memberi sanksi misalnya dengan memutus aliran air ke sawah mereka. Dengan asupan kimia dan teknologi baru, Revolusi Hijau memang terbukti meningkatkan produksi pertanian terutama padi. Salah satunya adalah ketika Indonesia tak lagi mengimpor beras karena sudah memenuhi swasembada beras pada 1984. Jika pada 1972 produksi padi sebesar 20 juta ton dengan produktivitas 3,21 ton per hektar, maka pada tahun 1984 jadi 38,14 juta ton dengan produktivitas 3,91 ton

per hektar. Dari yang semula mengimpor beras sebanyak 2,5 juta ton per tahun, pada tahun 1984, Indonesia bisa mencukupi kebutuhannya sendiri. Peningkatan produksi padi itu terus terjadi hingga awal 1990. Setelah itu, produksi padi menurun terus. Menurut Badan Pusat Statistik pertambahan produksi padi nasional era 1974-1980 sebesar 4,8 persen per tahun sedangkan pada 1981-1990 sebesar 4,35 persen. Namun pada 1991-2000 turun jadi 1,32 persen. Pada 2005, produksi padi juga menurun 1,75 persen dari 54,06 ton pada tahun 2004 jadi 53,12 juta ton. Petani pun mengakui adanya peningkatan produksi padi yang diakhir dengan penurunan ini. Pada awalnya penggunaan bahan kimia memang membuat hasil panen memang naik. Tapi lama-lama makin turun, ujar Dewa Putu Raka, petani di Desa Pejeng Kawan, Tampaksiring, Gianyar. Seperti petani lain, Raka pun sadar bahwa dia memang menyebar racun dalam lahanlahan sawah miliknya. Kami memang menanam racun mulai dari pupuk sampai pestisida. Tapi memang itu yang disuruh oleh pemerintah, ucapnya. Inilah faktanya. Ketika intensifikasi pertanian terus digenjot, hasil yang dicapai ternyata malah berbanding terbalik. Produksi padi terus menurun. Salah satu kambing hitam dari turunnya produksi adalah hilangnya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang terlalu intensif. Penggunaan bibit baru justru melahirkan hama baru bagi padi. Menurut Raka, setelah petani menggunakan varietas baru, muncul pula hama-hama baru yang sebelumnya tidak ada. Ini pula yang dialami berbagai petani di Bali. Nah, hama baru ini pun harus diberantas dengan pestisida baru yang dijual perusahaan obat-obat pertanian. Ini mirip satu paket masalah. Semuanya baru: benih, teknologi, hama, dan pestisida. Parahnya lagi lama-lama hama wereng yang diberantas jadi kebal terhadap pestisida yang dipakai oleh petani.. Jadinya seperti candu, bikin ketagihan,tambah Muliarta. Dampak lain yang terasa selain rusaknya lingkungan adalah hilangnya budaya pertanian. Dari yang semula bertani untuk memenuhi kebutuhan sendiri, petani harus berorientasi pada jual beli. Dari yang semula menanam benih lokal, petani harus menanam benih produksi dari perusahaan pertanian. Petani yang semula menanam padi sebagai selingan dengan komoditas lain kini harus mengutamakan padi. Ini seperti yang terjadi di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Terancam Keracunan Di antara sekian dampak tersebut, kerusakan lingkungan memang yang paling terasa. Petani di banyak tempat mengaku kalau tanah mereka semakin keras, unsur haranya hilang, hewan kecil di sawah makin punah, produksi semakin turun dan seterusnya. Tapi kerusakan tak hanya terjadi pada lingkungan. Intensifikasi pertanian juga ibarat menebar racun pada petani.

