You are on page 1of 4

MENELAAH PENANGANAN KELAINAN JIWA

BERDASARKAN PASAL 44 KUHP

Tulisan ini sebagai Tanggapan mengenai beberapa pendapat yang muncul dikalangan ahli
hukum mengenai tindakan dan hukuman bagi mereka para penderita kelainan jiwa, yang
melakukan tindak kejahatan, khususnya di Indonesia, sudah menjadi realita bahwa di
Indonesia akhir-akhir ini semakin sering terjadi kejahatan-kejahatan yang dilatar-
belakangi dengan terganggunya kejiwaan si pelaku, namun bagian yang terpenting adalah
mengenai bagaimanakah seharusnya hukum memandang kasus-kasus seperti ini,
sehingga terlahir suatu bentuk penanganan yang tepat bagi para pelaku kejahatan yang
memiliki gangguan jiwa. Sebab ketentuan hukum yang ada pada saat sekarang ini tidak
menguraikan secara jelas mengenai batasan pertanggungjawaban pidana seseorang yang
menderita kelainan jiwa. Setelah membaca beberapa pendapat pakar hukum pidana saya
justru tertarik untuk lebih mendalami permasalahan ini, dan kurang lebih saya
mendapatkan sebuah pemikiran sebagai hasil analisa.

Dengan kemampuan pengamatan dan daya analitis yang masih sederhana, penulis akan
sedikit uraikan pernyataan para ahli hukum yang mengatakan bahwa pasal 44 ini
memiliki kelemahan dalam penerapannya. Pasal 44 KUHP ini melahirkan dua perbedaan
pendapat di dunia pakar hukum Indonesia :

1. Bahwa pasal ini ditujukan kepada orang yang tidak mampu bertanggung jawab
dan dalam kondisi yang sakit secara kejiwaan atau tidak sempurna akalnya,
sehingga menurut mereka “kelainan jiwa” pun termasuk didalamnya, sehingga
alasan peniadaan pidana pun layak untuk dijatuhkan terhadap mereka.
Konsekuensi logisnya, yaitu lepas dari segala tuntutan jika memang tersangka
berada dalam kondisi yang diurai diatas,

2. Bahwa pasal ini kurang jelas dalam memberikan uraian mengenai batasan
kemampuan bertanggung jawab seseorang, pada praktiknya di dalam proses
penyelidikan seringkali ditemukan fakta bahwa tersangka masih dalam keadaan
normal dan “prima” secara fisik, namun secara mental dan kejiwaan ia
bermasalah sehingga ia melakukan kejahatan, inilah yang dimaksud dengan
“kelainan jiwa” jelasnya dalam tahap pemikiran ini, gangguan jiwa ini terbagi
menjadi “sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”.

Pada kerangka Pemikiran pertama diatas, kelainan jiwa tergolong menjadi sebuah
kondisi dimana orang yang mengalaminya harus dilepas dari segala tuntutan hukum jika
memang terbukti adanya kelainan jiwa dalam diri tersangka, dengan kata lain pendapat
ini tidak membedakan antara “sakit” dan “kelainan jiwa”.

Semula penulis pun berada pada tahap pemikiran ini, namun setelah mereview kembali
putusan terhadap Robot Gedek dan Dukun AS, yang terhadap mereka dijatuhkan
hukuman mati, penulis mulai mempertanyakan mengapa seseorang yang memiliki
kecenderungan “lain” secara mental atau secara kejiwaan, masih tetap saja dapat di
berikan hukuman, bahkan hukuman mati,

Jika mengikuti alur pemikiran poin pertama, bukankah seharusnya lepas dari segala
tuntutan hukum ?mengapa tetap dijatuhi hukuman??

Nyonya Anik yang membunuh ketiga anaknya saja bisa lepas, sedangkan dukun AS dan
Robot Gedeg dijatuhi hukuman, bahkan hukuman mati, kemudian Ryan yang saat ini
cenderung lebih besar kemungkinan ia dijatuhi hukuman, Apa hanya karena alasan
kejahatan mereka terlalu biadab dibanding ibu anik?? Ini adalah pertanyaan yang muncul
dalam benak saya sebagai mahasiswa Hukum.

