You are on page 1of 19

Contoh Perhitungan Sanksi Bunga dan Denda

BY D UDI, ON JUNE 4TH, 2008

Powered by Max Banner Ads

Sanksi administrasi yang sering dikenakan terhadap Wajib Pajak adalah sanksi yang terkait dengan keterlambatan pembayaran pajak dan pelaporan pajak. Seperti diketahui, atas keterlambatan pembayaran pajak akan dikenakan sanksi Pasal 9 ayat (2a) Undangundang KUP. Sementara atas keterlambatan menyampaikan SPT akan dikenakan sanksi berupa denda Pasal 7 Undang-undang KUP. Untuk mengetahui lebih jelas tentang tanggal jatuh tempo pembayaran masa, silahkan baca postingan saya di sini. Sementara itu untuk mengetahui besarnya sanksi denda atas keterlambatan pelaporan SPT bisa dilihat di postingan saya yang ini. Pada tulisan ini, saya akan memberikan contoh kasus perhitungan sanksi administrasi berupa bunga dan denda atas keterlambatan pembayaran pajak dan/atau pelaporan pajak berdasarkan ketentuan yang berlaku. Misalkan Wajib Pajak PT ABC melakukan aktivitas terkait dengan kewajiban pajak pada bulan Mei 2008 sebagai berikut. SPT Masa PPh Pasal 21 bulan April 2008 dengan nilai pelaporan Rp25.450.000,disetorkan pada tanggal 12 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008. SPT Masa PPh Pasal 25 bulan April 2008 senilai Rp56.260.000,- dibayarkan pada tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 21 Mei 2008. SPT Masa PPN bulan April 2008 yang menunjukkan kurang bayar Rp120.630.000,- dilunasi pada tanggal 16 Mei 2008 dan dilaporkan pada tanggal 23 Mei 2008.

Berdasarkan data di atas, maka perhitungan sanksi yang akan dilakukan oleh petugas KPP tempat PT ABC terdaftar adalah sebagai berikut. PPh Pasal 21 : Jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Namun demikian, pada bulan Mei 2008 tanggal 10 jatuh pada hari Sabtu sehingga tanggal jatuh temponya menjadi hari Senin tanggal 12 Mei 2008. PT ABC menyetor PPh Pasal 21 tepat pada tanggal jatuh tempo sehingga tidak dikenakan sanksi bunga. Tanggal jatuh tempo pelaporan PPh Pasal 21 adalah tanggal 20 bulan berikutnya. Namun karena tannggal 20 Mei jatuh pada hari libur Nasional (tanggal merah), maka jatuh tempo pelaporan bergeser menjadi tanggal 21 Mei 2008. PT ABC melaporkan SPT PPh Pasal 21 bulan April 2008 pada tanggal 21 Mei 2008 yang berarti tepat pada tanggal jatuh tempo. Dengan demikian, tak ada sanksi denda Pasal 7 untuk PPh Pasal 21. PPh Pasal 25 : Tanggal jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 April 2008 adalah tanggal 15 Mei 2008. Sementara itu PT ABC membayar pada tanggal 16 Mei 2008 yang berarti terlambat 1

hari. Keterlambatan satu hari ini dibulatkan ke atas menjadi satu bulan sehingga sanksi bunganya adalah : 2% x 1 bulan x Rp56.250.000,- = Rp1.125.000,Pelaporan PPh Pasal 25 dilakukan setelah tanggal jatuh tempo yaitu tanggal 21 Mei 2008 sehingga dikenakan sanksi denda sebesar Rp100.000,-. PPN : Penyetoran PPN dilakukan pada tanggal 16 Mei yang berarti terlambat satu hari karena tanggal jatuh tempo penyetoran PPN adalah tanggal 15 bulan berikutnya. Dengan demikian sanksi bunga yang dikenakan adalah : 2% x 1 bulan x Rp120.630.000,- = Rp2.412.600,SPT Masa PPN April 2008 disampaikan tanggal 23 Mei 2008 sehingga pelaporan PPN ini terlambat. Sanksi denda Pasal 7 yang dikenakan adalah Rp500.000,-.

Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23


BY D UDI, ON OCTOBER 30TH, 2010

Powered by Max Banner Ads

Pada dasarnya pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 23 baru bisa dilakukan jika telah memenuhi ruang lingkup pengenaan, yaitu pemberi penghasilan memenuhi kriteria sebagai pemotong PPh Pasal 23, penerima penghasilan memenuhi kriteria sebagai fihak yang dipotong PPh Pasal 23 dan jenis penghasilan yang dibayarkan adalah termasuk penghasilan-penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23


Berdasarkan ketentuan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (Undang-undang Pajak Penghasilan 1984), pemotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah : a. Badan Pemerintah

Tidak ada penjelasan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan tentang arti Badan Pemerintah ini. Namun demikian, tidak sulit untuk mengartikan bahwa yang dimaksud dengan Badan Pemerintah adalah Pemerintah negara Republik Indonesia dan Pemerintah Daerah di Indonesia beserta instansi-instansi di bawahnya. Dalam prakteknya, pemotongan PPh Pasal 23 oleh instansi pemerintah dilakukan oleh bendahara pemerintah. b. Subjek Pajak Badan dalam negeri

Berdasarkan Pasal 2 ayat (3) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, subjek pajak badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di

Indonesia. Istlah didirikan mengandung arti bahwa badan tersebut didirikan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia. Sementara itu istilah bertempat kedudukan menunjukkan bahwa badan tersebut memiliki efektif manajemen di Indonesia di mana pengambilan keputusan-keputusan penting tentang badan tersebut dilakukan di Indonesia. Pengertian badan sendiri berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap c. Penyelenggara kegiatan

Penyelenggara kegiatan bisa berbentuk badan, orang pribadi atau kepanitiaan yang melakukan suatu event atau kegiatan. Contoh penyelenggara kegiatan adalah orang pribadi atau badan yang mengorganisir suatu acara seperti pertunjukkan, perlombaan, seminar dan lain-lain. d. Bentuk Usaha Tetap (BUT)

BUT adalah bagian dari Subjek Pajak luar negeri yang melakukan kegiatan di Indonesia sehingga menerima atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia. Walaupun termasuk Wajib Pajak luar negeri, pemenuhan hak dan kewajiban BUT disamakan dengan pemenuhan hak dan kewajiban Wajib Pajak dalam negeri. Pengertian BUT bisa kita temukan dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa tempat kedudukan manajemen, cabang perusahaan, kantor perwakilan, gedung kantor, pabrik, bengkel dan lain-lain. e. Perwakilan Perusahaan Luar Negeri Lainnya

Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya selain BUT yang ada di Indonesia juga merupakan pemotong PPh Pasal 23. Contohnya adalah Representative Office (RO) dari perusahaan-perusahaan asing.

Fihak Yang Dipotong PPh Pasal 23


Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, penerima penghasilan yang dapat dipotong PPh Pasal 23 adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Dengan demikian, fihak yang dipotong PPh Pasal 23 bisa Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri ataupun Wajib Pajak badan dalam negeri. Ini berarti bahwa jika penerima penghasilan adalah Wajib Pajak luar negeri, kecuali BUT, maka PPh Pasal 23 tidak bisa dikenakan.

Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 23


Hal ketiga yang menjadi ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 23 adalah bahwa penghasilan yang diterima oleh penerima penghasilan adalah jenis penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Jenis-jenis penghasilan ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a dan huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan, yaitu : 1. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; 2. bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984; 3. royalti; 4. hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e Undangundang Pajak Penghasilan 1984; 5. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan; dan 6. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Khusus untuk jasa konstruksi, sehubungan dengan pengenaan Pajak Penghasilan final Pasal 4 ayat (2) terhadap semua jenis jasa konstruksi berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 dan perubahannya, maka imbalan jasa konstruksi tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Untuk jenis jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15%


BY D UDI, ON OCTOBER 31ST, 2010

Powered by Max Banner Ads

Apabila PPh Pasal 23 bisa dikenakan setelah memenuhi ruang lingkup sebagaimana sudah saya jelaskan dalam tulisan Ruang Lingkup Pemotongan PPh Pasal 23, maka pertanyaan berikutnya adalah berapa besar PPh Pasal 23 yang harus dipotong? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu tarif pemotongan PPh Pasal 23 dan dasar pengenaan PPh Pasal 23. Tarif PPh Pasal 23 sendiri mengenal

dua jenis tarif yaitu tarif 15% dari jumlah bruto dan tarif 2% dari jumlah bruto. Tulisan ini akan memfokuskan pada objek pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, atas beberapa jenis objek PPh Pasal 23 dikenakan pemotongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15% dari jumlah bruto. Objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif 15% dari jumlah bruto ini adalah :

a.