Dalam salah satu artikelnya, Staf Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan Departemen Kesehatan Kusnindar menemukan bahwa keracunan pada petani di Indonesia terjadi setidaknya pada 14 juta orang. Kusnidar melakukan riset tersebut pada tahun 1989 atau 20 tahun lalu. Perkiraan itu berdasarkan pada banyaknya kasus keracunan yang pernah terjadi pada 1985-1986 seperti di di Brebes 85,7 persen, Klaten 54,8 persen, Karo Sumatera Utara 38 persen, dan termasuk Bali. Dari rata-rata kasus di atas diperoleh angka 35 persen petani yang menyemprot pestisida akan keracunan. Menurut Kusnidar pula jumlah petani penyemprot sekitar 37 persen dari jumlah petani. Di sisi lain, per 2007 lalu, berdasarkan catatan Departemen Pertanian jumlah petani Indonesia sekitar 50 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 110 juta. Dengan perkiraan jumlah petani penyemprot adalah 37,1 persen maka jumlah petani yang rentan terpapar pestisida sebanyak 40 juta orang. Jika 35 persen petani terpapar pestisida mengalami keracunan, maka jumlah petani yang mengalami keracunan kirakira 14 juta orang. Contoh lebih ekstrim terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan pemeriksaan darah pada 550 petani sayur di tujuh kecamatan, diperoleh fakta bahwa 99 persen petani sudah tercemar darahnya. Penyebabnya adalah penggunaan zat kimia pembasmi hama. Hasil ini diperoleh pada tahun 2006 lalu. Penelitian ini dilakukan setelah sebelumnya 10 petani di kabupaten yang sama meninggal akibat keracunan pestisida. Astrid Widajati Sulistomo, doktor lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti petani bawang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah juga menemukan bahwa petani perempuan yang menggunakan pestisida lebih rentan mengalami keguguran. Penelitian pada tahun 2007 dengan responden 612 petani ini menemukan fakta bahwa petani perempuan pengguna pestisida berisiko mengalami keguguran sebesar 79 persen lebih tinggi dibanding perempuan yang bekerja di ladang pertanian lain. Dikuasai Korporasi Keracunan akibat pestisida sebenarnya hal yang pasti terjadi. Hal ini terjadi karena pemain-pemain besar di bidang Revolusi Hijau pada dasarnya memang perusahaanperusahaan kimia. CIBA, yang mendukung masuknya Revolusi Hijau di Indonesia adalah anak perusahaan BASF, produsen bahan-bahan kimia. Sampai sekarang pun situasinya tak jauh berbeda. Perusahaan benih yang paling besar di Indonesia adalah PT Benih Inti Subur Intani (BISI). Melalui PT Tanindo Subur Tani, PT BISI yang merupakan kepanjangan tangan dari Monsanto Corp, memproduksi benih padi, sayuran, dan jagung. Mereka juga memproduksi pestisida dan pupuk. Sekadar mengingatkan. Monsanto, penguasa 88 persen benih di dunia, adalah perusahaan yang juga menjerat petani jagung di Nganjuk Jawa Timur pada tahun 2005 dengan tuduhan meniru teknologi pembenihan mereka. Perusahaan yang berpusat di Amerika ini pula yang memaksa petani di Bulukumba Sulawesi Selatan untuk menanam kapas jenis Bt yang terbukti merugikan petani pada 2001.

Di luar itu kejahatan paling parah dari Monsanto adalah karena dia juga memproduksi agent orange, senjata mematikan yang digunakan tentara Amerika Serikat ketika Perang Vietnam. Bersama lima perusahaan lain, Monsanto memproduksi senjata kimia yang mengakibatkan kanker dan cacat bawaan ini. Ribuan tentara yang pernah menyebarkan obat ini terkena kanker, tumor, dan seterusnya. Kini agent orange menyebabkan ratusan ribu bayi yang baru lahir sudah mengalami cacat bawaan seperti bisu dan tuli. Bisa dibayangkan, ternyata pabrik pembuat racun bernama agent orange inilah pula yang memproduksi benih dan pestisida yang banyak digunakan petani di Indonesia. Selain Monsanto, korporasi yang juga menguasai pertanian Indonesia adalah Syngenta dan Dupont. PT Syngenta menguasai sekitar 15 persen pasar pestisida Indonesia dengan memproduksi 15 juta liter pestisida mereka per tahun. Produksi herbisida, fungisida, dan insektisida mereka terus naik 5 persen tiap tahun. Perusahaan milik Syngenta Corp ini adalah perusahaan pestisida terbesar kedua di Indonesia setelah PT Bayer Crop Science. Dengan jumlah petani yang mencapai sekitar 110 juta orang, maka Indonesia pun jadi pasar yang menggiurkan bagi korporasi-korporasi tersebut. PT DuPont International, misalnya menjadikan Indonesia sebagai basis produksi pestisida untuk pasar Asia Tenggara. Berbagai pestisida pertanian ini akan diproduksi di dua pabrik DuPont di Sidoarjo dan Pasuruan Jatim. Alasannya, Indonesia memiliki potensi pasar besar dengan total lahan pertanian seluas 11 juta hektare. Dengan semua produk kimia itulah, korporasi-korporasi tersebut menjerat petani Indonesia. Dari yang semula mandiri, mengandalkan asupan alam mereka kemudian tergantung pada produk-produk kimia yang dipasarkan korporasi. Setelah tergantung pada asupan kimia, para petani baru sadar bahwa mereka terjerat. Tapi mereka pun tak punya banyak pilihan. Negara dan korporasi yang mereka lawan terlalu kuat.. [a!] Revolusi hijau atau green revolution adalah pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi bahan pangan, terutama biji-bijian (serelia) seperti gandum, jagung, padi, kacangkacangan, dan sayur-sayuran. Revolusi hijau merupakan istilah yang digunakan untuk untuk meningkatkan hasil fitosintesis yang mempunyai nilai ekonomi dan keberhasilan dalam memperoleh jenis-jenis unggul. Usaha yang terbaik dan tercepat untuk meningkatkan pesediaan bahan makanan adalah neningkatkan hasil lahan pertanian. Hal ini dapat di capai dengan memperkenalkan tanaman-tanaman yang seluruhnya baru di suatu daerah atau dengan memeperbaiki hasil-hasil melalui penggunaan pupuk, peningkataan irigasi, perlindungan yang baik terhadap hama pernyakit tanaman atau dengan pengenalan varietas tanaman dengan jenis unggul, yang kesemuanya itu disebut panca usaha tani. Ternyata dengan panca usaha tani tersebut dapat menimbulkan hasil yang cukup tingi atas lahan yang relatif luas. Sejarah revolusi hijau :

