You are on page 1of 4

Rinometri akustik mengukur setiap penampang pada seluruh panjang hidungdengan memanfaatkan pantulan dan terobosan gelombang gelombang

g suaraultrasonic.

Konsep Terapeutik Tantangan dalam penanganan CRS saat ini adalah menawarkan pada pasien suatu konsep terapeutik yang mencakup faktor etiologi yang sesuai tetapi tetap berlandaskan pada alur terapi medis atau bedah yang berstandar baik. Penelitian randomized placebo-controlled trial yang dilakukan Richstein dan Mann mampu menunjukan bahwa pasien CRS berespon baik dengan pemberian phytotherapeutic treatment. Gold standard untuk pengobatan CRS dan polip nasi saat ini masih tetap terapi pembedahan, dan sering dikombinasikan dengan terapi medikamentosa topikal maupun sistemik. Meskipun telah dilakukan pembedahan, masih ada sejumlah pasien yang mengalami kekambuhan atau rekurensi, terutama pasien dengan polip nasi. Secara mendasar ada tiga faktor yang berhubungan dengan angka kekambuhan pada pasien ini, yaitu: (1) rekurensi yang secara teknis tidak bisa dihindari; (2) pembedahan yang inadekuat; (3)eksplorasi etiologis yang belum tuntas.

Eksplorasi Diagnostik Eksplorasi pada pasien dengan CRS memang agak rumit. Sangat penting untuk mengevaluasi hubungan dari beberapa faktor etiologi dan point utama yang sangat berperan dalam patogenesa penyakit pada masing-masing pasien. Hal ini harus mencakup beberapa aspek, yaitu: alergi inhalan, disfungsi cilia, intoleransi aspirin, imunodefisiensi, adanya antigen jamur dan/atau reaksi imunologis terhadap jamur, serta adanya resistensi bakteri terhadap terapi antibiotik yang diberikan. Pemeriksaan untuk alergi inhalan mencakup tes prick, intracutaneus, dan RAST yang diikuti dengan tes provokasi hidung jika diindikasikan. Disfungsi mukosilia dapat diketahui dengan menggunakan pemeriksaan diagnostik sederhana, yaitu dengan tes saccharin

transport time (STT), dimana sepotong saccharin diletakan pada head of inferior turbinate dan dilakukan penghitungan waktu sampai pasien merasakan sensasi manis yang jelas di faring. Secara fisiologis sensasi manis akan dirasakan dalam waktu 8 20 menit. Integritas fungsional sel cilia sebagai suatu motor unit dapat diidentifikasi dengan bantuan video interference

contrast microscopy. Ini adalah metode yang sangat penting dalam menyingkirkan kemungkinan sindrom diskinesia cilia primer. Semua gangguan pada transport mukosiliar dapat sesuai dengan klinisnya, seperti mukus blanket yang stasis persisten dapat merangsang rhinosinusitis recurrent.

Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada tahun 1997, didapatkan bahwa pasien yang mengalami CRS rekuren sering menunjukan pemanjangan SST, tetapi penurunan aktivitas cilia nya tidak terlalu signifikan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh buruknya kordinasi aktivitas cilia pada pasien ini dan/atau perubahan viskositas, enzim dan/atau mediator inflamasi pada mukus hidung. Penelitian ini mampu menunjukan bahwa pada CRS yang berat, pembedahan sinus endonasal dapat meningkatkan mucociliary transport time pada uji SST.

Diagnosis Intoleransi Aspirin Telah diketahui bahwa pasien dengan intoleransi aspirin berisiko tinggi mengalami rekurensi polip sinonasal. Diagnosis Intoleransi Aspirin (AI) tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis triad aspirin yang lengkap, yang meliputi: (1) polip nasi, (2) asma bronkiale intrinsik, dan (3) gejala asma yang memburuk yang diinduksi oleh aspirin dan sering diikuti dengan gejala nasoocular. Namun, pada individu yang sensitif aspirin dosis kecil single dose saja dapat menyebabkan rhinorrhea, konstriksi bronkiolar, dan gejala shock yang berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas farmakologis yang dimediasi non-IgE. Tidak hanya aspirin, tetapi sebagian besar NSAID lainya berinteraksi dengan jalur eicosanoid. NSAID diketahui menghambat COX dalam metabolisme asam arakidonat dan prostaglandin. Penghambatan ini menyebabkan up regulation dari jalur alternatif dengan lipooksigenase yang memetabolisme asam arakidonat menjadi leukotrien. Pemeriksaan in vitro dapat menegakan diagnosis intoleransi aspirin. Perubahan metabolisme asam arakidonat dan pengeluaran eicosanoid tersebut juga dapat terdeteksi pada pasien dengan gambaran klinis triad aspirin yang tidak lengkap. Data dari penelitian biokimia menunjukan bahwa kedua isoform, COX 1 dan COX 2 sebagian besar terletak pada struktur respiratory epithelial lining dan juga banyak didapatkan pada struktur glandular. Spesimen yang diperiksa diambil dari pasien dengan polip nasi. Penelitian ini dapat memberikan gambaran penting tentang histopatologi dari penyakit inflamasi dan menunjukan struktur mana yang terlibat dalam produksi prostaglandin pada jaringan polip. Namun masih belum diketahui apakah produksi prostaglandin pada struktur glandular menunjukan sekresi zat ini ke mukosa nasal.

