You are on page 1of 56

1

LAPORAN KASUS GAGAL JANTUNG KONGESTIF EC PENYAKIT JANTUNG KORONER, PENYAKIT JANTUNG HIPERTENSI

Pembimbing: dr. Zainal Safri, Sp.PD,Sp.JP Disusun oleh: Syahputra Parlindungan Rajagukguk Simranjeet Kaur Ilavarase Nadraja 070100115 070100240 070100313

Kepanitraan Klinik Senior Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran USU / RSUP HAM Medan 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkah dan petunjuknya sehingga laporan kasus kepaniteraan klinik program profesi dokter ini dapat diselesaikan dengan semaksimal mungkin. Turut mengucapkan terima kasih kepada dr.Zainal Safri, Sp.PD, Sp.JP selaku pembimbing kami yang member masukan dan saran. Laporan kasus ini disusun sebagai upaya intefrasi pengetahuan biomedik yang didapat di bangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di ruangan. Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu kesatuan yang utuh, integratif dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang di bahas dalam laporan kasus ini. Laporan kasus ini mengenai topik Gagal Jantung Kongestif disebabkan Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart Disease, yaitu suatu penyakit yang merupakan cakupan divisi kardiologi. Penyakit ini sering terjadi pada masyarakat dan bisa menyebabkan kematian yang mendadak. Diharapkan dengan membahas kasus ini, dapat lebih memahami hal-hal yang berkaitan dengan gagal jantung kongestif disebabkan penyakit jantung koroner dan hypertensive heart disease. Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan laporan kasus ini.

Medan, 23 Juni 2011 Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. .................................................................................................................................... 2 DAFTAR ISI............................................................................................................. .................................................................................................................................... 3 BAB 1 PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang..........................................................................................

................................................................................................................... 4

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................

................................................................................................................... 5

1.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................

................................................................................................................... 5

1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................

................................................................................................................... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gagal Jantung Kongestif 2.1.1 Definisi............................................................................................... ............................................................................................................ 6 2.1.2 Epidemiologi...................................................................................... ............................................................................................................ 6 2.1.3 Klasifikasi.......................................................................................... ............................................................................................................ 7 2.1.4 Etiologi .............................................................................................. ............................................................................................................ 8

2.1.5 Patofisiologi....................................................................................... 2.1.6 Manifestasi Klinis ............................................................................. 2.1.7 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 2.1.8 Penatalaksanaan................................................................................. 2.1.9 Prognosis............................................................................................ 2.2. Penyakit Jantung Koroner 2.2.1 Definisi............................................................................................... 2.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko ................................................................ 2.2.3 Patofisiologi....................................................................................... 2.2.4 Manifestasi Klinis ............................................................................. 2.2.5 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 2.2.6 Diagnosa Banding.............................................................................. 2.2.7 Penatalaksanaan. 2.3. Hypertensive Heart Disease 2.2.1 Definisi............................................................................................... 2.2.2 Patofisiologi....................................................................................... 2.2.3 Manifestasi Klinis ............................................................................. 2.2.4 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 2.2.5 Penatalaksanaan. BAB 3 LAPORAN KASUS..................................................................................... BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan................................................................................................ 4.2. Saran.......................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabadabad namun penelitian epidemiologi sulit dilakukan karena tidak adanya definisi tunggal kondisi ini. Gagal jantung merupakan suatu kondisi patofisiologi, dimana terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan tubuh. Suatu definisi objektif yang sederhana untuk menentukan batasan gagal jantung kronik hampir tidak mungkin dibuat karena tidak terdapat nilai batas yang tegas mengenai disfungsi ventrikel. Menurut Paul Wood (1958), gagal jantung adalah suatu sindroma dimana disfungsi jantung berhubungan dengan penurunan toleransi latihan, insidensi aritmia yang tinggi, dan penurunan harapan hidup.1 Guna kepentingan praktis, gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak

nafas, fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema, dan tanda-tanda objektif adanya disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Sekitar 3-20% populasi mengalami gagal jantung, dan prevalensinya meningkat seiring pertambahan usia, yaitu 100 per 1000 orang pada usia di atas 65 tahun, dan angka ini akan meningkat karena peningkatan usia populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard akut. 2 Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila etiologi tidak dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan, dan pada keadaan gagal jantung berat lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama. 1 Menurut ESC (European Society Of Cardiology), sekurang-kurangnya 15 juta penderita gagal jantung di 51 negara Eropa. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diberbagai tempat di Indonesia, penyakit jantung koroner menduduki urutan pertama dari seluruh jenis penyebab penyakit jantung. 3 Acute Coronary Syndrome atau penyakit jantung koroner (PJK) merupakan suatu sindroma yang ditandai dengan adanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard. PJK dibagi lagi menjadi elevasi segmen ST yaitu STEMI dan tanpa elevasi segmen ST yaitu UAP dan NSTEMI. Dari berbagai penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk PJK sekitar 3 per 1000 penduduk. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa peringkat penyakit kardiovaskular sebagai penyebabkematian semakin meningkat. Pada tahun1972, penyakit kardiovaskular berada di urutan ke-11 sebagai penyebab kematian, dan pada tahun 1986 berubah menjadi urutan ke-3. Persentase kematian akibat penyakit kardiovaskular di tahun 1998 sekitar 24,4%. Hipertensi adalah peninggian tekanan darah diatas normal. Sejumlah 85 90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Sisanya, sekitar 10 - 15% merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya (hipertensi sekunder). Ini termasuk

golongan penyakit yang terjadi akibat adanya suatu mekanisme kompensasi kardiovaskuler untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme tubuh agar berfungsi secara normal. Mekanisme tersebut terjadi melalui sistem neurohormonal dan kardiovaskuler. Semakin tinggi tekanan darah, lebih besar kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit kadiovaskuler. Penyulit yang terjadi bisa berupa hipertrofi otot jantung dan dilatasi ruang jantung. Penyulit pada jantung dan segala manifestasi klinisnya, dinamakan penyakit jantung hipertensi. 1.2. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami Gagal Jantung Kongestif disebabkan Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart Disease? 1.3. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini antara lain:
a.

Melengkapi tugas laporan kasus pada Departemen Kardiologi dan Vaskular.

b. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terkait kasus-kasus Gagal

Jantung Kongestif disebabkan Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart Disease. c. Menghubungkan teori dengan kasus yang terjadi pada pasien.
1.4.Manfaat Penulisan

Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini, yakni:
a. Meningkatkan pemahaman mengenai definisi, patofisiologi, diagnosis,

pemeriksaan penunjang, terapi, dan prognosis Gagal Jantung Kongestif disebabkan Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart Disease.
b. Mampu mengaplikasikan

landasan teori Gagal Jantung Kongestif

disebabkan Penyakit Jantung Koroner dan Hypertensive Heart Disease dengan kasus yang terjadi di masyarakat.

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Gagal Jantung Kongestif Definisi Gagal jantung adalah satu gejala klinis pada pasien mengalami kelainan struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya. 4,5 Gagal jantung adalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat dan saat beraktivitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Gagal jantung kongestif atau Congestive Heart Failure (CHF) adalah suatu kondisi dimana fungsi jantung sebagai suatu pompa tidak adekuat untuk mengirimkan darah kaya oksigen ke seluruh tubuh. 6

Gagal

jantung

kongestif

adalah

ketidakmampuan

jantung

untuk

mempertahankan curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Penurunan stroke volume mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang dan disebabkan oleh (1) kegagalan kontraksi ventrikel (impaired ventricular contractility) , (2) Kegagalan pengisian ventrikel( impaired ventricular filling) (3) peningkatan afterload. 7 Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahanperubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel dan aktivasi sistem simpatis. Epidemiologi Secara epidemiologi, 1% dari orang berusia diatas 50 tahun akan menderita gagal jantung, sekitar 5% dari usia 75 tahun keatas dan 25% dari usia 85 tahun keatas akan menderita gagal jantung.Lebih dari 3 juta orang akan menderita CHF, dan lebih dari 400.000 penderita baru muncul setiap tahunnya. Angka prevalensi kejadian CHF adalah 1-2%. Prevalensi terjadinya CHF lebih tinggi pada pria dibandingkan wanita pada pasien berusia 40-75 tahun. Tidak ada perbedaan angka kejadian CHF pada pasien berusia diatas 75 tahun. Prevalensi gagal jantung asimptomatik sekitar 4% dari jumlah populasi. Prevalensi gagal jantung pada usia lebih tua (70-80 tahun ) juga lebih tinggi sekitar 10-20%. Pada Negara tertentu mortality gagal jantung telah menurun dengan terapi yang moden. Kira-kira 50% penderita gagal jantung meninggal setelah 4 tahun dan 40% pasien yang masuk rumah sakit dengan gagal jantung meninggal atau kambuh dalam setahun. 8 Klasifikasi Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana fungsi pompa jantung menjadi berkurang dan tidak adekuat. Akibatnya, darah menjadi kurang efisien pada sistem sirkulasi mengakibatkan peninggian tekanan pada pembuluh darah dan mendorong cairan pada pembuluh darah masuk ke jaringan tubuh. Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru. Jika terjadi gagal jantung kiri, cairan akan terkumpul pada

