You are on page 1of 19

460

Ade Fariz Fahrullah

Ade Fariz Fahrullah COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD KHI) : PRODUK FIKIH LIBERAL

Abstract : The Gender Issue by exhaled west world has given effect anaesthetized very strong this under sun nation. The particularly latterly, there is a tendency go up of case act hardness to woman, as said open by National Commission Non Hardness to Woman (Womans National Commission) in this report two last year in Jakarta. Thing as same, is very often of publicized by goodness in mass media through and also electronics media about various hardness case that happened and experienced by the atmosphere clan. This matter become one base reference voiced by Pokja PUG. Team in so many symposium and discussion they which conducted in order to renewal socializing draft to Islam Punish Complies (KHI) which will be improved by status, Inpres become from law product. However the a lot of idea feministic and argument in around gender decanted in this formula CLD KHI is really assessed so many contains of deviation, so that, controversy among Moslem scholar, specially generally Islam people. All Moslem scholar assume renewal KHI formula compiled by Pokja PUG Team Depag RI, is not context tajdid (Purification) and also ishlah (repair), but exactly have been trapped in concept bidah (Deviation) and taghyir (reformation) from original Islam law. Others, approach used by them, is not approach syara. But, gender approach, pluralism, human right, human being and the democracy. They are assuming syariah uphold target social justice and principle value, the important mankind, great blessing, and the social wisdom. Though Jumhur Fuqaha agree that syariah target look in after religion, xself, mind, clan, and the good and chattel. The elementary difference existence, framework thinking embraced by them this cause all
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

461

Ade Fariz Fahrullah

Moslem scholar assume CLD KHI Pokja PUG version the leading by Siti Musdah Mulia, Dr. MA have a target far out from rule nash. Even in course of their by Ijtihad have dare tendency to Al-Quran and Hadits Prophet which Qaathiyyul wurud (the surely govern).

A. PENDAHULUAN Syariat Islam adalah ajaran yang akan selalu sesuai, selalu cocok, dan selalu dapat diterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi walau beraneka ragam bentuk, corak, budaya, dan peradaban yang menyelimuti kehidupan umat manusia di muka bumi. Karena syariat Islam adalah ajaran yang paling benar (QS. 3 : 19). Demikianlah seharusnya sikap dan pernyataan yang wajib disuarakan dalam berbagai tempat, tanpa melihat kepada dan dengan siapa berbicara. Kehidupan duniawi akan terus mengalami perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi yang mengitarinya, dan tak akan dapat dielakkan. Kehidupan duniawi secara riil terkesan lebih mengarah kepada pemenuhan kebutuhan jasmani, dan hasrat jasmani lebih dominan digerakkan oleh kehendak hawa nafsu. Karena itu, tuntunan dan aturan yang diberlakukan bagi pemenuhan kebutuhan jasmani pada setiap tempat akan tampak adanya perbedaan, karena kebutuhan jasmani baik secara individu maupun kelompok tidak akan pernah kompak dan seragam. Kalaupun satu sama lain terdapat kesamaan barangkali itu hanyalah sebuah kamuflase belaka yang akan pudar manakala satu atau beberapa kepentingannya dilanggar. Yang perlu disadari bahwa kenikmatan jasmani hanya berujung pada satu muara, yaitu kebahagiaan hidup di dunia an sich. Meski demikian, manusia tetap saja banyak yang kurang menyadari kalau sikap tersebut akan sangat merugikan bagi kelangsungan hidupnya kelak. Islam mengajak umat manusia tidak hanya untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia an sich tetapi juga mengajaknya untuk dapat hidup dengan sangat bahagia di akhirat kelak (QS. AlQashshash : 77). Karena itu melalui syariatnya (al-Quran, sunnah, dan Ijma) secara gamblang telah memberikan tuntunan dan aturan
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

