You are on page 1of 27

UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI

PERUBAHAN ORGANISASI: REFORMASI POLRI

Disusun Oleh: Alvin Zulreandro 0906539212 Fadel Ikhsan Fahaby 0906533871 Lingga Bona Diputra 0906533953 Norma Yuli Jayanti - 0906534054

Depok 2011

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penulisan 1.4 Metode Penulisan 1.5 Sistematika Penulisan BAB II POKOK PERMASALAHAN BAB III KERANGKA TEORI 3.1 Definisi Reformasi 3.2 Perubahan Organisasi Terencana BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Reformasi Polri 4.2 Aspek Perubahan Reformasi Polri 11 12 8 8 3 5 5 5 5 6

4.3 Reformasi Polri Ditinjau dari Teori Perubahan Organisasi Lewin 19 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 5.2 Saran DAFTAR PUSTAKA 24 24 27

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Salah satu tuntutan reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 adalah reformasi di bidang pertahanan keamanan. Dalam aspek ini, selain reformasi TNI, reformasi Polri juga menjadi agenda utama reformasi agar dapat segera dilaksanakan.Tuntutan ini bertujuan agar institusi-institusi keamanan di Indonesia dalam hal ini Polri dapat berfungsi secara professional, bermartabat, dan sesuai dengan kebutuhan Negara. Dari sinilah mulai dilakukan pembenahanpembenahan yang menuju pada arah reformasi di tubuh Polri. Seiring dengan pelaksanaan reformasi Polri, perkembangan lainnya menunjukkan bahwa persoalan keamanan dalam negeri juga menjadi sorotan penting dibanyak negara, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi aspek yang harus diperhatikan oleh banyak pihak. Terlebih lagi tantangan globalisasi yang semakin berkembang juga diikuti dengan tantangan permasalahan kejahatan, seperti organized crime, religious fanaticism, korupsi, dan sebagainya. Oleh karena itu, keamanan dalam negeri akan berdampak krusial apabila tidak berjalan secara optimal. Disinilah reformasi Polri bukan hanya sekedar melakukan perubahan, tetapi juga harus dapat mengarahkan reformasi tersebut pada kebutuhan mendasar keamanan dalam negeri di Indonesia dalam rangka menghadapi permasalahan kejahatan yang tersebut di atas. Selain itu, keamanan dalam negeri saat ini juga terkait dengan banyak faktor, terutama faktor perkembangan teknologi. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki konsekuensi logis bagi tumbuh dan berkembangnya permasalahan kehidupan sosial yang semakin kompleks. Aspek negatif dari perkembangan iptek tersebut adalah terjadinya peningkatan kualitas kejahatan dan pelanggaran, dan ini berhubungan langsung dengan pekerjaan kepolisian. Hal ini membuktikan bahwa kejahatan dan pelanggaran telah semakin terorganisir dengan

solidaritas sosial yang besar di antara anggota kelompoknya, terutama dalam upaya saling melindungi dan mengamankan masing-masing kelompoknya. Oleh karena itu, reformasi di Indonesia saat ini tidak hanya dilihat dari perspektif tuntutan atau amanat reformasi 1998 serta sekedar melakukan perubahan institutional peran, dan wewenang kepolisian. Reformasi Polri menjadi kebutuhan yang mendesak karena faktor keamanan merupakan merupakan bagian integral dari tujuan nasional, yaitu kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Oleh karena itu, maka reformasi dalam tubuh polri terkait dengan perubahan tiga elemen, yakni elemen struktural, instrumental, dan kultural sebagai ujung tombak keamanan dalam negeri. Reformasi di tubuh kepolisian yang mengacu pada Buku Biru Kepolisian Tahun 1998 yang berjudul Reformasi Menuju Polri yang Profesional dan Grand Strategi Kepolisian 2005-2025 dinilai belum berjalan optimal dan belum mampu diimplementasikan dalam operasional Polri. Banyak permasalahan yang masih dihadapi Polri diantaranya kebijakan politik yang kurang mendukung, juga perubahan paradigmatik di internal Polri tidak berjalan dengan baik. Permasalahan ini dimulai dari kondisi di lingkungan Polri sendiri sampai perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. (http://idsps.org) Perkembangan reformasi polri sampai saat ini telah menjalani proses yang cukup sulit, banyak kendala yang harus dihadapi, tetapi perkembangannya tetap berjalan walaupun mungkin terhambat. Bentuk perkembangan polri ini terwujud dalam Laporan perkembangan Reformasi Birokrasi Polri yang telah dikirimkan kepada Presiden R.I dengan surat Kapolri tanggal 11 Mei 2010 yang berisi bahwa Program Reformasi Polri yang telah dihasilkan dan pencapaianpencapaian yang telah ditempuh polri dalam mereformasi tubuhnya.

(http://www.polri.go.id) Dalam perkembangan reformasi Polri, terdapat beberapa kasus yang mencuat ke publik terkait dengan penyelewengan dan tindakan yang menyimpang dari kinerja Polri. Hal ini jelas merupakan sebuah tamparan keras bagi Polri ditengah perkembangan reformasi yang terus diupayakan secara intensif.