10

paru-paru (edema pulmonal). Adanya cairan berlebihan pada paru (kongesti) akan menyebabkan proses pernafasan yang terganggu ketika proses inspirasi. Gejala klinis yang dapat timbul berupa dyspneu deffort, ortopnea, dyspneu nocturnal paroxismal, mudah lelah, batuk, pembesaran jantung, irama derap, ventricular heaving, suara jantung tambahan S3 dan S4, pernafasan cheyne stokes, takikardi, pulsus alternans, ronki dan kongesti vena pulmonalis. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/ sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas, yaitu: 1. Kelas I, bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan. 2. Kelas II, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 3. Kelas III, bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan. 4. Kelas IV, bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring. CHF pada umumnya diklasifikasikan menjadi gagal jantung sistolik dan diastolik.Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, cepat lelah, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.Pada gagal jantung diastolik, fraksi ejeksi lebih dari 50%.6 Etiologi Penyebab gagal jantung kiri: Systolic dysfunction

11

(a) Kegagalan kontraktilitas- miokard infark,transient miokard ischemia, volume

overload

mitral

regurgitasi

dan

aortic

regurgitasi)

dan

dilatasi

kardiomiopati. (b) Peningkatan afterload aortic stenosis dan hipertensi Diastolic dysfunction
(a) Kegagalan relaksasi ventrikular LVH, hypertrophic cardiomyopathy,

restrictive cardiomyopathy, transient myocardiac ischemia.


(b) Okstruksi pengisian ventrikel kiri mitral stenosis dan pericardiac

constriction atau tamponade. Penyebab gagal jantung kanan :


(a) Penyakit jantung gagal jantung kiri, katub pulmonal stenosis, infark

ventrikel kanan.
(b) Penyakit parenkim pulmonal COPD, instertial lung disease( eg.

Sarcoidosis), adult respiratory distress syndrome, infeksi paru yang kronik dan bronchietasis.
(c) Penyakit vaskular pulmonal pulmonary embolism dan primary pulmonary

hipertensi.9 Patofisiologi Gagal jantung kongestif dapat dilihat sebagai suatu kelainan yang progresif, dapat terjadi dari kumpulan suatu kejadian dengan hasil akhir kerusakan fungsi miosit jantung atau gangguan kemampuan kontraksi miokard. Beberapa mekanisme kompensatorik diaktifkan untuk mengatasi turunnya fungsi jantung sebagai pompa, di antaranya sistem adrenergik, renin angiotensin ataupun sitokin. Dalam waktu pendek beberapa mekanisme ini dapat mengembalikan fungsi kardiovaskuler dalam batas normal, menghasilkan pasien asimptomatik. Meskipun demikian, jika tidak terdeteksi dan berjalan seiring waktu akan menyebabkan kerusakan ventrikel dengan suatu keadaan remodeling sehingga akan menimbulkan gagal jantung yang simptomatik.

12

Tubuh memiliki beberapa mekanisme kompensasi untuk mengatasi gagal jantung seperti (1) mekanisme Frank-Starling, (2) neurohormonal (3) ventricular hipertrofi dan remodeling. Penurunan stroke volume akan meningkatkan end sistolic volume (ESV) sehingga volume dalam ventrikel kiri meningkat. Peningkatan volume ini akan meregang ventrikel kiri sehingga otot jantung akan berkontraksi dengan lebih kuat untuk meningkatkan stroke volume (Frank-Starling mechanism) dan cardiac output untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Mekanisme kompensasi ini mempunyai batasnya. Pada kasus gagal jantung dengan penurunan kontraktilitas yang berat, ventrikel tidak mampu memompa semua darah sehingga end diastolic volume (EDV) meningkat dan tekanan ventrikel kiri juga meningkat dimana tekanan yang ini akan transmisi ke atrium kiri, vena pulmonal dan kapiler pulmonal dan ini akan menyebabkan edema paru. Penurunan cardiac output akan merangsang sistem simpatis sehingga meningkatkan kontraksi jantung sehingga stroke volume meningkat dan cardiac output meningkat. Penurunan cardiac output juga merangsang renin angiotensin sistem dan merangsang vasokonstriksi vena dan menyebabkan venous return meningkat (preload increase) dan akhirnya stroke volume meningkat dan cardiac output tercapai. Penurunan cardiac output juga meningkatkan ADH dan merangsang retensi garam dan air untuk memenuhi stroke volume dan cardiac output. Hormon aldosterone juga meningkat untuk meningkatkan retensi garam dan cairan untuk meningkatkan venous return tubuh. Tetapi stimulasi neurohormonal yang kronik akan menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti edema. Peningkatan beban jantung juga akan meningkatkan wall stress menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan tekanan sistolic untuk mengatasi afterload yang meningkat. Maka otot ventrikel akan menebal sebagai kompensasi untuk menurunkan wall stress namun peningkatan stiffness dinding hipertrofi menyebabkan tekanan diastolik ventrikular yang tinggi dimana tekanan ini akan ditransmisi ke atrium kiri, vaskular pulmonal. Chronic volume overload seperti pada mitral regurgitasi atau aorta regurgitasi akan merangsang miosit

13

memanjang. Maka radius chamber ventrikel meningkat dan dinamakan eccentric hipertrofi. Chronic pressure overload seperti hipertensi atau aorta stenosis akan merangsang miosit menebal yang dinamakan concentric hypertrophy. Hipertrofi dan remodeling ini membantu untuk menurunkan wall stress tetapi pada waktu yang lama, fungsi ventrikel akan menurun dan dilatasi ventrikel akan terjadi. Apabila ini terjadi, beban hemodinamik pada otot jantung akan menurunkan fungsi jantung sehingga gejala gagal jantung yang progresif akan timbul. 10 Manifestasi klinis Gagal jantung kongestif akan menyebabkan meningkatnya volume intravaskuler, kongestif jaringan akibat tekanan arteri dan vena meningkat. Edema paru terjadi akibat peningkatan tekanan vena pulmolalis sehingga cairan mengalir dari kapiler paru ke alveoli, yang dimanifestasikan dengan batuk dan napas pendek. Edema perifer umum dan penambahan berat badan akibat tekanan sistemik. Turunnya curah jantung akibat darah tidak dapat mencapai jaringan dan organ. Tekanan perfusi ginjal menurun mengakibatkan pelepasan renin dari ginjal,yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan cairan serta peningkatan volume intravaskuler. 11 Tanda dan gejala: Dispnea, akibat penimbunan cairan dalam alveoli yang mengganggu pertukaran gas, dapat terjadi saat istirahat atau dicetuskan oleh gerakan yang minimal atau sedang, ortopnea , kesulitan bernapas saat berbaring, paroximal nokturnal dispnea (terjadi bila pasien sebelumnya duduk lama dengan posisi kaki dan tangan dibawah, pergi berbaring ke tempat tidur), batuk, bisa batuk kering dan basah yang menghasilkan sputum berbusa dalam jumlah banyak kadang disertai banyak darah. mudah lelah akibat cairan jantung yang kurang, yang menghambat cairan dari sirkulasi normal dan oksigen serta menurunnya pembuanggan sisa hasil katabolisme, kegelisahan akibat gangguan oksigenasi jaringan, stress akibat kesakitan bernapas, dan pengetahuan bahwa jantung tidak berfungsi dengan baik, edema ekstremitas bawah atau edema dependen, hepatomegali dan nyeri tekan pada kuadran kanan batas abdomen, anoreksia dan

