You are on page 1of 152

NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

(Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam


Terhadap Pendidikan Antikorupsi)


SKRIPSI



















Oleh :
BHAYU SULISTIAWAN
NPM : 20040720049






FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2008
NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
(Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap
Pendidikan Antikorupsi)




SKRIPSI



Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu
Pada Fakultas Agama Islam
Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah)
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta




Oleh:
BHAYU SULISTIAWAN
NPM: 20040720049




FAKULTAS AGAMA ISLAM
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH)
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2008








.


















































MOTTO


_9 .9 | ! - - ` . 1> >9
{
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah
diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya).
Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling
sempurna. (Q.S. Al-Najm/53: 39-41)


| s `.! <| 7, s!
Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya
kamu berharap (Q.S. Alam Nasyrah/94:7-8)


Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah
meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya. (Al-Hadits)


du chocs des opinions jaillit la verit,
du chocs des idees jaillit la lumiere.
(dari benturan berbagai opini akan muncul sebuah kebenaran,
dari benturan berbagai gagasan akan muncul sinar (kebenaran).
(Idiom Perancis)


Kemajuan yang kau dapatkan tidaklah terukur dengan keberhasilanmu
memperbaiki segala apa yang telah terjadi, melainkan bagaimana kau merengkuh
segala apa yang akan terjadi di masa depan........ (Kahlil Gibran)


PERSEMBAHAN


Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah SWT,
Tuhan sumber segala muara esensi.

Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran, Skripsi ini untuk:


Bapak dan Ibuku tercinta,
yang telah membesarkan dan selalu memberikan tarbiyah dan tadib,
kasih sayang, semangat, pengertian dan do'a yang tak terputus-putus
untuk keberhasilanku.



Adikku-adikku tersayang,
yang selalu mengalah dan dikorbankan
untuk mendahulukan cita-cita Bapak yang dititipkan kepadaku.


B 250406 R_tie,S.Pd.I; for a long time......
whenever and wherever you are..... Yes, we can!!!



Pemda Kota dan Kabupaten Bekasi,
yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa
dan membimbing para putera daerah.





Almamaterku, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
A Leading and Enlightening University



KATA PENGANTAR



Alhamdulillhilladz nawwaran bi alilmi wa alaqli. Segenap puja dan
puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan
petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga
penelitian hasil dari sebuah usaha ilmiah yang sederhana ini guna menyelesaikan
tugas akhir kesarjanaan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, setelah
menjalani proses akademik yang cukup panjang. Sholawat dan salam semoga
dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW,
sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa uncivilized yang
gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga
kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang
zaman.
Penelitian yang berjudul NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM
PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama
Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) ini pada dasarnya disusun untuk
memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI-UMY).
Oleh karenanya hal ini merupakan kulminasi-formal akademik yang sudah barang
tentu tetap disertai akuntabilitas akademik juga, sebagai sebuah karya ilmiah
perdana penulis di bidang kependidikan, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban
akademik (scholar duty) an sich.
Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses
akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah
banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam
hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan kurioritas
(rasa ingin tahu) penulis atas problematika korupsi dalam mengarungi suatu
setting pertempuran intelektualitas yang cukup menantang sehingga dapat mencari
dan menemukan identitas diri sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal
oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis semakin sadar akan berbagai
kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis, wam
ttum min alilmi illa qallan.
Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak
mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena
itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah
yang membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan,
bukan hanya angan dan keinginan semata. Mereka adalah:
1. Bapak Ir. H. Dasron Hamid, M.Sc, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta.
2. Bapak Drs. Marsudi Iman, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga kapasitasnya sebagai Dosen
Pembimbing Akademik (DPA).
3. Bapak Drs. Syamsudin Hs, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama
Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
4. Bapak Nurwanto, MA, selaku dosen pembimbing yang telah dengan tekun
dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dan
memberikan kritik konstruktif dalam proses penyusunan penelitian ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan
pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif
menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
6. Bapak serta Ibu karyawan UMY yang dengan rela dan senang hati untuk
memberikan pelayanan dari awal hingga akhir studi. Pak. Taufik, Pak Tarlan,
Bu Nurul, Pak Muji, Pak Wardani, Pak Joko, Mas Suryadi, Mas Syarif, terima
kasih atas pelayanan yang diberikan.
7. Bapak Drs. Masudi, M. Ag, terima kasih atas pemberian bukunya berjudul
NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih dan juga buku Fikih
Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah. Pemberian bapak sangat membantu kelancaran penyusunan
karya ini. Jazakumulloh khairon katsiron.
8. Bapak Drs. Muh. Azhar, M. Ag, selaku penguji yang telah memberikan kritik
dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Terima kasih atas pinjaman bukunya
berjudul Pendidikan Antikorupsi, juga atas beberapa kesempatannya
meluangkan waktu untuk sekedar berdiskusi (bahkan berdebat) di ruang
pengajaran, perkuliahan bahkan loby FAI, di sekretariat HMI-MPO komisariat
FAI ataupun korkom UMY. Hasil diskusi kita dengan kawan-kawan sangat
membantu dalam membahas penelitian ini. Yakin Usaha Sampai, semoga
cepat dapat gelar Doktornya prof...
9. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) dan Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta yang telah meminjamkan beberapa sumber referensi.
10. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendo'akan dan memberikan perhatian,
motivasi serta kasih sayang yang tiada tara sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini sebagai kulminasi formal perkuliahan dengan
baik.
11. Adik-adikku tercinta (Guntur, Bunga) yang selalu memberikan motivasi serta
kesabarannya untuk membantu meringankan perjalanan studiku.
12. Semua keluargaku di Bekasi, Sukabumi, Kutoarjo yang senantiasa
mendoakanku dengan penuh tulus ikhlas.
13. Ristyawati, S. Pd.I, yang senantiasa membantu, menyemangati, memarahi,
menyarankan, mengingatkan (baik dengan tawa maupun air mata) serta
mendoa'kanku selama proses penyusunan penelitian ini hingga selesai. Your
existence is complement in my life. Kamu adalah bukti dari idiom Arab: Al-
haytu bighoiri habbah kahayti al-ghorbah
14. Teman-teman seperjuangan dalam perjalanan panjang yang melelahkan, di
FAI jurusan Tarbiyah (PAI) angkatan 2004 terima kasih atas bantuan dan
kerja samanya yang tak akan dilupakan. Demikian juga dengan teman-teman
PAI, EPI, KPI angkatan 2003-2007.
15. Bang Dedi Sutomo, SEI, Surawan, S. Pd.I, Bagus olenk, S. Pd.I, terima
kasih atas saran-sarannya dari perjumpaan kita waktu sharing-sharing, juga
untuk Gus Bowo dan Via Zubed atas bantuannya selama ini.
16. Teman-teman aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO yang selalu
semangat dengan idealisme perjuangan, Danang, Eko, Perli, Fathnan, Cahyo,
(HMI-MPO FAI), serta seluruh pengurus HMI-MPO Cabang Yogyakarta dan
kader-kader (aktifis) HMI-MPO Komisariat FAI UMY, Korkom UMY,
Cabang Yogyakarta serta Pengurus Besar (PB) HMI-MPO. Kenangan indah
dan sentilan-sentilan kritis untuk perjuangan bangsa bersama kalian tak
pernah kulupakan.
17. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bang Patra, Mas
Kholid, Abi, Dandan, Boim, Maruf, Acan, Ai, Fatma, Rida, Heny, Helmi,
Dayat, dan semua kader-kader IMM UMY. Tetap Anggun dalam Moral
Unggul dalam Intelektual.
18. Teman-teman golongan IKAMASI (Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi)-
Yogyakarta. Bang Ali Husna, Jaka, Zaelani, Tasim, Jhalil, Abuy, Deny, Haji
Pupunk, Ical, Mpok Dewi, Teh Ina, yang selalu mengingatkan bahwa
kesibukan organisasi tidak boleh melupakan tuntutan akademis. Buat penggiat
IKAMASI, Ali Ibo, Adi Pazcho, Neo, Adenk, Tori, Akew, terima kasih atas
kesempatan kongkow-kongkownya. Omphong, Biben, Amir, Achong,
Juned, Mank RT, Tika, Uchi, Rini, (UMY, UNY, UII), Prima, Ajenk, Desi,
Nura, semua pengurus dan anggota IKAMASI terima kasih atas semuanya.
Candaan serta guyonan bersama kalian bikin ngurangin stress dan penat.
Tetap semangat Solid di Perantoan Berkarya Demi Bekasi!
19. Sohib-sohib FOSMA (Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni Attaqwa)-
Yogyakarta. Bang Popeye, S.ThI, Bang Sofyan, Abu Hasan, Noeng Alie,
Omplay, Sukway, Malik, Juned. Syukran katsron ilaikum....
20. Kawan-kawan diskusi lintas kampus, Komunitas Wirobrajan HMI-MPO,
kajian Angkringan, Lingkar Studi Matahari, UKM Musik UMY, komunitas
badminton, club futsal UNWAMA, terima kasih atas sekedar refreshing dan
sharing-sharingnya.
21. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan
bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini.
Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini
mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan
semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri.

Yogyakarta, 23 Oktober 2008

Penulis



Bhayu Sulistiawan









DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .....................................................................................
NOTA DINAS ...............................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
HALAMAN MOTTO ....................................................................................
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................................
KATA PENGANTAR ...................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................
DAFTAR TABEL DAN SKEMA.................................................................
ABSTRACK ..................................................................................................

i
ii
iii
iv
v
vi
xii
xv
xvi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................
B. Rumusan Masalah ............................................................
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................
D. Tinjauan Pustaka ..............................................................
E. Kerangka Konseptual .......................................................
1. Konsep Pendidikan Antikorupsi ...............................
2. Pendidikan Islam ........................................................
3. Kurikulum Pendidikan ...............................................
F. Metode Penelitian ............................................................
G. Sistematika Pembahasan ..................................................
1
6
7
8
12
12
18
24
30
34
BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI
A. Definisi Korupsi ...............................................................
B. Model-model Korupsi ......................................................
C. Sebab-sebab Korupsi ........................................................
D. Perkembangan Kasus Korupsi .........................................
E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi ..................................

36
43
49
54
57
BAB III : NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN
ISLAM

A. Korupsi Menurut Perspektif Islam ...................................
B. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus
Korupsi .............................................................................
1. Amanah ......................................................................
2. Shidiq ..........................................................................
3. Adil .............................................................................
4. Taqwa .........................................................................
C. Konsep Pendidikan Antikorupsi ......................................
1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi ...
2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan
Antikorupsi .........
D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara .......


60

70
70
72
74
76
77
78

81
83
BAB IV : TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP
PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ............................
B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum ......................
C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Pada Pendidikan Antikorupsi .........................................
D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam
Pendidikan Agama Islam ......................................

88
92

102

108
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................
B. Saran-saran .......................................................................
C. Kata Penutup ....................................................................
126
127
129

DAFTAR PUSTAKA
CURICULUM VITAE





DAFTAR TABEL DAN SKEMA

Tabel 1 : Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis .................... 40
Tabel 2 : Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006 ........................ 54
Tabel 3 : Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara ................... 86
Tabel 4 : Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn
SMP/MTs Semester II

110
Tabel 5 : Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam
Pendidikan Agama Islam ...
113
Skema : Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum, MGMP
dan Guru Mata Pelajaran ...................................................
92

















ABSTRAK


Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi
sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya
pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan
mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui
pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman
pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah
proses pembudayaan.
Sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi
kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara
tidak langsung bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan
peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta
didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption. Pendidikan
untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk
mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Pendidikan
Antikorupsi yang direlevansikan dengan tinjauan normatif aspek kurikulum dalam
Pendidikan Agama Islam, kemudian mencoba menampilkan model Pendidikan
Antikorupsi dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Antikorupsi yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang secara
konsepsional disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam
bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan
pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi, yaitu dengan model
Pendidikan Antikorupsi integratif-inklusif dalam Pendidikan Agama Islam.
Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan dan pencegahan
korupsi ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan
kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang integratif-inklusif pada Pendidikan
Agama Islam. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian
sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif
universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian
strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam
keterlibatan peran sosialnya. Model Pendidikan Antikorupsi yang integratif-
inklusif dalam pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan
sebagai pendekatan dalam pembelajaran berbasis kontekstual.


Kata Kunci: Pendidikan Antikorupsi, Pendidikan Agama Islam, Integratif-
Inklusif, Kurikulum.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai
permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multi-dimensional serta problem
lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya
pemecahan secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai
dalam masyarakat salah satunya adalah problematika korupsi yang tak
kunjung usai. Karena semakin akutnya permasalahan tersebut, sebagian orang
menganggap korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya dan epidemi bahkan
virus yang harus segera diperangi bersama.
Beberapa hasil survey lembaga-lembaga transparansi
mengindikasikan tingginya tingkat korupsi di Indonesia, karena Indonesia
sendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya, berada di posisi keenam
terkorup di dunia menurut survey Transparency International (TI) pada tahun
2005. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 2,2, sejajar dengan
Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Liberia, dan Uzbekistan, serta hanya lebih
baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola,
Nigeria, Haiti dan Myanmar. Menurut hasil survey ini, Islandia adalah negara
paling bebas korupsi (http://id/wikipedia.org/wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008).
Secara eksplisit, sejak tahun 2000 hingga 2006 peringkat Indonesia
dalam soal korupsi diantara negara-negara di dunia setidaknya berada pada
ranking amat buruk. Rilis yang dikeluarkan Transparency International tahun
2005 misalnya, menunjukkan posisi Indonesia tidak kunjung naik kelas dalam
kelompok negara terkorup. Meskipun tidak lagi menjadi nomor buncit karena
berada pada peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei, Indeks Persepsi
Korupsi (IPK) Indonesia hanya 2,2. IPK ini sedikit lebih baik bila
dibandingkan tahun 2004 (2,0) dan tahun-tahun sebelumnya (PBB UIN,
30/11/2005).
Pada tahun 2006 IPK Indonesia naik sedikit dari 2,2 pada 2005
menjadi 2,4. Dengan IPK 2,4 Indonesia berada pada ranking 130 dari 163
negara yang disurvey (www.suarakarya-online.com, tanggal 2/4/2008).
Sedangkan pada tingkat negara-negara se-Asia, peringkat Indonesia turun
menjadi peringkat dua Asia pada tahun 2007 (www.kapanlagi.com, tanggal
2/4/2008).
Korupsi memang merupakan problematika yang cukup pelik yang
melilit dan menghinggap di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia.
Bagi telinga rakyat Indonesia bukanlah hal yang asing bahwa teriakan-
teriakan aksi untuk pemberantasan korupsi mulai bergema kencang, terlebih
keheranan masyarakat bertambah ketika Departemen Agama pun yang
notabene lembaga representatif untuk menjadi uswah dan penggerak nilai-
nilai keagamaan secara normatif-kolektif, malah ikut terlibat dalam kasus
korupsi.
Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada tahun 2002
menyatakan bahwa korupsi terbesar di negeri ini justeru terjadi di Departemen
Agama, menyusul kemudian Departemen Pendidikan Nasional yang di
dalamnya penuh dengan orang-orang yang semestinya menjadi teladan moral
bagi masyarakat luas (Moh. Asror Yusuf [Ed.], 2006: 231). Oleh karenanya
tak heran pula ketika organisasi Retting Political and Economic Risk
Concultancy (PERC) Hongkong, ikut melaporkan hasil survey yang
diperolehnya bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia (Ridlwan
Nasir [Ed.], 2006: 272).
Patut dicatat bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dengan jajaran pemerintahannya kali ini juga meminta semua pihak untuk
bersama-sama memberantas virus korupsi. Tak pelak para alim ulama,
cendikiawan, serta tokoh masyarakat pun diminta untuk membantu
memberantas korupsi. Untuk itu, berbagai tokoh Ornop dan LSM atau
gerakan masyarakat termasuk partai-partai politik turut berpartisipasi
dalam gerakan pemberantasan korupsi ini. Hal ini menunjukan betapa
problematika korupsi sudah menjadi agenda pemerintahan yang cukup
signifikan.
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam
terbesar menyambut permintaan SBY tersebut dengan sebuah gebrakan
mencanangkan nota kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU)
tanggal 15 Oktober 2003, isinya untuk bekerja sama secara nasional
melakukan pemberantasan korupsi (Jawa Pos, 16/10/2003). Bahkan beberapa
tahun lalu kalangan NU sudah pernah mengumumkan fatwa yang cukup
menghebohkan, fatwa itu menegaskan bahwa korupsi adalah kemungkaran
yang sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau
koruptor mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah
yang juga telah menyatakan bahwa korupsi adalah syirik akbar yang dosanya
tidak diampuni oleh Allah (Tempo Interaktif, 8/12/2004).
Namun mengapa fatwa-fatwa para ulama NU-Muhammadiyah itu
tidak diacuhkan sama sekali oleh banyak orang, sehingga para koruptor tetap
meneruskan kejahatan-kejahatan mereka. Perlu dicatat juga bahwa banyak
diantara para koruptor itu yang mengaku sebagai orang muslim yang rajin
sholat, pergi ke masjid, pernah atau bahkan sering menunaikan ibadah haji ke
Mekkah Al-Mukarromah.
Kegeraman masyarakat terhadap perilaku korupsi memang tidak bisa
dipungkiri, tetapi mereka sudah tidak berdaya untuk melakukan tindakan
dalam bentuk apapun untuk melawannya. Hal ini terindikasikan misalnya dari
hasil Hot Survey Jobs DB Indonesia yang menghasilkan 1.238 (78%) dari
1.561 responden menyatakan setuju bila para koruptor yang terbukti bersalah
oleh pengadilan dihukum mati (Republika, 2005).
Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah dan menghilangkan
praktek korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini.
Namun realitasnya, korupsi tetap saja menjamur. Bahkan di era otonomi
daerah sekarang ini, korupsi sudah menyebar di berbagai daerah lokal. Pada
tingkatan birokrat pusat pun korupsi menyebar luas.
Salah satu strategi yang dilakukan untuk memerangi korupsi adalah
dengan dirancangnya pendidikan antikorupsi oleh beberapa lembaga
pendidikan. Gagasan ini lahir dimaksudkan untuk membasmi korupsi melalui
persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan
kewarganegaraan. Disamping itu, pendidikan untuk mengurangi korupsi
berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi
menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi (Kompas, 21 Februari 2007).
Secara simplistik memang sektor pendidikan formal di Indonesia
dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah
preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua
pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan
kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan
agar tidak permissive to corruption.
Oleh karenanya, pendidikan Islam perlu mengembangkan nilai
antikorupsi. Sebab dalam sistem pendidikan Indonesia, baik dalam kurikulum
1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun Kurikulum tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) belum dimuat materi mengenai permasalahan
korupsi di Indonesia secara langsung. Pendidikan dapat berperan dalam
memberantas korupsi secara tidak langsung melalui pengaitan materi
pembelajaran secara kontekstual dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan
berkenaan dengan korupsi. Selain itu juga, media pembelajaran berupa buku-
buku paket pelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar sangat
sedikit yang memuat secara langsung materi permasalahan korupsi.
Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu
dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak
bangsa Indonesia melalui pendidikan. Hal ini disadari bahwa memberantas
korupsi juga tak lepas dari gerakan preventif, yaitu mencegah timbulnya
mental korupsi pada generasi anak bangsa. Mengingat upaya pencegahan
tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada satu generasi saja, melainkan dua
atau tiga generasi selanjutnya.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai bagian
integral dari pendidikan Indonesia tentunya mempunyai peranan penting
dalam mengembangkan nilai antikorupsi. Pendidikan Islam bisa dijadikan
sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam mengembangkan nilai
antikorupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Karena manusia-manusia yang lahir melalui sektor pendidikan
adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran,
beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta
sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dan disaat institusi lain tidak
berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan
(Islam) dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai
antikorupsi.

