You are on page 1of 4

Meyrza Ashrie Tristyana 070913042

Apakah konflik dalam organisasi itu berefek positif (fungsional) atau berefek negatif (disfungsional)? Jelaskan! Keberadaan teori konflik muncul setelah fungsionalisme, namun, sesungguhnya teori konflik sebenarnya sama saja dengan suatu sikap kritis terhadap Marxisme ortodox. Seperti Ralph Dahrendorf, yang membicarakan tentang konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dan bukan analisis perjuangan kelas, lalu tentang elit dominan, daripada pengaturan kelas, dan manajemen pekerja, daripada modal dan buruh (Mc Quarie, 1995: 66). Dahrendorf menolak utopia teori fungsionalisme yang lebih menekankan konsensus dalam sistem sosial secara berlebihan. Wajah masyarakat menurutnya tidak selalu dalam kondisi terintegrasi, harmonis, dan saling memenuhi, tetapi ada wajah lain yang memperlihatkan konflik dan perubahan. Baginya, pelembagaan melibatkan dunia kelompok-kelompok terkoordinasi (imperatively coordinated association), dimana, istilah-istilah dari kriteria tidak khusus, mewakili peran-peran organisasi yang dapat dibedakan. Organisasi ini dikarakteri oleh hubungan kekuasaan (power), dengan beberapa kelompok peranan mempunyai kekuasaan memaksakan dari yang lainnya. Saat kekuasaan merupakan tekanan (coersive) satu sama lain, kekuasaan dalam hubungan kelompok-kelompok terkoordinasi ini memeliharanya menjadi legitimate dan oleh sebab itu dapat dilihat sebagai hubungan authority, dimana, beberapa posisi mempunyai hak normatif untuk menentukan atau memperlakukan yang lang lain (Turner, 1991: 144). Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat kelompok-kelompok saling bersaing.

Resolusi dalam konflik antara kelompok-kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial. Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang diatur (ruled roles), dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehinga kenyataan sosial merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial. Konflik sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan. Orang-orang dan berkelompok dalam organisasi mengembangkan keahlian dan pandangan yang berbeda tentang pekerjaannya/tugasnya dan pekerjaan/tugas kelompok yang lain. Ketika interaksi di antara mereka terjadi maka konflik menjadi potensial untuk muncul. Konflik di dalam organisasi dapat menimbulkan konsekuensi positif dan negatif. Dapat mendorong inovasi organisasi, kreativitas dan adaptasi. Organisasi tidak berkembang bisa juga karena pimpinan terlalu berpuas diri, sehingga kurang peka terhadap perubahan dari faktor lingkungan eksternal, tidak ada perbedaan pendapat maupun gagasan baru. Sekalipun beberapa konflik yang terjadi bermanfaat bagi kemajuan organisasi, akan tetapi konflik yang sering terjadi dan muncul kepermukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik seperti itu dapat menurunkan produktivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan ketegangan dan stres dalam organisasi. Pandangan tradisional tentang konflik antar kelompok terjadi antara tahun 1930-an dan tahun 1940-an. Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah berbahaya dan oleh karenanya harus dihindari. Konflik dilihat sebagai hasil yang disfungsional sebagai akibat dari buruknya komunikasi, kurangnya keterbukaan dan kepercayaan di antara anggota organisasi, dan kegagalan manajer untuk memberikan respon atas kebutuhan dan aspirasi dari para pekerja.