- Revolusi hijau pertama kali disponsori oleh Ford dan Rockefeller Foundation untuk mencari varietas tanaman pengahsil biji-bijian yang berproduksi tinggi - Revolusi hijau di mulai di Mexico pada tahun 1950, dan pada tanuh 1960-an berhasil menghsilkan varietas gandum unggul - DI Filipina, International Rice Research Institute (IRRI) berhasil mengembangkan varietas padi unggul - Perhatian dunis selanjutnya tidak hanya serealia (bahan makanan pokok), tetapi juga peningkatan produksi kacangkacangan dan sayur-sayuran. - Tahun 1970, CGIAR (Consultative Group for International Agriculture Research) membantu berbagai pusat penelitian pertanian Internasional. Hal ini menunjukan perhatian dunia yang besar terhadap usaha peningkatan produksi pertanian. Gambar. Lahan penghasil pangan Revolusi hijau dalam perkembangannya terbagi dalam 4 tahap, yaitu ; - Revolusi tahap pertama, terjadi antara tahun 1500 1800 ketika kebanyakan hasil petanian (gandum, padi, jagung dan kentang)disebar ke seluruh dunia - Revolusi hijau tahap kedua, terjadi di Eropa dan Amerka Utara antar tahun 1850 1950 dan terutama di dasarkan penerapan hukum ilmiah terhadap produksi hasil petanian dan hewan melalui penggunaan pupuk, irigasi dan pemberantasan hama dn penyakit secara luas dan terkendali - Revolusai tahap ketiga, terjadi di negara-negara maju sejak perang dunia II dan terutama melalui seleksi dan persilangan genetika atas varietas tenaman dan hewan unggul dan lebih resisten terhadap penyakit dan serangga - Revolusi hijau tahap keempat, telah tersebar luas pada tahuntahun ini. Tahap ini bukan hal yang baru, melainkan kombinasi dari revolusi hijau tahap kedua dan tahap ketiga, dan terutama ditujukan untuk negara-negara berkembang. Tahun 1967 arietas padi dan gandum jenis unggul dikembangkan di daerah-daearah tropis dan sub tropis, seperti India, Turki, Pakistan, Indonesia. Sebagaian orang berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat atas usaha diatas disebut dengan istilah evolusi hijau atau green evolution, karena usaha tersebut dilakukan selama bertahun-tahun. Program revolusi hijau diusahakan melalui pemuliaan tanaman

untuk mendapatkan varietas baru yang melampaui daerah adaptasi dari varietas yang telah ada. Varietas unggul yang baru akan berhasil bila mempunyia adaptasi geografis yang luas, responsif pengairan dan pemupukan, resisten terhadap hama dan penyakit. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa sebenarnya produk tanaman yang dipanen manusia adalah hasil fotosintesis. Pada serealia, produk yang dimanfaatkan adalah biji. Biji mengandung karbohidrat yang berasal dari proses fotosintesis. Dengan demikian untuk meningkatkan karbohidrat perlu ditingkatkan aktivitas fotosintesis. Aktivitas fotosintesis sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari. Oleh karena itu,daun sebagai pelaksana fotosintesis harus memiliki persyaratan. Persyaratan-persyaratan yang harus dimiliki daun untuk melakukan fotosintesis, adalah : - mampu mengabsorpsi sinar matahari yang berguna untuk fotosintesis secara optimal - kedudukan daun (filotaksis) tidak saling menaungi serta mempunyai posisi yang sesuai dengan arah datangnya sinar - penguapan yang sering terjadi pada daun haruis seimbang dengan yang tersedia 1. Varietas unggul Revolusi hijau diusahakan melalui pemuliaan tanaman untuk mendapatkan varietas unggul dan mampu beradaptasi. Kemampuan adaptasi yang diharapkan adalah : - adaptasi geografis yang luas, artinya dapat tumbuh atau mempunyai penyebaran yang cukup luas - responsif terhadap pengairan dan pemupukan - resistensi terhadap hama dan penyakit 2. Intensifikasi pertanian Intensifikasi pertanian merupakan bentuk mekanisme revolusi hijau di Indonesia yang biasa di kenal dengan sebutan panca usaha tani, yaitu 5 (lima) usaha untuk meningkatkan hasil pertanian yang meliputi : - pengolahan tanah yang baik - penggunaan bibit unggul - pemupukan dengan tepat - pengaturan irigasi - pemberantasan hama dengan pestisida 3. Kendala dalam revolusi hijau Dalam usaha meningkatkan hasil tanaman seperti yang diharapkan dalam revolusi hijau ternyata harus kerja keras dan terdapat kendala-kendala yang harus dihadapi, yaitu : - Varietas unggul umumnya hanya akan menghasilkan panen yang baik bila diberi pupuk dan pengairan yang tepat - Adanya lahan-lahan yang potensial untuk pertanian namun letajk geografisnya kurang menguntungkan, seperti jauh dari penduduk atau tidak/ belum mempunyai sistem irigasi sehingga lahan tersebut sulit untuk dimanfaatkan