B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian di atas peneliti mengambil beberapa rumusan
masalah yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu:
a. Bagaimana konsep pendidikan antikorupsi?
b. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum
Pendidikan Agama Islam?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep pendidikan antikorupsi.
b. Untuk mengetahui implikasi pendidikan antikorupsi terhadap
kurikulum Pendidikan Agama Islam.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari Penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam
dunia pendidikan khususnya di bidang Pendidikan Agama Islam.
Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman di
dalam menyampaikan materi atau pengajaran dalam Pendidikan
Agama Islam serta mengkritisi proses pembelajaran yang dilakukan di
berbagai lembaga pendidikan dalam perannya sebagai proses
internalisasi nilai-nilai antikorupsi.
b. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
para pembaca berupa informasi mengenai problematika kontemporer
baik secara makro (Islam) maupun mikro (pendidikan Islam), serta hal-
hal yang berkaitan dengannya, terutama konsep kependidikan serta
hubungannya dengan problematika korupsi. Penelitian ini juga sebagai
acuan bagi para pendidik Islam, sehingga pendidik dapat mengarahkan
peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pendidikan Islam
dalam upaya pencegahan terhadap korupsi. Dan secara implisit, untuk
menambah wawasan keilmuan serta sebagai khazanah pemikiran
pendidikan Islam agar dapat bersikap aktif memerangi kejahatan
korupsi sebagai wujud perlawanan terhadap kemungkaran sosial.

D. Tinjauan Pustaka
Sejauh yang bisa dipantau oleh peneliti, penelitian tentang korupsi
masih minim dan lebih minim lagi jika dikaitkan dengan pendidikan. Dari
beberapa penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap karya-karya ilmiah,
hasil penelitian, dan buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti
menemukan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan.
Hasil survey dari Transparancy International Indonesia pada 6
Desember 2007 bersamaan dengan peluncuran Barometer Korupsi Global
(GCB), menyebutkan hasil penelitian yang melibatkan 1.010 responden di
Bandung-Jakarta bahwa polisi menempati urutan teratas sebagai lembaga yang
paling korup (lihat www.tii.or.id). Dengan skor indeks antara 0-5 (semakin
tinggi semakin korup), lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan
nilai indeks 4,2. Di bawah lembaga kepolisian ada lembaga peradilan dan
DPR-DPRD dengan indeks 4,1; partai politik 4,0; dan pelayanan
perijinan/perpajakan masing-masing dengan indeks 3,8 dan 3,6
(www.rusdimathari.wordpress.com, tanggal 1/4/2008). Berbeda dengan
penelitian ini yang akan membahas korupsi dari sektor pendidikan, sedangkan
penelitian di atas dilakukan di lembaga polisi, DPR-DPRD, dan pelayanan
masyarakat.
Penelitian tentang Format Pendidikan Antikorupsi di UIN/IAIN:
Review Atas Kurikulum dan Proses Pembelajaran yang dilakukan oleh PBB
UIN Jakarta, 2006. Penelitian ini terfokus pada persoalan kurikulum dan
proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya internalisasi nilai-nilai
antikorupsi di UIN/IAIN. Dimana penelitian ini mengasumsikan bahwa baik
kurikulum maupun proses pembelajaran yang terjadi kurang mempengaruhi
pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial mahasiswa
mengenai antikorupsi.
Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema
pendidikan antikorupsi. Tetapi penelitian di atas hanya memfokuskan pada
aspek kurikulum dan proses pembelajaran serta dilakukan di lingkungan
UIN/IAIN saja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan secara lebih
universal lagi konsep pendidikan antikorupsi, kemudian dikaitkan dengan
implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Selain hasil penelitian di atas, Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan juga telah melaporkan hasil penelitian yang berjudul "Peranan
Sektor Pendidikan Formal Terhadap Kebutuhan Pencegahan Korupsi"
(2003). Kesimpulan hasil penelitian ini, untuk meningkatkan upaya
pencegahan korupsi di Indonesia, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
disarankan agar: 1) Melibatkan sektor pendidikan formal di Indonesia; 2)
Pelibatan sektor pendidikan formal tidak dalam bentuk mata pelajaran atau
kurikulum khusus program antikorupsi; 3) Program-program antikorupsi
hendaknya dilakukan melalui penyebaran informasi menggunakan sumber
belajar yang dikemas secara menarik; dan 4) Dilakukan kerja sama dengan
Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen
Pendidikan Nasional (www.aceh@bpkp.go.id, tanggal 2/4/2008).
Dalam buku yang ditulis oleh Yunahar Ilyas [Et.al.] yang berjudul
Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk Pemuka Umat)
yang diterbitkan oleh KUTUB, 2001. Buku ini merupakan upaya untuk
mensosialisasikan kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat melalui jalur
pendidikan keumatan. Dalam buku ini pembahasannya dilakukan dengan
pendekatan lintas agama melalui para penulis yang merepresentasikan dari
agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dan menitikberatkan pada
pembahasan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pemberantasan
korupsi.
Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah ada usaha
untuk mensosialisasikan gerakan antikorupsi. Salah satunya melalui buku
yang berjudul Membasmi Kanker Korupsi yang diterbitkan PSAP, 2004. Buku
ini merupakan kompilasi tulisan beberapa cendikiawan dalam merespon isu
korupsi serta menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan
sebagai langkah-langkah untuk memberantas korupsi di Indonesia. Tawaran
tersebut diantaranya perlunya pendekatan kultural untuk proses internalisasi
nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan.
Beberapa acuan lain peneliti dapatkan dari beberapa kajian yang
dilakukan oleh beberapa institusi. Seperti Pusat Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M) yang berbasis kultural kaum Nahdliyin. Lembaga ini telah
melaksanakan sejumlah bahtsul masail (diskusi hukum Islam) mengenai
korupsi serta menerbitkannya dalam beberapa buku. Diantaranya Buku yang
berjudul Menolak Korupsi: Membangun Kesalehan Sosial, berisi kumpulan
naskah khotbah Jumat yang mengambil tema korupsi. Buku terbitan P3M lain
adalah Korupsi di Negeri Kaum Beragama: Ikhtiar Membangun Fikih
Antikorupsi, berisikan kumpulan makalah yang disajikan dalam acara Munas
Bahtsul Masail NU (Mei 2004).
Buku berjudul NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih yang
diterbitkan oleh Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNPK PB NU), 2006. Buku ini
mengelaborasi fenomena korupsi di Indonesia serta membahasnya melalui
pandangan Islam dan strategi pemberantasannya.
Dari beberapa acuan di atas, perbedaannya dengan penelitian ini
adalah peneliti mencoba membahas korupsi tidak hanya dari sudut pandang
Islam saja, melainkan dari sudut pandang sosial-filosofis dengan konsep
pendidikan antikorupsi melalui pendekatan pendidikan nilai kemudian
implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Buku berjudul Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah,
yang disusun oleh Mejelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terbitan
Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) 2006. Dalam buku ini menyajikan
permasalahan korupsi lebih sistematis dengan disertai pula langkah-langkah
pemberantasan korupsi, diantaranya melalui jalur pendidikan. Tetapi belum
rinci karena pembahasannya hanya satu sub bab saja.
Oleh karena masih minimnya penelitian tentang pendidikan
antikorupsi, maka peneliti bermaksud mengkaji tentang konsep pendidikan
antikorupsi yang telah diformulasikan oleh beberapa lembaga atau instansi
pendidikan. Kemudian mengelaborasinya dalam perspektif pendidikan Islam,
dengan menitik beratkan pada aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam.
Aspek filosofi pendidikan Islam serta korupsi dalam perspektif Islam juga
dibahas dalam penelitian ini.

E. Kerangka Konseptual
1. Konsep Pendidikan Antikorupsi
Secara etimologis kata konsep (concept) memiliki makna
buram, bagan, rencana atau pengertian (Echols dan Hassan Shadily, 2000:
135). Dalam Kamus Ilmiah Populer konsep diartikan sebagai ide umum,
pengertian, rancangan, dan rencana dasar (Partanto dan M. Dahlan, 1994:
362). Merujuk dari pengertian di atas, maka pengertian konsep dalam
penelitian ini adalah rencana atau ide dasar, pengertian, dan pendapat atau
rancangan dalam memahami pendidikan antikorupsi yang dikonsep dan
dapat diterapkan dalam pendidikan Islam.
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-
individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita
masyarakat, suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi
mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien.
Ki Supriyoko dalam Moh. Asror Yusuf [Ed.] (2006: 232)
mengatakan bahwa antara pendidikan dengan kebudayaan memiliki
kesamaan sifat, misalnya, keduanya terkait dengan nilai-nilai kehidupan.
Satu sisi, pendidikan berkepentingan untuk mengembangkan nilai-nilai
yang bersifat positif bagi peserta didik, pada sisi lain kebudayaan
berkepentingan untuk mengaplikasikan nilai-nilai positif di tengah-tengah
kehidupan sosial bermasyarakat. Sedangkan kesamaan lain menyangkut
prosesnya yang pelan namun pasti (evolusioner). Keduanya memerlukan
waktu yang lama, proses yang harus ditempuhnya bisa dalam satuan
generasi.
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya
berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran
(intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sedangkan menurut Mohammad Natsir dalam tulisannya Idiologi Didikan
Islam menyatakan bahwa pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan
ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti
kemanusiaan dengan arti sesungguhnya.
Dari beberapa pengertian di atas ternyata peranan pendidikan
menempati posisi yang sangat urgen dalam mewujudkan manusia yang
berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan
bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman
nilai-nilai kepada individu untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan
sosial masyarakat.
Marimba (1989: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Hal tersebut selaras dengan Undang-undang
SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi
tujuan pendidikan. Pertama, domain kognitif yang menekankan aspek
untuk mengingat dan untuk mereproduksi informasi yang telah dipelajari,
yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide-
ide dan materi baru. Kedua, domain afektif yang menekankan aspek
emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau
menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik yang menekankan pada
tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar,
berdagang, dan lain-lain.
Idealnya ketiga domain tersebut selaras dan saling melengkapi.
Menurut seorang ahli pendidikan Islam, Omar Mohammad al-Thoumy al-
Syaibani (1979: 399), keselarasan itu harus menunjang. Pertama, tujuan
individual yang berkaitan dengan individu-individu. Kedua, tujuan-tujuan
sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan,
tentang perubahan dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional
yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu. Dari
ketiga unsur pencapaian pendidikan itu idealnya harus dilakukan secara
terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang
diinginkan.
Korupsi secara etimologis sesuai dengan bahasa aslinya berasal
dari bahasa Latin, corruption dari kata kerja corrumpere, yang berarti
busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang
dirusak, dipikat atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).
Sedangkan menurut Transparency Internasional adalah perilaku
pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang simplistik (juga menurut
sebagian pakar sosiologi korupsi), korupsi adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk kepentingan pribadi (misuse of public power)
(http://id/wikipedia.org?wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008).
Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional,
beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi
dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang
diungkapkan disini, yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen
tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-
bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan
atau penggelapan (emblezzement and fraud), dan pemerasan; lintah darat
(exortion) (Andvig, [et. al.], 2000).
Terma korupsi secara universal selama ini diartikan sebagai
tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeruk keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum
dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud
penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi data administrasi
keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli
dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya.
Dari beberapa pandangan definitif di atas dapat disimpulkan
bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang berupa
penyimpangan kekuasaan dan jabatan, privatisasi fasilitas, penyuapan atau
penyogokan, penipuan. Kejahatan korupsi lebih eksplisit lagi karena
adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi, seperti kerugian
uang negara secara materil.
Oleh karenanya dapat diketahui bahwa hampir semua definisi
korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama, penyalahgunaan
kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau
aparatur negara; dan kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di
atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang
bersangkutan.
Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan nilai,
serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena
problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku yang
bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui
pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang
responsif terhadap problem-problem sosial seperti korupsi.
Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untuk
ditekankan ialah tujuan pendidikan nilai, bukan kemahiran menjelaskan
tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi, melainkan menggunakan
pengetahuan tentang ketaatan terhadap nilai-nilai untuk memupuk
kemampuan membimbing individu ke pembaruan cara hidup sesuai
realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan yang masih hidup
dalam diri bangsa. Sehingga pelaksanaan konsep pendidikan yang
bermaksud mendorong lahirnya generasi yang mampu memperbarui
sistem nilai akan tercapai.
Dengan demikian pendidikan nilai tidak terhenti pada pengenalan
nilai-nilai, masih harus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke
penghayatan nilai-nilai, dan ke pengamalan nilai-nilai sebagai kulminasi
dari proses internalisasi nilai dalam diri maupun pribadi serta dapat
membawa bangsa untuk memperbarui diri.

2. Pendidikan Islam
Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, menyebutkan
bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara (Undang-undang No. 20 Tahun 2003: 9).
Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan
sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta
menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan
pendidikan, manusia akan paham bahwa dirinya itu sebagai makhluk yang
dikaruniai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya.
Pada tataran nation, pendidikan memberi kontribusi yang sangat
besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam
menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta membangun watak bangsa
(nation character building). Masyarakat yang cerdas akan memberi
nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk
kemandirian. Masyarakat dan bangsa yang demikian merupakan investasi
yang besar untuk perjuangan keluar dari krisis dan menghadapi dunia
global (E. Mulyasa, 2004: 4).
Pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yakni secara
sempit, luas dan alternatif (Redja Mulyahardjo, 2001: 3). Definisi
pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan sebagai hidup.
Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
lingkungan dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah
segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara
simplistik pendidikan didefinisikan sebagai sekolah, yakni pengajaran
yang dilaksanakan atau diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan
terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai
kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-
hubungan dan tugas sosial mereka (Redja, 2001: 6).
Secara alternatif pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar
yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang berlangsung di sekolah
dan luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar
dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan secara tepat di masa
yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar
yang memiliki program-program dalam pendidikan formal, non-formal
ataupun informal di sekolah yang berlangsung seumur hidup yang
bertujuan mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan
individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan secara tepat
(Redja, 2001: 11).
Sedangkan pendidikan Islam secara khusus merupakan rangkaian
usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa
kemampuan-kemampuan dasar dan belajar, sehingga terjadilah perubahan
di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial dan
dalam hubungannya dengan alam sekitar berada dalam nilai Islam, yakni
norma-norma syariah dan akhlak yang mulia (Al-Syaibani, 1979: 399).
Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna
pendidikan tertentu yang khusus, yaitu pendidikan yang bernuansa atau
berwarna Islam (baca: pendidikan Islami). Pendidikan Islami yaitu
pendidikan yang berdasarkan pada agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 24).
Pandangan para tokoh pendidikan tentang pendidikan Islam
berbeda-beda, diantaranya Zakiyah Darajat (1992: 29), ia mengatakan
bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna
bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan
ajaran agama Islam dalam hubungannya dengan Allah dan dengan
sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam
semesta ini untuk kepentingan di dunia dan akhirat.
Dalam pendidikan Islam, peserta didik (murid) diharapkan bisa
memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai fundamental
yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman agama
Islam. Nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah yang
merupakan dasar bagi materi pendidikan Islam mengingatkan akan
kewajiban manusia secara vertikal-transendental (hablum minallah) dan
horizontal (hablum minannas).
Berangkat dari paradigma pendidikan Islam seperti itulah dunia
pendidikan akan menciptakan sebuah toleransi antar sesama pendidik,
pendidik-peserta didik dan antar sesama peserta didik. Nilai-nilai yang
terkandung dalam materi pendidikan Islam merupakan pengejawantahan
dari prinsip-prinsip pendidikan Islam yang dijabarkan lebih luas lagi
dalam kurikulum.
Diantara prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah prinsip tauhid,
prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip keutamaan. Prinsip tauhid
akan melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan
secara metafisis maupun aksiologis Dia tertinggi (Abd. Halim, 2002: 71).
Prinsip integrasi menginternalisasikan bahwa dunia ini merupakan sebuah
jalan menuju kampung akhirat. Prinsip keseimbangan merupakan
kesemestian hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak
ada kepincangan dan kesenjangan (Munzir, 2004: 24-26).
Sedangkan prinsip keutamaan merupakan inti dari segala
pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah
sekedar proses mekanik melainkan proses yang mempunyai ruh dimana
segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan
(Abd. Halim, 2002: 82).
Mendiskusikan masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas
dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam
penelitian ini lebih jauh adalah masalah moral, yang dalam pendidikan
Islam lebih dikenal dengan akhlak.
Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir
seluruh masyarakat di dunia khususnya Indonesia sedang mengalami
(dalam istilah sosiologi) patologi sosial yang amat kronis. Bahkan
sebagian besar masyarakat kita tercerabut dari adat-istiadat ketimuran
yang beradab, santun dan beragama.
Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan
rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam
mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Quran,
meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu: (Arifin, 2000: 33-
38).
a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di
tengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam
kehidupannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan
sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk
lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai Khalifah di muka bumi.
b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat,
serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh
karena itu manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan
sesamanya dalam kehidupan masyarakat.
c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya
untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai Homo
Divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak
religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu
menjiwai dan mewarnai kehidupannya.
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain
dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan
makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk
mengambil manfaatnya.
Pengamat dan praktisi pendidikan sering mengkritik bahwa
sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi
yang eqivalen dengan peningkatan IQ (Intelegence Qoetiont) yang
walaupun juga didalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional
Quetiont). Oleh karenanya, perlu kiranya dalam pengembangan
pendidikan moral ini eksistensi SQ (Spiritual Quetiont) yang merupakan
tradisi spiritualitas yang tinggi harus terintegrasi dalam target peningkatan
IQ dan EQ siswa.
Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih gejala
kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan
pendidikan moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam
merupakan tugas yang sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara
gradual dan komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang
terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan.
Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan
peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep-konsep pendidikan
moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik,
yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral
dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992: 53).

3. Kurikulum Pendidikan
Kurikulum merupakan bagian integral dari komponen pokok
sistem pendidikan. Secara simplistik, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan kurikulum sebagai seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu
ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan,
kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah memuat
kurikulum sebagai bagian dari standar proses untuk satuan pendidikan
yang telah ditetapkan lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia (Permendiknas RI) No.41 tahun 2007 tentang standar
proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah
(www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Agustus 2008). Mulyasa (dalam Joko
Susilo, 2007: 50) menyebutkan sedikitnya terdapat tujuh komponen
sekolah yang harus dikelola dengan baik, yaitu:
1. Kurikulum dan program pengajaran;
2. Tenaga kependidikan;
3. Kesiswaan;
4. Keuangan;
5. Sarana dan prasarana pendidikan;
6. Pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat;
7. Manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan.
Istilah kurikulum muncul pertama kali di bidang olahraga,
berasal dari bahasa Latin: Curriculae, yaitu jarak yang harus ditempuh
oleh seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut
Ahmad Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat
yang membawa orang dari start sampai finish.
Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai
dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu
perguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan
dua macam, yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh
atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh
ijazah tertentu. Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh
suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Pengertian di atas mengindikasikan paham pada waktu itu bahwa
kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh
siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah, sehingga cenderung legal
oriented, karena dengan menempuh suatu kurikulum siswa dapat
memperoleh ijazah.
Secara eksplisit, Oliva (dalam Joko Susilo, 2007: 80)
mendefinisikan kurikulum sebagai berikut:
Curriculum is that which is taught in school, is a set of subject, is
content, is a program studies, is a set of materials, is a course of study, is
a sequence of courses, is a set of performance objective, is everything that
goes on within the school, including extra class activities, guidance, and
interpersonal relationships, is that which is taught both inside and outside
of school directed by the school, is everything that is planned by school
personal, is a series of experiences undergone by learners in school and is
that which an individual learner experiences as a result of schooling.

