You are on page 1of 20

CONTOH KASUS

Pemberian amitriptilin pada pasien dengan depresif ringan


Dibuat oleh: Dini Astriani,Modifikasi terakhir pada Mon 16 of Aug, 2010 [20:28] ABSTRAK Depresi adalah gangguan kejiwaan yangmempunyai gejala utama berupa afek depresif, kehilangan m inat dan kegembiraan, serta berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan muda lelah ( rasa lelah yang nyatasesudah bekerja sedikit saja), dan menurunnya aktivitas. Pada depresi juga didapatkan gejala lainnya, berupa konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan berkurang, gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, serta nafsu makan berkurang. Terapi yang diberikan pada pasien dengan depresan yaitu antidepresan. Pada pasien memenuhi criteria diagnosis sebagai depresi ringan karena telah memenuhi : 1. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut di atas; 2. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya 3. Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya. 4. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu. 5. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa dilakukannya. Kata kunci : Depresi ringan, antidepresan, amitriptilin ISI Seorang laki-laki 47 tahun datang ke Poliklinik Jiwa dengan keluhan cemas disertai sering berdebar-debar dan pusing. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Dahulu pasien pernah mengalami penyakit serupa yaitu pada bulan Maret 2009. Awalnya pasien merasakan was-was, berdebar-debar, pusing saat duduk kemudian berdiri, seluruh tubuh gemetar, berkeringat, kesulitan tidur (kesulitan untuk memulai tidur dan terbangun pada tengah malam, tidak mimpi buruk), nafsu makan turun, minat bekerja turun, mudah menangis, merasa sering lelah dan pasien merasa takut mati. Hal ini dipicu karena pasien sedang menghadapi masalah dengan teman kerjanya. Seminggu yang lalu pasien merasakan was-was lagi, dada berdebar-debar. Ternyata ada masalah lagi dengan teman kerja, tanpa sebab teman tersebut tidak manyapanya. Hal ini yang membuat pasien kembali periksa ke poliklinik RSJ untuk mendapatkan pengobatan. Diagnosis Berdasarkan anamnesis diperoleh diagnosis kerja pada kasus ini ialah episode depresif ringan (F 32.0) dengan diagnosis banding Gangguan Cemas Menyeluruh (F 41.1), Gangguan Campuran Anxietas dan Depresi (F 41.2) dan Disfungsi Otonomik Somatoform (F 45. 3). Terapi Terapi yang diberikan Amitriptilin 1 x 25 mg sebagai antidepresan. amitriptilin diberikan malam hari karena memberikan efek sedasi. Dan Lorazepam 1 x 0,5 mg sebagai anxiolitik diberkan di pagi hari. lorazepam diberikan dosis rendah karena dapat menyebabkan adiksi.

DISKUSI Pada kasus ini tonsiitis kronis eksaserbasi akut terjadi pada seorang laki-laki 47 tahun datang dengan keluhan cemas disertai sering berdebar-debar dan pusing. Amitriptilin dipilih sebagai antidepresan karena menimblkan efek terapi yang lebih cepat dibandingkan antidepresan yang lain. Amitriptilin juga berkhasiat untuk memperbaiki perasaan (mood), bertambahnya aktifitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan dan pola tidur yang lebih baik. Mekanisme aksi amitriptilin dengan menghambat reuptake serotonin dan norepinefrin di presinaps membran sel sehingga terjadi peningkatan konsentrasi serotonin dan atau norepinefrin di susunan saraf pusat. Sebagai antidepresi, enurisis nokturnal pada anak yang tidak mengalami kelainan organik, gangguan kecemasan (ansietas), bulimia nervosa. Penggunaan amitriptilin harus berhati-hati untuk pengemudi atau operator mesin karena sering menyebabkan mengantuk. Efek sedasi mungkin bertambah dengan penggunaan antidepresan lain/etanol. Psikosis mungkin memburuk pada beberapa pasien atau menimbulkan mania atau hipomania pada pasien penyakit bipolar. Mungkin menimbulkan hiponatremia. Harus dihentikan sebelum operasi elektif. Terapi jangan dihentikan tiba-tiba untuk pengguna jangka panjang. Dapat menimbulkan hipotensi ortostatik sehingga hati-hati untuk pasien hipotensi sementara atau yang beresiko menderita hipotensi. Hati-hati pada penderita retensi urin, hiperplasia prostat, glakoma sudut sempit, xerostamia, gangguan visual, konstipasi, atau obstruksi saluran cerna, karena efek antikolinergik amitriptilin. Hati-hati pada penderita diabetes karena mengubah glukosa kontrol. Kemungkinan bunuh diri pada penderita depresi berat, hatihati pada pasien resiko tinggi di awal penggunaan, monitor pasien. Tidak dianjurkan untuk anak kecil<12 tahun. Hati-hati pada pasien dengan riwayat penyakit karidiovaskuler, dengan riwayat kejang, dengan hipertiroid dan dengan disfungsi ginjal dan hati serta pasien tua. KESIMPULAN Pada kasus ini Amitriptilin dipilih sebagai antidepresan karena menimblkan efek terapi yang lebih cepat dibandingkan antidepresan yang lain. Amitriptilin juga berkhasiat untuk memperbaiki perasaan (mood), bertambahnya aktifitas fisik, kewaspadaan mental, perbaikan nafsu makan dan pola tidur yang lebih baik. REFERENSI 1. Maslim,Rusdi. BOIES Buku saku Diagnosis gangguan Jiwa , Penerbit Bagian Ilmu kedokteran jiwa FK UNIKA Atmajaya, Jakarta, 2003. 2. NN, Amitriptilin,Wikipedia, www.google.com di upload tanggal 9 januari 2010. 3. Maramis. W.F, Catata Ilmu kedokteran jiwa, Edisi VI, Airlangga University Press. Surabaya.2004 PENULIS Dini Astriani, Program Profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Penyakit Jiwa Rumah Sakit Dr Soeroyo Magelang (2010).

