You are on page 1of 13

Keluarnya perempuan dari rumah untuk terlibat dalam kehidupan sosial akan membawa berbagai dampak, baik positif

ataupun negatif. Tentu berbeda pertemuan antara sesama perempuan dibandingkan dengan pertemuan laki-laki dan perempuan. Islam sebagai rahmat seluruh alam telah menjadikan untuknya berbagai aturan pelaksanaan demi mencegah timbulnya mudharat atau bahaya dari kondisi ini. Menutup pintu bahaya dan menonjolkan kemanfaatan atas keadaan ini. Etika dalam pergaulan dan pertemuan antara perempuan dan laki-laki harus menjamin kesehatan mental secara merata agar tidak membuka peluang bagi sikap berlebih-lebihan, melanggar norma susila, atau memancing syahwat. Selain itu, etika ini tidak menimbulkan sikap berpura-pura malu, tidak menimbulkan perasaan sensitif yang berlebihan terhadap lawan jenis, serta tidak menjadikan seorang wanita menutup diri dari seorang laki-laki. Berikut beberapa etika pertemuan dan pergaulan antara laki-laki dan wanita yang ditulis Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah. 1. Keseriusan acara pertemuan Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik. (Al Ahzab: 32) Ayat ini mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan antara laki-laki dan perempuan haruslah dalam batas-batas kebaikan dan tidak mengandung kemungkaran. Meskipun ayat ini turun berkenaan dengan ummahatul muminin, tapi muslimah pada umumnya juga yang dimaksud dalam ayat ini. Karena itulah kita menentukan pentingnya keseriusan acara dalam pertemuan antara mereka. Dengan demikian, pertemuan yang dihiasi dengan banyak canda merupakan jalan pembuka menuju kemungkaran. Namun, keseriusan ini pun bukan mutlak seperti itu. Jika terdapat kalimat polos berupa canda yang terlontar menghiasi pertemuan itu, maka hal ini tidak mengapa dan tidak bertentangan dengan keseriusan itu tadi. Dari Abu Musa, dia berkata, Lalu datanglah Asma binti Umais, salah seorang yang ikut tiba bersama kami, mengunjungi Hafshah, istri Nabi yang juga termasuk orang-orang yang berhijrah ke Najasyi. Kemudian masuklah Umar menemui Hafshah sedangkan Asma masih bersamanya. Dan bertanyalah Umar ketika melihat Asma, Siapakah ini? Hafshah menjawab, Dia adalah Asma binti Umais. Umar bertanya, Apakah yang pernah ikut berhijrah ke Habasyah dan termasuk rombongan perahu

laut itu? Asma menjawab, Benar. Umar berkata, Kami lebih dahulu berhijrah daripada kalian, jadi kami lebih berhak atas Rasulullah daripada kamu sekalian. (HR Muslim) Perkataan Umar tersebut merupakan kata-kata polosnya kepada Asma binti Umais. Sedangkan Asma yang merasa tersinggung dengan perkataan Umar tersebut akhirnya kesal. Ini tidak bertentangan dengan keseriusan. Begitu pula dengan obrolan yang dapat mengakrabkan dan menyegarkan suasana tidak bertentangan dengan keseriusan acara. Dari Masruq, dia berkata, Aku pernah masuk menemui Aisyah, sedangkan di dekatnya ada Hasan bin Tsabit melantunkan syair-syair yang bait-baitnya berisi pujian dan sanjungan untuk Aisyah. Hasan berkata, (Dia itu) wanita yang menjaga kehormatan lagi sopan Ia tidak dituduh dengan kebimbangan Dan dia itu lapar di pagi hari karena tidak pernah memakan daging wanita-wanita yang lalai. Lalu Aisyah berkata kepada Hasan, Tapi kamu tidak demikian. Masruq berkata, Lalu aku bertanya kepada Aisyah, Tetapi mengapa kamu mengizinkannya masuk menemuimu? Padahal Allah berfirman, Dan siapa diantara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam emnyampaikan berita bohong itu, baginya azab yang besar. (An Nisa: 11) Kemudian Aisyah menjawab, Siksa manakah yang lebih keras daripada kebutaan? Selanjutnya dia berkata kepada Masruq, Sesungguhnya, Hasan menghalau serangan dari Rasulullah hija. (HR Bukhari dan Muslim) Berkaitan dengan hadits di atas, yang dimaksud dengan memakan daging wanitawanita yang lalai adalah bahwa Aisyah tidak pernah bergunjing. Sedangkan Hasan dikatakan tidak demikian karena ia pernah terlibat mempergunjingkan kasus berita bohong (haditsul ifk) yang menimpa Aisyah. dengan syair-syair