Definisi di atas tidak hanya mengidentifikasi kurikulum sebagai
kegiatan yang berpusat di sekolah, melainkan juga seluruh aspek kegiatan
di luar sekolah yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar serta
hasil pendidikan yang diterima di sekolah. Oleh karenanya, kurikulum
juga merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan
dalam proses kegiatan belajar mengajar.
Lebih lanjut Albert I. Oliver mengatakan bahwa curriculum
with the educational program and divided it into four basic element: (1)
the program of study, (2) the program of experiences, (3) the program of
service, and (4) the hidden curriculum (Joko Susilo, 2007: 51). Dengan
demikian, pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan kurikulum. Bahwa
program pendidikan secara bersamaan dengan kurikulum membutuhkan
beberapa program sebagai elemen dasar.
Kurikulum secara praksis adalah apa yang dialami oleh siswa-
siswa ketika berada di dalam kelas. Oleh karenanya guru sebagai pendidik
yang terjun langsung dalam masalah-masalah pengajaran mempunyai
kesempatan yang paling signifikan dalam menjalankan kurikulum.
Secara fungsional kurikulum sebagai suatu proses mempunyai
fungsi. Beauchamp dalam Joko Susilo (2007: 83) menggambarkan
terdapat tujuh macam fungsi kurikulum, yaitu:
1. the choice of arena for curriculum decision making,
2. the selection and involvement of person in curriculum planning,
3. organization for and techniques used in curriculum planning,
4. actual writing of a curriculum,
5. implementing the curriculum,
6. evaluation the curriculum, and
7. providing for feedback and modification of the curriculum.
Dari beberapa definisi dan fungsi di atas dapat diringkas fungsi
kurikulum secara umum sebagai berikut:
a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Bahwa kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan
yang dianggap cukup tepat dan penting untuk dicapai.
b. Fungsi Kurikulum bagi anak atau pesera didik. Kurikulum sebagai
organisasi belajar tersusun yang disiapkan untuk siswa sebagai
salah satu konsumsi bagi pendidikan mereka. Dengan begitu
diharapkan mereka akan mendapat sejumlah pengalaman baru
yang kelak kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan
perkembangan anak.
c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu: (a). sebagai
pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman
belajar bagi anak didik. (b). sebagai pedoman untuk mengadakan
evaluasi terhadap perkembangan anak dalam rangka menyerap
sejumlah pengalaman yang diberikan. (c). sebagai pedoman dalam
mengatur kegiatan pendidikan dan pengajaran.
d. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Bagaimanapun orang tua
dapat turut serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-
putrinya. Oleh karenanya, orang tua dapat memberikan bantuan
melalui konsultasi langsung dengan sekolah, guru dan sebagainya.
e. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Setidaknya ada dua jenis berkaitan
dengan fungsi ini yaitu pemeliharaan keseimbangan proses
pendidikan dan penyiapan tenaga guru.
Dengan demikian fungsi kurikulum mencakup seluruh aspek dan
elemen pendidikan. Karena dengan kurikulum suatu proses belajar
mengajar dapat menjalankan pedomannya serta memberikan arahan yang
jelas terhadap pendidik.
Pada sisi lain, komponen kurikulum juga menjadi elemen bagi
penyusunan kurikulum. Komponen-komponen tersebut secara integral
harus mengandung isi yang substantif sesuai dengan kebutuhan pada
lembaga pendidikan. Diantara komponen kurikulum yaitu, 1). Tujuan, 2).
bahan pelajaran, 3). proses belajar mengajar, 4). Evaluasi dan penilaian
(Nasution, 2003).
Masing-masing komponen sangat bertalian erat, jadi secara ringkas
tujuan bertalian dengan bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan
penilaian. Kesalingterkaitan komponen-komponen tersebut dapat
digambarkan dalam bagan berikut:








Dari bagan di atas nampak jelas bahwa semua komponen
mempunyai interrelasi, saling berhubungan antara komponen satu dengan
yang lainnya.
Dari setiap proses keterpaduan komponen tersebut akan
mengarahkan kurikulum kepada perkembangannya sesuai kebutuhan
lembaga pendidikan dan masyarakat.
Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi
kesempatan peserta didik untuk: belajar untuk beriman dan bertakwa
Tujuan
Penilaian Bahan Pelajaran
Proses Belajar-Mengajar
kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati,
belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar
untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar
yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara garis
besar menggunakan :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau library research,
yaitu model penelitian yang (datanya diperoleh) dilakukan terhadap
informasi yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan baik dalam bentuk
buku, jurnal, paper, tulisan lepas, internet, annual report dan bentuk
dokumen tulisan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan objek
penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan
dibahas (Arikunto, 2005: 244).
Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif (menggali). Metode
deskriptif eksploratif sendiri merupakan pengembangan dari metode
deskriptif, yakni metode yang mendeskripsikan gagasan-gagasan yang
telah dituangkan dalam bentuk media cetak baik yang berupa naskah
primer maupun naskah sekunder untuk kemudian dikembangkan.
Fokus penelitian deskriptif eksploratif adalah berusaha untuk
mendeskripsikan, membahas dan menggali gagasan-gagasan pokok yang
selanjutnya di tarik pada satu kasus baru. Dalam hal ini ide pokok yang
menjadi dasar penelitian adalah konsep pendidikan antikorupsi sebagai
strategi pencegahan korupsi melalui sektor pendidikan formal.

2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-
buku, jurnal ilmiah, artikel-artikel, paper, tulisan lepas, internet, annual
report, produk hukum dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus
permasalahan yang akan dibahas yang relevan dengan pembahasan
penelitian ini.
Untuk memudahkan, dalam penelitian ini peneliti membagi sumber
data menjadi dua bentuk: pertama, sumber data utama (primer) yaitu data-
data yang berkaitan langsung dengan teori-teori (kurikulum) pendidikan
Islam dan pendidikan antikorupsi (Suharsimi, 1998: 114).
Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi dan
(kurikulum) pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sumber data primer
adalah :
a. Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3
UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi,
2003.
b. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi
Perspektif Ulama Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan
Peradaban (PSAP), 2006.
c. Ahmad Fawaid, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian
Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan
Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.
d. Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan:
Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
e. Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan
Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas
Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Kedua, data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung terkait
dengan penelitian. Data ini berupa data-data pengalaman beberapa negara
dalam melaksanakan konsep pendidikan antikorupsi sebagai upaya
pencegahan korupsi, data-data perkembangan korupsi di Indonesia serta
penelitian-penelitian terdahulu dalam kaitan penerapan pendidikan
antikorupsi, serta dokumen kurikulum nasional (Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan/KTSP) dan produk-produk hukum.

3. Metode Pengumpulan Data
Karena jenis penelitian ini adalah penelitian literer dan bersifat
deskriptif eksplorarif dan sumber yang digunakan adalah buku-buku, maka
metode pengumpulan datanya menggunakan cara menelaah buku, dengan
cara memperoleh keterangan-keterangan mengenai suatu obyek
pembahasan. Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik penelitian pustaka (library research methode), yaitu
kegiatan mempelajari dan mengumpulkan data tertulis untuk menunjang
penelitian (Moleong, 2002: 3).
Data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan
topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, work paper,
jurnal, annual report, draf perencanaan, master plan, makalah seminar,
artikel majalah, ensiklopedia, kamus, website dan sebagainya.

4. Metode Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk mengelompokan, membuat
sistematika dan mengorganisasikan data sehingga dapat dibaca dan
dipahami oleh orang lain (Amirul dan Haryono, 1998; 14).
Analisis data peneliti lakukan dengan menganalisis data dari buku-
buku yang diperoleh dengan cara membaca, menggunakan kerangka
berfikir induktif, yaitu pola pikir yang bertolak dari pengamatan atas hal-
hal atau kasus-kasus kemudian menarik kesimpulan, yang digambarkan
secara kwalitatif (Amirul dan Haryono, 1998: 14).
Berangkat dari kerangka umum tentang korupsi, kemudian
digunakan untuk menganalisis konsep pendidikan antikorupsi dengan
perspektif pendidikan Islam.
5. Pendekatan
Sesuai dengan topik yang akan dibahas dan dikaji dalam skripsi
ini, maka penelitian ini mempergunakan pendekatan sosio-filosofis.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam membahas wacana dan fenomena
sosial yang menjadi permasalahan dalam pembahasan penelitian ini, serta
melihat pengalaman (empiric) beberapa negara yang menerapkan
pendidikan antikorupsi. Sedangkan pendekatan filosofis digunakan untuk
menganalisis konsep-konsep pendidikan yang terkait dengan penelitian ini.

G. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penelaahan penelitian
ini, maka peneliti membuat rancangan secara sistematis yang akan ditulis
menjadi lima bagian dan masing-masing bagian sebagai bab dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka koseptual, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua, pada bab ini mengemukakan mengenai gambaran umum
korupsi, yang meliputi: definisi korupsi, model-model korupsi, sebab-sebab
korupsi, perkembangan kasus korupsi serta penyelesaian kasus-kasus korupsi.
Bab tiga, berisi pembahasan tentang nilai-nilai antikorupsi dalam
pendidikan Islam, yaitu meliputi: korupsi menurut perspektif Islam, Nilai-nilai
yang diselewengkan dalam kasus korupsi, konsep pendidikan antikorupsi serta
model pendidikan antikorupsi di beberapa negara.
Bab empat, berisi pembahasan inti tentang tinjauan normatif aspek
kurikulum pendidikan agama Islam terhadap pendidikan antikorupsi.
Pembahasan tersebut meliputi: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi, serta model pendidikan
antikorupsi integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam.
Bab lima, merupakan bab penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan
dari semua pembahasan yang ada, saran-saran dari peneliti, serta penutup.























BAB II
GAMBARAN UMUM KORUPSI

A. Definisi Korupsi
Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan
manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul.
Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir
kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada
zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras
daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad pertengahan
para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata,
korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung
dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani,
dan Romawi kuno (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 277).
Korupsi memang merupakan istilah modern, tetapi wujud dari
tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu
tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri,
telah menulis buku berjudul Arthashastra yang membahas masalah korupsi
di masa itu (Ahmad Fawaid & Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 1). Dalam literatur
Islam, pada abad ke-7 Nabi Muhammad SAW. juga telah memperingatkan
sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang
lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi.
Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari
bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur
menjadi kondisi yang sebaliknya (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 28).
Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak,
menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau
disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282).
Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing
Societies, mendefinisikan korupsi sebagai behavior of public officials with
deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59).
Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut
aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia
(behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima
dan dianut masyarakat.
Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan
dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan
dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
(serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed
Husein Alatas yang lebih luas: Corruption is abuse of trust in the interest of
private gain, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan
pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 10).
Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk
merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum
dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal
yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah
penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk
keuntungan pribadi.
Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary)
korupsi didefinisikan sebagai penyimpangan atau perusakan integritas dalam
pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa.
Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah
penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of
public office for private gain). Definisi ini juga serupa dengan yang
dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu korupsi melibatkan
perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri,
dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri
mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan
kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Ahmad Fawaid &
Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 24).
Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah
korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta,
dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri
mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau
membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan
menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan.
Sedangkan Bazwir (2002)mengutip Braz dalam Lubis dan Scott
menengarai bahwa korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara.
Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui
bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur didalamnya:
Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran
hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan
kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat
atau aparatur negara yang bersangkutan.
Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau
amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat
pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum.
Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang
melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan,
menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma
yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau
amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri,
keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan
pihak lain, baik masyarakat maupun negara.
Upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas
sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan
lembaga lainnya. Akan tetapi peran serta masyarakat adalah yang paling urgen
dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenya, perlu ada
paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma
(shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam
memahami upaya pemberantasan korupsi.
Diantara penyebab kurangnya mobilitas peran masyarakat dalam
upaya pemberantasan korupsi dikarenakan ketidak tahuan tentang makna,
hakikat dan kategorisasi korupsi, yang semakin berkembang dan rumit. Secara
lughowiyah (kebahasaan), definisi korupsi memiliki makna yang jelas dan
tegas. Namun secara praktis makna korupsi berbeda antara satu dengan yang
lainnya. Selain itu juga definisi korupsi selalu berkembang, baik secara
normatif maupun secara sosiologis.
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
tim riset Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi (Rahman, 2004).
Dalam riset ini dijelaskan bahwa problem utama yang muncul belum
terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi, hakikat
korupsi pun secara struktural belum dipahami secara jelas.
Tabel 1
Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis

RESPON
No Varian Definisi
Termasuk
Korupsi
Tidak
termasuk
Korupsi
1.


2.


3.


4.

Seorang peserta rapat yang datang
terlambat

Dosen mengakhiri kuliah sebelum
waktunya

Pejabat menggunakan mobil plat merah
untuk acara pribadi

Mahasiswa memberi hadiah kepada
dosen untuk menaikkan skor ujian
57,3%


67,5%


33,8%


33,2%

42,7%


32,5%


66,2%


66,8%


5.


6.



7.


8.


9.

Mengurangi komposisi bahan bangunan
untuk mengambil untung

Mengambil sebagian dana yang
dipercayakan tanpa melaporkan pada
pihak yang bersangkutan

Mengutip dana tertentu sebagai syarat di
luar regulasi

Merekruit karyawan berdasar asas
kekeluargaan

Majelis ulama menentukan Hari Raya
sesuai dengan hari yang ditentukan
sponsor penyelenggara acara tertentu

57,8%


62,5%



26,1%


19,8%


2,6%



42,2%


37,5%



73,9%


80,2%


97,4%

Sumber: Riset Koalisi antarumat Beragama untuk Korupsi, 2004
(Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 30)

Secara simplistik dapat dilihat dari data-data tersebut bahwa problem
mendasar dari korupsi adalah belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi
definitif tentang korupsi yang sesungguhnya. Korupsi dipahami sebagian
orang dalam kerangka definisi yang sederhana saja. Contoh lain adanya
perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak adalah pendanaan partai
politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di
tempat lain. Oleh karenanya, dalam langkah awal memberantas korupsi
penting kiranya untuk mencari definisi operasional-praktis yang dapat
dikategorikan sebagai perilaku korupsi.
Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa
riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam
pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan disini,
yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena
korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-bentuk korupsi
diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan
(embezzlement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (extortion) (Andvig, et.
al., 2000).
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah
dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20
Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam
tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan;
kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan,
pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan,
gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai
perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006:
19-20).
Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi
adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri,
orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU
tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah
(pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan
wewenang serta fasilitas negara.
Korupsi dengan berbagai modusnya telah terbukti menyengsarakan
rakyat. Salah seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa korupsi
sebenarnya lebih porno dari pada pornografi itu sendiri.

B. Model-model Korupsi
Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan,
penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan
pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi
yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah sudah mulai dilakukan secara sistematis baik oleh perorangan
maupun berkelompok (berjamaah), serta semakin meluas dan semakin
canggih dalam proses pelaksanaannya. Korupsi ini semakin memprihatinkan
bila terjadi dalam aspek pelayanan yang berkaitan dengan sektor publik,
mengingat tugas dan kewajiban utama dari aparat pemerintah adalah
memberikan pelayanan kepada publik atau masyarakat.
Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang
tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah,
suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya
kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat
merugikan keuangan negara.
Untuk mencabut akar permasalahan sumber terjadinya korupsi di
sektor publik, perlu didefinisikan pula sifat atau model dari korupsi dan
dilakukan pengukuran secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk
dapat mendefinisikan model korupsi, dimulai dengan melakukan pengukuran
secara obyektif dan komprehensif dalam mengidentifikasi jenis korupsi,
tingkat korupsi dan perkembangan korupsi dan menganalisa bagaimana
korupsi bisa terjadi dan bagaimana kondisi korupsi saat ini.
Seiring dengan perkembangan jaman dan budaya masyarakat korupsi
pun ikut tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, model atau jenis
yang beragam. Banyak para pakar yang telah mencoba mengelompokkan
jenis-jenis atau model-model korupsi.
Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, dapat diringkas
secara umum bentuk-bentuk, karakteristik atau ciri-ciri, dan unsur-unsur (dari
sudut pandang hukum) korupsi sebagai berikut :
a. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap,
baik berupa uang maupun barang.
b. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya
tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu.
c. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan
penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi
atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil
keuntungan-keuntungan tertentu.
d. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara
paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang
memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan
regional.
e. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang
berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya.
f. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara.
g. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi
berjamaah.
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh
reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis
korupsi. Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang
dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua, korupsi manipulatif, seperti
permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif
atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi
usaha ekonominya.
Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan
kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. Keempat, korupsi subversif, yakni
mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk
dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi (Syamsul
Anwar [Et.al], 2006: 18).
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis
adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan,
pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi
seseorang.
Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam
Toward a General Theory of Official Corruption menguraikan secara
rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu:
1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan.
2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran
pemerintah, menipu dan mencuri.
3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan
penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi,
menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana.
4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan,
memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya.
5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan
memperdaya, memeras.
6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian
palsu, menahan secara tidak sah, menjebak.
7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain
seperti benalu.
8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta
komisi.
9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi
wilayah pemilihan umum agar bisa unggul.
10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk
kepentingan pribadi; membuat laporan palsu.
11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan
surat izin pemrintah.
12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan
pinjaman uang.
13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan.
14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.
15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan
yang tidak pada tempatnya.
16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.
17. Perkoncoan, menutupi kejahatan.
18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi
dan pos.
19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan,
dan hak istimewa jabatan.
Sedangkan menurut Aditjondro (2003: 22) secara aplikatif ada tiga
model lapisan korupsi, yaitu:
1. Korupsi Lapis Pertama
Penyuapan (bribery), yaitu dimana prakarsa datang dari
pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas
pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas
negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa
datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.

2. Korupsi Lapis Kedua
Jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat
penegakan hukum dan perusahaan yang mendapat kedudukan yang
istimewa. Biasanya ada ikatan yang nepotistis diantara beberapa anggota
jejaring korupsi yang dapat berlingkup nasional.
3. Korupsi Lapis Ketiga
Jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dimana
kedudukan aparat penegakan hukum dalam model korupsi lapis kedua
digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan atau lembaga-lembaga
internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai
mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi
anggota jejaring korupsi internasional tersebut.
Tiap tindakan korupsi pasti mengandung pengkhianatan kepercayaan
dan penyimpangan. Lebih jauh lagi pengkhianatan kepercayaan ini bukan
hanya terhadap kepercayaan dari publik atau masyarakat, melainkan juga
kepercayaan dari Allah SWT. Yang telah menjadikan manusia sebagai
khalifah di muka bumi ini.
Penyimpangan terhadap nilai-nilai yang diamanahkan kepada
manusia sebagai khalifah diantaranya adalah nilai integritas, akuntabilitas
(masuliyah), dan kepemimpinan. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya.
Titik kulminasi korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak
ada sama sekali, dan yang terjadi koruptor teriak koruptor. Korupsi yang
muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak.
Selain model-model korupsi seperti di atas, terdapat banyak ciri-ciri
perilaku korupsi. Syed Hussein Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri
korupsi antara lain yaitu :
a. Biasanya melibatkan lebih dari satu orang.
b. Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar.
c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu
uang).
d. Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan.
f. Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum.
g. Pengkhianatan kepercayaan.
h. Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif.
i. Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban.
j. Kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.