Dividen

Dividen merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham atau pemegang polis asuransi atau pembagian sisa hasil usaha koperasi yang diperoleh anggota koperasi. Pengertian dividen ini mengacu kepada Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Perlu ditegaskan bahwa tidak semua dividen yang memenuhi definisi di atas adalah objek PPh Pasal 23. Ada dividen yang juga bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Terdapat juga dividen yang merupakan objek pemotongan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2c) dan Pasal 26 ayat (1) huruf a Undang-undang Pajak Penghasilan 1984

b.

Bunga

Pengertian bunga merujuk kepada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 di mana dalam pengertian bunga termasuk juga premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Seperti halnya dividen, tidak semua bunga juga menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Ada jenis bunga yang bukan merupakan objek pajak sehingga tidak boleh dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan. Jenis bunga yang lain seperti bunga deposito dan tabungan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) final. Ada juga bunga yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerimanya adalah Wajib Pajak luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-undang Pajak Penghasilan.

c.

Royalti

Berdasarkan penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf h Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, imbalan berupa royalti terdiri dari tiga kelompok, yaitu imbalan sehubungan dengan penggunaan: 1. hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan; 2. hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya;

3. informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun


mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah

tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama. Perlu diperhatikan bahwa untuk imbalan royalti ini ada kemungkinan juga merupakan objek pemotongan PPh Pasal 26 jika penerima penghasilannya adalah Wajib Pajak luar negeri.

d. Hadiah, penghargaan, bonus dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21.
Hadiah, penghargaan dan bonus sebenarnya merupakan objek pemotongan PPh Pasal 21 juga. Namun harus diperhatikan bahwa ruang lingkup pemotongan PPh Pasal 21 adalah bahwa penerima penghasilannya Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. Apabila penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau BUT, maka PPh Pasal 21 tidak bisa diterapkan. Nah, untuk jenis Wajib Pajak tersebut maka PPh Pasal 23 lah yang bisa diterapkan. Contoh untuk kasus PPh Pasal 23 ini misalnya sebuah yayasan lingkungan hidup memberikan penghargaan kepada perusahaan yang memiliki kepedulian kepada lingkungan sekitarnya. Apabila bentuk penghargaan ini diberikan dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai naka penghargaan ini menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 karena penerimanya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri. Besarnya PPh Pasa

PPh Pasal 23 Dengan Tarif

2%
BY D UDI, ON OCTOBER 31ST, 2010

Powered by Max Banner Ads

Tidak seperti sebelum tahun 2009 di mana PPh Pasal 23 mengenal perkiraan penghasilan neto sehingga tarif efektif PPh Pasal 23 sangat bervariasi, sekarang tarif PPh Pasal 23 hanya ada dua, tarif 15% dari jumlah bruto seperti dijelaskan di tulisan PPh Pasal 23 Dengan Tarif 15% dan tarif 2% dari jumlah bruto. Berikut adalah jenis-jenis penghasilan objek pemotongan PPh Pasal 23 yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 2% dari jumlah bruto.

a.

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta

Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan kesepakatan untuk memberikan hak menggunakan harta selama jangka waktu tertentu baik dengan perjanjian tertulis maupun tidak tertulis sehingga harta tersebut hanya dapat digunakan oleh penerima hak selama jangka waktu yang telah disepakati. Definisi ini ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf

c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Perlu digarisbawahi bahwa tidak termasuk dalam objek pemotongan PPh Pasal 23 adalah sewa tanah dan/atau bangunan yang telah dikenakan PPh final berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.

b. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain
Jasa konstruksi telah dikenakan PPh final Pasal 4 ayat (2) sehingga tidak lagi menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23. Dengan demikian, dalam kelompok ini pada umumnya adalah imbalan jasa selain dari imbalan jasa konstruksi. Pengertian jasa teknik, jasa manajemen, dan jasa konsultan dapat kita temui di Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ/2010 tentang Pengertian Sewa Dan Penghasilan Lain Sehubungan Dengan Penggunaan Harta, Jasa Teknik, Jasa Manajemen, Dan Jasa Konsultan Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. Jasa teknik merupakan pemberian jasa dalam bentuk pemberian informasi yang berkenaan dengan pengalaman dalam bidang industri, perdagangan dan ilmu pengetahuan yang dapat meliputi : 1. pemberian informasi dalam pelaksanaan suatu proyek tertentu, seperti pemetaan dan/atau pencarian dengan bantuan gelombang seismik; 2. pemberian informasi dalam pembuatan suatu jenis produk tertentu, seperti pemberian informasi dalam bentuk gambar-gambar, petunjuk produksi, perhitungan-perhitungan dan sebagainya; atau 3. pemberian informasi yang berkaitan dengan pengalaman di bidang manajemen, seperti pemberian informasi melalui pelatihan atau seminar dengan peserta dan materi yang telah ditentukan oleh pengguna jasa. Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Sementara itu Jasa konsultan merupakan pemberian advice (petunjuk, pertimbangan, atau nasihat) profesional dalam suatu bidang usaha, kegiatan, atau pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga ahli atau perkumpulan tenaga ahli, yang tidak disertai dengan keterlibatan langsung para tenaga ahli tersebut dalam pelaksanaannya. Untuk jasa lain, Undang-undang Pajak Penghasilan, melalui Pasal 23 ayat (2), memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur lebih lanjut tentang jenis jasa lain ini dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk itu Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2008 Tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Lebih jauh tentang jenis jasa lain yang dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 2% dari penghasilan bruto, silahkan klik tulisan saya sebelumnya.

l 23 adalah 15% dikalikan jumlah bruto nilai penghargaan.

Jumlah Bruto Sebagai Dasar Pengenaan PPh Pasal 23


BY D UDI, ON OCTOBER 31ST, 2010

Powered by Max Banner Ads

Tarif PPh Pasal 23, baik yang 15% maupun yang 2% dikenakan terhadap jumlah bruto. Dengan demikian, dasar pengenaan PPh Pasal 23 adalah jumlah bruto. Sebelum tahun 2009, atas penghasilan selain dividen, bunga, sewa, royalti dan hadiah serta penghargaan, dikenakan tarif 15% dari perkiraan penghasilan neto. Besarnya perkiraan penghasilan neto tiap-tiap jenis penghasilan biasanya berlainan sehingga tarif efektifnya juga menjadi berlainan. Nah, saat ini pengenaan PPh Pasal 23 menjadi sederhana dan mudah karena hanya mengenakan tarif langsung terhadap jumlah bruto. Namun demikian, dalam praktek di lapangan sering terjadi perbedaan pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan jumlah bruto. Tidak ada penjelasan tentang arti jumlah bruto ini baik di batang tubuh maupun di penjelasan Undang-undang Pajak Penghasilan. Hal ini sangat terasa terutama ketika akan menerapkan tarif 2% untuk objek PPh Pasal 23 berupa imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konsultan dan jasa lain. Untuk mengatasi masalah ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2009 Tentang Jumlah Bruto Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 Ayat (1) Huruf c Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Nah, berdasarkan Surat Edaran ini, yang dimaksud dengan jumlah bruto adalah seluruh jumlah penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, tidak termasuk : 1. Pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dibayarkan oleh Wajib Pajak penyedia tenaga kerja kepada tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, berdasarkan kontrak dengan pengguna jasa. Atas pembayaran ini harus dibuktikan dengan kontrak kerja dan daftar pembayaran gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan. 2. Pembayaran atas pengadaan/pembelian barang atau material. Atas pembayaran ini harus dibuktikan dengan faktur pembelian barang atau material. 3. Pembayaran kepada pihak kedua (sebagai perantara) untuk selanjutnya dibayarkan kepada pihak ketiga. Atas pembayaran ini harus dibuktikan dengan faktur tagihan dari pihak ketiga disertai dengan perjanjian tertulis.

