You are on page 1of 16

BAB I PENDAHULUAN Epilepsi adalah sebuah kondisi otak yang dicirikan dengan kerentanan untuk kejang berulang (peristiwa

serangan berat, dihubungkan dengan ketidaknormalan pengeluaran elektrik dari neuron pada otak). Kejang merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-kena kulit kepala-trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik. Sebagian kecil disebabkan oleh penyakit menurun. Kejang yang disebabkan oleh meningitis disembuhkan dengan obat anti epilepsi, walaupun mereka tidak dianggap epilepsi. (Hartanto, 2002) Menurut International League Against Epilepsy (ILAE), kejang dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok utama yaitu kejang parsial (Partial seizures) dan kejang keseluruhan (Generalized seizures). Kejang sebagian dibagi lagi menjadi kejang parsial sederhana dan kejang parsial kompleks. Sedangkan kejang keseluruhan dikelompokkan menjadi petit mal seizures (Absence seizures); atypical absences; myoclonic seizures; tonic clonic (grand mal) seizures; tonic, clonic, atonic seizures. (Octaviana, 2008). Mekanisme terjadinya serangan epilepsi (kejang) adalah karena adanya sekelompok neuron yang mudah terangsang membentuk suatu satuan epileptik fungsional yang disebut fokus. Adanya muatan yang bersama-sama memasuki neuron-neuron tersebut menyebabkan terjadinya sinkronisasi. Sinkronisasi meupakan syarat terjadinya serangan. Jika banyak terjadi sinkronisasi (hipersinkronisasi) maka akan terjadi penyebaran rangsangan ke daerah-daerah lain di otak, akibatnya terjadi kejang. (Hartanto, 2002).

BAB II STATUS PENDERITA A. IDENTITAS PENDERITA Nama Umur Jenis Kelamin Agama Pekerjaan Alamat Pemeriksaan : Nn. N : 20 tahun : Perempuan : Islam : Mahasiswa : Mulyo Rejo, Tasik Madu Karanganyar : 3 Januari 2012

B. Keluhan Utama

: Kejang

C. Riwayat Penyakit Sekarang : Seorang wanita berumur 20 tahun dating di poliklinik penyakit syaraf setelah sebelumnya mendapat serangan kejang untuk kedua kalinya. Kedua serangan kejang tersebut diikuti dengan tidak sadar selama kira-kira 3 menit. Kemudian kesadarannya normal kembali, tetapi pasien masih kebingungan, sakit kepala dan pegal-pegal. Menurut ibu pasien, pada saat kejang, gigi pasien terkatup dan bibir tampak kebiruan. Penderita juga menyatakan belum pernah oeriksa ke dokter maupun minum obat anti kejang setelah serangan kejang yang pertama kali. Dikatakan oleh penderita bahwa pada kejang yang kedua ini sebelum kejang penderita sedang bermain game di computer. Sebelum umur satu tahun, penderita sering mengalami kejang pada saat badannya panas. Diriwayatkan juga bahwa jika penderita mengikuti upacara atau olahraga sering mengalami pingsan dan akan membaik setelah mendapat pertolongan dari petugas UKS, kejadian ini mulai sejak penderita menduduki bangku sekolah dasar.

C. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat sinkop Riwayat kejang demam Riwayat migraine Riwayat trauma kepala Riwayat TIA : (+) sejak SD : (+)sebelum umur satu tahun : disangkal : disangkal : disangkal

D. PEMERIKSAAN A. Keadaan Umum B. Vital sign Tekanan darah Nadi Respirasi Suhu BB TB C. Kulit Sawo matang, kelembaban baik D. Kepala Bentuk mesocephal, rambut hitam sukar dicabut, sembab muka (-) E. Mata Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cowong (-/-), air mata (-/-) F. Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-) G. Mulut Bibir sianosis (-), mukosa basah (-), lidah kotor (-), tremor (-), tepi hiperemis (-) H. Telinga Daun telinga dalam batas normal, kanalis auricularis lapang, tragus pain (-), dischange (-) I. Tenggorok Tonsil = T1-T1, Faring hiperemis (-) J. Leher : 130/85 mmHg : 89x/menit, reguler, simetris, isi dan tegangan lemah : 20 x/menit. : 36,7 C : 50 kg : 156 cm : tampak baik, compos mentis, gizi kesan cukup

Bentuk normocolli, limfonodi cervicalis tidak membesar, trakea di tengah K. Thorax Retraksi (-), bentuk normochest Cor : Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak kust angkat : Batas kiri atas Batas kanan atas Auskultasi Pulmo : Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi : SIC II LPSS : SIC II LPSD Batas kiri bawah : SIC IV 1 cm medial LMCS Batas kanan bawah: SIC IV LPSD : BJ I II intensitas normal/reguler, bising (-) : Pengembangan dada kanan = kiri : Fremitus raba kanan = kiri : Sonor/sonor : SD veskuler +/+ normal Suara tambahan : RBK -/-, RBH -/-, wheezing -/L. Abdomen Inspeksi Perkusi Palpasi M. Genital Phymosis (-), Hidrocelle (-) N. Extremitas Akral dingin (-) O. Pemeriksaan neurologi Kordinasi Sensorium : baik : sensorium
+ +

: dinding perut sejajar dinding dada : timpani (+) : supel, nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba.