- Banyak lahan yang secara geografis menguntungkan namum keadaan tanahnya kritis dan kurang subur - Adanya serangga berbagai hama, misal serangga atau hewan yang dilindungi Tujuan akhir dari pemuliaan tanaman adalah untuk mendapatkan hasil pertanian lebih dari hasil yang telah dicapai varietas yang telah ada. Namun peningkatan hasil saja masih kurang dan harus diikuti dengan beberapa tindakan penunjang, antara lain : - peningkatan hasil pertanian tidak boleh menurun kualitasnya - perlu adanya diversifikasi atau penganekaragaman menu - untuk jenis tanaman leguminoseae, perlu adanya daya hasil yang lebih menarik - peningkatan protein melalui peningkatan komposisi hasil - pengingkatan hasil yang mengandung energi lebih tinggi - ketahanan penyakit dalam penyimpanan - hasil tidak boleh mengandung racun 4. Dampak revolusi hijau Revolusi hijau selain menguntungkan dalam pemenuhan kebutuhan pangan dapat teratasi, tetapi ternyata revolusi hijau juga menimbulkan masalah bagi lingkungan dan sosial, antara lain berupa : - Terbentuknya penyerdehanaan komunitas, karena umumnya petani hanya menanam serealia atau bahan pokok dan tidak menanam leguminosea (kacang-kacangan) - Penggunaan pupuk buatan dan pestisida akan menyebabkan hilangnya kemampuan mikroorganisme tanah yang membantu menyuburkan tanah. Akibatnya dalam waktu 20 30 tahun mendatang akan terjadi titik balik penurunan produtivitas tanaman. - Rusaknya keseimbangan lingkungan akibat penggunaan pupuk buatan dan tercemarnya lingkungan akibat penggunaan pestisida yang berlebiha dapat menyebabkan kepunahan berbagai organisme - Pembuatan lahan pertanian (sawah, ladang) baru dari hutanhutan akan menurunkan keanekaragaman hayati dan keaneragaman genetika. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya salah satu species tumbuhan atau hewan yang mungkin mengandung gen yang sangat dibutuhkan - Adanya mekanisasi pertanian menyebabkan petani buruh kehilangan pekerjaan, yang akibatnya terjadinya urbanisasi yang menyebabkan masalah di perkotaan besar - berkurangnya keanekaragaman genetik jenis tanaman tertentu akan sangat membahayakan , sebab bisa menurunkan plasma

nutfah atau sumber gen.

A.Revolusi Hijau Teknologi genetika memicu terjadinya Revolusi Hijau (green revolution) yang sudah berjalan sejak 1960-an. Dengan adanya Revolusi Hijau ini terjadi pertambahan produksi pertanian yang berlipat ganda sehingga tercukupi bahan makanan pokok asal serealia. Konsep Revolusi Hijau yang di Indonesia dikenal sebagai gerakan Bimas (bimbingan masyarakat) adalah program nasional untuk meningkatkan produksi pangan, khususnya swasembada beras. Tujuan tersebut dilatarbelakangi mitos bahwa beras adalah komoditas strategis baik ditinjau dari segi ekonomi, politik dan sosial. Gerakan Bimas berintikan tiga komponen pokok, yaitu penggunaan teknologi yang sering disabut Panca Usaha Tani, penerapan kebijakan harga sarana dan hasil reproduksi serta adanya dukungan kredit dan infrastruktur. Grakan ini berhasil menghantarkan Indonesia pada swasembada beras. Gerakan Revolusi Hijau yang dijalankan di negara negara berkembang dan Indonesia dijalankan sejak rejim Orde Baru berkuasa. Gerakan Revolusi Hijau sebagaimana telah umum diketahui di Indonesia tidak mampu untuk menghantarkan Indonesia menjadi sebuah negara yang berswasembada pangan secara tetap, tetapi hanya mampu dalam waktu lima tahun, yakni antara tahun 1984 1989. Disamping itu, Revolusi Hijau juga telah menyebabkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan sosial pedesaan karena ternyata Revolusi Hijau hanyalah menguntungkan petani yang memiliki tanah lebih dari setengah hektar, dan petani kaya di pedesaan, serta penyelenggara negara di tingkat pedesaan. Sebab sebelum Revolusi Hijau dilaksanakan, keadaan penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia sudah timpang, akibat dari gagalnya pelaksanaan Pembaruan Agraria yang telah mulai dilaksanakan pada tahun 1960 sampai dengan tahun 1965. Pertanian revolusi hijau juga dapat

