You are on page 1of 8

I.

ANALISIS PUISI BERDASARKAN STRATA NORMA Puisi merupakan karya sastra yang memiliki struktur yang sangat kompleks yang

terdiri dari beberapa strata (lapis) norma. Masing-masing norma menimbulkan lapis norma di bawahnya, yang dijelaskan oleh Rene Wellek sebagai berikut : Lapis norma pertama adalah lapis bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar adalah serangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Lapis pertama yang berupa bunyi tersebut mendasari timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (units of meaning), karena bunyi-bunyi yang ada pada puisi bukanlah bunyi tanpa arti. Bunyi-bunyi itu disusun sedemikian rupa menjadi satuan kata, frase, kalimat, dan bait yang menimbulkan makna yang dapat dipahami oleh pembaca. Rangkaian satuan-satuan arti tersebut menimbulkan lapis ketiga berupa unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, misalnya latar, pelaku, lukisan-lukisan, objek-objek yang dikemukakan, makna implisit, sifat-sifat metafisis, dunia pengarang dan sebagainya. Untuk menjelaskan penerapan analisis strata norma tersebut berikut diberikan sebuah contoh.
CINTAKU JAUH DI PULAU (Chairil Anwar) Cintaku jauh di pulau, gadis manis, sekarang iseng sendiri Perahu melancar, bulan memancar, di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar Angin membantu, laut terang, tapi terasa aku tidak kan sampai padanya Di air yang terang, di angin mendayu, di perasaan penghabisan segala melaju Ajal bertahta, sambil berkata : Tujukan perahu ke pangkuanku saja. Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang bersama kan merapuh! Mengapa ajal memanggil dulu sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?! Manisku jauh di pulau kalau ku mati, dia mati iseng sendiri

1. Analisis lapis pertama (bunyi/sound stratum) Pembahasan lapis bunyi hanyalah ditujukan pada bunyi-bunyi yang bersifat istimewa atau khusus, yaitu bunyi-bunyi yang dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Misalnya pada baris pertama puisi di atas ada asonansi a dan u; di baris kedua ada aliterasi s (gadis manis sekarang iseng sendiri). Demikian juga pada bait kedua ada asonansi a (melancar memancar si pacar terang terasa); dan ada pula aliterasi l dan r (melancar bulan memancar laut terang tapi terasa). Kecuali asonansi dan aliterasi, terdapat pula rima teratur yang digarap dengan sangat mengesankan oleh Chairil Anwar. Bait 1 dan bait terakhir mempunyai rima yang sama (a b), yang nampaknya mengapit bait-bait di antaranya yang berpola rima a a bb. Rima konsonan memancar si pacar dipertentangkan dengan rima terasa padanya yang merupakan bunyi vokal. Rima kutempuh merapuh (konsonan) dipertentangkan dengan rima vokal dulu cintaku. Rima yang berupa asonansi dan aliterasi pada puisi di atas berfungsi sebagai lambang rasa (klanksymboliek) sehingga menambah keindahan puisi dan memberi nilai rasa tertentu.

Asonansi

Pengulangan bunyi vokal pada sebuah baris yang sama.

1. Pengulangan bunyi konsonan dari kata-kata yang berurutan. Aliterasi 2. Sajak/rima awal.

2. Analisis lapis kedua (arti/units of meaning) Dalam kegiatan menganalisis arti, kita berusaha memberi makna pada bunyi, suku kata, kata, kelompok kata, kalimat, bait, dan pada akhirnya makna seluruh puisi. Sebagai contoh, berikut ini adalah analisis makna per kalimat, per bait dan akhirnya makna seluruh puisi Cintaku Jauh di Pulau. Bait I Cintaku jauh di pulau berarti kekasih tokoh aku berada di pulau yang jauh. Gadis manis sekarang iseng sendiri artinya sang kekasih tersebut adalah seorang gadis yang manis yang menghabiskan waktu sendirian (iseng) tanpa kehadiran tohoh aku.