Pandangan aliran hubungan manusiawi menganggap bahwa konflik adalah sesuatu yang lumrah dan terjadi secara alami dalam setiap kelompok dan organisasi. Karena keberadaan dari konflik dalam orang tidak dapat dihindari, maka aliran hubungan manusiawi mendukung penerimaan dari konflik tersebut dan menyadari adakalanya konflik tersebut bermanfaat bagi prestrasi suatu kelompok. Pandangan hubungan manusiawi mendominasi teori tentang konflik pada akhir tahun 1940-an sampai pertengahan tahun 1970-an. Pandangan baru tentang konflik yang disebut sebut sebagai persepektif interaksionis. Kalau pendekatan aliran hubungan manusiawi menerima keberadaan dari konflik, maka pendekatan interaksionis mendorong konflik pada keadaan yang harmonis tidak adanya perbedaan pendapat yang cenderung menyebab organisasi menjadi statis, apatis, dan tidak tanggap terhadap kebutuhan akan perubahan dan inovasi. Sumbangan utama dari pendekatan interaksionis adalah mendorong pimpinan organisasi untuk selalu mempertahankan tingkat konflik yang optimal agar mampu menimbulkan semangat clan kreativitas kelompok. Seperti halnya pandangan tradisional masih banyak orang menganggap bahwa konflik selalu bersifat tidak fungsional atau disfungsional dan oleh karenanya harus dihindari. Pendapat seperti tentu tidak benar. Pandangan masyarakat yang negatif tentang bcmfiik seperti itu bisa saja disebabkan konflik-konflik yang muncul hepermukaan clan diketahui oleh masyarakat adalah konflik yang destruktif yang mengarah pada perpecahan. Konflik sebenamya dapat diibaratkan sebagai pedang bermata dua. Disatu sisi pedang clapat bermanfaat jika digunakan untuk molalcsanakan pekerjaan yang produktif, dan di sisi yang lain pedang pW dapat merugikan clan mendatangkan bencana apabila dipergnakan untuk membunuh orang. Demikian juga konflik yang terjadi dalam organisasi dalam batas batas tertentu kehadiran konflik dalam suatu organisasi diperlukan dalam rangka kemajuan dan perkembagan organisasi. Konflik fungsional berkaitan dengan pertentangan kelompok yang terjadi bermanfaat bagi peningkatkan efektivitas prestasi organisasi. Dari hasil studi menemukan bahwa konflik hanya membantu tetapi juga merupakan suatu kondisi yang untuk menumbuhkan adanya kreativitas. Kelompok yang tanya hiterogen menimbulkan adanya suatu perbedaan pendapat yang menghasilkan solusi yang lebih baik dan ide yang lebih kreatif. Dari hasil studi tentang

proses pengambilan keputusan pok telah mengarahkan teori pada suatu kesimpulan bahwa konflik dapat menghasilkan banyak manfaat positif bagi organisasi jika dikelola dengan baik (Cherrington, 1989). Konflik fungsional dapat mengarah pada penemuan cara yang lebih efektif untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan, sehingga organisasi dapat hidup terus dan berkembang. Pada tingkat individu, konflik yang terjadi dapat menciptakan sejumlah akibat yang diinginkan. Individu memerlukan rangsangan dan goncangan pada suatu tingkat tertentu, agar merasa antusias terhadap pekerjaannya. Dalam batas-batas tertentu konflik dapat menimbulkan adanya ketegangan yang memotivasi seseorang untuk bertindak. Penyaluran dari ketegangan tersebut dapat menimbulkan adanya prestasi kerja dan kepuasan yang tinggi. Akan tetapi untuk memberikan hasil yang diinginkan, bagaimanpun juga konflik dibatasi atau memiliki tingkat intensitas yang tepat. Jika tidak, maka akan terjadi kosekuensi yang disfungsional. Konflik disfungsional berkaitan dengan pertentangan antar kelompok yang merusak atau menghalangi pencapaian tujuan organisasi/kelompok. Sebagian organisasi dapat menangani dan mengelola konflik yang terjadi sehingga memiliki dampak fungsional. Akan tetapi, sebagian besar organisasi mengalami konflik pada tingkat yang lebih besar dari yang diinginkan (yang fungsional), dan prestasi akan membaik jika konflik yang terjadi dapat dikurangi. Jika konflik yang terjadi begitu parah, maka prestasi organisasi mulai merosot. Konflik seperti itu sering terjadi di berbagai Perguruan Tinggi, antara pengurus yayasan dengan pimpinan universitas. Konflik pada tinggkat ini sering terjadi karena masing-masing pihak berupaya untuk memperoleh kekuasaan (power) yang lebih besar terutama sekali dalam pengeloaan sumberdaya keuangan. Pihak universitas mengklaim bahwa kekayaan termasuk keuangan

lembaga/universitas adalah hasil jerih payah universitas sehingga mereka berwenang mengelola pemanfaatannya. Sementara itu yayasan mengklaim bahwa universitas adalah milik yayasan sehingga yang berwenang untuk mengelola sumber finansial adalah pengurus yayasan. Masingmasing bersiteguh atas pendiriannya masing-masing sehingga seringkali menjurus pada konflik yang disfungsional.

You might also like