You are on page 1of 14

I. PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Paradigma masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu berperan besar dalam kelangsungan kehidupan dimuka bumi. Manusia dan makhluk hidup lainnya bergantung pada ketersediaan tumbuhan sebagai pemenuh kebutuhannya. Pola pandang masyarakat yang mengsakralkan tumbuhan tertentu ataupun kawasan hutan tertentu seperti pada suku Tau Taa Wana dapat menjaga fungsi ekologis suatu wilayah. Namun dorongan konsumtif manusia yang tak kunjung tercukupkan dengan sangat cepat akan merusak kelangsungan ekosistem. Botani merupakan obyek dari biologi dan persoalan yang dimilikinya, dan ekologi sebagai bagian dari persoalan biologi yang membahas interaksi organisme dengan lingkungan biotik dan abiotiknya. Ekologi yang terkait dengan keunikan etnik seperti halnya etnobotani. Kajian etnobotani dapat dicari padanannya dengan etnoekologi, etnomedisin, dan kajian persoalan biologi dengan etnik lainnya. Etnobotani mempelajari pemanfaatan tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang primitif, yang mana gagasannya telah disampaikan pada pertemuan perkumpulan arkeologi tahun 1895 oleh Harsberger.(Chandra 1990, dalam Soekarman 1992). Etnobotani merupakan cabang ilmu yang interdispliner, yaitu mempelajari hubungan manusia dengan tumbuhan dan lingkungannya (Baroto, 2004). Etnobotani menekankan bagaimana mengungkap keterkaitan budaya masyarakat dengan sumberdaya tumbuhan di lingkungannya secara langsung ataupun tidak langsung. Penekanannya pada hubungan mendalam budaya manusia dengan alam nabati sekitarnya. Mengutamakan persepsi dan konsepsi budaya kelompok masyarakat dalam mengatur sistem pengetahuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkup hidupnya. Etnoekologi merupakan salah satu ilmu sains yang bertumpu pada kebutuhan praktis. Bersumber dari pengetahuan ilmiah; anthrophology, ethnobiology, agronomy, environmental geography sebagai dasar pendekatannya (Toledo, 1992). Kajiannya bertumpu pada bagaimana pemanfaatan alam oleh kelompok masyarakat (ethnic) sesuai ragam kepercayaan, pengetahuan, tujuannya dan bagaimana pandangan kelompok etnis bersangkuatan dalam pemanfaatannya (Toledo 1992). Pandangan dan kepercayaan masyarakat terhadap alamnya (corpus), rangkaian proses pengolahan sumber dayanya (praxis), pengamatan karakteristik dan penilaian dinamika kualitas ekosistemnya adalah wujud totalitas kegiatannya. Corpusnya mencakup kenampakan simbol, konsep dan persepsi terhadap alam dan praksisnya merupakan rentetan aktivitas praktis pengelolaan. The exploration how nature is seen by hunans groups through a screen of beliefes, knowledge and purposes, and how in term of their images humans use, manage and appropriate natural resources, has been a central task of most ecologically oriented research conducted by anthrophologists, agronomists, human ecologists.