Peranan Terapi Medikamentosa/Konservatif Terapi medikamentosa juga memiliki peranan penting dalam pengobatan CRS dan dapat diperhitungkan dalam menurunkan risiko kekambuhan polip nasi, terutama pada pasien yang

sebelumnya telah mengalami pembedahan atau pembedahan multiple. Hal ini telah dibuktikan dengan regimen phytotherapeutik spesifik. Pasien dengan CRS menunjukan perbaikan gejala subyektif sekitar 25% yang disebut episode stabil selama 4 minggu, sedangkan untuk parameter klinis bervariasi secara insignifikan. Kadar mRNA atau IL-1, IL-6, IL-8, MCP-1 dan juga TNF-, pLT dan PGE2 terdeteksi dan berperan dalam proses inflamasi pada CRS. Kadarnya menurun tidak signifikan sepanjang waktu, meskipun saat tidak ada serangan akut eksaserbasi penyakit, menyebabkan mukosa lebih rentan terhadap apisode akut yang rekuren.

Steroid Steroid topikal atau sistemik ataupun kombinasi keduanya memiliki efek antiinflamasi yang kuat dan dapat menurunkan eosinofil dimana steroid berinteraksi dengan beberapa kemokin dan sitokin yang terlibat dalam proses inflamasi. Khususnya efek supresif pada produksi IL-5 oleh sel T yang merupakan aspek penting dalam tulisan ini. Telah dilakukan berbagai penelitian tentang peranan steroid topikal pada polypoid CRS. Indikasi utamanya adalah masa postoperative, dimana steroid memberikan keuntungan dalam angka dan frekuensi

kekambuhan polip. Penggunaan kortikosteroid sistemik untuk polip nasi telah dievaluasi dan diperkirakan memberikan perbaikan gejala sementara dan dapat menunda atau membantu intervensi pembedahan.

Desensitisasi Aspirin Semua pasien yang didiagnosa intoleransi aspirin berkemungkinan besar mengalami perbaikan atau penurunan angka kekambuhan jika dilkakukan terapi desensitisasi adaptif. Pada penelitian retrospektif ditunjukan tentang efektivitas protokol baru dengan menggunakan dosis maintenance hanya 100mg aspirin oral perhari. Untuk memulai terapi desensitisasi, aspirin peroral diberikan dalam dosis yang meningkat selama 2 hari ( hari pertama: 100mg(2 dosis 50mg), hari kedua: 500mg). Pasien opname di rumah sakit selama dua hari. Resistensi jalan

napas dan FEV1 dimonitoring secara ketat selama periode induksi ini. Pada hari pertama setelah pemeriksaan fungsi paru awal, diberikan 50 mg aspirin pada pagi hari. Setelah dilakukan pemeriksaan ulang resistensi jalan napas dan FEV1 dosis aspirin 50mg kedua diberikan peroral, biasanya 8 jam setelah dosis awal. Pada hari kedua, diberikan aspirin 500mg peroral jika pada pemeriksaan paru ulang tidak didapatkan penurunan FEV1 25% atau lebih. Pada hari ketiga, aspirin dikurangi menjadi 100mg perhari untuk dosis maintenance jangka panjang. Pemeriksaan klinis dan fungsional pada vitro assay dilakukan tiap kali visite pasien untuk mengetahui perubahan pengeluaran eicosanoid sepanjang waktu dan untuk

menghubungkan perubahan ini dengan perkembangan klinis. Oleh karena didapatkan overproduksi relatif dari pLT pada individu yang sensitif aspirin, tujuan yang diharapkan adalah peningkatan indeks PGE2/pLT. Kami menemukan perbaikan signifikan pada penelitian in vitro, yang berhubungan positif dengan gambaran klinis individu dan angka kekambuhan polip nasi. Data menunjukan peranan pemeriksaan in vitro dan menyebutkan efektivitas protokol desensitisasi yang dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang lama tanpa adanya efek samping. Hasilnya adalah angka kekambuhan polip nasi setelah pembedahan dapat diturunkan dengan protokol ini namun pengobatanya harus diberikan dalam jangka panjang.

You might also like