4. Pembayaran penggantian biaya (reimbursement) yaitu penggantian pembayaran


sebesar jumlah yang nyata-nyata telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga. Atas pembayaran ini harus dibuktikan dengan faktur tagihan atau bukti pembayaran yang telah dibayarkan oleh pihak kedua kepada pihak ketiga. Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penghasilan yang dibayarkan adalah imbalan sehubungan dengan jasa katering. Hal yang sama berlaku juga dalam hal penghasilan yang dibayarkan sehubungan dengan jasa di atas telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

enghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23


October 31st, 2010adminLeave a commentGo to comments

Powered by Max Banner Ads

Terkait dengan penghasilan yang menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 ini, tidak boleh dilupakan bahwa terdapat pengecualian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23. Penghasilan-penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 23 ini dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (4) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Berikut ini adalah penghasilanpenghasilan yang dikecualikan dari pemotongan PPh Pasal 23. 1. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank. Pembayaran bunga ke bank misalnya tidak dapat dipotong PPh Pasal 23. Bank akan melunasi Pajak Penghasilannya melalui pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. 2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi. Sama halnya dengan bank, pelunasan Pajak Penghasilan perusahaan sewa guna usaha dengan hak opsi akan dilakukan dengan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25. 3. Dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c) Undang-undang Pajak Penghasilan 1984. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat tertentu, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan sehingga sewajarnya juga tidak dipotong PPh Pasal 23. Berdasarkan Pasal 17 ayat (2c) dividen yang diterima oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dikenakan pemotongan PPh final sebesar 10% sehingga PPh Pasal 23 tidak melakukan pemotongan lagi terhadap jenis dividen ini. 4. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf i Undang-undang Pajak Penghasilan. Tidak termasuk obje Pajak Penghasilan adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan

kontrak investasi kolektif. Oleh karena itu atas bagian laba seperti ini tidak seharusnya dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23. 5. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; 6. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Ketentuan lebih lanjut tentang hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 251/PMK.03/2008 tentang Penghasilan Atas Jasa Keuangan Yang Dilakukan Oleh Badan Usaha Yang Berfungsi Sebagai Penyalur Pinjaman Dan/Atau Pembiayaan Yang Tidak Dilakukan Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23. Berdasarkan ketentuan ini, penghasilan sehubungan dengan jasa keuangan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 adalah berupa bunga atau imbalan lain yang diberikan atas penyaluran pinjaman dan atau pemberian pembiayaan, termasuk yang menggunakan pembiayaan berbasis syariah. Badan usaha jasa keuangan yang atas penghasilannya tidak dipotong PPh Pasal 23 ini terdiri dari : perusahaan pembiayaan yang merupakan badan usaha di luar bank dan lembaga keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan dan telah memperoleh ijin usaha dari Menteri Keuangan; badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah yang khusus didirikan untuk memberikan sarana pembiayaan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, termasuk PT (Persero) Permodalan Nasional Madani.

Tatacara Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23


November 1st, 2010adminLeave a commentGo to comments

Powered by Max Banner Ads

Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 memiliki kewajiban melakukan penyetoran PPh Pasal 23 ke kas negara atas PPh Pasal 23 yang dipotong dari penerima penghasilan. Terhadap penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 kepadanya diberikan bukti pemotongan PPh Pasal 23. Atas pemotongan yang telah dilakukan salam suatu masa pajak, Wajib Pajak sebagai pemotong pajak wajib melakukan pelaporan pemotongan PPh Pasal 23 yang telah dilakukan. Pelaporan dilakukan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23. 1. Tatacara Penyetoran PPh Pasal 23 Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Dalam pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi. SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Adapun tempat pembayaran adalah Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak. 2. Tatacara Pelaporan PPh Pasal 23 Pemotong PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh Pasal 23 ini adalah bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut yang nantinya akan dikreditkan dalam SPT Tahunannya. Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar. Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23/26 harus disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. Contoh, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 Nopember 2010. Dalam hal batas akhir pelaporan di atas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Sunset Policy
BY D UDI, ON FEBRUARY 20TH, 2008