14

mual terjadi akibat pembesaran vena dan status vena didalam rongga abdomen, nokturia, rasa ingin kencing pada malam hari, terjadi karena perfusi renal didukung oleh posisi penderita pada saat berbaring, Lemah akibat menurunnya curah jantung, gangguan sirkulasi dan pembuanggan produk sampah katabolisme yang tidak adekuat dari jaringan, palpitasi ( jamtung berdebar-debar), pusing dan pingsan karena penurunan aliran darah karena denyut atau irama jantung yang abnormal atau karena kemampuan memompa yang buruk, bisa menyebabkan pusing dan pingsan. 12 Pemeriksaan Penunjang Elektokardiografi tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia) sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil pemeriksaan EKG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung. Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung. Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan posterior anterior. Pada pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi sistolik karena ukuran bisa terlihat normal. Pada saat ini terdapat metoda baru yang mempu menentukan gagal jantung yaitu pemeriksaan laboratorium BNP ( Brain Natriuretic Peptide) dan NT- pro BNP (N Terminal protein BNP). Protein NT-proBNP merupakan penanda sensitif untuk fungsi jantung. Menurut situs web Endolab Selandia Baru, kadar NTproBNP orang sehat di bawah 40 pmol/L. Peningkatan kadar NT-proBNP di atas 220 pmol/L menunjukkan adanya gangguan fungsi jantung dalam tahap dini yang perlu pemeriksaan lebih lanjut. Tes NT-proBNP mampu mendeteksi gagal jantung tahap dini yang belum terdeteksi dengan pemeriksaan elektrokardiografi. Hal ini memungkinkan dokter membedakan gagal jantung dengan gangguan pada paru yang memiliki gejala serupa, sehingga pengobatan lebih terarah. Kadar NT proBNP yang berkorelasi dalam darah itu bisa digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung yang perlu pengobatan intensif serta memantau pasien risiko

15

tinggi. Di sisi lain, kadar NT-proBNP bisa turun jika penderita minum obat, sehingga pemeriksaan rutin NT-proBNP bisa digunakan untuk mengetahui kemajuan pengobatan. 13 Kriteria Diagnosis Kriteria Framingham: Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan bila terdapat paling sedikit satu kriteria mayor dan dua kriteria minor. 14 Kriteria mayor Paroksismal nocturnal dispnea Distensi vena-vena leher Peningkatan tekanan vena jugularis Ronki basah basal Kardiomegali Edema paru akut Gallop bunyi jantung III Refluks hepatojugular positif Kriteria minor Edema ekstremitas Batuk malam Sesak pada aktivitas Hepatomegali Efusi pleura Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal Takikardia (>120 denyut/menit) Mayor atau minor Penurunan BB 4,5 kg dalam 5 hari pengobatan 15 Penatalaksanaan

16

Terdapat tiga aspek yang penting dalam menanggulangi Gagal jantung : pengobatan terhadap Gagal jantung, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan pengobatan terhadap faktor pencetus. Termasuk dalam pengobatan medikamentosa yaitu mengurangi retensi cairan dan garam, meningkatkan kontraktilitas dan mengurangi beban jantung. Pengobatan umum meliputi istirahat, pengaturan suhu dan kelembaban, oksigen, pemberian cairan dan diet. Selain itu, penatalaksanaa gagal jantung juga berupa medikamentosa, yaitu: Obat inotropik (digitalis, obat inotropik intravena), Vasodilator : (arteriolar dilator, veno dilator, mixed dilator), Diuretik, Pengobatan disritmia. Pada umumnya obat-obatan yang efektif mengatasi gagal jantung menunjukkan manfaat untuk mengatasi disfungsi sistolik. Gangguan fungsi sistolik ventrikel kiri hampir selalu disertai adanya aktivitas sistem neuroendokrin, karena itu salah satu obat pilihan utama adalah ACE Inhibitor. ACE Inhibitor, disamping dapat mengatasi gangguan neurohumoral pada gagal jantung, dapat juga memperbaiki toleransi kerja fisik yang tampak jelas sesudah 3-6 bulan pengobatan. Dari golongan ACE-I, Captopril merupakan obat pilihan karena tidak menyebabkan hipotensi berkepanjangan dan tidak terlalu banyak mengganggu

17

faal ginjal pada kasus gagal jantung. Kontraindikasinya adalah disfungsi ginjal berat dan bila ada stenosis bilateral arteri renalis. Diuretika, bertujuan mengatasi retensi cairan sehingga mengurangi beban volume sirkulasi yang menghambat kerja jantung. Yang paling banyak dipakai untuk terapi gagal jantung kongestif dari golongan ini adalah Furosemid. Pada usia lanjut seringkali sudah ada penurunan faal ginjal dimana furosemid kurang efektif dan pada keadaan ini dapat ditambahkan metolazone. Pada pemberian diuretika harus diawasi kadar kalium darah karena diuresis akibat furosemid selalu disertai keluarnya kalium. Pada keadaan hipokalsemia mudah terjadi gangguan irama jantung. Spironolakton, dipakai sebagai terapi gagal jantung kongestif dengan fraksi ejeksi yang rendah, bila walau sudah diterapi dengan diuretik, ACE-I dan digoksin tidak menunjukkan perbaikan. Dosis 25 mg/hari dan ini terbukti menurunkan angka mortalitas gagal jantung sebanyak 25%. Obat-obatan inotropik, seperti digoksin diberikan pada kasus gagal jantung untuk memperbaiki kontraksi ventrikel. Dosis digoksin juga harus disesuaikan dengn besarnya clearance kreatinin pasien. Obat-obat inotropik positif lainnya adalah dopamine (5-10 Ugr/kg/min) yang dipakai bila tekanan darah kurang dari 90 mmHg. Bila tekanan darah sudah diatas 90 mmHg dapat ditambahkan dobutamin (5-20 Ugr/kg/min). Bila tekanan darah sudah diatas 110 mmHg, dosis dopamin dan dobutamin diturunkan bertahap sampai dihentikan. Pada usia lanjut lebih sering terdapat gagal jantung dengan disfungsi diastolik. Untuk mengatasi gagal jantung diastolik dapat dengan cara: Memperbaiki sirkulasi koroner dalam mengatasi iskemia miokard (pada kasus PJK). Pengendalian tekanan darah pada hipertensi untuk mencegah hipertrofi miokard ventrikel kiri dalam jangka panjang. Pengobatan agresif terhadap penyakit komorbid terutama yang memperberat beban sirkulasi darah, seperti anemia, gangguan faal ginjal dan beberapa penyakit metabolik seperti Diabetes Mellitus. Upaya memperbaiki gangguan irama jantung agar terpelihara fungsi sistolik atrium dalam rangka pengisian diastolik ventrikel. Obat-obat yang digunakan antara lain:

18

1. Beta bloker, untuk mengatasi takikardia dan memperbaiki pengisian ventrikel.


2. Diuretika, untuk gagal jantung disertai oedem paru akibat disfungsi diastolik.

Bila tanda oedem paru sudah hilang, maka pemberian diuretika harus hati-hati agar jangan sampai terjadi hipovolemia dimana pengisian ventrikel berkurang sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun. 16 Prognosis Secara umum, mortality rate untuk pasien gagal jantung yang dirawat inap adalah 5-20% sementara penderita yang di luar rumah sakit adalah 20% pada akhir tahun pertama setelah diagnosa ditegakkan dan setinggi 50% pada 5 tahun pertama post diagnosis. Walaupun terdapat perbaikan pengobatan. Setiap pasien yang rehospitalization mempunyai peningkatan mortality rate sebanyak 20-30%. Cardiopulmonal stress testing merupakan cara yang efektif untuk menilai survival rate pasien untuk tahun ke depan dan indikasi transplantasi jantung. Pasien dengan NYHA IV, ACC/AHA stage D mempunyai mortality yang melebihi 50% mortality pada tahun pertama post diagnose. Gagal jantung yang disebabkan oleh myocard infark akut mempunyai inpatient mortality rate 20-40%; mortality rate mendekati 80% pada pasien yang menderita hipotensi( eg.cardiogenic shock). 17

2.2. Penyakit Jantung Koroner 2.2.1 Definisi Penyakit Jantung Koroner merupakan suatu sindroma yang ditandai denganadanya ketidakseimbangan antara pasokan dengan kebutuhan oksigen myokard. Penyakit jantung koroner dibagi lagi menjadi elevasi segmen ST yaitu STEMI dan tanpa elevasi segmen ST yaitu UAP dan NSTEMI. 18 2.2.2 Etiologi dan Faktor Resiko a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi Umur Jenis kelamin Genetik

19

b. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi -

Merokok Hipertensi Lipid Kurang bergerak (Lack of exercise) Diabetes mellitus Obesitas

a) Hipertensi Merupakan salah satu faktor resiko utama penyebab terjadinya PJK. Penelitian di berbagai tempat di Indonesia (1978) prevalensi Hipertensi untuk Indonesia berkisar 6-15%, sedang di negara maju mis : Amerika 15-20%. Lebih kurang 60% penderita Hipertensi tidak terdeteksi, 20% dapat diketahui tetapi tidak diobati atau tidak terkontrol dengan baik. Penyebab kematian akibat Hipertensi di Amerika adalah Kegagalan jantung 45%, Miokard Infark 35% cerebrovaskuler accident 15% dan gagal ginjal 5%. Komplikasi yang terjadi pada hipertensi esensial biasanya akibat perubahan struktur arteri dan arterial sistemik, terutama terjadi pada kasus-kasus yang tidak diobati. Mula-mula akan terjadi hipertropi dari tunika media diikuti dengan hialinisasi setempat dan penebalan fibrosis dari tunika intima dan akhirnya akan terjadi penyempitan pembuluh darah. Tempat yang paling berbahaya adalah bila mengenai miokardium, arteri dan arterial sistemik, arteri koroner dan serebral serta pembuluh darah ginjal. Komplikasi terhadap jantung dari Hipertensi yang paling sering adalah Kegagalan Ventrikel Kiri, PJK seperti angina Pektoris dan Miokard Infark. Dari penelitian 50% penderita miokard infark menderita Hipertensi dan 75% kegagalan Ventrikel kiri akibat Hipertensi. Perubahan hipertensi khususnya pada jantung disebabkan karena : i. Meningkatnya tekanan darah.