2. Menahan pandangan Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (An Nur: 30-31) Yang dimaksud dengan menahan pandangan adalah tidak menyebarkan

pandangannya kesana kemari karena dikhawatirkan terjadinya fitnah. Al Qadhi Iyadh

berkata, Menahan pandangan wajib hukumnya dalam semua kondisi yang menyangkut aurat dan yang semisalnya. Tapi kadang-kadang wajib untuk suatu kondisi dan tidak pada kondisi yang lain kalau tidak menyangkut aurat. Ibnu Abdil Barr berkata, Diperbolehkan melihat itu diantara muka dan telapak tangan, tapi dengan syarat pandangannya tersebut tidak mencurigakan. Adapun pandangan dikarenakan syahwat dikatakan haram, meskipun tertutup pakaian, apalagi melihat wajah wanita yang sedang terbuka. Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, Al Fadhl bin Abbas mengiringi Rasulullah, lalu datang seorang wanita dari Khats'am. Kemudian Fadhl melihat kepadanya dan wanita itu melihat Fadhl. Lalu, Nabi mengalihkan wajah Fadhl ke arah lain. Wanita itu berkata, Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan hamba-Nya untuk haji. Ayahku terkena kewajiban itu, namun ia sudah tua bangka, tidak kuat duduk di atas kendaraan. Apakah saya menghajikannya? Beliau menjawab, Ya. Hal itu pada Haji Wada. (HR Bukhari) Dari Abu Said Al Khudri, ia berkata, Rasulullah bersabda, Berhati-hatilah dudukduduk di pinggir jalan. Para sahabat bertanya, Ya Rasulullah, bagi kami sesuatu yang tidak dapat kami tinggalkan. Dalam berkumpul (majelis) itu kami berbincangbincang. Nabi Saw menjawab, Kalau memang suatu keharusan maka berilah jalanan itu haknya. Mereka bertanya lagi, Apa yang dimaksud haknya itu, ya Rasulullah? Nabi menjawab, Palingkan pandanganmu (dari memandang kaum wanita) dan jangan menimbulkan gangguan. Jawablah tiap ucapan salam dan beramar ma'ruf nahi mungkar. (HR. Bukhari dan Muslim) Dari Abu Hurairah, Bahwa Nabi bersabda, Sesungguhnya Allah telah menentukan kadar nasib setiap manusia untuk berzina yang pasti akan dikerjakan olehnya dan tidak dapat dihindari. Zina kedua mata ialah memandang, zina lisan (lidah) ialah mengucapkan, sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan dan kemaluanlah (alat kelamin) yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu. (HR Muslim) Melihat yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah hukumnya haram, sedangkan yang tidak berpotensi menimbulkan fitnah, maka pandangan itu diperbolehkan. Ibnu Bathal berkata tentang hadits tentang Al Fadhl, bahwa dalam hadits tersebut terdapat perintah untuk menahan pandangan karena takut terjadi fitnah. Konsekuensinya, jika ternyata aman dari fitnah, pandangan tersebut tidak dilarang. Hal ini dipertegas dengan kemungkinan bahwa Nabi tidak akan memalingkan muka Fadhl seandainya dia tidak terus menerus melihat wanita karena kagumnya sehingga dikhawatirkan dia