Powered by Max Banner Ads

Ada ketentuan baru dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yang memberikan semacam pengampunan pajak kepada Wajib Pajak tertentu. Kebijakan ini juga dikenal sebagai Sunset Policy. Ketentuan diatur dalam Pasal 37A Undang-undang tersebut. Ada dua jenis pengampunan yang diberikan oleh Undang-undang KUP yang baru ini. Pertama adalah pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007. Yang kedua adalahpenghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP. Pengurangan Atau Penghapusan Sanksi Administrasi Berupa Bunga Atas Pembetulan SPT Tahunan

Pengampunan jenis ini diberikan kepada semua Wajib Pajak baik Badan maupun Orang Pribadi yang membetulkan SPT Tahunan (PPh Badan, PPh Orang Pribadi dan PPh Pasal 21) untuk tahun pajak sebelum tahun pajak 2007 dan hasil pembetulan tersebut ternyata menyebabkan pajak yang harus dibayar bertambah. Pada umumnya kalau kasusnya seperti ini Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga Pasal Ayat (2) KUP yaitu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Kesempatan ini diberikan hanya satu tahun saja yaitu satu tahun sejak berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 yaitu 31 Desember 2008. Dengan demikian, apabila pembetulannya dilakukan setelah tanggal itu maka atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenakan sanksi sesuai Pasal 8 Ayat (2) di atas. Jenis pengampunan yang diberikan berupa pengurangan atau penghapusan. Hal ini berarti ketentuan ini masih memberikan ruang kepada aparat pajak untuk mengenakan sanksi, walaupun tidak 100%. Untuk efektifitas ketentuan ini serta demi kepastian hukum sebaiknya, kata pengurangan diperjelas artinya. Misalnya diberikan batas tertentu. Bisa juga besarnya pengurangan didasarkan pada besaran-besaran tertentu seperti tingkat kepatuhan dan lain-lain. Namun demikian, ternyata dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008, kata-kata pengurangan ini direduksi sehingga jenis pengampunannya hanya dihapuskan saja. Tentu saja ini menguntungkan bagi Wajib Pajak karena lebih memberikan kepastian hukum. Penghapusan Sanksi Administrasi Atas Pajak Yang Tidak Atau Kurang Dibayar Untuk Tahun Pajak Sebelum Diperoleh NPWP Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Kewajiban pajak pada dasarnya dimulai ketika Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif tanpa tergantung kepada NPWP. Dengan demikian pemenuhan kewajiban pajak berlaku juga untuk tahun-tahun sebelum diperolehnya NPWP. Pemenuhan kewajiban ini bisa dilakukan sendiri dengan menyampaikan SPT ataupun bisa ditetapkan dengan Surat Ketetapan Pajak eks Pasal 13 Ayat (1). Nah, di Pasal 37A ayat (2), UU KUP memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif (yang berpenghasilan melebihi PTKP dalam setahun) untuk secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP. Nah, apabila ini dilakukan pada tahun 2008, Wajib Pajak ini diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang kurang dibayar untuk tahun pajak sebelum tahun 2008 serta tidak akan dilakukan pemeriksaan untuk tahun-tahun tersebut kecuali SPTnya menyatakan lebih bayar atau ada data yang menyatakan SPT tidak benar. Cara Penghapusan Sanksi Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2008 tanggal 6 Pebruari 2008, pemberian penghapusan sanksi administrasi ini dilakukan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak. Bagaimana kalau ternyata terhadap Wajib Pajak terlanjur dikenakan Surat Tagihan Pajak? Langkah yang bisa ditempuh menurut saya

mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) huruf a. Update Juli 2008 : Telah terbit peraturan pelaksanaan mengenai Sunset Policy ini yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PKM.03/2008 danPeraturan Dirjen Pajak Nomor PER27/PJ/2008.

Update 7 Agustus 2008 : Silahkan baca juga tulisan saya terbaru tentang sunset policy yang lebih lengkap dan lebih update : Sekali Lagi : Sunset Policy

Sekali Lagi : Sunset Policy


BY D UDI, ON AUGUST 7TH, 2008

Powered by Max Banner Ads

Berhubung masalah sunset policyini menjadi issu perpajakan utama dalam tahun 2008 dan juga istilahsunset policy ini menjadi keywordmesin pencari yang paling banyak menjadi rujukan kepada blog ini, maka saya mencoba untuk membuat tulisan yang lebih lengkap daripada tulisan saya sebelumnya. Alasan lainnya adalah terbitnya peraturan-peraturan baru tentang sunset policy setelah tulisan saya tersebut sehingga perlu melakukan update atas tulisan saya terdahulu. Sebagian tulisan saya ini juga saya ambil dari tulisan sebelumnya.

