You are on page 1of 25

Bab ll PEMBAHASAN

1. HIBAH A. Pengertian Hibah Hibah ialah anugerah, pemberian atau hadiah yang melibatkan suatu akad yang mengandung pemberian hak milik oleh pemilik harta kepada seseorang secara rela hati semasa hayatnya atas dasar kasih sayang dan kemanusiaan tanpa mengharapkan balasan atau tukaran. Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia, kata ini merupakan mashdar dari kata yang berarti pemberian. Sedangkan pengertian hibah secara terminologi adalah :

Terjemahnya :

Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti

ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.. Hibah diatur oleh Pasal 1666 KUH Perdata, dan merupakan tindakan persetujuan dari si pemberi hibah pada waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali untuk menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah. Undang-undang tidak mengakui hibah yang terjadi diantara orang-orang yang masih hidup. Akta hibah berdasarkan Pasal 1682 harus dibuat di muka Notaris Seperti dalam KUHP Perdata tentang perikatan pasal 1666 : Penghibahan

adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.

B. Perspektif Kompilasi Hukum Islam Terhadap Hibah Kompilasi Hukum Islam tidak terlalu banyak memberikan pengaturan mengenai hibah, yakni dalam Pasal 210 sampai dengan Pasal 214 dan sebelumnya dalam Pasal 171 butir g Kompilasi Hukum Islam. Ditemukan Kompilasi Hukum Islam, bahwa hibah itu adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Karenanya orang yang menghibahkan harta bendanya tersebut harus sudah dewasa, dalam artian minimal berumur 21 tahun dan berakal sehat serta adanya unsure paksaan, kekhilafan ataupun penipuan. Agaknya kompilasi Hukum Islam berpandangan bahwa hibah setara dengan wasiat. Hanya saja, wasiat dipandang sebagai hibah yang digantungkan pada kejadian tertentu, yaitu matinya seseorang (pewasiat). Buktinya adalah baik wasiat maupun hibah ada pembatasannya, yakni paling banyak sepertiga dari seluruh harta kekayaan pewasiat atau penghibah (A. Rachmad Budiono, 1999:183). Hal ini demikian ini ditegaskan dalam ketentuan pasal 210 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa seseorang dapat menghibahkan sebayak-banyaknya sepertiga harta bendanya kepada orang lain atau lembaga yang ditunjuknya. C. Rukun Hibah Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijab dan qabul sebab keduannya termasuk akad seperti halnya jual-beli. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun hibah ada empat : 1.Wahib (pemberi) 2.Mauhud lah (penerima) 3.Mauhud (barang yang dihibahkan) 4.Ijab dan qabul

D. Syarat Hibah Syarat hibah menurut ulama Hanabilah ada 11 : 1.Hibah dari harta yang boleh di tasharrufkan 2.Terpilih dan sungguh-sungguh 3.Harta yang diperjualbelikan 4.Tanpa adanya pengganti 5.Orang yang sah memilikinya 6.Sah menerimanya 7.Walinya sebelum pemberi dipandang cukup waktu 8.Menyempurnakan pemberian 9.Tidak disertai syarat waktu 10.Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, dan mukallaf) 11.Mauhub harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan E.. Macam-macam Hibah 1.Hibah barang 2.Hibah manfaat Di antara hibah manfaat adalah hibah muajjalah (hibah bertempo), ariyyah (pinjaman), dan minhah (pemberian). Ada pula hibah yang disyaratkan masanya selama orang yang diberi hibah masih hidup dan disebut hibah umri (hibah seumur hidup), seperti jika seseorang memberikan tempat tinggal kepada orang lain sepanjang hidupnya. Hibah seperti ini diperselisihkan oleh para ulama dalam tiga pendapat : Pertama, bahwa hibah tersebut merupakan hibah yang terputus sama sekali. Yakni bahwa hibah tersebut adalah hibah terhadap pokok barangnya (ar-raqabah), pendapat ini dikemukakan oleh Syafii, Abu Hanifah, ats-Tsauri, Ahmad, dan sekelompok fuqaha lainnya.