terjebak dalam fitnah. Hadits tersebut juga menunjukkan karakter manusia yang menguasai anak cucu Adam, yaitu lemah dalam menghadapi kecenderungan dan rasa kagum pada kaum wanita. Bahkan, Aisyah juga menyaksikan pertunjukan permainan yang dilakukan oleh para laki-laki dari Habasyah di masjid bersama Rasulullah setelah ayat tentang hijab turun. Dari Aisyah, ia berkata, Hari itu adalah hari raya, di mana orang Sudan (dalam satu riwayat: orang-orang Habasyah) bermain perisai dan tombak di dalam masjid. Barangkali saya yang meminta kepada Nabi atau barangkali beliau sendiri yang mengatakan kepadaku, Apakah engkau ingin melihat? Saya menjawab, Ya. Saya disuruhnya berdiri di belakang beliau di depan pintu kamarku. Beliau melindungiku dengan selendang beliau, sedang aku melihat permainan mereka di dalam masjid. Lalu, Umar menghardik mereka. Kemudian Nabi bersabda, Biarkanlah mereka. Maka, saya terus menyaksikan, sedang pipiku menempel pada pipi beliau, dan beliau berkata, Silakan, wahai Bani Arfidah! Sehingga, ketika aku sudah merasa bosan, beliau bertanya, Sudah cukup? Aku menjawab, Cukup. Beliau bersabda, Kalau begitu, pergilah. (HR Bukhari) Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah menyimpulkan bahwa pada dasarnya, adanya pertemuan antara laki-laki dan perempuan mungkin menyebabkan timbulnya saling memandang diantara mereka. Kejadian seperti ini tidak menjadi masalah selama pandang-memandang di antara mereka TIDAK berdasarkan syahwat, serta keduanya sama-sama berniat dan melaksanakan ghadhul bashar (menahan pandangan).

3. Menghindari jabat tangan pada situasi umum Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Aku tidak pernah melihat sesuatu yang lebih mirip perbuatan dosa kecil dibandingkan dengan yang dikatakan Abu Hurairah mengenai Nabi, dimana beliau bersabda, Sesungguhnya Allah telah menentukan kadar nasib setiap manusia untuk berzina yang pasti akan dikerjakan olehnya dan tidak dapat dihindari. Zina kedua mata ialah memandang, zina lisan (lidah) ialah mengucapkan, (Muslim menambahkan: zina tangan adalah meremas), sedangkan jiwa berharap dan berkeinginan dan kemaluanlah (alat kelamin) yang akan membenarkan atau mendustakan hal itu. (HR Bukhari dan Muslim) Dari Maqbil bin Yassar, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, Ditusuk di kepala salah seorang kamu dengan jarum besi besar lebih baik baginya daripada memegang-megang peremuan yang tidak halal baginya. (HR Thabrani)

Rasulullah juga menghindari berjabat tangan dengan wanita sewaktu melakukan proses baiat. Hal ini sebagaimana riwayat hadits berikut. Dari Aisyah, isteri Nabi, ia berkata, Wanita-wanita mukmin apabila berhijrah kepada Rasulullah selalu disumpah berdasarkan firman Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, Wahai Nabi, apabila datang kepadamu wanita-wanita beriman untuk mengadakan janji setia (baiat); bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina sampai akhir ayat. Aisyah berkata, Siapa di antara wanita-wanita mukminat itu yang sudah berikrar dengan ayat ini, maka berarti sudah berikrar dengan baiat. Dan bila mereka telah mengakui baiat tersebut dengan ucapan mereka sendiri, Rasulullah bersabda kepada mereka, Pergilah, aku sudah membaiat kalian semua. Demi Allah, tangan Rasulullah sama sekali tidak menyentuh tangan seorang wanita pun dari mereka, karena beliau membaiat mereka dengan ucapan saja. Aisyah berkata, Demi Allah, Rasulullah tidak mengharuskan sesuatu pun kepada kaum wanita kecuali dengan sesuatu yang telah diperintahkan Allah, dan tidak juga telapak tangan Rasulullah menyentuh telapak tangan seorang wanita pun. Beliau selalu berkata kepada mereka setelah membaiat, Aku telah membaiat kamu sekalian secara lisan. (HR Muslim) Pada kondisi-kondisi tertentu diperbolehkan terjadinya persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram ketika ada kebutuhan dan aman dari fitnah. Berikut beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut. Dari Anas, dikatakan, Bahwa Ummu Sulaim menghamparkan selembar tikar kulit sehingga Rasulullah dapat tidur siang di atasnya. Beliau berkeringat banyak sekali lalu Ummu Sulaim mengumpulkan keringat tersebut untuk mencampurnya dengan minyak wangi kemudian memasukkannya ke dalam botol-botol kecil. Kemudian Nabi bertanya kepada Ummu Sulaim, Apa ini? Ia menjawab, Keringatmu yang aku campur dengan minyak wangiku. (HR Muslim) Dari Anas, dikatakan bahwa Rasulullah masuk kepada Ummu haram binti Milhan. Lantas ia menjamu makan Rasulullah. Ketika itu, Ummu haram di bawah (isteri) Ubadah bin Shamit. Lalu, Rasulullah masuk kepada wanita tersebut. Wanita tersebut menjamu makan Rasulullah dan menyisir rambutnya. (HR Bukhari dan Muslim) Dari Anas bin Malik, dikatakan ada seorang hamba dari hamba-hamba perempuan warga Madinah membimbing tangan Rasulullah dan berangkat bersama-sama Rasulullah kemana yang ia kehendaki. (HR Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah)