462

Ade Fariz Fahrullah

yang sangat baik bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dalam rangka (tidak hanya) terpenuhinya kebutuhan jasmani (saja, tetapi) juga pemenuhan kebutuhan rohani. Semua masalah yang menjadi hajat umat manusia dalam menempuh kehidupan baik di dunia maupun di akhirat telah terangkum dalam syariatnya yang lengkap meskipun banyak aturan yang termaktub dalam al-Quran masih bersifat global, tetapi melalui sunnah Rasulallah saw, Ijma, dan qiyas dianggap telah dapat menjabarkan keglobalan al-Quran tersebut. B. KILAS BALIK KONSEP IJTIHAD Sejak masa Rasulallah Saw, ijtihad telah dilakukan oleh para sahabat. Seperti yang dilakukan oleh sahabat Muaz ibn Jabal ketika hendak diutus Rasulallah saw ke Yaman. Dan berikutnya sepeninggal Rasulallah saw ijtihad juga dilakukan oleh para sahabat, sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khaththab yang tidak melakukan hukum potong tangan pada kasus pencurian meskipun telah ditunjukkan al-Quran secara pasti tentang masalah tersebut, karena Umar ra mencoba memahami situasi dan kondisi yang terjadi pada waktu itu. Pada perkembangan selanjutnya, pola ini dijadikan sebagai salah satu rujukan dalam pembentukan hukum Islam yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan fiqh. Fiqh dalam istilah para fuqaha merupakan ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum syari yang bersifat amaliyah dari dalil-dalilnya yang rinci berdasarkan ijtihad (istidlal).1 Jika diamati, hukum berorientasi pada hak yakni menjamin tegaknya hak dan sekaligus melindunginya. Dalam hukum Islam terdapat dua hak, yaitu hak Allah swt dan hak manusia. Konsep hukum yang berkenaan dengan hak Allah swt (baik dalam al-Quran maupun al-Sunnah sebagai mubayyin) bentuknya sangat jelas. Seperti hak Allah swt adalah disembah, sehingga manusia sebagai hamba-Nya berkewajiban untuk memenuhi hak Allah swt (beribadah) tersebut; firman-Nya: Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku (QS. Al-Dzariyat : 56). Al-Quran dan melalui sunnah Rasulallah saw telah merinci ketentuan ibadah. Seperti
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

463

Ade Fariz Fahrullah

perintah shalat yang kemudian dirincikan Rasulallah saw dengan sunnahnya, sehingga shalat diterima oleh umatnya sebagai konsep sudah jadi yang tidak perlu ditambah atau dikurangi. Demikian juga dalam masalah zakat, puasa, dan haji, dimana umat manusia hanya tinggal melaksanakannya saja. Kalaupun ada perkembangan itu hanya berkisar pada washailnya saja, seperti masjid sebagai sarana untuk beribadah. Bentuk bangunan masjid yang digunakan pada masa Rasulallah saw jelas berbeda dengan bentuk bangunan masjid yang ada pada masa sekarang ini. Masalah perkembangan ini dalam kaidah fiqh dinyatakan Yugtafaru fi al-wasail ma la yugtafaru fi al-maqashid.2 Sedangkan hak manusia secara umum banyak berkenaan dengan masalah muamalah yang jenisnya luas sekali. Para fuqaha membagi hukum (format fiqh yang sudah baku) ke dalam empat bagian, yaitu ibadah, muamalah, munakahat, dan jinayat. Sementara Imam al-Ghazali membaginya ke dalam dua bagian; pertama adalah ibadah yang yang berpadu dengan akidah, dan kedua adalah adat yakni yang berkenaan dengan perilaku dan masalah-masalah kemanusiaan yang berisikan muamalah, munakahat, dan jinayat. Pada bagian kedua inilah lapangan ijtihad terbuka lebar meski sempat mandek (terputus) sejak ditutupnya pintu ijtihad pada abad ke-4 Hijriah3 yang disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, pertama, pecahnya negara Islam pada waktu itu menjadi negara-negara kecil yang menyibukkan masyarakatnya dengan urusan perang dan permusuhan, sehingga kurangnya perhatian terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Kedua, berkembangnya sikap fanatisme mazhab dan taqlid. Ketiga, munculnya kekacauan dalam bidang penetapan hukum dan ijtihad yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkompeten di bidangnya. Keempat, adanya kodifikasi atas pendapat-pendapat mazhab sebelumnya, sehingga para ulama lebih suka mencukupkan diri dan merujuk kepada pendapat-pendapat mazhab sebelumnya. Kelima, hakim diangkat dari orang-orang yang lebih suka bertaqlid daripada orang-orang yang mampu melakukan ijtihad sendiri. 4