Kedua, bahwa orang yang diberi hibah itu hanya memperoleh manfaatnya saja. Apabila orang tersebut meninggal dunia, maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Malik dan para pengikutnya, apabila dalam aqad tersebut disebutkan keturunan sedangkan keturunannya sudah tidak ada maka pokok barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Ketiga, bahwa apabila pemberi hibah berkata barang ini, selama umurku masih ada, untukmu dan keturunanmu, maka barang tersebut menjadi milik orang yang diberi hibah. Jika dalam akad tersebut tidak disebut-sebut soal keturunan, maka sesudah meninggalnya orang yang diberi hibah, barang tersebut kembali kepada pemberi hibah atau ahli warisnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Dawud dan Abu Tsaur. Silang pendapat ini berpangkal pada adanya beberapa hadis yang berbeda dan pertentangan antara syarat dengan amal yang berlaku dalam hadis. Dalam hal ini, ada dua hal : Pertama, hadis yang disepakati kesahihannya yang diriwayatkan oleh Malik dari Jabir r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda :

Terjemahnya : Siapa saja yang memberikan hibah seumur hidup kepada orang lain dan keturunannya, maka hibah tersebut menjadi milik orang yang diberinya itu, tidak kembali kepada orang yang memberi selamanya. (HR. Muslim dan Nasai) Kedua, hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. ia berkata : Rasulullah Saw bersabda, Wahai golongan Anshar, tahanlah untukmu hartamu, jangan kalian berikan seumur hidup. Barangsiapa memberikan suatu

pemberian sesuatu hidupnya, maka sesuatu itu untuk orang yang diberi selama hidup (orang yang diberi) dan sesudah matinya. (HR. Ahmad dan Nasai) Dalam hal ini, hadis riwayat Abu Zubair dari Jabir r.a. bertentangan dengan persyaratan orang yang memberikan hibah seumur hidup. Dan hadis Malik dari Jabir r.a. juga bertentangan dengan syarat orang yang memberikan hibah seumur hidup. Hanya saja, dalam hadis Malik terkesan pertentangan itu lebih sedikit. Sebab, penyebutan keturunan (al-aqid) mengesankan putusnya hibah, yakni tidak bisa kembali kepada pemberi hibah.

Oleh karena itu, bagi fuqaha yang lebih menguatkan hadis Nabi atas syarat, akan memberlakukan hadis Abu Zubair dari Jabir r.a. sebaliknya, bagi fuqaha yang lebih menguatkan syarat atas hadis Nabi akan memakai pendapat Malik. Sedang bagi fuqaha yang berpendapat bahwa hibah seumur hidup itu kembali kepada pemberinya manakala ia tidak menyebutkan keturunan, dan jika menyebut keturunan hibah itu tidak kembali.[5] F. Hukum Hibah Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim. Dengan demkian, dapat dibatalkan oleh pemberi sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah : Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang dihibahkan selama tidak ada pengganti. (HR. Ibnu Majah dan Daruquthni) Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan tetapi, dihukumi makruh sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain itu, yang diberi hibah harus ridha. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah barang dipegang pembeli. Ulama hanafiyah berpendapat ada 6 perkara yang melarang wahib

mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu ;

1. Penerima membrikan ganti ; a. pemberi yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan Syafiiyah menganggap hibah seperti ini sebagai jual beli dan bukan hibah b. pengganti yang diakhirkan. 2. Penerima maknawi ; a. pahala dari Allah, sedekah kepada orang fakir tidak boleh diambil lagi. b. pemberian dalam rangka silaturahmi. c. pemberian dalam hubungan suami istri. 3. Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhublah (orang yang diberi hibah) 4. Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang lain. 5. Salah seorang yang akad meninggal. 6. Barang yang dihibahkan rusak Ulama Mlikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang tidak boleh dikembalikan kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil. Jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak memiliki utang. Ulama Hanabilah dan Syafiiyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah Saw bersabda : Orang yang meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya.

2.

SYIRKAH a. Pengertian Syirkah Syirkah, menurut bahasa, adalah ikhthilath (berbaur). Adapun menurut

istilah syirkah (kongsi) ialah perserikatan yang terdiri atas dua orang atau lebih yang didorong oleh kesadaran untuk meraih keuntungan. Terkadang syirkah ini terbentuk tanpa disengaja, misalnya berkaitan dengan harta warisan. (Fathul Bari V: 129). Atau kata syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata syarika (fiil mdhi), yasyraku (fiil mudhri), syarikan/syirkatan/syarikatan (mashdar/kata dasar); artinya menjadi sekutu atau temannya. Menurut arti asli bahasa Arab (makna etimologis), syirkah berarti campur. Kata dasarnya boleh dibaca syirkah, boleh juga dibaca syarikah. Akan tetapi, menurut Al-Jaziri dalam Al-Fiqh al alMadzhib al-Arbaah, dibaca syirkah lebih fasih (afshah). Adapun syirkah secara hukum syara adalah suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan tujuan memperoleh keuntungan

b. Pensyariatan Syirkah Allah swt berfirman: Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; dan amat sedikitlah mereka ini. (QS Shaad: 24). Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu. (QS An-Nisaa': 12)

10

Dari Saib ra bahwa ia berkata kepada Nabi saw, Engkau pernah menjadi kongsiku pada (zaman) jahiliyah, (ketika itu) engkau adalah kongsiku yang paling baik. Engkau tidak menyelisihku, dan tidak berbantah-bantahan denganku. (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1853 dan Ibnu Majah II: 768 no: 2287). c. Hukum dan Macam Syirkah Syirkah hukumnya j'iz (mubah), berdasarkan dalil Hadis Nabi saw. berupa taqrr (pengakuan) beliau terhadap syirkah. Pada saat beliau diutus sebagai nabi, orang-orang pada saat itu telah bermuamalah dengan cara ber-syirkah dan Nabi saw. membenarkannya. Nabi saw. Hurairah ra: bersabda, sebagaimana dituturkan Abu .

