You are on page 1of 3

PENDAHULUAN Sebagaimana kita tahu, ada keterkaitan antara budaya dan bahasa.

Bahasa merupakan bagian dari unsur budaya. Bahasa juga bisa menjadi identitas kebudayaan suatu komunitas atau kelompok. Selain, itu ada hubungan kausalitas antara keduanya terutama dalam pengaruh satu terhadap lainnya. Bahasa dapat dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya lain seperti agama, ekonomi dan sebagainya. Begitupun budaya, penakaian suatu bahasa menjadi identitas budaya pemakai bahasa. Hubungan kausalitas ini dapat terlihat pula dalam istilah-istilah budaya yang dipakai oleh masyarakat. Sebagai contoh, dalam makalah ini akan diketengahkan mengenai istilah sekaten sebagai istilah budaya jawa yang dipengaruhi oleh unsur budaya lain yakni agama. Hal ini dapat diketahui dari asal pemakaian istilah sekaten itu sendiri.

PEMBAHASAN 1. Pengertian Sekaten

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alunalun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iringiringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Sekaten adalah istilah budaya jawa yang berasal dari bahasa Arab, yaitu, Syahadatain yang artinya dua kalimah syahadat. Adanya pelafalan syahdatain menjadi sekaten ini karena adanya kesulitan bagi lisan orang jawa untuk mengucapkan kalima berbahasa Arab. Selain itu, karena memang bahasa masyarakat adalah bahasa Jawa maka diucapkanlah kata syahdatain itu dengan sekaten. Istilah sekaten ini muncul pertama kali pada masa Raden Fatah menjadi Adipati Kabupaten Bintoro, Demak. Pada masa itu beliau di dukung oleh para wali melakukan syiar dakwah. Kebanyakan masyarakat saat itu memluk agama Hindu dan Budha. Selain itu masyarakat juga senang berkesenian terutama seni gamelan. Untuk itulah para wali berinisiatif untuk menarik perhatian masyarakat mengikuti majlis dakwah dengan gamelan. Masyarakat yang tertarik dengan bunyi gamelan berbondong-bondong datang. Maka dengan kecerdikannya para wali mensyaratkan bagi masyarakat yang ingin menyaksikan gamelan untuk mengucapkan dua kalimah syahadat yang menjadi tanda kalau mereka telah masuk Islam. Dua kalimah syahadat inilah yang dalam agama Islam biasa disebut dengan syahadatain (Jawa: Sekaten). 2. Pengaruh Agama Terhadap Istilah Sekaten

Dari pengertian dan sekelumit tentang penyebutan nama sekaten di atas terlihat bahwa unsur agama mempengaruhi pembentukan istilah sekaten ini. Istilah sekaten dipengaruhi oleh agama Islam yang nota bene datang dari negeri Arab. Namun, karena bahasa Arab bukanlah bahasa ibu orang jawa maka pelafalan syahadatain dalam bahasa Arab (Islam) menjadi sekaten dalam bahasa Jawa. 3. Pengaruh Sosial dan Politik Terhadap Istilah Sekaten

Selain dipengaruhi oleh unsur agama, sekaten juga dipengaruhi oleh unsur sosial dan politik. Istilah sekaten timbul dimana ada unsur politik dari Raden Fatah dan para wali untuk bisa meng-islamkan masyarakat jawa yang kebanyakan beragama Hindu Budha. Disamping itu, struktur sosial masyarakat jawa dan kebiasaan masyarakat jawa (yang gandrung akan seni) serta penggunaan bahasa dalam berinteraksi juga mempengaruhi terbentuknya istilah sekaten ini. 4. Istilah-istilah Lain yang Berhubungan dengan Sekaten

Jika kita membahas sekaten maka lekat kaitannya dengan istilah grebeg dan gunungan. Grebeg adalah upacara keagamaan di keraton yang diadakan tiga kali

dalam setahun bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhamad Saw. (Grebeg Maulud), Hari Raya Iedul Fitri (Grebeg Syawal), dan Hari Raya iedul Adha (Grebeg Besar). Sekaten biasanya diakhiri dengan grebeg maulud karena waktu perayaan sekaten biasanya dilakukan bertepatan dengan bulan Robiul Awwal (maulud) dan puncaknya pada 12 Robiul Awwal (maulid Nabi Saw.). Pada acara ini biasanya Sri Sultan berkenan memberikan sedekah dalam bentuk gunungangunungan berisikan makanan, hasil panen masyarakat dan sebagainya. Upacara ini biasanya juga dilengkapi dengan upacara penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa oleh Sri Sultan sendiri di Sitihinggil utara dan diiringi dengan pembacaan doa oleh Kyai Penghulu untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, keagungan agama dan kebahagiaan serta keselamatan keraton, nusa dan bangsa pada umumnya. PENUTUP Demikian sedikit paparan mengenai istilah sekaten yang menurut hipotesis kami dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya seperti agama, sosial dan politik. Sekaten sebagai bukti bahwa antara budaya dan bahasa memiliki hubungan kausalitas. Semoga hipotesis ini menjadi referensi yang berarti bagi khazanah pengetahuan bagi pembaca.

You might also like