You are on page 1of 13

EPISTEMOLOGI IRFANI AL JABIRI I.

Pendahuluan Ilmu pengetahuan yang merupakan kunci dari kemajuan yang diraih umat manusia, tentunya tidak bisa datang begitu saja tanpa adanya suatu proses sebelumnya. Proses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ini dalam kajian filsafat dikenal sebagai epistemologi1. Menurut seorang pemikir muslim kontemporer bernama Muhammad Abid Al Jabiri, epistemologi mengacu pada serangkaian prinsip prinsip dasar yang dihasilkan oleh suatu budaya tertentu sebagai landasan (kerangka dasar) aktivitas pemerolehan pengetahuan (sistem epistemik), dan produksi pengetahuan2. Ini berarti bahwa epistemologi merupakan matriks konseptual yang digunakan untuk menata pengalaman dan mengarahkan tanggapan terhadap dunia luar sebagai realitas yang disadari.3 Dan ditemukan olehnya bahwa memperoleh ilmu pengetahuan bisa diraih dengan tiga model epistemologi yaitu 1)epistemologi Bayani, 2) epistemologi Irfani, 3)epistemologi Burhani yang kemudian disebut dengan trilogi epistemologi Muhammad Abu Al Jabiri atau trilogy kritik Al Jabiri. Karena menurut Jabiri, Tradisi (turas) Islam, sama sekali berbeda dengan tradisi lain, juga bukan sekedar karya karya atau pandangan ulama terdahulu sebagaiman yang dipahami kaum tradisional. Tradisi Islam adalah segala yang secara asasi berkaitan dengan aspek pemikiran dalam peradaban Islam, mulai dari ajaran doctrinal, syariat, bahasa, sastra, seni, teologi, filsafat dan tasawuf. Artinya tradisi dalam problem historis yang bergolak di antara satu sama lain, saling mengisi, saling kritik, bahkan saling

H. Akhmad Haries, Hukum Islam: Antara Teks, Moral, Dan Akal, di Jurnal Mazahib, Vol. IV, No. 1, Juni 2007, Hal. 1 http://stain.gurningsoft.com/news/file/1%20hukum%20islam%20Akhmad%20Haries %20Oke.pdf 2 Abid Al Jabiri, Takwin Aql Al Arabi hal 15 dalam Dr. Mahmud Arif , Pendidikan Islam Transformatif (Yogyakarta: LKis, 2008), hal 16 3 Ibid, 16

jegal. Karena itu ia tidak bisa dikaji dengan pendekatan materialism historis4, seperti yang lazim digunakan kaum orientalis, tetapi harus dikaji dengan metode metode khusus yakni strukturalis, analisis sejarah, kritik ideologis. Epistemologi irfani yang dipaparkan menurut hasil bacaan Jabiri adalah irfani yang diraih oleh kaum sufi dan kaum syiah, sedemikian rupa Jabiri memperoleh data tentang irfani dari kaum sufi dan syiah sehingga sedikit banyak terkuaklah pengetahuan pengetahuan melalui jalur irfani tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba untuk sedikit menjelaskan tentang Epistemologi Irfani yang dikaryakan oleh Jabiri dimana epistemologi irfani nampaknya bisa dijadikan model untuk menguak hakikat ilmu pengetahuan.
II.

Biografi Al Jabiri Nama lengkapnya adalah Muhammad Abid Al Jabiri. Lahir di Feiji (Figuig) sebelah selatan, Maroko, tahun 1936. Ia menyelesaikan pendidikan ibtidaiyahnya di madrasah hurrah wathaniyyah, sekolah agama swasta yang didirikan sebuah gerakan kemerdekaan ketika itu. Pendidikan menengahnya dia tempuh dari 1951 -1953 di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka. Sejak dari awal Jabiri telah tekun mempelajari filsafat. Pendidikan Filsafatnya dia mulai Pada tahun 1958 di Universitas Damaskus, Syiria. Jabiri tidak bertahan lama di universitas ini. Setahun kemudian dia berpindah ke Universitas Rabat yang baru saja didirikan di negara asalnya. Dia menyelesaikan program masternya pada tahun 1967 dengan tesis Falsafah alTarikh inda Ibnu Khaldun (Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun) di bawah bimbingan N. Aziz Lahbabi (w.1992). Gurunya juga seorang pemikir Arab Maghrib yang banyak terpengaruh oleh Bergson dan Sarter. Dia meraih gelar Doktor Falsafah pada tahun 1970 di bawah bimbingan Najib Baladi. Disertasi Doktornya juga berkisar seputar pemikiran ibnu khaldun dengan judul Ibn Khaldun: Al asabiyyah wa al-Dawlah: Maalim Nazariyyah Khalduniyyah fi al-tarikh alIslami (Pemikiran Ibn Khaldun: Asabiyah dan Negara: Rambu Rambu Paradigmatik Pemikiran Ibnu dalam Sejarah Islam).
4

konsep yang diusung oleh Karl Marx yang dipengaruhi oleh filosof abad pertengahan

