You are on page 1of 11

Referat Kecil

DORSAL COLUMN MEDIAL LEMNISCUS

OLEH : Ilham Syah 0508120789

PEMBIMBING: dr. Agus Tri Joko, SpS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF RSUD ARIFIN ACHMAD - FAKULTAS KEDOKTERAN UNRI PEKANBARU 2011

TRAKTUS DORSAL COLUMN-MEDIAL LEMNISCUS (DC-ML)


Definisi Traktus dorsal colum-medial lemniscus (DC-ML) adalah traktus sensoris yang bertanggung jawab untuk mentransmisikan rangsangan sentuhan halus, getaran, dan kesadaran propioseptif dari badan ke dalam korteks serebri; dan juga tekanan taktil, barognosis, graphestesia, stereognosis, pengenalan tekstur, kinesthesia, dan diskriminasi dua titik.1

Fungsi Jalur DC-ML memediasi sentuhan ringan (termasuk diskriminasi taktil), dan getaran dari tubuh. Selain itu jalur DC-ML juga memediasi kesadaran propioceptif, dimana kita dapat merasakan posisi anggota badan kita dan rasa tingkat ketegangan otot nya. Kita dapat merasakan berat tubuh bertumpu pada telapak kaki kita (seperti, kita "merasakan tanah di bawah kaki kita "). Kita juga dapat merasakan gerakan pada sendi. Jadi, beberapa impuls proprioseptif harus mencapai kesadaran. Impuls tersebut berasal dari reseptor pada otot, tendon, fasciae, kapsul sendi, dan jaringan ikat (VaterPacini dan korpukel Golgi Mazzoni), serta reseptor kulit.2,3

Anatomi dan Fisiologi Reseptor Reseptor merupakan organ sensoris khusus yang mengenal perubahan fisik dan kimia dari lingkungan eksternal dan internal pada organisme dan mengkonversikan perubahan tersebut menjadi impuls yang akan diproses oleh sistem saraf. Reseptor bisa ditemukan ujung serat saraf tepi afferen. Beberapa reseptor memberikan informasi pada tubuh tentang perubahan pada lingkungan luar yang dekat (exteroceptor) atau lingkungan luar yang jauh (teleceptor, seperti mata dan telinga). Propioceptor, seperti labirin di telinga dalam, menyampaikan informasi tentang posisi dan pergerakan rongga otak, tekanan pada otot dan tendon, posisi sendi, tenaga yang dibutuhkan untuk pergerakan khusus, dan lain-lain. Yang terakhir, proses di dalam tubuh dilaporkan oleh enteroceptor, yang disebut juga visceroceptor (termasuk osmoceptor, kemoceptor, dan baroceptor). Masing-masing reseptor

bertanggungjawab terhadap stimulus yang sesuai, jenis yang spesifik, asalkan intensitas dari stimulus tersebut di atas ambang batas.2

Reseptor pada kulit yang terlibat dalam traktus DC-ML adalah korpukel Meissner dan Vater-Pacini. Korpukel taktil Meissner terdapat pada kulit yang tidak berambut, khususnya di telapak tangan dan telapak kaki, juga pada bibir, ujung lidah, dan alat genital. Reseptor ini merespon dengan baik sentuhan dan tekanan ringan. Korpukel berlapis Vater-Pacini terdapat di lapisan kulit yang lebih dalam, khususnya pada daerah antara kutis dan subkutis, dan memediasi sensasi tekan.2