20

Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (faktor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. ii. Mempercepat timbulnya arterosklerosis. Tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya arterosklerosis koroner (faktor koroner) Hal ini menyebabkan angina pektoris, Insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibanding orang normal. Tekanan darah sistolik diduga mempunyai pengaruh yang lebih besar. Kejadian PJK pada hipertensi sering dan secara langsung berhubungan dengan tingginya tekanan darah sistolik. Penelitian Framingham selama 18 tahun terhadap penderita berusia 45-75 tahun mendapatkan hipertensi sistolik merupakan faktor pencetus terjadinya angina pectoris dan miokard infark. Juga pada penelitian tersebut didapatkan penderita hipertensi yang mengalami miokard infark mortalitasnya 3x lebih besar dari pada penderita yang normotensi dengan miokard infark. Hasil penelitian Framingham juga mendapatkan hubungan antara PJK dan Tekanan darah diastolik. Kejadian miokard infark 2x lebih besar pada kelompok tekanan darah diastolik 90-104 mmHg dibandingkan Tekanan darah diastolik 85 mmHg, sedangkan pada tekanan darah diastolik 105 mmHg 4x lebih besar. Penelitian Stewart 1979 & 1982 juga memperkuat hubungan antara kenaikan takanan darah diastolik dengan resiko mendapat miokard infark. Apabila Hipertensi sistolik dari Diastolik terjadi bersamaan maka akan menunjukkan resiko yang paling besar dibandingkan penderita yang tekanan darahnya normal atau Hipertensi Sistolik saja. Lichenster juga melaporkan bahwa kematian PJK lebih berkolerasi dengan Tekanan darah sistolik diastolik dibandingkan Tekanan darah Diastolik saja.

21

Pemberian obat yang tepat pada Hipertensi dapat mencegah terjadinya miokard infark dan kegagalan ventrikel kiri tetapi perlu juga diperhatikan efek samping dari obat- obatan dalam jangka panjang. oleh sebab itu pencegahan terhadap hipertensi merupakan usaha yang jauh lebih baik untuk menurunkan resiko PJK. Tekanan darah yang normal merupakan penunjang kesehatan yang utama dalam kehidupan, kebiasaan merokok dan alkoholisme. Diet serta pemasukan Na dan K yang seluruhnya adalah faktorfaktor yang berkaitan dengan pola kehidupan seseorang. Kesegaran jasmani juga berhubungan dengan Tekanan darah sistolik, seperti yang didapatkan pada penelitian Fraser dkk. Orang-orang dengan kesegaran jasmani yang optimal tekanan darahnya cenderung rendah. Penelitian di Amerika Serikat melaporkan pada dekade terakhir ini telah terjadi penurunan angka kematian PJK sebayak 25%. Keadan ini mungkin akibat hasil dari deteksi dini dan pengobatan hipertensi, pemakaian betablocker dan bedah koroner serta perubahan kebiasaan merokok. b) Hiperkolesterolemia. Hiperkolesterolemia merupakan masalah yang cukup panting karena termasuk faktor resiko utama PJK di samping Hipertensi dan merokok. Kadar Kolesterol darah dipengaruhi oleh susunan makanan sehari-hari yang masuk dalam tubuh (diet). Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi kadar kolesterol darah disamping diet adalah Keturunan, umur, dan jenis kelamin, obesitas, stress, alkohol, exercise. c) Merokok. Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko utama PJK di samping hipertensi dan hiperkolesterolami. orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya. Penelitian Framingham mendapatkan kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10X lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4.5X lebih dari pada bukan perokok. Efek rokok

22

adalah Menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi 02 akibat inhalasi co atau dengan perkataan lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 %. Hb menjadi carboksi -Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL kolesterolnya lebih besar dibandingkan laki laki perokok. Merokok juga dapat meningkatkan tipe IV abnormal pada diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yan gmerokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok. Apabila berhenti merokok penurunan resiko PJK akan berkurang 50 % pada akhir tahun pertama setelah berhenti merokok dan kembali seperti yang tidak merokok setelah berhenti merokok 10 tahun. d) Umur Telah dibuktikan adanya hubungan antara umur dan kematian akibat PJK. Sebagian besar kasus kematian terjadi pada laki-laki umur 3544 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Kadar kolesterol pada laki-laki dan perempuan mulai meningkat umur 20 tahun. Pada lakilaki kolesterol meningkat sampai umur 50 tahun. Pada perempuan sebelum menopause ( 45-0 tahun ) lebih rendah dari pada laki-laki dengan umur yang sama. Setelah menopause kadar kolesterol perempuan meningkat menjadi lebih tinggi dari pada laki-laki. e) Jenis kelamin. Di Amerika Serikat gejala PJK sebelum umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan . Ini berarti bahwa lakilaki mempunyai resiko PJK 2-3 X lebih besar dari perempuan. f) Geografis.

23

Resiko PJK pada orang Jepang masih tetap merupakan salah satu yang paling rendah di dunia. Akan tetapi ternyata resiko PJK yang meningkat padta orang jepang yang melakukan imigrasi ke Hawai dan Califfornia . Hal ini menunjukkan faktor lingkungan lebih besar pengaruhnya dari pada genetik. g) Diet. Didapatkan hubungan antara kolesterol darah dengan jumlah lemak di dalam susunan makanan sehari-hari ( diet ). Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cendrung tinggi. Sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi dan sayur-sayuran dan ikan sehingga orang jepang rata-rata kadar kolesterol rendah dan didapatkan resiko PJK yang lebih rendah dari pada Amerika. Beberapa petunjuk diet untuk menurunkan kolesterol : Makanan harus mengandung rendah lemak terutama kadar lemak jenuh tinggi. Mengganti susunan makanan dengan yang mengandung lemak tak jenuh. Makanan harus mengandung rendah kolesterol. Memilih makanan yang tinggi karbohidrat atau banyak tepung dan berserat. Makanan mengandung sedikit kalori bila berat badan akan diturunkan pada obesitas dan memperbanyak exercise. h) Obesitas. Obesitas adalah kelebihan jumlah lemak tubuh > 19 % pada lakilaki dan > 21 % pada perempuan . Obesitas sering didapatkan bersama-sama dengan hipertensi, DM, dan hipertrigliseridemi. Obesitas juga dapat meningkatkan kadar kolesterol dan LDL kolesterol . Resiko PJK akan jelas meningkat bila BB mulai melebihi 20 % dari BB ideal. penderita yang gemuk dengan kadar kolesterol yang tinggi dapat

24

menurunkan kolesterolnya dengan mengurangi berat badan melalui diet ataupun menambah exercise. i) Diabetes. Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Penelitian menunjukkan laki-laki yang menderita DM resiko PJK 50 % lebih tinggi daripada orang normal, sedangkan pada perempuaan resikonya menjadi 2x lipat. 19 Klasifikasi Penyakit Jantung Koroner 1)Angina Pectoris Adanya Angina Pectoris dapat dikenal secara: 1. Kwalitas nyeri dada yang khas yaitu perasaan dada tertekan, merasa terbakar atau susah bernafas. 2. Lokasi nyeri yaitu restrosternal yang menjalar keleher, rahang atau mastoid dan turun ke lengan kiri. 3. Faktor pencetus seperti sedang emosi, bekerja, sesudah makan atau dalam udara dingin. Stable Angina Pectoris Kebutuhan metabolik otot jantung dan energi tak dapat dipenuhi karena terdapat stenosis menetap arteri koroner yang disebabkan oleh proses aterosklerosis. Keluhan nyeri dada timbul bila melakukan suatu pekerjaan. sesuai dengan berat ringannya pencetus dibagi atas beberapa tingkatan : 1. Selalu timbul sesudah latihan berat. 2. Timbul sesudah latihan sedang ( jalan cepat 1/2 km) 3. Timbul waktu latihan ringan (jalan 100 m) 4. Angina timbul jika gerak badan ringan (jalan biasa) Unstable Angina Pectoris Disebabkam primer oleh kontraksi otot poles pembuluh koroner sehingga mengakibatkan iskeia miokard. patogenesis spasme tersebut hingga kini belum diketahui, kemungkinan tonus alphaadrenergik yang berlebihan (Histamin,