Intinya, ketika memang pasal 44 itu memiliki arti baik itu “sakit jiwa” atau “kelainan
jiwa” adalah dianggap dalam posisi tidak mampu bertanggungjawab, seharusnya tidak
boleh memunculkan bentuk putusan yang berbeda, mereka harus dilepas.

Pada kerangka pemikiran para ahli yang ke 2, gangguan jiwa ini terbagi menjadi
“sakit jiwa” dan “kelainan jiwa”, sejalan dengan pemikiran pertama jika tersangka
tergolong dalam “sakit jiwa” maka tersangka harus dilepas dari segala tuntutan hukum,
namun dalam tahap pemikiran ini seorang penderita “kelainan jiwa” dianggap sebagai
orang yang mampu bertanggungjawab dan harus diadili, sebab mereka ini sadar ketika
melakukan kejahatan bahkan didahului dengan niat terlebih dahulu. Dari sinilah penulis
mulai memahami, mungkin inilah alasannya kenapa Dukun AS, Robot Gedeg dan
mungkin Ryan dapat dijatuhi hukuman, tapi bukankah ini menyalahi ketentuan pasal
44 KUHP?

Dari kedua pemikiran diatas sebenarnya sangat cukup untuk membuktikan betapa
lemahnya pasal 44 KUHP, khususnya untuk diterapkan pada zaman sekarang ini.
Tentunya diperlukan perubahan redaksi pasal agar lebih jelas untuk dipahami dan
menghindarkan diskresi seminimal mungkin, ini demi terwujudnya kepastian hukum.
Sebab sudah menjadi bukti nyata bahwa nyonya anik lepas dan dukun AS dihukum mati.

Mengenai definisi gangguan kejiwaan, jika kita menengok kacamata dunia kedokteran,
bentuknya sangat beragam dan sangat luas, contoh saja penulis kemukakan bahwa
menurut dunia kedokteran khususnya psikologi, ketika seseorang memiliki niat untuk
melakukan tindak kejahatan ini sudah merupakan “kelainan’ dan berbeda dengan cara
berpikir orang yang normal, terlebih lagi melakukannya, manusia seharusnya hidup
berdampingan secara damai dan memberikan manfaat bagi orang lain, dan ketika terjadi
sebuah penyimpangan maka ini sudah terjadi sebuah konflik jiwa/gangguan jiwa.

Menurut penulis, pasal yang seharusnya dimuat sebagai pasal pengganti pasal 44,
memuat pengertian yang jelas apakah yang dimaksud itu adalah “sakit jiwa” atau
“kelainan jiwa”, seharusnya kalimat “jiwanya cacat dalam tumbuhnya” ini diperjelas,
sebab ini memang dapat diasumsikan juga sebagai “kelainan jiwa”, dan ini pun
memungkinkan seorang psikopat lolos dari jeratan hukum. Tentu tidak akan ada yang
setuju ketika seorang psikopat lolos dari jeratan hukum…..!!!
Dalam pasal 44 ayat 2 KUHP, dikatakan bahwa jika terbukti seperti apa yang dilantunkan
dalam ayat (1), maka hakim dapat memerintahkan orang tersebut ke rumah sakit jiwa
dalam masa percobaan 1tahun. Pertanyaan saya….ini diberikan pada saat putusan atau
masih dalam masa pemeriksaan dan sidang ditunda hingga tersangka dinyatakan stabil??

Lihat kasus Ibu anik, ini dibacakan dalam putusan!!sehingga memungkinkan ia kembali
berinteraksi di masyarakat setelah dinyatakan stabil oleh Rumah sakit. Tak terbayang
bagaimana jika Ryan, Dukun AS, dan Robot Gedek diberikan putusan seperti ini, lebih
baik saya pindah ke luar negeri….