Dari Salma, isteri Abu Rafi, dikatakan, Aku melayani Nabi, tidak pernah ia menderita bisul atau kudis kecuali dia menyruhku menempelkan inai kepadanya. (HR Ahmad) Dari Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Zaid, dari salah seorang perempuan mereka, dikatakan, Bahwa masuk kepadaku Rasulullah ketika aku sedang makan menggunakan tangan kiri. Ketika itu aku adalah wanita yang susah. Lantas Rasulullah memukul tanganku sehingga jatuh apa yang ada di dalam genggamanku. Lalau beliau berkata kepadaku, janganlah kamu makan menggunakan tangan kiri, karena Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu. Atau beliau berkata, Allah sudah membebaskan tangan kananmu.Setelah itu aku tidak pernah makan (dengan tangan kiri). (HR Ahmad) Dari dua kondisi yang nampak saling berkontradiksi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dalam kondisi umum Rasulullah menghindarkan melakukan jabat tangan dengan wanita untuk menghindari fitnah dan dirasakan akan timbul fitnah. Hal ini dapat diartikan bahwa Rasulullah secara umum tidak senang dengan berjabat tangan dan dijadikannya sebagai penutup jalan kemudharatan dan guna dijadikan pelajaran ajaran dan syariat bagi umatnya melalui kaidah ushul fikih, saddudz dzarai. Hal ini diperkuat oleh pendapat para ahli ushul fikih yang mengatakan bahwa kaidah ini menunjukkan yang terbaik, bukan mewajibkan. Jadi, kita baru menyentuh, berjabat tangan, dengan wanita dalam kondisi benar-benar aman dari fitnah dan patut. Umpamanya bila berjabat tangan itu merupakan sarana untuk mempererat hubungan dan berbagi perasaann yang tulus antara sesama orang mukmin, seperti jabat tangan antara karib kerabat dan teman-teman dekat pada acaraacara tertentu, khususnya seperti mengucapkan selamat bagi seseorang yang baru datang dari perjalanan jauh, berjabat tangan untuk menghormati dan mendorong orang lain untuk berbuat kebaikan, atau untuk menyampaikan rasa belasungkawa dan turut berduka cita karena suatu musibah. Akan tetapi, dalam pergaulan sehari-hari dengan masyarakat, ketika jabatan tangan antara laki-laki dan wanita sering terjadi walaupun hanya karena bertemu, kadangkadang kita terpaksa menyesuaikan diri untuk sekadar menghilangkan rasa salah tingkah. Atau mungkin juga karena tidak adanya dalil yang mengharamkannya secara total. Demikian pendapat Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah.