Pengetahuan tumbuhan sebagai simbul penyusun tubuhnya merupakan salah satu persepsi masayarakat Bali terhadap eksistesi dirinya yang dilambangkan dengan berbagai jenis tumbuhan .(Surayin 2002 dalam Nala 2005). Berbagai jenis tumbuhan disusun sesuai susunan aksara hanacaraka. Strukturisasi aksara bagian tubuh dengan simbol jenis tumbuhan memiliki nilai internal dan eksternal. Masyarakat tradisional di berbagai belahan bumi memiliki keperayaan kuat terhadap bumi sebagai ibu pertiwi, tetumbuhan sebagi sumber kehidupan. Keberadaan tumbuhan bahan pangan, ahan pakaian, obat-obatan dan upacara adat istiadat merupakan elemen penunjang dasar kehidupan dan kebudayaan manusia mulai awal sejarahnya. Munculnya manusia imanen dan deterministik, menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam. Interaksi manusia dengan lingkungan tetumbuhnya secara visual dalam masyarakat Tau Taa Wana khusunya digambarkan dengan keterkaitan dari semua bagian tubuh manusia sebagai satu kesatuan. Diantara kesatuan tubuh manusia dengan tumbuhan akan menimbulkan perubahan dalam tubuh sebagai mikrokosmos dan lingkungan sebagai makrokosmos. Munculnya rasa hormat kepada tetumbuhan dan semua ciptaan didasarkan pada konsepsi kesatuan mikrokosmos-makrokosmos.. Proses perubahan kedudukan yang mebangun jaringan interaksi akan menimbulkan krisis lingkunan. Alam yang paling dekat dengan manusia adalah tumbuhan, karena tanpa tumbuhan tidak akan ada kebudayaan dalam kehidupan manusia. Perlunya ditumbuhkan sebuah pola hidup dan budaya masyarakat susilawi yang mampu menuntun hidup manusia untuk berinteraksi dalam kehidupannya di alam semesta. Pokok-pokok pikiran menghargai seluruh realitas sebagai satu gerakan, sejalan konsep pengetahuan tradisional yang bertumpu pada penghormatan alam. Gerakan paradigma pemecahan masalah lingkungan dilakukan secara lebih mendalam dan terintegrasi. Pemecahan yang mengakui bahwa eksistensi setiap makhluk memiliki nilai masing-masing dalam keharmonisan alam semesta. Peta dasar gerakan tersebut dituangkan dalam aksi deep ecology (Naess 1986). Aplikasi Etnobotani dalam Peta Aksi Deep Ecology Eksistensi dan perkembangan kehidupan manusia maupun bukan manusia di bumi, memiliki nilai-nilai sendiri bagi dirinya (intrinsic value) dan tumbuhan bila dimanfaatkan oleh manusia harus memiliki kaidah konservasi untuk menjaga kelangsungannya. Kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di alam mempunyai sumbangan bagi perwujudan nilai-nilai tersebut. Eksistensi sumberdaya tumbuhan baik sebagai individu maupun formasinya merupakan bagian dari proses mejaga eksistensi nilai nilai bersangkutan sebagai turunannya. Misalnya hilangnya salah satu sumberdaya makanan hewan yang berasal dari tumbuhan akan mendorong hilangnya sumberdaya hewan yang menggunakan sebagai sumber makannya.

Manusia tidak mendapat mandat untuk mereduksi kekayaan dan keanekaragaman, kecuali untuk jaminan kebutuhan dasarnya. Manusia tidak mendapat mandat untuk mengurangi kekayaan keanekaragaman tumbuhan, sehingga dibutuhkan pandangan dan cara dalam pemanfaatan seperti yang telah dibangun oleh berbagai etnik, sebagai bagian dari kajian etnobotani Perkembangan kehidupan manusia dan kebudayaannya berbanding lurus dengan penurunan kualitas lingkungan. Peningkatan jumlah manusia dan ekspansi kebudayaan maupun eksploitasi sumberdaya alam melalui teknologinya cenderung menurunkan kualitas lingkungan, Pemanfaatan jasa ilmu pengetahuan dan teknologi idealnya juga dapat membantu eksistensi sumberdaya tumbuhan dan masyarakat tradisional dalam menjaga kebudayaannya. Kehadiran campur tangan manusia terhadap lingkungannya sudah berjalan semakin besar dan berlangsung semakin cepat dan memburuk. Perlnya keadaran baru agar kehadiran manusia tidak hanya mereduksi dan memperburuk kualitas alam, tetapi lebih dari itu ia harus mampu menjaga hubungannya dengan realitas lainnya. Diperlukan upaya perubahan kebijakan mendasar yang bersifat adil dalam aspek ekonomi, teknologi dan struktur ideologi. Kebijakan mendasar antara lain keadilan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat agar mendapat kontribusi yang layak. Tidak hanya mengeksploitasi pengetahuan tradisional masyarakat, tetapi mengakui dan mengharagai eksistensinya sebagai hak cipta.. Perubahan idiologi paling utama adalah mengutamakan apresiasi terhadap kualitas kehidupan dibanding peningkatan standar kehidupan yang tinggi. Perubahan cara kehidupan merupakan isu sentral ke masa depan, terutama dalam menghadapi tantangan perubahan bentuk ekosistem.