Jabiri merupakan seorang pemikir Muslim kontemporer yang kreatif, sangat kritis dan sekaligus provokatif. Di kalangan pemikir arab, Jabiri memang dikenal sebagai filosof kontemporer Arab yang memiliki ideide brilian. Ia menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang merupakan Koran, majalah atau berbentuk buku. Topic yang dicovernya juga bervariasi dari isu sosial dan politik hingga filsafat dan teologi,5 antara lain adalah, Durus fi al Falsafah (1966), Fikr Ibn Khaldun al Asabiyyah wa ad Daulah (1971), Adwa ala Musykil At-Talim (1973), Madkhal ila Falsafah al Ulum (1976), Min Ajl Ruyah Taqaddumiyyah li BadMusykilatina al-Fikriyyah wa at-Tarbiyyah (1977), Nahn wa at-Turas (1980), Takwin al-Aql Al Arabi (1982), Bunyah Al Aql al-Arabi (1990), al-Aql as-Siyasi al-Arabi(`990), al-Khitab al-Arabi al-Muasir).6 III. Epistemologi Irfani Menurut KH. M. Sholikhin dalam bukunya Filsafat dan metafisika dalam islam mengatakan bahwasannya tiga epistemologi bayani, irfani dan burhani digabungkan oleh Jabiri menjadi suatu kajian agama filosofis yang komprehensif. Al Jabiri mengintergrasikan antara formasi burhani, sistem pengetahuan bayani dan formasi sistem pengetahuan irfani. Ketiganya tidak terpisah secara diametris, namun saling melengkapi dan saling mendukung, sehingga diharapkan kajian keislaman yang mampu mencerahkan umat Islam (Jabiri: 98-465; 2003, 121- 544)7. Menurutnya lagi , Al Jabiri dalam upaya mengintegrasikan ketiga jenis perspektif filsafat itu, setelah sekian lama saling bermusuhan merupakan langkah yang sangat bagus dan strategis. Hal ini merupakan pendekatan bagi sejarah relasi pendekatan filosofis dengan studi agama8.

5 Nirwan Syafrin, Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al Jabiri, di Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, thn I no 2, Juni Agustus 2004, hal. 43-44 6 A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, di Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) 7 KH. M. Sholikhin, Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Manunggaling Kawula - Gusti( Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008), hal 106 8 Ibid ,hal 106

Dalam bukunya Bunyah al-Aql al-Arabi, Jabiri membagi pembahasan epistemologi irfani membagi pembahasannya kepada enam poin: Pertama adalah pengantar didalamnya mengetengahkan tentang definisi Irfani dan sekilas historisnya, kemudian pembahasan kedua dan ketiga membahas tentang lapangan cakupan irfanii berkisar kepada Zhahir dan Bathin : Hakikat antara tawil dan syathahat, dan Zhahir dan Bathin: Analogi atau Qiyas Irfani, kemudian berkenaan seputar Nubuwwah dan Wilayah: Irfani SyiI dan Zaman Da-iriy, Nubuwwah dan Wilayah: Irfani Sufi dan Zaman Munkasir, dan poin ke enam dibuat penutup: Irfani: Analogi dan Mitos 1. Definisi Irfani dan Sekilas Historisnya Irfani berasal dari bahasa Arab yang asal katanya dari bentuk masdar yaitu Irfan lalu ditambah ya nisbat, jadi dibaca Irfani. Ia menunjukkan bentuk khusus dari sebuah konsep jenis keilmuan. Yang sebelum diberi ya nisbat, ia berbentuk umum. Yang berarti pengetahuan. Tetapi ia berbeda dengan ilman (ilmu). Dalam konteks ini, Irfan atau makrifat dimaksudkan sebagai perolehan secara langsung melalui pengalaman ilham, kasyf, iyan (persepsi langsung), dan isyraq. Sedang ilmu menunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi (naql) atau rasionalitas (aql). Karena itu secara terminologis Irfan bisa diartikan sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakekat oleh Tuhan kepada hambanya (kasyf) setelah adanya olah rohani (riyadhah) yang didasarkan atas dasar cinta (mahabbah). Dan mahabbah inilah yang mempercepat seorang hamba marifat (mengetahui hakekat). Mengenai marifat, yakni mengenal Allah dalam hati yang sebenarnya, yang menjadi tujuan para sufi. Al-Ghazali berpendapat bahwa marifat akan dapat dicapai dengan hati yang bersih. Artinya hati yang bersihlah yang bisa menerima Nur Allah untuk mengenal sesuatu dalam hati yang sebenarnya. Syarat pertama yang harus dilakukan adalah mensucikan hati dari yang selain Allah Swt. Kunci