25

Katekolamin Prostagglandin). Selain dari spame pembuluh koroner juga disebut peranan dari agregasi trobosit. penderita ini mengalami nyeri dada terutama waktu istirahat, sehingga terbangun pada waktu menjelang subuh. Manifestasi paling sering dari spasme pembuluh koroner ialah variant (prinzmental). Elektrokardiografi tanpa serangan nyeri dada biasanya normal saja. Pada waktu serangan didapati segmen ST elevasi. Jangan dilakukan uji latihan fisik pada penderita ini oleh karena dapat mencetuskan aritmia yang berbahaya. Dengan cara pemeriksaan teknik nuklir kita dapat melihat adanya iskemia saja ataupun sudah terjadi infark. 2.2.3 Patofisiologi Arteri koroner merupakan pembuluh darah yang mensuplai jantung dengan darah. Arteri koroner itu lebih spesifiknya memberikan oksigen-oksigen yang terdapat di dalam darah ke otot otot jantung yang terdapat di dinding jantung. Hal ini sangat perlu dipertahankan agar seseorang dapat bertahan hidup karena oksigen-oksigen ini akan digunakan untuk respirasi otot jantung agar jantung dapat terus memompa darah ke seluruh bagian tubuh. Jika oksigenoksigen ini tidak dapat disalurkan dengan baik ke otot-otot jantung, maka jantung akan menjadi lemah dan tidak dapat menyediakan darah ke seluruh bagian tubuh. Hasilnya, orang tersebut akan meninggal karena proses-proses biologis di dalam dirinya tidak dapat dilakukan karena organ-organ tubuh tidak mendapatkan nutrisi dan oksigen dari darah. Dalam penyakit jantung koroner, arteri koroner ini menjadi semakin sempit dan kadang-kadang terblokir. Hal ini menyebabkan darah tidak dapat disalurkan dengan baik ke otot-otot jantung. Pada tahap awal, mungkin si penderita masih dapat bernafas dengan normal dan darah yang mengalir ke otot jantung masih cukup. Namun, ketika dia melakukan aktivitas yang melelahkan seperti berolahraga atau memarahi orang lain, arteri koroner yang menyempit tidak dapat mensuplai darah yang cukup ke otot-otot jantung. Padahal, pada saat ini, jantung memerlukan darah lebih agar tubuh mendapatkan energi yang cukup

26

untuk melakukan aktivitas yang melelahkan itu. Si penderita bisa jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri, dan bahkan bisa langsung meninggal dunia. Penyempitan arteri koroner ini biasa disebut arteriosclerosis, dan salah satu bentuk arteriosclerosis adalah penyempitan karena lemak jenuh, yang disebut atherosclerosis. Dalam proses ini, lemak-lemak terkumpul di dinding arteri dan penebalan ini menghasilkan permukaan yang kasar pada dinding arteri dan juga penyempitan arteri koroner. Hal ini membuat kemungkinan adanya penggumpalan darah pada bagian arteri yang menyempit ini. Jika darah terus menggumpal, maka tidak ada lagi darah yang bisa mengalir karena darah ini diblok oleh gumpalan darah yang sudah menjadi keras. Jika tidak ada lagi darah yang dapat mengalir melalui arteri koroner, maka si penderita akan mengalami serangan jantung. Pada tahap inilah si penderita tidak dapat melanjutkan aktivitinya dan akan jatuh lemas karena ada bagian dari otot jantungnya yang telah mati lantaran tidak mendapatkan cukup darah. Penderita yang mengalami serangan jantung perlu secepatnya dibawa ke rumah sakit dan mendapatkan perawatan segera seperti pemberian oksigen agar dia tidak memasuki tahap yang kritis. Akan tetapi, jika bagian dari otot jantung yang mati itu sangatlah besar, maka dampak yang dialami orang tersebut akan sangat fatal, dan bisa membawa orang itu kepada kematian. 19 2.2.4 Diagnosis Banding Pericarditis Diseksi Aorta Emboli paru Pneumothorax
Spasme Esophage 19

2.2.5 Diagnosis Diagnosis STEMI ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 1 mm, minimal pada 2 sandapan yang berdampingan. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang

27

meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim. 1)Anamnesis Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung. Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga, Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur. Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sbb: Lokasi: sub/retrosternal, prekordial Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk, diperas, dan dipelintir Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas

28

Tiga penampilan klinis tersering adalah: Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya lebih dari 20 menit Angina yang pertama kali terjadi,setidaknya CCS kelas III

Angina pertama kali Angina meningkat

yang Angina semakin lama makin sering,semakin lama waktunya atau lebih mudah tercetusa.

2) Pemeriksaan fisis Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau hipotensi).

29

Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI. 3) Elektrokardiografi (EKG) Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi infark miokard nongelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI. Gambaran diagnosis NSTEMI dari EKG adalah: 1.Depresi segmen ST > 0,05 mV 2.Inversi gelombang T, ditandai dengan > 0,2 mV inverse gelombang T yang simetris di sadapan prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block (BBB) dan aritmia jantung,terutama sustained VT. Namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis NSTEMI. 4) Laboratorium

30

Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker. Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard). CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari

Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase (LDH) Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang

dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

2. 2.7 Penatalaksanaan Tindakan awal: Pasien dengan ACS harus dimasukkan kedalam ruangan intensif dengan terpasang monitor EKG. Kemudian pasien harus beristirahat untuk meminimalkan kebutuhan oksigen, dandiberikan oksigen (dalam face mask ataupun nasal canule). Analgesik seperti Morphinesangat efektif untuk mengurangi nyeri dada. Dan juga mengurangi kerja jantung dan pemakaian oksigen dengan kerjanya sebagai venodilator dan menurunkan denyut jantung dan tekanan darah. Morphine diberikan secara intravena dengan dosis 2-5 mg jika nyeri

31

tidak membaik dengan nitroglycerin. Dosis dapat diulang setiap 5 sampai 30 menit. Terapi pada Unstable Angina dan Non ST-Elevation Myocardial Infarction Tujuan pengobatan: Tujuan pengobatan adalah untuk meredakan rasa nyeri dengan morphine ataupun antiangina dan mencegah MI dan kematian dengan menstabilkan proses thrombosis denganan tithrombotic.Anti-iskemik 1. Nitrate merupakan suatu venodilator, dimana bekerja dengan menurunkan venous return (menurunkan preload) sehingga kebutuhan akan oksigen pun berkurang, dan juga sebagai vasodilator. Nitrate harus diberikan segera, sebagai tablet sublingual ataupun spray, untuk meredakan nyeri. Jika tidak membaik, nitroglycerine infuse dapat diberikan dengan dosis 5-10 mg per menit, dapat ditingkatkan setiap 5 sampai 10 menit bergantung pada gejala maupun efek samping seperti nyeri kepala dan hipotensi. 2. -Blocker sangat efektif diberikan pada UAP ataupun kombinasi dengan nitrate untuk mengurangi iskemik yang berulang. Bekerja dengan menghambat reseptor pada semua sel membrane dan mengurangi kebutuhan oksigen myokard dengan memperlambat denyutjantung, menurunkan tekanan darah, dan mengurangi kontraktilitas.Jika tidak adakontraindikasi seperti bradikardi, bronkospasme, gagal jantung, atau hipotensi) maka Blocker dapat diberikan secara intravena lalu kemudian diubah ke oral untuk mencapai target denyut jantung 60x/menit. 3. Calcium channel antagonist-Calcium channel antagonist mengurangi influx kalsium yang melalui membrane sel. Obat inimenghambat kontraksi miokard dan otot polos pembuluh darah, melambatkan konduksi AVdan depresi nodus SA. Calcium channel antagonist harus dihindari pada pasien denganoedema paru atau disfungsi ventrikel kiri tetapi dipilih pada individu dengan variant angina. Antiplatelet 1.Aspirin