( Terjemahnya:

Allah SWT. Berfirman,aku adalah yang ketiga pada dua orang yang bersekutu, selama salah seorang dari keduanya tidak menghianati temannya, aku akan keluar dari persekutuan tersebut apabila salah seorang menghianatinya. (HR. Abu Dawud dan Hakim dan menyahihkan sanadnya). d. Syirkah Syariyah (Bentuk Kongsi Yang Disyaratkan) Dalam kitabnya, as-Sailul Jarrar III: 246 dan 248, Imam Asy-Syaukani rahimahullah menulis sebagai berikut, (Syirkah syariyah) terwujud (terealisasi) atas dasar sama-sama ridha di antara dua orang atau lebih, yang masing-masing dari mereka mengeluarkan modal dalam ukuran yang tertentu. Kemudian modal bersama itu dikelola untuk mendapatkan keuntungan, dengan syarat masingmasing di antara mereka mendapat keuntungan sesuai dengan besarnya saham yang diserahkan kepada syirkah tersebut. Namun manakala mereka semua sepakat dan ridha, keuntungannya dibagi rata antara mereka, meskipun besarnya modal tidak sama, maka hal itu boleh dan sah, walaupun saham sebagian mereka lebih sedikit sedang yang lain lebih besar jumlahnya. Dalam kacamata syariat, hal

11

seperti ini tidak mengapa, karena usaha bisnis itu yang terpenting didasarkan atas ridha sama ridha, toleransi dan lapang dada. e. Syirkah antara Pemilik-Pemilik Modal Sebagaimana Islam telah membenarkan seorang muslim menggunakan uangnya secara perorangan dalam usaha-usaha yang mubah, dan sebagaimana dibolehkannya seorang muslim untuk menyerahkan modalnya kepada orang yang ahli dengan cara mudharabah, maka begitu juga Islam memberi perkenan kepada para pemilik modal untuk mengadakan syirkah dalam suatu usaha apakah berupa perusahaan atau perdagangan dan sebagainya. Sebab di antara pekerjaanpekerjaan dan projek-projek ada yang sangat membutuhkan banyak fikiran, tenaga dan modal. Sedang seseorang itu dinilai kecil apabila sendirian, tetapi dinilai banyak kalau bersama yang lain. sesungguhnya Islam tidak menghalang-halangi kerjasama kapital dan pengetahuan, atau antara uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkannya oleh fiqih Islam, tetapi kerjasama ini harus dilandasi dengan suatu perencanaan yang baik. Kalau si pemilik uang telah merelakan uangnya itu untuk syirkah dengan orang lain, maka dia harus berani menanggung segala resiko karena syirkahnya itu. Oleh karena itu syariat Islam memberikan syarat dalam mu'amalah seperti ini yang oleh ahli-ahli fiqih dinamakan mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modalnya kepada orang lain), yaitu kedua belah pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian. Prosentase keuntungan dan kerugian ini menurut persetujuan bersama. Keduanya boleh menentukan untuk salah satu pihak mendapatkan 1/2, 1/3, 1/4 atau kurang dari itu atau lebih; sedang sisanya untuk yang lain. Kalau begitu, maka kerjasama antara modal dan pekerjaan, adalah kerjasama antara dua orang yang berserikat, yang masing-masing akan mendapatkan bagiannya, sedikit atau banyak. Kalau ada untung, maka keuntungannya dibagi menurut perjanjian yang telah ditentukan bersama. Dan jika