Apa Itu Sunset Policy?

Saya sebenarnya tidak tahu persis mengapa ada istilah sunset policy ini atau dari mana asal-usul istilah ini. Dalam Undang-undang KUP terbarupun istilah ini tidak akan ditemukan. Namun demikian, sebenarnya istilah sunset policyini merujuk kepada fasilitas penghapusan sanksi administrasi berdasarkan ketentuan Pasal 37 A undang-undang Nomor 28 Tahun 2007. Ada tulisan teman saya, Riza Almanfaluthi, dalam blognya yang cukup menarik yang berjudul Sunset Policy: Istilah Yang Perlu Diluruskan. Tulisan tersebut menjadi menarik karena membahas tentang asal-usul istilah sunset policy yang menjadi pertanyaan bagi saya. Mari kita kembali ke pengertian sunset policy ini. Sunset policy adalah semacam pengampunan pajak yang terbatas pada sanksi administrasi berupa bunga yang tidak akan dikenakan apabila Wajib Pajak yang berhak menyampaikan Surat Pemberitahuan tertentu. Ada dua jenis pengampunan berupa penghapusan sanksi ini yang diberikan oleh Undang-undang KUP yang baru ini.Pertama adalah pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pembetulan SPT Tahunan untuk tahun pajak sebelum tahun 2007. Yang kedua adalah penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang mendaftarkan diri secara sukarela untuk mendapatkan NPWP.

Jenis Sunset Policy Ada dua jenis sunset policy berdasarkan ketentuan yaitu :

1. Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Baru Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar bagi Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008 dan menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya. Fasilitas pembebasan sanksi ini khusus diberikan kepada Wajib Pajak Orang Pribadi saja yang mendaftarkan diri secara sukarela dalam tahun 2008. Wajib Pajak yang memperoleh NPWP dalam tahun 2008 berdasarkan hasil ekstensifikasi termasuk dalam kriteria mendaftarkan diri secara sukarela ini sehingga dapat menggunakan fasilitassunset policy. Termasuk dalam lingkup penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi meliputi penyampaian Surat

Pemberitahuan pembayaran:

Tahunan

Pajak

Penghasilan

yang

terkait

dengan

a. Pajak Penghasilan Pasal 29; b. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau c. Pajak Penghasilan Pasal 15. Yang dibayar Penghasilan. sendiri dan dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak

2. Sunset Policy Untuk Wajib Pajak Lama Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Lama adalah Wajib Pajak yang sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum 1 Januari 2008. Penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak diberikan kepada Wajib Pajak lama, baik Orang Pribadi maupun Badan, yang dalam tahun 2008 menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007. Termasuk dalam lingkup pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak meliputi pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang terkait dengan pembayaran: a. Pajak Penghasilan Pasal 29; b. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2); dan/atau c. Pajak Penghasilan Pasal 15, yang dibayar sendiri dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

Persyaratan Yang Harus Dipenuhi Untuk mendapatkan fasilitas penghapusan sanksi yang dikenal dengan sunset policy ini, Wajib Pajak baru harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : 1. secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dalam tahun 2008;

2. tidak sedang dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; 3. menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya terhitung sejak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif paling lambat tanggal 31 Maret 2009; dan 4. melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Sedangkan persyaratan bagi Wajib Pajak baru adalah sebagai berikut : 1. telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum tanggal 1 Januari 2008; 2. terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum diterbitkan surat ketetapan pajak; 3. terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan belum dilakukan pemeriksaan atau dalam hal sedang dilakukan pemeriksaan, Pemeriksa Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan; 4. telah dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, tetapi Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan karena tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan tentang tindak pidana di bidang perpajakan; 5. tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan; 6. menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak 2006 dan sebelumnya paling lambat tanggal 31 Desember 2008; dan 7. melunasi seluruh pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. 8. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang sedang dilakukan pemeriksaan yang juga meliputi jenis pajak lainnya, maka pemeriksaan tersebut dihentikan kecuali untuk pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan atas pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar; atau pemeriksaan tersebut tetap dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.

9. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang tidak sedang dilakukan pemeriksaan, namun atas Surat Pemberitahuan jenis pajak lainnya untuk periode yang sama sedang dilakukan pemeriksaan, maka pemeriksaan tersebut dihentikan kecuali untuk pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan atas pajak lainnya yang menyatakan lebih bayar; atau pemeriksaan tersebut tetap dilanjutkan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak. 10.Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan menyatakan lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dianggap sebagai pencabutan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang dibetulkan.

Tidak Dapat Digunakan Dasar Menetapkan Pajak Lain Data dan informasi yang tercantum dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak lama tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas pajak lainnya. Dengan ketentuan ini fihak aparat pajak tidak dapat menggunakan data dalam SPT PPh Pembetulan untuk menagih jenis pajak lainnya. Misalnya data dalam SPT Pembetulan SPT PPh tidak dapat digunakan menagih PPN melalui analisis ekualisasi PPh dan PPN. Terhadap pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan tidak dilakukan pemeriksaan, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tersebut tidak benar. Dalam hal terhadap pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang telah disampaikan dilakukan pemeriksaan karena memenuhi ketentuan di atas, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak atas seluruh kewajiban perpajakan.

Wajib Pajak Lama Yang Belum Menyampaikan SPT Wajib Pajak lama yang sebelum 1 Januari 2008 telah memiliki NPWP dan sampai dengan 31 Desember 2007 belum menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007, dapat menyampaikan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007. SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 yang disampaikan dalam tahun 2008 tersebut diperlakukan sebagai pembetulan SPT Tahunan PPh sebelum Tahun Pajak 2007 yang

memanfaatkan sunset policy.Jadi yang dapat memperoleh fasilitas sunset policy ini bukan hanya atas pembetulan SPT Tahunan PPh saja tetapi juga SPT Tahunan PPh yang memang belum pernah disampaikan untuk tahun pajak sebelum 2007.

Fasilitas Sunset Policy Lebih Dari Satu kali Pembetulan yang diberikan penghapusan sanksi administrasi berupa bunga adalah pembetulan SPT Tahunan PPh yang disampaikan sebelum tanggal 1 Juli 2008 dan satu kali pembetulan setelah 30 Juni s.d. 31 Desember 2008. Dengan demikian, apabila sebelum 1 Juli Wajib Pajak sudah menyampaikan SPT PPh Pembetulan dan mendapatkan fasilitas sunset policy, maka setelah tanggal 1 Juli sampai dengan 31 Desember 2008 dapat melakukan sekali lagi pemebetulan untuk mendapatkan fasilitas sunset policy. Apabila sebelum 1 Juli 2008 Wajib Pajak lama belum melakukan pembetulan, maka hak atas penyampaian SPT Pembetulan hanya satu kali saja dalam rangka untuk mendapatkan fasilitas sunset policy.

Ketentuan Lain 1. Penyampaian SPT menggunakan formulir SPT Tahunan PPh Tahun Pajak yang bersangkutan. 2. Menuliskan Pembetulan berdasarkan Pasal 37A UU KUP atau SPT berdasarkan Pasal 37A UU KUP dibagian atas tengah SPT Induk & setiap lampirannya 3. Kurang bayar dalam SPT Tahunan PPh menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). harus dilunasi dengan

4. Melampirkan SSP lembar ke-3 pada SPT Tahunan PPh. 5. Disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar. Dasar Hukum - Pasal 37A Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 - Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2007
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2008 - Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 27/PJ/2008 - Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 30/PJ/2008 - Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor 33/PJ/2008 Tulisan Lain Tentang Sunset Policy :

Sunset Policy dan Tidur Nyenyak

Contoh Kasus Sunset Policy

Update tanggal 26 Agt 2008 : Telah terbit SE-34/PJ/2008 Tanggal 31 Juli 2008 yang memberikan penegasan pelaksanaan sunset policy ini. Silahkan klik di sini untuk mendownloadnya.

You might also like