1.2 Rumusan Masalah Dalam makalah ini, permasalahan yang di bahas, antara lain: 1. Bagaimana terjadinya reformasi Polri? 2. Apa saja aspek perubahan dalam reformasi Polri? 3. Bagaimana reformasi Polri ditinjau dari teori perubahan organisasi Lewin? 1.3 Tujuan Penulisan Pada makalah ini akan dibahas mengenai reformasi di tubuh Polri, yang bertujuan untuk: 1. Mengetahui reformasi Polri 2. Mengetahui aspek perubahan dalam reformasi Polri 3. Mengetahui reformasi Polri ditinjau dari teori perubahan organisasi Lewin. 1.4 Metode Penulisan Untuk membahas masalah-masalah yang telah dikemukakan di atas, penulis menggunakan metode pustaka. Dalam hal ini, penulis melakukan pencarian bahan-bahan melalui bahan bacaan (buku, majalah, Koran), internet, dan sumber-sumber lainnya yang relevan. 1.5 Sistematika Penulisan Makalah ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari: Bab I merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan pokok permasalahan yang menjadi bahan kajian makalah ini. Bab III merupakan kerangka teori yang merupakan penjelasan tentang reformasi dan perubahan organisasi terencana. Bab IV merupakan pembahasan yang menjelaskan mengenai reformasi Polri. Bab V merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran/rekomendasi.

BAB II POKOK PERMASALAHAN

Perkembangan suatu organisasi kepolisian tidak terlepas dari pengaruh perkembangan lingkungan startegis baik politik, ketatanegaraan, ekonomi maupun sosial budaya suatu negara. Hal itu disebabkan bahwa secara struktural, dalam lembaga kepolisian itu melekat dua kekuasaan, yaitu: (1) kekuasaan di bidang hukum (2) kekuasaan di bidang pemerintahan Kedua kekuasaan tersebut melahirkan tiga fungsi utama polisi, yaitu (1) sebagai penegak hukum diperoleh dari kekuasaan bidang hukum; (2) sebagai penegak keamanan dan ketertiban umum; dan (3) sebagai pelindung, pelayan dan pengayom masyarakat. Dua fungsi terakhir diperoleh dari kekuasaan di bidang pemerintahan. Ketiga fungsi utama kepolisian itu juga menjadi tugas pokok Polri sebagaimana tercantum dalam pasal 13 UU No 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Polri sebagai pelindung masyarakat memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bernegara, pelayanan yang diberikan sudah baik, namun ada beberapa hal yang masih perlu diperbaiki. Polri merupakan lembaga penegak hukum pertama kali yang mereformasi diri sejak 1999. Reformasi di tubuh kepolisian yang mengacu pada Buku Biru Kepolisian Tahun 1998 dan Grand Strategi Kepolisian 2005-2025 dinilai belum berjalan optimal. Menurut kriminolog Universitas Indonesia (UI) Prof Adrianus Meliala, ada empat permasalahan reformasi sebelum dan setelah di reformasi, yaitu: 1. Masalah kronis yang ditinggalkan era `polisi sebagai militer` aspek kultur dan perilaku (militer)

2. Program reformasi (yang dijalankan Polri) kerap berjalan tidak sistematis, tidak tuntas dan bagi yang sudah pernah dibuat, tidak pernah dievaluasi lagi 3. Kecepatan perubahan tidak sama disetiap fungsi atau satuan kerja (satker). Misalnya fungsi reserse dikenal sebagai yang paling sedikit dan susah perubahannya. Namun disisi lain, fungsi lalu lintas (lantas) dan Brigade Mobil (Brimob) maju pesat. 4. Reformasi tergantung ada-tidaknya perwira tinggi yang mau dan mampu melakukan perubahan.

BAB III KERANGKA TEORI

1.1 Definisi Reformasi Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Satu hal penting dalam pengertian reformasi adalah perubahan atas sistem yang ada, artinya reformasi itu tidak pernah mulai dari titik nol. Reformasi lebih merupakan sebuah reaksi atas ketidakmampuan sistem yang berlaku. Reformasi menghendaki perubahan dari suatu kondisi ke arah kondisi yang lebih baik. 1.2 Perubahan Organisasi Terencana Perubahan organisasi secara sederhana dapat diartikan sebagai

pembahasan tentang mengapa, kapan, dan bagaimana organisasi melakukan perubahan (Hatch, 1997:350). Organisasi berubah karena memang harus berubah yaitu dipicu faktorfaktor internal dan atau eksternal. Hal ini sesuai dengan gagasan teori sistem yang melandasi perspektif modernis, bahwa suatu sistem cenderung mempertahankan ekuilibrium atau keseimbangan. Artinya suatu sistem (termasuk dalam hal ini organisasi), tanpa ada dorongan faktorfaktor internal dan eksternal tertentu, niscaya memilih untuk tidak berubah dan lebih cenderung bertahan dalam keadaan semula. Perubahan organisasi dibedakan jadi dua macam yaitu perubahan terencana (planned change) dan perubahan tidak terencana (unplanned change). Dalam makalah ini, akan lebih mengacu pada perubahan organisasi yang terencana. Kurt lewin, seorang ahli psikolog sosial yang mengembangkan tentang perubahan organisasi pada tahun 1950-an sehingga model ini masih sangat sederhana. Proses perubahan digambarkan dalam tiga tahap, yaitu: (1) pencairan (unfreeze), (2) perubahan (change) atau gerak (move), dan (3) pembekuan kembali (refreeze). Gagasan dasar Lewin sebenarnya cukup fundamental, yaitu bahwa