itu adalah melibatkan hati secara total untuk berdzikir (ingat) kepada Allah dan akhir dari kesucian itu adalah fana secara total menuju Allah.9 Al-irfan adalah fenomena system pengetahuan yang dikenal oleh agama agama besar (Yahudi, Kristen dan Islam) bahkan oleh kelompok agama-agama pagan. Karenanya, al-irfaniyyah (gnosticisme) menunjuk pada pola madzab yang plural. Konsep al-irfan dalam keilmuan Islam menurut Jabiri bisa dilacak sejak pra Islam. Imlikh Jamlichus pada abad II atau III M, seorang Filosof keturunan Syiria beraliran Neo-Platonis, sejak awal lebih memilih tradisi filsafat Hermes daripada filsafat Aristoteles dalam menyelesaikan persoalan. Dan sosok ini cukup populer dalam karya terjemahan dan penulis-penulis Arab. Sejak akhir era Yunani sampai pada pertengahan abad ke-7 M, bersamaan dengan kemunculan Islam bahkan penyebarannya, tradisi irfan merupakan mazhab pemikiran yang berkembang dan bersifat oposan terhadap tradisi rasionalisme Yunani.10 Sejak awal dalam dunia tasawuf, telah dibedakan derajat pengetahuan menjadi tiga sistem pengetahuan, kemudian dicari rujukannya dari teks al-Quran. Teks tersebut adalah : ,11 haq al-yaqin adalah pengetahuan irfani, , ilm al-yaqin adalah pengetahuan burhani dan 21, ayn al-yaqin untuk pengetahuan bayani, demikian al-Qushayri menjelaskan.13 2. Zahir dan Batin Sesuai dengan sasaran bidik Irfan yang esoterik, isu sentral Irfan adalah lahir dan Batin, bukan sebagai konsep yang berlawanan tetapi sebagai pasangan. Menurut Muhsibi (w. 857 M), Al-Ghazali (w. 1111 M), Ibn Arabi (w. 1240 M), juga para sufis yang lain, teks keagamaan (al-Quran dan Hadits) tidak hanya mengandung apa yang tersurat (zahir) tetapi juga apa yang tersirat (batin). Aspek zahir teks adalah bacaannya (tilawah) sedang aspek batinnya adalah takwilnya. Jika dianalogikan dengan Bayani konsep zahir-batin ini tidak berbeda dengan
9 Nurul kholish , Nalar Irfani dalam Kancah Problema di Indonesia ( Yogyakarta: 2009), hal. 6 10 Terjemahan Abu Rohmanu, Bunyah al-Aql al-Arobi, Muhammad Abid Al Jabiri 11 QS. Al waqiah : 95 12 QS. At-Takatsur: 5 & 7 13 Abu Rohmanu, Melacak Genealogi Nalar Arab, http://www.scribd.com/rohmanu

lafadz menuju makna sedang dalam Irfani seseorang justru berangkat dari makna menuju lafadz, dari batin menuju zahir atau dalam bahasa al-Ghazali, makna sebagai ashl, sedang lafadz mengikuti makna (sebagai furu).14 Persoalannya, bagaimana makna atau dimensi batin yang diperoleh dari kasyf tersebut diungkapkan? Menurut Jabiri, makna batin ini, pertama, diungkapkan dengan cara apa yang disebut sebagai I`tibr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Sebagai contoh, qiyas yang dilakukan kaum Syiah yang menyakini keunggulan keluarga Imam Ali ra. atas QS. Al-Rahman, 19-22. Dia membiarkan dua lautan mengalir dan bertemu; diantara keduanya ada batas yang tidak terlampaui dan dari keduanya keluar mutiara dan marjan. Dalam hal ini, Ali dan Fatimah dinisbatkan pada dua lautan, Muhammad saw dinisbatkan pada batas (barzah), sedang Hasan & Husein dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Barzah Dua laut = Muhammad , Ali/Fatimah Dua lautan Mutiara & Marjan = Ali/Fatimah Hasan/Husein