12

rugi, maka kerugian itu diambilkan dari keuntungan. Dan jika kerugian itu sampai menghabiskan keuntungan, bahkan bertambah, maka diambilkan dari modal, menurut besar-kecilnya kerugian. Dan kerugian yang diderita oleh pemilik uang bukan satu hal yang mustahil, sama halnya dengan kerugian yang dialami oleh kongsinya yang telah mengeluarkan tenaga dan keringatnya. Begitulah peraturan Islam dalam persoalan ini. Adapun menentukan keuntungan kepada pemilik modal, tidak lebih dan tidak kurang sekalipun keuntungan itu berganda atau kerugian berlipat, maka cara seperti ini merupakan tikaman terhadap keadilan dan bisa membawa modal untuk menentang pengetahuan dan pekerjaan, bertentangan dengan hukum hidup yang memberi dan menahan dan dapat menggalakkan orang untuk mencintai pekerjaan tanpa kerja dan tanpa menanggung resiko. Inilah jiwa riba yang jahat itu. Oleh karena itu Rasulullah s.a.w. melarang menyewakan tanah dengan cara muzara'ah,14 yaitu menetapkan hasil dari bagian tanah tertentu, atau menentukan ukuran tertentu dari luar, misalnya satu kwintal atau dua kwintal. Dilarangnya hal tersebut karena ada persamaannya dengan riba dan spekulasi. Sebab tanah itu kadang-kadang hanya menghasilkan sebanyak yang ditentukan itu dan kadang-kadang samasekali tidak menghasilkan. Maka waktu itu berarti di satu pihak menggaruk hasil dan di lain pihak menderita kerugian. Cara semacam ini tidak dapat diterima oleh keadilan. Larangan muzara'ah ini dinyatakan dengan nas yang tegas. Dan menurut pendapat saya, ini adalah merupakan masalah prinsip, karena ijma' ulama yang menyatakan dalam mudharabah tidak boleh menentukan keuntungan tertentu untuk salah satu pihak15 baik untung maupun rugi. Alasan para ulama tentang tidak bolehnya mudharabah seperti ini, sama dengan alasannya tentang tidak bolehnya muzara'ah, yaitu: karena apabila salah satu pihak menentukan syarat dengan keuntungan tertentu, padahal mungkin dia tidak akan beruntung kecuali pas sebanyak persyaratan tersebut, maka waktu itu dia akan mengambil keuntungannya itu semuanya; dan mungkin juga samasekali tidak beruntung. Atau

13

kadang-kadang juga mendapat keuntungan yang besar sekali, maka waktu itu dia cukup merugikan pemilik uang. Alasan ini sesuai dengan jiwa Islam yang akan membangun setiap bentuk mu'amalah dengan landasan keadilan yang kukuh dan terang. f. Macam-Macam Syirkah Menurut An-Nabhani, berdasarkan kajian beliau terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, terdapat lima macam syirkah dalam Islam: yaitu: (1) syirkah inn; (2) syirkah abdan; (3) syirkah mudhrabah; (4) syirkah wujh; dan (5) syirkah mufwadhah (An-Nabhani, 1990: 148). An-Nabhani berpendapat bahwa semua itu adalah syirkah yang dibenarkan syariah Islam, sepanjang memenuhi syarat-syaratnya. Pandangan ini sejalan dengan pandangan ulama Hanafiyah dan Zaidiyah. Menurut ulama Hanabilah, yang sah hanya empat macam, yaitu: syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh. Menurut ulama Malikiyah, yang sah hanya tiga macam, yaitu: syirkah inn, abdan, dan mudhrabah. Menurut ulama Syafiiyah, Zahiriyah, dan Imamiyah, yang sah hanya syirkah inn dan mudhrabah (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu, 4/795). a) Syirkah Inn Syirkah inn adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberi konstribusi kerja (amal) dan modal (ml). Syirkah ini hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 148).

14

Contoh syirkah inn: A dan B insinyur teknik sipil. A dan B sepakat menjalankan bisnis properti dengan membangun dan menjualbelikan rumah. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp 500 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut.

Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqd); sedangkan barang (urdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya (qmah al-urdh) pada saat akad. Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syark) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jmi, bahwa Ali bin Abi Thalib ra. pernah berkata, Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah). (An-Nabhani, 1990: 151). b) Syirkah Abdan Syirkah abdan adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang masingmasing hanya memberikan konstribusi kerja (amal), tanpa konstribusi modal (ml). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti pekerjaan tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan, dan sebagainya) (An-Nabhani, 1990: 150). Syirkah ini disebut juga syirkah amal (Al-Jaziri, 1996: 67; Al-Khayyath, 1982: 35). Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%. Dalam syirkah ini tidak disyaratkan kesamaan profesi atau keahlian, tetapi boleh berbeda profesi. Jadi, boleh saja syirkah abdan terdiri dari beberapa tukang