suatu perubahan organisasi selalu diiringi oleh dua kekuatan yang menolak dan menerima perubahan. Menurut Lewin, suatu perubahan terencana (planned change) dapat dilakukan dalam organisasi dengan cara menciptakan ketidakseimbangan pada kekuatan-kekuatan yang saling mempengaruhi di dalam organisasi, yaitu antara kekuatan yang mempertahankan stabilitas dan kekuatan yang menghendaki perubahan (Lewin, 1958). Model Lewin tidak secara spesifik menjelaskan bagaimana proses perubahan organisasi harus dirancang dan diimplementasikan oleh pengelola organisasi. Akan tetapi model ini mampu menggambarkan esensi perubahan organisasi secara relatif lengkap. Tabel 1.1 Model Perubahan Organisasi Kurt Lewin TAHAP Unfreezing: Pencairan kebekuan yang lama Menghilangkan keseimbangan menopang ekuilibrum stabilitas 1. Memanfaatkan (stress) atau ketertekanan ketidakpuasan LANGKAH STRATEGI

telah yang

yang ada dalam sistem yang berlaku 2. Menciptakan mengurangi resitensi kekuatan

organisasional

tambahan pada perubahan atau

Change movement: Gerakan menuju perubahan

or Mempengaruhi gerak atau 1. Memberi pelatihan pola-pola perubahan yang terjadi pada perilaku baru

sistem yang sedang tidak 2. Mengubah hubungan pelaporan seimbang tersebut menuju arah yang diinginkan dan sistem imbalan 3. Menerapkan gaya manajemen baru

Refreezing: Pembekuan kembali ekuilibrum baru Tahap ini akan terjadi ketika Membuat kebijakan baru dalam pola-pola sudah perilaku stabil baru rekrutmen agar orang-orang yang atau direkrut cocok dengan kultur baru dan dapat bekerja dengan baik dalam struktur dan sistem imbalan serta gaya manajemen baru

terinstitusionalisasi

tersebut

10

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Reformasi Polri Adanya Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi telah melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Untuk sementara waktu, Polri masih diletakkan di bawah Menteri Pertahanan Keamanan. Akan tetapi, karena pada waktu itu Menteri dan Panglima TNI dijabat orang yang sama (Jenderal TNI Wiranto), maka praktis pemisahan tidak berjalan efektif. Sementara peluang yang lain adalah Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 yang menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No.VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Kendati Keppres ini sering disoroti sebagai sebuah ancaman karena Kepolisian akan digunakan sewenang-wenang oleh presiden, namun sesungguhnya Kepolisian masih bisa dikontrol oleh DPR dan LKN (Lembaga Kepolisian Nasional) yang merupakan lembaga independen. Adapun tantangan yang dihadapi Polri dewasa ini dan ke depan, terutama adalah perubahan paradigma kepolisian yang sesuai dengan paradigma baru penegakan hukum yang lebih persuasif di negara demokratis, di mana hukum dan polisi tidaklah tampil dengan mengumbar ancaman-ancaman hukum yang represif dan kadang kala menjebak rakyat, melainkan tampil lebih simpatik, ramah, dan familier. Memberi peluang tumbuhnya dinamika masyarakat dalam

menyelesaikan konfliknya sampai pada taraf tertentu. Memberi peluang berfungsi dan kuatnya pranata-pranata sosial dalam masyarakat seperti adanya perasaan malu, perasaan bersalah, dan perasaan takut bila melakukan penyimpangan, sehingga mendorong warga patuh pada hukum secara alamiah.

11

Kemandirian Polri yang diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999 sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional ke arah masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera. Kemandirian Polri dimaksud bukanlah untuk menjadikan institusi yang tertutup dan berjalan serta bekerja sendiri, namun tetap dalam kerangka ketatanegaraan dan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang utuh. 4.2 Aspek Perubahan Reformasi Polri Pengembangan kemampuan dan kekuatan serta penggunaan kekuatan Polri dikelola sedemikian rupa agar dapat mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Polri sebagai pengemban fungsi keamanan dalam negeri. Tugas dan tanggung jawab tersebut adalah memberikan rasa aman kepada negara, masyarakat, harta benda dari tindakan kriminalitas. Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-perubahan melalui tiga aspek, antara lain: a. Aspek struktural: mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam Ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan; b. Aspek instrumental: mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin, kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek; c. Aspek kultural: meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem operasional. Aspek Kultural adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental, karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional. Dapat dilihat dalam tabel di bawah perbedaan antara aspek satu ke aspek yang lain.