Gambar 1. Mekanoreseptor pada kulit

Kelompok kedua dari organ reseptor terletak lebih dalam dari kulit, dalam otot, tendon, fascia, dan sendi. Pada otot, contohnya, gelendong otot, yang memberi respon terhadap peregangan otot. Gelendong otot sangat tipis, merupakan badan berbentuk gelendong yang tertutp di dalam jaringan ikat kapsul dan terletak antara serat-serat lurik otot skeletal. Masing-masing gelendong otot biasanya terdiri dari 310 serat otot lurik halus, yang disebut serat otot intrafusal. Kedua ujung dari gelendong otot yang terdiri dari jaringan ikat, terikat pada jaringan ikat antara fasikula otot, jadi mereka bergerak dalam hubungannya dengan otot. Sebuah serat saraf afferent disebut ujung annulospiral disekitar bagian tengah dari gelending otot. Serat afferent ini mempunyai selubung myelin yang sangat tebal dan merupakan kelompok serat saraf dengan konduksi paling cepat pada tubuh, dan disebut serat Ia.2 Organ tendon goldi terdiri dari ujung saraf halus, berasal dari cabang dari serat saraf myelin yang tebal, yang mengelilingi sebuah kelompok serat tendon kolagen. Organ tendon golgi ini tertutup dalam kapsul jaringan ikat, terletak pada hubungan antara tendon dan otot,

serta berhubungan secara seri terhadap serat otot yang berdekatan. Seperti gelendong otot, mereka bertanggungjawab terhadap peregangan tapi pada ambang batas yang lebih tinggi.2 Rangsangan yang diterima oleh berbagai reseptor selanjutnya akan dilanjutkan oleh 3 neuron panjang dan interneuron akan mengkonduksi stimulus dari reseptor (atau ujung bebas) ke korteks somatosensorik. 3 neuron tersebut adalah : 4 y Neuron pertama: badan sel dari neuron pertama terletak di ganglion radiks dorsalis (atau ganglion aferen somatis dari saraf kranial). y y Neuron kedua: sel neuron kedua menyilang dan berakhir biasanya di thalamus. Neuron ketiga: sel neuron ketiga terletak di thalamus dan memproyeksikan rangsangan ke korteks sensorik (untuk nyeri kronis diproyeksikan di thalamus). Lalu otak akan memproses informasi yang dihantarkan oleh neuron ini, menginterpretasikan lokasi, kualitas dan intensitas lalu memberikan respon yang sesuai. Perjalanan serabut saraf aferen yang menghantarkan modalitas sensorik di dalam medula spinalis terdiri atas traktus spinoserebellaris posterior dan anterior, kolumna posterior, traktus spinotalamikus anterior dan lateral, serta traktus aferen lainnya yaitu spinoretikular, spinotektal, spino-olivary dan traktus spinovestibular.2

Gambar 2. Pengaturan tegangan otot

Thalamus Jauh di dalam otak dekat dengan nukleus basal terdapat diensefalon, suatu struktur garis tengah (midline) yang membentuk dinding-dinding rongga ventrikel ketiga, salah satu ruang tempat lewatnya cairan serebrospinalis. Diensefalon terdiri dari dua bagian utama, talamus dan hipotalamus.5 Talamus berfungsi sebagai stasiun penyambung dan pusat integrasi sinaps untuk pengolahan pendahuluan semua masukan sensorik dalam perjalanannya ke korteks. Bagian ini menyaring sinyal-sinyal yang tidak bermakna dan mengarahkan impuls-impuls sensorik penting ke daerah somatosensorik yang sesuai, serta ke daerah-daerah lain. Talamus, bersama dengan batang otak dan daerah asosiasi korteks, penting untuk kemampuan kita mengarahkan perhatian ke rangsangan yang menarik. Sebagai contoh, orang tua dapat tidur nyenyak walaupun diluar rumah bising karena lalu lintas ramai, tetapi cepat terbangun mendengar rengekan kecil bayi mereka. Talamus juga mampu menentukan kesadaran kasar berbagai jenis sensasi tetapi tidak dapatmembedakan lokasi atau intensitasnya. Kesadaran dengan derajat tertentu juga terdapat di sini. Selain itu, talamus juga berfungsi penting dalam kontrol motorik dengan secara positif memperkuat perilaku motorik volunter yang dimulai oleh korteks.3

