(Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam
Terhadap Pendidikan Antikorupsi)
SKRIPSI
Oleh : BHAYU SULISTIAWAN NPM : 20040720049
FAKULTAS AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2008 NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Strata Satu Pada Fakultas Agama Islam Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Oleh: BHAYU SULISTIAWAN NPM: 20040720049
FAKULTAS AGAMA ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (TARBIYAH) UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2008
.
MOTTO
_9 .9 | ! - - ` . 1> >9 { Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang Telah diusahakannya. Dan bahwasanya usaha itu kelak akan diperlihat (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. (Q.S. Al-Najm/53: 39-41)
| s `.! <| 7, s! Maka apabila kamu Telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, Dan Hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap (Q.S. Alam Nasyrah/94:7-8)
Sebagian dari kebaikan keislaman seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna bagi dirinya. (Al-Hadits)
du chocs des opinions jaillit la verit, du chocs des idees jaillit la lumiere. (dari benturan berbagai opini akan muncul sebuah kebenaran, dari benturan berbagai gagasan akan muncul sinar (kebenaran). (Idiom Perancis)
Kemajuan yang kau dapatkan tidaklah terukur dengan keberhasilanmu memperbaiki segala apa yang telah terjadi, melainkan bagaimana kau merengkuh segala apa yang akan terjadi di masa depan........ (Kahlil Gibran)
PERSEMBAHAN
Dengan tidak mengurangi rasa syukurku kepada Allah SWT, Tuhan sumber segala muara esensi.
Kupersembahkan totalitas usaha, karya, dan buah pikiran, Skripsi ini untuk:
Bapak dan Ibuku tercinta, yang telah membesarkan dan selalu memberikan tarbiyah dan tadib, kasih sayang, semangat, pengertian dan do'a yang tak terputus-putus untuk keberhasilanku.
Adikku-adikku tersayang, yang selalu mengalah dan dikorbankan untuk mendahulukan cita-cita Bapak yang dititipkan kepadaku.
B 250406 R_tie,S.Pd.I; for a long time...... whenever and wherever you are..... Yes, we can!!!
Pemda Kota dan Kabupaten Bekasi, yang tetap mengunggulkan kepentingan bangsa dan membimbing para putera daerah.
Almamaterku, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. A Leading and Enlightening University
KATA PENGANTAR
Alhamdulillhilladz nawwaran bi alilmi wa alaqli. Segenap puja dan puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah melimpahkan petunjuk, bimbingan dan kekuatan lahir batin kepada diri peneliti, sehingga penelitian hasil dari sebuah usaha ilmiah yang sederhana ini guna menyelesaikan tugas akhir kesarjanaan terselesaikan dengan sebagaimana mestinya, setelah menjalani proses akademik yang cukup panjang. Sholawat dan salam semoga dilimpahkan oleh-Nya kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, sosok historis yang membawa proses transformasi dari masa uncivilized yang gelap gulita ke arah alam yang sangat terang benderang dan berperadaban ini, juga kepada para keluarga, sahabat serta semua pengikutnya yang setia disepanjang zaman. Penelitian yang berjudul NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM (Tinjauan Normatif Aspek Kurikulum Pendidikan Agama Islam Terhadap Pendidikan Antikorupsi) ini pada dasarnya disusun untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FAI-UMY). Oleh karenanya hal ini merupakan kulminasi-formal akademik yang sudah barang tentu tetap disertai akuntabilitas akademik juga, sebagai sebuah karya ilmiah perdana penulis di bidang kependidikan, bukan hanya untuk memenuhi kewajiban akademik (scholar duty) an sich. Cukup terharu rasanya ketika penulis telah menyelesaikan proses akademik dan penyusunan skripsi ini. Karena dengan media ini penulis telah banyak belajar, berfikir, berimajinasi, mencurahkan segenap kemampuan dalam hal pemikiran, kreativitas dan ketelitian untuk memenuhi kebutuhan kurioritas (rasa ingin tahu) penulis atas problematika korupsi dalam mengarungi suatu setting pertempuran intelektualitas yang cukup menantang sehingga dapat mencari dan menemukan identitas diri sebagai seorang manusia yang dianugerahi akal oleh Sang Kholiq. Oleh karenanya, penulis semakin sadar akan berbagai kelemahan, kebodohan dan keterbatasan yang ada dalam diri penulis, wam ttum min alilmi illa qallan. Dalam proses penyusunan penelitian tersebut, peneliti banyak mendapatkan bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, oleh karena itu izinkan peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada hamba-hamba Allah yang membantu peneliti sehingga karya sederhana ini bisa menjadi kenyataan, bukan hanya angan dan keinginan semata. Mereka adalah: 1. Bapak Ir. H. Dasron Hamid, M.Sc, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2. Bapak Drs. Marsudi Iman, M. Ag, selaku Dekan Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, juga kapasitasnya sebagai Dosen Pembimbing Akademik (DPA). 3. Bapak Drs. Syamsudin Hs, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam (Tarbiyah) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 4. Bapak Nurwanto, MA, selaku dosen pembimbing yang telah dengan tekun dan sabar serta meluangkan waktu untuk membimbing peneliti dan memberikan kritik konstruktif dalam proses penyusunan penelitian ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen yang telah membimbing, mendidik dan memberikan pencerahan untuk selalu berpikir kritis-edukatif-transformatif-inovatif menggali ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah selama berada di lingkungan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 6. Bapak serta Ibu karyawan UMY yang dengan rela dan senang hati untuk memberikan pelayanan dari awal hingga akhir studi. Pak. Taufik, Pak Tarlan, Bu Nurul, Pak Muji, Pak Wardani, Pak Joko, Mas Suryadi, Mas Syarif, terima kasih atas pelayanan yang diberikan. 7. Bapak Drs. Masudi, M. Ag, terima kasih atas pemberian bukunya berjudul NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih dan juga buku Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Pemberian bapak sangat membantu kelancaran penyusunan karya ini. Jazakumulloh khairon katsiron. 8. Bapak Drs. Muh. Azhar, M. Ag, selaku penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk perbaikan skripsi ini. Terima kasih atas pinjaman bukunya berjudul Pendidikan Antikorupsi, juga atas beberapa kesempatannya meluangkan waktu untuk sekedar berdiskusi (bahkan berdebat) di ruang pengajaran, perkuliahan bahkan loby FAI, di sekretariat HMI-MPO komisariat FAI ataupun korkom UMY. Hasil diskusi kita dengan kawan-kawan sangat membantu dalam membahas penelitian ini. Yakin Usaha Sampai, semoga cepat dapat gelar Doktornya prof... 9. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) dan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang telah meminjamkan beberapa sumber referensi. 10. Ayah dan Ibu yang senantiasa mendo'akan dan memberikan perhatian, motivasi serta kasih sayang yang tiada tara sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini sebagai kulminasi formal perkuliahan dengan baik. 11. Adik-adikku tercinta (Guntur, Bunga) yang selalu memberikan motivasi serta kesabarannya untuk membantu meringankan perjalanan studiku. 12. Semua keluargaku di Bekasi, Sukabumi, Kutoarjo yang senantiasa mendoakanku dengan penuh tulus ikhlas. 13. Ristyawati, S. Pd.I, yang senantiasa membantu, menyemangati, memarahi, menyarankan, mengingatkan (baik dengan tawa maupun air mata) serta mendoa'kanku selama proses penyusunan penelitian ini hingga selesai. Your existence is complement in my life. Kamu adalah bukti dari idiom Arab: Al- haytu bighoiri habbah kahayti al-ghorbah 14. Teman-teman seperjuangan dalam perjalanan panjang yang melelahkan, di FAI jurusan Tarbiyah (PAI) angkatan 2004 terima kasih atas bantuan dan kerja samanya yang tak akan dilupakan. Demikian juga dengan teman-teman PAI, EPI, KPI angkatan 2003-2007. 15. Bang Dedi Sutomo, SEI, Surawan, S. Pd.I, Bagus olenk, S. Pd.I, terima kasih atas saran-sarannya dari perjumpaan kita waktu sharing-sharing, juga untuk Gus Bowo dan Via Zubed atas bantuannya selama ini. 16. Teman-teman aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO yang selalu semangat dengan idealisme perjuangan, Danang, Eko, Perli, Fathnan, Cahyo, (HMI-MPO FAI), serta seluruh pengurus HMI-MPO Cabang Yogyakarta dan kader-kader (aktifis) HMI-MPO Komisariat FAI UMY, Korkom UMY, Cabang Yogyakarta serta Pengurus Besar (PB) HMI-MPO. Kenangan indah dan sentilan-sentilan kritis untuk perjuangan bangsa bersama kalian tak pernah kulupakan. 17. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bang Patra, Mas Kholid, Abi, Dandan, Boim, Maruf, Acan, Ai, Fatma, Rida, Heny, Helmi, Dayat, dan semua kader-kader IMM UMY. Tetap Anggun dalam Moral Unggul dalam Intelektual. 18. Teman-teman golongan IKAMASI (Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi)- Yogyakarta. Bang Ali Husna, Jaka, Zaelani, Tasim, Jhalil, Abuy, Deny, Haji Pupunk, Ical, Mpok Dewi, Teh Ina, yang selalu mengingatkan bahwa kesibukan organisasi tidak boleh melupakan tuntutan akademis. Buat penggiat IKAMASI, Ali Ibo, Adi Pazcho, Neo, Adenk, Tori, Akew, terima kasih atas kesempatan kongkow-kongkownya. Omphong, Biben, Amir, Achong, Juned, Mank RT, Tika, Uchi, Rini, (UMY, UNY, UII), Prima, Ajenk, Desi, Nura, semua pengurus dan anggota IKAMASI terima kasih atas semuanya. Candaan serta guyonan bersama kalian bikin ngurangin stress dan penat. Tetap semangat Solid di Perantoan Berkarya Demi Bekasi! 19. Sohib-sohib FOSMA (Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni Attaqwa)- Yogyakarta. Bang Popeye, S.ThI, Bang Sofyan, Abu Hasan, Noeng Alie, Omplay, Sukway, Malik, Juned. Syukran katsron ilaikum.... 20. Kawan-kawan diskusi lintas kampus, Komunitas Wirobrajan HMI-MPO, kajian Angkringan, Lingkar Studi Matahari, UKM Musik UMY, komunitas badminton, club futsal UNWAMA, terima kasih atas sekedar refreshing dan sharing-sharingnya. 21. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, namun tak terlupakan bantuannya yang turut dalam penyelesaian penelitian ini. Akhirnya, semoga segala bantuannya yang tidak ternilai ini mendapatkan balasan dari Allah SWT dengan balasan yang sepantasnya, dan semoga penelitian ini bermanfaat khususnya bagi peneliti sendiri.
Yogyakarta, 23 Oktober 2008
Penulis
Bhayu Sulistiawan
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... NOTA DINAS ............................................................................................... HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ HALAMAN MOTTO .................................................................................... HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... KATA PENGANTAR ................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL DAN SKEMA................................................................. ABSTRACK ..................................................................................................
i ii iii iv v vi xii xv xvi BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ................................................... B. Rumusan Masalah ............................................................ C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................... D. Tinjauan Pustaka .............................................................. E. Kerangka Konseptual ....................................................... 1. Konsep Pendidikan Antikorupsi ............................... 2. Pendidikan Islam ........................................................ 3. Kurikulum Pendidikan ............................................... F. Metode Penelitian ............................................................ G. Sistematika Pembahasan .................................................. 1 6 7 8 12 12 18 24 30 34 BAB II : GAMBARAN UMUM KORUPSI A. Definisi Korupsi ............................................................... B. Model-model Korupsi ...................................................... C. Sebab-sebab Korupsi ........................................................ D. Perkembangan Kasus Korupsi ......................................... E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi ..................................
36 43 49 54 57 BAB III : NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
A. Korupsi Menurut Perspektif Islam ................................... B. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus Korupsi ............................................................................. 1. Amanah ...................................................................... 2. Shidiq .......................................................................... 3. Adil ............................................................................. 4. Taqwa ......................................................................... C. Konsep Pendidikan Antikorupsi ...................................... 1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi ... 2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan Antikorupsi ......... D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara .......
60
70 70 72 74 76 77 78
81 83 BAB IV : TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
A. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ............................ B. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum ...................... C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan Antikorupsi ......................................... D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan Agama Islam ......................................
88 92
102
108 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ....................................................................... B. Saran-saran ....................................................................... C. Kata Penutup .................................................................... 126 127 129
DAFTAR PUSTAKA CURICULUM VITAE
DAFTAR TABEL DAN SKEMA
Tabel 1 : Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis .................... 40 Tabel 2 : Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006 ........................ 54 Tabel 3 : Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara ................... 86 Tabel 4 : Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn SMP/MTs Semester II
110 Tabel 5 : Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan Agama Islam ... 113 Skema : Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum, MGMP dan Guru Mata Pelajaran ................................................... 92
ABSTRAK
Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis-antisipatif. Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Semangat antikorupsi yang patut menjadi kajian adalah penanaman pola pikir, sikap, dan perilaku antikorupsi melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan. Sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption. Pendidikan untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep Pendidikan Antikorupsi yang direlevansikan dengan tinjauan normatif aspek kurikulum dalam Pendidikan Agama Islam, kemudian mencoba menampilkan model Pendidikan Antikorupsi dalam Pendidikan Agama Islam. Pendidikan Antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi, yaitu dengan model Pendidikan Antikorupsi integratif-inklusif dalam Pendidikan Agama Islam. Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan dan pencegahan korupsi ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam mengembangkan kurikulum Pendidikan Antikorupsi yang integratif-inklusif pada Pendidikan Agama Islam. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Model Pendidikan Antikorupsi yang integratif- inklusif dalam pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai pendekatan dalam pembelajaran berbasis kontekstual.
Kata Kunci: Pendidikan Antikorupsi, Pendidikan Agama Islam, Integratif- Inklusif, Kurikulum.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia akhir-akhir ini tengah menghadapi berbagai permasalahan yang cukup pelik seputar krisis multi-dimensional serta problem lain yang menyangkut tatanan nilai yang sangat menuntut adanya upaya pemecahan secara mendesak. Problematika yang menyangkut tatanan nilai dalam masyarakat salah satunya adalah problematika korupsi yang tak kunjung usai. Karena semakin akutnya permasalahan tersebut, sebagian orang menganggap korupsi di Indonesia sudah menjadi budaya dan epidemi bahkan virus yang harus segera diperangi bersama. Beberapa hasil survey lembaga-lembaga transparansi mengindikasikan tingginya tingkat korupsi di Indonesia, karena Indonesia sendiri dibandingkan dengan negara-negara lainnya, berada di posisi keenam terkorup di dunia menurut survey Transparency International (TI) pada tahun 2005. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia adalah 2,2, sejajar dengan Azerbaijan, Kamerun, Etiopia, Irak, Liberia, dan Uzbekistan, serta hanya lebih baik dari Kongo, Kenya, Pakistan, Paraguay, Somalia, Sudan, Angola, Nigeria, Haiti dan Myanmar. Menurut hasil survey ini, Islandia adalah negara paling bebas korupsi (http://id/wikipedia.org/wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008). Secara eksplisit, sejak tahun 2000 hingga 2006 peringkat Indonesia dalam soal korupsi diantara negara-negara di dunia setidaknya berada pada ranking amat buruk. Rilis yang dikeluarkan Transparency International tahun 2005 misalnya, menunjukkan posisi Indonesia tidak kunjung naik kelas dalam kelompok negara terkorup. Meskipun tidak lagi menjadi nomor buncit karena berada pada peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia hanya 2,2. IPK ini sedikit lebih baik bila dibandingkan tahun 2004 (2,0) dan tahun-tahun sebelumnya (PBB UIN, 30/11/2005). Pada tahun 2006 IPK Indonesia naik sedikit dari 2,2 pada 2005 menjadi 2,4. Dengan IPK 2,4 Indonesia berada pada ranking 130 dari 163 negara yang disurvey (www.suarakarya-online.com, tanggal 2/4/2008). Sedangkan pada tingkat negara-negara se-Asia, peringkat Indonesia turun menjadi peringkat dua Asia pada tahun 2007 (www.kapanlagi.com, tanggal 2/4/2008). Korupsi memang merupakan problematika yang cukup pelik yang melilit dan menghinggap di hampir seluruh negara, tak terkecuali Indonesia. Bagi telinga rakyat Indonesia bukanlah hal yang asing bahwa teriakan- teriakan aksi untuk pemberantasan korupsi mulai bergema kencang, terlebih keheranan masyarakat bertambah ketika Departemen Agama pun yang notabene lembaga representatif untuk menjadi uswah dan penggerak nilai- nilai keagamaan secara normatif-kolektif, malah ikut terlibat dalam kasus korupsi. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI pada tahun 2002 menyatakan bahwa korupsi terbesar di negeri ini justeru terjadi di Departemen Agama, menyusul kemudian Departemen Pendidikan Nasional yang di dalamnya penuh dengan orang-orang yang semestinya menjadi teladan moral bagi masyarakat luas (Moh. Asror Yusuf [Ed.], 2006: 231). Oleh karenanya tak heran pula ketika organisasi Retting Political and Economic Risk Concultancy (PERC) Hongkong, ikut melaporkan hasil survey yang diperolehnya bahwa Indonesia merupakan negara terkorup di Asia (Ridlwan Nasir [Ed.], 2006: 272). Patut dicatat bahwa presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan jajaran pemerintahannya kali ini juga meminta semua pihak untuk bersama-sama memberantas virus korupsi. Tak pelak para alim ulama, cendikiawan, serta tokoh masyarakat pun diminta untuk membantu memberantas korupsi. Untuk itu, berbagai tokoh Ornop dan LSM atau gerakan masyarakat termasuk partai-partai politik turut berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ini. Hal ini menunjukan betapa problematika korupsi sudah menjadi agenda pemerintahan yang cukup signifikan. Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar menyambut permintaan SBY tersebut dengan sebuah gebrakan mencanangkan nota kesepakatan Memorandum of Understanding (MoU) tanggal 15 Oktober 2003, isinya untuk bekerja sama secara nasional melakukan pemberantasan korupsi (Jawa Pos, 16/10/2003). Bahkan beberapa tahun lalu kalangan NU sudah pernah mengumumkan fatwa yang cukup menghebohkan, fatwa itu menegaskan bahwa korupsi adalah kemungkaran yang sangat besar. Sehingga para koruptor layak dihukum mati, dan kalau koruptor mati tidak perlu dishalati. Begitu pula kaum ulama Muhammadiyah yang juga telah menyatakan bahwa korupsi adalah syirik akbar yang dosanya tidak diampuni oleh Allah (Tempo Interaktif, 8/12/2004). Namun mengapa fatwa-fatwa para ulama NU-Muhammadiyah itu tidak diacuhkan sama sekali oleh banyak orang, sehingga para koruptor tetap meneruskan kejahatan-kejahatan mereka. Perlu dicatat juga bahwa banyak diantara para koruptor itu yang mengaku sebagai orang muslim yang rajin sholat, pergi ke masjid, pernah atau bahkan sering menunaikan ibadah haji ke Mekkah Al-Mukarromah. Kegeraman masyarakat terhadap perilaku korupsi memang tidak bisa dipungkiri, tetapi mereka sudah tidak berdaya untuk melakukan tindakan dalam bentuk apapun untuk melawannya. Hal ini terindikasikan misalnya dari hasil Hot Survey Jobs DB Indonesia yang menghasilkan 1.238 (78%) dari 1.561 responden menyatakan setuju bila para koruptor yang terbukti bersalah oleh pengadilan dihukum mati (Republika, 2005). Berbagai upaya telah dilakukan guna mencegah dan menghilangkan praktek korupsi di Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini. Namun realitasnya, korupsi tetap saja menjamur. Bahkan di era otonomi daerah sekarang ini, korupsi sudah menyebar di berbagai daerah lokal. Pada tingkatan birokrat pusat pun korupsi menyebar luas. Salah satu strategi yang dilakukan untuk memerangi korupsi adalah dengan dirancangnya pendidikan antikorupsi oleh beberapa lembaga pendidikan. Gagasan ini lahir dimaksudkan untuk membasmi korupsi melalui persilangan (intersection) antara pendidikan watak dan pendidikan kewarganegaraan. Disamping itu, pendidikan untuk mengurangi korupsi berupa pendidikan nilai, yaitu pendidikan untuk mendorong setiap generasi menyusun kembali sistem nilai yang diwarisi (Kompas, 21 Februari 2007). Secara simplistik memang sektor pendidikan formal di Indonesia dapat berperan dalam memenuhi kebutuhan pencegahan korupsi. Langkah preventif (pencegahan) tersebut secara tidak langsung bisa melalui dua pendekatan (approach), pertama: menjadikan peserta didik sebagai target, dan kedua: menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption. Oleh karenanya, pendidikan Islam perlu mengembangkan nilai antikorupsi. Sebab dalam sistem pendidikan Indonesia, baik dalam kurikulum 1994, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) belum dimuat materi mengenai permasalahan korupsi di Indonesia secara langsung. Pendidikan dapat berperan dalam memberantas korupsi secara tidak langsung melalui pengaitan materi pembelajaran secara kontekstual dengan pesan-pesan yang ingin disampaikan berkenaan dengan korupsi. Selain itu juga, media pembelajaran berupa buku- buku paket pelajaran yang digunakan dalam proses belajar mengajar sangat sedikit yang memuat secara langsung materi permasalahan korupsi. Upaya pencegahan budaya korupsi di masyarakat terlebih dahulu dapat dilakukan dengan mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Hal ini disadari bahwa memberantas korupsi juga tak lepas dari gerakan preventif, yaitu mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi anak bangsa. Mengingat upaya pencegahan tersebut tidak hanya dapat dilakukan pada satu generasi saja, melainkan dua atau tiga generasi selanjutnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa pendidikan Islam sebagai bagian integral dari pendidikan Indonesia tentunya mempunyai peranan penting dalam mengembangkan nilai antikorupsi. Pendidikan Islam bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam mengembangkan nilai antikorupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Karena manusia-manusia yang lahir melalui sektor pendidikan adalah manusia-manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta sebagai warga negara yang bertanggung jawab. Dan disaat institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan (Islam) dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi.