Pada bait II, si tokoh aku menempuh perjalanan jauh dengan perahu karena ingin menjumpai kekasihnya. Ketika itu cuaca sangat bagus, namun hati si aku merasa gundah karena rasanya ia tak akan sampai pada kekasihnya. Bait III menceritakan perasaan si aku yang semakin sedih karena walaupun air terang, angin mendayu, tetapi pada perasaannya ajal telah memanggilnya (Ajal bertahta sambil berkata : Tujukan perahu ke pangkuanku saja). Bait IV menunjukkan si aku putus asa. Demi menjumpai kekasihnya ia telah bertahuntahun berlayar, bahkan perahu yang membawanya akan rusak, namun ternyata kematian menghadang dan mengakhiri hidupnya sebelum ia bertemu dengan kekasihnya. Bait V merupakan kekhawatiran si tokoh aku tentang kekasihnya, bahwa setelah ia meninggal, kekasihnya itupun akan mati juga dalam penantian yang sia-sia. Setelah kita menganalisis makna tiap bait, kita pun harus sampai pada makna lambang yang diemban oleh puisi tersebut. Kekasih tokoh aku adalah kiasan dari cita-cita si aku yang sukar dicapai. Untuk meraihnya si aku harus mengarungi lautan yang melambangkan perjuangan. Sayang, usahanya tidak berhasil karena kematian telah menjemputnya sebelum ia meraih cita-citanya.

3. Analisis lapis ketiga (objek-objek, latar, pelaku, dunia pengarang dan lain-lain) Lapis arti menimbulkan lapis ketiga berupa objek-objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dunia pengarang, makna implisit, dan metafisis. Pada puisi Cintaku Jauh di Pulau, objek yang dikemukakan adalah cintaku, gadis manis, laut, pulau, perahu, angin, bulan, air laut, dan ajal. Pelaku atau tokohnya adalah si aku , sedang latarnya di laut pada malam hari yang cerah dan berangin. Jika objek-objek, latar, dan pelaku yang dikemukakan dalam puisi digabungkan, maka akan menghasilkan dunia pengarang atau isi puisi. Ini merupakan dunia (cerita) yang diciptakan penyair di dalam puisinya. Contoh, berdasarkan puisi Cintaku Jauh di Pulau kita dapat menuliskan dunia pengarang sebagai berikut : Kekasih tokoh aku (gadis manis) berada di suatu tempat yang jauh. Karena ingin menemuinya, pada suatu malam ketika bulan bersinar dan cuaca bagus, si aku berangkat dengan perahu. Akan tetapi, walaupun keadaan sangat baik untuk berlayar (laut terang, angin mendayu), namun si aku merasa ia tak akan sampai pada kekasihnya itu. Pelayaran selama

bertahun-tahun, bahkan sampai perahunya akan rusak, nampaknya tidak akan membuahkan hasil karena ajal lebih dulu datang. Ia membayangkan, setelah ia mati kekasihnya juga akan mati dalam kesendirian. Ada pula makna implisit yang walaupun tidak dinyatakan dalam puisi namun dapat dipahami oleh pembaca. Misalnya kata gadis manis memberi gambaran bahwa pacar si aku ini sangat menarik. Dalam puisi tersebut terasa perasaan-perasaan si aku : senang, gelisah, kecewa, dan putus asa.

Kecuali itu ada unsur metafisis yang menyebabkan pembaca berkontemplasi. Dalam puisi di atas, unsur metafisis tersebut berupa ketragisan hidup manusia, yaitu meskipun segala usaha telah dilakukan disertai sarana yang cukup, bahkan segalanya berjalan lancar, namun manusia seringkali tak dapat mencapai apa yang diidam-idamkannya karena maut telah menghadang lebih dahulu. Dengan demikian, cita-cita yang hebat dan menggairahkan akan siasia belaka. ooo