C. Sebab-sebab Korupsi
Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua
motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh
kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Kedua, motivasi ekstrinsik,
yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian
melekat dari perilaku itu sendiri (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 13).
Motivasi kedua ini seperti adanya alasan melakukan korupsi karena
ekonomi, ambisi memperoleh jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf
hidup atau karir jabatan secara pintas.
Dalam istilah lain juga disebutkan faktor korupsi terdiri dari faktor
internal (dari dalam diri) dan faktor eksternal (dari luar diri). Faktor internal
semisal sifat rakus terhadap harta, atau terbentur kebutuhan mendesak yang
memicu seseorang melakukan korupsi. Sedangkan faktor eksternal seperti
sistem pemerintahan yang memberikan peluang korupsi, lemahnya
pengawasan-hukum, dan tidak adanya akuntabilitas.
Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab
korupsi yaitu:
a. Ketiadaan atau kelemaham kepemimpinan dalam posisi kunci yang
mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi.
b. Kelemahan pengajaran agama dan etika.
c. Konsumerisme dan globalisasi.
d. Kurangnya pendidikan.
e. Kemiskinan.
f. Tidak adanya tindak hukuman yang keras.
g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.

h. Struktur pemerintahan.
i. Perubahan radikal atau transisi demokrasi.
Korupsi juga sangat erat hubungannya dengan penyalahgunaan
kekuasaan. Ketika kekuasaan cenderung absolut dan represif maka
kesempatan adanya praktik korupsi semakin besar. Tidak salah bila Lord
Acton mengatakan, power corrupts, and absolute power corrupts absolutely.
Semakin mutlak kekuasaan, semakin besar pula kesempatan korupsi (Tempo;
Juli 2008).
Secara eksplisit, terjadinya korupsi setidaknya disebabkan oleh tiga
hal. Pertama, corruption by greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada
orang yang sebenarnya tidak butuh atau bahkan sudah kaya. Namun karena
mental serakah dan rakus menyebabkan mereka terlibat korupsi. Kasus
korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di lingkungan pejabat
tinggi negara.
Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi ini disebabkan
karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need).
Korupsi ini banyak dilakukan oleh karyawan atau pegawai kecil, polisi atau
prajurit rendah dan lain-lain.
Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan jelas
karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk
cepat kaya secara pintas, peluang naik jabatan secara instan, dan sebagainya.
Biasanya ini didukung dengan lemahnya sistem organisasi, rendahnya
akuntabilitas publik, serta lemahnya hukum yang tidak membuat jera.
Seringkali korupsi dalam kenyataannya justeru diberi kesempatan dan diberi
peluang sehingga menggoda para pejabat atau pemegang amanah untuk
berbuat korup seperti menerima suap.
Dari segi behaviour, problem utama tindak perilaku korupsi sangat
berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Sedangkan secara sosiologis,
latar belakang terjadinya korupsi pun dapat dilihat dari beberapa aspek
(Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 44), yaitu:
1. Masyarakat tidak memiliki gambaran jelas tentang jenis dan bentuk
yang dianggap sebagai tindak korupsi.
2. Ajaran-ajaran keagamaan di Indonesia kurang memberikan
petunjuk yang kuat tentang korupsi dalam perspektif moral.
3. Para pemimpin elit masyarakat tidak mengkampanyekan gerakan
antikorupsi secara intens.
4. Tidak ada kurikulum etika dan standard metodik tentang
bagaimana cara membangun kesadaran warga negara terhadap
problem korupsi. Masyarakat kurang memiliki pengetahuan
tentang bagaimana cara melaporkan kasus korupsi yang merugikan
kepentingan publik.
5. Terjadi banyak pembenaran perilaku korupsi, asal bermanfaat
untuk kepentingan lain (kelompok, agama, suku, dan sebagainya).
Lebih lanjut Alatas (1986) mendeskripsikan beberapa faktor
penyebab terjadinya korupsi, antara lain: problem kepemimpinan, problem
pengajaran agama dan etika, latar belakang sejarah (kolonialisme), kualitas
pendidikan yang rendah, faktor kemiskinan dan gaji yang rendah, penegakkan
hukum yang lemah dan buruk, sistem kontrol yang tidak efektif, struktur dan
sistem pemerintahan.
Eksplisitas penyebab terjadinya korupsi secara universal juga
dikarenakan: lemahnya pengalaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-
hari, struktur pemerintahan atau kepemimpinan organisasi (baik profit maupun
non profit) yang bersifat tertutup (tidak transparan) dan cenderung otoriter,
kurang berfungsinya lembaga perwakilan rakyat sebagai kekuatan
penyeimbang bagi eksekutif, tidak berfungsinya lembaga pengawasan dan
penegakan hukum serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku
korupsi, minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan
sehari-hari, rendahnya upah pegawai atau karyawan yang berakibat rendahnya
tingkat kesejahteraan.
Hal yang tak kalah pentingnya juga untuk dapat mencegah secara
efektif terjadinya korupsi adalah hendaknya dihindari pengukuran korupsi
yang semata-mata bertujuan untuk mendeteksi pelaku korupsi dan
menghukumnya. Penting untuk mulai menempatkan strategi pencegahan
korupsi dengan tujuan untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab terjadinya
korupsi sejak dini. Dalam menetapkan strategi pencegahan korupsi, perlu
diidentifikasi dan dianalisa faktor-faktor yang menjadi akar penyebab yang
berkontribusi menimbulkan korupsi pada lembaga publik dan layanan
publiknya.
Semua sebab-sebab di atas terkadang menyatu. Dengan kata lain,
seorang koruptor disamping mentalnya serakah, dipicu oleh kebutuhan dasar
ekonomi yang tinggi, juga ditunjang adanya peluang untuk melakukan
korupsi.

D. Perkembangan Kasus Korupsi
Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang
bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Virus mahadahsyat
ini bisa menjangkiti siapa saja, dimana saja, negara mana saja, dan kapan saja.
Oleh karenanya, ia tidak mengenal latar belakang Suku, Agama, Ras, dan
Aliran (SARA). Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa
korupsi meruntuhkan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal.
Kwik Kian Gie mengatakan korupsi adalah akar semua masalah.
Itulah sebabnya, butuh cara pandang yang sama dari siapa saja dengan
menempatkan korupsi sebagai masalah bersama (Tempo; Juli 2008).
Reformasi birokrasi sebagai salah satu parameter keberhasilan
pemberantasan korupsi belum mengalami peningkatan secara signifikan.
Indikator untuk mengukur hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari data Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International.
Tabel 2
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006

Skor IPK (CPI Score) NEGARA
(Country) 2003 2004 2005 2006
Singapore 9.1 9.3 9.1 9.1
Hongkong 8.0 8.0 8.3 8.3
Japan 7.0 6.9 7.3 7.6
Taiwan 5.7 5.6 5.9 5.9
South Korea 4.3 4.5 5.0 5.1
Malaysia 5.2 5.0 5.1 5.0
Thailand 3.3 3.6 3.8 3.8
China 3.4 3.4 3.2 3.3
India 2.8 2.8 2.9 3.3
Sri Lanka 9.1 9.3 9.1 9.1
Philipines 2.5 2.6 2.5 2.5
Indonesia 1.9 2.0 2.2 2.4
Papua New Guines 2.1 2.6 2.3 2.4
Pakistan 2.5 2.1 2.1 2.2
Kamboja --- --- --- ---
Bangladesh 1.3 1.5 1.7 2.0
Myanmar 1.6 1.7 1.8 1.9

Sumber : Annual Report KPK 2006 (www.kpk.go.id, tanggal 23 Maret 2008)

Pada tahun 2007, IPK Indonesia turun menjadi 2.3 dan tahun 2008
IPK Indonesia 2,6 . Rendahnya IPK Indonesia ini antara lain disebabkan tidak
diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam praktik tata kelola
pemerintahan pada umumnya dan dalam praktik pelayanan publik pada
khususnya.
Beberapa gebrakan dan upaya untuk terus meningkatkan
pemberantasan korupsi telah dilakukan. Berbagai kelembagaan antikorupsi
telah lahir. Mulai dari dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggaraan Negara (KPKPN) pada tahun 1999 berdasarkan UU No. 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Terakhir, lahirnya lembaga independen
khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk
melakukan penyidikan terhadap praktik korupsi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003.
Dasar pembentukan KPK adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi
amanat melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) secara
profesional, intensif dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945.
Lembaga-lembaga sejenis juga didirikan seperti Komisi
Ombudsman, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK),
Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan
Komisi Kejaksaan yang diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya
korupsi.
Sejak lahirnya KPK masyarakat pun sudah mulai antusias dengan
pemberantasan korupsi. Masyarakat mulai semangat menggelorakan gerakan
untuk melawan korupsi, yang semula kepercayaan masyarakat terhadap upaya
penegakan hukum tindak pidana korupsi berada pada titik terendah ketika orde
baru berkuasa.
Perkembangan kasus-kasus korupsi terus bermunculan dari hari ke
hari. Hal ini dapat dirasakan oleh masyarakat dan terlihat secara langsusng
dari media. Dalam Annual Report KPK pada tahun 2007 saja misalnya, dilihat
dari jumlah keuangan yakni jumlah uang yang berhasil diselamatkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti dan denda
sebesar: Rp. 119.976.472.962,00. Adapun yang berhasil disetorkan ke Kas
Negara adalah sebesar : Rp. 45.513.032.038,00.
Banyaknya jumlah keuangan negara yang dirugikan akibat tindak
korupsi menimbulkan kegeraman bagi masyarakat, sehingga masyarakat tidak
lagi merasa apatis terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Data lain
menunjukkan angka yang lebih tinggi dari keuangan akibat korupsi.
Tabel Pengembalian Korupsi
Uang yang harus dikembalikan : Rp. 11, 03 triliun
Belum dapat dikembalikan : Rp. 6,9 triliun
Berhasil ditagih : Rp. 4,1 triliun
Sumber: ICW (Republika, 8 April 2008)

E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi
Gerakan pemberantasan korupsi yang digawangi oleh KPK semakin
berkembang dalam tahun 2007. Aparat penegak hukum seolah berlomba
dalam memburu para koruptor. Media massa pun terlibat aktif dalam
menggelorakan gerakan antikorupsi.
Pada tahun 2007 tercatat banyak koruptor kelas kakap berhasil
ditahan. Baik dari sisi nilai kerugian negaranya maupun dari sisi
ketokohannya. Seperti diantaranya anggota Komisi Yudisial, anggota DPR,
bahkan mantan Direktur Utama BUMN dan BI dengan asset triliunan berhasil
ditangkap.
Pada tahun 2008 ini, kasus-kasus korupsi baik yang lama maupun
baru kembali terungkap. Bahkan sejumlah pejabat Negara baik legislatif
maupun yudikatif banyak yang terseret. Seperti para anggota DPR dan para
jaksa. Kasus-kasus tersebut lebih banyak bersifat suap yang dilakukan guna
memuluskan proyek-proyek tertentu dan atau untuk kasus-kasus besar seperti
kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Di sisi lain, hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh
gelombang pemberantasan korupsi di negara-negara lain. Pada tingkatan dunia
internasional ditandai dengan pengesahan Konvensi perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) Menentang Korupsi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko.
Sedikitnya 137 negara ikut menandatangani konvensi tersebut, termasuk
Indonesia.
Kehadiran konvensi antikorupsi tersebut menandai diakuinya korupsi
sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, dalam Konferensi
Asosiasi International Otoritas Pemberantasan Korupsi (International
Association of Anti-Corruption Authorities, IAACA) di Beijing, 25 oktober
2006, disepakati bahwa korupsi merupakan kejahatan lintas negara
(transnational crime).
Namun demikian, upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak
dilakukan masih berkutat pada upaya pemberantasan an sich. Upaya
pemberantasan tersebut harus dimbangi dengan upaya pencegahan. Oleh
karenanya, dalam penelitian ini akan membahas salah satu upaya pencegahan
korupsi melalui jalur pendidikan.
Ada dua cara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.
Pertama, melalui langkah represif (penindakan), dimana aparat penegak
hukum menjadi penggerak dalam memberantas korupsi. Kedua, melalui
langkah preventif (pencegahan). Diantaranya upaya perbaikan sistem
birokrasi, dan yang paling penting adalah penyemaian bibit-bibit antikorupsi
melalui jalur pendidikan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi akan melahirkan
generasi antikorupsi di masa yang akan datang.
Keduanya harus dilakukan secara simultan dengan kecepatan yang
seimbang. Hal itu dilandasi dengan prinsip bahwa betapa pun para koruptor
yang berhasil ditangkap dan dipenjara tanpa ada upaya pencegahan tindak
pidana korupsi pekerjaan berat itu akan menjadi sia-sia. Sebab tunas-tunas
koruptor yang baru akan muncul kembali.
Menciptakan generasi baru yang antikorupsi merupakan sasaran dari
langkah preventif untuk membantu mewujudkan negara yang bebas dari
korupsi. Gerakan antikorupsi melalui jalur pendidikan merupakan langkah
awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang
lebih baik dari sejak usia muda dengan membangun karakter termasuk
pembentukan sikap disiplin.
Bila dilihat dalam konteks pendidikan, tindakan untuk
mengendalikan atau mengurangi korupsi adalah keseluruhan upaya untuk
mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak
secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan
dan menerima ke sikap tegas menolak korupsi, tidak pernah terjadi jika kita
tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk
memperbarui sistem nilai yang diwarisi, sesuai dengan tuntutan yang muncul
dalam setiap tahap perjalanan bangsa.
BAB III
NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

B. Korupsi Menurut Perspektif Islam
Sebagai agama yang sempurna dan universal, Islam tidak hanya
mengatur hubungan antara makhluk dengan sang Khalik (hablum minallah),
tetapi juga mengatur hubungan antar sesama makhluk (hablum minannas),
serta hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam). Oleh karenanya,
Islam mengajarkan secara komprehensif beberapa prinsip agar hubungan antar
manusia menjadi harmonis dan beradab.
Lebih jauh, Islam melalui kitab suci al-Quran telah memerintahkan
kepada seluruh umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara
keseluruhan. Hal tersebut mengandung unsur universalitas Islam dalam
seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana statemen dalam al-Quran
menyatakan:
!! %! ` => =.9 !2 `-,.. VL>
L:9 | 69 s ,
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q. S. Al-baqarah/2:
208)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya korupsi
dikarenakan para pelaku tidak menjalankan Islam secara keseluruhan. Terlebih
dalam hal materi yang sangat dianjurkan oleh Islam untuk tidak berlebih-
lebihan (Q. S. Al-Araf/7: 31). Lalu berbagai asumsi pun muncul, bagaimana
sebetulnya Islam menyikapi hakikat dan problematika korupsi.
Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya
mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral.
Sebab, dengan perilaku korupnya, ia sesungguhnya telah melakukan destruksi
dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral dan hati nurani yang
diwariskan para pendahulu yang luhur budi (Yunahar Ilyas, 2001:15).
Korupsi juga merupakan wujud prahara sosial. Sebagaimana dalam
Q.S. Al-Fajr/89: 15-20, disinyalir bahwa masalah sosial disebabkan oleh
empat hal, yakni: Pertama, sikap ahumanis, yakni tidak memuliakan anak
yatim. Kedua, asosial, yakni tidak memberi makan orang miskin. Ketiga,
monopolistik, yaitu memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus.
Keempat, sikap hedonis, mencintai harta benda secara berlebihan. Dilihat dari
empat hal tersebut, korupsi masuk dalam setiap sendi itu.
Ditinjau dari segi hukum Islam (fiqih), kasus korupsi termasuk
dalam wilayah muamalah maliyah (sosial-ekonomi) atau fiqh siyasah (hukum
tata negara) yang tertumpu pada permasalahan maliyah (benda). Dalam al-
Quran terdapat beberapa ayat yang mampu membentuk kesadaran moral
manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat. Al-Quran juga mempunyai
perangkat teoritis untuk memberantas korupsi, seperti melarang umat Islam
untuk memilih kaum penindas untuk jadi penguasa
1
, apalagi melakukan
korupsi yang sangat merugikan orang banyak.

1
Lihat Q.S. An-Naml/27: 34, dan Q.S Hud/11: 27.
Korupsi secara definitif juga ditandai oleh sejumlah interpretasi
keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama, misalnya,
menganalogikan korupsi dengan al-ghull, sebuah istilah yang diambil dari
ayat al-Quran Surat Ali Imran ayat 161:
! l. ,9 - =- ,! !, s )9 . . 2
_ ! ,.. =L`
Artinya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan
perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang
apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak
dianiaya.

Secara leksikal dapat dipahami bahwa pengertian denotatif dari ayat
ini adalah pengkhianatan atau penyelewengan, namun dalam wilayah
perkembangan kajian fiqih (Islam)khusunya dalam konteks kekinian atau
permasalahan kontemporeristilah ini didefinisikan setara dengan korupsi.
Asbabun nuzul ayat ini diketengahkan Abu Daud dan juga oleh
Tirmizi dalam sebuah hadits yang menganggapnya sebagai hadis hasan dari
Ibnu Abbas, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai selembar permadani
merah yang hilang di waktu perang Badar. Kata sebagian orang, 'Mungkin
yang mengambilnya Rasulullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat,
Tidaklah mungkin bagi seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta
rampasan...'" (Q.S. Ali Imran/3: 161).
Thabrani mengetengahkan dalam kitab Al-Kabir dengan sanad yang
orang-orangnya dapat dipercaya dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi SAW.
mengirim sepasukan tentara lalu mengembalikan panji-panjinya. Kemudian
dikirimnya pula, lalu mengembalikannya. Kemudian dikirimnya lagi, lalu
mengembalikan panji-panjinya disertai kepala rusa yang terbuat dari emas
tetapi disertai kecurangan. Maka turunlah ayat, Tidaklah mungkin bagi
seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta rampasan. (Q.S. Ali
Imran/3: 161)
2
.
Asal kata yaghulla dari ghalla-yaghullu-ghullan, memiliki arti
berkhianat, menipu (Mahmud Yunus, 1990: 298). Sebagian dari para
mufassir (diantaranya Ibnu Katsir, Qurthubi dan Thabari) menafsirkan an
yaghulla dengan kata an yakhna
3
, yang berarti khianat atau berkhianat
yang dalam ayat ini berbentuk fiil atau kata kerja.
Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran/3: 161
mendefinisikan al-ghull dengan rumusan: menyalahgunakan kewenangan
dalam urusan publikuntuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam
kewenangannya, sehingga mengakibatkan adanya kerugian publik
4
.
Definisi ini juga disepakati oleh para ulama di Indonesia. Majelis
Ulama Indonesia (MUI, 1999) dalam fatwanya menetapkan bahwa al-ghull
identik dengan korupsi, yang dinyatakan sebagai salah satu bentuk
perbuatan haram. Termasuk dalam tindak pidana korupsidisamping al-

2
Compact Disk (CD) The Holy Quran Version 8.0.
3
Ibid.
4
Ibid.
ghulladalah tindakan penyuapan (ar-risywah)
5
. Sebagaimana hadits Nabi
menyatakan bahwa yang menyuap dan yang disuap tempatnya di neraka.
Secara normatif-tekstual, tindak pidana korupsi yang dirujuk dari
istilah al-ghull jelas keharamannya. Dari segi hukum Undang-undang,
seseorang dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi bila telah memenuhi
dua kriteria: Pertama, melawan secara hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua, dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999).
Tafsir normatif-tekstual dalam pandangan agama (Islam) seringkali
mengalami perubahan dengan berbagai perspektif dan pendekatan yang
digunakan oleh para pemaham atau penafsir ayat (mufassir). Karena, betapa
pun tafsir atas realitas seringkali harus berhadapan dengan rigiditas teks, yang
oleh karenanya para ulama dituntut untuk melakukan kontekstualisasi
pemahaman atas teks yang semula ditafsirkan menurut kebutuhan zamannya
untuk diselaraskan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Disinilah
dinamika penafsiran atas teks dapat dipahami sebagai sebuah tuntutan riil