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

464

Ade Fariz Fahrullah

Fase kemandekan ijtihad ini berlangsung hingga abad ke-13 Hijriah, namun demikian bukan berarti meniadakan upaya-upaya yang dilakukan para ulama dalam pengembangan fiqh dan ushul fiqh. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya beberapa kitab di bidang fiqh dan ushul fiqh, seperti; al-Mughni karya Ibnu Qudamah (541-620 H), Raudhah al-Thalibin dan al-Majmu Syarh al-Muhazzab karya al-Nawawi (631676 H), al-Musytasfa karya Imam al-Ghazali (w. 505 H), al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi (w. 631 H), dan Jamu al-Jawami karya al-Subki al-Syafii (w. 771 H). 5 Meskipun kitab-kitab tersebut hanya berbentuk ikhtisar, hasyiyah dan syarah atau sebagai hasil elaborasi dari pendapat imam mazhab sebelumnya, tetapi karya-karya tersebut merupakan sumbangan khazanah yang tidak dapat dipandang sebelah mata bagi perkembangan fiqh dan ushul fiqh, karena hingga kini kitab-kitab tersebut masih dijadikan sebagai bahan rujukan bagi para ulama kontemporer dalam menjawab beberapa permasalahan waqiiyah. Secara historis, perkembangan kajian hukum Islam telah mengalami beberapa periode, yaitu : Pertama, periode peletakan dasar-dasar hukum fikih pada masa Rasulallah saw. Kedua, periode kodifikasi dan registrasi hukum fikih yang dilakukan oleh para sahabat dan tabiin sepeninggal Rasulallah Saw. Ketiga, periode berkembangnya cabang-cabang ilmu fikih, sehingga lahirlah karyakarya besar di bidang fiqh dan ushul fiqh seperti al-Risalah dan alUmm karya Imam al-Syafii, dan kitab al-Muwaththa karya Imam Malik. Keempat, periode taqlid.6 Pada periode pembukuan hukum Islam (kodifikasi), para ahli sejarah hukum Islam membagi dua pola istinbath. Pertama, pola ahlu al-Rayi yang cenderung lebih kuat menggunakan rasio daripada hadis. Kedua, pola ahlu al-Hadis yang cenderung lebih kuat menggunakan hadis daripada rasio. Akan tetapi yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa kedua pola tersebut dalam proses istinbath-nya tidak lepas dari dua unsur pokok, yaitu unsur wahyu yang terkandung dalam al-Quran dan al-sunnah serta unsur rayi yang bersumber pada kemampuan akal manusia, hal ini disebabkan karena
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

465

Ade Fariz Fahrullah

kedua pola tersebut sama-sama menyandarkan dirinya kepada formulasi ijtihad Muaz ibn Jabal. Semua imam mazhab terikat dengan kedua unsur tersebut, perbedaannya terletak pada metode yang digunakan oleh masing-masing imam mazhab, terutama yang berkaitan dengan klasifikasi dan pemilihan hadis yang menjadi pegangannya, sehingga melahirkan hasil ijtihad yang berbeda pula. Dengan demikian, dapat dinyatakan (juga) bahwa ijtihad adalah hasil dari interaksi antara unsur wahyu dan rasio sebagaimana digambarkan dalam jawaban Muaz ibn Jabal saat hendak diutus Rasulallah saw ke Yaman. Ketika Rasulallah saw bertanya kepada Muaz ibn Jabal, Kalau suatu persoalan tidak anda dapatkan dalam Kitab Allah dan sunnah rasul-Nya, dengan apa anda bertahkim ? Muaz menjawab, Ajtahidu rayii. Kemudian Rasulallah saw pun menyetujui jawaban Muaz tersebut. Akan tetapi yang perlu dicatat disini adalah, bahwa jawaban yang dikemukakan Muaz tidak berhenti sampai ajtahidu rayi saja. Jawaban lengkap Muaz ibn Jabal adalah ajtahidu rayi walaa aalu yakni menggunakan penalaran secara maksimal dengan tidak menafikan konsep wahyu. Oleh karena itu, para ahli hukum memberikan batasan ijtihad sebagai berikut; Badzlu al-faqih jundahu ala qadri istithaatih, yakni upaya seorang ahli hukum sejauh kemampuan maksimalnya. Jadi, bukan persesuaiannya dengan rasio, melainkan harus semaksimal mungkin mengerahkan kemampuan rasio oleh seorang faqih untuk mengeluarkan hukumhukum syari berdasarkan dalil-dalil (kulliyah dan juziyyah tafshiliyyah). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad menurut syari. 7 Jadi, fikih tidak akan pernah keluar dari empat pilarnya yakni; alQuran, hadis-hadis Nabi, ijma para ulama, dan qiyas shahih. Karena fikih adalah produk ijtihad.8 Oleh karena itu, pemahaman dari seorang muqallid (awam), para filsuf, ahli kalam, maupun para ahli lain di luar hukum syari tidak disebut dengan fikih, dan tidak pula disebut ijtihad.9 Sejak abad ke-18 hingga ke-20 Masehi, masalah ijtihad menjadi salah satu isue besar yang direspons dengan antusiasme tinggi
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