12

Tabel 4.2 Aspek-aspek Perubahan dalam Reformasi Polri Aspek Struktural 1. Perubahan menjadi Aspek Instrumental Aspek Kultural

Polri 1. Dikeluarkannya TAP 1. Perubahan doktrin dan lembaga MPR No. VI dan VII Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI-Polri dan Peran TNI-Polri pedoman induk dari Doktrin Catur Darma Eka Karma sebagai pedoman masa Doktrin induk orba, Sad di dan Daya

nondepartemen dengan kedudukan setingkat menteri. 2. Penempatan

Polri 2. Amandemen pasal 30 UUD 1945 ayat 2 dalam usaha di bidang pertahanan keamanan kekuatan dalam pertahanan keamanan yang melalui polisi tidak dan Hankamrata 3. Revisi 300 Petunjuk Pelaksanaan (Junlak) dan Petunjuk Teknis Polda dan sebagai utama, upaya dan negara

sebagai mitra kerja DPR RI dalam urusan keamanan Komini III melalui DPR

Dwi Bhakti sebagai doktrin menjadi pelaksanaan Doktri Tri

Bidang Hukum 3. Pemisahan kepegawaian manajemen TNI 4. Pembenahan penampilan berseragam, berseragam, peralatan tugas 5. Penetapan struktur dari

Brata sebagai doktrin induk, Catur sebagai dan Doktrin Prasetya pedoman

dilaksanakan

hidup anggota.

sistem 2. Perumusan pedoman perilaku polisi dalam melaksanakan tugasnya, yaitu postur Polri yang

(Junkis) Polri 4. Penyusunan Strategy 25 Grand tahun

professional, bermoral dan modern sebagai pelinding, pengayom, dan masyarakat terpercaya melindungi masyarakat dan pelayan yang dalam

sebagai induk penuh kesatuan (tidak

sentralistik ke Mabes Polri) 6. Penetapan pelayanan pengemban titik pada diskresi

Polri yang terdiri atas jangka pendek untuk trust building, jangka menengah untuk

13

yang

diatur

dalam

membangun kemitraan, dan jangka panjang untuk

menegakkan hukum 3. Pemberdayaan bintara dan dalam tamtama Polri upaya

pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002. Dalam hal ini, dalam tugas

membangun strive for excellence.

melaksanakan dan

wewenangnya,

community policing. Dalam hal ini, polisi tidak menempatkan lagi diri

pejabat Polri dapat bertindak menurut

penilaian sendiri 7. Pelembagaan Komisi Kepolisian 8. Likuidasi Brimob satuan dalam arti

secara vertical, tetapi horizontal di dalam masyarakat.

mereposisi

Brimob

Polri sebagai satuan khusus professional polisi dengan

adanya daya tangkap tinggi yang berbeda fungsinya militer. Sumber: Langkah-langkah Reformasi Internal Polri, dalam IDSPSS, AJI, dan FES, ewsletter, (Edisi VII/10/2008). Dalam langkah-langkah reformasi yang dilakukan oleh Polri, tidak terlepas dari perencanaan matang melalui Grand Strategi Polri 2005-2025, yang telah dirumuskan kedalam 3 (tiga) tahapan Rencana Strategis (Renstra), yaitu : 1. Tahap I (Trust Building pada periode tahun 2005 - 2009) Membangun kepercayaan Polri di mata publik/masyarakat merupakan faktor penting dalam Grand Strategi Polri karena merupakan awal dari perubahan menuju pemantapan kepercayaan (Trust Building), meliputi: dengan

14

bidang kepemimpinan, sumber daya manusia yang efektif, Pilot Project yang diunggulkan berbasis hi-tech, kemampuan penguasaan perundangundangan dan sarana prasarana pendukung visi misi Polri 2. Tahap II (Partnership Building pada periode tahun 2010-2014) Membangun kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang terkait dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam penegakan hukum dan ketertiban serta pelayanan, perlindungan, pengayoman masyarakat untuk menciptakan rasa aman. 3. Tahap III (Strive for Excellence periode tahun 2015-2025) Membangun kemampuan pelayanan publik yang unggul, mewujudkan good governance, best practices Polri, profesionalisme SDM,

implementasi teknologi, infrastruktur, material fasilitas dan jasa guna membangun kapasitas Polri (capacity building) yang kredibel di mata

masyarakat Nasional, Regional dan Internasional.

Selanjutnya komitmen Polri untuk meningkatkan kinerja agar dapat dirasakan masyarakat berupa Penguatan Institusi, Terobosan Kreatif (creative breakthrough) dan Peningkatan Integritas patut diapresiasi. Namun institusi Polri harus memastikan pelaksanaan yang konkret dan terintegrasi dalam komitmen tersebut kepada seluruh 400.000 lebih personelnya. Polri telah melakukan langkah-langkah proaktif sebagai wujud komitmen Polri menata transparansi Polri khususnya dalam pelayanan informasi publik guna membuka peluang bagi pengawasan eksternal dan membangun akuntabilitas publik demi terwujudnya partisipasi masyarakat dalam kamtibmas. Salah satu indikator yang dapat menjadi acuan dari komitmen Polri adalah pelaksanaan Perkap No.16/2010 tentang Tata Cara Pelayanan Informasi Publik di

Lingkungan Polri, menetapkan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) baik struktural maupun fungsional sampai dengan tingkat Polsek, melaksanakan seminar KIP, sosialisasi dan pelatihan PID dan kehumasan dengan peserta sampai dengan tingkat Polsek, dan secara bertahap

mengusulkan pembangunan sistem pelayanan informasi berbasis tekhnologi informasi (TI) sebagaimana amanat UU KIP.