4. Memisahkan antara laki-laki dari wanita dan tidak berdesak-desakan

Dari Ummu Salamah, dikatakan bahwa bahwa apabila Rasulullah mengucapkan salam (dalam shalat), kaum wanita langsung berdiri. Sementara, ketika selesai mengucapkan salam, Rasulullah diam sejenak sebelum berdiri. (HR Bukhari) Ibnu Syihab berkata, Menurutku (tapi Allah lebih tahu), diamnya Rasulullah itu dimaksudkan agar kaum wanita sudah habis pergi sebelum mereka bertemu dengan kaum laki-lakai yang pulang. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah, Bagaimana jika kita biarkan pintu ini untuk kaum wanita? Demikian pula ketika Rasulullah keluar ke jalan dan bercampur-baur di jalan, beliau bersabda, Perlahanlah atau mundurlah kalian (wanita) sedikit. Kalian tidak berhak menguasai jalan, dan kalian harus berjalan di pinggir-pinggirnya! Ibnu Juraij mengatakan bahwa mereka diberi tahu oleh Atha' ketika Ibnu Hisyam melarang kaum wanita mengerjakan thawaf bersama-sama dengan kaum lelaki. Atha' berkata, Bagaimana Anda melarang orang-orang wanita, padahal istri-istri Nabi juga rnengerjakan thawaf bersama para lelaki? Ibnu Juraij bertanya kepada Atha', Apakah larangan Abu Hisyam itu sesudah adanya perintah atau sebelum turunnya ayat hijab itu? Atha' berkata, Ya, demi umurku, saya mengetahui sesudah turunnya ayat hijab. Ibnu Juraij bertanya kepada Atha', Bagaimanakah kaum wanita itu bercampur dengan kaum lelaki? Ia berkata, Bukannya kaum wanita itu bercampur (bergaul bebas). Aisyah melakukan thawaf di tempat terpisah dari kaum lelaki sehingga tidak bercampur-baur dengan mereka. Kemudian ada seorang wanita berkata, Marilah kita berangkat untuk menyentuh Hajar Aswad, wahai Ummul Mukminin. Aisyah berkata, Kamu sendiri sajalah melakukannya. Aisyah tidak mengikuti ajakannya. Para wanita keluar dengan tidak dapat dikenal siapa dirinya di waktu malam. Kemudian mereka melakukan thawaf dengan kaum lelaki. Tetapi, bila mereka memasuki Baitullah, mereka tetap berdiri sehingga betul-betul masuk dan kaum lelaki disuruh keluar. Aku mendatangi Aisyah bersama Ubaid bin Umair dan ia berdiam di suatu tempat bernama Jauf Tsabir. Aku bertanya, Apakah yang dijadikan sebagai tabirnya? Ia berkata, Dia berada di dalam kemah kecil buatan Turki. Kemah itu mempunyai tutup, dan antara kami dengannya tidak ada sesuatu selain itu. Aku sendiri melihat ia mengenakan baju kurung yang berwarna bunga mawar. (HR Bukhari)

5. Menghindari khalwat

Dari Ibnu Abbas, dari Nabi, beliau bersabda, Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kecuali disertai mahramnya! (HR Bukhari) Para ulama telah sepakat tentang keharaman khalwat dan keharusan kesertaan mahram. Namun, ulama berbeda pendapat tentang pengganti mahram, misalnya orang-orang yang dapat dipercaya. Menurut Ibnu Hajar, pengganti mahram dari wanita-wanita yang dapat dipercaya diperbolehkan karena mereka itu tipis akan dituduh dan dicurigai. Khalwat dan hadits di atas tidak mencakup pengertian khalwat berkut ini. Pertama, khalwat di depan orang banyak. Yakni kondisi dimana laki-laki dan perempuan melakukan pembicaraan dimana hanya didengar oleh mereka berdua walaupun di sekitarnya terdapat banyak orang. Bahkan, pembicaraan wanita non mahram yang rahasia tidaklah tercela dalam agama jika aman dari fitnah. Dari Anas bin Malik, dikatakan bahwa ada seorang wanita dari kalangan Anshar kepada Nabi. Lantas Nabi berduaan dengannya dan berkata, Sesungguhnya kalaian (orang Anshar) adalah orang yang paling saya cintai. (HR Bukhari dan Muslim) Kedua, dua atau tiga orang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita. Menurut Imam Nawawi, pendapat yang masyhur tentang ini adalah haram. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, Sesudah hari ini, seorang laki-laki tidak dibolehkan masuk menemui seorang wanita yang suaminya tidak ada, kecuali dia bersama seorang atau dua laki-laki lain. (HR Muslim) Ketiga, seorang laki-laki berkhalwat dengan sejumlah wanita. Hal ini sama dengan kondisi dan dalil sebelumnya dimana sejumlah laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita. Sebab, bersama sejumlah wanita yang berkumpul biasanya tidak ada peluang bagi laki-laki untuk melakukan suatu kemungkaran dengan sebagian wanita di hadapan mereka.