B. Rumusan Masalah Berangkat dari uraian di atas peneliti mengambil beberapa rumusan masalah yang akan dikembangkan dalam penelitian ini, yaitu: a. Bagaimana konsep pendidikan antikorupsi? b. Bagaimana implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui konsep pendidikan antikorupsi. b. Untuk mengetahui implikasi pendidikan antikorupsi terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam. 2. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari Penelitian ini adalah: a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam dunia pendidikan khususnya di bidang Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman di dalam menyampaikan materi atau pengajaran dalam Pendidikan Agama Islam serta mengkritisi proses pembelajaran yang dilakukan di berbagai lembaga pendidikan dalam perannya sebagai proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada para pembaca berupa informasi mengenai problematika kontemporer baik secara makro (Islam) maupun mikro (pendidikan Islam), serta hal- hal yang berkaitan dengannya, terutama konsep kependidikan serta hubungannya dengan problematika korupsi. Penelitian ini juga sebagai acuan bagi para pendidik Islam, sehingga pendidik dapat mengarahkan peserta didik untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pendidikan Islam dalam upaya pencegahan terhadap korupsi. Dan secara implisit, untuk menambah wawasan keilmuan serta sebagai khazanah pemikiran pendidikan Islam agar dapat bersikap aktif memerangi kejahatan korupsi sebagai wujud perlawanan terhadap kemungkaran sosial.
D. Tinjauan Pustaka Sejauh yang bisa dipantau oleh peneliti, penelitian tentang korupsi masih minim dan lebih minim lagi jika dikaitkan dengan pendidikan. Dari beberapa penelusuran yang telah peneliti lakukan terhadap karya-karya ilmiah, hasil penelitian, dan buku-buku yang sesuai dengan penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang penting untuk diperhatikan. Hasil survey dari Transparancy International Indonesia pada 6 Desember 2007 bersamaan dengan peluncuran Barometer Korupsi Global (GCB), menyebutkan hasil penelitian yang melibatkan 1.010 responden di Bandung-Jakarta bahwa polisi menempati urutan teratas sebagai lembaga yang paling korup (lihat www.tii.or.id). Dengan skor indeks antara 0-5 (semakin tinggi semakin korup), lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2. Di bawah lembaga kepolisian ada lembaga peradilan dan DPR-DPRD dengan indeks 4,1; partai politik 4,0; dan pelayanan perijinan/perpajakan masing-masing dengan indeks 3,8 dan 3,6 (www.rusdimathari.wordpress.com, tanggal 1/4/2008). Berbeda dengan penelitian ini yang akan membahas korupsi dari sektor pendidikan, sedangkan penelitian di atas dilakukan di lembaga polisi, DPR-DPRD, dan pelayanan masyarakat. Penelitian tentang Format Pendidikan Antikorupsi di UIN/IAIN: Review Atas Kurikulum dan Proses Pembelajaran yang dilakukan oleh PBB UIN Jakarta, 2006. Penelitian ini terfokus pada persoalan kurikulum dan proses pembelajaran yang berhubungan dengan upaya internalisasi nilai-nilai antikorupsi di UIN/IAIN. Dimana penelitian ini mengasumsikan bahwa baik kurikulum maupun proses pembelajaran yang terjadi kurang mempengaruhi pengembangan kecerdasan emosional, spiritual, dan sosial mahasiswa mengenai antikorupsi. Kesamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama mengangkat tema pendidikan antikorupsi. Tetapi penelitian di atas hanya memfokuskan pada aspek kurikulum dan proses pembelajaran serta dilakukan di lingkungan UIN/IAIN saja. Dalam penelitian ini, peneliti ingin menjelaskan secara lebih universal lagi konsep pendidikan antikorupsi, kemudian dikaitkan dengan implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam. Selain hasil penelitian di atas, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga telah melaporkan hasil penelitian yang berjudul "Peranan Sektor Pendidikan Formal Terhadap Kebutuhan Pencegahan Korupsi" (2003). Kesimpulan hasil penelitian ini, untuk meningkatkan upaya pencegahan korupsi di Indonesia, kepada Komisi Pemberantasan Korupsi disarankan agar: 1) Melibatkan sektor pendidikan formal di Indonesia; 2) Pelibatan sektor pendidikan formal tidak dalam bentuk mata pelajaran atau kurikulum khusus program antikorupsi; 3) Program-program antikorupsi hendaknya dilakukan melalui penyebaran informasi menggunakan sumber belajar yang dikemas secara menarik; dan 4) Dilakukan kerja sama dengan Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (www.aceh@bpkp.go.id, tanggal 2/4/2008). Dalam buku yang ditulis oleh Yunahar Ilyas [Et.al.] yang berjudul Korupsi Dalam Perspektif Agama-agama (Panduan Untuk Pemuka Umat) yang diterbitkan oleh KUTUB, 2001. Buku ini merupakan upaya untuk mensosialisasikan kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat melalui jalur pendidikan keumatan. Dalam buku ini pembahasannya dilakukan dengan pendekatan lintas agama melalui para penulis yang merepresentasikan dari agama Islam, Kristen, Hindu dan Budha, dan menitikberatkan pada pembahasan aktualisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pemberantasan korupsi. Sementara itu dari kalangan Muhammadiyah juga telah ada usaha untuk mensosialisasikan gerakan antikorupsi. Salah satunya melalui buku yang berjudul Membasmi Kanker Korupsi yang diterbitkan PSAP, 2004. Buku ini merupakan kompilasi tulisan beberapa cendikiawan dalam merespon isu korupsi serta menawarkan beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan sebagai langkah-langkah untuk memberantas korupsi di Indonesia. Tawaran tersebut diantaranya perlunya pendekatan kultural untuk proses internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan. Beberapa acuan lain peneliti dapatkan dari beberapa kajian yang dilakukan oleh beberapa institusi. Seperti Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang berbasis kultural kaum Nahdliyin. Lembaga ini telah melaksanakan sejumlah bahtsul masail (diskusi hukum Islam) mengenai korupsi serta menerbitkannya dalam beberapa buku. Diantaranya Buku yang berjudul Menolak Korupsi: Membangun Kesalehan Sosial, berisi kumpulan naskah khotbah Jumat yang mengambil tema korupsi. Buku terbitan P3M lain adalah Korupsi di Negeri Kaum Beragama: Ikhtiar Membangun Fikih Antikorupsi, berisikan kumpulan makalah yang disajikan dalam acara Munas Bahtsul Masail NU (Mei 2004). Buku berjudul NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih yang diterbitkan oleh Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNPK PB NU), 2006. Buku ini mengelaborasi fenomena korupsi di Indonesia serta membahasnya melalui pandangan Islam dan strategi pemberantasannya. Dari beberapa acuan di atas, perbedaannya dengan penelitian ini adalah peneliti mencoba membahas korupsi tidak hanya dari sudut pandang Islam saja, melainkan dari sudut pandang sosial-filosofis dengan konsep pendidikan antikorupsi melalui pendekatan pendidikan nilai kemudian implikasinya terhadap kurikulum Pendidikan Agama Islam. Buku berjudul Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, yang disusun oleh Mejelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) 2006. Dalam buku ini menyajikan permasalahan korupsi lebih sistematis dengan disertai pula langkah-langkah pemberantasan korupsi, diantaranya melalui jalur pendidikan. Tetapi belum rinci karena pembahasannya hanya satu sub bab saja. Oleh karena masih minimnya penelitian tentang pendidikan antikorupsi, maka peneliti bermaksud mengkaji tentang konsep pendidikan antikorupsi yang telah diformulasikan oleh beberapa lembaga atau instansi pendidikan. Kemudian mengelaborasinya dalam perspektif pendidikan Islam, dengan menitik beratkan pada aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam. Aspek filosofi pendidikan Islam serta korupsi dalam perspektif Islam juga dibahas dalam penelitian ini.
E. Kerangka Konseptual 1. Konsep Pendidikan Antikorupsi Secara etimologis kata konsep (concept) memiliki makna buram, bagan, rencana atau pengertian (Echols dan Hassan Shadily, 2000: 135). Dalam Kamus Ilmiah Populer konsep diartikan sebagai ide umum, pengertian, rancangan, dan rencana dasar (Partanto dan M. Dahlan, 1994: 362). Merujuk dari pengertian di atas, maka pengertian konsep dalam penelitian ini adalah rencana atau ide dasar, pengertian, dan pendapat atau rancangan dalam memahami pendidikan antikorupsi yang dikonsep dan dapat diterapkan dalam pendidikan Islam. Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu- individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat, suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Ki Supriyoko dalam Moh. Asror Yusuf [Ed.] (2006: 232) mengatakan bahwa antara pendidikan dengan kebudayaan memiliki kesamaan sifat, misalnya, keduanya terkait dengan nilai-nilai kehidupan. Satu sisi, pendidikan berkepentingan untuk mengembangkan nilai-nilai yang bersifat positif bagi peserta didik, pada sisi lain kebudayaan berkepentingan untuk mengaplikasikan nilai-nilai positif di tengah-tengah kehidupan sosial bermasyarakat. Sedangkan kesamaan lain menyangkut prosesnya yang pelan namun pasti (evolusioner). Keduanya memerlukan waktu yang lama, proses yang harus ditempuhnya bisa dalam satuan generasi. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan menurut Mohammad Natsir dalam tulisannya Idiologi Didikan Islam menyatakan bahwa pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan ruhani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Dari beberapa pengertian di atas ternyata peranan pendidikan menempati posisi yang sangat urgen dalam mewujudkan manusia yang berkepribadian utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Pendidikan merupakan basis penanaman nilai-nilai kepada individu untuk kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Marimba (1989: 19) menyatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Hal tersebut selaras dengan Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi tujuan pendidikan. Pertama, domain kognitif yang menekankan aspek untuk mengingat dan untuk mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesakan ide- ide dan materi baru. Kedua, domain afektif yang menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi, nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu. Ketiga, domain psikomotorik yang menekankan pada tujuan untuk melatih keterampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain. Idealnya ketiga domain tersebut selaras dan saling melengkapi. Menurut seorang ahli pendidikan Islam, Omar Mohammad al-Thoumy al- Syaibani (1979: 399), keselarasan itu harus menunjang. Pertama, tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu. Kedua, tujuan-tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, tentang perubahan dan kemajuan yang diingini. Ketiga, tujuan profesional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu. Dari ketiga unsur pencapaian pendidikan itu idealnya harus dilakukan secara terpadu (integral) sehingga tercapai tujuan proses pendidikan yang diinginkan. Korupsi secara etimologis sesuai dengan bahasa aslinya berasal dari bahasa Latin, corruption dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282). Sedangkan menurut Transparency Internasional adalah perilaku pejabat publik, baik politikus-politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka. Dalam arti yang simplistik (juga menurut sebagian pakar sosiologi korupsi), korupsi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk kepentingan pribadi (misuse of public power) (http://id/wikipedia.org?wiki/korupsi, tanggal 12/3/2008). Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan disini, yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk- bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan (emblezzement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (exortion) (Andvig, [et. al.], 2000). Terma korupsi secara universal selama ini diartikan sebagai tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, berakibat merugikan kepentingan umum dan negara. Bentuk nyata tingkah laku korupsi bisa berwujud penggelapan, penyuapan, penyogokan, manipulasi data administrasi keuangan (termasuk mark up), pemerasan, penyelundupan, jual beli dukungan politik dan perbuatan sejenis lainnya. Dari beberapa pandangan definitif di atas dapat disimpulkan bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan melawan hukum yang berupa penyimpangan kekuasaan dan jabatan, privatisasi fasilitas, penyuapan atau penyogokan, penipuan. Kejahatan korupsi lebih eksplisit lagi karena adanya kerugian yang diakibatkan dari tindakan korupsi, seperti kerugian uang negara secara materil. Oleh karenanya dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur di dalamnya: pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batas kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Relevansi pendidikan antikorupsi didasarkan keyakinan nilai, serta pemberantasan korupsi harus dilakukan secara simultan. Oleh karena problematika korupsi menyangkut nilai dari suatu sikap atau perilaku yang bertentangan dengan yang diidealkan, maka pendekatannya adalah melalui pendidikan nilai guna memupuk dan melahirkan sikap tegas yang responsif terhadap problem-problem sosial seperti korupsi. Dalam konteks pendidikan antikorupsi ini yang penting untuk ditekankan ialah tujuan pendidikan nilai, bukan kemahiran menjelaskan tentang nilai-nilai atau tentang suatu ideologi, melainkan menggunakan pengetahuan tentang ketaatan terhadap nilai-nilai untuk memupuk kemampuan membimbing individu ke pembaruan cara hidup sesuai realitas yang ada serta aspirasi tentang masa depan yang masih hidup dalam diri bangsa. Sehingga pelaksanaan konsep pendidikan yang bermaksud mendorong lahirnya generasi yang mampu memperbarui sistem nilai akan tercapai. Dengan demikian pendidikan nilai tidak terhenti pada pengenalan nilai-nilai, masih harus berlanjut ke pemahaman nilai-nilai, ke penghayatan nilai-nilai, dan ke pengamalan nilai-nilai sebagai kulminasi dari proses internalisasi nilai dalam diri maupun pribadi serta dapat membawa bangsa untuk memperbarui diri.
2. Pendidikan Islam Undang-undang SISDIKNAS No. 20 tahun 2003, menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-undang No. 20 Tahun 2003: 9). Pengertian di atas mengindikasikan betapa peranan pendidikan sangat besar dalam mewujudkan manusia yang utuh dan mandiri serta menjadi manusia yang mulia dan bermanfaat bagi lingkungannya. Dengan pendidikan, manusia akan paham bahwa dirinya itu sebagai makhluk yang dikaruniai kelebihan dibandingkan dengan makhluk lainnya. Pada tataran nation, pendidikan memberi kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan wahana dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta membangun watak bangsa (nation character building). Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula dan secara progresif akan membentuk kemandirian. Masyarakat dan bangsa yang demikian merupakan investasi yang besar untuk perjuangan keluar dari krisis dan menghadapi dunia global (E. Mulyasa, 2004: 4). Pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga, yakni secara sempit, luas dan alternatif (Redja Mulyahardjo, 2001: 3). Definisi pendidikan secara luas adalah mengartikan pendidikan sebagai hidup. Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam lingkungan dan sepanjang hidup (long life education). Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu. Secara simplistik pendidikan didefinisikan sebagai sekolah, yakni pengajaran yang dilaksanakan atau diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan terhadap anak dan remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan- hubungan dan tugas sosial mereka (Redja, 2001: 6). Secara alternatif pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan secara tepat di masa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar yang memiliki program-program dalam pendidikan formal, non-formal ataupun informal di sekolah yang berlangsung seumur hidup yang bertujuan mengoptimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan secara tepat (Redja, 2001: 11). Sedangkan pendidikan Islam secara khusus merupakan rangkaian usaha membimbing, mengarahkan potensi hidup manusia yang berupa kemampuan-kemampuan dasar dan belajar, sehingga terjadilah perubahan di dalam kehidupan pribadinya sebagai makhluk individual, sosial dan dalam hubungannya dengan alam sekitar berada dalam nilai Islam, yakni norma-norma syariah dan akhlak yang mulia (Al-Syaibani, 1979: 399). Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukkan warna pendidikan tertentu yang khusus, yaitu pendidikan yang bernuansa atau berwarna Islam (baca: pendidikan Islami). Pendidikan Islami yaitu pendidikan yang berdasarkan pada agama Islam (Ahmad Tafsir, 2005: 24). Pandangan para tokoh pendidikan tentang pendidikan Islam berbeda-beda, diantaranya Zakiyah Darajat (1992: 29), ia mengatakan bahwa pendidikan Islam diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan ajaran agama Islam dalam hubungannya dengan Allah dan dengan sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Dalam pendidikan Islam, peserta didik (murid) diharapkan bisa memahami dan mengembangkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam al-Qur'an dan Sunnah sebagai pedoman agama Islam. Nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran dan Sunnah yang merupakan dasar bagi materi pendidikan Islam mengingatkan akan kewajiban manusia secara vertikal-transendental (hablum minallah) dan horizontal (hablum minannas). Berangkat dari paradigma pendidikan Islam seperti itulah dunia pendidikan akan menciptakan sebuah toleransi antar sesama pendidik, pendidik-peserta didik dan antar sesama peserta didik. Nilai-nilai yang terkandung dalam materi pendidikan Islam merupakan pengejawantahan dari prinsip-prinsip pendidikan Islam yang dijabarkan lebih luas lagi dalam kurikulum. Diantara prinsip-prinsip pendidikan Islam adalah prinsip tauhid, prinsip integrasi, prinsip keseimbangan, prinsip keutamaan. Prinsip tauhid akan melahirkan tata nilai berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan secara metafisis maupun aksiologis Dia tertinggi (Abd. Halim, 2002: 71). Prinsip integrasi menginternalisasikan bahwa dunia ini merupakan sebuah jalan menuju kampung akhirat. Prinsip keseimbangan merupakan kesemestian hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan (Munzir, 2004: 24-26). Sedangkan prinsip keutamaan merupakan inti dari segala pendidikan. Dengan prinsip ini ditegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar proses mekanik melainkan proses yang mempunyai ruh dimana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan (Abd. Halim, 2002: 82). Mendiskusikan masalah pendidikan Islam tidak akan terlepas dari nilai atau norma. Permasalahan inilah yang akan dibahas dalam penelitian ini lebih jauh adalah masalah moral, yang dalam pendidikan Islam lebih dikenal dengan akhlak. Pelaksanaan pendidikan moral ini sangat penting, karena hampir seluruh masyarakat di dunia khususnya Indonesia sedang mengalami (dalam istilah sosiologi) patologi sosial yang amat kronis. Bahkan sebagian besar masyarakat kita tercerabut dari adat-istiadat ketimuran yang beradab, santun dan beragama. Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Quran, meliputi empat pengembangan fungsi manusia yaitu: (Arifin, 2000: 33- 38). a. Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam kehidupannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai Khalifah di muka bumi. b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat itu. Oleh karena itu manusia harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan masyarakat. c. Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu manusia sebagai Homo Divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya. d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya. Pengamat dan praktisi pendidikan sering mengkritik bahwa sistem pendidikan Indonesia lebih berorientasi pada pengisian kognisi yang eqivalen dengan peningkatan IQ (Intelegence Qoetiont) yang walaupun juga didalamnya terintegrasi pendidikan EQ (Emotional Quetiont). Oleh karenanya, perlu kiranya dalam pengembangan pendidikan moral ini eksistensi SQ (Spiritual Quetiont) yang merupakan tradisi spiritualitas yang tinggi harus terintegrasi dalam target peningkatan IQ dan EQ siswa. Untuk merespon gejala-gejala sosial yang muncul terlebih gejala kemerosotan moral, maka peningkatan dan intensitas pelaksanaan pendidikan moral yang merupakan bagian dari materi pendidikan Islam merupakan tugas yang sangat urgen dan harus selalu dilaksanakan secara gradual dan komprehensif serta dengan melibatkan semua unsur yang terkait dalam proses pembelajaran atau pendidikan. Tujuan pendidikan moral tidak semata-mata untuk menyiapkan peserta didik untuk menelan mentah-mentah konsep-konsep pendidikan moral, tetapi yang lebih penting adalah terbentuknya karakter yang baik, yaitu pribadi yang memiliki pengetahuan moral, peranan perasaan moral dan tindakan atau perilaku moral (Lickona, 1992: 53).
3. Kurikulum Pendidikan Kurikulum merupakan bagian integral dari komponen pokok sistem pendidikan. Secara simplistik, UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) telah memuat kurikulum sebagai bagian dari standar proses untuk satuan pendidikan yang telah ditetapkan lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas RI) No.41 tahun 2007 tentang standar proses untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Agustus 2008). Mulyasa (dalam Joko Susilo, 2007: 50) menyebutkan sedikitnya terdapat tujuh komponen sekolah yang harus dikelola dengan baik, yaitu: 1. Kurikulum dan program pengajaran; 2. Tenaga kependidikan; 3. Kesiswaan; 4. Keuangan; 5. Sarana dan prasarana pendidikan; 6. Pengelolaan hubungan sekolah dan masyarakat; 7. Manajemen pelayanan khusus lembaga pendidikan. Istilah kurikulum muncul pertama kali di bidang olahraga, berasal dari bahasa Latin: Curriculae, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut Ahmad Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish. Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan dua macam, yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan. Pengertian di atas mengindikasikan paham pada waktu itu bahwa kurikulum adalah jangka waktu pendidikan yang harus ditempuh oleh siswa yang bertujuan untuk memperoleh ijazah, sehingga cenderung legal oriented, karena dengan menempuh suatu kurikulum siswa dapat memperoleh ijazah. Secara eksplisit, Oliva (dalam Joko Susilo, 2007: 80) mendefinisikan kurikulum sebagai berikut: Curriculum is that which is taught in school, is a set of subject, is content, is a program studies, is a set of materials, is a course of study, is a sequence of courses, is a set of performance objective, is everything that goes on within the school, including extra class activities, guidance, and interpersonal relationships, is that which is taught both inside and outside of school directed by the school, is everything that is planned by school personal, is a series of experiences undergone by learners in school and is that which an individual learner experiences as a result of schooling.