15

Polri adalah institusi negara pertama yang menyediakan aturan internal merespon UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Atas langkah-langkah proaktif ini Polri memperoleh sertifikat Komisi Informasi Pusat sebagai lembaga yang penghargaan dari

proaktif dalam rangka

kesiapan menyongsong implementasi UU KIP. Kebijakan ini memunculkan harapan besar agar dapat mendorong Polri untuk bekerja secara transparan dan akuntabel dalam memberikan akses publik. Setahun berjalan, pelaksanaan dari aturan ini belum berjalan maksimal karena kurangnya pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar dari UU KIP dari setiap anggota Polri, problem birokrasi kultural; kurang terintegrasinya relasi antar satuan kerja di kepolisian; serta minimnya perangkat sistem informasi dan dokumentasi yang terpadu. Indikator lain yang menjadi persoalan mendasar bagi Polri tampak pada belum berubahnya mindset dan culture set anggota Polri yang sebenarnya telah menjadi komitmen insitusi Polri. Salah satu kendalanya adalah faktor kultural birokrasi lembaga kepolisian yang sulit diubah. Hal itu tak terlepas dari keteladanan pimpinan kepolisian yang mengakibatkan birokrasi kepolisian yang masih dipengaruhi budaya militer dan tidak termovitasi untuk mengubah kulturnya. Secara struktur dan cultural (budaya), setiap gagasan reformasi kepolisian harus didukung oleh para perwira senior, maka keputusan dari perwira senior akan memiliki kepatuhan hukum. Lembaga kepolisian masih kesulitan untuk mencari sosok pemimpin yang mampu menjalankan reformasi di tubuh kepolisian. Untuk itu, dibutuhkan bantuan pihak eksternal Polri untuk mendukung program reformasi di kepolisian sesuai harapan masyarakat. Selain itu, pengaduan atau keluhan masyarakat sebagian besar terkait pada tugas kepolisian sebagai penegak hukum seperti dugaan penyalahgunaan wewenang, tindakan korupsi, dan perlakuan

diskriminatif. Hal itu didasarkan pada data Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), dan Mabes Polri. Masih belum jelasnya sistem reward and punishment, meski terdapat aturan Pedoman Penyusunan Standar dan Akreditasi Profesi Polisi Tahun 2004,

16

namun aturan itu belum cukup mengatur secara detil. Sulitnya Polri mengubah kultur tak terlepas dari sejarah Polri yang sebelumnya bagian dari struktur dan budaya TNI. Budaya komando dari pimpinan Polri masih mendomininasi di tubuh kepolisian. Fungsi penegakan hukum Polri lebih banyak ditentukan oleh pimpinan. Padahal, misalnya seorang penyidik di bagian reserse merupakan profesi yang seharusnya tidak boleh diintervensi oleh pimpinan dalam melaksanakan tugasnya. Kalangan pemerhati kepolisian menggaris bawahi bahwa pemisahan (kemandirian) Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tapi sebagai langkah awal dimulainya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun kepolisian yang lebih professional dan akuntabel melayani masyarakat sesuai dengan norma-norma demokrasi yang menjunjung nilai HAM dan hukum internasional lainnya. Reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan yang juga memiliki jalinan interdependensi dengan reformasi sektor lain. Pemisahan Polri dari TNI pada dasarnya adalah untuk mengubah kelembagaan polisi. Reformasi membawa Polri ke dalam wajah baru, dari semata alat keamanan menjadi komunitas keadilan, dari polisi yang militeristik menjadi polisi sipil, menjunjung tinggi HAM, sepenuhnya di bawah otoritas pemerintahan sipil demokratis, mandiri, serta menjalankan peran dan fungsinya secara profesional. Reformasi Menuju Polri yang profesional belum mampu diimplementasikan dengan baik dalam operasional Polri. Banyak permasalahan yang masih dihadapi Polri diantaranya kebijakan politik yang kurang mendukung, juga perubahan paradigmatik di internal Polri tidak berjalan dengan baik. Permasalahan-permasalahan itu dapat di jabarkan lagi antara lain; Kondisi di lingkungan Polri sendiri nampak ada suatu dilema antara belum terkikisnya paradigma dan budaya militer dalam organisasi, dengan trauma reposisi yang masih membayanginya. Keberadaan Polri langsung di bawah presiden, menyebabkan Polri memposisikan diri sebagai lembaga yang memproduksi kebijakan, dan operasionalnya sekaligus. Kedudukan Polri ini digugat banyak pihak karena menimbulkan kekuatiran adanya politisasi.