32

Aspirin bekerja secara ireversibel menghambat COX-1 didalam platelet, dengan menghambat pembentukan tromboxan A2 , sehingga menghambat terjadi agregasi trombosit. Aspirin tidak menghambat degranulasi platelet. Dosis awal adalah 150-325 mg selanjutnya untuk dosis pemeliharaan 75-150 mg seumur hidup. Efek samping dari aspirin yang paling sering adalah berkaitan dengan gastrointestinal termasuk dyspepsia dan nausea dan hilang dengan menurunkan dosis. Sedangkan efek samping yang paling serius termasuk perdarahan gastrointestinal, stroke hemorrhagik, reaksialergi, dan asma eksaserbasi. 2.Clopridogel dan Ticlopidine Ticlopidine dan clopridogel merupakan golongan thienopyridines, bekerja denganmenghambat ADP (adenosine diphosphat), bisa juga digunakan pada pasien yang alergidengan aspirin, dan mencegah terjadinya thrombosis karena PCI. Obat yang sering kita gunakan adalah clopridogel dengan dosis awal 300 mg dan dosis pemeliharaan 75 mg selama 1 tahun. 3.GP IIb/IIIa receptor antagonis Merupakan antiplatelet yang bekerja dengan menghambat final common pathway dari agregasi platelet, yang akan berikatan dengan fibrinogen plasma atau faktor von willebrand. Ikatan ini akan menjadi jembatanantar trombosit untuk saling berkaitan, dan seterusnya berikatan satu sama lain sedemikian rupa sehingga akhirnya terbentuk sumbat hemostatik. Antikoagulan
1. Heparin- UFH (Unfractionated heparin)

Heparin merupakan suatu glycosamino glycan yang terdiri atas rantai dari D-glucosamine dan uronic acid. Heparin mempunyai berat molekul 15.000 dengan ratarata 50 rantai monosakarida. Heparin bekerja memerlukan kofaktor yaitu antithrombin III. Kompleks heparin antithrombin akan mengaktivasi thrombin dan mencegah aktifasi thrombin induksifaktor V dan VII. Dosis yang direkomendasikan adalah IV 5.000 sampai 10.000 U (100U/kg) bolus kemudian dilanjutkan dengan infus 12

33

U/kg untuk mempertahankan nilai aPTT

0-70 detik. Komplikasi utama adalah

perdarahan, tetapi antara 5-10 hari terapi,trombositopeni, dan jika diberikan lebih dari 1 bulan akan menyebabkan osteoporosis. LMWH ( Low Molecular Weight Heparin) LMWH merupakan fragmen dari UFH yang dihasilkan dari depolymerisasi enzymatik ataukimia. Dosis Enoxaparin 1mg/kg setiap 12 jam secara sc atau 1,5 mg/kg sekali sehari.LMWH tidak diberikan pada pasien dengan kerusakan ginjal yang sangat signifikan (kreatinin > 2mg/dl ), karena diekskresikan melalui ginjal. Keunggulan dari LMWH: 1. Mengurangi ikatan pada protein pengikat heparin. 2. Efek yang dapat diprediksi lebih baik. 3. Tidak membutuhkan pengukuran aPTT. 4. Pemakaian secara subkutan, menghindari kesulitan dalam pemakaian secara iv. 5. Berkaitan dengan kejadian kecil perdarahan, namun bukan perdarahan besar. 6. Stimulasi trombosit kurang dari UFH dan jarang mengakibatkan kejadian yang berkaitan dengan HIT (Heparin Induced Trombocytopenia). 7. Analisa secara ekonomis dari studi ESSENCE menunjukkan penghematan dengan penggunaan enoxaparin. Terapi pada ST-Elevation Myocardial Infarction Sama seperti UAP dan NSTEMI, pengobatan yang umumnya harus tetap diberikan untuk mencegah thrombosis dan menyeimbangkan antara kebutuhan dan supply oksigen yaitu dengan pemberian antiplatelet yaitu aspirin untuk menurunkan mortalitas dan kejadian reinfark setelah STEMI. Nitrate, digunakan untuk mengontrol nyeri dada dan sebagai vasodilator pada pasien dengan gagal jantung atau hipertensi berat selama infark akut. Blocker diberikan untuk mengurangi kebutuhan oksigen otot jantung dan menurunkan resiko iskemik berulang, aritmia, dan reinfark.Dan heparin diberikan untuk mempertahankan pembuluh darah koroner.

34

Terapi Fibrinolytic Indikasi diberikan: 1.Gejala yang sesuai dengan MI 2.Perubahan EKG : ST elevasi >0,1mm pada minimal 2 sadapan yang berdekatan,gambaran bundle branch block baru atau diduga baru. 3.Onset nyeri dada:< 6 jam: sangat bermanfaat 6-12 jam: bermanfaat>12 jam: tidak bermanfaat, kecuali pada penderita dengan iskemia yang berlanjut,yang terbukti dari berlanjutnya nyeri dada dan ST elevasi pada EKG. Jenis obat yang diberikan: 1. Streptokinase Obat ini paling banyak digunakan, tetapi sudah jarang digunakan di USA karena komplikasi tersering yaitu perdarahan. Dosis yang dipergunakan yaitu 1,5 juta unit dalam 100 NaCl 0,9%atau Dextrose 5% diberikan dalam waktu 1 jam.1,4 2. Tissue Plasminogen activator (tPA) Penggunaan tPA harus dipertimbangkan pada pasien-pasien yang: a) Telah mendapat streptokinase dalam 2 tahun terakhir; b) Alergi terhadap streptokinasec. Hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg). Regimen: 15 mg IV blus, diikuti 0,75 mg/kg dalam 30 menit kemudian 0,5 mg dalam 60 menit. Dosis yang diberikan tidak boleh melebihi 100 mg. Kemudian diberikan heparin(UFH) 5000 unit bolus, diikuti 1000 unit/jam dengan dosis yang disesuaikan untuk mempertahankan aPTT 1,5-2 kali nilai kontrol, setelah pemberian infuse tPA. 3. Tenecteplase (TNK-tPA) Merupakan derivate dari tPA dengan waktu paruh yang sangat panjang. Dapat diberikansecara injeksi intravena bolus dengan dosis berikut: 30 mg untuk berat badan <60 kg, 35 mguntuk berat badan 60-69 kg, 40 mg untuk berat badan 70-79 kg, 45 mg untuk berat badan 80-89 kg, 50 mg untuk berat badan >90 kg. kemudian

35

dilanjutkan dengan pemberian heparinselama 24-48 jam dengan mempertahankan aPTT 1,52 kali nilai kontrol. Indikasi keberhasilan reperfusi ditandai dengan berkurangnya nyeri dada, kembalinya ST segmen ke garis isoelektris, dan memuncaknya dengan cepat kadar cardiac enzim yaitu troponin T dan CK-MB. Selama reperfusi, sering terjadi arimia sementara, tetapi tidak perluadanya intervensi. 20 2.3. Penyakit Jantung Hipertensi 2.3.1. Definisi Hipertensi adalah peninggian tekanan darah diatas normal. Sejumlah 85 90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Sisanya, sekitar 10 - 15% merupakan hipertensi yang diketahui penyebabnya (hipertensi sekunder). Ini termasuk golongan penyakit yang terjadi akibat adanya suatu mekanisme kompensasi kardiovaskuler untuk mempertahankan kebutuhan metabolisme tubuh agar berfungsi secara normal. Mekanisme tersebut terjadi melalui sistem neuro hormonal dan kardiovaskuler. Semakin tinggi tekanan darah, lebih besar kemungkinan timbulnya penyakit-penyakit kadiovaskuler. Penyulit yang terjadi bisa berupa hipertrofi otot jantung dan dilatasi ruang jantung. Penyulit pada jantung dan segala manifestasi klinisnya, dinamakan penyakit jantung hipertensi.

2.3.2. Patofisiologi Penyulit utama pada penyakit jantung hipertensi adalah hipertrofi ventrikel ventrikel kiri yang terjadi sebagai akibat langsung dari peningkatan bertahap tahanan pembuluh perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang menentukan hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya peningkatan diastol. Pengaruh beberapa faktor neurohormonal seperti rangsangan simpato-adrenal yang meningkat dan peningkatan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron.