6. Meminta izin suami jika menemui seorang wanita yang suaminya tidak ada Dari Abu Hurairah, dikatakan bahwa rasulullah bersabda, Seorang isteri tidak boleh berpuasa sedangkan suaminya menyaksikan (ada) kecuali dengan izinnya, dan dia tidak boleh mengizinkan seseorang masuk rumahnya kecuali dengan izin (suami)nya. Menurut riwayat Muslim, Dia tidak boleh mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, sedangkan si suami ada, kecuali dengan seizin suaminya. (HR Bukhari dan Muslim)

Dalam Silsilah Hadits Shahih, diriwayatkan bahwa Amr bin Ash datang ke rumah Ali bin Abi Thalib untuk suatu keperluan, tetapi Ali sedang tidak ada di rumah. Dia bolak balik dua sampai tiga kali, tapi Ali tetap tidak di rumah. Setelah itu Ali datang dan berkata kepadanya, Jika kamu mempunyai suatu keperluan kepadanya (isteri Ali), apakah kamu akan menemuinya? Amr menjawab, Kamu dilarang menemui para isteri kecuali seizin suaminya. Sementara dalil yang menegaskan bahwa tidak wajibnya meminta izin dalam kondisi suami sedang tidak ada di rumah, sedangkan kita mempunyai keperluan mendesak untuk menemui isterinya adalah hadits yang telah disebutkan sebelumnya. Dari Abdullah bin Amr bin Ash, dikatakan bahwa Rasulullah bersabda, Sesudah hari ini, seorang laki-laki tidak dibolehkan masuk menemui seorang wanita yang suaminya tidak ada, kecuali dia bersama seorang atau dua laki-laki lain. (HR Muslim)

7. Menghindari pertemuan yang lama dan berulang-ulang Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah mengatakan, Bagaimanapun, dalam pertemuan semacam ini agak sukar menjaga berbagai macam etika, seperti menahan pandangan, senantiasa serius dalam berbicara, atau bertingkah laku sopan. Yang sering terjadi, budaya malu dan sopan yang semestinya ada dalam setiap pertemuan antara laki-laki dan wanita ternyata semakin menipis. Berdasarkan fakta ini dan demi menjalankan kaidah saddudz dzarai, kami berpendapat lebih baik menghindari pertemuan yang semacam ini, kecuali jika sifat tugas tersebut memang menuntut tugas yang berulangulang untuk bekerjasama dan bertukar pikiran atau hal-hal lain yang betul-betul bermanfaat. Hal semacam ini tidak mengapa dilakukan sambil mawas diri dengan catatan betul-betul penting. Sebab, pertemuan yang serius biasanya menyibukkan aktifitas akal dan hati sehingga membantu terpeliharanya akhlak yang baik.

8. Menghindari tempat (dan orang) yang mencurigakan Karena khawatir akan gangguan orang jahat, Umar meminta Rasulullah memerintahkan isteri-isterinya untuk berhijab. Berdasarkan riwayat ini, kaum muslimah diharuskan membatasi dirinya dari orang jahat. Dari Umar, dikatakan, Aku berkata, Wahai Rasulullah, masuk ke tempatmu orang yang baik dan yang jahat, (bagaimana kalau) engkau perintahkan kepada ibu-ibu kaum mukminin untuk memakai hijab, maka turunlah ayat hijab. (HR Bukhari)

Kaum wanita dilarang untuk berbicara dengan laki-laki yang asing yang mencurigakan, yang tidak dapat dipercaya. Namun, dengan orang yang dapat dipercaya, hal itu tidak mengapa.