Auskultasi : peristaltik (+) normal

edema (-)

+
+

Reflek fisiologis : Biseps Triseps Patella Achiles

: 2+/2+

: 2+/2+ : 2+/2+ : 2+/2+

Reflek patologis : Chaddock Gordon E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

: -/: -/-

Appenheim : -/-

Laboratorium Darah tanggal 2 Januari 2012 Hb Hct AT AL GDS Ur Cr EEG : 8,9 g/dl : 44,0 % : 529.103 UL : 9,3.103 UL : 132 : 42 : 1,3 : dalam batas normal

Gol darah : O

CT Scan : lesi (+) pada ulkus temporal F. ASSESMENT Epilepsi G. PENATALAKSANAAN 1. Ketika mengalami status epileptikus Cito R/ Inj Diazepam mg 10 Amp. No. 1 Cum spuit 3 cc no. 1 S imm

Pro : Nn. N (20 thn) 2. Pengobatan R / Fenitoin Na Cap mg100 No. XXI S 3 dd cap 1

Pro : Nn. N (20 thn)

BAB III PEMBAHASAN EPILEPSI A. DEFINISI Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuronneuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. (Oktaviana, 2008). B. ETIOLOGI 1. Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak 2. Factor herediter,ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerosis tuberose, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal, fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia. 3. Factor genetic; pada kejang demem dan breath holding spells 4. Kelainan congenital otak; atropi, porensefali, agenesis korpus kalosum 5. Gangguan metabolik; hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia 6. Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan 7. selaputnya,toxoplasmosis 8. Trauma; kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural 9. Neoplasma otak dan selaputnya 10. Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen 11. Keracunan; timbale (Pb), kapur barus, fenotiazin,air 12. Lain-lain; serebral,dan 13. lain-lain. (Mansjoer,2000) penyakit darah,gangguan keseimbangan hormone,degenerasi

C. PATOFISIOLOGI 1. Patofisiologi Epilepsi Umum Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan karakteristik klinik yang menggambarkan pasien bengong dan aktivitas normal mendadak berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut. Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus, hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri. Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM.3 Patofisiologi epilepsi yang lain adalah disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode protein kanal ion (tabel 3). Contoh: Generalized epilepsy with febrile seizure plus, benign familial neonatal convulsions. (Oktaviana. 2008) 2. Patofisiologi Epilepsi Parsial Patofisiologi epilepsi parsial yang dapat diterangkan secara jelas adalah epilepsi lobus temporal yang disebabkan oleh sklerosis hipokampus. Pada sklerosis hippokampus terjadi hilangnya neuron di hilus dentatus dan sel piramidal hipokampus. Pada keadaan normal terjadi input eksitatori dari korteks entorhinal ke hippokampus di sel granula dentatus dan input inhibitori dari interneuron di lapisan molekular dalam (inner layer molecular) (gambar 2). Sel granula dentatus relatif resisten terhadap aktivitas hipersinkroni, dan dapat menginhibisi propagasi bangkitan yang berasal dari korteks entorhinal. (Soedomo, 2004)

Gambar 1. Hippokampus3

Pada sklerosis hippocampus terjadi sprouting akson mossy-fiber balik ke lapisan molekular dalam (karena sel pyramidalis berkurang). Mossy fibers yang aberant ini menyebabkan sirkuit eksitatori yang rekuren dengan cara membentuk sinaps pada dendrit sel granula dentatus sekelilingnya. Di samping itu interneuron eksitatori yang berada di gyrus dentatus berkurang (yang secara normal mengaktivasi interneuron inhibitori), sehingga terjadi hipereksitabilitas