Contoh lain adalah qiyas yang dilakukan al-Qusyairi atas ayat yang sama. Menurutnya, dalam hati ini ada dua lautan, yakni khauf (takut) dan raja (harapan), dan dari sana keluar mutiara dan marjan, yakni ahwl al-shufiyah dan lathif al-mutawaliyah. Diantara keduanya ada batas yang tak terlampaui, yakni pengawan Tuhan atas ini dan itu. Artinya, konsep sufisme tentang khauf dan raja dinisbatkan pada kata bahrain (dua lautan), sedang ahwl dan lathif dinisbatkan pada mutiara dan marjan. Khauf/ Raja via Ahwl/ Lathif Dua lautan Mutiara/ Marjan

Dengan demikian, qiyas irfani ini tidak sama dengan qiyas bayani atau silogisme. Qiyas irfani disini berusaha menyesuaikan konsep yang telah ada atau pengetahuan yang diperoleh lewat kasyf dengan teks, qiyas al-ghaib `ala alsyahid.15

14 15

A. Khudori Soleh, op.cit, hal 245 A. Khudori Sholeh, Epistemologi Irfani Pdf, hal 10

Kedua, pengetahuan kasyf dengan apa yang disebut Syathahat namun berbeda berbeda dengan qiyas Irfani yang dijelaskan secara sadar dan dikaitkan dengan teks, Syathahat ini sama sekali tidak mengikuti aturan-aturan tersebut. Sathahat lebih merupakan ungkapan lisan tentang perasaan (al-Wijdan) karena limpahan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan maha besar aku dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atau Ana alHaqq (aku adalah Tuhan) dari al-Hallaj (w. 913 M) ungkapan-ungkapan seperti itu keluar saat seorang mengalami pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula, ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran yang baku. Meski demikian secara umum, sathahat sebenarnya diterima di kalangan sufisme, meskipun kalangan sufisme sunni ada yang membatasi diri pada aturan syariat, yakni syarat bahwa Sathahat tersebut harus ditakwilkan, ungkapan harus dikembalikan dahulu dalam makna zahir teks, artinya Sathahat tidak boleh diungkapkan secara liar dan berseberangan dengan syariat yang ada. Itulah sebabnya di kalangan para studi tasawuf menyebutnya sebagai tasawuf heterodoks, sebagai lawan dari tasawuf ortodoks, yang membatasi dirinya dengan tradisi syariat yang sering disebut tasawuf sunni, bagi kaum ortodoks syathahat harus ditakwilkan. Takwil disni berarti mengembalikan bathin ke dzhahir atau mengembalikan haqiqat ke syariat. Persoalannya, dimana hakikat qiyas irfani, takwil atau syatah Sufism diatas, sebab apa yang diungkapkan para tokoh tersebut ternyata tidak sama, meski mereka sama sama mengklaim telah mengalami atau mendapat pengetahuan langsung dari realiatas mutlak. Hakikat tawil dan syatah tidak lain adalah pemaknaan atau pemahaman atas realitas yang ditangkap saat kasyf, dan itu pasti berbeda di antara masing masing orang, sesuai dengan kualitas jiwa dan pengalaman social budaya yang menyertainya16

16

A. Khudori Soleh, op.cit, hal 245

3.

Nubuwah dan Walayah Sejalan dengan konsep zahir dan batin, muncul konsep nubuwah dan