Definisi di atas tidak hanya mengidentifikasi kurikulum sebagai kegiatan yang berpusat di sekolah, melainkan juga seluruh aspek kegiatan di luar sekolah yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar serta hasil pendidikan yang diterima di sekolah. Oleh karenanya, kurikulum juga merupakan suatu rencana yang memberi pedoman atau pegangan dalam proses kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut Albert I. Oliver mengatakan bahwa curriculum with the educational program and divided it into four basic element: (1) the program of study, (2) the program of experiences, (3) the program of service, and (4) the hidden curriculum (Joko Susilo, 2007: 51). Dengan demikian, pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan kurikulum. Bahwa program pendidikan secara bersamaan dengan kurikulum membutuhkan beberapa program sebagai elemen dasar. Kurikulum secara praksis adalah apa yang dialami oleh siswa- siswa ketika berada di dalam kelas. Oleh karenanya guru sebagai pendidik yang terjun langsung dalam masalah-masalah pengajaran mempunyai kesempatan yang paling signifikan dalam menjalankan kurikulum. Secara fungsional kurikulum sebagai suatu proses mempunyai fungsi. Beauchamp dalam Joko Susilo (2007: 83) menggambarkan terdapat tujuh macam fungsi kurikulum, yaitu: 1. the choice of arena for curriculum decision making, 2. the selection and involvement of person in curriculum planning, 3. organization for and techniques used in curriculum planning, 4. actual writing of a curriculum, 5. implementing the curriculum, 6. evaluation the curriculum, and 7. providing for feedback and modification of the curriculum. Dari beberapa definisi dan fungsi di atas dapat diringkas fungsi kurikulum secara umum sebagai berikut: a. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Bahwa kurikulum merupakan suatu alat atau usaha untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan yang dianggap cukup tepat dan penting untuk dicapai. b. Fungsi Kurikulum bagi anak atau pesera didik. Kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun yang disiapkan untuk siswa sebagai salah satu konsumsi bagi pendidikan mereka. Dengan begitu diharapkan mereka akan mendapat sejumlah pengalaman baru yang kelak kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak. c. Fungsi kurikulum bagi guru. Ada tiga macam, yaitu: (a). sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisir pengalaman belajar bagi anak didik. (b). sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak dalam rangka menyerap sejumlah pengalaman yang diberikan. (c). sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pendidikan dan pengajaran. d. Fungsi kurikulum bagi orang tua murid. Bagaimanapun orang tua dapat turut serta membantu usaha sekolah dalam memajukan putra- putrinya. Oleh karenanya, orang tua dapat memberikan bantuan melalui konsultasi langsung dengan sekolah, guru dan sebagainya. e. Fungsi kurikulum bagi sekolah. Setidaknya ada dua jenis berkaitan dengan fungsi ini yaitu pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan dan penyiapan tenaga guru. Dengan demikian fungsi kurikulum mencakup seluruh aspek dan elemen pendidikan. Karena dengan kurikulum suatu proses belajar mengajar dapat menjalankan pedomannya serta memberikan arahan yang jelas terhadap pendidik. Pada sisi lain, komponen kurikulum juga menjadi elemen bagi penyusunan kurikulum. Komponen-komponen tersebut secara integral harus mengandung isi yang substantif sesuai dengan kebutuhan pada lembaga pendidikan. Diantara komponen kurikulum yaitu, 1). Tujuan, 2). bahan pelajaran, 3). proses belajar mengajar, 4). Evaluasi dan penilaian (Nasution, 2003). Masing-masing komponen sangat bertalian erat, jadi secara ringkas tujuan bertalian dengan bahan pelajaran, proses belajar-mengajar, dan penilaian. Kesalingterkaitan komponen-komponen tersebut dapat digambarkan dalam bagan berikut:
Dari bagan di atas nampak jelas bahwa semua komponen mempunyai interrelasi, saling berhubungan antara komponen satu dengan yang lainnya. Dari setiap proses keterpaduan komponen tersebut akan mengarahkan kurikulum kepada perkembangannya sesuai kebutuhan lembaga pendidikan dan masyarakat. Pengembangan kurikulum disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk: belajar untuk beriman dan bertakwa Tujuan Penilaian Bahan Pelajaran Proses Belajar-Mengajar kepada Tuhan Yang Maha Esa, belajar untuk memahami dan menghayati, belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan.
F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini secara garis besar menggunakan : 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka atau library research, yaitu model penelitian yang (datanya diperoleh) dilakukan terhadap informasi yang didokumentasikan dalam bentuk tulisan baik dalam bentuk buku, jurnal, paper, tulisan lepas, internet, annual report dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan dibahas (Arikunto, 2005: 244). Penelitian ini bersifat deskriptif eksploratif (menggali). Metode deskriptif eksploratif sendiri merupakan pengembangan dari metode deskriptif, yakni metode yang mendeskripsikan gagasan-gagasan yang telah dituangkan dalam bentuk media cetak baik yang berupa naskah primer maupun naskah sekunder untuk kemudian dikembangkan. Fokus penelitian deskriptif eksploratif adalah berusaha untuk mendeskripsikan, membahas dan menggali gagasan-gagasan pokok yang selanjutnya di tarik pada satu kasus baru. Dalam hal ini ide pokok yang menjadi dasar penelitian adalah konsep pendidikan antikorupsi sebagai strategi pencegahan korupsi melalui sektor pendidikan formal.
2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku- buku, jurnal ilmiah, artikel-artikel, paper, tulisan lepas, internet, annual report, produk hukum dan bentuk dokumen tulisan lainnya yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian serta memiliki akurasi dengan fokus permasalahan yang akan dibahas yang relevan dengan pembahasan penelitian ini. Untuk memudahkan, dalam penelitian ini peneliti membagi sumber data menjadi dua bentuk: pertama, sumber data utama (primer) yaitu data- data yang berkaitan langsung dengan teori-teori (kurikulum) pendidikan Islam dan pendidikan antikorupsi (Suharsimi, 1998: 114). Buku-buku yang berkaitan dengan pendidikan antikorupsi dan (kurikulum) pendidikan Islam yang dijadikan sebagai sumber data primer adalah : a. Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2003. b. Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP), 2006. c. Ahmad Fawaid, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006. d. Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. e. Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008. Kedua, data sekunder, yaitu data yang tidak secara langsung terkait dengan penelitian. Data ini berupa data-data pengalaman beberapa negara dalam melaksanakan konsep pendidikan antikorupsi sebagai upaya pencegahan korupsi, data-data perkembangan korupsi di Indonesia serta penelitian-penelitian terdahulu dalam kaitan penerapan pendidikan antikorupsi, serta dokumen kurikulum nasional (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP) dan produk-produk hukum.
3. Metode Pengumpulan Data Karena jenis penelitian ini adalah penelitian literer dan bersifat deskriptif eksplorarif dan sumber yang digunakan adalah buku-buku, maka metode pengumpulan datanya menggunakan cara menelaah buku, dengan cara memperoleh keterangan-keterangan mengenai suatu obyek pembahasan. Teknik dan alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik penelitian pustaka (library research methode), yaitu kegiatan mempelajari dan mengumpulkan data tertulis untuk menunjang penelitian (Moleong, 2002: 3). Data yang dikumpulkan berupa literatur yang berhubungan dengan topik permasalahan penelitian, baik dalam bentuk buku, work paper, jurnal, annual report, draf perencanaan, master plan, makalah seminar, artikel majalah, ensiklopedia, kamus, website dan sebagainya.
4. Metode Analisis Data Analisis data bertujuan untuk mengelompokan, membuat sistematika dan mengorganisasikan data sehingga dapat dibaca dan dipahami oleh orang lain (Amirul dan Haryono, 1998; 14). Analisis data peneliti lakukan dengan menganalisis data dari buku- buku yang diperoleh dengan cara membaca, menggunakan kerangka berfikir induktif, yaitu pola pikir yang bertolak dari pengamatan atas hal- hal atau kasus-kasus kemudian menarik kesimpulan, yang digambarkan secara kwalitatif (Amirul dan Haryono, 1998: 14). Berangkat dari kerangka umum tentang korupsi, kemudian digunakan untuk menganalisis konsep pendidikan antikorupsi dengan perspektif pendidikan Islam. 5. Pendekatan Sesuai dengan topik yang akan dibahas dan dikaji dalam skripsi ini, maka penelitian ini mempergunakan pendekatan sosio-filosofis. Pendekatan sosiologis digunakan dalam membahas wacana dan fenomena sosial yang menjadi permasalahan dalam pembahasan penelitian ini, serta melihat pengalaman (empiric) beberapa negara yang menerapkan pendidikan antikorupsi. Sedangkan pendekatan filosofis digunakan untuk menganalisis konsep-konsep pendidikan yang terkait dengan penelitian ini.
G. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah dalam pembahasan dan penelaahan penelitian ini, maka peneliti membuat rancangan secara sistematis yang akan ditulis menjadi lima bagian dan masing-masing bagian sebagai bab dengan sistematika sebagai berikut: Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka koseptual, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab dua, pada bab ini mengemukakan mengenai gambaran umum korupsi, yang meliputi: definisi korupsi, model-model korupsi, sebab-sebab korupsi, perkembangan kasus korupsi serta penyelesaian kasus-kasus korupsi. Bab tiga, berisi pembahasan tentang nilai-nilai antikorupsi dalam pendidikan Islam, yaitu meliputi: korupsi menurut perspektif Islam, Nilai-nilai yang diselewengkan dalam kasus korupsi, konsep pendidikan antikorupsi serta model pendidikan antikorupsi di beberapa negara. Bab empat, berisi pembahasan inti tentang tinjauan normatif aspek kurikulum pendidikan agama Islam terhadap pendidikan antikorupsi. Pembahasan tersebut meliputi: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, prinsip-prinsip pengembangan kurikulum, pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi, serta model pendidikan antikorupsi integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam. Bab lima, merupakan bab penutup, dalam bab ini berisi kesimpulan dari semua pembahasan yang ada, saran-saran dari peneliti, serta penutup.
BAB II GAMBARAN UMUM KORUPSI
A. Definisi Korupsi Dalam sejarah tercatat bahwa korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia, dimana organisasi kemasyarakatan yang rumit mulai muncul. Kepustakaan lain mencatat korupsi sudah berlangsung sejak zaman Mesir kuno, Babilonia, Roma, sampai pada abad pertengahan, hingga sekarang. Pada zaman Romawi korupsi dilakukan oleh para jenderal dengan cara memeras daerah jajahannya, untuk memperkaya dirinya sendiri. Pada abad pertengahan para bangsawan istana kerajaan juga melakukan praktek korupsi. Pendek kata, korupsi yang merupakan benalu sosial dan masalah besar sudah berlangsung dan tercatat di dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani, India, Cina, Yunani, dan Romawi kuno (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 277). Korupsi memang merupakan istilah modern, tetapi wujud dari tindakan korupsi itu sendiri ternyata telah ada sejak lama. Sekitar dua ribu tahun yang lalu, seorang Indian yang menjabat semacam perdana menteri, telah menulis buku berjudul Arthashastra yang membahas masalah korupsi di masa itu (Ahmad Fawaid & Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 1). Dalam literatur Islam, pada abad ke-7 Nabi Muhammad SAW. juga telah memperingatkan sahabatnya untuk meninggalkan segala bentuk tindakan yang merugikan orang lain yang kemudian dikenal sebagai bagian dari korupsi. Korupsi dan koruptor sesuai dengan bahasa aslinya bersumber dari bahasa latin corruptus, yakni berubah dari kondisi yang adil, benar dan jujur menjadi kondisi yang sebaliknya (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 28). Corruptio dari kata kerja corrumpere, yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, menyogok, orang yang dirusak, dipikat, atau disuap (Ridwan Nasir, [Ed.], 2006: 281-282). Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies, mendefinisikan korupsi sebagai behavior of public officials with deviates from accepted norms in order to serve private ends (1968: 59). Melihat dari definisi tersebut jelas bahwa korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut perilaku manusia (behavior) yang menjadi bahasan utama serta norma (norms) yang diterima dan dianut masyarakat. Definisi korupsi di atas mengidentifikasikan adanya penyimpangan dari pegawai publik (public officials) dari norma-norma yang diterima dan dianut masyarakat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi (serve private ends). Senada dengan Azyumardi Azra mengutip pendapat Syed Husein Alatas yang lebih luas: Corruption is abuse of trust in the interest of private gain, Korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 10). Masyarakat pada umumnya menggunakan istilah korupsi untuk merujuk kepada serangkaian tindakan-tindakan terlarang atau melawan hukum dalam rangka mendapatkan keuntungan dengan merugikan orang lain. Hal yang paling mengidentikkan perilaku korupsi bagi masyarakat umum adalah penekanan pada penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik untuk keuntungan pribadi. Dalam Kamus Lengkap Oxford (The Oxford Unabridged Dictionary) korupsi didefinisikan sebagai penyimpangan atau perusakan integritas dalam pelaksanaan tugas-tugas publik dengan penyuapan atau balas jasa. Sedangkan pengertian ringkas yang dipergunakan World Bank adalah penyalahgunaan jabatan publik untuk keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain). Definisi ini juga serupa dengan yang dipergunakan oleh Transparency International (TI), yaitu korupsi melibatkan perilaku oleh pegawai di sektor publik, baik politikus atau pegawai negeri, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri, atau yang dekat dengan mereka, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Ahmad Fawaid & Sultonul Huda [Ed.]; 2006: 24). Definisi lengkap menurut Asian Development Bank (ADB) adalah korupsi melibatkan perilaku oleh sebagian pegawai sektor publik dan swasta, dimana mereka dengan tidak pantas dan melawan hukum memperkaya diri mereka sendiri dan atau orang-orang yang dekat dengan mereka, atau membujuk orang lain untuk melakukan hal-hal tersebut, dengan menyalahgunakan jabatan dimana mereka ditempatkan. Sedangkan Bazwir (2002)mengutip Braz dalam Lubis dan Scott menengarai bahwa korupsi dapat didefinisikan dengan berbagai cara. Namun demikian, bila dikaji secara mendalam dan eksplisit, dapat diketahui bahwa hampir semua definisi korupsi mengandung dua unsur didalamnya: Pertama, penyalahgunaan kekuasaan yang melampaui batasan kewajaran hukum oleh para pejabat atau aparatur negara; dan Kedua, pengutamaan kepentingan pribadi atau klien di atas kepentingan publik oleh para pejabat atau aparatur negara yang bersangkutan. Dengan melihat beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara implisit adalah menyalahgunakan kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum. Dari beberpa definisi tersebut juga terdapat beberapa unsur yang melekat pada korupsi. Pertama, tindakan mengambil, menyembunyikan, menggelapkan harta negara atau masyarakat. Kedua, melawan norma-norma yang sah dan berlaku. Ketiga, penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang atau amanah yang ada pada dirinya. Keempat, demi kepentingan diri sendiri, keluarga, kerabat, korporasi atau lembaga instansi tertentu. Kelima, merugikan pihak lain, baik masyarakat maupun negara. Upaya pemberantasan korupsi adalah bagian dari akuntabilitas sosial, dalam artian bukan hanya tanggung jawab milik pemerintah dan lembaga lainnya. Akan tetapi peran serta masyarakat adalah yang paling urgen dalam mencegah dan memberantas korupsi. Oleh karenya, perlu ada paradigma baru (new pardigm) yang merupakan perubahan paradigma (shifting paradigm) ke arah yang lebih baik dan komprehensif dalam memahami upaya pemberantasan korupsi. Diantara penyebab kurangnya mobilitas peran masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi dikarenakan ketidak tahuan tentang makna, hakikat dan kategorisasi korupsi, yang semakin berkembang dan rumit. Secara lughowiyah (kebahasaan), definisi korupsi memiliki makna yang jelas dan tegas. Namun secara praktis makna korupsi berbeda antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga definisi korupsi selalu berkembang, baik secara normatif maupun secara sosiologis. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim riset Koalisi Antarumat Beragama untuk Antikorupsi (Rahman, 2004). Dalam riset ini dijelaskan bahwa problem utama yang muncul belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi, hakikat korupsi pun secara struktural belum dipahami secara jelas. Tabel 1 Pemahaman Korupsi Dalam Definisi Praktis
RESPON No Varian Definisi Termasuk Korupsi Tidak termasuk Korupsi 1.
2.
3.
4.
Seorang peserta rapat yang datang terlambat
Dosen mengakhiri kuliah sebelum waktunya
Pejabat menggunakan mobil plat merah untuk acara pribadi
Mahasiswa memberi hadiah kepada dosen untuk menaikkan skor ujian 57,3%
67,5%
33,8%
33,2%
42,7%
32,5%
66,2%
66,8%
5.
6.
7.
8.
9.
Mengurangi komposisi bahan bangunan untuk mengambil untung
Mengambil sebagian dana yang dipercayakan tanpa melaporkan pada pihak yang bersangkutan
Mengutip dana tertentu sebagai syarat di luar regulasi
Merekruit karyawan berdasar asas kekeluargaan
Majelis ulama menentukan Hari Raya sesuai dengan hari yang ditentukan sponsor penyelenggara acara tertentu
Secara simplistik dapat dilihat dari data-data tersebut bahwa problem mendasar dari korupsi adalah belum terpetakannya istilah-istilah dan artikulasi definitif tentang korupsi yang sesungguhnya. Korupsi dipahami sebagian orang dalam kerangka definisi yang sederhana saja. Contoh lain adanya perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak adalah pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain. Oleh karenanya, dalam langkah awal memberantas korupsi penting kiranya untuk mencari definisi operasional-praktis yang dapat dikategorikan sebagai perilaku korupsi. Untuk mencapai definisi korupsi yang lebih operasional, beberapa riset telah mencoba mengklasifikasikan bentuk-bentuk korupsi dalam pengertian yang lebih aktual. Salah satu hasil riset yang diungkapkan disini, yaitu tesis Ph.D yang dilakukan oleh Inge Amundsen tentang fenomena korupsi di Senegal, Afrika. Menurut Amundsen, bentuk-bentuk korupsi diantaranya adalah tindakan penyuapan (bribery), penipuan atau penggelapan (embezzlement and fraud), dan pemerasan; lintah darat (extortion) (Andvig, et. al., 2000). Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo.UU No. 20 Tahun 2001. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan kedalam tiga puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang dapat dikelompokkan; kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, gratifikasi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi (KPK, 2006: 19-20). Dalam UU No. 20 Tahun 2001 terdapat pengertian bahwa korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Ada sembilan tindakan kategori korupsi dalam UU tersebut, yaitu: suap, illegal profit, secret transaction, hadiah, hibah (pemberian), penggelapan, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan jabatan dan wewenang serta fasilitas negara. Korupsi dengan berbagai modusnya telah terbukti menyengsarakan rakyat. Salah seorang budayawan bahkan mengatakan bahwa korupsi sebenarnya lebih porno dari pada pornografi itu sendiri.