5
MUI pada tahun 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan al-ghulul (korupsi),
ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI
menegaskan bahwa korupsi dan praktik suap sangat keras larangannya dalam agama. Sementara
pemberian hadiah bagi para pejabat sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan
dan fasilitas dari Negara atas tugas-tugasnya. Lihat Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 70.
perubahan zaman, sehingga dapat melahirkan formula dalam menetapkan
suatu hukum yang tak jarang menimbulkan kontroversi.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Islam pasti
antikorupsi, oleh sebab itu korupsi harus diperangi. Istilah perang
mengindikasikan bahwa kita harus menggunakan secara maksimal segenap
potensi yang kita miliki untuk menghentikan korupsi yang sudah menjadi
epidemi di negeri kita ini. Dalam bahasa agama, korupsi masuk dalam
kategori kemungkaran yang harus dihentikan oleh siapa pun yang
menyaksikannya (Yunahar Ilyas, 2001:3-4).
Rangkaian kalimat Barang siapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa
yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka
tidak dianiaya didalam Q.S. Ali Imran/3: 161, mengandung ancaman keras
dan peringatan yang tegas, bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
terlarang.
Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kalau perkara perbuatan
menggelapkan selembar permadani (sebagaimana asbbun nuzul ayat) saja
dianggap sebagai sebuah tindak pidana korupsi, apalagi perbuatan
menggelapkan uang negara dan pengkhianatan atas kepentingan publik dan
khalayak umum. Justeru perbuatan-perbuatan tersebut yang seharusnya lebih
pantas dianggap sebagai korupsi dalam pengertian yang sesungguhnya
(hakikat korupsi).
Selain ayat al-Quran di atas juga terdapat beberapa Hadits yang
dapat mendukung ayat tersebut:
6

a. Riwayat Ahmad dari Abu Malik al-Asyjai:
='-' --='-` -= - ' -= '-` -= , -, - --=- = '' --= - --=- =
'== - '-, = - =''- =-` = --' _'- '' ,'= '- ' ==
,'' --= '' - ` -=- ,'= ' , '= `
_=--, -' '- -= - == -='- '= =- ' ,= - _-- ,- _'
,, -',-' .
(Ghulul (korupsi) terbesar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian
menjumpai dua orang laki-laki bertetangga tanah miliknya atau rumah
miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta milik
temannya. Apabila ia mengambilnya niscaya hal itu akan dikalungkan
kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti).

b. Riwayat Ahmad, atau yang lain dari Abdurrahman bin Jubair:
'-` -= _-,- - '-` -= - ,+' = - , '=' - -, , =
--= -= ' - ' ,-= --- ,---' - -- ,-, --- --' _'- ''
,'= '- ,-, - ' '-' ''-= ,' ' -- -=-,' '' -- --,' ' =
-,' ,' ' '= -=-,' '- '= --,' ' - -=-,' - - '- '-,-
,- =' ,+ '= .
(Barangsiapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan,
sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia
mengambil tempat tinggal; atau belum punya pelayan, maka hendaklah ia
mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah
ia mengambil kendaraan. Dan barangsiapa memperoleh sesuatu selain
dari hal tersebut berarti dia adalah ghaallun (koruptor)).

c. Riwayat Abu Daud dari Al-Mustaurid bin Syaddad:
'-` -= _-,- - - ' '-` -= _'-' '-` -= = ` = '=' - -, ,
= - ,-= = ,-- - -- ' --- --' _'- '' ,'= '- ,-, - '
-'= '-' '' --- ' = ' ' , ' '= --- ' '- '= ' ' , ' --
--- ' '--- ' ' ,- - -= --' _'- '' ,'= '- ' - -=-
,= ,+ '= '- .


6
Hadits-hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab tafsir karya Ibnu Katsir, juga terdapat dalam
Compact Disk (CD) The Holy Quran Version 8.0.
(Barangsiapa bekerja untuk kepentingan kami, hendaklah ia mencari
isteri; jika belum mempunyai pelayan, hendaklah mencari pelayan; dan
jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah.
Barangsiapa yang mengambil selain dari itu (yang menjadi haknya),
berarti dia adalah koruptor atau pencuri).

Sebagaimana hadits di atas, kejahatan korupsi disejajarkan dengan
pencuri. Dalam Hadits Riwayat Abu Daud tersebut, status ghallun (koruptor)
disamakan dengan sariqun (pencuri).
d. Riwayat Ibn Hanbal, yang terdapat juga dalam kitab musnadnya:
'-` -= '=- - _-,= '-` -= .,='-- - ',= = _,=, - -,- = = -
,- ' = - -,-= -='-' ,- '' _'- '' ,'= '- ' ', - '-'
,'= .
Hadiah-hadiah yang diterima oleh para amil (petugas
zakat/infaq/shodaqoh/pajak) adalah ghulul (korupsi).

e. Riwayat Abu Daud dalam Hadits yang lain:
'-` -= -, - = ,- -''= '-` -= ,- -'= = ,' --= - -,- = ,-=
'-' = '' --= - -, - = ,- = --' _'- '' ,'= '- ' -
-'-'--- _'= .-= -'- ' '- -= -- =' ,'= ,+ .
Barangsiapa yang saya angkat menjadi pejabat dengan gaji rutin, maka
sesuatu yang diambilnya selainitu (gaji rutin) adalah ghulul (korupsi).

Dari beberapa penjelasan Hadits di atas, kita dapat memahami bahwa
korupsi harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kausa-efisien (illat)-
nya dan kausa-finalis (maqashid)-nya. Berdasar pada illat (kausa-efisien),
korupsi dapat dipahami sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh
pemegang amanat publik. Sehingga penyalahgunaan wewenang oleh
siapapun, dalam bentuk apapun, dimana pun, dan kapan pun oleh pemegang
amanat publik dapat disebut sebagai tindakan korupsi. Ketika korupsi kita
pahami berdasarkan pada maqashid (kausa-finalis), maka korupsi dapat
dipahami sebagai tindakan yang merugikan kepentingan publik. Sehingga
semua tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik untuk kepentingan
pribadi, keluarga dan kelompok yang dilakukan oleh siapa pun, dalam bentuk
apa pun, dimana pun, dan kapan pun dapat disebut sebagai tindakan korupsi.
Tuduhan penggelapan selembar permadani pada masa Nabi telah
menyebabkan atau melatar belakangi turunnya Q.S. Ali Imran/3: 161.
Betapapun tindak perilaku penggelapan, hal itu tentu sudah jelas (sharih)
dalam ayat dinyatakan hal yang dilarang, karena kedudukannya yang sama
dengan al-khianat (pengkhianatan).
Dari beberapa uraian di atas dapat kita pahami konstruksi
pemahaman tentang hukum korupsi. Sehingga mengindikasikan lahirnya
ketetapan hukuman (fatwa) terhadap pelaku korupsi. Bagi sebagian orang
termasuk ulama yang memahami korupsi sebagai tindakan pengkhianatan
karena illat dan maqshid yang terdapat dalam kasus tersebut (yaitu
pengkhianatan dan penyelewengan), maka hukumnya adalah haram dan
termasuk kejahatan besar sehingga keluarlah fatwa hukuman mati bagi
pelakunya.
Bagi sebagian ulama (Indonesia) yang lain beranggapan, tidak perlu
sampai dihukum mati meskipun hal itu amat merugikan dan termasuk
perbuatan jahat. Akan tetapi cukup diberi hukuman sama seperti pencuri, yaitu
potong tangan. Hal ini sebagaimana kita lihat dalam riwayat Abu Daud dari
Al-Mustaurid bin Syaddad di atas, bahwa pelaku ghull disamakan dengan
sriq (pencuri), dan hukuman bagi pencuri sesuai dengan ayat al-Quran
adalah potong tangan
7
.
Sebagian yang lain juga ada yang menafsirkan potong tangan bukan
tangan secara fisik, tetapi secara majzi (metaforis) yaitu kekuasaan. Artinya
bahwa potong tangan yang dimaksud adalah potong kekuasaan. Sehingga para
pelaku korupsi harus dipotong kekuasaannya atau tidak diberikan amanah
kekuasaan yang bisa membuat dia melakukan korupsi terus menerus. Dalam
hal ini dapat pula diartikan pemenjaraan kekuasaan, sehingga para pelakunya
memang harus dipenjara.
Ulama fiqih Wahbah al-Zuhaili berpendapat di dalam kitabnya Al-
Fiqhu wa Adillatuhu, Orang yang kejahatannya di muka bumi tidak bisa
dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka ia (harus) dibunuh Dalam
kesimpulan akhirnya beliau mengatakan: Boleh menjatuhkan hukuman mati
sebagai siysah (politik hukum) kepada orang yang selalu melakukan
kejahatan (tindak pidana), peminum khamr, pelaku kejahatan (berupa
gangguan terhadap keamanan negara, dan sebagainya)
8
. Dalam hal ini bisa
diterapkan dalam permasalahan hukuman korupsi, kalau memang kejahatan
korupsi sudah tidak bisa dihentikan kecuali dengan membunuh para
pelakunya, maka para pelaku korupsi harus dibunuh.


7
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai)
pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Maidah/5: 38).
8
Wahbah al-Zuhaili, Alfiqhu wa Adillatuhu, juz IV., (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 5595.
Dapat juga dilihat dalam Fatwa MUNAS VII MUI 2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak
Pidana Tertentu.
C. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus Korupsi
1. Amanah
Secara bahasa, amanah berarti titipan (Munawir, 1997).
Sedangkan amanah dalam pengertian istilah dapat dipahami dalam lima
pengertian, sebagaimana yang terdapat di dalam kandungan al-Quran:
Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan
menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang
benar. Hal tersebut termaktub dalam QS. Al-Baqarah/2: 283:
| `.. ?s 9 >. !,.l. " .,) | 3.-,
!.-, `= %! . . ,.9 < , .3. :9
!.6 | ". ,=% < !, =-. '=.
Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah
ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa
hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Kedua, kata amanah dikaitkan dengan keadilan atau pelaksanaan
hukum secara adil. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS. An-
Nisa/4: 58:
| < .``! . { <| != | .3> , _!9
3> -9!, | < !- /3L- , | < l. !- .,

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
Melihat.

Ketiga, kata amanah dikaitkan dengan sifat khianat sebagai
lawan katanya. Ayat al-Quran dalam surat Al-Anfal/8 ayat 27 berbunyi:
!! %! ` < 9 3. .
=-.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
Mengetahui.

Kempat, kata amanah dikaitkan dengan salah satu sifat manusia
yang mampu memelihara kemantapan ruhaninya, kemudian dihubungkan
dengan janji. QS. Al-Maarij/70: 32:
%! .{ s `s
Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang
dipikulnya) dan janjinya.

Kelima, kata amanah secara definitif yang sangat universal, baik
sebagai tugas keagamaan maupun sosial-kemanusiaan. Sebagaimana yang
dapat kita pahami dalam QS. Al-Ahzab/33: 72:
!| !.s !{ ?s ,.9 _{ !,>9 ,! !]=>
): !] !=- .} | l. !=L >
Artinya: Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat
bodoh,

Secara simplistik, amanah adalah memelihara titipan dan
mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan
secara luas amanah mencakup dalam banyak hal, seperti: menyimpan
rahasia orang, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang
diberikan kepadanya dan lain sebagainya.
Kaitannya dengan korupsi, jelas bahwa tindakan korupsi adalah
suatu perilaku penyimpangan atau penyelewengan amanah yang telah
dititipkan kepada pelaku korupsi. Salah satu bentuk amanah adalah
konsisten atau tidak menyalahgunakan jabatan. Terlebih jika bentuk
penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili atau
kelompok seperti tampak pada tindakan korupsi termasuk perbuatan
tercela yang melanggar amanah. Dengan demikian, nilai-nilai amanah
merupakan nilai signifikan yang telah diselewengkan oleh tindakan
korupsi.
2. Shidiq
Nilai keislaman yang diselewengkan oleh korupsi kemudian adalah
nilai-nilai kebenaran atau shidiq. Secara etimologis shidiq berarti:
benar atau jujur (Munawwrir, 1997). Seorang Muslim dituntut untuk selalu
dalam keadaan benar lahir-bathin, meliputi: benar-hati (shidq al-qalb),
benar-perkataan (shidq al-hadts), serta benar-perbuatan (shidq al-aml).
Benar dalam ketiga hal tersebut akan menuntun pada perilaku yang
sesuai dengan kebenaran agama Islam. Oleh karenanya Rasulullah SAW
memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu menjaga diri dalam
sikap shidiq serta melarang umatnya berbohong, karena setiap
kebohongan akan membawa kepada kejahatan.
Salah satu ciri orang yang shidiq adalah: selalu berkata benar,
menepati janji, menjalankan amanah, serta menampilkan diri seperti
keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, orang yang shidiq tidak
mungkin melakukan korupsi, karena di dalam perilaku korupsi pasti ada
kebohongan atau ketidak benaran, baik secara hati, perkataan maupun
perbuatan.
Salah satu bentuk kebohongan yang sangat dicela adalah khianat
dan khianat adalah sejelek-jelek sifat bohong. dari segi pengkhianatan,
korupsi merupakan salah satu bentuk pengkhianatan yang berat yang telah
menyelewengkan nilai-nilai Islam. Korupsi (dalam arti pengkhianatan dari
amanah yang telah dititipkan) merupakan tindakan yang tercela dan
dilarang oleh Allah SWT. Hal tersebut disinyalir dalam firman Allah SWT
dalam QS. Al-Anfal/8: 27:
!! %! ` < 9 3. .
=-.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati
amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu
Mengetahui.

3. Adil
Adil merupakan sikap yang mengetengahkan kesepadanan,
kelurusan (etimologis), sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur
(terminologis) yang muncul dari rasa insaf atau kesadaran yang mendalam.
Namun sebagai sebuah konsep keagamaan, makna keadilan jauh lebih luas
dan kompleks yang berkaitan dengan konteks masing-masing.
Keadilan dapat dilihat dari empat pengertian: 1) keadaan sesuatu
yang seimbang, 2) persamaan dan penyangkalan terhadap perbedaan, 3)
memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang
yang berhak menerimanya, 4) kemurahan dalam memberikan kebaikan.
Sedangkan bentuk keadilan ada tiga macam:
1. Keadilan individual, yaitu kemampuan seseorang dalam
mengendalikan dirinya sehingga tidak melanggar norma agama.
2. Keadilan sosial, yaitu keserasian dan keseimbangan hubungan antar
pribadi dan antara pribadi dengan masyarakat. Dengan demikian
terciptalah keseimbangan antara perolehan hak pribadi dan pemberian
hak terhadap pribadi lain dan masyarakat dalam hubungan
interpersonal dan sosialnya.
3. Keadilan manusia terhadap makhluk lain, yakni tidak berbuat semena-
mena terhadap makhluk lain.
Beberapa ayat al-Quran memberikan indikasi terhadap perintah
untuk berlaku adil, diantaranya:
% 1`.)9!, % 3`>` s 2 >`. `s
.= `&! $! !. ., `-.
Artinya: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan
(katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan
sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya.
sebagaimana dia Telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian
pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". (Q.S. al-Araf/7: 29)

| < ``! -9!, .>} !.| )9 S s
!:`>9 69 - ,9 3L- 6=-9 `..
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an-
Nahl/16: 90)

!! %! ` . % < 1`.)9!,
6> `!: % ?s 9-. 9s ,% ).=9
). < | < ,> !, =-.
Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-
orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena
adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S.
al-Maidah/5: 8)

Beberapa indikasi sikap adil dalam kehidupan sehari-hari adalah:
tidak mau mengambil sesuatu melebihi haknya, tidak mau merugikan
orang lain, dan selalu berusaha memberikan keuntungan terhadap orang
lain tanpa harus kehilangan hak-haknya. Sikap adil yang komprehensif-
aplikatif selanjutnya akan dapat menghindarkan diri orang dari perilaku
korupsi. Karena pada dasarnya korupsi merupakan bentuk tindakan yang
tidak adil karena merugikan orang lain.

4. Taqwa
Sikap keislaman atau nilai Islam yang dinafikan oleh korupsi
selanjutnya adalah taqwa. Sikap taqwa merupakan nilai paling krusial
yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam al-Quran. Kata taqwa
dalam al-Quran disebut sebanyak 242 kali, baik dalam bentuk kata benda
maupun kata kerja.
Taqwa dalam pengertian: takut, berhati-hati dan waspada
(etimologis). Sedangkan secara terminologis berarti: penjagaan diri dari
sesuatu yang tidak baik, atau menjalankan segala perintah Allah dan
menjauhi segala yang dilarang Allah.
Ketaqwaan seseorang secara individu dapat membimbing dirinya
untuk selalu menjauhi perbuatan yang tidak memberikan manfaat kepada
masyarakat atau merugikan masyarakat. Implikasi sosial dari sikap taqwa
secara individu ini akan melahirkan sikap antikorupsi. Karena korupsi
merupakan perlawanan destruktif terhadap sikap taqwa yang diperintahkan
oleh Allah SWT. Secara normatif, dalam al-Quran kata taqwa dibarengi
dengan berbagai sifat, seperti keadilan, menepati janji dan bersikap sabar
dalam menghadapi situasi apapun, melihat apa yang telah ia lakukan untuk
memandang kedepan apa yang akan ia lakukan.
Dari sikap-sikap yang terbentuk pada orang-orang yang bertaqwa
itulah kemudian dapat diharapkan muncul sebuah komunitas yang
memberdayakan tumbuhnya solidaritas antar manusia dan masyarakat
sebagai wujud riil-aplikatif dari kepatuhan penuh hamba-hamba Allah.
Sehingga sikap korupsi dapat dicegah oleh sikap taqwa yang diaplikasikan
secara individu-sosial dalam kehidupan sehari-hari.

D. Konsep Pendidikan Antikorupsi
Sebagaimana halnya negara-negara lainnya, perilaku koruptif di
Indonesia sudah berlangsung sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan
tahun lalu Bung Hatta pernah memberikan label atas hal korupsi sebagai
perilaku yang telah membudaya. Bahkan secara kuantitatif, Begawan ekonomi
Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan
pernyataan kontroversial yang menyatakan bahwa kebocoran anggaran
pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen (Sudarwan Danim, 2003: 61).
Meski begitu kompleksnya problematika korupsi, pendidikan masih
dapat diharapkan untuk menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai antikorupsi
kepada para anak didik, sehingga sejak dini mereka memahami bahwa korupsi
itu bertentangan dengan norma hukum maupun agama.
Hal tersebut dapat dicermati setidaknya dikarenakan dua hal.
Pertama, gejala reduksi moralitas sebagian besar Sumber Daya Manusia
(SDM) Indonesia, dengan indikasi empirik masih tingginya angka korupsi.
Kedua, arus masuk generasi muda ke lembaga pendidikan setiap jenjang
sebagai bagian dari diskursus pengembangan SDM indonesia yang seutuhnya.
Hal ini sangat berkaitan, karena orang-orang yang terpilih mengemban
amanat rakyat, terutama mereka yang duduk di lingkungan birokrasi,
diidealisasikan sebagai SDM terdidik sebagai output dari lembaga pendidikan.
Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya
pengembangan sumber daya manusia secara optimal. Lebih lanjut
pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan,
mulai dari dalam keluarga hingga lingkungan sekolah dan masyarakat.
Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan
agregasi dari internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman praktik
korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan
(aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi.