Nyeri Punggung Bawah et causa Hernia Nucleus Pulposus pada Wanita usia 60 Tahun
Dibuat oleh: Dian Caesarianna,Modifikasi terakhir pada 29 minutes ago

ABSTRAK Nyeri Punggung Bawah (NPB) adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang dan samping luar. HNP adalah suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh bagian dari nukleus pulposus mengalami penonjolan kedalam kanalis spinalis. Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung (NPB) yang penting. Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi. HNP lumbalis paling sering (90%) mengenai diskus intervertebralis L5-S1 dan L4-L5. Biasanya NBP oleh karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira-kira 6 minggu. Tindakan pembedahan jarang diperlukan kecuali pada keadaan tertentu. Pada kasus ini terjadi pada seorang wanita usia 60 tahun dengan aktifitas sehari-hari sebagai petani yang sering mengangkat barang-barang berat. KEYWORD :Nyeri punggung bawah, Hernia Nucleus Pulposus KASUS Seorang wanita, usia 60 tahun, pekerjaan petani datang ke rumah sakit dengan keluhan utama nyeri punggung bawah terutama sebelah kanan yang menjalar sampai ke tungkai kanan, keluhan dirasakan bertambah dengan mengangkat barang berat, bersin, mengejan dan saat berubah posisi. Nyeri dirasakan hilang timbul sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit, berkurang dengan minum obat. Disangkal adanya demam, trauma langsung, penurunan berat badan mencolok, penggunaan obat-obatan, riwayat tumor, riwayat kontak dengan penderita batuk lama. Tidak ada gangguan BAK dan BAB, Riwayat Penyakit Dahulu: pasien tidak pernah mengalami sakit serupa sebelumnya dan tidak ada riwayat nyeri punggung bawah berulang. Vital sign: TD: 120 / 80 mmHg, nadi: 76 x / menit, RR: 18 x / menit, t: 36,9 oC. Pemeriksaan fisik: pemeriksaan Laseque : +/- 45 , Patrick : -/-, Kontra Patrick : -/-, Valsalva : +, (-). Pemeriksaan laboratorium: darah rutin dalam batas normal, Lumbal Pungsi tidak dilakukan, dari pemeriksaan penunjang yakni pemeriksaan radiologis didapatkan hasil kurvatura melurus, osteoporotik syst tulang vertebra, tampak osteophyt anterior corpus vertebra lumbales, DIV L IV-V menyempit, FIV tak menyempit, pedikel intak. Kesan : Spondyloarthrosis L IV-V, Spondylosis lumbales, Osteoporotik syst tulang vertebra

DIAGNOSIS Diagnosis klinik kanan :Nyeri punggung bawah yang menjalar sampai tungkai bawah kaki

Diagnosis topik

: Radiks nervus spinalis lumbosacral

Diagnosis etiologi : Hernia Nucleus Pulposus

TERAPI Terapi yang diberikan adalah : Tirah Baring (minimal 4 minggu), fisioterapi, menggunakan korset, edukasi untuk mengurangi beban kerja. Medikamentosa : analgesik: (NSAID) : Meloxicam 3x7,5 mg; Kortikosteroid: methylprednisolon 2x1 tab, Muscle relaxant: Diazepam 2x2mg DISKUSI Nyeri punggung bawah adalah rasa nyeri yang dirasakan di daerah punggung bawah, dapat menyebabkan, dapat merupakan nyeri lokal maupun nyeri radikuler maupun keduanya. Nyeri ini terasa diantara sudut iga terbawah sampai lipat bokong bawah yaitu di daerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan penjalaran nyeri ke arah tungkai dan kaki. NPB yang lebih dari 6 bulan disebut kronik. Hernia Nukleus Pulposus adalah suatu keadaan dimana sebagian atau seluruh bagian dari nukleus pulposus mengalami penonjolan kedalam kanalis spinalis. Hernia Nukleus Pulposus (HNP) merupakan salah satu penyebab dari nyeri punggung (NPB) yang penting. Prevalensinya berkisar antara 1-2% dari populasi. HNP lumbalis paling sering (90%) mengenai diskus intervertebralis L5-S1 dan L4-L5. Biasanya NBP oleh karena HNP lumbalis akan membaik dalam waktu kira-kira 6 minggu. Tindakan pembedahan jarang diperlukan kecuali pada keadaan tertentu. Dalam kasus ini seorang wanita, usia 60 tahun datang ke RSUD Saras Husada Purworejo dengan keluhan nyeri punggung bawah sebelah kanan yang menjalar sampai ke tungkai kanan sejak 1 bulan. Keluhan dirasakan bertambah dengan mengangkat barang berat, bersin, mengejan dan saat berubah posisi. Nyeri hilang timbul selama 1 bulan, berkurang dengan minum obat. Dari pemeriksaan fisik didapatkan laseq tungkai kanan (+) ini menunjukkan adanya ketegangan pada saraf spinal dan tes valsava (+). Pada pasien ini tidak dilakukan tindakan lumbal pungsi karena tidak tersedianya sarana dan prasarana. Pemeriksaan radiologis pada nyeri punggung belakang sering terlihat normal atau kadang-kadang dijumpai penyempitan ruangan intervertebral, spondilolistesis, perubahan degeneratif, dan tumor spinal. Penyempitan ruangan intervertebral kadangkadang terlihat bersamaan dengan suatu posisi yang tegang dan melurus dan suatu skoliosis akibat spasme otot paravertebral. Pada kasus ini terdapat gambaran penyempitan pada diskus intervertebralis lumbal IV V. Pada pasien ini faktor yang menjadi resiko dari penyebab terjadinya nyeri punggung bawah karena hernia nukleus pulposus adalah faktor pekerjaan pasien sebagai petani yang sering mengangkat barang-barang berat selain itu juga karena proses ketuaan membuat lapisan permukaan ruas tulang belakang menjadi tergesek, mengakibatkan struktur mengandung sel gellatin yang lentur dan kenyal (nucleus pulposus) mengalami cedera. Lapisan kolagen ini menyerupai bagian yang kenyal. Lama kelamaan karena sering mengangkat barang-barang berat bagian ini kemudian merembes membentuk tonjolan (protrusio) ke luar dari ruang antar ruas tulang yang akhirnya menekan struktur yang berada di dekatnya. Lebih sering kejadian rembesan atau tonjolan ini ke arah samping belakang, dimana di bagian itu sebagai tempat keluarnya akar saraf yang