466

Ade Fariz Fahrullah

di kalangan umat Islam. Para intelektual muslim terkemuka senantiasa mendorong dilakukannya upaya ijtihad di tengah umat dan bahkan mempraktikannya, antara lain seperti Syah Waliyullah al-Dahlawi (1702-1762) seorang ulama reformis dan revivalis yang berideologi Islam, dan Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) intelektual modernis yang berideologi sekuler. Mereka sepakat hendak membuka dan mendobrak pintu ijtihad untuk mengatasi kemerosotan berpikir umat Islam yang sudah berlangsung lama sejak abad ke-4 Hijriah. Namun hingga kini, secara kuantitas praktek ijtihad masih sangat langka dan bahkan semenjak masa ke-emasan Islam pun jumlah ulama mujtahid masih relatif sangat sedikit ( 10%) jika dibandingkan dengan jumlah ulama di bidang lainnya (ulama tafsir, hadis, tasawuf, dan lainnya). 10 Hal ini wajar, sebab untuk menjadi seorang mujtahid (faqih) ilmuilmu yang harus dikuasainya sangat banyak sehingga sedikit orang yang mau mencurahkan seluruh waktu hidupnya difokuskan untuk mendalami ilmu-ilmu tersebut. Pada masa sekarang, kesalahpahaman tentang ijtihad terjadi kembali dan bahkan lebih gila lagi. Ada kesalahpahaman ekstrem tentang ijtihad yang didemonstrasikan sangat gamblang oleh kelompok Islam liberal (sekuler). Ini memberikan salah satu bukti lain bahwa upaya melahirkan ijtihad yang benar di tengah-tengah umat Islam belum berhasil, dan kesalahan ekstrem ini jelas hanya akan lebih menyesatkan umat dari hakikat ijtihad yang sebenarnya. Di Indonesia, faham ini ditumbuhsuburkan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandani Ulil Abshar Abdalla yang bersinergi dengan Yayasan Paramadina Jakarta pimpinan mendiang Cak Nur (Nurcholish Madjid). Kaum yang berfahamkan liberal memahami ijtihad sebagai upaya untuk menyesuaikan hukum Islam dengan realitas masyarakat yang telah diformat dalam citra ideologi kontemporer (kapitalissekuler), jadi bukan dipahami sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mengistinbathkan hukum Islam dari dalil-dalil syara. Hal ini dinyatakan oleh Taufik Adnan Kamal dan Syamsu Rizal Panggabean (anggota kelompok JIL) yang mengatakan Dalam debat-debat
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

467

Ade Fariz Fahrullah

modern, pentingnya aplikasi ijtihad dikaitkan dengan kemungkinan yang diberikannya untuk menyegarkan pemahaman Islam dan hukum Islam selaras dengan kondisi masyarakat kontemporer.11 Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa ijtihad versi mereka bukan dipahami sebagai upaya menghukumi realitas kontemporer dengan hukum Islam, melainkan sebagai upaya untuk mengubah dan menyesuaikan hukum Islam agar cocok dengan realitas kontemporer. Sehingga dalam benak kaum liberal, realitas sudah dijadikan sebagai standar dan dianggap sebagai kebenaran mutlak, sedangkan wahyu diasumsikan sebagai sesuatu yang relatif serta harus mengikuti dan tunduk pada realitas tersebut. Padahal dalam konsep ijtihad yang shahih, realitas tidak diasumsikan sebagai standar yang selalu dianggap benar. Karena realitas itu bukanlah wahyu yang pasti benar adanya tetapi hanya sebatas fakta yang tengah terjadi, yang mungkin bisa benar (sesuai wahyu) dan mungkin juga bisa tidak benar (menyimpang dari wahyu). C. COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM (CLD KHI) : PRODUK FIKIH LIBERAL Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) disusun sebagai laporan dari hasil penelitian selama dua tahun yang dilakukan oleh sebuah tim yang menamakan dirinya dengan Kelompok Kerja Pengarus Utamaan Gender (Pokja PUG) yang dikomandani DR. Siti Musdah Mulia, MA staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, yang diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Depag RI untuk meneliti, mengkaji ulang dan menyusun draft pembaruan (revisi) terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. PUG sendiri dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender.

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

468

Ade Fariz Fahrullah

Draft revisi KHI usulan Tim Pokja PUG terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Dan masing-masingnya memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam. Perspektif awalnya adalah adanya keinginan pemerintah untuk meningkatkan status KHI dari hanya sekedar produk Inpres menjadi sebuah produk UU. Target dari Tim Pokja PUG sendiri adalah untuk membuka mata masyarakat bahwa ada persoalan yang perlu dikaji, renungkan, dan refleksikan sehingga KHI tidak menjadi sakral dan seolah-olah seperti kitab suci yang tidak boleh dikritik, karena KHI yang berlaku sejak tahun 1991 adalah produk fikih yang dinilai sudah tidak bisa dan tidak mampu menyelesaikan persoalan muamalah, karena masih mengandung beberapa kecacatan yang fatal. Diantaranya; Pertama, KHI 1991 banyak mengandung ketidakadilan, patriarkal, dan bernuansa eksklusivisme; Kedua, KHI 1991 kurang sesuai dengan banyak produk hukum yang sudah ada, baik berskala nasional maupun internasional; Ketiga, KHI 1991 kurang sesuai sesuai dengan HAM; dan keempat, sudah dapat dianggap kurang sesuai dengan semangat ajaran Islam itu sendiri.12 Produk fikih menurut mereka harus mengedepankan semangat toleransi dan kebersamaan. 13 Isu gender yang dihembuskan dunia barat telah memberikan efek bius yang sangat kuat di bumi pertiwi ini. Apalagi akhir-akhir ini, ada kecenderungan naiknya kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, sebagaimana dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam laporannya dua tahun lalu di Jakarta.14 Juga seringkali dipublikasikan baik melalui media massa maupun media elektronika tentang berbagai kasus tindak kekerasan terhadap kaum hawa. Hal ini menjadi salah satu acuan dasar yang digemakan oleh Tim Pokja PUG di berbagai seminar dan diskusi yang mereka lakukan dalam rangka mensosialisasikan dan menggalang dukungan atas rumusan draft pembaruan KHI yang diusungnya.