Gambar 2. Sel granula dentatus3

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi neurogenesis postnatal di hippocampus. Suatu bangkitan mencetuskan peningkatan aktivitas mitosis di daerah proliferatif gyrus dentatus sehingga terjadi diferensiasi sel granula dentatus baru dan pada akhirnya terjadi ketidakseimbangan eksitasi dan inhibisi. Teori patofisiologi yang lain adalah terjadi perubahan komposisi dan ekspresi reseptor GABAa. Pada keadaan normal, reseptor GABAa terdiri dari 5 subunit yang berfungsi sebagai

inhibitori dan menyebabkan hiperpolarisasi neuron dengan cara mengalirkan ion klorida. Pada epilepsy lobus temporal, terjadi perubahan ekspresi reseptor GABAa di sel granula dentatus berubah sehingga menyebabkan sensitivitas terhadap ion Zinc meningkat dan akhirnya menghambat mekanisme inhibisi.3,4 Mekanisme epilepsi lain yang dapat diterangkan adalah terjadinya epilepsi pada cedera otak. Jika terjadi suatu mekanisme cedera di otak maka akan terjadi eksitotoksisitas glutamat dan menigkatkan aktivitas NMDA reseptor dan terjadi influx ion calsium yang berlebihan dan berujung pada kematian sel. Pada plastisitas maka influx ion calsium lebih sedikit dibandingkan pada sel yang mati sehingga tidak terjadi kematian sel namun terjadi hipereksitabilitas neuron. (Octaviana, 2008) 3. Patofisiologi Anatomi Seluler Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan bangkitan listrik di otak. Bangkitan epilepsi bisa juga terjadi tanpa ditemukan kerusakan anatomi (focus) di otak. Disisi lain epilepsi juga akan bisa mengakibatkan kelainan jaringan otak sehingga bisa menyebabkan disfungsi fisik dan retardasi mental.1 Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Keadaan ini bisa disebabkan sekresi neurotransmiter dari presinaptik tidak terkontrol ke sinaptik yang selanjutnya berperan pada reseptor NMDA atau AMPA di post-sinaptik.6 Keterlibatan reseptor NMDA subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebutsebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi.6-8 Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupan prinsip kerja dari obat antiepilepsi.7 Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggungjawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Hal ini terbukti pada epilepsi lobus frontalis yang ternyata ada hubungannya dengan

terjadinya mutasi dari resepot nikotinik subunit alfa 4.9 Berbicara mengenai kanal ion maka peran natrium, kalium dan kalsium merupakan ion-ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor. Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesame neuron.9 Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu. Dalam hal epilepsi dikenal beberapa neurotransmiter seperti gamma aminobutyric acid (GABA) yang dikenal sebagai inhibitorik, glutamat (eksitatorik), serotonin (yang sampai sekarang masih tetap dalam penelitian kaitan dengan epilepsi, asetilkholin yang di hipokampus dikenal sebagai yang bertanggungjawab terhadap memori dan proses belajar. (Octaviana, 2008)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Anamnesis Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi: - Pola / bentuk serangan - Lama serangan - Gejala sebelum, selama dan paska serangan - Frekwensi serangan - Faktor pencetus - Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang - Usia saat serangan terjadinya pertama - Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan - Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya - Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis 3. Pemeriksaan penunjang - Elektro ensefalografi (EEG) - Rekaman video EEG - Pemeriksaan Radiologis (Soedomo, 2004).

G. PENATALAKSANAAN Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal. Ada beberapa cara untuk mencapai tujuan tersebut antara lain menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping ataupun dengan efek samping seminimal mungkin serta menurunkan angka kesakitan dan kematian. (Soedomo, 2004) Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni, 1. Obat anti epilepsi (OAE) mulai diberikan apabila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun. Selain itu pasien dan keluarganya harus terlebih dahulu diberi penjelasan mengenai tujuan pengobatan dan efek samping dari pengobatan tersebut. 2. Terapi dimulai dengan monoterapi 3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat. 4. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan, maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama dosisnya diturunkan secara perlahan. 5. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontorl dengan pemberian OAE pertama dan kedua. (Soedomo, 2004) Berikut merupakan OAE pilihan pada epilepsi berdasarkan mekanisme kerjanya 1. Karbamazepin : Blok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. 2. Fenitoin : Mekanisme kerja; pd bbrp sistem fisiologis, mengubah konduktans Na+, K+, dan Ca+, potensial membran, konsentrasi Asam amino dan neurotransmiters norepinephrine, acetylcholine, gamma aminobutyric acid (GABA). Klinis: seizure parsial dan seizure tonik-klonik umum 3. Fenobarbital : Meningkatkan aktivitas reseptor GABAA , menurunkan eksitabilitas glutamate, emnurunkan konduktan natrium, kalium dan kalsium. 4. Valporat : Diduga aktivitas GABA glutaminergik, menurunkan ambang konduktan kalsium (T) dan kalium. 5. Gabapetin : Modulasi kalsium channel tipe N