disebut sebagai kegagalan karena produknya sarat kandungan residu pestisida dan sangat merusak ekosistem lingkungan dan kesuburan tanah. B.Pestisida dan Pupuk Buatan Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Bahkan jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat. Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama suatu keadaan yang kontradiktif dengan tujuan pembuatan pestisida karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama kebal dan mengakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan. Namun, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham akan bahaya pestisida. Hal ini disebabkan karena informasi yang sampai kepada mereka adalah jika ada hama, pakailah pestisida merek A. para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah antek-antek pedagang yang mempromosikan keajaiban teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi. Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus juga akan mempercepat habisnya zatzat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk buatan dari tahun ke tahun terus menurun. C.Revolusi Hijau dan Dampak Buruknya Di Indonesia, penggunaan pupuk dan pestisida kimia merupakan bagian dari Revolusi Hijau, sebuah proyek ambisius Orde Baru untuk memacu hasil produksi pertanian dengan menggunakan teknologi modern, yang dimulai sejak tahun 1970-an. Memang Revolusi Hijau telah menjawab satu tantangan ketersediaan kebutuhan pangan dunia yang terus meningkat. Namun keberhasilan itu bukan tanpa dampak dan efek samping yang jika tanpa pengendalian, dalam jangka panjang justru mengancam kehidupan dunia pertanian. Gebrakan revolusi hijau di Indonesia memang terlihat pada dekade 1980-an. Saat itu, pemerintah mengkomando penanaman padi, pemaksaan pemakaian bibit impor, pupuk kimia, pestisida, dan lain-lainnya. Hasilnya, Indonesia sempat menikmati swasembada beras. Namun pada dekade 1990-an, petani mulai kelimpungan menghadapi serangan hama, kesuburan tanah merosot, ketergantungan pemakaian pupuk yang semakin meningkat dan pestisida tidak manjur lagi, dan harga gabah dikontrol pemerintah Bahan kimia sintetik yang digunakan dalam pertanian, pupuk misalnya telah merusak struktur, kimia dan biologi tanah. Bahan pestisida diyakini telah merusak ekosistem dan habitat beberapa binatang yang justru menguntungkan petani sebagai predator hama tertentu. Disamping itu pestisida telah menyebabkan imunitas pada beberapa hama. Lebih lanjut resiko kerusakan ekologi menjadi tak terhindarkan dan terjadinya penurunan produksi membuat ongkos produksi pertanian cenderung meningkat. Akhirnya terjadi inefisensi produksi dan melemahkan kegairahan bertani. Revolusi hijau memang pernah meningkatkan produksi gabah. Namun berakibat:

Berbagai organisme penyubur tanah musnah Kesuburan tanah merosot / tandus Tanah mengandung residu (endapan pestisida) Hasil pertanian mengandung residu pestisida Keseimbangan ekosistem rusak Terjadi peledakan serangan dan jumlah hama. Revolusi Hijau bahkan telah mengubah secara drastis hakekat petani. Dalam sejarah peradaban manusia, petani bekerja mengembangkan budaya tanam dengan memanfaatkan potensi alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Petani merupakan komunitas mandiri. Namun dalam revolusi hijau, petani tidak boleh membiakkan benih sendiri. Bibit yang telah disediakan merupakan hasil rekayasa genetika, dan sangat tergantung pada pupuk dan pestisida kimia yang membuat banyak petani terlilit hutang. Akibat terlalu menjagokan bibit padi unggul, sekitar 1.500 varietas padi lokal telah punah dalam 15 tahun terakhir ini. Meskipun dalam Undang-Undang No. 12/1992 telah disebutkan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya, tetapi ayat tersebut dimentahkan lagi oleh ayat berikutnya, yakni petani berkewajiban berperan serta dalam mewujudkan rencana pengembangan dan produksi budidaya tanam (program pemerintah). Dengan begitu, kebebasan petani tetap dikebiri oleh rezim pemerintah. Dapat dipastikan bahwa Revolusi Hijau hanya menguntungkan para produsen pupuk, pestisida, benih, serta petani bermodal kuat. Revolusi Hijau memang membuat hasil produksi pertanian meningkat, yang dijadikan tolak ukur sebagai salah satu keberhasilan Orde Baru. Namun, di balik itu semua, ada penderitaan kaum petani. Belum lagi kerusakan sistem ekologi pertanian yang kerugiannya tidak dapat dinilai dengan uang. Mitos akan kehebatan Revolusi Hijau lahir karena ditopang oleh teknologi yang dikembangkan dari sistem ilmu pengetahuan modern, mulai dari genetika sampai kimia terapan. Pantas jika Masanobu Fukuoka, pelopor pertanian alami di Jepang, pernah berkata: Peranan ilmuwan dalam masyarakat itu analog dengan peranan diskriminasi di dalam pikiran-pikiran Anda sendiri.. Telah terbukti bahwa penerapan Revolusi Hijau di Indonesia memberi dampak negatif pada lingkungan karena penggunaan pestisida dan pupuk kimia. Dan Revolusi Hijau di Indonesia tidak selalu mensejahterakan petani padi REVOLUSI HIJAU Penduduk dunia terus bertambah, terutama di negara-negara berkembang. Keadaan tersebut harus diiringi/didukung oleh peningkatan kebutuhan akan pangan. menurut apa yang dinyatakan Thomas Robert Malthus, bahwa perkembangan manusia akan selalu lebih cepat dinadingkan dengen kecepatan produksi bahan makanan. Oleh karena itu, kata Maltus, pada suatu waktu akan tiba saatnya, manusia kekurangan bahan makanan, jika tidak diimbangi oleh kemampuan mengatasinya. Kemampuan sumber daya alam sebagai penghasil pangan adalah sangat terbatas. Untuk itu perlu diupayakan pengembangan sumber daya alam yang pada akhirnya ditujukan bagi pengembangan produksi pangan. PENGERTIAN REVOLUSI HIJAU