36

Pada stadium permulaan hipertensi, hipertrofi yang terjadi adalah difus (konsentrik) dimana rasio massa dan volume akhir diastolik ventrikel kiri meningkat tanpa perubahan yang berarti pada fungsi pompa efektif ventrikel kiri. Pada stadium selanjutnya, karena penyakit berlanjut terus, hipertrofi menjadi tidak teratur dan akhirnya terjadi hipertrofi eksentrik, akibat terbatasnya aliran darah koroner. Khas pada jantung dengan hipertrofi eksentrik menggambarkan berkurangnya rasio antara massa dan volume, oleh karena meningkatnya volume diastolik akhir. Hal ini diperlihatkan sebagai penurunan secara menyeluruh fungsi pompa (penurunan fraksi ejeksi), peningkatan tegangan dinding ventrikel pada saat sistol dan konsumsi oksigen otot jantung, serta penurunan efek mekanik pompa jantung. Klasifikasi Tekanan Darah (JNC VII): Klasifikasi TD Normal Prehipertensi Hipertensi stage I Hipertensi stage II 2.3.3. Gejala klinis. Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya pasien tidak ada keluhan. Bila simtomatik, maka biasa disebabkan oleh:
1. Peninggian tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa pusing/

Tekanan sistolik (mmHg) < 120 120-139 140-159 160

Tekanan diastolic (mmHg) dan < 80 atau 80-89 atau 90-99 atau 100

melayang (dizziness) dan impoten.


2. Penyakit jantung/ vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak nafas,

nyeri dada (iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan vaskular lainnya seperti epistaksis, hematuria, pandangan kabur akibat perdarahan retina, transient cerebral ischemic.
3. Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria, dan

kelemahan otot pada aldostronisme primer, peningkatan BB dengan emosi yang labil pada Sindrom Cushing. Feokromasitoma dapat muncul dengan

37

keluhan episode sakit kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy). 2.3.4 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium awal meliputi: Urinalisis Hemoglobin/ hematokrit Elektrolit darah Ureum/ kreatinin Gula darah puasa Total kolesterol Elektrokardiografi Pemeriksaan tambahan yang mungkin perlu dilakukan: TSH Leukosit darah Trigliserida, HDL, dan LDL kolesterol Kalsium dan fosfor Foto toraks Ekokardiografi, dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel kiri lebih dini dan lebih spesifik (spesifisitas sekitar 95 100%). Indikasi Ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah: - Konfirmasi gangguan jantung atau murmur. - Hipertensi dengan kelainan katup. - Hipertensi pada anak dan remaja. - Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat. - Hipertensi disertai sesak nafas yang belum jelas sebabnya.

Ekokardiografi-Doppler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik.

2.3.5. Penatalaksanaan

38

39

Farmakologi: 1. Diuretic (Thiazide).


-

Menurunkan retensi Na dan air, volume darah, dan COP. Mengganggu balans elektrolit, kadar K dan Mg turun. Hyperuricemia (70%) Hyperglycemia (10%)

Jangan digunakan pada penderita dengan Diabetes dan Hyperlipidemia. Menurunkan HR,SV, COP, sekresi renin, angiotensin II, aldosteron, dan volume darah. Propanolol, metoprolol mengalami first-pass metabolism.

2. -blocker.
-

40

Jangan digunakan pada penderita dengan asma, PPOM, bradikardi, gangguan seksual.

3. ACE-inhibitor.
-

Menurunkan produksi angiotensin II dengan cara menghambat kerja enzim ACE. Meninggikan kadar bradikinin sehingga dapat menyebabkan batuk kering. Sering digunakan pada penderita dengan CHF menimbulkan first dosesyncope. Mengganggu balans elektrolit menyebabkan hiperkalemia. Jangan digunakan bersamaan dengan spironolakton, OAINS. Golongan sulfhidril : captopril Golongan karboksil : prodrug: enalapril ramipril enalaprilat ramiprilat perindopril perindoprilat

active : lisinopril Golongan fosforil : fosinopril Masa kerja: Singkat : captopril Panjang : lisinopril

4. ARB (Angiotensin Receptor Blocker). 5. CCB (Calcium Channel Blocker).


-

Menghambat masuknya ion Ca ke dalam sel otot sehingga menyebabkan vasodilatasi. Sering dikombinasikan dengan beta-blocker Mengganggu kontraksi otot: Konstipasi (10%) Kelelahan/fatigue Edema mata kaki Verapamil jangan digunakan pada penderita dengan CHF. t1/2 paling panjang: amlodipin, felodipin.

41

Derivat DIHYDROPYRIDINE: Masa kerja singkat : nifedipin Masa kerja panjang : amlodipin, felodipin Derivat BENZOTHIAZEPINE (ex. diltiazem) Derivat DIPHENYLALKYLAMINE (ex. verapamil, gallopamil)

42

BAB III Kepaniteraan Klinik Senior Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran USU/RS H Adam Malik Medan NO. Rekam Medik: 00.46.00.73 Nama pasien Pekerjaan Agama Keluhan Utama Anamnese : Sukiman : : : Sesak nafas Tanggal: 14 Juni 2011 Hari : Selasa Umur : 46 tahun Seks : Laki-laki Alamat : DSN Cipto Tanjung Hilir. 2

_________________________________________________________________ : Hal ini dialami os sejak lebih kurang 6 bulan ini dan memberat dalam 1 minggu ini, sesak dirasakan pada saat istirahat. DOE (+), PND (+), OP (+), Kaki bengkak (-). Riwayat hipertensi (+) sejak lebih kurang 5 tahun yang lalu dengan TD tertinggi 200/_ mmHg. Riwayat nyeri dada (+) sejak lebih kurang 6 bulan lalu. Nyeri dirasakan seperti dada tertimpa benda berat. Durasi lebih kurang 5 menit dan hilang dengan istirahat. Keringat dingin (-), mual (+), muntah (+). Riwayat muntah darah (+), berwarna hitam lebih kurang 2 hari lalu, nyeri ulu hati (+). Os sebelumnya sudah pernah diangiografi pada bulan Maret 2011 dan di PCI. Os merupakan pasien lama RS HAM, saat di IGD keluhan sesak nafas (+). BAK (+) BAB (+) Faktor resiko PJK : ex smocker, hipertensi

Riwayat penyakit terdahulu : PJK, hipertensi

43

Riwayat pemakaian obat Status presens KU : lemah RR : 24 x/m Ortopnu : +/Pemeriksaan fisik Kepala : Simetris Dinding toraks: :

: Aptor, Clopidogrel, Simvastatin, ISDN

Kesadaran : CM Suhu: 36.7 C :

TD : 160/90 mmHg sianosis: (-)

HR :110 x/m

dispnu (+) ikterus (-) edema (- ) pucat (+) Mata : Conjg. Palp. Inf Pucat (+); Sklera ikterik (-) Inspeksi: Palpasi : Perkusi: Simetris fusiformis SF ki=ka,kesan normal Sonor di kedua lapangan paru

Leher : TVJ R+2 cmH20

Batas jantung Atas Kiri

: ICR III sin : 1 cm lateral LMCS

Kanan : LSD Auskultasi Jantung : S1 (+) N S2 (+) N S3 ( ) S4 ( ) Reguler / Ireguler Grade Radiasi: Murmur (-) Tipe : PSM,MDM, Ej SM,EDM, Punctum maximum: apex Paru: Suara pernafasan : vesikuler/bronchial Suara tambahan: Ronki basah basal (+/+) Abdomen: Palpasi Hepar/Lien: hepar teraba 5 cm BAC Asites (+/-) Ekstremitas: Superior : sianosis (-) Inferior : edema (-) Akral : hangat/dingin Clubbing(-) pulsasi arteri: (+) Wheezing ( - )

44

Interpretasi Rekaman EKG : 14 Juni 2011

Interpretasi rekaman EKG: SR,QRS Rate: 110x/I, QRS axis: (N),P wave: (N),PR interval:0.12, QRS duration :0,06, QS V1-V4,rsR Di V5,T inversion I.AVL, LVH (+),VES (-) Kesan :ST+OMI anteroseptal+iskemia hi lat+LBBB+LVH

45

Interpretasi Foto Toraks (AP/PA) :

Interpretasi foto toraks (AP/ PA): CTR =60% , Ao dilatasi, Po (N), Pinggang jantung (-), apeks downward, kongesti (-), infiltrate (-). Kesan : kardiomegali

46

Hasil Post-Angioplasti Koroner

Hasil: Pemasangan Stent pada Right Coronary Artery.