B. Tujuan 1. Mengetahui pengaruh paradigma suku Tau Taa Wana dalam menanggapi lingkungan hidup terhadap kelangsungan ekosistem di lipu-lipu satuan mukim Tau Taa Wana di subdas sungai Bongka. 2. Mengetahui mekanisme hukum adat yang berlaku dan pengaruh tatanan adat terhadap wilayah adat yang disakralkan. C. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pengaruh paradigma suku Tau Taa Wana dalam menanggapi lingkungan hidup terhadap kelangsungan ekosistem di lipu-lipu satuan mukim suku Tau Taa Wana di subdas sungai Bongka? 2. Bagaimana mekanisme hukum adat yang berlaku dan pengaruh tatanan adat terhadap wilayah adat yang disakralkan? D. Hipotesis Kepercayaan suku Tau Taa Wana terhadap hal-hal berbentuk magis di hutan adat serta ketaatan mereka pada perintah perangkaat adat dapat mempertahankan kondisi subdas sungai Bongka serta ekosistem didalamnya.

II.

DASAR TEORI

Indigenous knowledge dapat dikatakan sebagai suatu keunikan dalam satu kultur masyarakat, pengetahuan asli, pengetahuan lokal dan nilai-nilai tradisional. Pengetahuan bidang pertanian, penyediaan bahan pangan, perlindungan alam, menjaga kesehatan. Sistem pewarisannya dilakukan secara lisan, menggunakan ungkapan kata-kata dalam upacara, ritual, adat istiadat yang bertumpu pada bidang kehidupan praktis (Gough 1977). Khasanah pengetahuan lokal keanekaragaman hayati dapat direalisasikan dalam pola pemanfaatan sumberdaya hayati, pertanian tradisional serta aktivitas sejenis. Berbagai jenis diantaranya bermakna sebagai nilai budaya, adat dan tradisi keagamaan, yang dimanfaatkan melalui sistem pengetahuan lokal secara dinamis. Masyarakat lokal mengembangkan pengetahuan tradisionalnya secara praktis dimana mereka melangsungkan kehidupannya (Fien 1977). Fenomena pengetahuan tradisional dapat digunakan sebagai pijakan konservasi. Perkembangan sistem berpikir masyarakat moderen berdampak terhadap polarisasi kerja masyarakat sehingga menurunkan respek generasi muda terhadap pengetahuan tradisionalnya. Sistem pengetahuan tradisional banyak dipertanyakan generasi muda yang mana penyebabnya berdimensi ekonomi, sosial dan politik (Maikhuri 2000). Dislokasi pengetahuan tradisional dan kehancuran habitatnya menimbulkan berbagai krisis lingkungan yang harus dicari pemecahannya. Krisis lingkungan hanya dapat diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam (Naes dalam Keraff, 2002). Jika dilihat dari segi struktur masyarakatnya, maka komunitas Tau Taa Wana yang menjadi sasaran studi ini, boleh dibilang masih merupakan tipe masyarakat yang oleh Ferdinan Tonnies disebut sebagai masyarakat Paguyuban (Gemeinschaft).1) Hal ini sangat jelas terlihat pada pola satuan mukim yang masih menyebar atau terpencar secara berkelompok. Pola satuan mukim ini dapat dikategorikan ke dalam 2 bentuk: 2) Pertama, Opot, yakni satuansatuan pemukiman kecil yang dibangun di kawasan perladangan (langa), sehingga masih cenderung berpindahpindah mengikuti sistem perladangan gilir balik yang masih di terapkan. Opot sebagai kelompok mukim, terbentuk berdasarkan garis keturunan (genealogis). Biasanya, setiap Opot terdiri atas 3-7 KK yang kesemuanya merupakan satu keluarga atau kerabat dekat, misalnya kakek, nenek, bapak, ibu, ponakan, sepupu dan ipar.Karenanya, berangkat dari keyakinan mitologi asal usul
1) Ferdinan Tonnies mendefenisikan paguyuban sebagai bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni, dan bersifat alamiah serta kekal. Ciriciri pokok hubungan itu, antara lain bersifat: intimate (mesra/kerukunan), private (pribadi/kelompok kecil), exclusive (kekitaan). Tipe Paguyuban biasanya terbangun karena ikatan darah atau keturunan (genealogis); kesamaan tempat (territorial); maupun kesamaa jiwa-fikiran (ideologi). Dalam Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, edisi keempat, Rajawali, Jakarta 1990, hlm 143-148. 2) Lihat juga Michael Alvard, The Impact of Traditional Subsistence Hunting and Trapping on Prey Populations: Data from Wana Horticulturalist of Upland Central Sulawesi, Indonesia, dalam John Robinson and Elizabeth Bennett (ed), Hunting for Sustainability in Tropical Forest, Columbia University Press, 1999, halaman 218 219