walayah. Nubuwah adalah padanan dari konsep zahir sedang walayah pasangan dari batin. Keduanya berkaitan dengan otoritas religius yang diberikan Tuhan atas diri seseorang. Bedanya, kenabian ditandai dengan wahyu dan mukjizat serta diperoleh dengan tanpa usaha, sedang kewalian ditandai dengan karamah serta irfan, dan diperoleh lewat usaha (iktisb). Ibn Arabi menyebut kedua konsep tersebut dengan konsepkenabian umum dan kenabian khusus. Kenabian umum adalah kewalian yang berhubungan dengan ilham, makrifat atau irfan, sedang kenabian khusus adalah nabi yang dibekali syareat dan ketentuan hukum-hukum formal. Kedua posisi tersebut mempunyai derajat yang berbeda. Kenabian lebih tinggi dibanding kewalian, dimana puncak kewalian adalah awal dari kenabian. Pengalaman muksyafat (kasyf) yang bisa dialami pada permulaan kenabian adalah puncak perjalanan spiritual kewalian. Dalam buku The Garden Truth, Seyyed Hussen Nasr mengatakan, bimbingan itu mempunyai dua tingkatan, yang pertama adalah nubuwah (kenabian), yang merupakan petunjuk untuk seluruh ummat manusia dan semua anggota masyarakat yang kepada mereka wahyu itu ditujukan, dan yang kedua dengan bimbingan batin dan kempemimpinan (walayah/wilayah) untuk sedikit orang yang bercita cita meraih kesempurnaan ruhani17. Kenyataan ini di dalam Islam merupakan sumber, fondasi dan kekuatan batin yang berkesinambunganyang mebuat perjalanan di atas jalan sufi menjadi mungkin. Lebih jauh lagi walayah/ wilayah hanya dapat dijangkau di dalam realitas nubuwah. Itulah mengapa jalan sufi, atau thariqah, tidak mungkin diikuti tanpa mengikuti perintah dan ajaran hukum Islam atau syariah yang ditujukan oleh seluruh umat Islam, termasuk kaum Sufi18.

Seyyed Husein Nasr, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islams Miystical Tradition , terj: Yuliani Lupito cetakan I (Jakarta: Mizan, 2010), hal 78 18 Ibid, hal 78

17

Sementara itu, dalam pemikiran madzhab Syiah, walayah dikaitkan dengan konsep imamah yang punya otoritas religius dan politik. Bagi kaum Syiah, karena risalah yang diberikan kepada para Rasul telah selesai dengan wafatnya Muhammad saw, maka para imam-lah yang bertugas menjaga dan meneruskan misi syareat dengan menerima ilham yang tidak lain adalah hakekat rilasah kenabian. Karena itu, keberadaan imamah adalah sesuatu yang mutlak karena mereka adalah nubuwah al-bathiniyah, nubuwah al-haqiqah yang menjadi salah satu rukun agama. 19Karena itu pula, menurut Imam Ja`far Shadiq (702-757 M), kedudukan para imam Syiah adalah sama dengan kedudukan para nabi ghair almursaln (nabi yang tidak dibekali syareat tersendiri), bahkan dengan para rasul. Bedanya, Rasul boleh menikah dengan lebih dari empat wanita sementara para imam tidak boleh.20 4. Penutup; Irfani: Analogi dan Mitos Dalam akhir pembahasannya di bab Epistemologi Irfani, pertama Al Jabiri meringkas apa yang ia kaji pada pasal pasal sebelumnya yang terdiri dari 4 pasal21. Setidaknya dalam khulashohnya Al Jabiri berpendapat bahwasannya pengalaman irfani yang didapat dalam irfani Islam mau tidak mau tetap dipengaruhi dari pengalaman pengalaman irfani yang ada sebelum masa Islam datang, setidaknya dipengaruhi oleh irfani ala hermes. Sehingga sebenarnya ada kaitannya irfani dalam Islam dan irfani yang telah hadir sebelum munculnya Islam, bahkan kaitannya adalah langsung baik secara teori maupun secara istilah.
19

2223

Kemudian

Rukun islam bagi kelompok syiah itsna asyariyah ada lima: sholat, zakat, puasa, haji dan wilayah, sedangkan kelompok ismailiyyah syiah membaginya menjadi 7 rukun islam: wilayah, pensucian diri, sholat, zakat, puasa, dan jihad, lihat Al Jabiri, Bunyah Al Aql Al Arobi, hal 333 20 A. Khudori Sholeh, Op. Cit, 12-13 21 1)Zhahir dan Bathin : Hakikat antara tawil dan syathahat,2) Zhahir Bathin: Analogi atau Qiyas Irfani, 3) Nubuwwah dan Wilayah: Irfani SyiI dan Zaman Da-iriy, 4)Nubuwwah dan Wilayah: Irfani Sufi dan Zaman Munkasir 22 Abid Al Jabiri, Bunyah Al Aql Al Arobi : Dirosah Tahliliyah Naqdiyah li Nazhmil Marifah Fits Tsaqofah Al Arabiyah cetakan III (Beirut: Al MArkaz Ats Tsaqofiy Al Arabiy, 1993) hal 374. 23 Ibid, hal372

