You are on page 1of 2

Kilas CSR : tentang Pemberdayaan Masyarakat Oleh : Khairul Basyar, Arief Armanto Arief.armanto@gmail.com, khairulbas@gmail.

com PT ANTAM (Persero) Tbk, Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor

PEMBERDAYAAN
Pemberdayaan adalah konsep yang sering kita gunakan dalam belakangan terakhir ini. Namun demikian, kita sering kali tidak benar-benar memahami maknanya, bahkan mempersalinggantikan kedua kata tersebut. Memang tidak ada pemahaman yang benar secara absolut, tetapi upaya untuk memahami suatu konsep dengan baik merupakan langkah awal sebuah program yang baik. Konsep pemberdayaan masyarakat dalam pengimplementasiaannya dimaknai beragam oleh para pelaksana kebijakan dalam berbagai bentuk program dan proyek pembangunan. Pemaknaan yang beragam ini dipahami sebagai pemahaman yang berbeda di antara para pelaksana kebijakan pembangunan tentang dasar filosofi, teori, dan kriteria tentang pemberdayaan masyarakat. Pemaknaan masih berkisar pada penyebutan pemberdayaan masyarakat sebagai jargon atau stempel saja. Pemberdayaan berasal dari penerjemahan bahasa Inggris empowerment yang juga dapat bermakna pemberian kekuasaan karena power bukan sekedar daya, tetapi juga kekuasaan, sehinggaa kata daya tidak saja bermakna mampu, tetapi juga mempunyai kuasa. Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi, bukan sebuah proses instan. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai 3 (tiga) tahapan : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi pencerahan dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu. Misalnya, target adalah kelompok masyarakat miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman bahwa mereka dapat menjadi berada, dan itu dapat dilakukan jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinannya. Prinsip dasarnya adalah proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka (bukan orang luar). Tahap kedua adalah pengkapasitasan, atau sering kita sebut dengan capacity building, dalam bahasa yang lebih sederhana memampukan atau enabling. Untuk diberi daya atau kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu. Sedangkan proses capacity building itu sendiri terdiri atas tiga jenis, yakni : manusia, organisasi dan sistem nilai. Pengkapasitasan manusia dalam arti memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok. Kita tidak asing dengan konsep ini karena sudah amat sering melakukan training (pelatihan), workshop (lokalatih), seminar dan sejenisnya. Arti dasarnya adalah memberikan kapasitas individu dan kelompok manusia untuk mampu menerima daya atau kekuasaan yang akan diberikan. Pengkapasitasan organisasi dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut. Pengkapasitasan kedua ini perlu diakui

jarang dilakukan karena kita acap kali take it for granted dengan berfikir bahwa toh kalau manusianya sudah dikapasitaskan ia akan melakukan pengkapasitasan organisasi sendiri. Pengkapasitasan ketiga adalah sistem nilai. Setelah orang dan wadah dikapasitaskan, sistem nilainya pun demikian. Sistem nilai adalah aturan main. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan aturan main di antara mereka. Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan Anggaran Dasar dan Anggara Rumah Tangga, Sistem dan Prosedur, dan sejenisnya. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi, etika, dan good government. Sama halnya dengan pengkapasitasan organisasi, pengkapasitasan sistem nilai jarang kita lakukan karena kita mempunyai stereotip bahwa kalau manusianya dikapasitaskan, toh mereka akan membuat aturan main sendiri yang baik. Pengalaman dilapangan menunjukkan hal lain. Setelah pengkapasitasan manusia, mereka kemudian hanya menjadi individu yang tercerai berai dan tak bersistem nilai tunggal. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri atau empowerment dalam arti sempit. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang. Pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang dimiliki. Pokok gagasannya adalah bahwa proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerima. Misalnya, pemberian kredit kepada suatu kelompok yang sudah melalui proses penyadaran dan pengkapasitasan masih perlu disesuaikan dengan kemampuannya mengelola usaha. Jika perputarannya hanya mampu mencapai Lima Juta Rupiah, tidaklah bijaksana jika diberikan pinjaman atau modal sebesar Lima Puluh Juta Rupiah. Pemberdayaan pada akhirnya bukanlah teori. Sebagaimana dikatakan Ron Johson dan David Redmod (The Art of Empowerment, 1992) bahwa at last, empowerment is about art. It is about value we believe. Tatkala pemberdayaan menjadi sebuah praktik dan seni, yang mengemuka adalah bagaimana memanajemeni proses pemberdayaan. Artinya, memberdayakan tidak boleh bermakna merobotkan atau menyeragamkan. Pemberdayaan juga memberi ruang pada pengembangan keberagaman kemampuan manusia yang beragam, dengan asumsi, satu sama lain akan saling melengkapi. Disini, kita sampai pada pemahaman bahwa value pemberdayaan adalah bahwa ia merupakan proses alamiah. Begitu alamiahnya pemberdayaan sehingga kita lupa bahwa proses itu penting. Kebiasaan kita untuk take it for granted membuat pemberdayaan menjadi kegiatan yang dianggap jadi dengan sendirinya. Masyarakat disekitar kita perlu diberdayakan. Kita perlu HOW TO dari pemikiran program dan atau proyek yang memberdayakan. -kh

You might also like