15

kayu dan tukang batu. Namun, disyaratkan bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan halal. (An-Nabhani, 1990: 150); tidak boleh berupa pekerjaan haram, misalnya, beberapa pemburu sepakat berburu babi hutan (celeng). Keuntungan yang diperoleh dibagi berdasarkan kesepakatan; nisbahnya boleh sama dan boleh juga tidak sama di antara mitra-mitra usaha (syark). Syirkah abdan hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah (AnNabhani, 1990: 151). Ibnu Masud ra. pernah berkata, Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Saad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun. [HR. Abu Dawud dan al-Atsram]. Hal itu diketahui Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam dan beliau membenarkannya dengan taqrr beliau (An-Nabhani, 1990: 151). c) Syirkah Mudhrabah Syirkah mudhrabah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih dengan ketentuan, satu pihak memberikan konstribusi kerja (amal), sedangkan pihak lain memberikan konstribusi modal (ml) (An-Nabhani, 1990: 152). Istilah mudhrabah dipakai oleh ulama Irak, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qirdh (Al-Jaziri, 1996: 42; Az-Zuhaili, 1984: 836). Contoh: A sebagai pemodal (shhib al-ml/rabb al-ml) memberikan modalnya sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (mil/mudhrib) dalam usaha perdagangan umum (misal, usaha toko kelontong). Ada dua bentuk lain sebagai variasi syirkah mudhrabah. Pertama, dua pihak (misalnya, A dan B) sama-sama memberikan konstribusi modal, sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan konstribusi kerja saja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan konstribusi modal, tanpa

16

konstribusi kerja. Kedua bentuk syirkah ini masih tergolong syirkah mudhrabah (An-Nabhani, 1990: 152). Hukum syirkah mudhrabah adalah jiz (boleh) berdasarkan dalil asSunnah (taqrr Nabi Shalallahu alaihi wasalam) dan Ijma Sahabat (An-Nabhani, 1990: 153). Dalam syirkah ini, kewenangan melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola (mudhrib/mil). Pemodal tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola modal, sedangkan kerugian ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudhrabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun demikian, pengelola turut menanggung kerugian, jika kerugian itu terjadi karena kesengajaannya atau karena melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal (Al-Khayyath, AsySyarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/66). d) Syirkah Wujh Syirkah wujh disebut juga syirkah ala adz-dzimam (Al-Khayyath, AsySyarkt f asy-Syarah al-Islmiyyah, 2/49). Disebut syirkah wujh karena didasarkan pada kedudukan, ketokohan, atau keahlian (wujh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak (misal A dan B) yang sama-sama memberikan konstribusi kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang memberikan konstribusi modal (ml). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat. Syirkah semacam ini hakikatnya termasuk dalam syirkah mudhrabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah mudhrabah padanya (An-Nabhani, 1990: 154). Bentuk kedua syirkah wujh adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang ber-syirkah dalam barang yang mereka beli secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, tanpa konstribusi modal dari masing-

17

masing pihak (An-Nabhani, 1990: 154). Misal: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).

Dalam syirkah wujh kedua ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujh kedua ini hakikatnya termasuk dalam syirkah abdan (An-Nabhani, 1990: 154). Hukum kedua bentuk syirkah di atas adalah boleh, karena bentuk pertama sebenarnya termasuk syirkah mudhrabah, sedangkan bentuk kedua termasuk syirkah abdan. Syirkah mudhrabah dan syirkah abdan sendiri telah jelas kebolehannya dalam syariat Islam (An-Nabhani, 1990: 154). Namun demikian, An-Nabhani mengingatkan bahwa ketokohan (wujh) yang dimaksud dalam syirkah wujh adalah kepercayaan finansial (tsiqah mliyah), bukan semata-semata ketokohan di masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh (katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur, atau suka menyalahi janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya, sah syirkah wujh yang dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap memiliki kepercayaan finansial (tsiqah mliyah) yang tinggi, misalnya dikenal jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan (An-Nabhani, 1990: 155-156). e) Syirkah Mufwadhah

19

Syirkah mufwadhah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas (syirkah inn, abdan, mudhrabah, dan wujh) (An-Nabhani, 1990: 156; Al-Khayyath, 1982: 25). Syirkah mufwadhah dalam pengertian ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya (An-Nabhani, 1990: 156).

Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah inn), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhrabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujh). Contoh: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah abdan, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhrabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah inn di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufwadhah.

20

3. RIBAH a. Arti Riba Riba secara bahasa bermakna: ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara linguistik riba juga berarti tumbuh dan membesar . Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Badr Ad Din Al Ayni pengarang Umdatul Qari Syarah Shih Al- Bukhari: Prinsip utama dalam riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan harta atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. b. Jenis-Jenis Riba Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jualbeli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasiah.

1. Riba Qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh). 2. Riba Jahiliyyah Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. 3. Riba Fadhl Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.