9. Menjauhi perbuatan dosa Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi,.. (Al Anam: 151) Dan tinggalkanlah dosa yang nampak dan yang tersembunyi. Sesungguhnya orang yang mengerjakan dosa, kelak akan diberi pembalasan (pada hari kiamat), disebabkan apa yang mereka telah kerjakan. (Al Anam: 120) Diantara dosa yang tampak adalah melalaikan etika pertemuan. Dan diantara dosa yang tersembunyi adalah perasaan menyukai dan menyenangi sesuatu yang haram serta ingin mendapatkannya lebih banyak lagi. Dari Khuwait bin Zubair, dia berkata, Kami singgah bersama Rasulullah di Marrazh Zhahran (suatu tempat di luar kota Makkah). Ketika keluar dari tenda, aku melihat kaum wanita sedang berbincang-bincang. Aku tertarik pada mereka, lalu akau kembali lagi ke tenda. Sampai di tenda kau membuka peti pakaian, lalu akau keluarkan apakain dan perhiasan yang bagus-bagus. Kemudian aku pergi kembali untuk duduk dan ngobrol dengan kaum wanita tersebut. Kemudian Rasulullah datang dan berkata kepadaku, Hai Abu Abdullah! Ketika melihat Rasulullah, aku terperanjat dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akhirnya kau berkata, Wahai Rasulullah, untaku liar dan melawan. Karena itu aku ingin mencari pengikatnya. (HR Thabrani) Rasulullah selalu menanyakan keadaan unta liar Khuwait hingga ia mengakui kesalahannya. Dan semenjak itu, ia tidak pernah lagi mengulangi perbuatan yang ia lakukan. Sedangkan terkait etika khusus wanita, sebagaimana yang juga disampaikan Dr. Abdul Majid Az Zindani, adalah tidak memakai wangi-wangian yang mengundang fitnah. Dari Abu Musa, rasulullah bersabda, Apabila ada seorang wanita memakai wewangian kemudian keluar dari rumahnya, lantas lewat pada suatu kaum pria agar mereka mencium bau wanginya, maka wanita itu telah berbuat zina dan setiap mata yang memandang juga berzina. (HR Ahmad, An Nasai, dan Al Hakim)

Dari Zainab Ats Tsaqafiyah, Rasulullah bersabda, Apabilsa salah seorang dari kalian (kaum wanita) datang ke masjid, maka janganlah memakai wewangian. (HR Muslim) Wanita tidak boleh tabarruj, berdandan, atau bersolek seperti orang jahiliyah. Namun, boleh memperpantas diri. Dari Abu Udzainah, Rasulullah bersabda, seburuk-buruk wanita kalian adalah mutabarrijat (yang berdandan untuk selain suami), mukhayyilat (yang menimbulkan rangsangan), mereka adalah wanita-wanita munafik. (HR Al Baihaqi) Wanita tidak boleh memakai gelang kaki yang terdengar suaranya. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An Nur: 31) Wanita harus berpakaian sopan dan komitmen dengan hijab. Katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau puteraputera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (An Nur: 31) Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin, Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Ahzab: 59) Dari Fathimah binti Qais, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya, aku tidak suka jika kerudungmu terlepas atau terbuka kain yang menutupi kedua betismu sehingga kamu melihat apa yang kau tidak suka jika mereka melihatnya. (HR Muslim) Etika wanita selanjutnya, serius dalam berbicara.