17

Selanjutnya

adalah

format Polri sebagai kepolisian

nasional ini

menyebabkan pemenuhan segala kebutuhan dan operasional Polri ditanggung oleh pemerintah pusat. Ketergantungan anggaran pada pemerintah pusat menyebabkan panjangnya birokrasi yang harus dilalui. Upaya membangun Polri yang mandiri dan profesional membutuhkan dukungan anggaran yang memadai. Saat ini anggaran dari APBN Polri 23 Trilyun pada tahun 2008, dirasa belum mencukupi. Hal ini menyebabkan Polri mencari anggarannya sendiri dan hal ini di dukung oleh UU Polri dimana tidak secara eksplisit menegaskan anggaran Polri berasal dari APBN, kecuali anggaran untuk Komisi Kepolisian Nasional. Dapat diduga sumber anggaran off-budget dari pos masyarakat menjadi titik lemah dalam akuntabilitas dan transparansi. Selanjutnya permasalahan mengenai rasio perbandingan jumlah anggota Polri dengan jumlah penduduk. Saat ini rasio anggota Polri dengan masyarakat masih berkisar antara 1:750 hingga 1: 1000. sedangkan idealnya 1:350. Rasio perbandingan yang tidak merata ini menyulitkan Polri dalam menjalankan tugas, khususnya pada Pemolisian Masyarakat (CommunityPolicing) dan Babinkamtibmas. Permasalahan di atas menuntut adanya pemecahan agar institusi Polri berjalan pada rel reformasi yang benar. Langkah yang bisa di ambil diantara lain; menghilangkan trauma masa lalu Polri di bawah saudara tua (TNI) yang membayangi langkah Polri dalam menata kelembagaannya. Segera memposisikan lembaga polisi pada suatu lembaga yang terlepas dari bayang-bayang kekuasaan presiden yang memicu kecemburuan antar lembaga yang menjalankan fungsi keamanan dan pertahanan. Pada negara demokratis, polisi-polisi selalu berada dalam bentuk penyelenggara operasional, apakah di bawah departemen terkait, membentuk departemen sendiri, atau membuat kementerian yang khusus mengurusi masalah keamanan dalam negeri. Hal ini akan mempertegas kemandirian Polri. Dengan berada di dalam departemen sendiri, intervensi presiden dapat tersaring, sehingga tidak akan mengganggu konsolidasi internal Polri. Polri perlu mempertimbangkan pendelegasian wewenangnya ke daerah dalam bentuk desentralisasi manajemen dan efisiensi anggaran. Apabila selama

18

ini kekurangan anggaran dibantu dari Partisipasi Teman (Parman), Partisipasi Kriminal (Parmin), maupun Partisipasi Masyarakat (Parmas) yang tentu saja bersifat negatif karena tidak transparan dan menjurus pada kriminal, maka perlu di buat desentralisasi manajemen Polri di tingkat Polda, Polwil, maupun Polres yang nantinya akan mendapatkan anggaran yang resmi dari APBD setempat. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah memiliki garis koordinasi dan manajemen kepada Polri di daerahnya. Jika kita melihat kemandirian yang tengah dilakukan oleh Polri dengan teori mengenai proses perubahan yang dikemukaka oleh Lewin, dapat digambarkan dalam tiga tahap, yaitu: (1) pencairan (unfreeze), (2) perubahan (change) atau gerak (move), dan (3) pembekuan kembali (refreeze). Maka, reformasi yang terjadi di tubuh Polri terjadi karena adanya keinginan yang kuat untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang mandiri, akuntabel, serta professional dalam menjalankan peran dan fungsinya dalam sistem keamanan nasional. Dengan adanya keinginan tersebut dan didukung oleh seluruh elemen yang berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada Polri, yang membuat Polri secara tegas menuntut adanya pemisahan dari TNI. Hal tersebut dituangkan dalam Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Reformasi yang melahirkan Inpres No. 2/1999 tanggal 1 April 1999 dalam era Presiden BJ Habibie yang memisahkan Polri dan TNI karena dirasakan memang terdapat perbedaan fungsi dan cara kerja dihadapkan dengan civil society. Ketetapan MPR No. VI/2000 tanggal 18 Agustus 2000 juga menetapkan secara nyata adanya pemisahan Polri dan TNI, yang selanjutnya diikuti pula oleh Ketetapan MPR No.VII/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri secara tegas. Dengan adanya peraturan tersebut, membuat Polri dapat terus menjalankan refomasi yang telah direncanakan, yang mecakup aspek struktural, instrumental dan kultural. 4.3 Reformasi Polri Ditinjau dari Teori Perubahan Organisasi Lewin Menilik kembali pada teori perubahan terencana yang dikemukaka oleh Lewin, dapat digambarkan dalam tiga tahap, yaitu: (1) pencairan (unfreeze), (2) perubahan (change) atau gerak (move), dan (3) pembekuan kembali (refreeze), terlihat secara keseluruhan reformasi yang dicanangkan oleh polri dirasa terkesan