Tau Taa Wana, tetua-tetua adat Tau Taa Wana kemudian memandang bahwa Tau Taa Wana dan hutan adalah dua mahluk yang memiliki hubungan kekerabatan. Hutan dalam pandangan simbolik Tau Taa Wana adalah bapak. Mereka juga percaya bahwa hutan merupakan tempat persemayaman roh-roh leluhur. Karena itulah, maka konsep tata guna hutan yang memandang hutan tidak hanya sebatas fungsi produksi tetapi juga fungsi sakral yang mesti didasari nilai-nilai harmoni dalam pengelolaannya, menjadi salah satu perspektif dalam memahami konsep wilayah adat Tau Taa Wana. Dalam perspektif tata guna hutan setempat, wilayah adat Tau Taa Wana, terdiri atas beberapa jenis kawasan dan fungsi sebagai berikut: Pertama, kawasan yang belum terkelola, dan akan dikelola jika dikemudian hari telah dibutuhkan. Kawasan ini disebut Pangale, yang pada umumnya berupa kawasan hutan primer. Pangale adalah milik bersama Tau Taa Wana, tetapi tata kelolanya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim pada wilayah dimana pangale tersebut berlokasi. Kedua, wilayah atau kawasan terlarang. Kawasan ini disebut Pangale Kapali, yakni kawasan yang dikeramatkan karena diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh-roh leluhur. Kawasan ini boleh dibilang sebagai kawasan hutan suaka adat yang terlarang dikelola secara serampangan. Pangale kapali juga merupakan milik bersama Tau Taa Wana, tetapi penguasaannya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim pada wilayah dimana pangale kapali tersebut berlokasi. Ketiga, wilayah atau kawasan terkelola. Kawasan terkelola ini oleh Tau Taa Wana, masih diklasifikasi lagi ke dalam beberapa jenis berdasarkan fungsinya, masing-masing: a) Pangale Pompalipu yakni kawasan tempat pemungutan (meramu) hasil hutan, khususnya rotan dan damar. Kawasan ini pun merupakan milik bersama Tau Taa Wana yang tata kelolanya berada pada Tau Taa Wana yang bermukim pada wilayah adat dimana pangale pompalipu berlokasi. Karenanya hak pemanfaatan terhadap pangale pompalipu ini melekat pada setiap anggota komunitas Tau Taa Wana. Kawasan ini, terlarang dimanfaatkan untuk membuka ladang atau kepentingan lain jika tidak dalam keadaan terpaksa dan tanpa persetujuan bersama anggota komunitas sesuai ketentuan hukum adat yang berlaku. b) Yopo adalah kawasan perladangan gilir balik. Kawasan Yopo merupakan areal bekas ladang (navu/langa) yang sudah menjadi hutan kembali dan tetap berfungsi sebagai kawasan perladangan. Yopo masih dibagi lagi ke dalam dua jenis: (1) Yopo Masia, merupakan kawasan atau areal bekas ladang yang sudah diistirahatkan cukup lama. Umur hutannya rata-rata mencapai 7 tahun ke atas, dan telah siap di buka kembali menjadi areal ladang utama (navu tou) dalam