21

4. Riba Nasiah Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasiah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. c. Larangan Riba dalam Al Quran Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Q.S. Ar Rum: 39). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (Q.S. Ali Imran: 130). 4. WAKAF a. Pengertian wakaf Wakaf (bahasa Arab: , jamak: , awq f) adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk menyerahkan sebagian atau keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya. b. Obyek wakaf Obyek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang dimiliki secara utuh dan dimiliki secara sah oleh pihak yang akan melakukan wakaf (wakif). Obyek wakaf benda tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah, atau hak milik atas rumah susun. Sementara untuk obyek wakaf benda bergerak dapat dengan bentuk uang. Terminologi wakaf berasal daripada perkataan Arab waqafa yang bermaksud berhenti, menegah dan menahan. Dari segi istilah, wakaf telah diberikan beberapa takrif seperti:

1. Syed Sabiq (Fiqh al-Sunnah) Wakaf ialah menahan harta dan memberikan manfaatnya pada jalan Allah. 2. Sahiban Abu Hanifah; Abu Yusuf dan Muhammad bin Hassan Wakaf ialah menahan ain mawquf (benda) sebagai milik Allah atau pada hukum milik Allah dan mensedekahkan manfaatnya ke arah kebajikan dari mula hingga akhirnya. 3. Dr. Muhammad Al-Ahmad Abu Al-Nur, bekas Menteri Wakaf Mesir Wakaf ialah harta atau hartanah yang ditahan oleh pemiliknya sekira-kira dapat menghalang penggunaannya dengan dijual atau dibeli ataupun diberikan sebagai pemberian dengan syarat dibelanjakan faedahnya atau keuntungannya atau hasil mahsulnya kepada orang yang ditentukan oleh pewakaf. Takrif-takrif di atas telah menunjukkan kedudukan wakaf sebagai sebahagian daripada amalan yang dianjurkan oleh Syariah sebagaimana firman Allah SWT: Bandingan (pahala) orang yang membelanjakan harta mereka pada jalan Allah seperti sebiji benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, dan pada tiaptiap tangkai itu pula terdapat seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi setiap yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (Kurniaannya) lagi Maha Mengetahui. (Surah al-Baqarah: Ayat 261) Daripada Abu Hurairah RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Apabila mati anak Adam, terputus amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakan kepadanya. (Hadith Riwayat Muslim) Istilah wakaf adalah berkait dengan infaq, zakat dan sedeqah. Ia adalah termasuk dalam mafhum infaq yang disebut oleh Allah sebanyak 60 kali dalam al-Quran. Ketigatiga perkara ini bermaksud memindahkan sebahagian daripada segolongan umat Islam kepada mereka yang memerlukan. Namun, berbanding zakat yang diwajibkan ke atas umat Islam yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan sedeqah yang menjadi sunat yang umum ke atas umat Islam; wakaf lebih bersifat pelengkap (complement) kepada kedua-dua perkara tersebut. Disamping itu, apa yang disumbangkan melalui zakat adalah tidak kekal dimana sumbangannya akan digunakan dalam bentuk hangus, sedangkan harta wakaf adalah berbentuk produktif iaitu kekal dan boleh dilaburkan dalam pelbagai

22

bentuk untuk faedah masa hadapan. SEJARAH PERLAKSANAAN WAKAF 23 Rasulullah SAW merupakan perintis kepada amalan wakaf berdasarkan hadith yang diriwayatkan oleh Umar bin Syaibah daripada Amr bin Saad bin Muaz yang bermaksud: Kami bertanya tentang wakaf yang terawal dalam Islam? Orang-orang Ansar mengatakan adalah wakaf Rasulullah SAW. (Hadith Riwayat Al-Syaukani) Orang Jahiliyyah tidak mengenali akad wakaf yang merupakan sebahagian daripada akad-akad tabarru, lalu Rasulullah SAW memperkenalkannya kerana beberapa ciri istimewa yang tidak wujud pada akad-akad sedekah yang lain. Institusi terawal yang diwakafkan oleh Rasulullah SAW ialah Masjid Quba yang diasaskan sendiri oleh Baginda SAW apabila tiba di Madinah pada 622M atas dasar ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini diikuti pula dengan wakaf Masjid Nabawi enam bulan selepas pembinaan Masjid Quba. Diriwayatkan bahawa Baginda SAW membeli tanah bagi pembinaan masjid tersebut daripada dua saudara yatim piatu iaitu Sahl dan Suhail dengan harga 100 dirham. Pandangan masyhur menyatakan individu pertama yang mengeluarkan harta untuk diwakafkan adalah Saidina Umar RA dengan mewakafkan 100 bahagian daripada tanah Khaibar kepada umat Islam. Anaknya Abdullah bin Umar RA menyatakan bahawa ayahnya telah mendapat sebidang tanah di Khaibar lalu dia datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta pandangan tentang tanah itu, maka katanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat sebidang tanah di Khaibar, dimana aku tidak mendapat harta yang lebih berharga bagiku selain daripadanya, (walhal aku bercita-cita untuk mendampingkan diri kepada Allah) apakah yang engkau perintahkan kepadaku dengannya?. Maka sabda Rasulullah SAW: Jika engkau hendak, tahanlah (bekukan) tanah itu, dan sedekahkan manfaatnya. Maka Umar telah mewakafkan hasil tanahnya itu, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh dihibah (diberi) dan diwarisi kepada sesiapa. Katanya lagi: Umar telah menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba yang baru merdeka, pejuang-pejuang di jalan Allah, ibn Sabil dan para tetamu. Tidaklah berdosa sesiapa yang menyelia tanah wakaf itu memakan sebahagian hasilnya sekadar yang patut, boleh juga ia memberi makan kawan-