Perjalanan Traktus DC-ML Perjalanan modalitas sensorik pada traktus DC-ML adalah sebagai berikut, rangsangan yang muncul pada reseptor di permukaan kulit dan dalam otot, sendi, dan fascia dihantarkan melalui serabut saraf afferent ke sel ganglion radiks dorsalis, dan kemudian melalui radiks posterior ke dalam medula spinalis. Didalam funikulus posterior medula spinalis, serat saraf afferent yang berasal dari anggota tubuh bagian bawah menempati posisi paling medial. Serat afferent dari anggota tubuh bagian atas masuk ke medula pada level cervikal dan membentang lebih ke lateral, jadi funikulus posterior terdiri dari dua kolom : bagian medial, fasciculus gracilis dan lateral adalah fasciculus kuneatus. Serat ini akan berjalan ke atas medula spinalis hingga mencapai medulla oblongata paling bawah (caudal) kemudian bersinaps di nukleus gracilis dan nukleus cuneatus. Nukleus kolumnal posterior ini merupakan neuron kedua, yang akan memproyeksikan axon nya ke thalamus. Kemudian seluruh serat itu menyilang pada garis tengah, dan membentuk medial lemniscus, yang akan berjalan lagi ke atas menuju medulla, pons, dan midbrain dan berakhir dan bersinaps pada nukleus ventral posterolateral dari thalamus (VPL). Serat tersebut lalu memasuki kapsula

interna (sebelah posterior traktus piramidal) dan melalui korona radiata berjalan ke korteks somatosensori primer pada gyrus postsentralis.2,3

Gambar 3. Trakus Dorsal Column Medial Lemniscus

Lesi Pada Traktus DC-ML DC-ML terutama mentransmisi impuls yang datang dari propioceptor dan reseptor kutaneus. Jika traktus ini mengalami disfungsi, seseorang tidak dapat lagi merasakan posisi badannya, juga tidak bisa mengenali objek yang berada di tangan melalui sentuhan atau mengidentifikasi angka atau huruf yang digambarkan jari pemeriksa pada telapak tangan. Kemampuan untuk membedakan dua rangsangan yang dihantarkan secara simultan pada tubuh tidak dapat lagi dilakukan. Rasa tekan juga terganggu, lantai tidak lagi terasa terinjak pada kaki, sehingga baik sikap dan gait jadi terganggu (gait ataxia), khususnya dalam gelap atau dengan mata tertutup. Tanda-tanda dari kelainan kolumnal posterior biasanya terjadi jika ada lesi pada kolumnal posterior tersebut, tapi bisa juga lesi pada nukleus kolumnal posterior, medial lemniscus, thalamus, dan gyrus postsentralis. Lesi pada dorsal column di medula spinalis akan menyebabkan gangguan pada sisi yang sama dengan lesi; setelah penyilangan di bagian bawah medulla oblongata, setiap lesi pada medial lemniscus akan menimbulkan defisit pada bagian tubuh yang berlawanan.2,3 Tanda-tanda klinis lesi pada DC-ML : 2 1. Hilangnya rasa tentang posisi dan pergerakan (sensasi kinestetik) : pasien tidak dapat menentukan posisi tubuhnya tanpa melihat. 2. Astereognosis : pasien tidak dapat mengenali dan menamai objek dari bentuk dan berat nya dengan menggunakan sensasi sentuhan saja. 3. Agraphesthesia : pasien tidak dapat mengenali dengan sentuhan sebuah angka atau huruf yang digambarkan di telapak tangannya oleh pemeriksa. 4. 5. Kehilangan diskriminasi dua titik. Kehilangan sensasi getaran : pasien tidak dapat merasakan getaran garpu tala yang ditempatkan di tulang. 6. Tanda Romberg positif : pasien tidak dapat berdiri untuk beberapa saat dengan kaki rapat dan mata tertutup tanpa bergoyang-goyang atau terjatuh.