1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-
individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita
masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi
mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup
secara efektif dan efisien. Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara menyatakan
bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi
pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras
dengan alam dan masyarakatnya.
Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui
pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa (baca:
peserta didik) dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk
menentang korupsi.
Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis
falsafah dalam pendidikan nilai, moral agama. Secara filosofis korupsi
hanya dipahami sebagai tindakan merusak (stabilitas nasional, etika, dan
norma individu pelakunya) artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan
(established) dalam konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama.
Mendidik sendiri pada umumnya dipahami sebagai suatu cara
untuk menyiapkan dan membantu seseorang untuk mencapai tujuan
hidup,yaitu menjadi manusia utuh, sempurna dan bahagia. Secara lebih
eksplisit pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda,
membantu seseorang menjadi manusia yang berbudaya dan bernilai tinggi.
Bukan hanya hidup sebagai manusia an sich, tetapi menjadi manusia yang
bermoral, berwatak, bertanggung jawab dan bersosialitas. Sehingga
dengan pendidikan, seseorang akan dibantu untuk menjadi manusia yang
aktif dalam membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa.
Dengan demikian falsafah pendidikan antikorupsi didasarkan pada
proses pengenalan dan pemberian informasi nilai-nilai antikorupsi
(ontologis-epistemologis) dengan harapan membantu peserta didik untuk
menjadi manusia yang bermoral (aksiologis), berwatak serta bertanggung
jawab dalam rangka membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa.
Pendidikan antikorupsi membimbing para generasi bangsa menjadi
manusia yang berbudaya antikorupsi, berwatak antikorupsi, bertanggung
jawab terhadap problematika korupsi, dan bersosialitas dalam upaya
pencegahan korupsi. Karena disadari atau tidak, korupsi pasti juga dialami
oleh para generasi muda. Pada saat tertentu generasi muda dapat menjadi
korban korupsi, pelaku korupsi, atau ikut serta juga melakukan atau
terlibat perkara korupsi, dan sangat mungkin pula menjadi pihak yang
menentang korupsi.
Signifikansi pendidikan dengan demikian harus mampu
menjadikan diri peserta didik sebagai salah satu instrumen perubahan yang
mampu melakukan empowerment (terhadap tindak korupsi) dan
transformasi bagi masyarakat melalui berbagai program yang
mencerminkan adanya inisiatif perbaikan sosial. Melalui pendekatan
tersebut, berbagai bentuk pathologi sosial berupa penyimpangan praktik-
praktik kehidupan sosial-kemasyarakatan seperti korupsi dapat dianalisis
dan dicarikan alternatif solusinya.
Dalam konteks tersebut, pendidikan harus juga dimaknai dan
dimanfaatkan sebagai instrumen, selain harus mampu mentransformasikan
nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering
guna membangun sosial religi yang efektif dan seimbang.
Konsep strategis dan krusial yang harus diimplementasikan
selanjutnya adalah bagaimana problematika korupsi di Indonesia menjadi
pokok bahasan tertentu dalam kurikulum pendidikan. Bukan hanya
sebagai suplemen bagi pendidikan moral pancasila (kewarganegaraan),
melainkan juga bagi pendidikan agama (Islam).

2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan Antikorupsi
Prof. Schoorl dalam Sudarwan Danim (2003: 63) menyatakan,
bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam
menyiapkan SDM dengan derajat moralitas yang tinggi. Dalam tujuan
pendidikan nasional idealisasi tersebut juga termuat dalam UU-RI No.2
Tahun 1989, pasal 4.
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa
dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kepribadian yang
mantap dan mandiri, serta tanggungjawab kemasyarakatan dan
kebangsaan (Sudarwan Danim, 2003: 63).

Dilihat dari tujuan pendidikan tersebut, pendidikan sejatinya
merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat
yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal.
Dengan kata lain, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, yakni peserta
didik. Tentunya, pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan di
sekolah (education not only education as schooling), melainkan
pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community
networks).
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang
menunjukkan bahwa perbuatan itu benar, atau salah, baik atau buruk
(Poespoprodjo, 1999: 118). Konseptualisasi moral memiliki beberapa
tingkatan, yaitu standar moral, aturan moral, dan pertimbangan moral.
Standar moral adalah prinsip-prinsip moral dasar yang paling
fundamental yang merupakan basis pijakan atau asumsi untuk menentukan
apakah secara moral sebuah tindakan itu diperkenankan atau tidak, baik
atau tidak, diterima masyarakat atau tidak.
Aturan moral memuat prinsip-prinsip moral yang diderivasikan
dari standar moral. Aturan moral merupakan tindakan yang dianggap
benar atau salah dengan berdasarkan pada kriteria yang diformulasikan
oleh standar moral. Sedangkan pertimbangan moral merupakan evaluasi
moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan
seseorang, baik yang bersifat umum maupun spesifik.
Secara konseptual baik dari aspek standar moral, aturan dan
pertimbangan moral korupsi sangat bertentangan dengan nilai moral
yang ada di dalam sebuah masyarakat. Perbuatan korupsi dapat
menyebabkan delegitimasi nilai-nilai moral yang sudah ada.



D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara
Korupsi yang bagi sebagian negara telah dianggap sebagai kejahatan
trans-nasional memunculkan banyak ide terhadap cara pencegahan korupsi.
Salah satu ide yang selalu dicanangkan adalah melalui pendidikan. Beberapa
negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah menjalankan
pendidikan antikorupsi melalui berbagai upaya.
Tak terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya
sosialisasi pendidikan antikorupsi baik dari aspek nilai maupun praksis. Hal
tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa yang harus
dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor pendidikan.
Deputi Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa pendidikan
antikorupsi kini mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Adapun yang diajarkan
diantaranya adalah kejujuran, gotong royong, dan variannya (Tempo, 2 Maret
2008). Metode pendidikan antikorupsi tidak sama pada masing-masing
sekolah yang melaksanakannya.
Pada tingkat sekolah menengah, SMP Keluarga di Kudus Jawa
Tengah di bawah Yayasan Kanisius Cabang Semarang misalnya, sebanyak
183 murid telah diikutsertakan pada pendidikan antikorupsi. Kegiatan
pendidikan tersebut beragam, diantaranya melalui lomba kartun yang hasilnya
dijajarkan di ruang tamu sekolah tersebut. Hal tersebut merupakan langkah
awal sosialisasi dan refleksi terhadap gerakan antikorupsi. Di sekolah tersebut
awalnya materi pendidikan antikorupsi diberikan secara teoritis. Bahkan
Kejaksaan dan Bupati Kudus pun pernah diminta menjadi pemateri yang
menyampaikan soal undang-undang korupsi.
Di lain sekolah, SMA Stella Deuce telah menyajikan pendidikan
antikorupsi sejak tiga tahun terakhir melalui pelbagai bentuk. Diantaranya,
memuat slogan, pantun dan pidato. Murid-murid kelas XII diminta mencari
data dari kliping koran tentang kasus korupsi yang difasilitasi melalui mata
pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Pendidikan antikorupsi pun tidak hanya diberikan pada tingkat SMP
dan SMA, melainkan juga mulai dari Taman Kanak-kanak dan SD dengan
perbedaan pada metodenya. Untuk murid TK dan SD, materi disampaikan
melalui dongeng, komik dan permainan yang difokuskan pada aspek kejujuran
seperti tidak boleh berbohong.
Secara birokratis, materi pendidikan antikorupsi diberikan oleh KPK
dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui muatan lokal.
Untuk menghindari pembebanan terhadap mata pelajaran, KPK menawarkan
materi bahan untuk disisipkan dalam mata pelajaran ataupun ekstrakurikuler.
Adapun pengembangan materi diserahkan kepada masing-masing sekolah,
sesuai dengan kurikulum yang berlaku sekarang yaitu Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP).
Metode yang paling menarik dari pendidikan antikorupsi dan telah
banyak diadopsi adalah laboratorium warung kejujuran atau kantin kejujuran.
Secara praktis, warung tersebut mengajarkan praktik kejujuran dengan
aksentuasi transendental bahwa apapun yang kita lakukan pasti diketahui
Tuhan. Warung tersebut dibuka tanpa penunggu (kasir), pembelinya
membayar sesuai dengan harga, mencatat pembelian, dan mengambil uang
kembalian dengan sendirinya.
Beberapa sekolah yang mengadopsi kantin kejujuran diantaranya,
SMP Keluarga Kudus, SMP 8 Padang, dan SMAN I Tambun Bekasi. Metode
lain yang digunakan dalam aplikasi pendidikan antikorupsi adalah
menyampaikan materi melalui mahasiswa yang sudah dilatih oleh KPK.
Pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan antikorupsi pun telah
digiatkan oleh beberapa kampus bahkan include dalam mata kuliah.
Universitas Paramadina (UPM) Jakarta telah memulai kuliah antikorupsi
perdananya yang dikonsep dalam format kuliah umum pada tanggal 26 Juni
2008, diisi oleh Ketua KPK Antasari Azhar. Mata kuliah antikorupsi
merupakan mata kuliah wajib di kampus tersebut dengan bobot 2 SKS
(www.kpk.go.id, tanggal 16 Juli 2008).
Di samping itu KPK juga telah melakukan kerja sama dengan
beberapa kampus yang ada di Indonesia melalui program Training of
Trainers (ToT), yaitu antikorupsi untuk pelajar juga telah memunculkan ide
terhadap terbentuknya Pusat Studi Antikorupsi di beberapa universitas.
Selain di Indonesia, di beberapa negara pun telah menjalankan
program pendidikan antikorupsi dengan macam-macam materi dan metode
sesuai tingkatan jenjang pendidikannya. Pengalaman negara-negara yang
telah melaksanakan pendidikan antikorupsi setidaknya dapat dijadikan
referensi atau acuan untuk kemudian dikembangkan di Indonesia.
Tabel 3
Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara

NEGARA MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
Kamboja
(Korupsi Peringkat 162)
Memasukkan materi antikorupsi
sebanyak 344 pokok bahasan ke buku
pelajaran kelas I sampai kelas XII.
Materi sekolah dasar: cerita tentang
ambisi pribadi versus kepentingan publik,
pentingnya kejujuran, dan dampak
keserakahan serta egoisme.
Materi sekolah menengah: keuangan
rumah tangga, diskusi soal sumber
keuangan keluarga, apakah penghasilan
orang tua legal atau hasil korupsi.
Siswa juga diajak membahas soal korupsi
dan dampaknya terhadap ketidakadilan
serta ketimpangan di masyarakat.

Makau (Peringkat 34) KPK Makau (CCAC) menyusun program:
Kejujuran untuk murid kelas IV hingga
kelas VI SD.
Membuat taman bermain dan panggung
boneka yang mengajarkan ihwal
integritas dan kejujuran. Buku, cakram
padat, dan papan permainan dibuat
sebagai pendukung program.
Murid sekolah menengah memiliki
Komite Pendidikan Remaja untuk
menggelar seminar yang membahas isu
integritas dan antikorupsi.
Palestina Aman, jaringan Transparency International
Palestina,memiliki program:
Perkemahan musim panas pada 2006
untuk anak usia 8-12 tahun.
Pengajaran melalui cerita pendek, buku
mewarnai, booklet, dan newsletter.
Pertunjukan boneka Al-Hares (Sang
Penjaga) di 42 sekolah di Tepi Barat.

Sumber: Transparency International, Koran Tempo, 2 Maret 2008
















BAB IV
TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ANTIKORUPSI

E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta
kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan
dan peserta didik (www.depdiknas.go.id, (BSNP 2006) tanggal 24 Agustus
2008).
Istilah kurikulum muncul pertama kali di bidang olahraga, berasal
dari bahasa Latin: Curriculae, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh
seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut Ahmad
Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat yang
membawa orang dari start sampai finish.
Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai dalam
bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan.
Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan dua macam,
yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari
siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu.
Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga
pendidikan atau jurusan.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan
pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,
struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender
pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan
atau kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang mencakup standar
kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok atau pembelajaran, kegiatan
pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber-bahan-alat
belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi
dasar ke dalam materi pokok / pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan
indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian.
Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan
Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau disebut juga Kurikulum
2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk
mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan
potensi daerah sekitar (Joko Susilo, 2007: 94).
Kurikulum 2006 merupakan hasil kreasi guru-guru di sekolah
berdasarkan standar isi dan standar kompetensi. Terbitnya Peraturan Menteri
(Permen) Pendidikan Nasional RI No 24 tahun 2006 tentang standar isi dan
standar kompetensi itu kelak menandai diserahkannya kewenangan kepada
guru untuk menyusun kurikulum baru. Dengan kata lain, KTSP lebih
memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang sesuai
dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Hal tersebut juga tentunya sejalan
dengan kebijakan desentralisasi.
Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan
tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan
kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik.
Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk
memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan
potensi yang ada di daerah.
Pengembangan KTSP yang beragam mengacu pada standar nasional
pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar
nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian
pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu
Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan
utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU
20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar
Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang
pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan
mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun
oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan dan pedoman
dalam mengembangkan kurikulum. Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003
kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh
satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara
nasional seperti periode sebelumnya. Tidak ada lagi kurikulum nasional
seperti kurikulum 1984, 1994 dan sebagainya. Pemerintah hanya menetapkan
SNP yang menjadi acuan sekolah dalam mengembangkan kurikulum. Kini
saatnya sekolah mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan potensi peserta didik, masyarakat dan
lingkungannya.
Orientasi KTSP disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan
peserta didik untuk :
a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
b) belajar untuk memahami dan menghayati,
c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan
e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses
belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
Hasil pengembangan dituangkan dalam rancangan kegiatan
pembelajaran dalam bentuk silabus dan desain pembelajaran, rancangan
pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih rinci, desain penilaian dan
instrumennya, serta dilaksanakan secara efektif dan efisien. Selain itu juga
diperlukan adanya sintesa serta kerjasama dari masing-masing elemen dalam
mekanisme kerja pengembangan kurikulum. Mekanisme kerja tim
pengembang kurikulum, MGMP, dan guru mata pelajaran dapat dilihat dalam
skema berikuti:

Skema.
Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum,
MGMP dan Guru Mata Pelajaran























F. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Oemar Hamalik (2001) secara umum membagi prinsip
pengembangan kurikulum menjadi delapan macam, antara lain:
KTSP
(Struktur kurikulum,
Mekanisme
Pembelajaran dan
Penilaian, dll)
Silabus
Desain Pembelajaran
Desain Penilaian
RPP
Instumen Penilaian
Bahan ajar
Pelaksanaan
Pembelajaran dan
Penilaian
Tim
Pengembang
Kurikulum
MGMP
Guru Mata
Pelajaran
Evaluasi
Evaluasi
1. Prinsip berorientasi pada tujuan
Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan
kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan
dan jenjang pendidikan tertentu, yang mengandung aspek-aspek
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.
2. Prinsip relevansi (kesesuaian)
Pengembangan kurikulum secara principle meliputi tujuan, isi
dan sistem penyampaiannya yang harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan
dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,
serta serasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3. Prinsip efisiensi dan efektivitas
Pertimbangan segi efisiensi dan efektivitas dalam pengembangan
kurikulum menjadi prinsip yang tak terelakkan. Dari segi efisien harus
mempertimbangkan pendayagunaan dana, waktu, tenaga dan sumber-
sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal. Demikian
juga keterbatasan fasilitas ruangan, sarana prasarana dan peralatan, harus
digunakan secara tepat oleh siswa dalam rangka pembelajaran untuk
meningkatkan efektivitas dan keberhasilan siswa.
4. Prinsip fleksibilitas (keluwesan)
Kurikulum yang fleksibel mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi
atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan
kemampuan setempat, sehingga tidak menjadi statis atau kaku.
5. Prinsip kontinuitas (berkesinambungan)
Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian-
bagian, aspek-aspek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan,
tidak terlepas-lepas, sehingga satu sama lain memiliki hubungan
fungsional yang bermakna sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur
dalam satuan pendidikan dan tingkat perkembangan siswa.
6. Prinsip keseimbangan
Penyusunan dan pengembangan kurikulum memerhatikan
keseimbangan secara proporsional dan fungsional antara berbagai program
dan sub-program, antara semua mata pelajaran, dan antara aspek-aspek
perilaku yang ingin dikembangkan.
7. Prinsip keterpaduan
Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip
terpadu. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan
konsistensi antara unsur-unsurnya dengan melibatkan semua pihak
8. Prinsip mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu,
yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan
oleh standar mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan atau media
yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria
tujuan pendidikan nasional yang diharapkan.
Sedangkan prinsip pengembangan KTSP yang dimuat dalam
Panduan Penyusunan KTSP jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang
dikeluarkan oleh Badan Standar Nasioanl Pendidikan (BSNP) Tahun 2006,
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan dan komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas
pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan
dasar dan pendidikan menengah di provinsi. Penyusunan KTSP untuk
pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan
provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan
kurikulum yang disusun oleh BSNP dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk
mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi
peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan
kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi
sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
Oleh karenanya, pendidikan antikorupsi senantiasa
dikembangkan berdasarkan potensi peserta didik dalam memahami,
menguraikan, dan menelaah problema korupsi, perkembangan korupsi
untuk kepentingan peserta didik dan lingkungannya dalam mencegah
perilaku korupsi dalam masyarakat.
2. Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman
karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan,
serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama,
suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum
meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi.
Substansi komponen dalam pengembangan diri peserta didik
pada pendidikan antikorupsi adalah pengembangan sikap perilaku peserta
didik ke arah mental dan perilaku antikorupsi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh
karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar
peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya
kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena
itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan sosial,
keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional dalam kaitannya
dengan pendidikan antikorupsi merupakan jaminan relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan dalam masyarakat yang
menginginkan terciptanya tatanan nilai (antikorupsi) agar tidak dirusak
dengan perilaku yang menafikan nilai-nilai agama, sosial, dan hukum.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi
kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang
direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang
pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan antikorupsi secara menyeluruh,
komprehensif dan terintegrasikan dalam setiap komponen mata pelajaran,
khususnya pendidikan agama Islam merupakan keniscayaan dari prinsip
tersebut.
6. Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung
sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-
unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan
kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah
pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan daerah harus saling
mengisi dan memberdayakan sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Lebih rinci lagi, dalam hal acuan operasional penyusunan yang juga
tertulis dalam UU Sisdiknas 20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 3, KTSP
disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar
pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun
dengan memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang
peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat
perkembangan dan kemampuan peserta didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan
martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri
(afektif, kognitif, psikomotorik) berkembang secara optimal. Sejalan
dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat
perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spiritual,
dan kinestetik peserta didik.

3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan,
resources dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing
daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan
pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat
keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan
kebutuhan pengembangan daerah.
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan
pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman
dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan
wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara
berimbang dan saling mengisi.
5. Tuntutan dunia kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh
kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan
mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat
kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja.
Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan
peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang
membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat
berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus
menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS
sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena
itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7. Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung
peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara
toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan
kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan
iman, taqwa dan akhlak mulia.
8. Dinamika perkembangan global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu
maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar
bebas. Pergaulan antar bangsa yang semakin dekat memerlukan individu
yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk
hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan
kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh
karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan
sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan
bangsa dalam wilayah NKRI.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan
karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang
kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya
setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya
dari daerah dan bangsa lain.
11. Kesetaraan Jender
Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan
yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender (equality). Selain
itu juga, kesetaraan tersebut harus dikembangkan dalam mengelola proses
belajar mengajar. Sehingga proses belajar mengajar lebih menekankan
pada pengembangan individu secara keseluruhan, bukan dikotomi peserta
didik berdasarkan jender ataupun jenis kelamin.
12. Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi,
tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. Sebagai penyelenggara
pendidikan Islam tentunya karakteristik nilai-nilai keislaman yang
universal menjadi urgen untuk selalu dikembangkan.
(www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Juni 2008).