47

Hasil Laboratorium: 1. Darah lengkap. Hb RBC WBC Ht PLT 2. AGDA pH pCO2 pO2 HCO3 BE SGPT
5. Ureum

: 5,89 g% () : 2,56x : 10,70x : 19,10 % : 337x / / /

: 7,469 () : 28,4 mmHg () : 157,6 mmHg () : 20,1 mmol/L () : -3,2 mmol/L () : 12 U/L : 73,6 mg/dl () : 1,97 mg/dl () : 3,9 mEq/L : 110 mEq/L ()

Total CO2 : 21 mmol/L


3. SGOT : 23 U/L

4. Glukosa sewaktu: 104,4 mg/dl Kreatinin Kalium (K) Klorida (Cl) 7. Enzim jantung CK-MB : 16 U/L

6. Natrium (Na) : 131 mEq/L ()

Diagnosa Kerja: CHF Fc III-IV ec CAD, HHD


1. Fungsional 2. Anatomi 3. Etiologi

: Fc III-IV : arteri koroner : hipertensi

48

Diferensial Diagnosa:

Pengobatan: Tirah baring semifowler O2 2-4l/i IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i Inj. Furosemide 20 mg ekstra 20 mg/ 8 jam Captopril 3 x 12,5mg ISDN 3 x 5mg Simvastatin 1 x 20mg Laxadyn syr 1 x CI Rencana pemeriksaan lanjutan: KGDN 2 PP Lipid profile
Echocardiography

Konsul gastro

Prognosis: Ad vitam Ad Functionam Ad Sanactionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

49

Tgl.

O Sens: CM TD : 170/90 mmHg HR : 106 x/i RR :28 x/i T : afebris PD : Kepala: Mata anemis (+) Leher : TVJ R + 2 cmH20 Thorax: Cor S1 S2 N, murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP vesikuler ST rhonki basah basal Abd : Soepel Ekstremitas : akral hangat, odem (-)

A CHF fc II III ec CAD, HHD Anemia ec gastritis erosive + AKI Terapi Tirah baring O2 2- 4 l/i IVFD NaCl (mikro) 20 mg/ 8 jam ISDN 3 x 5 mg Clopidogrel 1 x 75 mg Captopril 3 x 12.5 mg Simvastatin 1 x 20 mg Alprazolam 1 x 0.5 mg Laxadin 1 x CI Lansoprazol 1 x 30 mg Antasida syrup Tirah baring O2 2- 4 l/i IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/I (mikro) Furosemide

P Diagnostik -transfusi PRC 2 bag -konsul GE morfologi darah tepi sebelum transfuse Hb : 7,7 g % Eritrosit : 3,03 . 106/mm3 Leukosit: 25,12 . 103/mm3 Ht: 24.20 %

15/6/11 Sesak 16/6/11 nafas

0.9% 10 gtt/I -cek

PSMBA ec Furosemide

17/6/11 Sesak 18/6/11 nafas

Sens: CM TD : 130/80 mmHg HR : 96 x/i RR : 26 x/i T : afebris

CHF fc II III ec CAD, HHD + AKI + Riwayat

OMZ dioff tgl 18/6

50

PD : Kepala: Mata anemis (+) 2 cmH20 Thorax: Cor S1 S2 N, murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP vesikuler ST rhonki basah basal Abd : Soepel Ekstremitas : akral hangat, odem (-)

PSMBA ec 2x40 mg suspek gastritis ISDN 3 x 5 mg Clopidogrel 1 x 75 mg Captopril 3 x 12.5 mg Simvastatin 1 x 20 mg Alprazolam 1 x 0.5 mg Lansoprazol 1 x 30 mg Antasida syrup Inj Transamin / 12 jam Vit K /24 jam Tirah baring O2 2- 4 l/i IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/I (mikro) Furosemide ISDN 3 x 5 mg Clopidogrel 1 x 75 mg

Leher : TVJ R + erosive

19/6/11 Sesak nafas g 20/6/11 berkuran

Sens: CM TD : 130/80 mmHg HR : 92 x/i RR : 24 x/i T : afebris PD : Kepala: Mata anemis (+) Leher : TVJ R + 2 cmH20

CHF fc II III ec CAD, HHD + AKI + Riwayat suspek gastritis erosive

PSMBA ec 2x40 mg

51

Thorax: Cor S1 S2 N, murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP vesikuler ST rhonki basah basal Abd : Soepel Ekstremitas : akral hangat, odem (-)

Captopril 3 x 12.5 mg Simvastatin 1 x 20 mg Alprazolam 1 x 0.5 mg Lansoprazol 1 x 30 mg Antasida syrup Inj Transamin / 12 jam Vit K /24 jam Tirah baring O2 2- 4 l/i IVFD NaCl 0.9% 10 gtt/I (mikro) Furosemide ISDN 3 x 5 mg Clopidogrel 1 x 75 mg Captopril 3 x 12.5 mg Simvastatin 1 x 20 mg Alprazolam

21/6/11

Sens: CM TD : 130/80 mmHg HR : 88 x/i RR : 24 x/i T : afebris PD : Kepala: Mata anemis (+) 2 cmH20 Thorax: Cor S1 S2 N, murmur (-), gallop (-) Pulmo: SP vesikuler ST

CHF fc II III ec CAD, HHD + AKI + Riwayat suspek gastritis

PSMBA ec 2x40 mg

Leher : TVJ R + erosive

52

rhonki basah basal Abd : Soepel Ekstremitas : akral hangat, odem (-)

1 x 0.5 mg Lansoprazol 1 x 30 mg Antasida syrup Inj Transamin / 12 jam Vit K /24 jam

22/6/11 PBJ

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

53

4.1.

Kesimpulan Gagal jantung adalah satu sindroma klinis pada pasien mengalami kelainan struktur atau fungsi jantung yang disebabkan oleh kelainan bawaan atau acquired heart disease sehingga jantung tidak mampu untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolit tubuh (forward failure ) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya.

Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan kelainan pada satu atau lebih pembuluh arteri koroner dimana terdapat penebalan dinding dalam pembuluh darah (intima) disertai adanya aterosklerosis yang akan mempersempitkan lumen arteri koroner dan akhirnya akan mengganggu aliran darah ke otot jantung sehingga terjadi kerusakan dan gangguan fungsi pada otot jantung.

54

DAFTAR PUSTAKA

1. Huon H., Keith D., John M., Iain A. Gagal Jantung. Lecture Notes of

Cardiology. Oct 24 2003;6:80-97.


2. Ali Ghanie. Gagal Jantung Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid

III. May 23 2006;343(3):1511-1514.


3. Dumitru,

Baker.

Heart

Failure.

Available

from

URL: Accessed

http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview. January 26, 2011.

4. Panggabean, Marulam M. 2006. Gagal Jantung, dalam Aru W. Sudoyo

dkk, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi I. Universitas Indonesia. h. 1503-1504.

Jakarta:Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225.
6. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2008 ; 2392-3.


7. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 234-5.
8. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 235-240.
9. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. Available from :

circ.ahajournals.org. Accessed 15 May 2011

55

10. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of

Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 240-243.
11. Barita S, Irawan J S. Gagal Jantung. In : Lily I R, Faisal B, Santoso K,

Poppy S R, ed. Buku Ajar Kardiologi, 1997; 124-125


12. Marulam M.P. Gagal Jantung. In : Aru W S,

Bambang S, Idrus A,

Marcellus S K, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.2006; 1504.


13. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure 2008 ; 2392. 14. Douglas L M. Disorder Of Heart. In : George W.T, ed. Harrrisons

Principles of Internal Medicine, 2008; 1448-1453. 15. Heart failure available from http://emedicine.medscape.com/article/163062overview#aw2aab6b2b5aa . Accessed 16 May 2011. 16. Kalim, H., Idham, I., Irmalita., Karo, S.K., Soerianata, S., Tobing, D.P., PedomanPerhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2004. Jakarta. PERKI
17. Lily Ismudiati Rilantono, dkk. 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 18. Widiyanti, R., Sindrom Koroner Akut. 2010. Jakarta. Exomed Indonesia
19. Acute Coronary Syndrome. American Heart Association. Available from :

circ.ahajournals.org. Accessed 15 May 2011


20. Alwi I. Infark miokard akut dengan elevasi ST. Dalam: Sudoyo Aru W,

dkk (editor), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV: 1615-25. 21. Thomas A. Pearson, MD, PhD; Steven N. Blair, PED; Stephen R. Daniels, MD, PhD; Robert H. Eckel, MD; Joan M. Fair, RN, PhD; Stephen P. Fortmann, MD; Consensus Panel Guide to Comprehensive Risk Reduction for Adult Patients Without Coronary or Other Atherosclerotic Vascular Diseases in AHA Guidelines for Primary Prevention of Cardiovascular Disease and Stroke: 2002 Update.

56

22. Cannon Christopher P, Braunwald Eugene. ST-Elevation Myocardial

Infarction.In Kasper DL, Braunwald E, Fauchi AS et. Al (editor). Harrisons Principle of Internal Medicine 17 ed,Mc GrawHill: 2008. 152732.

You might also like