LESI PADA FASCICULUS GRACILIS DAN FASCICULUS CUNEATUS Kerusakan pada kedua tractus ini memutuskan informasi dari otot dan sendi ke tingkat kesadaran, oleh karena itu seseorang tidak dapat mengetahui posisi dan pergerakan ekstremitas ipsilateral di bawah tingkat lesi. Dengan mata tertutup, pasien tidak mampu mengatakan posisi ekstermitas atau bagian ekstermitasnya. Misalnya, jika dilakukan dorsofleksi ibu jari kaki pasien secara pasif, ia tidak mampu mengatakan apakah ibu jari

menghadap ke atas atau ke bawah. Pasien mengalami gangguan pengendalian otot dan gerakannya tersentak-sentak atau disebut ataksia.1 Pasien juga mengalami kehilangan rasa getar di bawah tingkat lesi pada sisi ipsilateral. Keadaan ini mudah diuji dengan meletakkan garpu tala yang sedang bergetar pada tonjolan tulang seperti pada maleolus fibulae atau processus styloideus radii.1 Selain itu, juga akan terjadi kehilangan diskriminasi taktil pada sisi lesi. Keadaan ini paling mudah diuji dengan memisahkan dua titik jangka secara berangsur-angsur sampai pasien dapat membedakannya sebagai dua titik yang terpisah, tidak sebagai satu titik seperti saat pertamakali diletakkan pada permukaan kulit. Diskriminasi taktil berbeda antara bagian tubuh yang satu dengan yang lainnya. Pada individu yang normal, titik-titik harus dipisahkan sampai sekitar 3-4 mm sebelum mereka dapat dikenali sebagai titik-titik terpisah pada ujung jari. Namun pada punggung, titik-titik harus dipisahkan hingga 65 mm atau lebih sebelum dapat dikenali sebagai titik-titik yang terpisah.

Tabes Dorsalis Tabes dorsalis adalah penyakit degeneratif progresif yang berkembang lambat melibatkan kolumnal posterior (seperti : demyelinisasi) dan radiks posterior (seperti : perubahan inflamasi dengan fibrosis) pada medula spinalis. Tabes dorsalis merupakan jenis dari neurosyphilis, biasanya berkembang 15 sampai 20 tahun setelah onset dari infeksi syphilis. Simptom utama nya adalah nyeri seperti kilat, ataxia, dan inkotinensia urin; tanda pertama adalah hilangnya reflex tendon pada lutut dan pergelangan kaki, gangguan getaran dan sensasi posisi pada kaki dan lengan, serta adanya tanda Romberg. Ataxia murni akibat defek pada sensoris. Kekuatan otot, sebaliknya, tetap bertahan dalam banyak kasus. Pupil menjadi abnormal dalam 90 persen kasus, dan sebagian besar pasien menunjukkan adanya ptosis atau beberapa derajat opthalmoplegia. Atrofi pada optik biasanya sering terjadi. Nyeri seperti kilat terasa tajam, menusuk, dan singkat seperti kilat. Nyeri ini lebih sering pada tungkai tetapi juga terdapat di seluruh tubuh dari wajah hingga kaki. Kandung kemih menjadi tidak sensitif dan hypotonus, yang menyebabkan aliran inkontinensia yang tiba-tiba. Konstipasi dan megacolon, juga impotensi adalah bentuk lain dari disfungsi radiks sacral dan ganglia.4,5 Pada perjalanan fase penyakit, ataxia adalah gejala yang dominan. Pasien terhuyunghuyung saat berdiri dan berjalan. Dalam bentuk yang ringan dapat dilihat saat pasien berjalan diantara hambatan-hambatan atau pada garis lurus, akan berhenti tiba-tiba. Untuk memperbaiki ketidakstabilan ini, pasien menempatkan kaki dan tungkai nya dengan lebar,