B. Model-model Korupsi Tindak pidana korupsi dalam berbagai bentuk mencakup pemerasan, penyuapan dan gratifikasi pada dasarnya telah terjadi sejak lama dengan pelaku mulai dari pejabat negara sampai pegawai yang paling rendah. Korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama yang dilakukan oleh aparatur pemerintah sudah mulai dilakukan secara sistematis baik oleh perorangan maupun berkelompok (berjamaah), serta semakin meluas dan semakin canggih dalam proses pelaksanaannya. Korupsi ini semakin memprihatinkan bila terjadi dalam aspek pelayanan yang berkaitan dengan sektor publik, mengingat tugas dan kewajiban utama dari aparat pemerintah adalah memberikan pelayanan kepada publik atau masyarakat. Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara. Untuk mencabut akar permasalahan sumber terjadinya korupsi di sektor publik, perlu didefinisikan pula sifat atau model dari korupsi dan dilakukan pengukuran secara komprehensif dan berkesinambungan. Untuk dapat mendefinisikan model korupsi, dimulai dengan melakukan pengukuran secara obyektif dan komprehensif dalam mengidentifikasi jenis korupsi, tingkat korupsi dan perkembangan korupsi dan menganalisa bagaimana korupsi bisa terjadi dan bagaimana kondisi korupsi saat ini. Seiring dengan perkembangan jaman dan budaya masyarakat korupsi pun ikut tumbuh sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk, model atau jenis yang beragam. Banyak para pakar yang telah mencoba mengelompokkan jenis-jenis atau model-model korupsi. Dari beberapa definisi yang telah disebutkan di atas, dapat diringkas secara umum bentuk-bentuk, karakteristik atau ciri-ciri, dan unsur-unsur (dari sudut pandang hukum) korupsi sebagai berikut : a. Penyuapan (bribery) mencakup tindakan memberi dan menerima suap, baik berupa uang maupun barang. b. Embezzlement, merupakan tindakan penipuan dan pencurian sumber daya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang mengelola sumber daya tersebut, baik berupa dana publik atau sumber daya alam tertentu. c. Fraud, merupakan suatu tindakan kejahatan ekonomi yang melibatkan penipuan (trickery or swindle). Termasuk didalamnya proses manipulasi atau mendistorsi informasi dan fakta dengan tujuan mengambil keuntungan-keuntungan tertentu. d. Extortion, tindakan meminta uang atau sumber daya lainnya dengan cara paksa atau disertai dengan intimidasi-intimidasi tertentu oleh pihak yang memiliki kekuasaan. Lazimnya dilakukan oleh mafia-mafia lokal dan regional. e. Favouritism, adalah mekanisme penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada tindakan privatisasi sumber daya. f. Melanggar hukum yang berlaku dan merugikan negara. g. Serba kerahasiaan, meskipun dilakukan secara kolektif atau korupsi berjamaah. Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi. Pertama, korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa. Kedua, korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya. Ketiga, korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya. Keempat, korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 18). Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah: pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang. Jeremy Pope (2007: xxvi) mengutip dari Gerald E. Caiden dalam Toward a General Theory of Official Corruption menguraikan secara rinci bentuk-bentuk korupsi yang umum dikenal, yaitu: 1. Berkhianat, subversif, transaksi luar negeri ilegal, penyelundupan. 2. Penggelapan barang milik lembaga, swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri. 3. Penggunaan uang yang tidak tepat, pemalsuan dokumen dan penggelapan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, menyalahgunakan dana. 4. Penyalahgunaan wewenang, intimidasi, menyiksa, penganiayaan, memberi ampun dan grasi tidak pada tempatnya. 5. Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah, mencurangi dan memperdaya, memeras. 6. Mengabaikan keadilan, melanggar hukum, memberikan kesaksian palsu, menahan secara tidak sah, menjebak. 7. Tidak menjalankan tugas, desersi, hidup menempel pada orang lain seperti benalu. 8. Penyuapan dan penyogokan, memeras, mengutip pungutan, meminta komisi. 9. Menjegal pemilihan umum, memalsukan kartu suara, membagi-bagi wilayah pemilihan umum agar bisa unggul. 10. Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi; membuat laporan palsu. 11. Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemrintah. 12. Manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak, dan pinjaman uang. 13. Menghindari pajak, meraih laba berlebih-lebihan. 14. Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan. 15. Menerima hadiah, uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya. 16. Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap. 17. Perkoncoan, menutupi kejahatan. 18. Memata-matai secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos. 19. Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan, dan hak istimewa jabatan. Sedangkan menurut Aditjondro (2003: 22) secara aplikatif ada tiga model lapisan korupsi, yaitu: 1. Korupsi Lapis Pertama Penyuapan (bribery), yaitu dimana prakarsa datang dari pengusaha atau warga yang membutuhkan jasa dari birokrat atau petugas pelayanan publik, atau pembatalan kewajiban membayar denda ke kas negara, pemerasan (extortion) dimana prakarsa untuk meminta balas jasa datang dari birokrat atau petugas pelayanan publik lainnya.
2. Korupsi Lapis Kedua Jejaring korupsi (cabal) antara birokrat, politisi, aparat penegakan hukum dan perusahaan yang mendapat kedudukan yang istimewa. Biasanya ada ikatan yang nepotistis diantara beberapa anggota jejaring korupsi yang dapat berlingkup nasional. 3. Korupsi Lapis Ketiga Jejaring korupsi (cabal) berlingkup internasional, dimana kedudukan aparat penegakan hukum dalam model korupsi lapis kedua digantikan oleh lembaga-lembaga penghutang dan atau lembaga-lembaga internasional yang punya otoritas di bidang usaha maskapai-maskapai mancanegara yang produknya terpilih oleh pimpinan rezim yang jadi anggota jejaring korupsi internasional tersebut. Tiap tindakan korupsi pasti mengandung pengkhianatan kepercayaan dan penyimpangan. Lebih jauh lagi pengkhianatan kepercayaan ini bukan hanya terhadap kepercayaan dari publik atau masyarakat, melainkan juga kepercayaan dari Allah SWT. Yang telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Penyimpangan terhadap nilai-nilai yang diamanahkan kepada manusia sebagai khalifah diantaranya adalah nilai integritas, akuntabilitas (masuliyah), dan kepemimpinan. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik kulminasi korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali, dan yang terjadi koruptor teriak koruptor. Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Selain model-model korupsi seperti di atas, terdapat banyak ciri-ciri perilaku korupsi. Syed Hussein Alatas (1975: 46) menyebutkan ciri-ciri korupsi antara lain yaitu : a. Biasanya melibatkan lebih dari satu orang. b. Melibatkan keserbarahasiaan kecuali telah berurat berakar. c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik (tidak selalu uang). d. Pelaku biasanya berlindung di balik pembenaran hukum. e. Pelaku adalah orang yang mampu mempengaruhi keputusan. f. Mengandung penipuan kepada badan publik atau masyarakat umum. g. Pengkhianatan kepercayaan. h. Melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif. i. Melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban. j. Kepentingan umum di bawah kepentingan khusus.
C. Sebab-sebab Korupsi Secara umum, munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Kedua, motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari perilaku itu sendiri (Syamsul Anwar [Et.al], 2006: 13). Motivasi kedua ini seperti adanya alasan melakukan korupsi karena ekonomi, ambisi memperoleh jabatan tertentu, atau obsesi meningkatkan taraf hidup atau karir jabatan secara pintas. Dalam istilah lain juga disebutkan faktor korupsi terdiri dari faktor internal (dari dalam diri) dan faktor eksternal (dari luar diri). Faktor internal semisal sifat rakus terhadap harta, atau terbentur kebutuhan mendesak yang memicu seseorang melakukan korupsi. Sedangkan faktor eksternal seperti sistem pemerintahan yang memberikan peluang korupsi, lemahnya pengawasan-hukum, dan tidak adanya akuntabilitas. Alatas (1975: 46) menjelaskan beberapa hal yang menjadi penyebab korupsi yaitu: a. Ketiadaan atau kelemaham kepemimpinan dalam posisi kunci yang mempengaruhi tingkah laku menjinakkan korupsi. b. Kelemahan pengajaran agama dan etika. c. Konsumerisme dan globalisasi. d. Kurangnya pendidikan. e. Kemiskinan. f. Tidak adanya tindak hukuman yang keras. g. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi.
h. Struktur pemerintahan. i. Perubahan radikal atau transisi demokrasi. Korupsi juga sangat erat hubungannya dengan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika kekuasaan cenderung absolut dan represif maka kesempatan adanya praktik korupsi semakin besar. Tidak salah bila Lord Acton mengatakan, power corrupts, and absolute power corrupts absolutely. Semakin mutlak kekuasaan, semakin besar pula kesempatan korupsi (Tempo; Juli 2008). Secara eksplisit, terjadinya korupsi setidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, corruption by greed (keserakahan). Korupsi ini terjadi pada orang yang sebenarnya tidak butuh atau bahkan sudah kaya. Namun karena mental serakah dan rakus menyebabkan mereka terlibat korupsi. Kasus korupsi karena keserakahan inilah yang banyak terjadi di lingkungan pejabat tinggi negara. Kedua, corruption by need (kebutuhan). Korupsi ini disebabkan karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic need). Korupsi ini banyak dilakukan oleh karyawan atau pegawai kecil, polisi atau prajurit rendah dan lain-lain. Ketiga, corruption by chance (peluang). Korupsi ini dilakukan jelas karena adanya peluang yang besar untuk berbuat korup, peluang besar untuk cepat kaya secara pintas, peluang naik jabatan secara instan, dan sebagainya. Biasanya ini didukung dengan lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntabilitas publik, serta lemahnya hukum yang tidak membuat jera. Seringkali korupsi dalam kenyataannya justeru diberi kesempatan dan diberi peluang sehingga menggoda para pejabat atau pemegang amanah untuk berbuat korup seperti menerima suap. Dari segi behaviour, problem utama tindak perilaku korupsi sangat berhubungan erat dengan sikap dan perilaku. Sedangkan secara sosiologis, latar belakang terjadinya korupsi pun dapat dilihat dari beberapa aspek (Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 44), yaitu: 1. Masyarakat tidak memiliki gambaran jelas tentang jenis dan bentuk yang dianggap sebagai tindak korupsi. 2. Ajaran-ajaran keagamaan di Indonesia kurang memberikan petunjuk yang kuat tentang korupsi dalam perspektif moral. 3. Para pemimpin elit masyarakat tidak mengkampanyekan gerakan antikorupsi secara intens. 4. Tidak ada kurikulum etika dan standard metodik tentang bagaimana cara membangun kesadaran warga negara terhadap problem korupsi. Masyarakat kurang memiliki pengetahuan tentang bagaimana cara melaporkan kasus korupsi yang merugikan kepentingan publik. 5. Terjadi banyak pembenaran perilaku korupsi, asal bermanfaat untuk kepentingan lain (kelompok, agama, suku, dan sebagainya). Lebih lanjut Alatas (1986) mendeskripsikan beberapa faktor penyebab terjadinya korupsi, antara lain: problem kepemimpinan, problem pengajaran agama dan etika, latar belakang sejarah (kolonialisme), kualitas pendidikan yang rendah, faktor kemiskinan dan gaji yang rendah, penegakkan hukum yang lemah dan buruk, sistem kontrol yang tidak efektif, struktur dan sistem pemerintahan. Eksplisitas penyebab terjadinya korupsi secara universal juga dikarenakan: lemahnya pengalaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari- hari, struktur pemerintahan atau kepemimpinan organisasi (baik profit maupun non profit) yang bersifat tertutup (tidak transparan) dan cenderung otoriter, kurang berfungsinya lembaga perwakilan rakyat sebagai kekuatan penyeimbang bagi eksekutif, tidak berfungsinya lembaga pengawasan dan penegakan hukum serta sanksi hukum yang tidak menjerakan bagi pelaku korupsi, minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan sehari-hari, rendahnya upah pegawai atau karyawan yang berakibat rendahnya tingkat kesejahteraan. Hal yang tak kalah pentingnya juga untuk dapat mencegah secara efektif terjadinya korupsi adalah hendaknya dihindari pengukuran korupsi yang semata-mata bertujuan untuk mendeteksi pelaku korupsi dan menghukumnya. Penting untuk mulai menempatkan strategi pencegahan korupsi dengan tujuan untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi sejak dini. Dalam menetapkan strategi pencegahan korupsi, perlu diidentifikasi dan dianalisa faktor-faktor yang menjadi akar penyebab yang berkontribusi menimbulkan korupsi pada lembaga publik dan layanan publiknya. Semua sebab-sebab di atas terkadang menyatu. Dengan kata lain, seorang koruptor disamping mentalnya serakah, dipicu oleh kebutuhan dasar ekonomi yang tinggi, juga ditunjang adanya peluang untuk melakukan korupsi.
D. Perkembangan Kasus Korupsi Korupsi merupakan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan yang bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Virus mahadahsyat ini bisa menjangkiti siapa saja, dimana saja, negara mana saja, dan kapan saja. Oleh karenanya, ia tidak mengenal latar belakang Suku, Agama, Ras, dan Aliran (SARA). Berbagai data dan fakta di lapangan membuktikan betapa korupsi meruntuhkan nilai-nilai hak asasi manusia secara universal. Kwik Kian Gie mengatakan korupsi adalah akar semua masalah. Itulah sebabnya, butuh cara pandang yang sama dari siapa saja dengan menempatkan korupsi sebagai masalah bersama (Tempo; Juli 2008). Reformasi birokrasi sebagai salah satu parameter keberhasilan pemberantasan korupsi belum mengalami peningkatan secara signifikan. Indikator untuk mengukur hal tersebut setidaknya bisa dilihat dari data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency International. Tabel 2 Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2003-2006
Skor IPK (CPI Score) NEGARA (Country) 2003 2004 2005 2006 Singapore 9.1 9.3 9.1 9.1 Hongkong 8.0 8.0 8.3 8.3 Japan 7.0 6.9 7.3 7.6 Taiwan 5.7 5.6 5.9 5.9 South Korea 4.3 4.5 5.0 5.1 Malaysia 5.2 5.0 5.1 5.0 Thailand 3.3 3.6 3.8 3.8 China 3.4 3.4 3.2 3.3 India 2.8 2.8 2.9 3.3 Sri Lanka 9.1 9.3 9.1 9.1 Philipines 2.5 2.6 2.5 2.5 Indonesia 1.9 2.0 2.2 2.4 Papua New Guines 2.1 2.6 2.3 2.4 Pakistan 2.5 2.1 2.1 2.2 Kamboja --- --- --- --- Bangladesh 1.3 1.5 1.7 2.0 Myanmar 1.6 1.7 1.8 1.9
Sumber : Annual Report KPK 2006 (www.kpk.go.id, tanggal 23 Maret 2008)
Pada tahun 2007, IPK Indonesia turun menjadi 2.3 dan tahun 2008 IPK Indonesia 2,6 . Rendahnya IPK Indonesia ini antara lain disebabkan tidak diterapkannya prinsip-prinsip good governance dalam praktik tata kelola pemerintahan pada umumnya dan dalam praktik pelayanan publik pada khususnya. Beberapa gebrakan dan upaya untuk terus meningkatkan pemberantasan korupsi telah dilakukan. Berbagai kelembagaan antikorupsi telah lahir. Mulai dari dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaraan Negara (KPKPN) pada tahun 1999 berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Terakhir, lahirnya lembaga independen khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi untuk melakukan penyidikan terhadap praktik korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember 2003. Dasar pembentukan KPK adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi amanat melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPK) secara profesional, intensif dan berkesinambungan untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Lembaga-lembaga sejenis juga didirikan seperti Komisi Ombudsman, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor), dan Komisi Kejaksaan yang diharapkan dapat memperkecil peluang terjadinya korupsi. Sejak lahirnya KPK masyarakat pun sudah mulai antusias dengan pemberantasan korupsi. Masyarakat mulai semangat menggelorakan gerakan untuk melawan korupsi, yang semula kepercayaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi berada pada titik terendah ketika orde baru berkuasa. Perkembangan kasus-kasus korupsi terus bermunculan dari hari ke hari. Hal ini dapat dirasakan oleh masyarakat dan terlihat secara langsusng dari media. Dalam Annual Report KPK pada tahun 2007 saja misalnya, dilihat dari jumlah keuangan yakni jumlah uang yang berhasil diselamatkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yaitu putusan terhadap uang rampasan, uang pengganti dan denda sebesar: Rp. 119.976.472.962,00. Adapun yang berhasil disetorkan ke Kas Negara adalah sebesar : Rp. 45.513.032.038,00. Banyaknya jumlah keuangan negara yang dirugikan akibat tindak korupsi menimbulkan kegeraman bagi masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi merasa apatis terhadap gerakan pemberantasan korupsi. Data lain menunjukkan angka yang lebih tinggi dari keuangan akibat korupsi. Tabel Pengembalian Korupsi Uang yang harus dikembalikan : Rp. 11, 03 triliun Belum dapat dikembalikan : Rp. 6,9 triliun Berhasil ditagih : Rp. 4,1 triliun Sumber: ICW (Republika, 8 April 2008)
E. Penyelesaian Kasus-kasus Korupsi Gerakan pemberantasan korupsi yang digawangi oleh KPK semakin berkembang dalam tahun 2007. Aparat penegak hukum seolah berlomba dalam memburu para koruptor. Media massa pun terlibat aktif dalam menggelorakan gerakan antikorupsi. Pada tahun 2007 tercatat banyak koruptor kelas kakap berhasil ditahan. Baik dari sisi nilai kerugian negaranya maupun dari sisi ketokohannya. Seperti diantaranya anggota Komisi Yudisial, anggota DPR, bahkan mantan Direktur Utama BUMN dan BI dengan asset triliunan berhasil ditangkap. Pada tahun 2008 ini, kasus-kasus korupsi baik yang lama maupun baru kembali terungkap. Bahkan sejumlah pejabat Negara baik legislatif maupun yudikatif banyak yang terseret. Seperti para anggota DPR dan para jaksa. Kasus-kasus tersebut lebih banyak bersifat suap yang dilakukan guna memuluskan proyek-proyek tertentu dan atau untuk kasus-kasus besar seperti kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Di sisi lain, hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh gelombang pemberantasan korupsi di negara-negara lain. Pada tingkatan dunia internasional ditandai dengan pengesahan Konvensi perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) Menentang Korupsi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) pada tanggal 9 Desember 2003 di Merida, Meksiko. Sedikitnya 137 negara ikut menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Kehadiran konvensi antikorupsi tersebut menandai diakuinya korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Bahkan, dalam Konferensi Asosiasi International Otoritas Pemberantasan Korupsi (International Association of Anti-Corruption Authorities, IAACA) di Beijing, 25 oktober 2006, disepakati bahwa korupsi merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime). Namun demikian, upaya pemberantasan korupsi yang telah banyak dilakukan masih berkutat pada upaya pemberantasan an sich. Upaya pemberantasan tersebut harus dimbangi dengan upaya pencegahan. Oleh karenanya, dalam penelitian ini akan membahas salah satu upaya pencegahan korupsi melalui jalur pendidikan. Ada dua cara dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Pertama, melalui langkah represif (penindakan), dimana aparat penegak hukum menjadi penggerak dalam memberantas korupsi. Kedua, melalui langkah preventif (pencegahan). Diantaranya upaya perbaikan sistem birokrasi, dan yang paling penting adalah penyemaian bibit-bibit antikorupsi melalui jalur pendidikan. Penanaman nilai-nilai antikorupsi akan melahirkan generasi antikorupsi di masa yang akan datang. Keduanya harus dilakukan secara simultan dengan kecepatan yang seimbang. Hal itu dilandasi dengan prinsip bahwa betapa pun para koruptor yang berhasil ditangkap dan dipenjara tanpa ada upaya pencegahan tindak pidana korupsi pekerjaan berat itu akan menjadi sia-sia. Sebab tunas-tunas koruptor yang baru akan muncul kembali. Menciptakan generasi baru yang antikorupsi merupakan sasaran dari langkah preventif untuk membantu mewujudkan negara yang bebas dari korupsi. Gerakan antikorupsi melalui jalur pendidikan merupakan langkah awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang lebih baik dari sejak usia muda dengan membangun karakter termasuk pembentukan sikap disiplin. Bila dilihat dalam konteks pendidikan, tindakan untuk mengendalikan atau mengurangi korupsi adalah keseluruhan upaya untuk mendorong generasi-generasi mendatang mengembangkan sikap menolak secara tegas setiap bentuk tindak korupsi. Perubahan dari sikap membiarkan dan menerima ke sikap tegas menolak korupsi, tidak pernah terjadi jika kita tidak secara sadar membina kemampuan generasi mendatang untuk memperbarui sistem nilai yang diwarisi, sesuai dengan tuntutan yang muncul dalam setiap tahap perjalanan bangsa. BAB III NILAI-NILAI ANTIKORUPSI DALAM PENDIDIKAN ISLAM
B. Korupsi Menurut Perspektif Islam Sebagai agama yang sempurna dan universal, Islam tidak hanya mengatur hubungan antara makhluk dengan sang Khalik (hablum minallah), tetapi juga mengatur hubungan antar sesama makhluk (hablum minannas), serta hubungan manusia dengan alam (hablum minal alam). Oleh karenanya, Islam mengajarkan secara komprehensif beberapa prinsip agar hubungan antar manusia menjadi harmonis dan beradab. Lebih jauh, Islam melalui kitab suci al-Quran telah memerintahkan kepada seluruh umat Islam untuk menjalankan ajaran Islam secara keseluruhan. Hal tersebut mengandung unsur universalitas Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Sebagaimana statemen dalam al-Quran menyatakan: !! %! ` => =.9 !2 `-,.. VL> L:9 | 69 s , Artinya: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (Q. S. Al-baqarah/2: 208)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terjadinya korupsi dikarenakan para pelaku tidak menjalankan Islam secara keseluruhan. Terlebih dalam hal materi yang sangat dianjurkan oleh Islam untuk tidak berlebih- lebihan (Q. S. Al-Araf/7: 31). Lalu berbagai asumsi pun muncul, bagaimana sebetulnya Islam menyikapi hakikat dan problematika korupsi. Dalam kasus-kasus korupsi, sesungguhnya para pelakunya tak hanya mengkorupsi uang, tetapi lebih dari itu ia telah melakukan korupsi moral. Sebab, dengan perilaku korupnya, ia sesungguhnya telah melakukan destruksi dan kontaminasi atas keluhuran nilai-nilai moral dan hati nurani yang diwariskan para pendahulu yang luhur budi (Yunahar Ilyas, 2001:15). Korupsi juga merupakan wujud prahara sosial. Sebagaimana dalam Q.S. Al-Fajr/89: 15-20, disinyalir bahwa masalah sosial disebabkan oleh empat hal, yakni: Pertama, sikap ahumanis, yakni tidak memuliakan anak yatim. Kedua, asosial, yakni tidak memberi makan orang miskin. Ketiga, monopolistik, yaitu memakan warisan (kekayaan) alam dengan rakus. Keempat, sikap hedonis, mencintai harta benda secara berlebihan. Dilihat dari empat hal tersebut, korupsi masuk dalam setiap sendi itu. Ditinjau dari segi hukum Islam (fiqih), kasus korupsi termasuk dalam wilayah muamalah maliyah (sosial-ekonomi) atau fiqh siyasah (hukum tata negara) yang tertumpu pada permasalahan maliyah (benda). Dalam al- Quran terdapat beberapa ayat yang mampu membentuk kesadaran moral manusia untuk tidak rakus memakan harta rakyat. Al-Quran juga mempunyai perangkat teoritis untuk memberantas korupsi, seperti melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas untuk jadi penguasa 1 , apalagi melakukan korupsi yang sangat merugikan orang banyak.