berasal dari batang saraf yang lebih besar (medulla spinalis) di dalam sumsum tulang belakang. Semakin banyak lapisan kolagen yang merembes ke luar, semakin tertekan saraf yang berjalan di sekitarnya dan semakin nyeri anggota gerak di bagian bawah lokasi hernia seperti yang dirasakan pada pasien ini. KESIMPULAN Nyeri punggung bawah adalah rasa nyeri yang terjadi di daerah pinggang bagian bawah dan dapat menjalar ke kaki terutama bagian sebelah belakang dan samping luar. Pada kasus ini, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis dengan kemungkinan penyebabnya adalah karena pasien sering mengangkat barang-barang berat yang dapat menyebabkan pembentukan tonjolan (protrusio) ke luar dari ruang antar ruas tulang belakang yang akhirnya menekan saraf yang berada disekitar tulang belakang tersebut sehingga mengakibatkan nyeri pada punggung bawah. REFERENSI 1. <!--[if !supportLists]-->Borenstein, D.G., Wiesel S.W., Boden, S.D. 1995, Low Back Pain. Medical Diagnosis and Comprehensive Management. WB Saunders Co. Philadelphia, 2. <!--[if !supportLists]-->Cohen, R.I.,Chopro,P, 2001, Low Back Pain : Guide the Conservative. Medical and Procedural Therapies, Geriatrics, Vol 1 number 3. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Gilroy J, 2000. Basic Neurology, third edition, Mc Graw Hill Inc, New York 4. <!--[if !supportLists]-->Howitz, 2001. Lumbar (Intervertebral Discuss) Disorders. eMedicine Journal Vol 2-No.7 Jakarta 5. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Mardjono,M., Sidharta,P.1999, Neurologi Klinis Dasar, cetakan ke-8,PT Dian Rakyat, 6. <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Meliala L, 2004. Terapi Rasional Nyeri Tinjauan Khusus Nyeri Neuropatik, Aditya Media, Yogyakarta 7. <!--[if !supportLists]--> Harsono. 2005. Kapita Selekta Neurologi. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. PENULIS Dian Caesarianna , Bagian Ilmu Penyakit Saraf, RS SARAS HUSADA Purworejo

Penatalaksanaan skizofrenia tak terinci pada wanita usia 50 tahun


Dibuat oleh: Dian Novitasari,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 8 minute(s) ago

Abstrak Istilah schizophrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu schizein dan phren. Schizen artinya untuk memecah, sedangkan phren artinya pikiran, sehingga dapat diartikan bahwa schizophrenia adalah kekacauan otak yang diartikan abnormalitas dalam persepsi atau ekspresi dari kenyataan. Schizophrenia merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidak seimbangan dopamine yaitu salah satu sel kimia dalam otak.

penatalaksanaan pada skizofrenia dibutuhkan kombinasi antara farmakologis dan psikoterapi. Tujuan penulisan : untuk mengetahui diagnosis dan penatalaksanaan skizofrenia tak terinci. Kasus: seorang wanita datang dengan untuk kontrol post opname di RSJ Magelang. Pasien masih sering mendengar suara-suara orang yang menertawakannya dan melihat bayangan-bayangan.

Keywords: skizofrenia, penatalaksanaanya History Pasien adalah serang wanita berumur 50 tahun, tidak bekerja, berstatus janda, datang kepoli untuk kontrol pst opname di RSJ 1 minggu yang lalu. Pasien mulai mengalami keluhan berupa rasa takut, bingung, merasa dikejar-kejar, merasa diguna-guna, terancam, halusinasi auditorik dan visual ( pasien merasa ada yang menyuruh-nyuruh, membicarakan dan mengejar-ngejar serta melihat ular dipohon), menarik diri, sejak usia 18 tahun lalu dibawa berobat keberbagai orang pintar senyak 6 x dan akhirnya mondok di RSJ Magelang. Diagnosis Skizofrenia tak terinci Terapi Farmakologis: antipsikotik golongan benzodacepin untuk meningkatkan sekresi dopamine, antianxietas dan anti parkinson untuk mengatasi effek samping yang ditimbulkan oleh obat antipsikotik dan terapi non farmakologis yaitu terapi supportif dan terapi keluarga.

Diskusi Psikoterapi suportif antara lain: Psikoventilasi : Pasien dibimbing untuk menceritakan segala permasalahan, apa yang terjadi kekhawatiran pasien kepada terapis, sehingga terapis dapat memberikan problem solving yang baik dan mengetahui cara antisipasi pasien dari faktor-faktor pencetus. Persuasi : Membujuk pasien agar kooperatif dalam terapi-terapi lainnya. Sugesti : Membangkitkan kepercayaan diri pasien bahwa dia dapat sembuh (penyakit terkontrol) apabila kontrol secara rutin dan rajin minum obat. Desensitisasi : Pasien dilatih bekerja dan terbiasa berada didalam lingkungan kerja untuk meningkatkan kepercayaan diri, memperbaiki mekanisme pembelaan diri terhadap dunia kerja. Terapi sosiokultural: Edukasi dan Modifikasi Keluarga Mengarahkan kepada keluarga untuk berusaha menggali lebih dalam dan mengamati masalah-masalah yang dihadapi oleh pasien dan membantu menyelesaikannya dengan jalan diskusi. Terapi spiritual dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pasien pada kegiatan-kegiatan keagamaan seperti shalat berjamaah atau mendengarkan ceramah. Terapi ini dimaksudkan agar pasien tetap mengingat dan menjalankan perintah dari ajaran/kepercayaannya sehingga dapat membuatnya lebih merasa tenang, aman dan nyaman dalam hati dan batin.

Kesimpulan

pasien ini masih mengalami gejala positif dari skizofrenia berupa halusinasi auditorik dan visual. Penatalaksanaan untuk skizofrenia selain dengan terapi farmakologis juga diperlukan psiko terapi dan terapi sosiokultural untuk mendukung terapi farmakologisnya. Daftar pustaka 1. http://drliza.wordpress.com/2007/12/01/ppdgj-iii-pedoman-diagnostikskizofrenia. 2. http://blank-out.livejournal.com/2162.html. skizofrenia tak terinci.