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik, (Al Ahzab: 32) Apabila ayat ini terkait dengan isteri-isteri Rasulullah, maka selain isteri Rasulullah tentu lebih berkepentingan trehadap tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh Al Qurthubi, Al Alusi, Ibnu Katsir, Asy Syaukani, dan mufasir lainnya. Keluarnya wanita juga tidak boleh menyebabkan terlantarnya rumah tangga. Sebab, menurut hukum asal, pemeliharaan dan penjagaan rumah merupakan fardhu ain sebagaimana yang telah disebutkan para ulama. Fardhu ain tidak boleh ditelantarkan bila berbenturan dengan selainnya sebagaimana telah ditetapkan dalam ushul fiqih. Ibnu Hajar berkata, Kepemimpian pria atas keluarganya adalah kebijakannya untuk mengatur urusan mereka dan memberikan hak-hak mereka, sedangkan kepemimpinan wanita adalah mengatur urusan rumah, anakanak, pelayan, dan memberikan nasihat kepada suami mengenai hal-hal tersebut. Wanita juga harus bergerak dengan wajar dan tidak dibuat-buat untuk menarik perhatian. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, Ada dua golongan penghuni neraka yang belum aku lihat, yaitu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi, mereka gunakan mencambuk orang-orang, dan wanita-wanita yang berpakaian tapi telanjang berlenggaklenggok, kepala mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak akan masuk surga dan tidak dapat mencium aromanya, padahal aroma surga itu bisa dicium dari jarak perjalanan sekian dan sekian. (HR Muslim) Etika pertemuan tersebut merupakan hal yang sangat penting. Oleh karenanya, seseorang harus benar-benar memperhatikan etika ini dan mengejawantahkan dalam perilakunya. Jika etika pertemuan dan pergaulan laki-lakai dan wanita tersebut sangat sulit dilaksanakan, maka seseorang yang dihadapkan pada kondisi ini harus mempertimbangkan manfaat dan mudharat atas pertemuannya itu dengan teliti dan seksama. Prof. Dr. Abdul Halim Abu Syuqqah menjelaskan beberapa permasalahan yang penting. Pertama, jika seorang musim diprediksi akan menghadapi kesulitan karena menghindari pertemuan, baik yang menyangkut kehidupan dan kepentingan lain, dia boleh menerima kenyataan yang ada, tapi dengan seperlunya saja. Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (Al Hajj: 78)

Kedua, jika partisipasi seorang muslim dan muslimah ternyata akan membawa kebaikan atau menghalangi kemungkaran, misalnya untuk amar maruf nahi munkar, mencegah berbagai kejahatan, menyampaikan ilmu pengetahuan, atau dirinya dianggap sebagai orang yang disegani sehingga mampu mendominasi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan, maka muslim atau muslimah tersebut harus berpartisipasi sambil tetap bertawakal kepada Allah memohon bantuan-Nya, serta membulatkan tekad untuk berkorban demi melaksanakan

amal-amal kebaikan. Peran serta dan keikutsertaan tersebut semakin penting artinya jika budaya mengabaikan etika sudah menjadi gaya hidup muslim dalam suatu masyarakat sehingga tidak ada jalan untuk menyampaikan kebenaran selain dengan cara membaur dan mendekati mereka dengan berbagai acara dan kesempatan. Ketiga, jika seseorang mengkhawatirkan dirinya akan terjebak ke dalam hal-hal yang negatif (hal yang dilarang agama), atau meniatkan pemboikotan atas pertemuan dan peran sertanya dalam kehidupan sosial itu untuk memberi pelajaran kepada para pelanggar etika syariat, cara seperti itu dianggap tepat. Boikot yang dimaksud adalah boikot yang dapat memberikan pelajaran sehingga yang diboikot dapat mengkaji diri atau menyesal karena melakukan berbagai pelanggaran. Keempat, suatu saat, mungkin saja seorang muslim terjebak melakukan pelanggaran atas etika pertemuan tertentu, misalnya ber-khalwat dengan wanita asing, baik karena ketidaktahuan, keterpaksaan, atau karena suatu kebutuhan yang mendesak. Dalam kondisi seperti itu, seorang mukmin tidak boleh berprasangka bruruk terhadap saudaranya. Hendaklah dia takut kepada Allah dan menjaga lidah dari mengucapkan kata-kata yang tidak baik serta jangan sekali-kali menuduh orang lain tanpa alasan. Rasulullah bersabda, Cukuplah dosa seseorang apabila dia membicarakan setiap apa yang dia dengar. (Shahih Jamiush Shaghir) Kelima, seperti halnya hukum atas tuduhan tanpa alasan, memaparkan sesuatu atas dorongan pribadi dan menuduh berdasarkan reka-reka semata ketika melihat sebagian umat Islam yang lalai dalam memelihata etika pertemuan. Padahal sikap yang seharusnya diambil adalah mengingatkan orang yang lalai serta mengajaknya melaksanakan etika-etika beragama. Sebab, hanya Allah-lah yang mengetahui hal-hal yang tersembunyi dan bersifat rahasia. Seseorang yang sudah terlanjur melanggar berbagai etika ini hendaknya segera menyadari dan bertaubat kepada Allah dan melatih diri untuk komitmen terhadap Islam dan menjauhi hal-hal yang mengundang prasangka.

You might also like