bentuk Langa, yakni ladang (navu) yang dibuka secara bersama-sama dalam satu lokasi areal yang luas. (2) Yopo Mangura, merupakan kawasan atau areal bekas ladang yang umur hutannya baru mecapai kurang lebih 1 - 7 tahun. Kawasan ini baru boleh dijadikan sebagai lokasi membuka ladang antara (navu bonde) yang dibuka secara perorangan atau per kepala keluarga. Kepemilikan Yopo, baik Yopo Masia maupun Yopo Mangura adalah hak bersama Tau Taa Wana yang bermukim di wilayah hukum adat dimana kawasan Yopo tersebut berada, tetapi penguasaannya berada pada satuan-satuan mukim yang berlokasi di dalam dan sekitar kawasan Yopo tersebut. Selain itu, jika dilihat dari aspek pengelolaan atau pemanfataan, kawasan Yopo nampaknya dapat pula dilekati hak individual. Misalnya, seseorang yang membuka Yopo dalam luasan tertentu, maka orang tersebut memiliki hak individual untuk menggunakan lahan/tanah yang telah dibukanya. Hak individual ini dapat dialihkan kepada orang lain sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku. Tetapi jika lahan tersebut telah ditinggalkan atau ditelantarkan, maka hak tersebut kembali menjadi hak kelompok.

III.

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian akan dilaksanakan pada tanggal 7 Desember 2011 di subdas sungai Bongka, Tojo Una-una, Sulawesi Tengah. B. Alat dan Bahan i. Alat-alat yang diperlukan dalam kegiatan survei: 1. GPS 26. Alat tulis (lengkap) 2. Binokuler 27. Gelas plastik 3. Kamera digital 26. Dicky tray 4. Head lamp 29. Tali rafia 5. Termometer 30. Toples besar 6. Alat suntik 31. Jangka sorong 7. Dissecting set 32. Parafilm 8. Roll meter 33. Tissue handuk 9. Klinometer 34. Mata pisau 10 . Sekop 35. Aki basah 11. Baki plastik 36. Senter 12 . Termohigrometer 37. Survival kit

13 Jala lempar (mesh 1 cm) 14 Jala lempar (mesh 2 cm) 15 Seine net 16 Alat setrum ikan 17 Bubu 18 Jala insang 19 Cakram Secchi 20 Multimeter 21 Cool box 22 Botol koleksi 23 Tongkat ular 24 Hammock camuflage 25 Buku catatan lapangan

38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48

Safety glove Kain kassa Trash bag Kantung plastik bening Karung goni Kompas Nesting Sleeping bag Terpal 2 x 4 m Safety shoes Water tank Platifus

ii. Bahan-bahan yang diperlukan dalam kegiatan survei 1. Kertas pH ART 9531 Merck 5,4--7,00 2. Kertas kalkir 100 gr 3. Kertas pH ART 9531 Merck 6,4--8,00 4. Batu baterai AAA 5. Batu baterai AA 6. Batu baterai A 7. Sarung tangan plastik 8. Formalin 40% 9. Alkohol 95 % 10. Spiritus 11. Akuades

C. Cara Kerja 1. Studi Area Penelitian dilakukan dengan pertama-tama melakukan studi area. Studi area dilakukan dengan mencari informasi administratif daerah setempat seperti jarak kampung dengan pusat daerah pemerintahan kabupaten tojo Una-una, kondisi topografi perkampungan suku Tau Taa Wana, informasi ketinggian kampung di atas permukaan laut, luas perkampungan, letak geografis, batas wilayah, dan jumlah total penduduk. 2. Survey etnobotani dan etnoekologi Secara garis besar akan dilakukan gabungan antara metode penelitian kualitatif dan metode kuantitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan cara observasi. Jenis observasi yang dilakukan adalah observasi partisipatif moderat dimana peneiti harus terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari sumber data seperti rapat adat, inventarisasi tuuaka (tuuaka adalah pohon yang dianggap sebagai pengganti sanak famili mereka yang