6. Lamotrigin : Blok konduktan natrium yang voltage dependent 7. Okskarbazepin : Blok sodium channel, meningkatkan konduktan kalium, modulasi aktivitas chanel. 8. Topiramat : Blok sodium channel, meningkatkan influks GABA-Mediated chloride, modulasi efek reseptor GABAA. Merupakan monosakarida, struktur beda dengan antiseizure lain. Mekanismenya seperti phenytoin dan carbamazepin, menyekat kanal Na, inhitorik GABA, eksitatorik AMPA

(alfa-amino-3-hydroxy-5-methyl-isoxazole-4-propionate). Absorbsi cepat 2 jam, waktu paruh 20-30 jam, ikatan protein plasma minimal 15 %, metabolisme menengah 20-50 % tidak terbentuk metabolit aktif, ekskresi asal dalam urin. Pemakaian kinisnya efektif seizure parsial dan seizure tonikklonik umum. Spektrum luas dan efektif sindrom Lenonox-Gestaut, sindrom west, seizure absen. Dosis 200-600 mg/hari. Efek samping; ngantuk, kelelahan, parestesi, kegelisahan, bingung, urolitiasis 9. Zonisomid : Blok sodium, potassium, kalsium channel. Inhibisi eksitasi glutamate. (Katzung, 1997) Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan. Pada anak-anak dengan epilepsi, pengehntian sebaiknya dilakukan secara bertahap setelah 2 tahun bebas dari bangkitan kejang. Sedangkan pada orang dewasa penghentian membutuhkan waktu lebih lama yakni sekitar 5 tahun. (Oktaviana, 2008). Ada 2 syarat yang penting diperhatika ketika hendak menghentikan OAE yakni 1. Syarat umum yang meliputi : - Penghentian OAE telah diduskusikan terlebih dahulu dengan pasien/keluarga dimana penderita sekurang-kurangnya 2 tahun bebas bangkitan. - Gambaran EEG normal - Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka waktu 3-6bulan. - Bila penderita menggunakan 1 lebih OAE maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama. 2. Kemungkinkan kekambuhan setelah penghentian OAE

- Usia semakin tua, semakin tinggi kemungkinan kekambuhannya. - Epilepsi simtomatik - Gambaran EEG abnormal - Semakin lamanya bangkitan belum dapat dikendalikan. - Penggunaan OAE lebih dari 1 - Masih mendaptkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi - Mendapat terapi 10 tahun atau lebih. - Kekambuhan akan semaikn kecil kemungkinanya bila penderita telah bebas bangkitan selama 3-5 tahun atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali maka pengobatan menggunakan dosis efektif terakhir, kemudian evaluasi. (Oktaviana, 2008). Obat Jenis epilepsi Efek samping yg mungkin terjadi Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang Jumlah sel darah putih & sel darah merah berkurang Tenang Ruam kulit Tenang Pembengkakan gusi Tenang Penambahan berat badan, rambut rontok

Karbamazepin Generalisata, parsial Etoksimid Gabapentin Lamotrigin Fenobarbital Fenitoin Primidon Valproat Petit mal Parsial Generalisata, parsial Generalisata, parsial Generalisata, parsial Generalisata, parsial Kejang infantil, petit mal

Tabel. Obat Epilepsi dan efek sampingnya

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 1. Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai manifestasi klinik dan laboratorik. 2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mendetail diperlukan untuk menegakan diagnosis beserta etiologinya. B. Saran 1. Pengobatan epilepsi butuh waktu hampir sepanjang usia pasien, sabar. 2. Tujuan utama dari terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup penderita yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Hartanto, H., Susi, N., Wulansari, P., dan Mahanani D.A. (eds). 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta : penerbit buku Kedokteran EGC. pp: 1166-1155. Katzung, Betram G. 1997. Farmakologi dasar dan Klinik. Edisi VI. Jakarta : EGC. pp: 381. Mansjoer, A., Triyanti. K., Savitri, R., Wardhani, W.I.,Setiowulan, W. (eds). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius, pp:3327. Octaviana, F. 2008. Epilepsi. Medicinus, Scientific Journal of Pharmaceutical Development and Medical application vol 21 No. 4 edisi November-Desember 2008. pp:124-121. Sudomo, agus. 2004. Epilpesi. Dalam Buku ajar ilmu Penyakit Saraf editor : andri kusuma Harmaya. Edisi pertama Surakarta : BEM FK UNS press. pp:101-103.

TUGAS ILMU FARMASI KEDOKTERAN

EPILEPSI

Oleh: Rinny Oktafiani Arief G0007142

Pembimbing :

Bu Diah Purwohastuti

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI KEDOKTERAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA 2012

You might also like