19

terburu-buru sehingga mengakibatkan pada ketidaksiapan secara menyeluruh dari institusi terkait. Reformasi merupakan jawaban atas tekanan yang ada mengenai ketidakpuasan masyarakat pada kinerja polri secara keseluruhan, ini merupakan bagian unfreeze. Ketidakpuasan atas kinerja polri merupakan sebuah hasil dari sistem dan budaya di organisasi polri yang bisa terbilang kacau dan sangat mengakar. Berdasarkan tahap kedua dari teori perubahan lewin yaitu pergerakan menuju perubahan dituntut adanya pelatihan pola-pola perilaku baru, pengubahan hubungan pelaporan dan sistem imbalan, penerapkan gaya manajemen baru. Polri memang telah menerapkan kriteria dari perubahan tadi secara garis besar dengan adanya instrumen pedoman reformasi melalui Buku Biru Reformasi Polri tahun 1999, Grand Strategi Polri tahun 2005 2025, Akselerasi Transformasi Polri tahun 2008 ataupun melalui kebijakan dan strategi pendukung lainnya. Pada proses nyatanya harusnya Polri telah mampu merubah diri menjadi organisasi yang akuntabel dan transparan, akan tetapi pada nyatanya sama sekali tidak terlihat demikian. Hal yang menyebabkannya adalah bahwa instrumen-instrumen perubahan tadi hanyalah dijadikan sebuah pedoman tanpa diimbangi dengan keinginan yang kuat untuk melaksanakannya, dan di sini budaya buruk yang sangat mengakar dari Polri mengambil peran vital dalam menghambat pelaksanaan ini. Dimana budaya buruk yang corruptible dari Polri tadi sangat melemahkan pelaksanaan dari perubahan. Ketika proses ini belum memenuhi kriteria yang diharapkan maka seharusnya Polri tidak dapat begitu saja masuk ke tahap refreezing yaitu tahap pembekuan atas ekulibrium baru yang telah di capai organisasi ketika pola-pola perilaku baru sudah stabil atau terinstitusionalisasi. Kegagalan reformasi yang dicanangkan Polri jika berdasarkan analisis yang telah dipaparkan di atas, pertama dikarenakan perubahan dilaksanakan terlalu terburu-buru padahal kondisi budaya organisasi yang sangat buruk sudah mengakar begitu lama berdasarkan Grand Strategi Polri tahun 2005 2025 bahwa proses refreezing berlangsung pada akhir tahap I yaitu tahun 2009. Sehingga tidak layak jika Polri menuntut akselarasi atau percepatan dari

20

perubahan atas kondisi yang demikian, ketika tidak ada keinginan yang kuat dari organisasi untuk merubah diri maka reformasi hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia. Banyaknya kasus dalam menjalankan perubahan tersebut tidak terlepas dari permasalahan yang muncul mengenai keraguan akan profesionalitas, kemandirian dan kredibilitas dari institusi Polri, serta perilaku minus dari para petinggi maupun aparat Polri. Perlu adanya kontrol yang ketat atas pelaksanaan tahapan perubahan baik secara internal maupun eksternal merupakan sebuah solusi tepat untuk memastikan bahwa pergeseran filosofis kinerja polri menuju ke arah yang positif. Setelah perubahan ini berjalan stabil maka barulah Polri diharapkan bisa menjaga dan mempertahankan kondisi yang demikian untuk dibekukan. Jika telah tercapai kondisi dari organisasi yang demikian maka pada akhirnya perubahan itu akan berada pada suatu titik dimana hasil reformasi tersebut menjadikan Polri sebagai institusi yang mandiri dan professional dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam kerangka sistem keamanan nasional. Tabel 4.3 Perubahan Organisasi Polri Berdasarkan Teori Lewin TAHAP Unfreezing: Pencairan kebekuan yang lama telah LANGKAH Menghilangkan KENYATAAN Adanya tekanan yang ada

keseimbangan ekuilibrum mengenai ketidakpuasan masyarakat yang menopang stabilitas pada organisasional kinerja polri secara

keseluruhan - adanya keinginan yang kuat untuk menjadikan Polri sebagai institusi yang mandiri, akuntabel, serta

professional

dalam

menjalankan

peran dan fungsinya dalam sistem keamanan nasional. - dengan adanya keinginan tersebut dan didukung oleh seluruh elemen

21

yang

berhubungan

baik

secara

langsung maupun tidak langsung kepada Polri, yang membuat Polri secara tegas menuntut adanya

pemisahan dari TNI. Change movement: Gerakan menuju perubahan or Mempengaruhi gerak atau perubahan yang Menerapkan kriteria dari

terjadi perubahan secara garis besar dengan instrumen melalui Polri pedoman Buku tahun Biru 1999,

pada sistem yang sedang adanya tidak seimbang tersebut reformasi menuju diinginkan arah yang Reformasi

Grand Strategi Polri tahun 2005 2025, Akselerasi Transformasi Polri tahun 2008 ataupun melalui

kebijakan dan strategi pendukung lainnya. Refreezing: Pembekuan kembali ekuilibrum baru Tahap ini akan terjadi -Pada kenyataannya, Polri belum ketika pola-pola perilaku bisa masuk ke tahap, karena budaya baru sudah stabil atau buruk yang corruptible dari Polri sangat melemahkan pelaksanaan

terinstitusionalisasi

dari perubahan. -Kegagalan reformasi yang

dicanangkan Polri karena perubahan dilaksanakan terlalu terburu-buru padahal kondisi budaya organisasi yang sangat buruk sudah mengakar begitu lama -berdasarkan Grand Strategi Polri tahun 2005 2025 bahwa proses refreezing berlangsung pada akhir

22

tahap I yaitu tahun 2009.