Penulis: Dian Novita Sari (20050310094). RSUD Salatiga

PEMILIHAN ANTIBIOTIK PADA KASUS URETRITIS GONORE


Dibuat oleh: Diah Anggraini,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 10 minute(s) ago ABSTRAK : Gonore merupakan Penyakit Menular Seksual (PMS) yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Diantara PMS yang lain uretritis gonore paling sering dijumpai, walaupun di beberapa negara kedudukan ini telah digeser oleh uretritis non gonore. Penyakit ini dapat menginfeksi pria maupun wanita, biasanya menyerang daerah kelamin, tapi juga dapat menyerang bagian tubuh yang lain. Pada umumnya, penularan gonore melalui hubungan kelamin yaitu secara genito-genital, oro-genital, dan ano-genital. Tetapi dapat juga menular melalui alat-alat, pakaian, handuk, dan sebagainya. Pada kasus ini seorang laki-laki umur 20 tahun mengeluh nyeri dan keluar nanah saat kencing. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien didiagnosis uretritis gonore. Pilihan antibiotik pada pasien adalah levofloxacin yang merupakan antibiotik golongan quinolon. Kata Kunci : Uretritis, Gonore, Levofloxacin KASUS : Seorang laki-laki berumur 17 tahun datang ke poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Salatiga dengan keluhan utama saat kencing terasa nyeri dan panas. Pasien merasakan nyeri dan panas pada saat kencing kira-kira sudah 3 hari. Pasien juga mengeluh keluar nanah pada ujung kemaluannya. Pasien sebelumnya pernah berhubungan seksual dengan teman wanita yang baru dikenalnya 1 minggu yang lalu. Sejak mulai muncul gejala hingga saat ini pasien belum pernah berobat. Pasien mengatakan baru pertama kali berhubungan seksual dengan pacar pasien. Pasien tidak mengetahui apakah pacar pasien sering bergonta-ganti pasangan, dan pasien belum pernah mengalami gejala yang sama sebelumnya. Pada pada pemeriksaan secara inspeksi terlihat orifisium uretra eksternum (OUE) tampak sedikit edema dan eritem (ektropion) tampak sedikit discharge purulen di OUE ketika penis ditekan dan terdapat bercak di celana dalam. DIAGNOSIS : URETRITIS GONORE

PENATALAKSANAAN : Pasien mendapat medikasi berupa antibiotik golongan Levofloxacin 500mg (3x1). Pasien juga diberikan edukasi yaitu setelah 3 hari harus kontrol lagi, apabila gejala masih muncul ketika kontrol dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk kepastian diagnosis, jangan melakukan hubungan seksual secara bebas dan meningkatkan ketahanan moral melalui pendidikan agama. DISKUSI : Menurut hasil Lokakarya Nasional Pemberantasan Penyakit Kelamin yang kedua di Bandung, Juli 1978, yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, pengobatan Gonore dilakukan dengn Penisilin G prokain dalam aqua 2,4 juta dosis tunggal, satu jam sebelumnya diberi probenesida 1 gram per oral. Bagi penderita yang alergi penisilin, diberikan tetrasilin HCl, dengan 8 gr selama empat hari atau minosiklin dosis tunggal 300mg. Pada saat ini, sebaiknya pengobatan gonore, disesuaikan dengan keadaan klinis penderita. Dalam pengobatan Gonore, kita harus membedakan Gonore tanpa Komplikasi dan Gonore dengan Komplikasi Untuk Gonore tanpa komplikasi ada beberapa alternatif yang dapat dipilih untuk diberikan : a. Penisilin G prokain dalam aqua 2,4 juta unit IM b. Tiamfenikol 4 dd 500 mg selama lima hari per oral c. Ampisilin 3,5 g dosis tunggal per oral atau ampisilin 4 dd 500 mg selama lima hari per oral d. Spektinomisin 2 gr IM dosis tunggal e. Kanamisin 2 gr IM dosis tunggal Untuk Gonore dengan komplikasi, pengobatannya harus lebih intensif, alternatif : a. Penisilin G prokain dalam aqua 4,8 juta unit IM sampai pada perbaikan lalu dilanjutkan dengan ampisilin 4 dd 500 mg selama sepuluh hari per oral. b. Tiamfenikol 4 dd 500 mg selama empat belas hari per oral c. Tetrasiklin HCl 4 dd 500 mg selama empat belas hari per oral Penatalaksanaan Uretritis Gonore ini juga bergantung pada insiden galur NGPP. Akan tetapi bila kita melihat laporan Centers for Disease Control (C.D.C) pada tahun 1989, pola penatalaksanaan uretritis Gonore mengalami beberapa perubahan yang disebabkan oleh Tingginya insidensi infeksi chlamydia dan gonore bersamaan dengan gonore (25 50%), tingginya insidensi infeksi Chlamydia dan gonore disertai komplikasi, kesukaran teknik pemeriksaan Chlamydia, makin banyaknya laporan galur gonore yang resisten terhadap tetrasiklin dan makin tingginya laporan galur NGPP Mengingat hal tersebut di atas, maka C.D.C (1989) menganjurkan agar pada pengobatan uretritis gonore tidak digunakan lagi penisilin atau derivatnya, dan

disamping itu diberikan juga obat untuk uretritis non gonore (Chlamydia) secara bersamaan. (Untuk Daerah dengan Insidensi NGPP tinggi) Uretritis GO : Seftriakson 250 mg IM, atau Spektinomisin 2 gr IM, atau Siprofloksasin 500 mg, oral + Doksisilin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau Tetrasiklin 4 x 500 mg, selama 7 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari

Alternatif Lain untuk GO : Sefuroksim 1 gr oral + 1 gr. Probenesid Sefotaksim 1 gr IM + Doksisiklin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau Tetrasiklim 4 x 500 mg, selama 7 hari, atau Eritromisisn 4 x 500 mg, selama 7 hari

(Untuk Daerah dengan insidensi galur NGPP rendah) Penisilin procain in aqua 4,8 juta unit atau Ampisilin 3,5 gr, atau Amoksisilin 3 gr +

Doksisilin 2 x 100 mg, selama 7 hari, atau Tetrasiklin 4 x 500 mg, selama 7 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg selama 7 hari