telah meninggal). Pada tahap ini juga akan dilakukan wawancara terbuka. Teknik pemilihan informan yang digunakan dalam observasi awal adalah metode purposive sampling yaitu teknik pemilihan informan dengan pertimbangan tertentu, dalam hal ini orang yang dianggap paling paham dengan perkampungan, sejarah adat, serta hukum adat yang berlaku. Diharapkan sumber informasi adalah seorang tetua adat. Pemilihan informan juga dapat dilakukan dengan metoda snowball sampling yaitu teknik pemilihan informan berdasarkan rekomendasi informan utama. Setelah observasi awal, dilakukan penelitian kuantitatif yaitu pengumpulan data tumbuhan dan hewan yang paling umum digunakan sebagai tuuaka, tingkat diversitasnya dan kelestariannya maupun data mengenai tumbuhan dan hewan yang tidak termasuk dalam lindungan norma adat, diversitasnya dan kelestariannya. Kondisi spesies sangat bergantung dengan kondisi lingkungannya sehingga pada penelitian kuantitatif, sangat penting untuk membahas parameter-parameter biotik maupun abiotiknya. 1. Perairan Pengukuran Faktor Fisik Air Faktor fisikokimia air seperti suhu, pH, oksigen terlarut (DO), salinitas, konduktivitas, kecerahan, lebar sungai, kecepatan arus, kedalaman sungai, tipe dasaran, dan ketinggian lokasi pengambilan sampel (altitude) langsung diukur di setiap stasiun. pH diukur dengan menggunakan kertas pH indikator skala 0--14 dengan cara mencelupkan kertas tersebut ke air sungai. DO, suhu, salinitas, konduktifitas diukur dengan menggunakan alat multimeter. Kecerahan diukur kedalamannya dengan menggunakan cakram Secchi sampai batas tak terlihat lagi oleh mata. Lebar sungai diukur dengan meteran. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan dipping bar. Kedalaman sungai diukur dengan memasukkan tongkat yang telah diberi tanda ke dalam sungai kemudian diangkat dan diukur dengan meteran. Altitude stasiun pengambilan sampel diukur dengan menggunakan GPS. Sampel substansi dasar sungai diambil untuk mengidentifikasi tipe dasaran sungai. 2. Amfibia dan Reptilia (Herpetofauna) Data diperoleh dengan tiga cara yaitu. Pertama, perolehan data berdasarkan hasil pengamatan dari sepanjang transek yang telah dibuat, dimana pada masing-masing lokasi sekitar 1 km. Pengamatan dilakukan pada pagi dan malam hari, pengamatan pagi hari dari pukul 6.00 wib sampai selesai, malam hari pukul 18. 30 wib - sampai selesai. Kedua, data diperoleh dengan sistem pencarian secara acak disekitar lokasi survei, seperti wilayah disekeliling badan air diam dan mengalir. Ketiga, data hasil tangkapan penduduk (jaring/renggek, bubu dan tempirai), informasi dari penduduk sekitar lokasi survey dan diyakini kebenarannya.