23

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Sebagai suatu lembaga negara maka Polri tidak bisa melepaskan dirinya dari tuntutan reformasi yang sedang diperjuangkan oleh rakyat Indonesia, sebagai suatu lembaga negara maka Polri pun wajib mengusung dan menjaga jalannya perjuangan reformasi dengan cara mereformasi dirinya dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance dan memperbaiki kinerjanya yang selama ini sering menjadi pusat perhatian masyarakat. Berbagai cara tentunya bisa dipilih dan dijalankan oleh Polri untuk menentukan masa depannya, tetapi tentu hanya dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kehendak masyarakat maka Polri bisa kembali menempatkan dirinya sebagai lembaga penegak hukum yang kredibeldi mata masyarakat Indonesia. Dalam upaya menghadapi berbagai permasalahan yang menimpa tubuh kepolisian Indonesia saat ini, maka Polisi dalam rangka mereformasi dirinya seperti telah diungkapkan di atas harus dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance seperti transparan, tanggap, berorientasi pada masyarakat,

bertanggungjawab, berdasarkan pada kaidah hukum, dan lain sebagainya. Selain itu maka Polri pun mau tidak mau harus rela setiap gerakan atau langkahnya selalu diawasi oleh masyarakat, hal ini demi terciptanya community policing yang modern dan berwibawa.

5.2 Saran Keterbukaan adalah langkah awal terciptanya demokratisasi di dalam tubuh kepolisian Indonesia yang selama ini cenderung dianggap tertutup oleh masyarakat. Berbagai kasus yang menimpa beberapa personel polisi seperti tindakan indisipliner, pelanggaran HAM, penyalahgunaan wewenang untuk melakukan korupsi atau menerima suap merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat kita, sebab polisi merupakan tameng dari terjadinya

24

perbuatan-perbuatan terlarang tersebut. Akan tetapi, masyarakat pun tidak menutup mata bahwa beberapa oknum Polisi melakukan hal yang sesungguhnya dilarang, sehingga tidak jarang masyarakat menilai dan mengukur bahwa kinerja semua polisi sama buruknya. Langkah yang perlu diambil untuk mengambil kembali kepercayaan masyarakat adalah membuka seluas-luasnya akses kepada publik terhadap kinerja kepolisian disamping memperbaiki kinerja aparat kepolisian itu sendiri, akses disini adalah berupa kontrol terhadap kepolisian baik yang dilakukan oleh masyarakat, LSM, lembaga pemerintah / negara lainnya, maupun oleh badan kepolisian itu sendiri yang menangani masalah di dalam tubuhnya. Kontrol yang terbuka bukanlah suatu cara yang dilakukan untuk mencari kelemahan atau kesalahan aparat kepolisian untuk kemudian menjatuhkannya, tetapi kontrol adalah suatu cara mencari kelemahan untuk kemudian dicari suatu solusi untuk memperbaiki kelemahan tersebut secara bersamasama. Dalam negara yang menganut asas demokrasi maka control terhadap suatu lembaga merupakan bagian atau elemen yang tidak dapat dipisahkan, begitu halnya dengan kontrol terhadap institusi Polri. Kontrol adalah salah satu bentuk upaya untuk menjaga akuntabilitas politik suatu lembaga dalam kerangka demokrasi politik dan mewujudkan clean and good governance. (baru) Pentingnya akuntabilitas polisi dalam negara demokrasi telah disepakati oleh para pakar dalam berbagai tulisan mereka sebagaimana dinyatakan oleh Bent, A.E. (1974) dalam tulisannya berjudul Police Accountability: Dilemmas of democratic control dalam buku The Politics of Law Enforcement: ..... tanpa adanya mekanisme akuntabilitas, polisi dapat digunakan untuk melakukan penindasan, atau berperilaku anti sosial dan ilegal untuk tujuan polisi sendiri...... (Ronny Lihawa, Akuntabilitas Politik dan Operasional POLRI dalam Masa Transisi) Oleh karena itu, perlu adanya Institutional Control terhadap Polri dalam mengukur kinerja Polri, untuk mengetahui pencapaian dari kinerja polri, seberapa efisien dan efektif kinerja polri dan juga meminimalisir tindakan indisipliner atau pelanggaran penyelewengan yang dilakukan oleh Polri. Kontrol yang ideal untuk mengawal proses reformasi yang berlangsung di tubuh polri adalah control

25

menyeluruh dari semua pihak baik dari dalam organisasi Polri sendiri ataupun dari pihak luar. Skema control yang ideal seperti yang dipaparkan di bawah ini yaitu: A. Kontrol Internal y Badan-badan Pengawasan Polri seperti Divisi Profesi dan Pengamanan Polri (Propam). 1. Tugas Propam: menegakkan disiplin dan profesionalitas anggota Polri. 2. Fungsi Propam: menyikapi nuansa-nuansa pelanggaran baik pelanggaran disiplin, kode etik Polri, maupun tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Polri yang menunjukkan trend lebih rapih dan tersembunyi. y Komandan Kesatuan, yang memiliki kontrol kebawah dengan mekanisme pengawasan melekat. B. Kontrol Eksternal y y Pengawasan di Bidang Keuangan: dilakukan oleh BPK dan BPKP Kementrian Pemberdayaan Aparatur Pemerintah / Negara yang bertugas mendinamisir polisi untuk melaksanakan tugas secara profesional y Pengawasan dalam Bidang Kinerja Kepolisian: contohnya

dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional dan DPR.

26

DAFTAR PUSTAKA

Kusdi. 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta : Salemba Humanika. M. Sastra, Suryama. 2007. Meningkatkan Kontrol Terhadap Polri Dalam Masa Transisi. Jakarta : LESPERSI DECAF. http://idsps.org http://www.polri.go.id

27

You might also like