You are on page 1of 3

LATAR BELAKANG Makanan yang paling baik untuk bayi segera lahir adalah Air Susu Ibu (ASI).

ASI mempunyai keunggulan baik ditinjau segi gizi, daya kekebalan tubuh, psikologi, ekonomi dan sebagainya. Makanan terbaik bayi adalah ASI. Namun, dengan bertambahnya umur, bayi memerlukan energi dan zat-zat gizi yang melebihi jumlah ASI. Bayi harus mendapat makanan tambahan/ pendamping ASI. ASI diberikan secara eksklusif selama enam bulan pertama, setelah itu kebutuhan gizi dan energi bayi melebihi kapasitas kandungan gizi pada ASI sehingga bayi harus diberikan makanan pelengkap ASI setelah lewat enam bulan, ASI diberikan hingga bayi berusia dua tahun. Banyaknya ASI yang dihasilkan ibu tergantung dari status gizi ibu, makanan tambahan sewaktu hamil/menyusui, stress mental dan teknik menyusui yang benar. Teknik menyusui dipengaruhi oleh posisi ibu dan bayi yang benar, penempelan, penyedotan ASI dan faktor pemicu pengeluaran ASI. Dianjurkan untuk memberi 100-110 Kkal energi tiap kgBB/ hari. Oleh karena itu, susu bayi mengandung kurang lebih 67 Kkal tiap 100 cc. Maka bayi diberikan 150-160 cc susu tiap kgBB. Tetapi tidak semua bayi memerlukan jumlah energi tersebut. Bayi merupakan sumber daya manusia pada masa yang akan datang. Kesehatan dan gizi pada tahun pertama kehidupan bayi akan menentukan tingkat kesehatan, intelektual, prestasi dan produktivitas di masa depan. Mendapatkan air susu ibu (ASI) merupakan permulaan terbaik di awal kehidupan bayi. ASI merupakan cairan ciptaan Allah yang paling sempurna untuk menjamin tumbuh kembang bayi pada enam bulan pertama. Keseimbangan zat-zat gizi yang dikandung ASI berada pada tingkat yang terbaik. WHO (2003) mengeluarkan deklarasi bahwa seorang ibu harus memberikan ASI eksklusif pada bayinya sampai usia enam bulan. Di Indonesia, masalah gizi khususnya pada balita, menjadi masalah besar karena berkaitan erat dengan indikator kesehatan umum seperti angka kesakitan dan angka kematian bayi dan balita. Untuk menanggulangi masalah tersebut, Departemen Kesehatan mendorong dilakukannya gerakan pemberdayaan masyarakat melalui gerakan keluarga sadar gizi (kadarzi) dengan secara rutin memantau berat badan balita, memberi ASI eksklusif pada bayi sampai usia enam bulan, mengkonsumsi berbagai ragam makanan, dan mengkonsumsi suplemen gizi sesuai anjuran.

Namun pada kenyataannya terjadi kecenderungan menurun ketersediaan ibu untuk menyusui maupun lamanya ibu menyusui. Hal ini seiring dengan semakin meningkatnya kemajuan teknologi khususnya di bidang produksi susu formula dan makanan untuk bayi yang disertai dengan peningkatan sarana komunikasi dan transportasi yang memudahkan periklanan dan perluasan distribusi susu formula dan makanan untuk bayi. Selain itu tuntutan kebutuhan hidup yang semakin tinggi memaksa si ibu untuk bekerja atau membantu nafkah keluarga sehingga keinginan untuk menyusui anak pun semakin berkurang (Budiarti, 2007). Syarifah (2001) menyatakan bahwa ada kecenderungan semakin banyak ibu tidak memberikan ASI pada bayinya, salah satu penyebabnya adalah banyaknya ibu yang bekerja terutama di daerah perkotaan. Peran ganda seorang ibu antara mengasuh anaknya termasuk memberikan ASI dan bekerja membantu ekonomi keluarga, sering membuat seorang ibu mendapat kesulitan mengatasinya. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Abdullah (1984), Hidayah (1999), dan Rahayu dan Asngad (2000) yang menyimpulkan bahwa pola pemberian ASI pada ibu yang tidak bekerja lebih baik dari pada pola pemberian ASI pada ibu yang bekerja. Zulkifli (2001) meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya pemberian ASI eksklusif di provinsi Jawa Tengah menggunakan regresi logistik. Variabel yang diduga berpengaruh adalah pendidikan ibu, kelengkapan imunisasi balita, aktivitas ibu, jumlah anak, dan umur ibu. Variabel berpengaruh secara nyata adalah pendidikan ibu, jumlah anak, dan umur ibu. Pendidikan ibu berpengaruh negatif terhadap pemberian ASI eksklusif, sedangkan jumlah anak dan umur ibu berpengaruh positif terhadap pemberian ASI eksklusif. Abdurrahman (2002) menggunakan data Susenas 1998 di provinsi Maluku meneliti tentang lamanya ibu menyusui dengan menggunakan variabel pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, penggunaan kontrasepsi, pendidikan suami, status daerah, jumlah anak, dan usia perkawinan pertama. Dari penelitian tersebut ternyata hanya penggunaan kontrasepsi dan status daerah yang berpengaruh nyata terhadap lamanya menyusui. Menyusui lebih lama pada ibu yang menggunakan kontrasepsi dan tinggal di daerah pedesaan. Hasil penelitian Setiawati (2003) terhadap 121 ibu yang melahirkan di enam rumah sakit di Semarang menyimpulkan bahwa umur ibu mempengaruhi pemberian ASI. Semakin muda umur ibu, maka cenderung pendek waktu ibu memberikan ASI. Selain itu, variabel yang juga berpengaruh adalah pemakaian kontrasepsi hormonal dan dukungan keluarga. Ibu yang menggunakan kontrasepsi hormonal cenderung memberikan ASI dalam waktu yang pendek

karena kontrasepsi hormonal dapat memengaruhi produksi ASI. Sementara itu dukungan keluarga berpengaruh posifit terhadap pemberian ASI eksklusif. Pada dasarnya para ibu sebagian besar memberikan ASI kepada bayinya, namun mereka belum memahami bahwa ASI itu harus diberikan secara eksklusif 6 bulan dan masih banyak ibu-ibu yang menyusui anaknya dengna teknik yang salah. Masih banyak ibu yang memberikan makanan tambahan diawal bayi masih berusia kurang dari enam bulan padahal seharusnya diberikan setelah lewat usia enam bulan. Tidak hanya itu, masih ada beberapa ibu yang memberikan susu formula sebagai pengganti ASI, padahal kandungan dalam susu Formula tidak sekaya kandungan ASI. Oleh karena itu, setelah melihat kondisi di lapangan dan minimnya pengetahuan mengenai ASI, kami memutuskan untuk Membuat Lokakarya mini mengenai pentingnya ASI serta teknik menyusui yang baik dan benar.

You might also like