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

469

Ade Fariz Fahrullah

Hanya saja persoalannya adalah banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar gender yang tertuang dalam CLD KHI ini jika dicermati mengandung banyak kerancuan, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan ulama khususnya dan umat Islam pada umumnya. Karena pembaruan terhadap KHI yang diajukan oleh Tim Pokja PUG, bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) maupun ishlah (perbaikan), tetapi justru terjebak dalam konsep bidah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli. Selain itu, pendekatan yang digunakan mereka bukanlah pendekatan syara, tetapi pendekatan gender, pluralisme, hak azasi manusia, dan demokrasi. Mereka berasumsi bahwa tujuan syariah adalah menegakkan nilai dan prinsip keadilan sosial, kemaslahatan umat manusia, kerahmatan semesta, dan kearifan sosial. Padahal jumhur fuqaha sepakat bahwa tujuan syariah adalah memelihara agama, diri, akal, keturunan, dan harta benda.15 Oleh karena adanya perbedaan yang sangat mendasar pada kerangka berpikir yang mereka anut inilah maka para ulama menganggap CLD KHI telah melenceng jauh dari ketentuan nash, dan bahkan mereka telah berani menafikan ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi yang qathiyyul wurud (perintah yang sudah pasti). Dalam Buku I tentang Perkawinan CLD KHI versi Tim Pokja PUG terdapat rumusan pasal-pasal yang kontroversial, diantaranya sebagai berikut : Pasal 7; Ayat (1): Calon suami atau isteri dapat mengawinkan dirinya sendiri. Pasal 9; Ayat (1): Ijab dan kabul dapat dilakukan oleh calon suami atau calon isteri Ayat (2): Apabila ijab dilakukan oleh calon isteri, maka kabul dilakukan oleh calon suami

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

470

Ade Fariz Fahrullah

Menurut Syariat Islam : - Pernikahan harus dilaksanakan oleh wali. 16 (QS. 2 : 232 dan QS. 24: 32). - Wanita yang menikahkan dirinya sendiri maka nikahnya batal, dan statusnya sama dengan orang yang berzina. 17 Pasal 11; Ayat (1): Posisi perempuan dan laki-laki dalam persaksian adalah sama. Ayat (2): Perkawinan harus disaksikan sekurangkurangnya oleh dua orang perempuan atau dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan satu orang perempuan. Menurut Syariat Islam : - Kesaksian dalam masalah muamalah disyaratkan terdiri dari dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang perempuan. (QS. 2 : 282) - Hadits Nabi saw; Tidak sah kesaksian wanita dalam masalah pidana, nikah, dan talak. - Mazhab Syafii dan Hambali mensyaratkan saksi nikah terdiri dari dua orang laki-laki. Dan tidak sah akad nikah dengan kesaksian perempuan. - Mazhab Hanafi membolehkan saksi terdiri dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, dan kesaksian yang dilakukan oleh kaum wanita saja tanpa laki-laki dinyatakan tidak sah.18 Pasal 16; Calon suami dan isteri harus memberikan mahar kepada pasangannya sesuai dengan kebiasaan (budaya) setempat. Pasal 18; Mahar menjadi milik penuh pasangan penerima setelah akad perkawinan dilangsungkan.
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

471

Ade Fariz Fahrullah

Menurut Syariat Islam : - Suami wajib memberikan mahar kepada isteri yang dinikahinya. - Mahar adalah hak isteri yang diberikan oleh suami karena terjadinya akad nikah. - Besar kecilnya mahar ditentukan oleh kesepakatan calon suami dan calon isteri atas dasar keikhlasan. - Suami tidak boleh mengambil atau memakan mahar yang telah diberikan kepada isteri, kecuali adanya kerelaan dari pihak isteri. (QS. 4 : 4) 19 - Berdasarkan hadis riwayat muttafaq alaih, Jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada pembatasan jumlah minimal dan maksimal dalam mahar.20 Pasal 50; Ayat (2): Suami dan isteri secara bersama-sama berhak : b. Memilih peran dalam kehidupan berkeluarga. Menurut Syariat Islam : - Suami adalah kepala keluarga. (QS. 4 : 34) - Isteri adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan harta suaminya. (Hadis Nabi saw) Pasal 88; Ayat (1): Bagi suami dan isteri yang perkawinannya telah dinyatakan putus oleh Pengadilan Agama, berlaku masa transisi atau iddah. Ayat (7): Masa iddah bagi seorang duda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, maka masa transisi ditetapkan seratus tigapuluh hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, maka masa transisi ditetapkan mengikuti masa transisi mantan isterinya.21
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