Rekomendasi Centers for Disease Control and Prevention (CDC), 2007 dalam Pengobatan Gonore Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2007 merekomendasikan pengobatan infeksi gonokokus tanpa komplikasi sebagai berikut : <!--[if !supportLists]--> <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Ceftriaxone 125 mg IM, single Dose <!--[endif]-->Cefixime 400 mg oral, single Dose

Ditambah dengan terapi untuk infeksi Chlamydia jika kemungkinan Infeksi Chlamydia belum dapat disingkirkan : <!--[if !supportLists]--> <!--[if !supportLists]--> hari <!--[endif]-->Azithromycin 1 gr per oral, single Dose <!--[endif]-->Doksisiklin 100 mg peroral, 2 dd selama 7

Obat Alternatif : <!--[if !supportLists]--> 7 hari <!--[if !supportLists]--> dd 1 selama 7 hari <!--[if !supportLists]--> hari <!--[if !supportLists]--> selama 7 hari <!--[endif]-->Eritromisin 500 mg per oral, 4 dd 1 selama

<!--[endif]-->Eritromisin etisuksinat 800 mg per oral, 4

<!--[endif]-->Ofloxacin 300 mg per oral, 2 dd 1 selama 7

<!--[endif]-->Levofloxacin 500 mg per oral, 1 dd 1

Pengobatan Alternatif : <!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Spektinomisin 2 gr. I.M, single Dose

<!--[if !supportLists]--> <!--[endif]-->Sefalosporin single dose ceftiozime 500 mg IM, atau Cefoxitin 2 gr IM, plus probenesid 1 gr oral cefotaxime 500 mg IM. Pada pasien ini tidak dilakukan Pemeriksaan Penunjang sehingga diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengobatan yang didapatkan oleh pasien adalah Levofloxacin (antibiotik golongan quinolon) yang juga merupakan pilihan

antibiotic untuk pasien gonore tanpa komplikasi, namun pemberiannya seharusnya dosis tunggal, namun pada pasien ini diberikan selama 3 hari lalu pasien disuruh kontrol kembali 3 hari berikutnya. KESIMPULAN : Gonore (GO) atau kencing nanah atau disebut juga UGAA (Uretritis Gonore Anterior Akuta), merupakan penyakit menular seksual yang bersifat akut atau kronik yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhea. Penatalaksanaan pada kasus diatas adalah pemberian antibiotik levofloxacin yang juga merupakan pilihan antibiotik untuk pasien gonore tanpa komplikasi DAFTAR PUSTAKA : Bignell, Chris. 2005. British Association for sexual Health and HIV : National Guideline on The Diagnosis and Treatment of Gonorrhea in Adults 2005. http://www.bashh.org/guidelines/2005/gc_final_0805.pdf Daili, S. F., Judonarso, J., Zubier, F., Bramono, K., Sugito, T.L., Djajakusumah, T. 1990. Standardisasi Diagnostik dan Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Menular Seksual (PMS). FK UI. Jakarta : 137-146 Mulyono, 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin 1st ed., Meidian Mulya Jaya . Jakarta : 144-147. PENULIS

Hemiparesis Sinistra et Causa Stroke Non Haemorrhagik pada Pasien dengan Riwayat Hipertensi.
Dibuat oleh: Dian Novitasari,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 13 minute(s) ago Abstrak :

Stroke adalah sindrom klinis yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik. Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke perdarahan (stroke hemorrhagik) dan stroke emboli (stroke non hemorrhagik). Masing-masin jenis mempunyai klasifikasi lebih lanjut. Faktor resiko stroke terbagi dalam dua kategori mayor dan minor. Riwayat hipertensi termasuk dalam faktor resiko mayor. Ini berarti orang dengan riwayat hipertensi yang lama dan tidak terkontrol akan berpotensi besar mengalami stroke dikemudian hari. Gejala yang didapatkan berupa kelumpuhan anggota gerak tergantung lokasi lesi pada otak. Dapat disertai afasia, apraksia, penurunan status mental, gangguan orientasi, hingga kelainan dalam miksi dan defekasi serta ereksi pada pria. Penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dimana mungkin didapatkan kelumpuhan anggota gerak dan reflek-reflek patologis muncul, serta dilakukan CT-Scan sebagai gold standard pada kasus stroke. Penatalaksanaan terbagi menjadi dua, terapi umum untuk memperbaiki keadaan umum penderita tanpa menggunanakan obat-obatan

Diah Anggraini, bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin

RSUD SALATIGA.

(dengan perawatan penunjang) dan terapi spesifik dengan menggunakakn medikamentosa. Selain itu dapat dilakukan rehabilitasi medik untuk mengembalikan fungsi anggota gerak dan kelainan lain yang muncul yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari seoptimal mungkin.

Kata Kunci

Stroke Non Haemorrhagik, Hemiparesis, Hipertensi. Isi Kasus :

Laki-laki, 55 tahun, datang ke Poliklinik Saraf RSUD Salatiga dengan keluhan utama berupa kelemahan anggota gerak sebelah kiri. Dari anamnesa didapatkan pasien merasakan nyeri kepala ringan sebelum serangan, kemudian tiba-tiba merasa lemah anggota gerak kri dan bicara menjadi pelo. Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien Somnolen, dengan GCS E3V4M5, Tekanan darah150/90mmHg, Denyut nadi 88 x/menit, reguler, Pernapasan 20x/menit, dsn Suhu 37oC. Pemeriksan kekuatan otot yang melemah pada ekstrimitas superior dan inferior sinistra. Reflek patologis tidak ditemukan dan tidak terdapat hiperreflek fisiologis. Gangguan nervus terjadi pada nervus VII, nervus XI dan nervus XII menunjukkan kelemahan terjadi pada lower motor neuron (LMN). Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan kesan Stroke Non Haemorrhagik pada capsula interna genu dan posterior. Penatalaksanaan antara lain pasien di edukasi tentang penyakitnya dan segala resikonya. Pasien diberikan terapi Infus RL+NB 20 tpm, Manitol 6 x 50 cc Piracetam 2 x 3 gr, Soholin 2 x 50 mg, Amlodipin 3x10 mg, Diltiazem 3x1 tab dan terapi latihan wicara dan anggota gerak. Tujuan terapi dititikberatkan untuk mengembalikan fungsi otot seoptimal mungkin dan dapat kembali melakukan aktivitas. Diskusi :