III. ANALISIS BERDASARKAN STRATA NORMA, SEMIOTIK, DAN FUNGSI ESTETIK Menganalisis puisi tidak cukup berdasarkan strata norma saja. Agar analisis lengkap dan mendalam, perlu menggabungkan analisis strata norma dengan analisis semiotik dan fungsi estetik setiap unsur yang membangun puisi tersebut. Analisis semiotik memandang karya sastra, dalam hal ini puisi, sebagai sistem tanda yang bermakna. Tiap-tiap fenomena (unsur puisi) diyakini mempunyai makna atau arti, sehingga menganalisis puisi sampai menemukan makna yang dimaksud merupakan suatu keharusan. Kecuali itu fungsi estetik setiap unsur dalam puisi juga perlu dibahas. Menganalisis puisi berdasarkan strata norma yang dihubungkan dengan semiotik dan fungsi estetik, pada umumnya menyangkut masalah bunyi dan kata.

1. Bunyi Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsur puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Kecuali itu bunyi juga bertugas memperdalam makna, menimbulkan suasana yang khusus, menimbulkan perasaan tertentu, dan menimbulkan bayangan angan secara jelas. Demikian pentingnya peranan bunyi dalam puisi, sehingga dalam perjalanannya ada puisi-puisi yang sangat menonjolkan unsur bunyi. Misalnya saja Sajak Hugo Bal yang diterjemahkan dengan judul Ratapan Mati, secara keseluruhan hanya berupa rangkaian bunyi kata-kata tanpa arti. Bahkan di Indonesia pada masa lampau dikenal bentuk puisi mantera dan serapah yang memanfaatkan kekuatan bunyi. Di masa modern ini, dipelopori Sutardji Calzoum Bachri, muncul puisi-puisi yang menomorsatukan peranan bunyi. Dalam hal ini bunyi-bunyi yang dipakai disusun sedemikian rupa, sehingga menimbulkan daya evokasi (daya kuat untuk membentuk pengertian). Contoh :
SEPISAUPI (Sutardji Calzoum Bachri) sepisau luka sepisau duri sepikul dosa sepukau sepi sepisau duka serisau diri sepisau sepi sepisau nyanyi sepisaupa sepisaupi sepisapanya sepikau sepi

sepisaupa sepisaupi sepikul diri keranjang duri sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sepisaupa sepisaupi sampai pisauNya kedalam nyanyi

Walaupun puisi di atas seolah-olah merupakan permainan bunyi belaka, namun jika kita teliti, bunyi-bunyi yang dipakai oleh Sutardji ternyata diolah dengan sangat baik, sehingga memiliki daya evokasi. Berikut ini dikemukakan fungsi bunyi dalam mendukung suasana, perasaan, dan imaji pada puisi.

Vokal a, i, u, e, o Efoni (euphony) : bunyi yang merdu dan indah. Konsonan bersuara b, d, g, j Bunyi liquida r, l Bunyi sengau m, n, ng, ny Bunyi aspiran s, h Kakofoni (cacophony) : bunyi yang tidak merdu, parau Suasana mesra, penuh kasih sayang, gembira, bahagia.

- Dominasi bunyi-bunyi k, p, t, s. - Rima puisi sangat tidak teratur

Suasana kacau, tidak teratur, tidak menyenangkan.

Vokal e, i Konsonan k, p, t, s, f

- Perasaan riang, kasih, suci - imaji : kecil, ramping, ringan, tinggi.

Vokal a, o, u Konsonan b, d, g, z, v, w

- Perasaan murung, sedih, gundah, kecewa. - imaji : bulat, berat, besar, rendah.