Data diolah dan kemudian dianalisis untuk mengetahui nilai keanekaragaman hayati masing-masing lokasi, kelimpahan relatif, frekuensi relatif, nilai similarity atau kemiripan antar lokasi jika secara umum lokasi survei memiliki tipe hutan yang hampir sama. - Pengawetan Spesimen Pengawetan spesimen (preservasi) dilakukan apabila spesies yang dijumpai belum teridentifikasi atau masih diragukan nama ilmiahnya. Prosedur pengawetan, dilakukan dengan cara menyuntik dengan alkohol 70 % pada bagian tengkuk amfibi maupun reptil, penomoran koleksi, kemudian direndam dalam formalin 10 % selama 24 jam, atau lebih lama, bila spesimen yang diawetkan berukuran lebih besar, maka harus menyuntikkan cairan formalin di bagian perut dan paha. Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengawetan adalah: catatan warna sebelum diawetkan, ukuran dari moncong sampai ventral (snout ventral length), panjang ekor (tail length). Deskripsi secara umum seperti: jumlah sisik vental, sisik ekor, jumlah bibir atas dan bawah, sisik lingkar tubuh, dll. Jika masih belum diketahui atau masih meragukan nama spesiesnya, sebaiknya segera dikirim ke lembaga yang berwenang. 3. Mamalia dan primata Metodologi yang digunakan dalam pengamatan ini adalah penelusuran jalur (Line Transect) dan pengamatan secara acak (random) pada daerah sekitarnya atau berjalan mengikuti jalur yang sudah ada. Pada setiap lokasi dibuat 3 - 4 jalur transek yang masing-masing sepanjang 200 meter. Pengamatan transek dilakukan pada pagi hingga siang hari (05.3014.00 WIB) dan pengamatan secara acak dilakukan setelah pengamatan transek selesai. Untuk mengetahui respon dan perilaku terhadap pengamat, maka dilakukan juga pencatatan aktivitas terhadap individu yang dapat diikuti seperti orangutan. Semua jenis primata dan mammalia besar lainnya yang ditemukan secara langsung maupun dari indikasi keberadaannya seperti faeces (kotoran), cakaran, jejak, sarang, suara dan sisa makanan yang ditemukan dicatat dalam buku catatan lapangan. Data-data yang dicatat adalah waktu perjumpaan, titik kordinat GPS, cuaca, nama jenis, jarak pengamat terhadap objek, sudut pengamat terhadap objek, jumlah objek, jarak objek dengan jalur, sebaran kelompok dan aktivitas objek. Untuk melengkapi data keberadaan dan sebaran primata serta mammalia besar lainnya, dilakukan interview dengan masyarakat sekitar lokasi. 4. Vegetasi tumbuhan Pengamatan vegetasi dilakukan pada jalur transek yang telah dibuat dengan cara membuat plot berukuran 10 x 10 meter. Jarak antara plot adalah 20 meter. Tiap lokasi dengan panjang jalur transek 1 kilometer

diamati 10 plot. Pengumpulan data yang diambil dalam pengamatan ini adalah jenis pohon yang mempunyai ukuran diameter di atas 10 cm . Selain itu juga dilakukan pendataan terhadap herba sebagai tumbuhan bawah. Untuk jenis jenis vegetasi yang belum dapat dikenali, bagian tumbuhan diambil untuk kemudian diidentifikasi. 5. Avertebrata tanah Pengambilan serangga tanah seperti dilakukan Sulistyaningtyas (1995) dengan menggunakan metode kwadran berukuran 1 x 1 meter. Jumlah petak sampel minimum 3 kali pengambilan, atau disesuaikan dengan kondisi lingkungan atau habitat yang ada. Pengambilan dilakukan secara acak. Kedalaman tiap kuadran akan disesuaikan dengan kondisi habitat. Setiap kuadran diambil pula tipe tanah atau serasah.

D. Analisis Data Dari hasil pengumpulan data di lapangan, untuk menganalisa perbedaan jenis spesies yang ada di dalam hutan yang berbeda, maka yang dianalisa adalah Nilai Penting Jenis (NPJ). Untuk mencari NPJ biasanya diuraikan dan dibandingkan taxa pohon (suku, marga, jenis) susunan plot-plot dan bermacam-macam penelitian. Defenisi NPJ didapat dengan cara menjumlahkan Kerapatan relatif (Kr.), Dominansi relatif (Dr.) dan Frekwensi relatif (Fr.). { NPJ = Kr + Dr + Fr }. Dalam penghitungan untuk mendapatkan NPJ harus di ketahui parameterparameter yang mendukung-nya : a. Kerapatan relatif (Kr.) yaitu dinyatakan dengan angka yang merupakan hasil bagi kerapatan suatu jenis dengan total kerapatan semua jenis dalam suatu petak percobaan dikalikan seratus persen. b. Dominansi reratif (Dr) yaitu dominansi suatu jenis di bagi dominansi total semua jenis dikalikan seratus persen.. c. Frekwensi relatif (Fr) yaitu: nilai frekuensi suatu jenis dibagi nilai frekuensi semua jenis dikalikan seratus persen Sehingga : Kerapatan suatu jenis Kerapatan relatif (Kr) = ---------------------------------------- X 100 % Jumlah kerapatan semua jenis