Nah, betul kan….pasal 44 ini sangat kontradiktif dan sangat tidak jelas, sehingga
memungkinkan perbedaan putusan oleh hakim, dan nasib psikopat juga penderita
Schizophrenia dalam golongan paranoid, memiliki nasib yang berbeda pula…ada yang
dihukum mati, ada yang bebas..!!!!padahal mereka ini sama-sama penderita kelainan
jiwa..!!!

Penulis, setuju apabila kelainan jiwa ini harus dijatuhkan hukuman……dan untuk
membantu berpikir dalam mencari alasan apa sebetulnya yang menjadi kekuatan hukum
untuk mengadili penderita kelainan jiwa??sementara kelainan jiwa itu tidak dikehendaki
oleh si tersangka.

1. Karena Straafbarfeit.
2. Karena sebuah teori dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia karangan
Utrecht yang diterjemahkan oleh Moh Saleh Djindjang halaman 13, yang
mengatakan bahwa :

“Tugas hukum itu menjamin kepastian hukum, hubungan-hubungan


yang terdapat dalam pergaulan masyarakat. Kepastian ini kepastian
yang dicapai oleh karena hukum. Dalam tugas itu otomatis tersimpul
dua tugas lain, yang kadang-kadang tidak dapat disetarakan, yaitu
hukum harus menjamin keadilan maupun hukum harus tetap berguna,
terkadang adil dikorbankan agar hukum dapat berguna”.

Sedikit saja akan saya ulas mengenai penanganan kejahatan dalam jenis ini di Negara
Inggris, untuk kategori “sakit jiwa”/gila mereka langsung diputus “hospital order”, dan
bagi mereka penderita “kelainan jiwa” ini tetap harus dijatuhkan hukuman dan diproses
seperti orang normal, hanya saja dalam keadaan-keadaan tertentu dapat diberikan
“Diminished Responsibilities” ini tergantung hakim.

Untuk penderita kelainan jiwa ada sebuah fasilitas khusus disamping Rumah sakit jiwa
yaitu Assylum, selain sebagai fasilitas pemulihan kejiwaan, tempat ini pun digunakan
sebagai pengganti “penjara”, maksud penulis adalah penderita kelainan jiwa biasanya
diberikan putusan atau hukuman seperti orang normal, sebab pada prinsipnya
mereka ini sadar dan masih dapat berkomunikasi dengan baik, namun sebagai
tambahannya pasti ada perintah “hospital order” atau diserahkan ke Assylum, sampai
keadaannya pulih, kemudian setelah pulih ia kembali ke penjara untuk melanjutkan sisa
hukumannya. Misalkan ia dihukum 10 tahun penjara, tapi dalam 5 tahun keadaannya
sudah pulih akibat perawatan di Rumah sakit atau Assylum, setelah pulih ia kembali ke
Penjara untuk melanjutkan sisanya.

Lebih hebatnya lagi di Inggris ada sebuah ketentuan yang mengatakan bahwa bagi
seorang tahanan berhak mendapatkan layanan kesehatan jiwa, jadi psikiater bisa datang
jika diperlukan untuk memeriksa dan mengobati tahanan, dan tahanan pun dapat dikirim
ke rumah sakit jiwa untuk pengobatan jika memang diperlukan, tentunya setelah sembuh
tahanan tersebut kembali lagi ke penjara. Ini tercantum dalam Mental Health Act,1983
pasl 37 dan 41.

Paling tidak Indonesia juga seharusnya memperhatikan masalah ini, jangan


mengandalkan Rumah sakit jiwa saja………belum lagi prosedurnya tidak diatur secara
lengkap untuk penanganan Pelaku kejahatan jenis ini. KUHAP tidak menjelaskan
teknisnya……Lantas bagaimana solusinya???pasti jawabannya…dana dan fasilitas yang
masih kurang untuk menjalankan prosedur keren seperti di Inggris…..

Tulisan ini dimuat, untuk mendapatkan tanggapan yang kritis dan sangat membantu
penulis….sebab ini merupakan garapan Skripsi Penulis…!!!

Reggy Prio Soekmono


Mahasiswa FH
Bandung,

You might also like