1 Lihat Q.S. An-Naml/27: 34, dan Q.S Hud/11: 27. Korupsi secara definitif juga ditandai oleh sejumlah interpretasi keagamaan tentang tindak pidana tersebut. Para ulama, misalnya, menganalogikan korupsi dengan al-ghull, sebuah istilah yang diambil dari ayat al-Quran Surat Ali Imran ayat 161: ! l. ,9 - =- ,! !, s )9 . . 2 _ ! ,.. =L` Artinya: Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Secara leksikal dapat dipahami bahwa pengertian denotatif dari ayat ini adalah pengkhianatan atau penyelewengan, namun dalam wilayah perkembangan kajian fiqih (Islam)khusunya dalam konteks kekinian atau permasalahan kontemporeristilah ini didefinisikan setara dengan korupsi. Asbabun nuzul ayat ini diketengahkan Abu Daud dan juga oleh Tirmizi dalam sebuah hadits yang menganggapnya sebagai hadis hasan dari Ibnu Abbas, katanya, "Ayat ini diturunkan mengenai selembar permadani merah yang hilang di waktu perang Badar. Kata sebagian orang, 'Mungkin yang mengambilnya Rasulullah SAW. Maka Allah menurunkan ayat, Tidaklah mungkin bagi seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta rampasan...'" (Q.S. Ali Imran/3: 161). Thabrani mengetengahkan dalam kitab Al-Kabir dengan sanad yang orang-orangnya dapat dipercaya dari Ibnu Abbas, katanya, "Nabi SAW. mengirim sepasukan tentara lalu mengembalikan panji-panjinya. Kemudian dikirimnya pula, lalu mengembalikannya. Kemudian dikirimnya lagi, lalu mengembalikan panji-panjinya disertai kepala rusa yang terbuat dari emas tetapi disertai kecurangan. Maka turunlah ayat, Tidaklah mungkin bagi seorang nabi berkhianat terhadap urusan harta rampasan. (Q.S. Ali Imran/3: 161) 2 . Asal kata yaghulla dari ghalla-yaghullu-ghullan, memiliki arti berkhianat, menipu (Mahmud Yunus, 1990: 298). Sebagian dari para mufassir (diantaranya Ibnu Katsir, Qurthubi dan Thabari) menafsirkan an yaghulla dengan kata an yakhna 3 , yang berarti khianat atau berkhianat yang dalam ayat ini berbentuk fiil atau kata kerja. Ibnu Katsir ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran/3: 161 mendefinisikan al-ghull dengan rumusan: menyalahgunakan kewenangan dalam urusan publikuntuk mengambil sesuatu yang tidak ada dalam kewenangannya, sehingga mengakibatkan adanya kerugian publik 4 . Definisi ini juga disepakati oleh para ulama di Indonesia. Majelis Ulama Indonesia (MUI, 1999) dalam fatwanya menetapkan bahwa al-ghull identik dengan korupsi, yang dinyatakan sebagai salah satu bentuk perbuatan haram. Termasuk dalam tindak pidana korupsidisamping al-
2 Compact Disk (CD) The Holy Quran Version 8.0. 3 Ibid. 4 Ibid. ghulladalah tindakan penyuapan (ar-risywah) 5 . Sebagaimana hadits Nabi menyatakan bahwa yang menyuap dan yang disuap tempatnya di neraka. Secara normatif-tekstual, tindak pidana korupsi yang dirujuk dari istilah al-ghull jelas keharamannya. Dari segi hukum Undang-undang, seseorang dianggap sebagai pelaku tindak pidana korupsi bila telah memenuhi dua kriteria: Pertama, melawan secara hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Kedua, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan 3 UU No.31 Tahun 1999). Tafsir normatif-tekstual dalam pandangan agama (Islam) seringkali mengalami perubahan dengan berbagai perspektif dan pendekatan yang digunakan oleh para pemaham atau penafsir ayat (mufassir). Karena, betapa pun tafsir atas realitas seringkali harus berhadapan dengan rigiditas teks, yang oleh karenanya para ulama dituntut untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman atas teks yang semula ditafsirkan menurut kebutuhan zamannya untuk diselaraskan dengan kebutuhan perkembangan zaman. Disinilah dinamika penafsiran atas teks dapat dipahami sebagai sebuah tuntutan riil
5 MUI pada tahun 2001 pernah mengeluarkan fatwa khusus berkaitan dengan al-ghulul (korupsi), ar-risywah (suap-menyuap), dan pemberian hadiah bagi pejabat. Dalam fatwa tersebut MUI menegaskan bahwa korupsi dan praktik suap sangat keras larangannya dalam agama. Sementara pemberian hadiah bagi para pejabat sebaiknya dihindari karena pejabat telah menerima imbalan dan fasilitas dari Negara atas tugas-tugasnya. Lihat Muhammad Azhar [Et.al], 2003: 70. perubahan zaman, sehingga dapat melahirkan formula dalam menetapkan suatu hukum yang tak jarang menimbulkan kontroversi. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Islam pasti antikorupsi, oleh sebab itu korupsi harus diperangi. Istilah perang mengindikasikan bahwa kita harus menggunakan secara maksimal segenap potensi yang kita miliki untuk menghentikan korupsi yang sudah menjadi epidemi di negeri kita ini. Dalam bahasa agama, korupsi masuk dalam kategori kemungkaran yang harus dihentikan oleh siapa pun yang menyaksikannya (Yunahar Ilyas, 2001:3-4). Rangkaian kalimat Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya didalam Q.S. Ali Imran/3: 161, mengandung ancaman keras dan peringatan yang tegas, bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang terlarang. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kalau perkara perbuatan menggelapkan selembar permadani (sebagaimana asbbun nuzul ayat) saja dianggap sebagai sebuah tindak pidana korupsi, apalagi perbuatan menggelapkan uang negara dan pengkhianatan atas kepentingan publik dan khalayak umum. Justeru perbuatan-perbuatan tersebut yang seharusnya lebih pantas dianggap sebagai korupsi dalam pengertian yang sesungguhnya (hakikat korupsi). Selain ayat al-Quran di atas juga terdapat beberapa Hadits yang dapat mendukung ayat tersebut: 6
a. Riwayat Ahmad dari Abu Malik al-Asyjai: ='-' --='-` -= - ' -= '-` -= , -, - --=- = '' --= - --=- = '== - '-, = - =''- =-` = --' _'- '' ,'= '- ' == ,'' --= '' - ` -=- ,'= ' , '= ` _=--, -' '- -= - == -='- '= =- ' ,= - _-- ,- _' ,, -',-' . (Ghulul (korupsi) terbesar di sisi Allah ialah sehasta tanah; kalian menjumpai dua orang laki-laki bertetangga tanah miliknya atau rumah miliknya, lalu salah seorang dari keduanya mengambil sehasta milik temannya. Apabila ia mengambilnya niscaya hal itu akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi di hari kiamat nanti).
b. Riwayat Ahmad, atau yang lain dari Abdurrahman bin Jubair: '-` -= _-,- - '-` -= - ,+' = - , '=' - -, , = --= -= ' - ' ,-= --- ,---' - -- ,-, --- --' _'- '' ,'= '- ,-, - ' '-' ''-= ,' ' -- -=-,' '' -- --,' ' = -,' ,' ' '= -=-,' '- '= --,' ' - -=-,' - - '- '-,- ,- =' ,+ '= . (Barangsiapa memegang kekuasaan bagi kami untuk suatu pekerjaan, sedangkan dia belum mempunyai tempat tinggal, maka hendaklah ia mengambil tempat tinggal; atau belum punya pelayan, maka hendaklah ia mengambil pelayan; atau belum mempunyai kendaraan, maka hendaklah ia mengambil kendaraan. Dan barangsiapa memperoleh sesuatu selain dari hal tersebut berarti dia adalah ghaallun (koruptor)).
6 Hadits-hadits tersebut dapat dilihat dalam kitab tafsir karya Ibnu Katsir, juga terdapat dalam Compact Disk (CD) The Holy Quran Version 8.0. (Barangsiapa bekerja untuk kepentingan kami, hendaklah ia mencari isteri; jika belum mempunyai pelayan, hendaklah mencari pelayan; dan jika masih belum punya rumah, hendaklah ia mencari rumah. Barangsiapa yang mengambil selain dari itu (yang menjadi haknya), berarti dia adalah koruptor atau pencuri).
Sebagaimana hadits di atas, kejahatan korupsi disejajarkan dengan pencuri. Dalam Hadits Riwayat Abu Daud tersebut, status ghallun (koruptor) disamakan dengan sariqun (pencuri). d. Riwayat Ibn Hanbal, yang terdapat juga dalam kitab musnadnya: '-` -= '=- - _-,= '-` -= .,='-- - ',= = _,=, - -,- = = - ,- ' = - -,-= -='-' ,- '' _'- '' ,'= '- ' ', - '-' ,'= . Hadiah-hadiah yang diterima oleh para amil (petugas zakat/infaq/shodaqoh/pajak) adalah ghulul (korupsi).
e. Riwayat Abu Daud dalam Hadits yang lain: '-` -= -, - = ,- -''= '-` -= ,- -'= = ,' --= - -,- = ,-= '-' = '' --= - -, - = ,- = --' _'- '' ,'= '- ' - -'-'--- _'= .-= -'- ' '- -= -- =' ,'= ,+ . Barangsiapa yang saya angkat menjadi pejabat dengan gaji rutin, maka sesuatu yang diambilnya selainitu (gaji rutin) adalah ghulul (korupsi).
Dari beberapa penjelasan Hadits di atas, kita dapat memahami bahwa korupsi harus dipahami secara kontekstual sesuai dengan kausa-efisien (illat)- nya dan kausa-finalis (maqashid)-nya. Berdasar pada illat (kausa-efisien), korupsi dapat dipahami sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang oleh pemegang amanat publik. Sehingga penyalahgunaan wewenang oleh siapapun, dalam bentuk apapun, dimana pun, dan kapan pun oleh pemegang amanat publik dapat disebut sebagai tindakan korupsi. Ketika korupsi kita pahami berdasarkan pada maqashid (kausa-finalis), maka korupsi dapat dipahami sebagai tindakan yang merugikan kepentingan publik. Sehingga semua tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik untuk kepentingan pribadi, keluarga dan kelompok yang dilakukan oleh siapa pun, dalam bentuk apa pun, dimana pun, dan kapan pun dapat disebut sebagai tindakan korupsi. Tuduhan penggelapan selembar permadani pada masa Nabi telah menyebabkan atau melatar belakangi turunnya Q.S. Ali Imran/3: 161. Betapapun tindak perilaku penggelapan, hal itu tentu sudah jelas (sharih) dalam ayat dinyatakan hal yang dilarang, karena kedudukannya yang sama dengan al-khianat (pengkhianatan). Dari beberapa uraian di atas dapat kita pahami konstruksi pemahaman tentang hukum korupsi. Sehingga mengindikasikan lahirnya ketetapan hukuman (fatwa) terhadap pelaku korupsi. Bagi sebagian orang termasuk ulama yang memahami korupsi sebagai tindakan pengkhianatan karena illat dan maqshid yang terdapat dalam kasus tersebut (yaitu pengkhianatan dan penyelewengan), maka hukumnya adalah haram dan termasuk kejahatan besar sehingga keluarlah fatwa hukuman mati bagi pelakunya. Bagi sebagian ulama (Indonesia) yang lain beranggapan, tidak perlu sampai dihukum mati meskipun hal itu amat merugikan dan termasuk perbuatan jahat. Akan tetapi cukup diberi hukuman sama seperti pencuri, yaitu potong tangan. Hal ini sebagaimana kita lihat dalam riwayat Abu Daud dari Al-Mustaurid bin Syaddad di atas, bahwa pelaku ghull disamakan dengan sriq (pencuri), dan hukuman bagi pencuri sesuai dengan ayat al-Quran adalah potong tangan 7 . Sebagian yang lain juga ada yang menafsirkan potong tangan bukan tangan secara fisik, tetapi secara majzi (metaforis) yaitu kekuasaan. Artinya bahwa potong tangan yang dimaksud adalah potong kekuasaan. Sehingga para pelaku korupsi harus dipotong kekuasaannya atau tidak diberikan amanah kekuasaan yang bisa membuat dia melakukan korupsi terus menerus. Dalam hal ini dapat pula diartikan pemenjaraan kekuasaan, sehingga para pelakunya memang harus dipenjara. Ulama fiqih Wahbah al-Zuhaili berpendapat di dalam kitabnya Al- Fiqhu wa Adillatuhu, Orang yang kejahatannya di muka bumi tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka ia (harus) dibunuh Dalam kesimpulan akhirnya beliau mengatakan: Boleh menjatuhkan hukuman mati sebagai siysah (politik hukum) kepada orang yang selalu melakukan kejahatan (tindak pidana), peminum khamr, pelaku kejahatan (berupa gangguan terhadap keamanan negara, dan sebagainya) 8 . Dalam hal ini bisa diterapkan dalam permasalahan hukuman korupsi, kalau memang kejahatan korupsi sudah tidak bisa dihentikan kecuali dengan membunuh para pelakunya, maka para pelaku korupsi harus dibunuh.
7 Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (Q.S. Al-Maidah/5: 38). 8 Wahbah al-Zuhaili, Alfiqhu wa Adillatuhu, juz IV., (Damsyiq: Dar al-Fikr, 2004), hlm. 5595. Dapat juga dilihat dalam Fatwa MUNAS VII MUI 2005 tentang Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Tertentu. C. Nilai-nilai Islam yang Diselewengkan Dalam Kasus Korupsi 1. Amanah Secara bahasa, amanah berarti titipan (Munawir, 1997). Sedangkan amanah dalam pengertian istilah dapat dipahami dalam lima pengertian, sebagaimana yang terdapat di dalam kandungan al-Quran: Pertama, kata amanah dikaitkan dengan larangan menyembunyikan kesaksian atau keharusan memberikan kesaksian yang benar. Hal tersebut termaktub dalam QS. Al-Baqarah/2: 283: | `.. ?s 9 >. !,.l. " .,) | 3.-, !.-, `= %! . . ,.9 < , .3. :9 !.6 | ". ,=% < !, =-. '=. Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kedua, kata amanah dikaitkan dengan keadilan atau pelaksanaan hukum secara adil. Sebagaimana yang dapat kita pahami dari QS. An- Nisa/4: 58: | < .``! . { <| != | .3> , _!9 3> -9!, | < !- /3L- , | < l. !- .,
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.
Ketiga, kata amanah dikaitkan dengan sifat khianat sebagai lawan katanya. Ayat al-Quran dalam surat Al-Anfal/8 ayat 27 berbunyi: !! %! ` < 9 3. . =-. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.
Kempat, kata amanah dikaitkan dengan salah satu sifat manusia yang mampu memelihara kemantapan ruhaninya, kemudian dihubungkan dengan janji. QS. Al-Maarij/70: 32: %! .{ s `s Artinya: Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
Kelima, kata amanah secara definitif yang sangat universal, baik sebagai tugas keagamaan maupun sosial-kemanusiaan. Sebagaimana yang dapat kita pahami dalam QS. Al-Ahzab/33: 72: !| !.s !{ ?s ,.9 _{ !,>9 ,! !]=> ): !] !=- .} | l. !=L > Artinya: Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
Secara simplistik, amanah adalah memelihara titipan dan mengembalikan kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan secara luas amanah mencakup dalam banyak hal, seperti: menyimpan rahasia orang, menjaga dirinya sendiri, menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain sebagainya. Kaitannya dengan korupsi, jelas bahwa tindakan korupsi adalah suatu perilaku penyimpangan atau penyelewengan amanah yang telah dititipkan kepada pelaku korupsi. Salah satu bentuk amanah adalah konsisten atau tidak menyalahgunakan jabatan. Terlebih jika bentuk penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, famili atau kelompok seperti tampak pada tindakan korupsi termasuk perbuatan tercela yang melanggar amanah. Dengan demikian, nilai-nilai amanah merupakan nilai signifikan yang telah diselewengkan oleh tindakan korupsi. 2. Shidiq Nilai keislaman yang diselewengkan oleh korupsi kemudian adalah nilai-nilai kebenaran atau shidiq. Secara etimologis shidiq berarti: benar atau jujur (Munawwrir, 1997). Seorang Muslim dituntut untuk selalu dalam keadaan benar lahir-bathin, meliputi: benar-hati (shidq al-qalb), benar-perkataan (shidq al-hadts), serta benar-perbuatan (shidq al-aml). Benar dalam ketiga hal tersebut akan menuntun pada perilaku yang sesuai dengan kebenaran agama Islam. Oleh karenanya Rasulullah SAW memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu menjaga diri dalam sikap shidiq serta melarang umatnya berbohong, karena setiap kebohongan akan membawa kepada kejahatan. Salah satu ciri orang yang shidiq adalah: selalu berkata benar, menepati janji, menjalankan amanah, serta menampilkan diri seperti keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, orang yang shidiq tidak mungkin melakukan korupsi, karena di dalam perilaku korupsi pasti ada kebohongan atau ketidak benaran, baik secara hati, perkataan maupun perbuatan. Salah satu bentuk kebohongan yang sangat dicela adalah khianat dan khianat adalah sejelek-jelek sifat bohong. dari segi pengkhianatan, korupsi merupakan salah satu bentuk pengkhianatan yang berat yang telah menyelewengkan nilai-nilai Islam. Korupsi (dalam arti pengkhianatan dari amanah yang telah dititipkan) merupakan tindakan yang tercela dan dilarang oleh Allah SWT. Hal tersebut disinyalir dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Anfal/8: 27: !! %! ` < 9 3. . =-. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui.
3. Adil Adil merupakan sikap yang mengetengahkan kesepadanan, kelurusan (etimologis), sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur (terminologis) yang muncul dari rasa insaf atau kesadaran yang mendalam. Namun sebagai sebuah konsep keagamaan, makna keadilan jauh lebih luas dan kompleks yang berkaitan dengan konteks masing-masing. Keadilan dapat dilihat dari empat pengertian: 1) keadaan sesuatu yang seimbang, 2) persamaan dan penyangkalan terhadap perbedaan, 3) memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang yang berhak menerimanya, 4) kemurahan dalam memberikan kebaikan. Sedangkan bentuk keadilan ada tiga macam: 1. Keadilan individual, yaitu kemampuan seseorang dalam mengendalikan dirinya sehingga tidak melanggar norma agama. 2. Keadilan sosial, yaitu keserasian dan keseimbangan hubungan antar pribadi dan antara pribadi dengan masyarakat. Dengan demikian terciptalah keseimbangan antara perolehan hak pribadi dan pemberian hak terhadap pribadi lain dan masyarakat dalam hubungan interpersonal dan sosialnya. 3. Keadilan manusia terhadap makhluk lain, yakni tidak berbuat semena- mena terhadap makhluk lain. Beberapa ayat al-Quran memberikan indikasi terhadap perintah untuk berlaku adil, diantaranya: % 1`.)9!, % 3`>` s 2 >`. `s .= `&! $! !. ., `-. Artinya: Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana dia Telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)". (Q.S. al-Araf/7: 29)
| < ``! -9!, .>} !.| )9 S s !:`>9 69 - ,9 3L- 6=-9 `.. Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (Q.S. an- Nahl/16: 90)
!! %! ` . % < 1`.)9!, 6> `!: % ?s 9-. 9s ,% ).=9 ). < | < ,> !, =-. Artinya: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang- orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Maidah/5: 8)
Beberapa indikasi sikap adil dalam kehidupan sehari-hari adalah: tidak mau mengambil sesuatu melebihi haknya, tidak mau merugikan orang lain, dan selalu berusaha memberikan keuntungan terhadap orang lain tanpa harus kehilangan hak-haknya. Sikap adil yang komprehensif- aplikatif selanjutnya akan dapat menghindarkan diri orang dari perilaku korupsi. Karena pada dasarnya korupsi merupakan bentuk tindakan yang tidak adil karena merugikan orang lain.