C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan
Antikorupsi.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No.
20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa pengembangan
Kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan
untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan dalam ayat 2
disebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan
dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan,
potensi daerah dan peserta didik. Dalam pasal 38 ayat 2 juga disebutkan
bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai
dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite
sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau
kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan
provinsi untuk pendidikan menengah.
Poin-poin yang terdapat dalam prinsip-prinsip di atas sangat
menuntut adanya kurikulum yang senantiasa memiliki kesadaran terhadap
problem kontemporer sesuai realitas serta arah perkembangan berbasis
kontekstual. Peningkatan iman, takwa serta akhlak mulia merupakan landasan
atau pondasi awal dalam menentukan arah kurikulum. Oleh karenanya
pendidikan antikorupsi sebagai salah satu instrumen pengembangan
kurikulum serta potensi peserta didik menjadi sangat relevan terhadap
perkembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam selanjutnya. Dimana
membentuk manusia yang beriman dan bertakwa menjadi aspek fundamental
dalam melahirkan output pendidikan Islam.
Pendidikan antikorupsi secara jelas diarahkan untuk memupuk
kesadaran peserta didik dalam menentang bentuk kemungkaran sosial,
kejahatan kemanusiaan yang komunal dan melibatkan publik. Hal tersebut
secara eksplisit lebih diarahkan kepada peningkatan iman dan takwa dengan
menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta
penyemaian nilai-nilai kemanusiaan yang universal secara aplikatif.
Peningkatan akhlak mulia dalam tujuan pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi pun menjadi titik
sentral, dimana peserta didik sebagai subjek yang senantiasa menginginkan
keadaan diri yang lebih baik dan memberikan manfaat kepada semua manusia.
Selain itu, tuntutan pembangunan daerah dan nasional serta aspek agama dan
dinamika perkembangan global juga dapat mengantarkan proses
perkembangan kurikulum ke arah kurikulum kontekstual, seperti pendidikan
antikorupsi.
Pendidikan Islam sebagai lembaga formal pendidikan (baca: sekolah)
yang memiliki karakteristik nilai-nilai keislaman sudah barang tentu harus
memiliki kesadaran (sense) terhadap fenomena dan problem kontekstual yang
bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, terutama dalam hal materi
pelajaran. Agama sudah barang tentu menjadi kekuatan spiritual-moral dalam
menegakkan panji-panji kebenaran dan menolak setiap bentuk kemungkaran.
Pada poin persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan dapat
diderivasikan beberapa nilai-nilai kebangsaan yang telah dirusak dan dikotori
oleh para koruptor. Maka dari itu proses melawan korupsi adalah suatu upaya
menjaga nilai-nilai kebangsaan, dan hal tersebut harus diimplementasikan
dalam tataran praktis dengan menerapkan persoalan kejahatan korupsi dan
semangat antikorupsi sebagai bagian integral dalam kurikulum dan pengajaran
di sekolah-sekolah.
Oleh karenanya terdapat dua opsi dalam upaya penerapan kebijakan
antikorupsi, yang pertama adalah menjadikan persoalan korupsi menjadi satu
mata pelajaran yang didalamnya bisa dibahas antara lain: sejarah korupsi di
Indonesia dan dunia dari masa ke masa; proses pemberantasan korupsi di
Indonesia dan Negara-negara lain; dan akibat-akibat korupsi pada nilai-nilai
kebangsaan, agama, dan kemanusiaan.
Adapun opsi yang kedua adalah pembahasan mengenai kejahatan
korupsi disisipkan sebagai suplemen pada materi-materi pelajaran tertentu
yang dianggap mendukung pembahasan tersebut, seperti Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn), IPS, dan Agama. Materi-materi tersebut diajarkan
agar dapat membangun nilai-nilai luhur, dan menekankan pada pembahasan
dampak akibat kejahatan korupsi di beberapa negara dan sebagainya.
Adapun mengenai jenjang pendidikan, pembahasan mengenai
kejahatan korupsi sebaiknya diterapkan pada siswa tingkat menengah atas atau
tingkat perguruan tinggi, mengingat tingkat kedewasaan dan jangkauan
pemahaman mengenai hal tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan hal
tersebut juga diterapkan pada jenjang pendidikan dasar. Hanya saja penekanan
materi baru bertumpu pada pengenalan tentang kejahatan korupsi, serta
model-modelnya.
Proses pembelajaran dalam pendidikan antikorupsi pun sangat
signifikan dan dominan dilakukan dengan cara mengaitkan materi
pembelajaran dengan arus kenyataan praktikal dan aktual, semisal kejahatan
korupsi dengan berbagai modus operandinya. Sebagaimana diketahui, stagnasi
pengembangan materi pembelajaran diakibatkan tidak terintegrasinya materi
dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan
proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi
pada basis kompetensi dan penguasaan materi konvensional (subject oriented
curriculum).
Seperti materi dalam ilmu fikih, ushul fikih, dan sebagainya, pada
pendefinisian tema-tema pencurian dan perampasan hak-hak kepemilikan
financial-private dalam pengajaran fikih. Di dalam mendefinisikan tema
tersebut, baik di dalam kurikulum, silabus, maupun Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP), dinamakan
sebagai pencurian dan perampasan hak kepemilikan finansial yang dilakukan
secara fisik, seperti merampok (hirabah) atau perampasan di jalanan (qathu
al-tharq). Pengayaan materi belum menyentuh pada bentuk-bentuk
perampasan dan perampokan finansial dalam mekanisme non fisik yang lebih
sistemik-komunal-kontekstual dan mutakhir, yaitu kejahatan korupsi sebagai
gejala penyalahgunaan amanah dan kekuasaan sekaligus sebagai salah satu
bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) kepada publik.
Materi tentang korupsi dalam cakupan luas (internasional) juga perlu
disisipkan dalam pengembangan materi pendidikan agama Islam. Hal tersebut
setidaknya didasari adanya banyak cara yang dilakukan oleh kekuatan
korporatokrasi internasional untuk menaklukan sebuah negara berkembang,
diantaranya melalui cara brutal lewat kekerasan dan kekuatan militer, lewat
tekanan dan ancaman kekerasan. Banyaknya aset-aset nasional yang telah
terjual kepada pihak asing mengindikasikan betapa korporatokrasi
internasional juga memainkan peran sebagai koruptor dengan cara yang beda.
Korporatokrasi menguasai ekonomi, politik dan pertahanan
keamanan lewat apa yang dinamakan state capture corruption atau state-
hijacked corruption, yakni korupsi yang menyandera negara. Kekuasaan
negara telah menghamba pada kepentingan asing dan melakukan korupsi
yang paling besar. Pada point inilah materi fiqihdapat dikembangkan dalam
ranah pembahasan yang bersifat nasional-internasional, atau bisa disebut fiqih
negara (Amien Rais, 2008: 176-182).
Integritas atau amanah para pemimpin negara terlihat jelas
penyelewengannya terhadap korporatokrasi. Bagaimana pun kepercayaan
rakyat tidak bisa digadaikan begitu saja kepada pihak asing dengan cara
menjual aset-aset nasional yang notabene sebagai sumber daya alam bagi
bumi Indonesia. Eksploitasi alam termasuk dalam materi bagaimana hablum
minal lam seharusnya diarakan untuk eksplorasi, bukan eksploitasi.
State capture corruption adalah jenis korupsi yang super
destruktifdan berskala negara. Kejahatan ini muncul ketika terjadi
persekongkolan antara negara dan korporasi, dimana kekuatan korporasi
menaklukan kekuatan negara sehingga negara menjadi pelayan kepentingan
korporasi. Selain itu juga, state capture corruption ternyata
mengejawantahkan dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan
undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam
mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Hal inilah yang sangat urgen
untuk diinternalisasikan kepada peserta didik dalam pengembangan materi
pendidikan agama Islam agar kejahatan korporasi yang telah menyelewengkan
nilai amanah dan kejujuran dapat ditekan.
Materi akhlak juga masih dikonsentrasikan pada pengajaran dan
identifikasi teoritis akhlak yang terpuji. Materi akidah pun masih berkisar
tema-tema keimanan secara transendental minus kontekstualisasi dan
pengaitan dengan realitas sosial serta hampir tanpa penafsiran ekstensif terkait
dengan aspek sosial-horizontal. Terlebih lagi, mengaitkan nilai-nilai abstrak
dengan perilaku dan realitas kecenderungan kekuasaan materil dan politik
manusia sebagai khalifah Allah yang jika tidak dikontrol secara sistematis
akan bersifat manipulatif dan korup.
Oleh karena itu, harus ada keinginan kuat untuk selalu
menselaraskan desain kurikulum dan proses pembelajaran serta pengayaan
materi dengan persoalan kontemporer masyarakat, sehingga kurikulum dan
proses pembelajaran dapat diintegrasikan dan dikontekstualisasikan dengan
wacana dan masalah sosial yang aktual dan relevan disertai oleh strategi
pembelajaran yang variatif, inovatif dan transformatif.

D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan
Agama Islam.
Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi
sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis. Sejalan
dengan pandangan progresivisme, sekolah adalah agen perubahan sosial yang
bertugas mengenalkan nilai-nilai baru kepada masyarakat (Pol, M., Hlouskova
dkk, 2005).
Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah : (1)
pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan
aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3)
pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk
melawan korupsi. Sedangkan manfaat jangka panjangnya adalah menyumbang
pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program antikorupsi serta
mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri peserta didik yang kelak akan
menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan.
Pendidikan antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
program pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional memungkinkan
disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk
perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan
pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi. Pilihan ini digunakan
oleh karena pertimbangan agar tidak menambah beban kurikulum dan jam
belajar siswa. Pada aspek lain, pendidikan antikorupsi dapat juga
diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran untuk kegiatan ekstra
kurikuler siswa ataupun muatan lokal (institusional).
Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ada dua
model yang dapat dilakukan oleh sekolah. Pertama, proses pendidikan harus
menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif,
dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan
harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu
yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Pendidikan
antikorupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang
bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta
didik (Dharma, 2004). Dengan demikian, pendidikan antikorupsi membimbing
peserta didik untuk berfikir terhadap nilai-nilai antikorupsi dalam kerangka
koreksi terhadap budaya yang cenderung merusak nilai-nilai tersebut.
Dalam pendidikan antikorupsi harus mengintegrasikan tiga domain,
yakni domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan
keterampilan (psikomotorik). Implementasi pendidikan antikorupsi di jenjang
sekolah bisa menggunakan strategi integratif-inklusif (disisipkan dalam mata
pelajaran yang sudah ada) dan eksklusif (mata pelajaran khusus / tersendiri).
Dalam penelitian ini peneliti mencoba membahas model pendidikan
antikorupsi yang integratif-inklusif, yaitu dengan alternatif materi antikorupsi
yang terintegrasi dalam mata pelajaran agama Islam. Disamping dapat pula
disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
Ketiga mata pelajaran itu dipilih karena dianggap dekat sekali
dengan bahan kajian pendidikan antikorupsi yang lebih banyak berorientasi
pada pembinaan warga negara, penanaman nilai dan moral, serta upaya
menumbuhkan kesadaran bagi generasi muda akan bahaya korupsi bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) dalam KTSP pada kelas II SMP dan MTs semester 2
yang memuat Kompetensi Dasar (KD) yang secara eksplisit tesurat tentang
pendidikan antikorupsi.
Tabel 4
Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn Kelas II
SMP/MTs Semester II

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
Menampilkan ketaatan terhadap
perundang-undangan nasional
Mengidentifikasi kasus korupsi
dan upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia.
Mendeskripsikan pengertian
antikorupsi dan instrumen
(hukum dan kelembagaan)
antikorupsi di Indonesia

Dari tabel di atas, dapat dilihat hanya mata pelajaran PKn saja yang
secara eksplisit atau tersurat mencantumkan tentang pendidikan antikorupsi di
dalam Kompetensi Dasar (KD). Namun demikian kompetensi dasar yang ada
di kelas II semester gasal tersebut cakupan domain hanya menekankan atau
menitik beratkan pada aspek kognitif semata. Sehingga jika ingin
dikembangkan pada aspek afektif dan psikomotorik sangat diperlukan
kreativitas guru.
Dengan demikian, pengembangan model pendidikan antikorupsi
yang integratif-inklusif juga perlu disisipkan dalam pendidikan agama Islam.
Mengingat pendidikan agama Islam juga memuat materi-materi terkait dengan
norma-norma hukum-kemasyarakatan (sosial) maupun individu.
Model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif dalam
pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai
pendekatan dalam pembelajaran. Hal tersebut akan tampak dalam desain atau
Rencana Pembelajaran setiap mata pelajaran terpilih (pendidikan agama
Islam). Sebagai sebuah pendekatan (approach) pembelajaran maka
implementasi pendidikan antikorupsi akan sangat tergantung dari kemampuan
guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar.
Oleh karena itu, implementasi pendidikan antikorupsi yang
terintegrasi dalam pendidikan agama Islam di sekolah agar efektif dalam
mengembangkan pendidikan antikorupsi perlu memperhatikan hal-hal berikut:
a) Materi; yakni materi pembelajaran antikorupsi perlu mencakup tiga
domain: kognitif, afektif, dan psikomotorik.
b) Metodologi; pendidik dapat menggunakan berbagai metode dan
model pengajaran yang sesuai dengan permasalahan dan kematangan
peserta didik. Seperti penggunaan multimedia untuk membuat
pembelajaran semakin menarik.
c) Sumber belajar; perlunya penggunaan berbagai sumber
pembelajaran. Seperti media cetak maupun elektronik (koran,
majalah, CD, internet). Atau dengan narasumber semisal penegak
hukum (polisi, hakim, jaksa, KPK).
d) Evaluasi; pendidik dapat mempergunakan bentuk evaluasi autentik
yang tidak hanya mengukur aspek verbal dan kognitif peserta didik.
Namun juga mengukur karakter, keterampilan, kewaspadaan dan
cara berfikirnya dalam mengatasi masalah dan memberikan problem
solving.
Kesemuanya itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual dalam
pembelajaran, sehingga peserta didik pada tujuannya mampu melakukan
hubungan yang bermakna. Peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai
orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara
individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok,
melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan, seperti mengharuskan siswa
untuk membuat hubungan-hubungan antara sekolah dengan berbagai konteks
nyata, menjadi mandiri (self regulated learner), siswa melakukan pekerjaan
yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada
hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya
yang sifatnya nyata.
Selain itu juga peserta didik dapat bekerja sama. Guru membantu
siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami
bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi, berpikir
kritis dan kreatif; dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan
masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti,
mengasuh atau memelihara pribadi-pribadinya: mengetahui, memberi
perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan
memperkuat diri sendiri. Sehingga peserta didik mampu menggunakan
pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang
bermakna (Johnson dalam Nurdin, dkk. 2004: 14).
Secara sistematis model pendidikan antikorupsi yang terintegrasi
dalam pendidikan agama Islam dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel 5
Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan
Agama Islam

Aspek Muatan Pengembangan
Materi a) Al-Quran-Hadits




b) Aqidah


c) Akhlak



d) Fiqih


Ayat-ayat / Hadits yang
berkaitan dengan delik
pengkhianatan,
penggelapan keuangan
negara.
Integrasi keimanan
terhadap aspek
kepemilikan harta.
Korupsi dan HAM,
korupsi dan masyarakat,
akhlak kewajiban warga
negara.
Hukum (Islam) dalam
perampasan harta non-
fisik.
e) Tarikh / Sejarah Delik asumsi dan
praktik korupsi pada
zaman Nabi, sahabat /
khalifah.
Domain a) Kognitif


b) Afektif:

c) Psikomotorik:
Pemberian wawasan
pengetahuan tentang
hakikat korupsi.
Pembentukan karakter
antikorupsi.
Perilaku antikorupsi.
Metode
Pembelajaran
a) Ceramah dan penugasan

b) Melibatkan peserta didik
secara aktif dan kreatif
dalam kegiatan
pembelajaran
c) Pemberian keteladanan
Penelaahan berbagai
modus operandi korupsi
Studi kasus atau
lapangan dan
pemecahan masalah.

Pelatihan kejujuran dan
kedisiplinan.
Media
Pembelajaran
a) Audio
b) Visual
c) Audio-visual
Rekaman / tayangan
persidangan kasus
korupsi.
Sumber
Belajar
a) Media cetak

b) Media elektronik
c) Narasumber dan sumber
lingkungan.
d) Dokumentasi produk
hukum
Koran, majalah, buku,
annual report, kitab.
CD, Internet.
Polisi, Jaksa, Hakim,
Ulama.
UU terkait kasus
korupsi
Evaluasi a) Tes tulis
b) Kinerja, keterampilan
Kumpulan hasil kerja
(karya) siswa yang
c) Portofolio berisi berbagai
pengalaman dan
pemikiran tentang
problem korupsi.

Setelah menelaah konsep pendidikan antikorupsi serta tinjauan aspek
kurikulum dan perkembangannya, maka selanjutnya dicoba untuk diterapkan
ke dalam pendidikan Islam. Urgensitas dan inklusifitas pendidikan antikorupsi
pada pendidikan agama Islam jika diambil benang merahnya adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman
dan perilaku antikorupsi. Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa
pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar
ini, signifikansi penyelenggaraan pendidikan antikorupsi lewat jalur
pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk
membudayakan antikorupsi di Indonesia.
Selain itu juga pendidikan adalah suatu proses belajar dan
penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai
budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa
mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk
memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Atas yang demikian itu,
Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya
untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan
jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sedangkan menurut Natsir (2005) bahwa pendidikan adalah satu
pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan
kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Atas yang
demikian itu, Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam penelitian ini nampak jelas bahwa para pendidik, maupun
pakar serta penggiat beberapa lembaga pendidikan menyatakan bahwa
pendidikan antikorupsi sangat diperlukan bagi segenap anak bangsa untuk
memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bahaya korupsi bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemberian pendidikan antikorupsi di sekolah hendaknya
memperhatikan kebutuhan dan kematangan siswa. Kebutuhan yang
dimaksud adalah pendidikan antikorupsi hendaknya tidak menjadi bidang
studi yang (subject matter) berdiri sendiri (separated) sehingga akan
menambah jumlah jam belajar siswa. Sedangkan disesuaikan dengan
tingkat kematangan adalah bobot atau tingkat kesukaran pendidikan
antikorupsi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan berfikir peserta
didik.