472

Ade Fariz Fahrullah

Menurut Syariat Islam : - Isteri yang dicerai karena kematian, masa iddahnya 4 bulan 10 hari (130 hari). (QS. 2 : 234)22 - Isteri yang dicerai hidup, masa iddahnya 3 kali suci (3 kali haid). (QS. 2 : 228) - Jika isteri yang dicerai sudah menopause maka iddahnya 3 bulan hilaliyah. (QS. 65 : 4) - Isteri yang dicerai dalam keadaan hamil, iddahnya sampai melahirkan. (QS. 65 : 4)23 - Tidak ada nash (baik al-Quran, hadis, maupun Ijma ulama) yang menyatakan bahwa suami wajib beriddah, baik karena cerai mati maupun cerai hidup. Berdasarkan beberapa rumusan tersebut diatas, tampak jelas bahwa Tim Pokja PUG Depag RI yang dikomandani Siti Musdah Mulia dalam merumuskan CLD KHI berpatokan pada konsep kesetaraan gender sebagai salah satu ide dasar pemikiran feminismenya. Dalam terminologi feminis, gender (jenis kelamin sosial) didefinisikan sebagai perbedaan perilaku atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Karena itu, gender dianggap hanya sebagai produk budaya dan bukan nature. Dengan kata lain, bahwa gender merupakan sekadar hasil persepsi suatu masyarakat terhadap kodrat (sifat paten) laki-laki dan kodrat wanita yang tidak bersifat permanen, sehingga dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut. Mereka menyatakan bahwa secara kebetulan, saat ini budaya masyarakat sedang didominasi kultur patriarkal yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior daripada perempuan, sehingga melahirkan mitos-mitos peran gender yang dapat merugikan kaum perempuan, seperti peran perempuan yang melulu (divonis) harus menjalankan fungsi-fungsi kerumahtanggaan dalam sebuah keluarga, dan sebaliknya kaum laki-laki dengan sifat-sifat maskulinitasnya selalu diarahkan untuk menjadi pemimpin atas kaum
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

473

Ade Fariz Fahrullah

perempuan (setidak-tidaknya sebagai pemimpin dalam sebuah keluarga). Oleh karena itu, kelompok liberal ini berobsesi untuk merubah masyarakat Indonesia yang patriarki menjadi masyarakat berkesetaraan gender, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan persepsi keagamaan yang dianggap bias gender, dan lain-lain) maupun secara struktural (seperti melalui perubahan kebijakan), dan pada akhirnya suatu saat nanti masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), sehingga tidak terjadi lagi pembagian peran sosial dan semua orang (laki-laki dan perempuan) akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya secara wajar tanpa harus merasa malu maupun khawatir dianggap menyalahi kodratnya. Untuk merealisasikan obsesinya tersebut, mereka pun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran baru yang senafas dengan tuntutan zaman, yakni dengan cara melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash syariat ke arah keberpihakan pada kaum perempuan dengan mengusung salah satu konsep ulama yang kerapkali diperdengarkan Taghayyur al-hukm bi taghayyur alamkinah wa al-azminah wa al-ahwal. Konsep ini menunjukkan bahwa perubahan hukum adalah sebuah keniscayaan yang selalu bergerak dan berputar sesuai dengan tempat, zaman, serta situasi dan kondisi dimana umat Islam itu berada. Dengan kata lain, bahwa hukum Islam akan selalu berkembang sesuai dengan tabiat lokal yang mengitarinya. Karena itu, fitrah Islam sebagai agama rahmatan lil alamin tidak bisa disamaratakan pada semua negara. Indonesia adalah sebuah negara yang sangat kaya dengan ragam budayanya, sehingga menurut mereka perlu adanya penyatuan antara hukum Islam dengan budaya lokal setempat, dengan tujuan agar mudah dapat diterima secara sukarela dengan tanpa harus mengorbankan nilai-nilai dasar budayanya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menerima budaya, karena budaya adalah nilai dasar hidup. Keberhasilan Walisongo dalam menyebarkan agama
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