memfleksikan tubuhnya sedikit dan mengkontraksikan otot ekstensor berulang-ulang. Dalam bergerak maju, pasien akan melemparkan tungkai yang kaku dengan tiba-tiba dan kaki mencapai lantai dengan bunyi yang pelan tidak seperti yang terlihat pada ataxia karena penyakit cerebral. Jika ataxia menjadi parah, berjalan menjadi sulit meskipun kekuatan otot tungkai kaki relatif normal.4 Krisis visceral merupakan manifestasi lainnya dari penyakit ini, sekarang jarang terlihat. Pasien tiba-tiba diserang nyeri epigastrik yang menyebar sekitar tubuh atau hingga ke dada. Bisa juga ada sensasi konstriksi torakal dan juga mual dan muntah. Gejala dapat bertahan dalam beberapa hari, tes bubur barium kadang-kadang menunjukkan adanya pylosospasme. Serangan mereda secepat datangnya, membuat pasien kelelahan, dengan rasa sakit dari kulit epigastrium. Krisis interstinal dengan kolik dan diare, krisis pharingeal dan laryngeal dengan serangan pada gerakan menelan dan dyspenu, krisis rektal dengan nyeri pada tenesmus dan krisis genitourinaria dengan strangulasi dan disuri lebih jarang muncul.4 Hipotonus, areflexia, dan ataxia berhubungan dengan gangguan pada serat propioseptif pada radiks sensoris. Hipotonus dan ketidaksensitifan kandung kemih disebabkan oleh deafferentation setinggi S2-S3; begitu juga dengan konstipasi dan impotensi. Nyeri seperti kilat dan kirisi visceral tidak bisa dijelaskan dengan lengkap tetapi kemungkinan disebabkan oleh lesi inkomplit pada radiks posterior pada tingkat berbeda. Analgesia dan ketidaksensitifan sendi berhubungan dengan hilang nya sebagian serat A dan C pada radiks.4

Brown-Squard Syndrome Brown-Squard syndrome adalah lesi medula spinalis inkomplit yang ditandai dengan gambaran klinis yang menunjukkan hemiseksi dari medula spinalis, sering pada daerah cervical. Ini merupakan sindrom yang jarang, terdiri dari defisit pyramidal berupa hemiplegia dan gangguan sensasi getaran dan sensasi posisi sendi ipsilateral serta nyeri dan defisit sensasi suhu kontralateral karena penyilangan serat traktus spinotalamikus.6

Gambar 4. Brown-Sequard Syndrome

Brown-Squard syndrome bisa merupakan hasil dari trauma spinal, tapi banyak etiologi lainnya. Komplit hemiseksi, menyebabkan gejala klinis klasik dari Brown-Squard syndrome murni biasanya jarang terjadi. Inkomplit hemiseksi yang menyebabkan BrownSquard syndrome dengan tanda dan gejala lainnya lebih sering. Gejala ini biasanya ada keterlibatan kolumnal posterior seperti hilangnya sensari getaran.6 Brown-Squard syndrome parsial ditandai dengan paresis asimetris dengan hypalgesia atau lebih jelas pada sisi yang kurang paresis. Brown-Squard syndrome murni berhubungan dengan hal berikut : 6 1. Gangguan pada traktus kortikospinalis lateral y y y 2. Paralisis spatik ipsilateral dibawah tingkat lesi. Tanda babinski positif ipsilateral lesi. Refelks abnormal dan tanda Babinski bisa muncul pada trauma akut.

Gangguan pada kolumnal posterior-gangguan diskriminasi taktil ipsilateral, getaran, dan sensasi posisi di bawah tingkat lesi.

3.

Traktus spinotalamikus : gangguan kontralateral dari nyeri dan sensasi suhu. Ini biasanya muncul 2-3 segmen dibawah tingkat lesi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Snell RS, Neuroanatomi klinik. Edisi kelima. Jakarta: EGC; 2006. 2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi kedua. Jakarta : EGC; 2001. 3. Baehr M, Frotscher M. Duus, topical diagnosis in neurology.4th Completely Revised Edition. New York: Thieme; 2005. p.18-51 4. Chusid JG, deGroot J. Correlative Neuroanatomy. 20th Ed. United States of America: Appleton & Lange; 1988. 5. Ropper AH, Brown RH. Adam and victors principles of neurology. 8th Ed. USA : McGraw-Hill. 6. Beeson MS. Brown-Squard syndrome. 2008. [diakses tanggal 20 Agustus 2011]. Dikutip dari : (http://emedicine.medscape.com/article/791539)

You might also like