kawannya, tetapi tidaklah boleh ia memilikinya. Sejak itu amalan wakaf


24

berkembang sehingga menjadi tulang belakang kepada menjadi teras kepada pembangunan umat Islam terdahulu dan berkekalan sehingga ke hari ini. Banyak institusi pendidikan seperti Universiti Cordova di Andalus, Al-Azhar al-Syarif di Mesir, Madrasah Nizamiyyah di Baghdad, al-Qurawiyyin di Fez, Maghribi, AlJamiah al-Islamiyyah di Madinah, Pondok Pesantren Darunnajah di Indonesia, Madrasah Al-Juneid di Singapura dan banyak institusi pondok dan sekolah agama di Malaysia adalah berkembang berasaskan harta wakaf. Universiti Al-Azhar contohnya telah membangun dan terus maju hasil sumbangan harta wakaf. Sehingga kini pembiayaan Univesiti Al-Azhar yang dibina sejak 1000 tahun lalu telah memberikan khidmat percuma pengajian kepada ribuam pelajar Islam dari seluruh dunia. Merekalah yang menjadi duta Al-Azhar untuk membimbing umat Islam kearah penghayatan Islam di seluruh pelusuk dunia. 3. Manfaat Harta Wakaf ..Harta wakaf dalam dioperasikan sebagai pemangkin pembangunan ekonomi umat Islam kerana ia memiliki beberapa ciri berikut: 1. Keunikan wakaf pada konsep pemisahan di antara hak pemilikan dan faedah penggunaannya. Pewakafan harta menyebabkan kuasa pemilikan hartanya akan terhapus daripada harta tersebut. Wakaf secara prinsipnya adalah satu kontrak berkekalan dan pewakaf tidak boleh lagi memiliki harta itu dengan apa jua sekalipun, kecuali sebagai pengurus harta wakaf. Secara majazinya harta wakaf adalah menjadi milik Allah Taala. 2. Wakaf adalah sedekah berterusan iaitu bukan sahaja membolehkan pewakaf mendapat pahala berterusan, tetapi penerima mendapat faedah berterusan. Dengan itu pihak yang bergantung wakaf boleh mengatur perancangan kewangan institusinya dengan berkesan untuk jangka panjang. Disamping itu pihak pewakaf tidak perlu bimbang mungkin berlaku sabotaj seperti pengubahan status wakaf tanahnya oleh pemerintah kerana kaedah fiqh menyatakan: Syarat pewakaf adalah seperti nas Syara.

25

3. Penggunaan harta wakaf adalah untuk kebajikan dan perkara-perkara yang diharuskan oleh Syara. Oleh tidak diwajibkan menentukan golongan yang mendapat manfaat daripada wakaf dan memadai menyebutkan: Saya wakafkan harta ini kerana Allah. Ciri ini membolehkan pengembangan harta wakaf kepada pelbagai bentuk moden selagimana ia menepati objektif wakaf. 5. ASURANSI a. Definisi asuransi Definisi asuransi adalah sebuah akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan kepada nasabah/klien-nya (muamman) sejumlah harta sebagai konsekuensi dari pada akad itu, baik itu berbentuk imbalan, Gaji atau ganti rugi barang dalam bentuk apapun ketika terjadibencana maupun kecelakaan atau terbuktinya sebuah bahaya sebagaimana tertera dalam akad (transaksi), sebagai imbalan uang (premi) yang dibayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan dari klien/nasabah tersebut (muamman) kepada perusahaan asuransi (muammin) di saat hidupnya. atau Dalam Ensikloped ia Indonesia di sebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang di berikan oleh penanggung (misalnya kantor asuransi) kepada yang bertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kecuriam, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya, dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang di tentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan. b. Jenis jenis asuransi 1) Asuransi beasiswa mempunyai dasar dwiguna. Pertama jangka pertanggungan dapat 5-20 tahun, disesuaikan denagn usia dan rencana sekolah anak, kedua, jika ayah (tetanggung) meninggal dunia sebelum habis kontrak, pertanggungan menjadi bebas premi sampai habis kontrak polisnya. Tetapi jika anak yang di tunjuk meninggal, maka alternatifnya ialah mengganti dengan anak yang lainnya, mengubah kontrak kepada bentuk lainnya, menerima uangnya secara tunai, bila polisnya telah berjalan tiga tahun lebih, atau membatalkan perjanjian (sebelum tiga tahun