474

Ade Fariz Fahrullah

Islam tidak lepas dari upayanya yang memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam ragam budaya masyarakat saat itu. Dengan demikian, aturan hukum Islam tidak akan pernah lepas dari nilai-nilai kontekstual peradaban. Oleh karena itu menurut liberalisme, adanya penerapan hukum Islam yang berbeda tidak selalu harus dilarang, karena ijtihad sendiri merupakan upaya berpikir keras terhadap kehidupan keagamaan yang dijadikan sebagai sebuah solusi yang ditawarkan dalam pembentukan hukum Islam. Jika diperhatikan baik secara konseptual maupun praktis, ide kesetaraan gender yang mereka suarakan, yang salah satunya melalui rumusan CLD KHI tersebut sangatlah absurd dan utopis. Ada kesan, seakan-akan mereka tidak dapat menerima realitas kelahiran manusia dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitasnya, padahal meski bagaimanapun mereka tidak akan mungkin menolak fakta, bahwa manusia memang terlahir terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lantas logika apa yang harus digunakan untuk menjelaskan mengapa manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan bentuk dan jenis yang berbeda, kalau bukan karena keduanya (kaum laki-laki dan perempuan) memang dan pasti memiliki peran dan fungsi yang berbeda. Adanya asumsi bahwa perbedaan sebagai sebuah bentuk ketidakadilan adalah sangat bertentangan dengan nilai ajaran Islam. Islam sebagai agama yang sempurna memiliki cara pandang yang sangat khas, adil, dan objektif terhadap eksistensi kaum adam dan hawa dalam kehidupan masyarakat. Karena tujuan diciptakannya lakilaki dan perempuan adalah untuk menjaga kelestarian garis keturunan dan terciptanya ketenteraman batin dalam balutan rasa kasih sayang. (QS. 30 : 21) Dalam pandangan Islam bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, dalam arti bahwa keduanya secara insaniyah sama-sama memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri, dan kebutuhan jasmani. Oleh karena itu, perbedaan yang ada tidak bisa diasumsikan sebagai cerminan ketidakadilan, tetapi harus dipahami sebagai sebuah ketetapan Allah swt yang mutlak dan pasti. Tujuannya adalah demi kemaslahatan, kelestarian, dan kesucian hidup manusia
Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

475

Ade Fariz Fahrullah

dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai dengan aturan yang telah digariskan-Nya. Karena kemuliaan hakiki menurut syara bukan diukur berdasarkan jenis kelamin, status, maupun kedudukan seseorang melainkan atas dasar nilai ketakwaan, yakni bentuk ketaatan untuk melaksanakan semua aturan Allah swt sesuai dengan peran dan fungsi yang diamanatkan-Nya. (QS. 51 : 56) Dengan demikian, ide kesetaraan gender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan, sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap ke-Mahaadilan dan ke-Mahasempurnaan Allah swt sebagai Pencipta dan Pengatur manusia. Oleh karena itu, sangatlah tidak layak apabila kaum muslim dan muslimah meyakini terhadap kebohongan ide ini. D. KESIMPULAN Patut diwaspadai, bahwa di era globalisasi ini ada kekuatankekuatan internal dan eksternal yang tidak menghendaki adanya kesatuan persepsi umat Islam Indonesia dalam memahami dan mengamalkan ajaran syariatnya. Antara lain, dengan cara diciptakannya konflik diantara umat Islam sendiri melalui penebaran teori-teori tentang syariah yang beraneka ragam, sehingga umat Islam akan mudah terpecah belah dan menjadi lemah tak berdaya. Salah satu teori yang berhasil dihembuskannya adalah menafsirkan ayat-ayat alQuran dengan menggunakan pendekatan hermeneutika. Pendekatan inilah yang digunakan oleh Tim Pokja PUG Depag RI dalam merumuskan draft pembaruan Kompilasi Hukum Islam. 24 Oleh para ulama Indonesia rumusan CLD KHI tersebut dianggap banyak yang sangat tidak berkesesuaian dengan nilai-nilai dan semangat ajaran Islam. Atas dasar ini, para ulama yang dipelopori oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) memaksa pemerintah melalui Menteri Agama RI saat itu untuk menghentikan dan membekukan sosialisasi dan kegiatan semisalnya yang dilakukan oleh Tim Pokja PUG Depag RI pimpinan

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

476

Ade Fariz Fahrullah

Siti Musdah Mulia,25 karena dikhawatirkan akan semakin lebih menyesatkan dan memecah belah umat Islam Indonesia. Disadari atau tidak, CLD KHI akan semakin melestarikan dikotomi kesadaran hukum di Indonesia, sehingga umat Islam sebagai komunitas mayoritas akan semakin lemah dan tak berdaya dalam mempersatukan persepsi ajaran syariatnya. Harus diakui, bahwa umat Islam merupakan salah satu faktor yang menyebabkan eksisnya NKRI sampai saat ini. Sejarah membuktikan, bahwa Indonesia pernah dijajah Portugis, Jepang dan bahkan belanda selama 350 tahun, tetapi secara struktural dan kultural mereka para kaum penjajah tidak pernah bisa menguasai rakyat Indonesia yang notabene-nya mayoritas muslim, karena pada saat itu masyarakat muslim masih kokoh dan seragam dalam persepsi dan pemahaman ajarannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya kewaspadaan yang tinggi dalam membendung arus global yang semakin menyudutkan dan mempersempit ruang gerak umat Islam dalam mengamalkan ajarannya. Wallahu alam bishshawab.......