Secara harafiah Revolusi Hijau (Green Revolution) berarti adalah perubahan secara cepat dalam memproduksi bahan makanan. Asumsinya berangkat dari hipotesa Produksi bahan makanan tidak akan mencukupi yang dibutuhkan manusia jika hanya mengandalkan cara berproduksi tradisional. Revolusi hijau merupakan usaha pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi pangan. Peningkatan tersebut dengan cara mengubah dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern, yakni pertanian dengan memanfaatkan atau menggunakan teknologi lebih maju dari waktu sebelumnya. Jadi revolusi hijau terletak pada pemanfaatan hasil penemuan teknologi up to date. Revolusi hijau dikenal juga sebagai Revolusi Agraria. Dengan Revolusi ini para petani ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan para petani pada cuaca dan alam karena meningkatnya peran ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Jenis bahan makanan yang mendapat prioritas adalah jenis bahan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia, seperti gandum, jagung, padi dan sorgum. Terdapat dua metode untuk meningkatkan produksi bahan makanan, yakni metode ekstensifikasi dan Intensifikasi. Metode Ekstensifikasi dilakukan dengan cara memperluas lahan pertanian dalam meningkatkan produksi bahan makanan. Denga metode ini maka akan dibuka lahan-lahan baru untuk ditanami, entah dengan membuka hutan, mengubah lahan tandus menjadi lahan produktif. Sedangkan metode Intensifikasi adalah dengan cara meng-intensif-kan lahan pertanian yang ada, supaya produktivitas lahan terus meningkat. Metode yang kedua ini dengan cara menggunakan (1) bibit unggul, (2) memakai pupuk kimia / buatan, (3) saluran irigasi yang baik, (4) pengobatan atau pemakaian Pestisida, Insektisida dan Fungisida, (5) kegiatan Penyuluhan Pertanian, (6) lancarnya transportasi dan komunikasi, (7) serta kegiatan pemasaran yang baik Pada awalnya kegiatan ini banyak ddan didanai oleh Ford & Rockefeller Foundation, yang mengembangkan gandum di Meksiko (1950) dan padi diFilipina (1960). Revolusi hijau menekankan pada pada tanaman SEREALIA: padi, jagung, gandum, dan lain-lain. CIRI-CIRI REVOLUSI HIJAU 1. Tumbuhan yang ditanam terspesialisasi, atau istilah lainnya MONOKULTUR. Teknik ini dilakukan dikarenakan perhitungan pragmatis, bahwa jika tanaman yang sama, maka kebutuhan akan obat dan pupuk juga akan sama. Jadi mempermudah merawatnya 2. Penggunaan bibit yang unggul yang tahan terhadap penyalkit tertentu dan juga hanya cocok ditanam dilahan tertentu. Kemajuan teknologi dengan teknik kultur jaringan, memungkinkan memperoleh varietas tertentu sesuai dengan yang diharapkan. Dan dengan penelitian terus menerus, maka semakin hari umur tanaman makin pendek. 3. Pemanfaatan teknologi maju. Misalnya bajak oleh binatang, digantikan oleh mesin traktor. Dampaknya adalah semakin hemat tenaga kerja, tetapi akan memerlukan modal yang besar.

REVOLUSI HIJAU DI INDONESIA Dilakukan dengan EKSTENSIFIKASI DAN INTENSIFIKASI pertanian. Ekstensifikasi dengan perluasan areal, seperti membuka hutan untuk lahan pertanian baru. Terbatasnya areal, menyebabkan pengembangan lebih banyak pada intensifikasi. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Teknik pengolahan lahan pertanian Pengaturan irigasi Pemupukan Pemberantasan hama Penggunaan bibit unggul

DAMPAK POSITIF REVOLUSI HIJAU Produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh: Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada. PERMASALAHAN DAN DAMPAK NEGATIF 1. Penurunan produksi protein, dikarenakan pengembangan serealia (sebagai sumber karbohidrat) tidak diimbangi pengembangan pangan sumber protein dan lahan peternakan diubah menjadi sawah. 2. Penurunan keanekaragaman hayati. 3. Penggunaan pupuk terus menerus menyebabkan ketergantungan lahan dan tanaman pada pupuk. 4. Penggunaan peptisida menyebabkan munculnya hama strain baru yang resisten CATATAN REVOLUSI HIJAU SELAMA MASA ODE BARU : Pada tahun 70-an dikenal dengan Revolusi Hijau ala Indonesia, yaitu Bimas. Penguasa-pun matimatian berusaha mensukseskan program. Ada program subsidi terhadap pupuk, kredit pertanian, penetapan harga dasar gabah, diberdirikannya Bulog, pembangunan irigasi dari pinjaman luar negeri, penanaman bibit yang seragam, hingga penyuluhan. Setelah Bimas dianggap gagal memacu pertumbuhan di sektor pertanian tanaman pangan, pemerintah memperkenalkan Inmas. Dengan tambahan program penanggulangan hama dan penyakit tanaman dalam Inmas, sebenarnya Inmas ini tidak jauh berbeda dengan Bimas. Jika dilihat dari paradigma yang dipakai = pertumbuhan ekonomi, maka pelaksanaan Bimas maupun Inmas bisa dikatakan berhasil. Di tahun 80-an produktivitas pertanian padi meningkat mencapai dua kali lipat dibanding tahun 60an. Bahkan pada tahun 1985, Indonesia bisa mewujudkan swasembada beras selama empat tahun. Setelah itu negeri ini kembali menjadi pengimpor beras terbesar hingga saat ini. Namun keberhasilan tersebut bukan tanpa resiko. Pengorbanan untuk sebuah