Stroke non hemoragik atau stroke iskemik disebabkan oleh adanya penyumbatan aliran darah otak oleh thrombus atau embolus. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada jaringan otak. Emboli disebabkan oleh embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis. Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak dapat ddisebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli. Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan anamnesa yang baik akan dengan mudah didapatkan informasi tentang tanda, gejala serta saat serangan yang menjadi petunjuk jenis strokenya. Pemeriksaan penunjang seperti CT-scan sudah cukup baik dan akurat untuk melihat letak lesi pada otak dan menetukan jenis stroke yang terjadi. Penatalaksanaan dibagi atas terapi umum dan terapi khusus. Terapi umum berupa 5B (Breath, Blood, Brain, Bladder dan Bowel). Sedangkan terapi khusus berupa Memperbaiki perfusi jaringan (Pentoxyfilin, Reotal), anti koagulansia (Heparin, Warfarin), melindungi jaringan otak iskemik (Nimodipin), anti udema otak (Deksametason, Manitol) dan anti agregasi platelet (golongan asam asetil salisilat

(aspirin)). Selain itu dilakukan rehabilitasi medik sebagai upaya untuk mengembalikan kemampuan beraktivitas sehari-hari seoptimal mungkin. Resiko kematian pada 7 hari pertama atau 30 hari pertama setelah stroke fase akut yang pertama sebesar 10%-20%. Resiko kematian pada tahun pertama pada pasien yang mengalami stroke pertama lebih itnggi dari individual yang belum pernah terkena stroke. Pasien dengan stroke hemoragik mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibanding pasien dengan iskemik stroke. Pasien dengan major iskemik stroke (total oklusi arteri serebral anterior) mempunyai resiko kematian yang lebih besar Kesimpulan :

Plasenta previa adalah kondisi dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Keadaan ini tidak memberikan gejala awal, namun pasien tibatiba mengeluhkan keluar darah segar dari vagina tanpa disertai rasa nyeri atau riwayat trauma sebelumnya. penatalaksanaan pada plasenta previa didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti umur kehamilan, banyaknya perdarahan serta kondisi ibu dan janin. Jika kehamilan masih preterm dan kondisi ibu dan janin masih baik, maka kehamilan sebisa mungkin dipertahankan dengan bantuan obat-obatan. Jika umur kehamilan sudah aterm, maka dilakukan terminasi dengan beberapa pilihan cara persalinan berdasarkan jenis plasenta previanya. Referensi :

1. Asviretty, Nuhoni, S.A., Tulaar, A., Idris, F.H., Handoyo, A.P., Suginarti, Ramli, H., Enizar, 2002, Standar Operasional Prosedur Rehabilitasi Medik di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan RI, Jakarta. 2. Hamid, T, 1992, Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (Phisiatry), unit rehabilitasi medik RSUD DR. SOETOMO / FK UNAIR. Surabaya. 3. Lamsudin, R., 1997, Algoritma Stroke Gadjah Mada Penerapan Klinis Untuk Membedakan Stroke Perdarahan Intraserebral dengan Stroke Iskemik Akut atau Stroke Infark, Berkala Ilmu Kedokteran, vol.29, no.1: 11 16. 4. Mansjoer, 2000 , Stroke dalam Kapita Selekta Kedokteran, Ed 3, Media Aeuculapius, Jakarta, hal : 17-26. 5. Sidharta, 2004, Stroke dalam Neurologi Klinis dalam Praktek umum, ED 5, Dian Rakyat, Jakarta, hal : 260-275.

Penulis: Dian Novita Sari (20050310094). RSUD Salatiga.

HEMATOPNUEMOTORAX PADA LAKI-LAKI UMUR 16 TAHUN POST TRAUMA THORAX


Dibuat oleh: Diah Anggraini,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 20 minute(s) ago ABSTRAK :

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Pneumotorax merupakan salah satu kelainan yang dapat timbul akibat trauma thorax. Pneumothorak ialah rongga pleura yang berisi udara atau gas yang menyebabkan sebagian atau seluruh paru menjadi kolap. Seorang laki-laki umur 16 tahun mengalami kecelakan lalu-lintas dan dibawa ke IGD dengan keluhan pusing dan sesak napas. Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis CKR (Cedera Kepala Ringan) dengan Simple Pneumotorak. Dilakukan pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) lalu keluar udara dan darah 200mL sehingga diagnosis akhir adalah CKR dengan hematopneumotorak. Kata Kunci : Trauma Thorax, Hematopneumothorax, Water Sealed Drainage KASUS : Seorang laki-laki umur 16 tahun dibawa ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan pusing dan sesak napas setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien sedang mengendarai sepeda motor dengan kecepatan sedang lalu ditabrak oleh motor lain dari belakang, pasien jatuh terguling guling di aspal, pasien sempat pingsan lalu dibawa ke Rumah Sakit. Pada pemeriksaan keadaan umum pasien sedang nampak somnolen dan nampak sesak, TD 100/65 mmHg, nadi 95x/menit, RR 26x/menit, suhu afebris. GCS E3V5M6, pupil isokor 3mm/3mm, Reflek Cahaya (+), status regio cephal : tampak VE dan hematom pada parietal kanan 3cm, nyeri tekan (+), status regio torak : pada inspeksi nampak jejas pada torak dekstra, vocal fremitus kanan > kiri, nyeri tekan (+), hipersonor pada region torak kanan, dan suara vesikuler kiri > kanan. Hasil pemeriksaan radiologi menunjukkan fraktur inkomplit pada costa 5 dan 6 dekstra, ruang pleura dekstra translusen dengan tak tampaknya gambaran pembuluh darah paru, sinus costophrenicus kanan dan kiri lancip, parenkim paru dekstra tampak mengecil/kolaps. DIAGNOSIS : Diagnosis tegak post WSD ( CKR dengan simple Hematopneumothorax) PENANGANAN : Penanganannya meliputi initial assestment yaitu primary survey (dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation). Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage), dan Pemberian Medikasi berupa Kalnex 500 mg untuk membantu mencegah perdarahan lebih lanjut, Piracetam 2 x 3 gram untuk melindungi jaringan otak dan melancarkan peredaran darah mikrosirkuler otak, Ketorolac 2 x 1 amp sebagai anti nyeri, dan cefotaxim 2x1gr untuk mencegah infeksi sekunder. DISKUSI : Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