4. Taqwa Sikap keislaman atau nilai Islam yang dinafikan oleh korupsi selanjutnya adalah taqwa. Sikap taqwa merupakan nilai paling krusial yang diperintahkan oleh Allah SWT di dalam al-Quran. Kata taqwa dalam al-Quran disebut sebanyak 242 kali, baik dalam bentuk kata benda maupun kata kerja. Taqwa dalam pengertian: takut, berhati-hati dan waspada (etimologis). Sedangkan secara terminologis berarti: penjagaan diri dari sesuatu yang tidak baik, atau menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala yang dilarang Allah. Ketaqwaan seseorang secara individu dapat membimbing dirinya untuk selalu menjauhi perbuatan yang tidak memberikan manfaat kepada masyarakat atau merugikan masyarakat. Implikasi sosial dari sikap taqwa secara individu ini akan melahirkan sikap antikorupsi. Karena korupsi merupakan perlawanan destruktif terhadap sikap taqwa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Secara normatif, dalam al-Quran kata taqwa dibarengi dengan berbagai sifat, seperti keadilan, menepati janji dan bersikap sabar dalam menghadapi situasi apapun, melihat apa yang telah ia lakukan untuk memandang kedepan apa yang akan ia lakukan. Dari sikap-sikap yang terbentuk pada orang-orang yang bertaqwa itulah kemudian dapat diharapkan muncul sebuah komunitas yang memberdayakan tumbuhnya solidaritas antar manusia dan masyarakat sebagai wujud riil-aplikatif dari kepatuhan penuh hamba-hamba Allah. Sehingga sikap korupsi dapat dicegah oleh sikap taqwa yang diaplikasikan secara individu-sosial dalam kehidupan sehari-hari.
D. Konsep Pendidikan Antikorupsi Sebagaimana halnya negara-negara lainnya, perilaku koruptif di Indonesia sudah berlangsung sepanjang sejarah. Secara kualitatif, puluhan tahun lalu Bung Hatta pernah memberikan label atas hal korupsi sebagai perilaku yang telah membudaya. Bahkan secara kuantitatif, Begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo pernah mengemukakan pernyataan kontroversial yang menyatakan bahwa kebocoran anggaran pembangunan di Indonesia mencapai 30 persen (Sudarwan Danim, 2003: 61). Meski begitu kompleksnya problematika korupsi, pendidikan masih dapat diharapkan untuk menanamkan dan menyebarkan nilai-nilai antikorupsi kepada para anak didik, sehingga sejak dini mereka memahami bahwa korupsi itu bertentangan dengan norma hukum maupun agama. Hal tersebut dapat dicermati setidaknya dikarenakan dua hal. Pertama, gejala reduksi moralitas sebagian besar Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, dengan indikasi empirik masih tingginya angka korupsi. Kedua, arus masuk generasi muda ke lembaga pendidikan setiap jenjang sebagai bagian dari diskursus pengembangan SDM indonesia yang seutuhnya. Hal ini sangat berkaitan, karena orang-orang yang terpilih mengemban amanat rakyat, terutama mereka yang duduk di lingkungan birokrasi, diidealisasikan sebagai SDM terdidik sebagai output dari lembaga pendidikan. Manusia Indonesia menempati posisi sentral dan strategis dalam pelaksanaan pembangunan nasional, sehingga diperlukan adanya pengembangan sumber daya manusia secara optimal. Lebih lanjut pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui pendidikan, mulai dari dalam keluarga hingga lingkungan sekolah dan masyarakat. Konsep dasar pendidikan antikorupsi secara filosofis merupakan agregasi dari internalisasi hakikat korupsi (ontologis), pemahaman praktik korupsi (epistemologis) serta aplikasi moral antikorupsi dalam tindakan (aksiologis) untuk mencegah perilaku korupsi.
1. Falsafah Pendidikan Antikorupsi Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu- individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Lebih lanjut, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect), dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Dengan demikian, internalisasi nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa (baca: peserta didik) dalam memajukan budi pekerti, pikiran, tindakan untuk menentang korupsi. Upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan merupakan basis falsafah dalam pendidikan nilai, moral agama. Secara filosofis korupsi hanya dipahami sebagai tindakan merusak (stabilitas nasional, etika, dan norma individu pelakunya) artikulasi nilai-nilai yang sudah mapan (established) dalam konstruksi sosial budaya masyarakat bahkan agama. Mendidik sendiri pada umumnya dipahami sebagai suatu cara untuk menyiapkan dan membantu seseorang untuk mencapai tujuan hidup,yaitu menjadi manusia utuh, sempurna dan bahagia. Secara lebih eksplisit pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia muda, membantu seseorang menjadi manusia yang berbudaya dan bernilai tinggi. Bukan hanya hidup sebagai manusia an sich, tetapi menjadi manusia yang bermoral, berwatak, bertanggung jawab dan bersosialitas. Sehingga dengan pendidikan, seseorang akan dibantu untuk menjadi manusia yang aktif dalam membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa. Dengan demikian falsafah pendidikan antikorupsi didasarkan pada proses pengenalan dan pemberian informasi nilai-nilai antikorupsi (ontologis-epistemologis) dengan harapan membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang bermoral (aksiologis), berwatak serta bertanggung jawab dalam rangka membangun hidup bermasyarakat dan berbangsa. Pendidikan antikorupsi membimbing para generasi bangsa menjadi manusia yang berbudaya antikorupsi, berwatak antikorupsi, bertanggung jawab terhadap problematika korupsi, dan bersosialitas dalam upaya pencegahan korupsi. Karena disadari atau tidak, korupsi pasti juga dialami oleh para generasi muda. Pada saat tertentu generasi muda dapat menjadi korban korupsi, pelaku korupsi, atau ikut serta juga melakukan atau terlibat perkara korupsi, dan sangat mungkin pula menjadi pihak yang menentang korupsi. Signifikansi pendidikan dengan demikian harus mampu menjadikan diri peserta didik sebagai salah satu instrumen perubahan yang mampu melakukan empowerment (terhadap tindak korupsi) dan transformasi bagi masyarakat melalui berbagai program yang mencerminkan adanya inisiatif perbaikan sosial. Melalui pendekatan tersebut, berbagai bentuk pathologi sosial berupa penyimpangan praktik- praktik kehidupan sosial-kemasyarakatan seperti korupsi dapat dianalisis dan dicarikan alternatif solusinya. Dalam konteks tersebut, pendidikan harus juga dimaknai dan dimanfaatkan sebagai instrumen, selain harus mampu mentransformasikan nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan social engineering guna membangun sosial religi yang efektif dan seimbang. Konsep strategis dan krusial yang harus diimplementasikan selanjutnya adalah bagaimana problematika korupsi di Indonesia menjadi pokok bahasan tertentu dalam kurikulum pendidikan. Bukan hanya sebagai suplemen bagi pendidikan moral pancasila (kewarganegaraan), melainkan juga bagi pendidikan agama (Islam).
2. Pendidikan Moral Sebagai Dasar Pendidikan Antikorupsi Prof. Schoorl dalam Sudarwan Danim (2003: 63) menyatakan, bahwa praktik-praktik pendidikan merupakan wahana terbaik dalam menyiapkan SDM dengan derajat moralitas yang tinggi. Dalam tujuan pendidikan nasional idealisasi tersebut juga termuat dalam UU-RI No.2 Tahun 1989, pasal 4. Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Sudarwan Danim, 2003: 63).
Dilihat dari tujuan pendidikan tersebut, pendidikan sejatinya merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Dengan kata lain, pendidikan adalah moralisasi masyarakat, yakni peserta didik. Tentunya, pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan di sekolah (education not only education as schooling), melainkan pendidikan sebagai jaring-jaring kemasyarakatan (education as community networks). Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar, atau salah, baik atau buruk (Poespoprodjo, 1999: 118). Konseptualisasi moral memiliki beberapa tingkatan, yaitu standar moral, aturan moral, dan pertimbangan moral. Standar moral adalah prinsip-prinsip moral dasar yang paling fundamental yang merupakan basis pijakan atau asumsi untuk menentukan apakah secara moral sebuah tindakan itu diperkenankan atau tidak, baik atau tidak, diterima masyarakat atau tidak. Aturan moral memuat prinsip-prinsip moral yang diderivasikan dari standar moral. Aturan moral merupakan tindakan yang dianggap benar atau salah dengan berdasarkan pada kriteria yang diformulasikan oleh standar moral. Sedangkan pertimbangan moral merupakan evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan seseorang, baik yang bersifat umum maupun spesifik. Secara konseptual baik dari aspek standar moral, aturan dan pertimbangan moral korupsi sangat bertentangan dengan nilai moral yang ada di dalam sebuah masyarakat. Perbuatan korupsi dapat menyebabkan delegitimasi nilai-nilai moral yang sudah ada.
D. Model Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara Korupsi yang bagi sebagian negara telah dianggap sebagai kejahatan trans-nasional memunculkan banyak ide terhadap cara pencegahan korupsi. Salah satu ide yang selalu dicanangkan adalah melalui pendidikan. Beberapa negara yang memiliki tingkat korupsi yang tinggi telah menjalankan pendidikan antikorupsi melalui berbagai upaya. Tak terkecuali Indonesia, sebagian daerah telah melakukan upaya sosialisasi pendidikan antikorupsi baik dari aspek nilai maupun praksis. Hal tersebut didasari pada kepekaan terhadap problematika bangsa yang harus dicegah mata rantainya mulai dari generasi bangsa pada sektor pendidikan. Deputi Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi kini mulai diajarkan di sekolah-sekolah. Adapun yang diajarkan diantaranya adalah kejujuran, gotong royong, dan variannya (Tempo, 2 Maret 2008). Metode pendidikan antikorupsi tidak sama pada masing-masing sekolah yang melaksanakannya. Pada tingkat sekolah menengah, SMP Keluarga di Kudus Jawa Tengah di bawah Yayasan Kanisius Cabang Semarang misalnya, sebanyak 183 murid telah diikutsertakan pada pendidikan antikorupsi. Kegiatan pendidikan tersebut beragam, diantaranya melalui lomba kartun yang hasilnya dijajarkan di ruang tamu sekolah tersebut. Hal tersebut merupakan langkah awal sosialisasi dan refleksi terhadap gerakan antikorupsi. Di sekolah tersebut awalnya materi pendidikan antikorupsi diberikan secara teoritis. Bahkan Kejaksaan dan Bupati Kudus pun pernah diminta menjadi pemateri yang menyampaikan soal undang-undang korupsi. Di lain sekolah, SMA Stella Deuce telah menyajikan pendidikan antikorupsi sejak tiga tahun terakhir melalui pelbagai bentuk. Diantaranya, memuat slogan, pantun dan pidato. Murid-murid kelas XII diminta mencari data dari kliping koran tentang kasus korupsi yang difasilitasi melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan antikorupsi pun tidak hanya diberikan pada tingkat SMP dan SMA, melainkan juga mulai dari Taman Kanak-kanak dan SD dengan perbedaan pada metodenya. Untuk murid TK dan SD, materi disampaikan melalui dongeng, komik dan permainan yang difokuskan pada aspek kejujuran seperti tidak boleh berbohong. Secara birokratis, materi pendidikan antikorupsi diberikan oleh KPK dan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui muatan lokal. Untuk menghindari pembebanan terhadap mata pelajaran, KPK menawarkan materi bahan untuk disisipkan dalam mata pelajaran ataupun ekstrakurikuler. Adapun pengembangan materi diserahkan kepada masing-masing sekolah, sesuai dengan kurikulum yang berlaku sekarang yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Metode yang paling menarik dari pendidikan antikorupsi dan telah banyak diadopsi adalah laboratorium warung kejujuran atau kantin kejujuran. Secara praktis, warung tersebut mengajarkan praktik kejujuran dengan aksentuasi transendental bahwa apapun yang kita lakukan pasti diketahui Tuhan. Warung tersebut dibuka tanpa penunggu (kasir), pembelinya membayar sesuai dengan harga, mencatat pembelian, dan mengambil uang kembalian dengan sendirinya. Beberapa sekolah yang mengadopsi kantin kejujuran diantaranya, SMP Keluarga Kudus, SMP 8 Padang, dan SMAN I Tambun Bekasi. Metode lain yang digunakan dalam aplikasi pendidikan antikorupsi adalah menyampaikan materi melalui mahasiswa yang sudah dilatih oleh KPK. Pada tingkat pendidikan tinggi, pendidikan antikorupsi pun telah digiatkan oleh beberapa kampus bahkan include dalam mata kuliah. Universitas Paramadina (UPM) Jakarta telah memulai kuliah antikorupsi perdananya yang dikonsep dalam format kuliah umum pada tanggal 26 Juni 2008, diisi oleh Ketua KPK Antasari Azhar. Mata kuliah antikorupsi merupakan mata kuliah wajib di kampus tersebut dengan bobot 2 SKS (www.kpk.go.id, tanggal 16 Juli 2008). Di samping itu KPK juga telah melakukan kerja sama dengan beberapa kampus yang ada di Indonesia melalui program Training of Trainers (ToT), yaitu antikorupsi untuk pelajar juga telah memunculkan ide terhadap terbentuknya Pusat Studi Antikorupsi di beberapa universitas. Selain di Indonesia, di beberapa negara pun telah menjalankan program pendidikan antikorupsi dengan macam-macam materi dan metode sesuai tingkatan jenjang pendidikannya. Pengalaman negara-negara yang telah melaksanakan pendidikan antikorupsi setidaknya dapat dijadikan referensi atau acuan untuk kemudian dikembangkan di Indonesia. Tabel 3 Pendidikan Antikorupsi di Beberapa Negara
NEGARA MODEL PENDIDIKAN ANTIKORUPSI Kamboja (Korupsi Peringkat 162) Memasukkan materi antikorupsi sebanyak 344 pokok bahasan ke buku pelajaran kelas I sampai kelas XII. Materi sekolah dasar: cerita tentang ambisi pribadi versus kepentingan publik, pentingnya kejujuran, dan dampak keserakahan serta egoisme. Materi sekolah menengah: keuangan rumah tangga, diskusi soal sumber keuangan keluarga, apakah penghasilan orang tua legal atau hasil korupsi. Siswa juga diajak membahas soal korupsi dan dampaknya terhadap ketidakadilan serta ketimpangan di masyarakat.
Makau (Peringkat 34) KPK Makau (CCAC) menyusun program: Kejujuran untuk murid kelas IV hingga kelas VI SD. Membuat taman bermain dan panggung boneka yang mengajarkan ihwal integritas dan kejujuran. Buku, cakram padat, dan papan permainan dibuat sebagai pendukung program. Murid sekolah menengah memiliki Komite Pendidikan Remaja untuk menggelar seminar yang membahas isu integritas dan antikorupsi. Palestina Aman, jaringan Transparency International Palestina,memiliki program: Perkemahan musim panas pada 2006 untuk anak usia 8-12 tahun. Pengajaran melalui cerita pendek, buku mewarnai, booklet, dan newsletter. Pertunjukan boneka Al-Hares (Sang Penjaga) di 42 sekolah di Tepi Barat.
Sumber: Transparency International, Koran Tempo, 2 Maret 2008
BAB IV TINJAUAN NORMATIF ASPEK KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM TERHADAP PENDIDIKAN ANTIKORUPSI
E. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik (www.depdiknas.go.id, (BSNP 2006) tanggal 24 Agustus 2008). Istilah kurikulum muncul pertama kali di bidang olahraga, berasal dari bahasa Latin: Curriculae, yaitu jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari (Joko Susilo, 2007: 77). Senada dengan hal tersebut Ahmad Tafsir (2005: 53) mendefinisikan secara historis, yaitu suatu alat yang membawa orang dari start sampai finish. Pada perkembangannya istilah kurikulum kemudian dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan. Dalam kamus Webster tahun 1856 kurikulum diartikan dengan dua macam, yaitu: Pertama, sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu. Kedua: sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus. Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau kelompok mata pelajaran atau tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok atau pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber-bahan-alat belajar. Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok / pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian. Mulai tahun pelajaran 2006/2007, Depdiknas meluncurkan Kurikulum tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau disebut juga Kurikulum 2006. KTSP memberi keleluasaan penuh setiap sekolah untuk mengembangkan kurikulum dengan tetap memperhatikan potensi sekolah dan potensi daerah sekitar (Joko Susilo, 2007: 94). Kurikulum 2006 merupakan hasil kreasi guru-guru di sekolah berdasarkan standar isi dan standar kompetensi. Terbitnya Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional RI No 24 tahun 2006 tentang standar isi dan standar kompetensi itu kelak menandai diserahkannya kewenangan kepada guru untuk menyusun kurikulum baru. Dengan kata lain, KTSP lebih memberdayakan guru untuk membuat konsep pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Hal tersebut juga tentunya sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Kurikulum dikembangkan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah. Pengembangan KTSP yang beragam mengacu pada standar nasional pendidikan untuk menjamin pencapaian tujuan pendidikan nasional. Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Dua dari kedelapan standar nasional pendidikan tersebut, yaitu Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 (UU 20/2003) tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 (PP 19/2005) tentang Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan kurikulum pada KTSP jenjang pendidikan dasar dan menengah disusun oleh satuan pendidikan dengan mengacu kepada SI dan SKL serta berpedoman pada panduan yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Standar Nasional Pendidikan (SNP) merupakan acuan dan pedoman dalam mengembangkan kurikulum. Berdasarkan UU nomor 20 tahun 2003 kurikulum pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dikembangkan oleh satuan pendidikan. Pemerintah tidak lagi menetapkan kurikulum secara nasional seperti periode sebelumnya. Tidak ada lagi kurikulum nasional seperti kurikulum 1984, 1994 dan sebagainya. Pemerintah hanya menetapkan SNP yang menjadi acuan sekolah dalam mengembangkan kurikulum. Kini saatnya sekolah mengembangkan sendiri kurikulum sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan potensi peserta didik, masyarakat dan lingkungannya. Orientasi KTSP disusun antara lain agar dapat memberi kesempatan peserta didik untuk : a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, b) belajar untuk memahami dan menghayati, c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, d) belajar untuk hidup bersama dan berguna untuk orang lain, dan e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri melalui proses belajar yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Hasil pengembangan dituangkan dalam rancangan kegiatan pembelajaran dalam bentuk silabus dan desain pembelajaran, rancangan pelaksanaan pembelajaran (RPP) lebih rinci, desain penilaian dan instrumennya, serta dilaksanakan secara efektif dan efisien. Selain itu juga diperlukan adanya sintesa serta kerjasama dari masing-masing elemen dalam mekanisme kerja pengembangan kurikulum. Mekanisme kerja tim pengembang kurikulum, MGMP, dan guru mata pelajaran dapat dilihat dalam skema berikuti:
Skema. Mekanisme Kerja Tim Pengembang Kurikulum, MGMP dan Guru Mata Pelajaran
F. Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum Oemar Hamalik (2001) secara umum membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi delapan macam, antara lain: KTSP (Struktur kurikulum, Mekanisme Pembelajaran dan Penilaian, dll) Silabus Desain Pembelajaran Desain Penilaian RPP Instumen Penilaian Bahan ajar Pelaksanaan Pembelajaran dan Penilaian Tim Pengembang Kurikulum MGMP Guru Mata Pelajaran Evaluasi Evaluasi 1. Prinsip berorientasi pada tujuan Pengembangan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu, yang mengandung aspek-aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai. 2. Prinsip relevansi (kesesuaian) Pengembangan kurikulum secara principle meliputi tujuan, isi dan sistem penyampaiannya yang harus relevan (sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa, serta serasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 3. Prinsip efisiensi dan efektivitas Pertimbangan segi efisiensi dan efektivitas dalam pengembangan kurikulum menjadi prinsip yang tak terelakkan. Dari segi efisien harus mempertimbangkan pendayagunaan dana, waktu, tenaga dan sumber- sumber yang tersedia agar dapat mencapai hasil yang optimal. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, sarana prasarana dan peralatan, harus digunakan secara tepat oleh siswa dalam rangka pembelajaran untuk meningkatkan efektivitas dan keberhasilan siswa. 4. Prinsip fleksibilitas (keluwesan) Kurikulum yang fleksibel mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, sehingga tidak menjadi statis atau kaku. 5. Prinsip kontinuitas (berkesinambungan) Kurikulum disusun secara berkesinambungan, artinya bagian- bagian, aspek-aspek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas, sehingga satu sama lain memiliki hubungan fungsional yang bermakna sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikan dan tingkat perkembangan siswa. 6. Prinsip keseimbangan Penyusunan dan pengembangan kurikulum memerhatikan keseimbangan secara proporsional dan fungsional antara berbagai program dan sub-program, antara semua mata pelajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. 7. Prinsip keterpaduan Kurikulum dirancang dan dilaksanakan berdasarkan prinsip terpadu. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topik dan konsistensi antara unsur-unsurnya dengan melibatkan semua pihak 8. Prinsip mutu Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa pelaksanaan pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh standar mutu guru, kegiatan belajar mengajar, peralatan atau media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria tujuan pendidikan nasional yang diharapkan. Sedangkan prinsip pengembangan KTSP yang dimuat dalam Panduan Penyusunan KTSP jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah yang dikeluarkan oleh Badan Standar Nasioanl Pendidikan (BSNP) Tahun 2006, KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan pendidikan menengah di provinsi. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh Dinas Pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP dengan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik. Oleh karenanya, pendidikan antikorupsi senantiasa dikembangkan berdasarkan potensi peserta didik dalam memahami, menguraikan, dan menelaah problema korupsi, perkembangan korupsi untuk kepentingan peserta didik dan lingkungannya dalam mencegah perilaku korupsi dalam masyarakat. 2. Beragam dan terpadu Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antar substansi. Substansi komponen dalam pengembangan diri peserta didik pada pendidikan antikorupsi adalah pengembangan sikap perilaku peserta didik ke arah mental dan perilaku antikorupsi. 3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional dalam kaitannya dengan pendidikan antikorupsi merupakan jaminan relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan dalam masyarakat yang menginginkan terciptanya tatanan nilai (antikorupsi) agar tidak dirusak dengan perilaku yang menafikan nilai-nilai agama, sosial, dan hukum. 5. Menyeluruh dan berkesinambungan Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antar semua jenjang pendidikan. Pelaksanaan pendidikan antikorupsi secara menyeluruh, komprehensif dan terintegrasikan dalam setiap komponen mata pelajaran, khususnya pendidikan agama Islam merupakan keniscayaan dari prinsip tersebut. 6. Belajar sepanjang hayat Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur- unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya. 7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Lebih rinci lagi, dalam hal acuan operasional penyusunan yang juga tertulis dalam UU Sisdiknas 20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 3, KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun dengan memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia. 2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotorik) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional, sosial, spiritual, dan kinestetik peserta didik.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan Setiap daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, resources dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah. 4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi. 5. Tuntutan dunia kerja Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. 6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. 7. Agama Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia. 8. Dinamika perkembangan global Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antar bangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain. 9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI. 10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain. 11. Kesetaraan Jender Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender (equality). Selain itu juga, kesetaraan tersebut harus dikembangkan dalam mengelola proses belajar mengajar. Sehingga proses belajar mengajar lebih menekankan pada pengembangan individu secara keseluruhan, bukan dikotomi peserta didik berdasarkan jender ataupun jenis kelamin. 12. Karakteristik satuan pendidikan Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan. Sebagai penyelenggara pendidikan Islam tentunya karakteristik nilai-nilai keislaman yang universal menjadi urgen untuk selalu dikembangkan. (www.depdiknas.go.id, tanggal 24 Juni 2008).
C. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan Antikorupsi. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No. 20 tahun 2003 BAB X pasal 36 ayat 1 menyebutkan bahwa pengembangan Kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sedangkan dalam ayat 2 disebutkan bahwa kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik. Dalam pasal 38 ayat 2 juga disebutkan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi Dinas Pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Poin-poin yang terdapat dalam prinsip-prinsip di atas sangat menuntut adanya kurikulum yang senantiasa memiliki kesadaran terhadap problem kontemporer sesuai realitas serta arah perkembangan berbasis kontekstual. Peningkatan iman, takwa serta akhlak mulia merupakan landasan atau pondasi awal dalam menentukan arah kurikulum. Oleh karenanya pendidikan antikorupsi sebagai salah satu instrumen pengembangan kurikulum serta potensi peserta didik menjadi sangat relevan terhadap perkembangan kurikulum Pendidikan Agama Islam selanjutnya. Dimana membentuk manusia yang beriman dan bertakwa menjadi aspek fundamental dalam melahirkan output pendidikan Islam. Pendidikan antikorupsi secara jelas diarahkan untuk memupuk kesadaran peserta didik dalam menentang bentuk kemungkaran sosial, kejahatan kemanusiaan yang komunal dan melibatkan publik. Hal tersebut secara eksplisit lebih diarahkan kepada peningkatan iman dan takwa dengan menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya serta penyemaian nilai-nilai kemanusiaan yang universal secara aplikatif. Peningkatan akhlak mulia dalam tujuan pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada pendidikan antikorupsi pun menjadi titik sentral, dimana peserta didik sebagai subjek yang senantiasa menginginkan keadaan diri yang lebih baik dan memberikan manfaat kepada semua manusia. Selain itu, tuntutan pembangunan daerah dan nasional serta aspek agama dan dinamika perkembangan global juga dapat mengantarkan proses perkembangan kurikulum ke arah kurikulum kontekstual, seperti pendidikan antikorupsi. Pendidikan Islam sebagai lembaga formal pendidikan (baca: sekolah) yang memiliki karakteristik nilai-nilai keislaman sudah barang tentu harus memiliki kesadaran (sense) terhadap fenomena dan problem kontekstual yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman, terutama dalam hal materi pelajaran. Agama sudah barang tentu menjadi kekuatan spiritual-moral dalam menegakkan panji-panji kebenaran dan menolak setiap bentuk kemungkaran. Pada poin persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan dapat diderivasikan beberapa nilai-nilai kebangsaan yang telah dirusak dan dikotori oleh para koruptor. Maka dari itu proses melawan korupsi adalah suatu upaya menjaga nilai-nilai kebangsaan, dan hal tersebut harus diimplementasikan dalam tataran praktis dengan menerapkan persoalan kejahatan korupsi dan semangat antikorupsi sebagai bagian integral dalam kurikulum dan pengajaran di sekolah-sekolah. Oleh karenanya terdapat dua opsi dalam upaya penerapan kebijakan antikorupsi, yang pertama adalah menjadikan persoalan korupsi menjadi satu mata pelajaran yang didalamnya bisa dibahas antara lain: sejarah korupsi di Indonesia dan dunia dari masa ke masa; proses pemberantasan korupsi di Indonesia dan Negara-negara lain; dan akibat-akibat korupsi pada nilai-nilai kebangsaan, agama, dan kemanusiaan. Adapun opsi yang kedua adalah pembahasan mengenai kejahatan korupsi disisipkan sebagai suplemen pada materi-materi pelajaran tertentu yang dianggap mendukung pembahasan tersebut, seperti Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), IPS, dan Agama. Materi-materi tersebut diajarkan agar dapat membangun nilai-nilai luhur, dan menekankan pada pembahasan dampak akibat kejahatan korupsi di beberapa negara dan sebagainya. Adapun mengenai jenjang pendidikan, pembahasan mengenai kejahatan korupsi sebaiknya diterapkan pada siswa tingkat menengah atas atau tingkat perguruan tinggi, mengingat tingkat kedewasaan dan jangkauan pemahaman mengenai hal tersebut. Namun tidak menutup kemungkinan hal tersebut juga diterapkan pada jenjang pendidikan dasar. Hanya saja penekanan materi baru bertumpu pada pengenalan tentang kejahatan korupsi, serta model-modelnya. Proses pembelajaran dalam pendidikan antikorupsi pun sangat signifikan dan dominan dilakukan dengan cara mengaitkan materi pembelajaran dengan arus kenyataan praktikal dan aktual, semisal kejahatan korupsi dengan berbagai modus operandinya. Sebagaimana diketahui, stagnasi pengembangan materi pembelajaran diakibatkan tidak terintegrasinya materi dengan problem-problem kontekstual. Hal tersebut diperparah lagi dengan proses pembelajaran yang berjalan secara monoton serta hanya berorientasi pada basis kompetensi dan penguasaan materi konvensional (subject oriented curriculum). Seperti materi dalam ilmu fikih, ushul fikih, dan sebagainya, pada pendefinisian tema-tema pencurian dan perampasan hak-hak kepemilikan financial-private dalam pengajaran fikih. Di dalam mendefinisikan tema tersebut, baik di dalam kurikulum, silabus, maupun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau Satuan Acara Perkuliahan (SAP), dinamakan sebagai pencurian dan perampasan hak kepemilikan finansial yang dilakukan secara fisik, seperti merampok (hirabah) atau perampasan di jalanan (qathu al-tharq). Pengayaan materi belum menyentuh pada bentuk-bentuk perampasan dan perampokan finansial dalam mekanisme non fisik yang lebih sistemik-komunal-kontekstual dan mutakhir, yaitu kejahatan korupsi sebagai gejala penyalahgunaan amanah dan kekuasaan sekaligus sebagai salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) kepada publik. Materi tentang korupsi dalam cakupan luas (internasional) juga perlu disisipkan dalam pengembangan materi pendidikan agama Islam. Hal tersebut setidaknya didasari adanya banyak cara yang dilakukan oleh kekuatan korporatokrasi internasional untuk menaklukan sebuah negara berkembang, diantaranya melalui cara brutal lewat kekerasan dan kekuatan militer, lewat tekanan dan ancaman kekerasan. Banyaknya aset-aset nasional yang telah terjual kepada pihak asing mengindikasikan betapa korporatokrasi internasional juga memainkan peran sebagai koruptor dengan cara yang beda. Korporatokrasi menguasai ekonomi, politik dan pertahanan keamanan lewat apa yang dinamakan state capture corruption atau state- hijacked corruption, yakni korupsi yang menyandera negara. Kekuasaan negara telah menghamba pada kepentingan asing dan melakukan korupsi yang paling besar. Pada point inilah materi fiqihdapat dikembangkan dalam ranah pembahasan yang bersifat nasional-internasional, atau bisa disebut fiqih negara (Amien Rais, 2008: 176-182). Integritas atau amanah para pemimpin negara terlihat jelas penyelewengannya terhadap korporatokrasi. Bagaimana pun kepercayaan rakyat tidak bisa digadaikan begitu saja kepada pihak asing dengan cara menjual aset-aset nasional yang notabene sebagai sumber daya alam bagi bumi Indonesia. Eksploitasi alam termasuk dalam materi bagaimana hablum minal lam seharusnya diarakan untuk eksplorasi, bukan eksploitasi. State capture corruption adalah jenis korupsi yang super destruktifdan berskala negara. Kejahatan ini muncul ketika terjadi persekongkolan antara negara dan korporasi, dimana kekuatan korporasi menaklukan kekuatan negara sehingga negara menjadi pelayan kepentingan korporasi. Selain itu juga, state capture corruption ternyata mengejawantahkan dalam pembelian berbagai dekrit politik dan pembuatan undang-undang oleh sektor korporat dan penyalahgunaan wewenang dalam mendatangkan keuntungan-keuntungan ekonomi. Hal inilah yang sangat urgen untuk diinternalisasikan kepada peserta didik dalam pengembangan materi pendidikan agama Islam agar kejahatan korporasi yang telah menyelewengkan nilai amanah dan kejujuran dapat ditekan. Materi akhlak juga masih dikonsentrasikan pada pengajaran dan identifikasi teoritis akhlak yang terpuji. Materi akidah pun masih berkisar tema-tema keimanan secara transendental minus kontekstualisasi dan pengaitan dengan realitas sosial serta hampir tanpa penafsiran ekstensif terkait dengan aspek sosial-horizontal. Terlebih lagi, mengaitkan nilai-nilai abstrak dengan perilaku dan realitas kecenderungan kekuasaan materil dan politik manusia sebagai khalifah Allah yang jika tidak dikontrol secara sistematis akan bersifat manipulatif dan korup. Oleh karena itu, harus ada keinginan kuat untuk selalu menselaraskan desain kurikulum dan proses pembelajaran serta pengayaan materi dengan persoalan kontemporer masyarakat, sehingga kurikulum dan proses pembelajaran dapat diintegrasikan dan dikontekstualisasikan dengan wacana dan masalah sosial yang aktual dan relevan disertai oleh strategi pembelajaran yang variatif, inovatif dan transformatif.
D. Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan Agama Islam. Keterlibatan pendidikan formal dalam upaya pencegahan korupsi sebenarnya bukan hal baru, justru memiliki kedudukan strategis. Sejalan dengan pandangan progresivisme, sekolah adalah agen perubahan sosial yang bertugas mengenalkan nilai-nilai baru kepada masyarakat (Pol, M., Hlouskova dkk, 2005). Secara umum tujuan pendidikan antikorupsi adalah : (1) pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspeknya; (2) pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi; dan (3) pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang ditujukan untuk melawan korupsi. Sedangkan manfaat jangka panjangnya adalah menyumbang pada keberlangsungan sistem integrasi nasional dan program antikorupsi serta mencegah tumbuhnya mental korupsi pada diri peserta didik yang kelak akan menjalankan amanah di dalam sendi-sendi kehidupan. Pendidikan antikorupsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah program pendidikan antikorupsi yang secara konsepsional memungkinkan disisipkan pada mata pelajaran yang sudah ada di sekolah dalam bentuk perluasan tema yang sudah ada dalam kurikulum dengan menggunakan pendekatan kontekstual pada pembelajaran antikorupsi. Pilihan ini digunakan oleh karena pertimbangan agar tidak menambah beban kurikulum dan jam belajar siswa. Pada aspek lain, pendidikan antikorupsi dapat juga diimplementasikan dalam bentuk mata pelajaran untuk kegiatan ekstra kurikuler siswa ataupun muatan lokal (institusional). Untuk berpartisipasi dalam gerakan pemberantasan korupsi ada dua model yang dapat dilakukan oleh sekolah. Pertama, proses pendidikan harus menumbuhkan kepedulian sosial-normatif, membangun penalaran obyektif, dan mengembangkan perspektif universal pada individu. Kedua, pendidikan harus mengarah pada penyemaian strategis, yaitu kualitas pribadi individu yang konsekuen dan kokoh dalam keterlibatan peran sosialnya. Pendidikan antikorupsi secara umum dikatakan sebagai pendidikan koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berfikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik (Dharma, 2004). Dengan demikian, pendidikan antikorupsi membimbing peserta didik untuk berfikir terhadap nilai-nilai antikorupsi dalam kerangka koreksi terhadap budaya yang cenderung merusak nilai-nilai tersebut. Dalam pendidikan antikorupsi harus mengintegrasikan tiga domain, yakni domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan keterampilan (psikomotorik). Implementasi pendidikan antikorupsi di jenjang sekolah bisa menggunakan strategi integratif-inklusif (disisipkan dalam mata pelajaran yang sudah ada) dan eksklusif (mata pelajaran khusus / tersendiri). Dalam penelitian ini peneliti mencoba membahas model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif, yaitu dengan alternatif materi antikorupsi yang terintegrasi dalam mata pelajaran agama Islam. Disamping dapat pula disisipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Ketiga mata pelajaran itu dipilih karena dianggap dekat sekali dengan bahan kajian pendidikan antikorupsi yang lebih banyak berorientasi pada pembinaan warga negara, penanaman nilai dan moral, serta upaya menumbuhkan kesadaran bagi generasi muda akan bahaya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam KTSP pada kelas II SMP dan MTs semester 2 yang memuat Kompetensi Dasar (KD) yang secara eksplisit tesurat tentang pendidikan antikorupsi. Tabel 4 Kompetensi Dasar KTSP pada Mata Pelajaran PKn Kelas II SMP/MTs Semester II
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar Menampilkan ketaatan terhadap perundang-undangan nasional Mengidentifikasi kasus korupsi dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Mendeskripsikan pengertian antikorupsi dan instrumen (hukum dan kelembagaan) antikorupsi di Indonesia
Dari tabel di atas, dapat dilihat hanya mata pelajaran PKn saja yang secara eksplisit atau tersurat mencantumkan tentang pendidikan antikorupsi di dalam Kompetensi Dasar (KD). Namun demikian kompetensi dasar yang ada di kelas II semester gasal tersebut cakupan domain hanya menekankan atau menitik beratkan pada aspek kognitif semata. Sehingga jika ingin dikembangkan pada aspek afektif dan psikomotorik sangat diperlukan kreativitas guru. Dengan demikian, pengembangan model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif juga perlu disisipkan dalam pendidikan agama Islam. Mengingat pendidikan agama Islam juga memuat materi-materi terkait dengan norma-norma hukum-kemasyarakatan (sosial) maupun individu. Model pendidikan antikorupsi yang integratif-inklusif dalam pendidikan agama Islam secara aplikatif lebih berkedudukan sebagai pendekatan dalam pembelajaran. Hal tersebut akan tampak dalam desain atau Rencana Pembelajaran setiap mata pelajaran terpilih (pendidikan agama Islam). Sebagai sebuah pendekatan (approach) pembelajaran maka implementasi pendidikan antikorupsi akan sangat tergantung dari kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar. Oleh karena itu, implementasi pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam pendidikan agama Islam di sekolah agar efektif dalam mengembangkan pendidikan antikorupsi perlu memperhatikan hal-hal berikut: a) Materi; yakni materi pembelajaran antikorupsi perlu mencakup tiga domain: kognitif, afektif, dan psikomotorik. b) Metodologi; pendidik dapat menggunakan berbagai metode dan model pengajaran yang sesuai dengan permasalahan dan kematangan peserta didik. Seperti penggunaan multimedia untuk membuat pembelajaran semakin menarik. c) Sumber belajar; perlunya penggunaan berbagai sumber pembelajaran. Seperti media cetak maupun elektronik (koran, majalah, CD, internet). Atau dengan narasumber semisal penegak hukum (polisi, hakim, jaksa, KPK). d) Evaluasi; pendidik dapat mempergunakan bentuk evaluasi autentik yang tidak hanya mengukur aspek verbal dan kognitif peserta didik. Namun juga mengukur karakter, keterampilan, kewaspadaan dan cara berfikirnya dalam mengatasi masalah dan memberikan problem solving. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran, sehingga peserta didik pada tujuannya mampu melakukan hubungan yang bermakna. Peserta didik dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, melakukan kegiatan-kegiatan yang signifikan, seperti mengharuskan siswa untuk membuat hubungan-hubungan antara sekolah dengan berbagai konteks nyata, menjadi mandiri (self regulated learner), siswa melakukan pekerjaan yang signifikan: ada tujuannya, ada urusannya dengan orang lain, ada hubungannya dengan penentuan pilihan, dan ada produknya atau hasilnya yang sifatnya nyata. Selain itu juga peserta didik dapat bekerja sama. Guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok, membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling berkomunikasi, berpikir kritis dan kreatif; dapat menganalisis, membuat sintesis, memecahkan masalah, membuat keputusan dan menggunakan logika dan bukti-bukti, mengasuh atau memelihara pribadi-pribadinya: mengetahui, memberi perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi dan memperkuat diri sendiri. Sehingga peserta didik mampu menggunakan pengetahuan akademis dalam konteks dunia nyata untuk suatu tujuan yang bermakna (Johnson dalam Nurdin, dkk. 2004: 14). Secara sistematis model pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam pendidikan agama Islam dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 5 Model Pendidikan Antikorupsi Integratif-Inklusif dalam Pendidikan Agama Islam
Aspek Muatan Pengembangan Materi a) Al-Quran-Hadits
b) Aqidah
c) Akhlak
d) Fiqih
Ayat-ayat / Hadits yang berkaitan dengan delik pengkhianatan, penggelapan keuangan negara. Integrasi keimanan terhadap aspek kepemilikan harta. Korupsi dan HAM, korupsi dan masyarakat, akhlak kewajiban warga negara. Hukum (Islam) dalam perampasan harta non- fisik. e) Tarikh / Sejarah Delik asumsi dan praktik korupsi pada zaman Nabi, sahabat / khalifah. Domain a) Kognitif
b) Afektif:
c) Psikomotorik: Pemberian wawasan pengetahuan tentang hakikat korupsi. Pembentukan karakter antikorupsi. Perilaku antikorupsi. Metode Pembelajaran a) Ceramah dan penugasan
b) Melibatkan peserta didik secara aktif dan kreatif dalam kegiatan pembelajaran c) Pemberian keteladanan Penelaahan berbagai modus operandi korupsi Studi kasus atau lapangan dan pemecahan masalah.
Pelatihan kejujuran dan kedisiplinan. Media Pembelajaran a) Audio b) Visual c) Audio-visual Rekaman / tayangan persidangan kasus korupsi. Sumber Belajar a) Media cetak
b) Media elektronik c) Narasumber dan sumber lingkungan. d) Dokumentasi produk hukum Koran, majalah, buku, annual report, kitab. CD, Internet. Polisi, Jaksa, Hakim, Ulama. UU terkait kasus korupsi Evaluasi a) Tes tulis b) Kinerja, keterampilan Kumpulan hasil kerja (karya) siswa yang c) Portofolio berisi berbagai pengalaman dan pemikiran tentang problem korupsi.
Setelah menelaah konsep pendidikan antikorupsi serta tinjauan aspek kurikulum dan perkembangannya, maka selanjutnya dicoba untuk diterapkan ke dalam pendidikan Islam. Urgensitas dan inklusifitas pendidikan antikorupsi pada pendidikan agama Islam jika diambil benang merahnya adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi. Jika merujuk pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (3) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Atas dasar ini, signifikansi penyelenggaraan pendidikan antikorupsi lewat jalur pendidikan tidak dapat diabaikan potensinya sebagai salah satu cara untuk membudayakan antikorupsi di Indonesia. Selain itu juga pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat; suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi muda untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif dan efisien. Atas yang demikian itu, Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan menurut Natsir (2005) bahwa pendidikan adalah satu pimpinan jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan kelengkapan arti kemanusiaan dengan arti sesungguhnya. Atas yang demikian itu, Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam penelitian ini nampak jelas bahwa para pendidik, maupun pakar serta penggiat beberapa lembaga pendidikan menyatakan bahwa pendidikan antikorupsi sangat diperlukan bagi segenap anak bangsa untuk memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bahaya korupsi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemberian pendidikan antikorupsi di sekolah hendaknya memperhatikan kebutuhan dan kematangan siswa. Kebutuhan yang dimaksud adalah pendidikan antikorupsi hendaknya tidak menjadi bidang studi yang (subject matter) berdiri sendiri (separated) sehingga akan menambah jumlah jam belajar siswa. Sedangkan disesuaikan dengan tingkat kematangan adalah bobot atau tingkat kesukaran pendidikan antikorupsi hendaknya disesuaikan dengan kemampuan berfikir peserta didik.