"swasembada" sangat mahal. Keinginan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi telah membuat penguasa bertindak sangat kejam terhadap masyarakat lemah.Di satu sisi harus diakui bahwa Bimas dan Inmas sebagai bentuk Revolusi Hijau ala Indonesia telah melepaskan petani dari pertanian tradisional. Namun itu tidak berarti telah mensejahterakan petani. Bagi petani yang memiliki lahan luas program Inmas dan Bimas memang dapat meningkatkan kesejahteraannya. Tetapi bagi petani gurem dan ini yang menjadi mayoritas petani di negeri ini, program-program tersebut justru telah menjerat mereka ke dalam ketergantungan yang semakin dalam yang pada akhirnya memperpanjang proses pemiskinan mereka. Dengan paket yang ada dalam Bimas maupun Inmas, petani harus mengikuti pola produksi yang telah ditetapkan. Pupuk kimia, pola tanam yang seragam, penggunaan bibit yang terkadang dengan merk tertentu, dan biasanya dibuat oleh pabrik tertentu, serta pestisida atau obat-obat pertanian lainnya yang juga telah distandarkan. Semua itu membuat petani tergntung pada industri bibit, pupuk dan pestisida kepada produsen tertentu. Hal ini menjadi dilema, sebab Tidak hanya itu, keragaman bibit lokal yang dimiliki petani secara turun temurun, kini telah beralih tangan. Sebelum Revolusi Hijau, kita memiliki hampir 10.000 macam jenis bibit padi lokal. Semuanya tersimpan dalam IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina dan menjadi milik AS. Kini hanya tinggal sekitar 25 jenis bibit padi lokal yang masih tersisa di Indonesia. Sungguh memprihatinkan. Kearifan petanipun dimatikan dengan penyeragaman. Kemandirian digantikan dengan ketergantungan. Keseimbangan lingkungan dan sosial terganggu akibat penggunaan bahan-bahan kimia non organik tinggi seperti pupuk buatan, insektisida, pestisida, fungisida dan herbisida. Demi mengejar pertumbuhan tadi, pemakaian bahan-bahan kimia tadi dilevel petani dipergunakan secara serampangan. Berpuluhpuluh tahun petani hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan oleh penguasa melalui penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan penyuluh pertanian spesial (PPS). Petani hanya menjadi pelaksana program ditanahnya sendiri. Kepemimpinan lokal yang biasa tumbuh diantara petani pelan tapi pasti akhirnya ter-musnah-kan. Begitu pula proses belajar mengajar di antara mereka. Struktur organisasi tradisional dirusak dan dibuat seragam. Dibentuk dari atas secara sentralistik dan bukan lahir atas kesadaran sendiri dan sesuai kebutuhan mereka. Berpuluh tahun petani menjadi kelompok masyarakat bisu yang hanya bisa mendengar tetapi tidak bisa bersuara. Situasi itu berlangsung hingga saat ini. Petani selalu dalam posisi paling pinggir dan dipinggirkan. Bahkan untuk meminta pemerintah memenuhi janjinya yang dinyatakan sendiri dalam Instruksi Presiden tentang harga dasar gabah saja petani tidak mampu.