2. Kata Walaupun ada penyair yang menonjolkan bunyi dan mengabaikan peranan kata dalam puisi ciptaannya (misalnya Sajak Hugo Bal), namun tidak dapat dipungkiri bahwa kata sampai saat ini masih merupakan sarana yang sangat penting dalam penciptaan puisi. Bagaimanapun juga, pada umumnya penyair mencurahkan pengalaman jiwanya melalui kata-kata. Dalam menganalisis puisi, perlu dibahas arti kata dan efek yang ditimbulkannya, misalnya arti denotatif, arti konotatif, kosa kata, diksi, citraan, faktor ketatabahasaan, sarana retorika, dan hal-hal yang berhubungan dengan struktur kata atau kalimat puisi. Kata-kata yang digunakan oleh penyair disebut Slamet Mulyana sebagai kata berjiwa. Dalam kata berjiwa ini sudah dimasukkan unsur suasana, perasaan-perasaan penyair, dan sikapnya terhadap sesuatu. Nampaknya penyair mempergunakan bahasa yang berbeda dengan bahasa seharihari. Ini terjadi karena puisi sebagai ungkapan jiwa. Penyair menghendaki agar pembaca dapat turut merasakan dan mengalami seperti apa yang dirasakan penyair. Misalnya saja sajak Toto Sudarto Bachtiar berikut ini : PAHLAWAN TAK DIKENAL Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring Tetapi bukan tidur, sayang Sebuah lubang peluru bundar di dadanya Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang Dalam bait puisi tersebut, kata-kata yang dipergunakan menyiratkan pancaran sikap sopan dan rasa hormat kepada pahlawan. Apabila dikatakan ia mati tertembak, rasanya kurang hormat meskipun hakikatnya sama saja dengan kalimat dia terbaring, tetapi bukan tidur. Demikian juga diksi Sebuah lubang peluru bundar di dadanya memberi gambaran tentang kematian yang indah dan bersih. Padahal kenyataannya pastilah tidak seperti itu. Tentu ada darah yang berlepotan, tidak tersenyum melainkan menyeringai kesakitan. Penyair menggunakan pilihan kata tersebut sebagai ungkapan jiwanya yang menghargai pengorbanan pahlawan. Kalimat Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang menyatakan keikhlasan sang pahlawan dalam membela tanah air sampai titik darah penghabisan. Untuk memaksimalkan kepuitisan karya, biasanya penyair memanfaatkan kemampuannya dalam memilih kata setepat mungkin, memasukkan kata-kata/kalimat yang konotatif dan mempergunakan gaya bahasa tertentu.

Pilihan kata penyair sangat membantu imajinasi pembaca. Semakin konkret kata-kata dalam puisi, semakin tepat citraan yang ditimbulkannya. Misalnya pada salah satu bait puisi Balada Penyaliban karya W.S. Rendra tertulis Tiada mawar-mawar di jalanan / tiada daundaun palma / domba putih menyeret azab dan dera / merunduk oleh tugas teramat dicinta / dst. Kata menyeret merupakan gaya bahasa yang mengkonkretkan seolah-olah azab dan dera dapat dilihat dan terasa berat. Hal itu memberi citraan penglihatan dan perasaan yang sangat dalam. Pembaca seolah-olah melihat sendiri jalanan yang kering tanpa tumbuhan dan sosok Yesus yang digambarkan sebagai domba putih yang tertatih-tatih menyeret beban amat berat. Dengan demikian, untuk menghidupkan puisi, penyair dapat memanfaatkan gaya bahasa (misalnya personifikasi, metafora, hiperbola dan lain-lain) dan pilihan kata yang tepat. Ada puisi-puisi yang kosakatanya diambil dari bahasa sehari-hari. Hal tersebut memberikan efek gaya yang realistis. Sebaliknya, penggunaan kata-kata indah memberi efek romantis. Setelah menganalisis puisi tahap demi tahap, kita dapat menyimpulkan tema puisi, amanat/pesan, sikap penyair (feeling) dan nada puisi (tone). Tema adalah ide/ gagasan/pokok masalah yang disampaikan penyair melalui puisinya; amanat/pesan adalah nilai-nilai yang terkandung dalam puisi yang dapat dipetik oleh pembaca; sikap penyair adalah perasaan/sikap penyair terhadap tema yang digarapnya dalam puisi (misalnya benci, kagum, antipati, simpati dan lain-lain); nada adalah cara penyair mengemukakan sikapnya (misalnya marah, keras, menyindir, putus asa, riang, penuh kekaguman dan sebagainya)

000

You might also like