Dominansi suatu jenis Dominansi relatif (Dr) = ------------------------------------------ X 100 %

Jumlah dominansi seluruh jenis

Frekwensi suatu Species Frekwensi relatif (Fr) = ------------------------------------------ X 100 % Frekwensi seluruh Species

Maka untuk Nilai Penting Suatu Jenis yaitu : NPJ = Kr + Dr + Fr

IV. DAFTAR PUSTAKA Hamilton 2003. The Art of Rice. Spirit and Sustenance in Asia. South Sea International Press Ltd. Maikhurri RK, Nautyal KS, Semwal RL 1998. Indigenous Knowlwdge of Medicine Plants and Wild Edible among Three tribal Subcommunities of the Central Himalaya, India. Indigenous Knowlwedge Development Monitor. 8: 7-13. Nala N 1990. Usada Bali. Denpasar: .Pt. Upada Sastra. . Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali 1997. Rencana Tata Ruang Wikayah Propinsi Bali Tahun 2010. Robertson J 1990. Alternatif yang Sehat. Pilihan Untuk Masa Depan.Jakarta. Yayasan Obor. Roth D 2003. Which Order ?. Whose Order ?. Local Irigation Management in Balinese Migran Society in Sulawesi, Indonesia. Paper for the workshop Order and Disjuncture: the Organization of Aid and Development, SOAS , London, th September 2003. Soetomo G 1997. Kekalahan Manusia Petani. Dimensi Manusia Dalam Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Kanisius. Sukarsa I.M. 2004. Sisi Ekonomi Sebuah Upacara. Proseding Seminar Konservasi Tumbuhan Upacara Agama Hindu. UPT Balai Konservasi Tumbuhan. Kebun Raya Eka Karya Bali. LIPI. Sukenti K, Guhardja E, Purwanto Y. 2004. Kajian Etnobotani Serat Centhini Journal of Tropical Ethnobiology. Vol II. No.1. Januari 2004. LIPI. Bogor Sulistyaningtyas, S.E. 1995. Komposisi fauna tanah pada beberapa lahan suksesi setelah perladangan di Apau Ping, Hulu Sungai Bahau. PHPA & WWF: 34 hlm. Suprodjo P 2004. Persoalan dan penyelesaian manajemen irigasi yang berkeadilan Makalah seminar Sistem Subak di Bali Menghadapi Era Globalisasi. Denpasar 16 Agustus. Universitas Udayana Denpasar Bali.. Suryadarma IGP. 2005. Konsepsi Kosmologi dalam Pengobatan Usada Taru Pramana.. Journal of Tropical Ethnobiology. Vol II. No.1. Januari 2005. LIPI. Bogor .. Sutawan N 2004. Subak menghadapi tantangan globalisasi .Perlu upaya pelestarian dan pemberdayaan secara lebih serius. Makalah seminar Sistem Subak di Bali Menghadapi Era Globalisasi. Denpasar 16 Agustus. Universitas Udayana Denpasar Bali. . Toledo MV 1992. What is etnoecology? Origins, scope and implication of rising discipline Etnoecologica. I, 5. Topler. A. 1992. Kejutan Masa Depan. PT. Pantja Simpati. Jakarta Ulluwishewa et al. 1997. Indigenous Knowledge and Environmental Di dalam Di dalam Fien J, Heck D, Ferreira A editor Learning for a Sstainable Environment. UNESCO Asia-Pacipic Centre of Educational Innovation for Development and Griffith University Centre. hlm 5.1Wibowo S 2005. Biomoloculer Research and Development of Traditional Medicine. National Seminar Perhibha Semarang.

PROPOSAL PENELITIAN Kajian Etnobotani, Etnoekologi dan Etnososiogi Hukum Adat Masyarakat Tau Taa Wana di Subdas Sungai Bongka dalam Pelestarian Lingkungan Hidup Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Ilmiah

Disusun Oleh Nama NIM : Ika Sartika Saili : M0409026

JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011

You might also like