Tidak hanya itu, paket Revolusi Hijau yg menggunakan teknologi dan sarana produksi dari negara barat pada dasarnya mengabaikan keberadaan perempuan disektor pertanian. Diperkenalkannya bibit baru telah meniadakan peran perempuan sebagai penyeleksi benih di usaha tani keluarganya. Begitu pula saat panen. Tidak lagi dilakukan dengan ani-ani tetapi dengan sabit. Peran perempuan dengan sendirinya telah digantikan. Juga dalam proses-proses pasca panen selanjutnya. Dengan kebijakan pangan murah, pemerintah beranggapan dapat menekan inflasi tanpa memikirkan dampaknya terhadap keluarga petani yang notabene adalah bagian terbesar dari negri ini. Petani hampir sepanjang masa menerima imbalan yang tidak memadai. Dalam dua masa panen tahun 2000 ini, petani selalu menerima harga dibawah harga yang ditetapkan oleh pemerintah. Harga berkisar antara 700 s/d 900/kg untuk gabah kering. Padahal harga dasar yang ditetapkan adalah antara Rp. 1.020 sampai dengan Rp. 1.065/kg. Rendahnya harga gabah yang diterima petani pada dua musim lalu mempunyai alasan yang sama, yaitu melimpahnya gabah dan beras dipasaran, dan pada saat panen raya tersebut ditambah banjir beras impor yang lebih murah dari beras lokal. Lalu jika alasan itu pula yang diberlakukan untuk panen diantara dua panen raya tersebut, lalu kapan petani akan memperoleh harga yang layak? Sulit memang menjadi petani. Dulu kita menolak tanam tebu karena harganya suka dimainkan. Sehingga kalau panen yang ada cuma rugi dan utang. Sekarang sudah bebas boleh menanam apa saja. Kita menanam padi, ketika panen harganya anjlok. Terus harus menanam apa?
..... "Kata Revolusi Hijau (RH) atau Green Revolutiontidaklah asing bagi peneliti, akademisi dan birokrat yang bergelut dibidang pertanian. RH adalah salah satu contoh dampak dari paham modernisasi yang paling dramastis. Program ini dimulai di negara-negara Dunia Ketiga sekitar dua setengah dasawarsa yang lalu. Sepanjang program RH, empat puluh abad pengetahuan pertanian rakyat Dunia Ketiga mulai disingkirkan dan dimusnahkan. RH, sebagai bentuk pembangunan pertanian dan perdesaan yang dirancang oleh perusahaanperusahaan transnasional dan partriarki Barat, menghomogenkan keberagaman alam dan keberagaman pengetahuan manusia. Program semacam ini dikembangkan dari berbagai pusat penelitian transnasional seperti IRRI (international Rice Research Institute) di Filipina, CIMMYT (International Maize and Wheat Improvement Center) di Meksiko. Saat ini ada 16 lembaga semacam itu yang bernaung dibawah Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR).

Pendapat yang sama dikemukakan Morgan, bahwa selama lima ribu tahun, para petani telah menyimpan dan menanam kembali, seiring dengan arus alam sekitarnya. Namun RH mengkomersialkan dan menswastakan benih, mengalihkan kontrol sumber genetik tanaman dari petani perempuan Dunia Ketiga dan menyerahkannya kepada teknokrat laki-laki Barat di CIMMYT, IRRI dan perusahaan benih transnasional. Benih menjadi sumber keuntungan dan kontrol. Benih ajaib hibrida pada dasarnya lebih merupakan keajaiban komersial, karena setiap tahun petani harus membeli pasokan baru dari mereka. Para petani kini tidak lagi menghasilkan benih mereka sendiri, karena RH telah merampasnya. Mulanya benih para petani dinyatakan sebagai benihprimitif dan rendah oleh ideologi RH, tanaman pangan dinyatakan bermutu rendah dan tidak produktif. Hanya ahli pertanian bias yang dapat menyatakan tanaman tradisional bergizi itu dianggap bermutu rendah. Dalam kenyataannya strategi IRRI sebenarnya bukanlah yang terbaik bagi petani Asia. Jenis padi unggul IR-8, yang diperkenalkan pada tahun 1966, ternyata hancur oleh serangan hama sekitar tahun 1968 sampai 1969. Pada tahun 1970-71, hama padi tungro menghancurkan jenis padi unggul IR-8 diseluruh Filipina. Lalu mereka menciptakan jenis IR-20 untuk menggantikan IR-8 pada tahun 1971-72, yang katanya merupakan jenis padi unggul untuk melawan hama tungro. Ternyata pada tahun1973, wereng coklat menghacurkan IR-20 tersebut disebagian propinsi Filipina. Dan ketika tahun 1976 diperkenalkan jenis padi baru lain, yakni IR-36, juga mendapat serangan hama baru, yang dikenal sebagai hama penggerek dan kutu loncat. Hasil kuantitatif RH di Indonesia dilihat dari segi produktivitas yang membawa Indonesia dari negara pengimpor beras terbesar menjadi berswasembada beras (sejak 1984). Namun prestasi RH memperhebat ketimpangan. Menghasilkan benih yang tinggi mengharuskan pemanfaatn kredit, pupuk, pestisida dan irigasi yang berhasilinput yang dapat dimiliki secara tidak proporsional oleh petani kaya.

Revolusi Hijau merupakan pengembangan teknologi pertanian untuk meningkatkan produksi bahan pangan sebagai sumber karbohidrat, lemak, protein, mneral dan

vitamin. Sejarah Revolusi Hijau Pada tahun 1950, di Mexico dimulai usaha revolusi hijau. Tujuannya untuk peningkatan prodksi pangan terutama serelia yang merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk dnia seperti gandum, beras, jagnung dan sagu. Pada tahun 1960 berhasil dilepas varietas gandum unggul yang pertama kali. Pada tahun 19661967 IRRI (Internasional Rice Research Institute) yang berkedudukan di Filipina memperkenalkan varietas padi unggul seperti IR5, IR6, dan IR8. Kemudian varietasvarietas padi unggul tersebut dikembangkan di india. Ternyata dari 50% areal ertanian yang ditanami padi unggul tersebut, produksi padinya mencapai 75 % dari total produksi seluruh areal. Penggunaan varietas padi unggul di Indonesia yang pertama kali juga berasal dari hasil IRRI. Dengan nama khusus peta baru, PB5 dan PB8 yang sesuai dengan jenis tanah di Indonesia.

You might also like