Pneumotorax merupakan salah satu kelainan yang dapat timbul akibat trauma thorax. Diakibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Penanganannya meliputi initial assestment yaitu primary survey (dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation), resusitasi fungsi vital, secondary survey yang terinci dan perawatan definitif. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma trauma yang bersifat khusus. KESIMPULAN : Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Hematopneumotorax merupakan salah satu kelainan yang dapat timbul akibat trauma thorax. Penanganannya yang utama yaitu pemasangan WSD (Water Sealed Drainage) dengan tetap melakukan initial assestment yaitu primary survey (dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation), resusitasi fungsi vital, secondary survey yang terinci dan perawatan definitif.

DAFTAR PUSTAKA :

Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi, EGC, Jakarta, 1995 Syamsu Hidayat,R Dan Wim De Jong, Buku Ajar Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, Jakarta,tahun 1995. PENULIS Diah Anggraini - Bagian Ilmu Bedah RSUD SALATIGA

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIS (OMSK) BERULANG PADA LAKI-LAKI USIA 51 TAHUN
Dibuat oleh: Dian Novitasari,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 20 minute(s) ago ABSTRAK Otitis media ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga bagian tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif. Masing-masing mempunyai bentuk akut dan kronis. Otitis media supuratif kronis (OMSK) adalah infeksi kronis pada telinga tengah dengan perforasi membran tympani dan sekret keluar dari telinga terus menerus atau hilang timbul,. sekret dapat encer atau kental, bening atau berupa nanah. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan otitis media akut menjadi otitis media kronis yaitu terapi yang terlambat diberikan, terapi tidak adekuat, virulensi kuman yang tinggi, daya tahan tubuh yang rendah (gizi buruk) atau hygiene buruk KASUS Seorang laki-laki berusia 51 tahun datang ke Poliklinik THT RS.PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan keluhan nyeri pada telinga kanan. Keluhan dirasakan sejak sekitar 7 bulan yang lalu. Telinga dirasakan berdenging dan pendengaran berkurang. Keluar cairan berwarna putih jernih, encer, tidak terlalu banyak, tidak berbau dan tidak bercampur darah, pada telinga sebelah kanan. Pasien juga mengeluh sakit kepala sebelah kanan dan dibelakang telinga. Pasien belum pernah berobat sebelumnya. Keluhan lain seperti demam disertai batuk-batuk sebelumnya dan kemudian berkurang setelah minum obat. Riwayat penyakit dahulu : riwayat serupa kumat-kumatan sejak 7 bulan yang lalu. Riwayat penyakit keluarga : disangkal. Pada pemeriksaan dengan otoskopi pada auricula dextra didapatkan perforasi membran timpani pada bagian sentral dan otorrhea. Auricula sinistra dalam batas normal. DIAGNOSIS

IKABI, ATLS, American College of Surgeon, edisi ke

6, tahun 1997.

Otitis Media Supuratif Kronis TERAPI Tetes telinga non neomyicin (tarivid 2 kali sehari setelah mandi), antibiotik oral, dan mukolitik.

DISKUSI Pasien ini didiagnosis otitis media supuratif kronis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan. Adanya keluhan keluarnya cairan dari telinga kanan yang kumat-kumatan, dimana sekret awalnya berwarna putih, encer dan tidak berbau, kemudian menjadi agak kental, kekuningan, dan berbau. Nyeri kepala dan nyeri pada telinga kanan serta penurunan pendengaran Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan keradangan atau infeksi kronis yang mengenai mukosa dan struktur tulang di dalam kavum timpani, ditandai dengan perforasi membran timpani, sekret yang keluar terus-menerus atau hilang timbul. Penurunan pendengaran pada pasien OMSK tergantung dari derajat kerusakan tulangtulang pendengaran yang terjadi. Biasanya dijumpai tuli konduktif, namun dapat pula terjadi tuli persepsi yaitu bila telah terjadi invasi ke labirin, atau tuli campuran. Gangguan pendengaran mungkin ringan sekalipun proses patologi sangat hebat, karena daerah yang sakit ataupun kolesteatom, dapat menghambat bunyi sampai dengan efektif ke fenestra ovalis. Beratnya ketulian tergantung dari besar dan letak perforasi membran timpani serta keutuhan dan mobilitas sistim pengantaran suara ke telinga tengah. Pada pasien ini dari hasil pemeriksaan didapatkan perforasi sentral pada membran timpani. Dalam proses penyembuhannya dapat terjadi penumbuhan epitel skuamosa ke dalam telinga tengah. Kadang-kadang perluasan lapisan tengah ini ke daerah atik mengakibatkan pembentukan kantong dan kolesteatom. Pembentukan kolesteatom ini akan menekan tulang-tulang di sekitarnya sehingga mengakibatkan terjadinya destruksi tulang, yang ditandai dengan sekret yang kental dan berbau. Prinsip pengobatan pasien OMSK benigna aktif adalah dengan pembersihan liang telinga dan pemberian antibiotik topikal non neomisin serta mungkin ditambahkan antibiotik sistemik. Pasien juga perlu diedukasi untuk jangan mengorek telinga, air jangan masuk ke telinga sewaktu mandi, dilarang berenang dan segera berobat bila menderita infeksi saluran nafas atas. Bila fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan operasi rekonstruksi (miringoplasti, timpanoplasti) untuk mencegah infeksi berulang serta gangguan pendengaran. KESIMPULAN Pasien ini didiagnosa OMSK berdasarkan adanya otorrhea, otalgia, vertigo, penurunan pendengaran dan keluhan sudah dialami sejak 7 bulan yang lalu. Pengobatan yang diberikan antara lain aural toilet, antibiotik topikal non neomisin, antibiotik sistemik (oral) serta edukasi untuk menghindari faktor yang dapat memperberat gejalanya. DAFTAR PUSTAKA

1.