2. Kurikulum Kurikulum adalah sekumpulan silabus yang tercetak atau uraian mengenai satu demi satu mata pelajaran yang disertai pengantar bersifat umum mengenai tujuan pendidikan secara keseluruhan, dan ikhtiar singkat mengenai tujuan masing-masing mata pelajaran. Dengan begitu maka, kurikulum adalah salah satu komponen yang urgensitasnya sangat menentukan dalam suatu sistem pendidikan. Karena kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran. Untuk itu, ketika kurikulum disusun oleh lembaga pendidikan, seharusnya kurikulum disusun sesuai dengan realitas yang ada. Sehingga dalam penyusunannya kurikulum, perlu mempertimbangkan kebutuhan, permintaan dan atau harapan masyarakat akan out put pendidikan. Dengan begitu, lulusan-lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan menjadi tidak teralienasi dengan masyarakat ketika mereka berbaur dalam lingkungan yang baru. Menurut Freire, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang dihimpun dari pengalaman yang educatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana serta susunan yang teratur. Pengalaman educatif adalah pengalaman apa saja yang serasi dengan tujuan menurut prinsip-prinsip yang digariskan dalam pendidikan, setiap proses belajar yang ada membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. Kurikulum yang bagus adalah tipe core curiculum yaitu sejumlah pengalaman belajar di sekitar kebutuhan umum. Oleh karena tidak adanya standar yang universal, maka kurikulum harus terbuka dari kemungkinan untuk dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (Muis Sad Imam, 2004: 54). Fleksibilitas sifat kurikulum dapat membuka kemungkinan bagi pendidikan untuk memperhatikan tiap peserta didik dengan sifat-sifat dan kebutuhannya masing-masing. Selain ini semuanya diharapkan dapat sesuai dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Oleh karena sifat kurikulum yang tidak baku dan dapat direvisi ini, maka jenis yang memadai adalah kurikulum yang berpusat dari pengalaman. Karenanya untuk menuju ke integrasi problematika korupsi terhadap upaya pencegahan korupsi melalui pendidikan diperlukan upaya yang kreatif. Karena banyak sekali hambatan dan tantangan dalam situasi koruptif yang telah langgeng, tentu diperlukan refleksi kritis dan penciptaan kurikulum yang bisa memproduksi manusia-manusia yang antikorupsi. Dengan istilah lain, kurikulum pendidikan antikorupsi yang terintegrasi dalam pendidikan agama Islam juga dikenal sebagai hidden curiculum. Setidaknya terdapat tiga butir kurikulum pokok yang harus diperhatikan dalam mengembangkan kurikulum antikorupsi di segala tingkat. Pertama, tujuan, hakikat, dan kebutuhan peserta didik yang secara ideal harus terhindar dari sikap koruptif. Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat di mana peserta didik merupakan bagian dari masyarakat yang menentang korupsi. Ketiga, masalah pokok yang ditujukan kepada peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan masyarakat. Pendidikan Islam lebih eksplisit lagi kurikulumnya sendiri jarang sekali diarahkan menjawab persoalan-persoalan seperti itu. Buku-buku pelajaran cenderung yang diajarkan secara normatif, tidak diambil serta dikembangkan semangat berpikirnya, apalagi kemudian dikorelasikan pada kontekstualisasi kekinian, seperti kenapa terjadi budaya korupsi, nepotisme dan lain sebagainya. Sementara para pendidik sendiri hanya mencukupkan diri dengan berpedoman kepada buku-buku tersebut, tanpa pernah mengajarkan peserta didik bagaimana metode berpikir dan strategi menyelesaikan permasalahan yang mungkin muncul. Keberhasilan suatu bangsa dalam membangun pendidikan juga menjadi barometer tingkat kemajuan bangsa yang bersangkutan, sedang umat Islam adalah bagian terbesar dari bangsa Indonesia. Masalah dan sistem pendidikan menjadi kian penting dan strategis karena dapat dijadikan fundamen sosial guna mendorong proses transformasi masyarakat. Secara sintetik pendidikan antikorupsi berkaitan langsung dengan isu-isu krusial seperti kemiskinan, kesejahteraan, kesehatan, kohesi sosial, dan demokrasi. Lagi-lagi pendidikan (Islam) memiliki andil yang cukup besar terhadap proses kemajuan suatu bangsa. Untuk itu kurikulum pendidikan Islam perlu mengalami kontektualisasi pendidikan. Kontekstualisasi kurikulum pendidikan harus diupayakan sehingga dapat membangun peradaban masyarakat yang kritis, yang lebih adil, lebih manusiawi, sense of crisis, sense of responsibility, misalnya pada persoalan-persoalan kemanusiaan, lingkungan, pembelaan pada nilai-nilai kebenaran dan keadilan, hak azasi manusia, dan sebagainya. Singkatnya sistem kurikulum pendidikan Islam pada masa kini dan mendatang harus lebih antisipatif terhadap problematika yang sedang berkembang, korelasi antara ideal dan kenyataan lebih signifikan. Dengan berbagai pembenahan kurikulum tersebut, diharapkan pendidikan mampu mengalami perubahan yang signifikan. Memang, seharusnya kurikulum yang ideal harus berasal dari masyarakat. Berbagai pendekatan diperlukan guna membantu penyusunan kurikulum yang komprehensif.
3. Metode Pengajaran Metode pengajaran adalah salah satu penentu keberhasilan dalam dunia pendidikan. Metode pengajaran yang ada saat ini masih bersifat monoton dan cenderung tekstual, dengan hanya mengacu pada pedoman buku teks sebagai bahan ajar. Seperti model pengajaran yang dominasinya pada hafalan juga harus dibatasi, harus diganti dengan cara mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, membangun komunikasi yang dialogis. Metode hafalan adalah metode di mana peserta didik menghafal teks atau kalimat tertentu dari buku pelajaran yang dipelajarinya. Selain itu, contoh-contoh yang digunakan dalam pengajaran seorang pendidik harus dengan cara menghadirkan persoalan-persoalan kontemporer ke dalam materi pelajaran, wawasan dan cakrawala. Sehingga pemikiran siswa semakin luas, sikap kritisnya tumbuh dan daya kreatifnya berkembang. Oleh sebab itu, metode yang dapat dikembangkan dalam materi pendidikan antikorupsi dalam pendidikan agama Islam diantaranya: a. Metode Dialog Metode dialog adalah metode yang berdasarkan pada dialog atau dengan kata lain perbincangan dengan tanya jawab untuk sampai kepada fakta yang tidak dapat diragukan lagi, dikritik atau dibantah (Langgulung [terj.], 1979: 565). Mata ajaran yang terpaku pada model konvensional, yaitu lebih menekankan pada metode ceramah (verbalistik), layaknya cenderung monolog dan doktrinatif. Sehingga praksisnya, sense of religion (keinsyafan beragama) tidak dirasakan oleh para peserta didik, mesti dikembangkan dalam bentuk keakraban wacana melalui proses perenungan yang dalam dan proses dialogis yang produktif, kritis dan analitis. Metode dialog merupakan pengembangan dari metode ceramah yang didominasi oleh pola komunikasi satu arah, yakni dari guru kepada murid. Sehingga diperlukan pengajaran yang partisipatoris-kontekstual, sehingga memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk berkreasi dan berkreativitas. Kebebasan merupakan ekspresi pengalaman, perasaan, sikap dan keterampilan yang menekankan pada daya pikir kritis, tanggap dan kreatif dalam menghadapi sesuatu, tanpa ikatan atau dogma tertentu yang berpusat pada konteks realitas. Kreativitas merupakan proses mental dan kemampuan tertentu untuk mencipta. Kreativitas juga merupakan pola interaktif antara individu dengan lingkungannya. Seseorang yang kreatif dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengatasi masalah (problem sensitivity), mampu mencipta ide alternatif untuk memecahkan masalah (idea fluency), mampu memindahkan ide dari satu pola pikir ke pola pikir yang lain (idea flexibility). Hal ini bisa terwujud jika metode dialog (komunikasi dua arah) dalam proses belajar mengajar dijalankan. Dengan metode pengajaran partisipatoris maka dapat membuka peluang peserta didik untuk bebas berpikir kritis dan kreatif dalam mengembangkan kemampuan (Assegaf, 2004: 138-139). Sehingga dengan sistem dialog dan tidak dialog tersebut, bisa terlihat pola komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pembelajaran antikorupsi yang optimal baik pendidik maupun peserta didik harus bersama-sama menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, pendidik merasa bebas dan peserta didik merasa merdeka dari himpitan untuk menyuarakan kata hati, perasaan dan pendapatnya tentang persepsi korupsi. Hal seperti ini yang perlu diterapkan dalam proses pengajaran antikorupsi di lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti pesantren, madrasah, perguruan-perguruan tinggi Islam maupun lembaga- lembaga pendidikan yang berafiliasi dengan lembaga / yayasan / ormas Islam. Sehingga para peserta didik menjadi lebih kritis dan kreatif dalam menghadapi permasalahan dan tantangan dunia global yang telah merambah ke semua sektor kehidupan. b. Kelompok Diskusi Sebagai makhluk sosial, peserta didik sejak kecil secara natural bermain dalam situasi berpasangan atau berkelompok. Perilaku ini dapat dilakukan dalam pengorganisasian belajar pada materi antikorupsi. Dalam membahas permasalahan korupsi serta mencari solusinya peserta didik dapat bekerja berpasangan atau kelompok, baik dengan cara diskusi, demonstrasi, dan sebagainya. Dengan metode ini, belajar menjadi lebih berarti karena dengan adanya interaksi antara peserta didik dan lingkungan. Sehingga secara konseptual, pendidikan antikorupsi tidak diartikulasikan sebagai sekedar membaca buku atau berita tentang korupsi, tetapi juga transformasi hubungan antara peserta didik, pendidik, sekolah dan masyarakat. Karena peserta didik akan lebih berarti bila ia tidak hanya sekedar belajar, ia harus bisa mengetahui dan mengamatinya sehingga ia memiliki semangat untuk mengubah realitas. Peserta didik harus banyak membaca dengan sungguh-sungguh realitas yang ada di sekitarnya. Karena lingkungan (fisik-sosial-budaya) merupakan sumber yang sangat kaya untuk bahan belajar peserta didik. Penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar sering membuat peserta didik merasa senang dalam belajar. Belajar dengan menggunakan lingkungan tidak selalu harus keluar kelas. Bahan dari lingkungan dapat dibawa ke ruang kelas untuk menghemat biaya dan waktu. Pemanfaatan lingkungan dapat mengembangkan sejumlah keterampilan seperti mengamati (dengan seluruh indera), mencatat, merumuskan pertanyaan, berhipotesis, mengklasifikasikan, membuat tulisan, dan membuat gambar/diagram. Peserta didik harus dapat mengerti secara sungguh-sungguh terhadap keberadaan orang lain dengan situasi dan problematika di sekitarnya. Dengan dihadapkan pada realitas sosial peserta didik dapat mengembangkan nilai-nilai sosial kemanusiaan. Sehingga mereka menyadari bahwa dalam dunia nyata ada dikotomi bahkan kontradiksi antara teori dan realitas. Dengan demikian, mereka menyadari bahwa eksistensi manusia merupakan bagian dari pengemban amanah dalam melakukan perubahan, sehingga mereka mampu berpikir kritis. Dengan demikian metode diskusi menekankan aspek komunikasi inter-personal yang bersifat akademis dengan mata pelajaran yang sifatnya praktis, yang diterapkan dalam kehidupan. Sekolah berfungsi mengadakan penyesuaian-penyesuaian yang efektif terhadap lingkungan yang transformatif, dan transformasi kehidupan harus senantiasa dipandang secara antisipatif dari terjadinya transformasi negatif.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini. Oleh karena itu sebagai penutup dari penelitian ini akan diuraikan tentang kesimpulan, saran- saran dan kata penutup. A. Kesimpulan Setelah melakukan deskripsi dan analisis data tentang pendidikan antikorupsi dengan tinjauan aspek kurikulum Pendidikan Agama Islam kemudian menganalisisnya, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Upaya pencegahan prilaku korupsi bisa dilakukan dengan dua langkah, yaitu langkah represif dan preventif. Langkah represif dilakukan dengan cara menjalankan penegakan hukum yang tegas oleh para aparat penegak hukum. Adapun langkah preventif melalui pendidikan, dilakukan dengan cara internalisasi nilai-nilai antikorupsi terhadap peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Konsep pendidikan antikorupsi yang digagas sebagai solusi atas permasalahan bangsa adalah upaya mencegah berkembangnya mental korupsi pada anak bangsa Indonesia melalui pendidikan. Secara simplistik, langkah tersebut ditujukan untuk menggunakan pemberdayaan peserta didik untuk menekan lingkungan agar tidak permissive to corruption, sehingga dapat mencegah timbulnya mental korupsi pada generasi anak bangsa. 2. Pendidikan Islam bisa dijadikan sebagai sarana upaya preventif dan antisipatif dalam mengembangkan nilai antikorupsi untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi. Nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam pendidikan antikorupsi dapat dikembangkan dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Dalam mengaitkan relevansinya antara pendidikan antikorupsi dengan pendidikan Islam, setidaknya bisa dilihat dalam konsep dan tujuan pendikan antikorupsi kemudian ditinjau dari kurikulum pendidikan agama Islam yang selaras terhadap nilai-nilai antikorupsi serta pengembangan kurikulum ke arah antikorupsi dan dengan pengayaan materi pembelajaran menjadi sangat relevan. Tinjauan kurikulum pendidikan agama Islam terhadap pendidikan antikorupsi melalui pengembangan kurikulum ke arah: peningkatan iman dan takwa, peningkatan akhlak mulia, peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, problem-problem kontekstual, persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, serta agama.
B. Saran-saran Melalui penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran untuk direspon sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan pendidikan. Pada point ini peneliti menyampaikan saran terhadap: a. Pendidik 1) Hendaknya seorang pendidik bisa memperhatikan potensi peserta didik yang mendorongnya supaya disalurkan ke dalam konteks pendidikan sesuai kebutuhan lingkungan ke arah antikorupsi. Penyemaian bibit- bibit antikorupsi harus dilaksanakan sejak dini, secara gradual dan komprehensif. 2) Seorang pendidik seharusnya membekali keterampilan atau kompetensi yang sekiranya bisa mendorong peserta didik menjadi pribadi yang antikorupsi, karena dalam pembelajaran harus memperhatikan dan menggunakan konsep-konsep yang bisa menyadarkan kesadaran peserta didik secara kritis. 3) Seorang pendidik harus menjadi partner yang baik (partnership) bagi peserta didik, sehingga dalam pembelajaran antara pendidik dan peserta didik sama-sama belajar secara komunikatif-interaktif. Dengan mengajak dialog peserta didik tentang problem-problem kontemporer serta pemecahannya, maka suasana dalam pembelajaran menjadi hidup dan tidak membosankan. 4) Seorang pendidik, khususnya pendidik agama Islam, bisa mendorong dan memotivasi peserta didik supaya bisa mengaplikasikan ilmu agamanya ke dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat. Aksentuasi nilai-nilai keislaman dapat diaplikasikan dalam menghadapi tantangan dan problematika kontekstual-global.
b. Lembaga Pendidikan 1) Sebagai lembaga pendidikan yang berbasis Islam, seyogyanya sekolah Islam membekali para peserta didik dengan kompetensi sesuai potensi yang memadai atau konsep-konsep nilai keislaman yang universal. 2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam, tidak hanya mengajarkan ilmu- ilmu keislaman saja tetapi juga mengajarkan ilmu-ilmu yang berkonsep pada pembelajaran yang kontekstual-kritis selaras dengan al-Quran dan al-Hadits, sehingga Islam akan mampu mencegah perbuatan kemungkaran seperti tindak korupsi, karena sesungguhnya semua ilmu bersumber pada al-Quran dan al-Hadits.
C. Kata Penutup Puji syukur alhamdulillah kepada Allah SWT karena atas ridha dan petunjuk-Nya peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Betapa pun peneliti telah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk menyelesaikan penelitian ini, namun peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak kekurangan dan kesalahan yang disebabkan oleh kualitas individual peneliti, karena manusia tidak ada yang sempurna. Namun demikian, peneliti berharap mudah-mudahan karya sederhana ini bisa bermanfaat dan sebagai sumbangan pikiran bagi almameter tercinta ini. Karena itu, dengan kerendahan hati peneliti mengharapkan kritik dan saran konstruktif dari semua pihak demi pengembangan dan perbaikan skripsi ini Akhir kata, peneliti berharap semoga langkah-langkah kita selalu diridhoi dan dipermudahkan oleh Allah SWT serta semoga skripsi ini akan membawa manfaat bagi semua yang berkepentingan khususnya bagi peneliti. mn Y Rabbal 'lamn.
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Majid (Et.al), Pedoman Skripsi Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, FAI PRESS, 2003.
Abd. Halim Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2002.
Abd. Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Al-Maarif, 1989.
Ahmad Fawaid, Sultonul Huda (Ed.), NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, Jakarta: Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2006.
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung; PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Andvig, J. C., fjeldstad, O. H., Amundsen, I., sissener, T., Soreide, T., Research on Corruption; A Policy Oriented Survey, Oslo: Chr. Michelsen Institute & Norwegian Institute of International Affairs, 2000.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2000.
Bonediksus Bosu & Hasyim Muzadi, Menuju Indonesia Baru: Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Malang: Bayu Media Publishing, 2004.
Firdaus M. Yunus, Pendidikan Berbasis Realitas Sosial; Paulo Freire dan Y.B. Mangunwijaya, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.
George Junus Aditjondro, Jurnal Wacana: Bukan Persoalan Telur dan Ayam: Membangun Suatu Kerangka yang Lebih Holistik bagi Gerakan Anti- Korupsi di Indonesia, Yogyakarta: Insist Press, 2003.
HCB Dharmawan, Al Soni BL de Rosari (Ed.), Jihad Melawan Korupsi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi; Elemen Sistem Integritas Nasional, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2000.
Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi; Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006.
Kwik Kian Gie, Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, ttp., tth.
Mansur Muslich, KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual; Panduan Bagi Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial di Tengah Arus Kapitalisme Global, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa; Selamatkan Indonesia, Yogyakarta: PPSK Press, 2008.
Muhammad Azhar (Et.al), Pendidikan Antikorupsi, Yogyakarta: LP3 UMY, Partnership, Koalisis Antarumat Beragama untuk Antikorupsi, 2003.
Muis Sad Imam, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2004.
Munzir Hitami, Mengkonsep Kembali Pendidikan Islam, Pekanbaru: Infinite Press dan Yogyakarta: LKiS, 2004.
Muhammad Joko Susilo, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan: Manajemen Pelaksanaan dan Kesiapan Sekolah Menyongsongnya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Omar Muhammad Al-Thoumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Poespoprodjo, Filsafat Moral; Kesusilaan Dalam Teori dan Praktek, Bandung: CV. Pustaka Grafika, 1999.
Pol, M., Hlouskova, L., Novotny, P., Vaclavikova, E., Zounek, Z., School Culture as an Object of Research, ttp, 2005.
Ridlwan Nasir, (Ed.), Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer, IAIN Press & LKiS, 2006.Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (terj.) Hermojo, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Robert Klitgaard (Et. al), Penuntun Pemberantasan Korupsi Dalam Pemerintahan Daerah, (terj.) Masri Maris, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002.
Singgih, Dunia pun Memerangi Korupsi Beberapa Catatan Dari International Anti Corruption Conference I X dan Dokumen PBB Tentang Pemberantasan Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita Harapan, tth.
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Syamsul Anwar (Et.al), Fikih Antikorupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Jakarta: Pusat studi Agama dan Peradaban (PSAP), 2006.
Nama : Bhayu Sulistiawan TTL : Bekasi, 6 Agustus 1986 Jenis Kelamin : Laki-laki NPM : 20040720049 Alamat : Jl. Nusa Indah X RT 005/018 Blok MM No.31 Perum. Harapan Indah Kel. Pejuang Kec Medan Satria Kota Bekasi - Jawa Barat Nama Orang Tua : Bejo Margo Waluyo Isur Suryati Riwayat Pendidikan : 1. SD
2. SLTP
3. SMA
4. Pon-Pes
5. PT :
:
:
:
: SD N Percontohan 04 Ujung Menteng Cakung Jak-Tim, lulus tahun 1998 MTs. Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus tahun 2001 MAK Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, lulus tahun 2004 Pondok Pesantren Attaqwa Pusat Putera Ujungharapan Bekasi, tahun 1998-2004 Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Agama Islam, Jurusan Pendidikan Agama Islam, 2004- 2008 Pengalaman Organisasi : Sekretaris Pelajar Islam Indonesia (PII) Pengurus Daerah Attaqwa Tahun 2002-2004 Departemen Pendidikan HMJ PAI (Tarbiyah) UMY Tahun 2004-2005 Ketua Umum BEM FAI UMY Tahun 2005-2006 Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)- MPO Komisariat FAI UMY Tahun 2005-2006 Bidang Kajian Strategis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)-MPO Cabang Yogyakarta Tahun 2006-2007 Sekretaris Umum Forum Silaturahmi Mahasiswa Alumni Attaqwa (FOSMA)-Yogyakarta Tahun 2005- 2006 UKM Musik UMY Tahun 2006-2008 Dept. Perkaderan & Pembinaan Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi (IKAMASI) Yogyakarta Tahun 2006-2007 Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Bekasi (IKAMASI) Yogyakarta Tahun 2007-2008