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

477 Endnotes :
1

Ade Fariz Fahrullah

6 7

10 11

12 13

14

15 16

Dr. Abdul Karim Zaidan, al-Madkhal li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981), haal. 63 KH. Ali Yafie, Sistem Pengambilan Hukum Oleh Aimmatu al-Mazahib dalam Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandunga: PT. Remaja Rosdakarya, 1990), hal. 14 KH. M. Shiddiq al-Jawi, Memahami Konsep Ijtihad dan Taqlid dengan Benar, (http://www.khilafah1924.org.), hal. 1. Drs. Syafiq Mahmadah Hanafi, MA dan Fatma Amilia,S.Ag.,MA., Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Periode Taqlid dalam Mazhab Jogja : Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hal. 86-88 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), Cet. Ke-12, hal. 18; Lihat juga Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Lohos, 1997), Cet. Ke-1, hal. 8-9. KH. Ali Yafie, Op.Cit., hal. 15. Firdaus, M.Ag., Ushul Fiqh : Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensif, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), Cet. Ke-1, hal. 73 Syaikh Abdurrahman Abu Nashir al-Syadi, Risalah fi Qawaid al-Fiqhiyyah, (Riyadh: Adhwa al-Salaf, 1998), hal. 10-12 Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas, 2001), Cet. I, hal. 136-137; Agus Hasan Bashari, Mewaspadai Gerakan Kontekstualisasi Al-Quran, (Surabaya: Pustaka Sunnah, 2003), hal. 152-153 KH. M. Shiddiq al-Jawi, Loc.Cit. Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam dari Indonesia Hingga Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alfabet, 2004), hal. 196. Lihat CLD-KHI, http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=733 Agus Hasan Bashori, Koreksi Total Buku Fikih Lintas Agama : Membongkar Kepalsuan Paham Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2004), Cet ke2, hal. 11 Pada tahun 2001 jumlah laporan yang masuk kepada Komnas Perempuan sebanyak 3.160 kasus, kemudian pada tahun 2003 tercatat sebanyak 7.782 kasus, dan pada tahun 2004 tercatat sebanyak 14.020 kasus. Dengan demikian tampak jelas adanya kenaikan yang sangat signifikan dalam kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya di tahun 2004. Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, op.cit., hal. 18-20 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Fatwa-fatwa Rasulallah saw, terj., (t.tp: Pustaka Azzam, 2000), hal. 64; Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj. (Bandung: PT. Al-Maarif, 1990), hal. 13-14

Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

478
17

Ade Fariz Fahrullah

18

19 20 21

22 23 24 25

Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulugh al-Maram min adillah al-Ahkam, (Indonesia: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.th), hal. 204-206; Lihat juga H. Mahrus Ali, Irsyadul Ibad, terj., (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hal. 657 Muhammad Jawad Mughniyyah, Fiqih Lima Mazhab, terj., (Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2004), hal. 313-314 Ibid., hal. 364-365. Ibn Hajar al-Asqalany, op.cit., hal. 203 Hartono Muhammad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2006), Cet. Ke-6, hal. 109-110. Ibn Hajar al-Asqalany, op.cit., hal. 234. Muhammad Jawad Mughniyyah, op.cit., hal. 464-478. Hartono Ahmad Jaiz, op.cit., hal. 110 Menteri Agama saat itu Prof. DR. H. Said Agil Hussein al-Munawwar menyampaikan teguran keras kepada Tim Pokja PUG Depag RI yang menyusun draft pembaruan KHI melalui suratnya No. MA/271/2004 tanggal 12 Oktober 2004, supaya tidak mengulangi dan mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan mengatasnamakan Tim Depag RI, dan semua draft CLD KHI harus diserahkan kepada Menteri Agama RI. Bahkan Menteri Agama RI baru H. Maftuh Basyuni pada tanggal 14 Pebruari 2005 langsung membatalkan CLD KHI, dan Siti Musdah Mulia sebagai ketua Tim Pokja PUG dilarang keras untuk menyebarluaskan gagasannya.1

Ade Fariz Fahrullah, Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Alumnus Program S2 IAIN Susqa Pekanbaru (2003) Hukum Islam. Vol. VII No. 5. Juli 2007

You might also like