Djaafar ZA. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 49-6

2. Helmi. Komplikasi otitis media supuratif kronis dan mastoiditis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi kelima. Jakarta: FKUI, 2001. h. 63-73 3. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit telinga tengah dan mastoid. Dalam: Effendi H, Santoso K, Ed. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC, 1997: 88-118

Penulis: Dian Novita Sari (20050310094). RSUD Salatiga.

Perdarahan Antepartum Et Causa Plasenta Previa Pada Multigravida Dengan Kehamilan Aterm.
Dibuat oleh: Dian Novitasari,Modifikasi terakhir pada 1 hour(s) 44 minute(s) ago Abstrak :

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu. Biasanya lebih banyak dan lebih berbahaya daripada perdarahan kehamilan sebelum 28 minggu. Perdarahan antepartum dapat berasal dari kelainan plasenta, contohnya plasenta previa, solusio plasenta (Abruptio Placenta) dan perdarahan antepartum yang belum jelas sumbernya, mungkin disebabkan : ruptura sinus marginalis, atau vasa previa. Jika asalnya bukan dari kelainan plasenta tapi merupakan kelainan serviks dan vagina, maka akan didapatkan kelainan berupa erosio portionis uteri, carcinoma portionis uteri, polypus cervicis uteri, varices vulvae, dan trauma. Plasenta previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Dibagi menjadi empat, yaitu plasenta previa totalis, plasenta previa lateralis, plasenta previa marginalis dan plasenta letak rendah. Penegakkan diagnosis didapatkan dari inspeksi, palpasi abdomen dan dipastikan dengan pemeriksaan USG. Penatalaksanaannya jika masih preterm dan keadaan janin baik, maka kehamilan dipertahankan dengan pemberian obat-obatan. Jika sudah aterm, maka dilakukan operasi sectio caesaria.

Kata Kunci

Perdarahan antepartum, Plasenta previa. Isi Kasus :

Wanita, 26 tahun, G2P1A0 datang ke poliklinik kandungan RSUD Salatiga mengatakan hamil 39 minggu mengeluhkan perdarahan keluar dari vagina. Darah warna merah segar, tidak bergumpal dan tidak dirasakan nyeri pada abdomen. Ibu belum mengeluarkan lendir darah ataupun rembes air ketuban. Gerak janin aktif. Pada pemeriksaan fisik palpasi abdomen (Leopold) didapatkan presentasi kepala, puka, kepala belum masuk panggul (konvergen), TFU 30 cm. HIS masih jarang. DJJ dalam batas normal dan teratur. Tidak dilakukan pemeriksaan dalam (vagina toucher). Pemeriksaan laboratorium semua dalam batas normal dan dari pemeriksaan USG didapatkan kesan plasenta previa. Sehingga dokter memutuskan untuk segera dilakukan operasi sectio caesaria. Diskusi :

Perdarahan yang terjadi pada ibu tersebut termasuk pada klasifikasi perdarahan antepartum (umur kehamilan 39 minggu). Etiologi perdarahan dapat ditentukan dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang tepat. Keluarnya darah merah segar dari vagina tanpa didahului rasa nyeri pada abdomen dapat merupakan penunjuk awal yang berguna. Penegakkan diagnosis didapatkan dari inspeksi adanya darah yang menetes dari vagina, palpasi abdomen dimana kepala janin belum turun dan dipastikan dengan pemeriksaan USG. Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan yang paling akurat untuk menetukan penyebab dari perdarahannya. Terapi pada kasus plasenta previa dibagi menjadi dua, yaitu terapi pasif dan aktif. Pada terapi pasif diberikan obat-obatan seperti tokolitik bila ada kontraksi dan dilakukan uji pematangan paru janin dengan test kocok dari hasil amniosentesis. kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian berhenti, belum ada tanda-tanda inpartu, keadaan umum ibu cukup baik (kadar hemoglobin dalam batas normal) dan janin masih hidup. Cara persalinan dipilih atas dasar pertimbangan kondisi ibu dan janin, jenis plasenta previa dan jumlah perdarahan. Jika pada kasus tersebut kelainan plasenta merupakan plasenta letak rendah dan dengan perdarahan yang tidak begitu banyak maka persalinan dapat dilakukan pervaginam. Namun jika didapatkan jenis plasenta previa totalis atau dengan keadaan ibu dan janin yang buruk, hal tersebut merupakan indikasi dilakukannya persalinan perabdominal dengan SC. Penatalaksanaan perdarahan antepartum yang baik dapat mengurangi angka mortalitas dan morbiditas ibu dan janin. Kesimpulan :

Plasenta previa adalah kondisi dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir. Keadaan ini tidak memberikan gejala awal, namun pasien tibatiba mengeluhkan keluar darah segar dari vagina tanpa disertai rasa nyeri atau riwayat trauma sebelumnya. penatalaksanaan pada plasenta previa didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti umur kehamilan, banyaknya perdarahan serta kondisi ibu dan janin. Jika kehamilan masih preterm dan kondisi ibu dan janin masih baik, maka kehamilan sebisa mungkin dipertahankan dengan bantuan obat-obatan. Jika umur kehamilan sudah aterm, maka dilakukan terminasi dengan beberapa pilihan cara persalinan berdasarkan jenis plasenta previanya. Referensi :

1. Mauldin. 1994. Maternal Mortality in Developing Countries a Comparison of rates from Two International Compendia, Population and Development Reviews. Jakarta ; Medika. 20(2): 413-421

2. Mochtar R. 1998. Perdarahan Antepartum, Sinopsis Obstetri jilid 1 ed. 2. hal. 269287. Jakarta ; EGC. 3. Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Jakarta: JNPKKR-YBPSP. 4. Wiknjosastro H. 1999. Perdarahan Antepartum, Buku Ilmu Kebidanan. Jakarta ; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, FK-UI. 5. Sarwono Prawirohardjo. 2002. Perdarahan Antepartum, Ultrasonografi dalam obstetri, Ilmu kebidanan. Jakarta ; Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, FK-UI. Penulis: Dian Novita Sari (20050310094). RSUD Salatiga.

You might also like