Al Jabiri melakukan analisa dari analogi yang ada dalam irfani, lalu mengkaitkannya dengan mitos. Bahwasannya sedikit banyak mitos telah mempengaruhi pemikiran irfani ini, misalnya hakikat sebelum syariat dan bathin sebelum zhahir, irfaniyun memasangkan keduanya sebagai hakikat yang menyeluruh dan ditikberatkan pada unsur alam, akhlak dan agama, dan lain sebagainya apa yang ada antara zahir dan bathin, dan menurut irfaniyun bathin adalaha hakikat, tapi bukan sebagai hakikat keagamaan ataupun hakikat dalam filsafat serta hakekat semesta melainkan sebagai visi sihir untuk alam semesta yang dipengaruhi oleh mitos.24 Adonis sepertinya sependapat bahwa irfani tidak dapat diandalkan karena lebih bercorak mistik, dan memperlakukan mitos mitos bukan sebagai mitos yang terdapat dalam kajian antropologi, melainkan difungsikan secara dan dijadikan sebagai hakikat yang tertinggi25.

IV.

Penutup Epistemologi Irfani karya Al Jabiri ini mencoba untuk untuk memaparkan

gambaran detail menggapaian ilmu dan pengetahuan secara intuitif

dimulai

dengan misalkan mengitibarkan sebuah teks melewati bathin yang ditangkap melalui kasyf kemudian meniungkap sebagai makna zhahir yang ada dalam teks, hingga kepada hal syathahat dimana syathahat tidak serta merta mengikuti aturan aturan dari batin ke zahir yang menggunakan qiyas irfani, yang meski demikian syathahat ini diterima di kalangan sufisme. Adanya kesan intuitif (irfani) ditandai dengan pemaknaan yang timbul melalui zahir kepada bathin itu berkaitan erat dengan hal kewalayahan dan nubuwwah yaitu walayah (kewalian) adalah representative bathin sedangkan nubuwah adalah representative zahirnya.

24 25

Ibid, 371 Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal

xxi

10

Trilogi epistemologi Al Jabiri merupakan hasil pembacaan Al Jabiri dari sekian banyak referensi, dan pada epistemologi irfani, Al Jabiri berpijak banyak pada unsur Tasawwuf baik dari model sufi sunni maupun sufi syiah dan agaknya ini memudahkan Al Jabiri dalam merangkai sebuah epistemologi Irfani, namun di sisi lain hal ini menyebabkan tidak mewakili keobjektifan seluruh model tasawwuf, dan pada hal lainnya. Tetapi lebih daripada itu Al Jabiri mampu mengeksplorasi sebuah bangunan pemikiran yang sekiranya bisa dijadikan lebih kurang sebagai perbandingan landasan langkah berfikir atau menganalisa pada suatu tatanan ilmu dan pengetahuan.

11

DAFTAR PUSTAKA Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab Islam (Yogyakarta: LKiS, 2009) Affandi, Rahimin, Abdul Rahim, Paizah Ismail, Idris Awang, Pendekatan Baru Maqasid Al Shariah dalam Pengajian Syariah di Malaysia: Satu Analisis 1, filetype: PDF, Haries, H. Akhmad, Hukum Islam: Antara Teks, Moral, Dan Akal, di Jurnal Mazahib, Vol. IV, No. 1, Juni 2007, Hal. 1 http://stain.gurningsoft.com/news/file/1%20hukum%20islam %20Akhmad%20Haries%20Oke.pdf Jabiri Abid Al, Bunyah Al Aql Al Arobi : Dirosah Tahliliyah Naqdiyah li Nazhmil Marifah Fits Tsaqofah Al Arabiyah cetakan III (Beirut: Al MArkaz Ats Tsaqofiy Al Arabiy, 1993) Kholish, Nurul, Nalar Irfani dalam Kancah Problema di Indonesia, pdf ( Yogyakarta: 2009) Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Penerbit Belukar, 2008) Nasr, Seyyed Husein, The Garden of Truth: The Vision and Promise of Sufism, Islams Miystical Tradition , terj: Yuliani Lupito cetakan I (Jakarta: Mizan, 2010) Rohmanu, Abu, Melacak Genealogi Nalar Arab, http://www.scribd.com/rohmanu Sholikhin, M., Filsafat dan Metafisika dalam Islam; Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Manunggaling Kawula Gusti( Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2008) Soleh, A. Khudori, M. Abid Al-Jabiri: Model Epistemologi Islam, di Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003) _____, Epistemologi Irfani:filetype PDF

12

Syafrin, Nirwan, Kritik Terhadap Kritik Akal Islam Al Jabiri, di Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, thn I no 2, Juni Agustus 2004

13

You might also like