2. Kurikulum
Kurikulum adalah sekumpulan silabus yang tercetak atau uraian
mengenai satu demi satu mata pelajaran yang disertai pengantar bersifat
umum mengenai tujuan pendidikan secara keseluruhan, dan ikhtiar singkat
mengenai tujuan masing-masing mata pelajaran. Dengan begitu maka,
kurikulum adalah salah satu komponen yang urgensitasnya sangat
menentukan dalam suatu sistem pendidikan.
Karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran.
Untuk itu, ketika kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan, seharusnya
kurikulum disusun sesuai dengan realitas yang ada. Sehingga dalam
penyusunannya kurikulum, perlu mempertimbangkan kebutuhan,
permintaan dan atau harapan masyarakat akan out put pendidikan. Dengan
begitu, lulusan-lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menjadi
tidak teralienasi dengan masyarakat ketika mereka berbaur dalam
lingkungan yang baru.
Menurut Freire, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang
dihimpun dari pengalaman yang educatif, bersifat eksperimental dan
adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman educatif adalah
pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip
yang digariskan dalam pendidikan, setiap proses belajar yang ada
membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik.
Kurikulum yang bagus adalah tipe core curiculum yaitu
sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena
tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari
kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (Muis Sad
Imam, 2004: 54).
Fleksibilitas sifat kurikulum dapat membuka kemungkinan bagi
pendidikan untuk memperhatikan tiap peserta didik dengan sifat-sifat dan
kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat
sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat
kurikulum yang tidak baku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang
memadai adalah kurikulum yang berpusat dari pengalaman.
Karenanya untuk menuju ke integrasi problematika korupsi
terhadap upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan diperlukan upaya
yang kreatif. Karena banyak sekali hambatan dan tantangan dalam situasi
koruptif yang telah langgeng, tentu diperlukan refleksi kritis dan
penciptaan kurikulum yang bisa memproduksi manusia-manusia yang
antikorupsi. Dengan istilah lain, kurikulum pendidikan antikorupsi yang
terintegrasi dalam pendidikan agama Islam juga dikenal sebagai hidden
curiculum.
Setidaknya terdapat tiga butir kurikulum pokok yang harus
diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum antikorupsi di segala
tingkat. Pertama, tujuan, hakikat, dan kebutuhan peserta didik yang secara
ideal harus terhindar dari sikap koruptif. Kedua, hakikat dan kebutuhan
masyarakat di mana peserta didik merupakan bagian dari masyarakat yang
menentang korupsi. Ketiga, masalah pokok yang ditujukan kepada peserta
didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu
menjalin hubungan dengan masyarakat.
Pendidikan Islam lebih eksplisit lagi kurikulumnya sendiri jarang
sekali diarahkan menjawab persoalan-persoalan seperti itu. Buku-buku
pelajaran cenderung yang diajarkan secara normatif, tidak diambil serta
dikembangkan semangat berpikirnya, apalagi kemudian dikorelasikan
pada kontekstualisasi kekinian, seperti kenapa terjadi budaya korupsi,
nepotisme dan lain sebagainya. Sementara para pendidik sendiri hanya
mencukupkan diri dengan berpedoman kepada buku-buku tersebut, tanpa
pernah mengajarkan peserta didik bagaimana metode berpikir dan strategi
menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul.
Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan juga
menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa yang bersangkutan, sedang
umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Masalah dan
sistem pendidikan menjadi kian penting dan strategis karena dapat
dijadikan fundamen sosial guna mendorong proses transformasi
masyarakat. Secara sintetik pendidikan antikorupsi berkaitan langsung
dengan isu-isu krusial seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan, kohesi
sosial, dan demokrasi. Lagi-lagi pendidikan (Islam) memiliki andil yang
cukup besar terhadap proses kemajuan suatu bangsa.
Untuk itu kurikulum pendidikan Islam perlu mengalami
kontektualisasi pendidikan. Kontekstualisasi kurikulum pendidikan
harus diupayakan sehingga dapat membangun peradaban masyarakat yang
kritis, yang lebih adil, lebih manusiawi, sense of crisis, sense of
responsibility, misalnya pada persoalan-persoalan kemanusiaan,
lingkungan, pembelaan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan, hak azasi
manusia, dan sebagainya. Singkatnya sistem kurikulum pendidikan Islam
pada masa kini dan mendatang harus lebih antisipatif terhadap
problematika yang sedang berkembang, korelasi antara ideal dan
kenyataan lebih signifikan.
Dengan berbagai pembenahan kurikulum tersebut, diharapkan
pendidikan mampu mengalami perubahan yang signifikan. Memang,
seharusnya kurikulum yang ideal harus berasal dari masyarakat. Berbagai
pendekatan diperlukan guna membantu penyusunan kurikulum yang
komprehensif.

3. Metode Pengajaran
Metode pengajaran adalah salah satu penentu keberhasilan dalam
dunia pendidikan. Metode pengajaran yang ada saat ini masih bersifat
monoton dan cenderung tekstual, dengan hanya mengacu pada pedoman
buku teks sebagai bahan ajar. Seperti model pengajaran yang dominasinya
pada hafalan juga harus dibatasi, harus diganti dengan cara
mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, membangun
komunikasi yang dialogis. Metode hafalan adalah metode di mana
peserta didik menghafal teks atau kalimat tertentu dari buku pelajaran
yang dipelajarinya.
Selain itu, contoh-contoh yang digunakan dalam pengajaran
seorang pendidik harus dengan cara menghadirkan persoalan-persoalan
kontemporer ke dalam materi pelajaran, wawasan dan cakrawala.
Sehingga pemikiran siswa semakin luas, sikap kritisnya tumbuh dan daya
kreatifnya berkembang.
Oleh sebab itu, metode yang dapat dikembangkan dalam materi
pendidikan antikorupsi dalam pendidikan agama Islam diantaranya:
a. Metode Dialog
Metode dialog adalah metode yang berdasarkan pada dialog
atau dengan kata lain perbincangan dengan tanya jawab untuk sampai
kepada fakta yang tidak dapat diragukan lagi, dikritik atau dibantah
(Langgulung [terj.], 1979: 565). Mata ajaran yang terpaku pada model
konvensional, yaitu lebih menekankan pada metode ceramah
(verbalistik), layaknya cenderung monolog dan doktrinatif. Sehingga
praksisnya, sense of religion (keinsyafan beragama) tidak dirasakan
oleh para peserta didik, mesti dikembangkan dalam bentuk keakraban
wacana melalui proses perenungan yang dalam dan proses dialogis
yang produktif, kritis dan analitis.
Metode dialog merupakan pengembangan dari metode
ceramah yang didominasi oleh pola komunikasi satu arah, yakni dari
guru kepada murid. Sehingga diperlukan pengajaran yang
partisipatoris-kontekstual, sehingga memberikan kebebasan kepada
peserta didik untuk berkreasi dan berkreativitas. Kebebasan merupakan
ekspresi pengalaman, perasaan, sikap dan keterampilan yang
menekankan pada daya pikir kritis, tanggap dan kreatif dalam
menghadapi sesuatu, tanpa ikatan atau dogma tertentu yang berpusat
pada konteks realitas.
Kreativitas merupakan proses mental dan kemampuan
tertentu untuk mencipta. Kreativitas juga merupakan pola interaktif
antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat
dilihat dari kemampuannya dalam mengatasi masalah (problem
sensitivity), mampu mencipta ide alternatif untuk memecahkan
masalah (idea fluency), mampu memindahkan ide dari satu pola pikir
ke pola pikir yang lain (idea flexibility). Hal ini bisa terwujud jika
metode dialog (komunikasi dua arah) dalam proses belajar mengajar
dijalankan.
Dengan metode pengajaran partisipatoris maka dapat
membuka peluang peserta didik untuk bebas berpikir kritis dan kreatif
dalam mengembangkan kemampuan (Assegaf, 2004: 138-139).
Sehingga dengan sistem dialog dan tidak dialog tersebut, bisa terlihat
pola komunikasi antara pendidik dan peserta didik.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan pembelajaran
antikorupsi yang optimal baik pendidik maupun peserta didik harus
bersama-sama menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif,
pendidik merasa bebas dan peserta didik merasa merdeka dari
himpitan untuk menyuarakan kata hati, perasaan dan pendapatnya
tentang persepsi korupsi.
Hal seperti ini yang perlu diterapkan dalam proses pengajaran
antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren,
madrasah, perguruan-perguruan tinggi Islam maupun lembaga-
lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan lembaga / yayasan / ormas
Islam. Sehingga para peserta didik menjadi lebih kritis dan kreatif
dalam menghadapi permasalahan dan tantangan dunia global yang
telah merambah ke semua sektor kehidupan.
b. Kelompok Diskusi
Sebagai makhluk sosial, peserta didik sejak kecil secara
natural bermain dalam situasi berpasangan atau berkelompok. Perilaku
ini dapat dilakukan dalam pengorganisasian belajar pada materi
antikorupsi. Dalam membahas permasalahan korupsi serta mencari
solusinya peserta didik dapat bekerja berpasangan atau kelompok, baik
dengan cara diskusi, demonstrasi, dan sebagainya.
Dengan metode ini, belajar menjadi lebih berarti karena
dengan adanya interaksi antara peserta didik dan lingkungan. Sehingga
secara konseptual, pendidikan antikorupsi tidak diartikulasikan sebagai
sekedar membaca buku atau berita tentang korupsi, tetapi juga
transformasi hubungan antara peserta didik, pendidik, sekolah dan
masyarakat. Karena peserta didik akan lebih berarti bila ia tidak hanya
sekedar belajar, ia harus bisa mengetahui dan mengamatinya sehingga
ia memiliki semangat untuk mengubah realitas. Peserta didik harus
banyak membaca dengan sungguh-sungguh realitas yang ada di
sekitarnya. Karena lingkungan (fisik-sosial-budaya) merupakan
sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik.
Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering
membuat peserta didik merasa senang dalam belajar. Belajar dengan
menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari
lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan
waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah
keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat,
merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat
tulisan, dan membuat gambar/diagram.
Peserta didik harus dapat mengerti secara sungguh-sungguh
terhadap keberadaan orang lain dengan situasi dan problematika di
sekitarnya. Dengan dihadapkan pada realitas sosial peserta didik dapat
mengembangkan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Sehingga mereka
menyadari bahwa dalam dunia nyata ada dikotomi bahkan
kontradiksi antara teori dan realitas. Dengan demikian, mereka
menyadari bahwa eksistensi manusia merupakan bagian dari
pengemban amanah dalam melakukan perubahan, sehingga mereka
mampu berpikir kritis.
Dengan demikian metode diskusi menekankan aspek
komunikasi inter-personal yang bersifat akademis dengan mata
pelajaran yang sifatnya praktis, yang diterapkan dalam kehidupan.
Sekolah berfungsi mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang efektif
terhadap lingkungan yang transformatif, dan transformasi kehidupan
harus senantiasa dipandang secara antisipatif dari terjadinya
transformasi negatif.
















BAB V
PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Oleh karena itu
sebagai penutup dari penelitian ini akan diuraikan tentang kesimpulan, saran-
saran dan kata penutup.
A. Kesimpulan
Setelah melakukan deskripsi dan analisis data tentang pendidikan
antikorupsi dengan tinjauan aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam
kemudian menganalisisnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut:
1. Upaya pencegahan prilaku korupsi bisa dilakukan dengan dua langkah,
yaitu langkah represif dan preventif. Langkah represif dilakukan
dengan cara menjalankan penegakan hukum yang tegas oleh para
aparat penegak hukum. Adapun langkah preventif melalui pendidikan,
dilakukan dengan cara internalisasi nilai-nilai antikorupsi terhadap
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Konsep pendidikan
antikorupsi yang digagas sebagai solusi atas permasalahan bangsa
adalah upaya mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak
bangsa Indonesia melalui pendidikan. Secara simplistik, langkah
tersebut ditujukan untuk menggunakan pemberdayaan peserta didik
untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption,
sehingga dapat mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi
anak bangsa.
2. Pendidikan Islam bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan
antisipatif dalam mengembangkan nilai antikorupsi untuk pencegahan
dan pemberantasan korupsi. Nilai-nilai keislaman yang terkandung
dalam pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan dalam kurikulum
pendidikan agama Islam. Dalam mengaitkan relevansinya antara
pendidikan antikorupsi dengan pendidikan Islam, setidaknya bisa
dilihat dalam konsep dan tujuan pendikan antikorupsi kemudian
ditinjau dari kurikulum pendidikan agama Islam yang selaras terhadap
nilai-nilai antikorupsi serta pengembangan kurikulum ke arah
antikorupsi dan dengan pengayaan materi pembelajaran menjadi
sangat relevan. Tinjauan kurikulum pendidikan agama Islam terhadap
pendidikan antikorupsi melalui pengembangan kurikulum ke arah:
peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan
dan kemampuan peserta didik, problem-problem kontekstual,
persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, serta agama.

B. Saran-saran
Melalui penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran untuk
direspon sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan pendidikan.
Pada point ini peneliti menyampaikan saran terhadap:
a. Pendidik
1) Hendaknya seorang pendidik bisa memperhatikan potensi peserta didik
yang mendorongnya supaya disalurkan ke dalam konteks pendidikan
sesuai kebutuhan lingkungan ke arah antikorupsi. Penyemaian bibit-
bibit antikorupsi harus dilaksanakan sejak dini, secara gradual dan
komprehensif.
2) Seorang pendidik seharusnya membekali keterampilan atau
kompetensi yang sekiranya bisa mendorong peserta didik menjadi
pribadi yang antikorupsi, karena dalam pembelajaran harus
memperhatikan dan menggunakan konsep-konsep yang bisa
menyadarkan kesadaran peserta didik secara kritis.
3) Seorang pendidik harus menjadi partner yang baik (partnership) bagi
peserta didik, sehingga dalam pembelajaran antara pendidik dan
peserta didik sama-sama belajar secara komunikatif-interaktif. Dengan
mengajak dialog peserta didik tentang problem-problem kontemporer
serta pemecahannya, maka suasana dalam pembelajaran menjadi hidup
dan tidak membosankan.
4) Seorang pendidik, khususnya pendidik agama Islam, bisa mendorong
dan memotivasi peserta didik supaya bisa mengaplikasikan ilmu
agamanya ke dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat.
Aksentuasi nilai-nilai keislaman dapat diaplikasikan dalam
menghadapi tantangan dan problematika kontekstual-global.

b. Lembaga Pendidikan
1) Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam, seyogyanya sekolah
Islam membekali para peserta didik dengan kompetensi sesuai potensi
yang memadai atau konsep-konsep nilai keislaman yang universal.
2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya mengajarkan ilmu-
ilmu keislaman saja tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu yang
berkonsep pada pembelajaran yang kontekstual-kritis selaras dengan
al-Quran dan al-Hadits, sehingga Islam akan mampu mencegah
perbuatan kemungkaran seperti tindak korupsi, karena sesungguhnya
semua ilmu bersumber pada al-Quran dan al-Hadits.

C. Kata Penutup
Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT karena atas ridha dan
petunjuk-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Betapa
pun peneliti telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk
menyelesaikan penelitian ini, namun peneliti menyadari bahwa penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekurangan dan kesalahan
yang disebabkan oleh kualitas individual peneliti, karena manusia tidak ada
yang sempurna.
Namun demikian, peneliti berharap mudah-mudahan karya
sederhana ini bisa bermanfaat dan sebagai sumbangan pikiran bagi almameter
tercinta ini. Karena itu, dengan kerendahan hati peneliti mengharapkan kritik
dan saran konstruktif dari semua pihak demi pengembangan dan perbaikan
skripsi ini
Akhir kata, peneliti berharap semoga langkah-langkah kita selalu
diridhoi dan dipermudahkan oleh Allah SWT serta semoga skripsi ini akan
membawa manfaat bagi semua yang berkepentingan khususnya bagi peneliti.
mn Y Rabbal 'lamn.

















DAFTAR PUSTAKA


Abd. Majid (Et.al), Pedoman Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, FAI PRESS, 2003.

Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2002.

Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Tiara Wacana,
2004.

Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif,
1989.

Ahmad Fawaid, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan
Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung; PT. Remaja
Rosdakarya, 2005.

Andvig, J. C., fjeldstad, O. H., Amundsen, I., sissener, T., Soreide, T., Research
on Corruption; A Policy Oriented Survey, Oslo: Chr. Michelsen Institute &
Norwegian Institute of International Affairs, 2000.

Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000.

Bonediksus Bosu & Hasyim Muzadi, Menuju Indonesia Baru: Strategi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Malang: Bayu Media Publishing,
2004.

Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial; Paulo Freire dan Y.B.
Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

George Junus Aditjondro, Jurnal Wacana: Bukan Persoalan Telur dan Ayam:
Membangun Suatu Kerangka yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti-
Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2003.

HCB Dharmawan, Al Soni BL de Rosari (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2005.



Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional,
(terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT.
Gramedia, 2000.

Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan
Korupsi, 2006.

Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian,
Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, ttp., tth.

Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2002.

Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual;
Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2008.

Martinis Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2007.

Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial di Tengah Arus
Kapitalisme Global, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia,
Yogyakarta: PPSK Press, 2008.

Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3 UMY,
Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2003.

Muis Sad Imam, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.

Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam, Pekanbaru: Infinite Press
dan Yogyakarta: LKiS, 2004.

Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen
Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.

Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin,
2002.

Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan, (terj.) Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung:
CV. Pustaka Grafika, 1999.

Pol, M., Hlouskova, L., Novotny, P., Vaclavikova, E., Zounek, Z., School Culture
as an Object of Research, ttp, 2005.

Ridlwan Nasir, (Ed.), Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, IAIN Press
& LKiS, 2006.Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (terj.) Hermojo,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Robert Klitgaard (Et. al), Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan
Daerah, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.

Singgih, Dunia pun Memerangi Korupsi Beberapa Catatan Dari International
Anti Corruption Conference I X dan Dokumen PBB Tentang
Pemberantasan Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita
Harapan, tth.

S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.

Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2003

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2002.

Syamsul Anwar (Et.al), Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama
dan Peradaban (PSAP), 2006.

Syed Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1975

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito, 1985.

Yunahar Ilyas (Et.al.), Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk
Pemuka Umat), Yogyakarta: KUTUB, 2001.

Zakiyah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.


Sumber Lain:

www.depdiknas.go.id

http://id/wikipedia.org/wiki/korupsi

http://www.antikorupsi.org

http://www.korupsi.org
http://www.nu-antikorupsi.or.id

http://www.ti.or.id

http://www.kpk.go.id

Tempo Interaktif, 8 Desember 2004.

Jawa Pos, 16 Oktober 2003.

















CURICULUM VITAE


Nama : Bhayu Sulistiawan
TTL : Bekasi, 6 Agustus 1986
Jenis Kelamin : Laki-laki
NPM : 20040720049
Alamat : Jl. Nusa Indah X RT 005/018 Blok MM No.31 Perum.
Harapan Indah Kel. Pejuang Kec Medan Satria Kota
Bekasi - Jawa Barat
Nama Orang Tua : Bejo Margo Waluyo Isur Suryati
Riwayat Pendidikan :
1. SD

2. SLTP

3. SMA

4. Pon-Pes

5. PT
:

:

:

:

:
SD N Percontohan 04 Ujung Menteng Cakung Jak-Tim,
lulus tahun 1998
MTs. Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus
tahun 2001
MAK Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus
tahun 2004
Pondok Pesantren Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan
Bekasi, tahun 1998-2004
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas
Agama Islam, Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2004-
2008
Pengalaman Organisasi : Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Pengurus
Daerah Attaqwa Tahun 2002-2004
Departemen Pendidikan HMJ PAI (Tarbiyah) UMY
Tahun 2004-2005
Ketua Umum BEM FAI UMY Tahun 2005-2006
Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-
MPO Komisariat FAI UMY Tahun 2005-2006
Bidang Kajian Strategis Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI)-MPO Cabang Yogyakarta Tahun 2006-2007
Sekretaris Umum Forum Silaturahmi Mahasiswa
Alumni Attaqwa (FOSMA)-Yogyakarta Tahun 2005-
2006
UKM Musik UMY Tahun 2006-2008
Dept. Perkaderan & Pembinaan Ikatan Keluarga
Mahasiswa Bekasi (IKAMASI) Yogyakarta Tahun
2006-2007
Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi
(IKAMASI) Yogyakarta Tahun 2007-2008

You might also like