26

belum ada harga tunai). Pembayaran beasiswaa dimulai, bila kontrak sudah habis. 2) Asuransi Dwiguna Asuransi Dwiguna dapat diambil dalam jangka 10-15-25-30 tahun dan mempunyai dua guna: a. Perlindungan bagi keluarga, bilamana tertanggung meninggal dunia dalam jangka waktu tertanggungan. b Tabungan bagi tertanggung, bilamana tertanggung tetap hidup pada akhir jangka pertanggungan. 3) Asuransai Jiwa suransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan orang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa ini, yaitu menjamin hidup anak atau keluarga yang ditinggalkan, bila pemegang polis meninggal dunia atau untuk memenuhi keperluan hidupnya atau keluarganya, bila ditakdir akan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir. 4). Asuransi Kebakaran Asuransi kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan menjamin risiko yang terjadi karena kebakaran. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan asuransi. erjanjian dibuat sedemikian rupa, agar kedua belah pihak tidak merasa dirugikan. demikianlah diantara macam asuransi yang kita kenal di Indonesia ini. Kalau kita perhatikan tujuan dari semua macam asuransi itu maka pada prinsipnya pihak perusahaan asuransi memperhatikan tentang masa depan kehidupan keluarga, pendidikannya dan termasuk jaminan hari tua. Demikian juga perusahaan asuransi turut memikirkan dan berusaha untuk memperkecil kerugian

27

yang mungkin timbul akibat terjadi resiko dalam melaksanakan kegiatan usaha baik terhadap kepentingan pribadi atau perusahaa

c. Pendapat tentang asuransi Asuransi itu haram dalam segala macam bentuknya, temasuk asuransi jiwa Pendapat ini dikemukakan oleh Sayyid Sabiq, Abdullah al-Qalqii (mufti Yordania), Yusuf Qardhawi dan Muhammad Bakhil al-Muthi (mufti Mesir). Alasan-alasan yang mereka kemukakan ialah: 1) Asuransi dengan segala bentuknya haram Adapun para ahli hukum Islam yang berpandangan bahwa asuransi dengan segala bentuknya adalah haram, antara lain Sayid Sabiq, beliau mengungkapkan bahwa : Ringkasnya bahwa persoalan ini (perjanjian asuransi, pen) ditinjau dari segi manapun tetap tidak akan cocok dengan akan shahih yang dibenarkan syariat Islam. Pendapat yang mengharamkan perjanjian asuransi ini juga didukung oleh Abdullah Al-Qalqili, Muhammad Yusuf Al-Qardhawi. Adapun yang menjadi alasan pokok keharaman perjanjian asuransi ini menurut pandangan Sayid Sabiq sebagaimna dikutip oleh Masyfuk Zuhdi adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Asuransi pada hakikatnya sama atau serupa dengan judi. Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti (uncertainty) Mengandung unsur riba / rente Mengandung unsur eksploitasi, karena pemegang polis kalau tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan. 5. 6. Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (kredit berbunga) Asuransi termasuk akad sharfi, artinya jual beli atau tukar menukar mata uang tidak dengan tunai (cash and carry).

28

7.

Hidup dan mati manusia dijadikan obyek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan Yang Maha Kuasa.

2) Asuransi di perbolehkan dalam praktek seperti sekarang Pendapat kedau ini dikemukakan oleh Abd. Wahab Khalaf, Mustafa Akhmad Zarqa (guru besar Hukum Islam pada fakultas Syariah Universitas Syria), Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas Cairo Mesir), dan Abd. Rakhman Isa (pengarang kitab al-Muamallha al-Haditsah wa Ahkamuha). Mereka beralasan: a. b. c. Tidak ada nash (al-Quran dan Sunnah) yang melarang asuransi. Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak. Saling menguntungkan kedua belah pihak. yang terkumpul dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan. e. f. g. Asuransi termasuk akad mudhrabah (bagi hasil) Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Taawuniyah). Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen. Asuransi yang bersifat sosial di perbolehkan dan yang bersifat komersial diharamkan

d. Asuransi dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi

You might also like