You are on page 1of 7

SEPSIS Latar belakang Sepsis merupakan suatu penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada bayi-bayi yang dirawat

di rumah sakit dan pada bayi-bayi prematur. Patofisiologi dan simptom sepsis pada orang dewasa dan anak-anak pada dasarnya hampir sama, yaitu mengindikasikan adanya respon inflamasi sistemik yang menyebabkan terjadinya koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan dan organ yang tidak adekuat, dan pada akhirnya, kegagalan organ dan kematian. Walaupun kedua kelompok usia ini menunjukkan gambaran yang hampir sama, namun sebenarnya ada beberapa perbedaan-perbedaan, seperti perbedaan peran mediator-mediator sepsis, dan patofisiologi dari sepsis itu sendiri pada orang dewasa, anak-anak, dan pada bayi. Dalam beberapa tahun terakhir, sudah terjadi kemajuan-kemajuan pesat akan pemahaman potofisiologi sepsis. Inflamasi, aktivasi koagulasi, dan proses fibrinolisis yang terganggu/tersupresi, merupakan mekanismemekanisme penting sebagai patofisiologi sepsis dan dikenal dengan sepsis cascade. Terapi-terapi terbaru yang potensial terhadap sepsis kini lebih diarahkan kapada respon selular. Pemahaman akan patofisiologi sepsis tentunya penting untuk diagnostik dengan sensifitas dan spesifisitas yang baik untuk deteksi dini serta penatalaksanaannya. Definisi Sepsis Pada tahun 1992, The American College of Chest Physicians and the Society of Critical Care Medicine (ACCP/SCCM) mengembangkan suatu konsensus tentang definisi sepsis. Beberapa diskusi dilakukan untuk membahas tentang dapat tidaknya definisi ini diaplikasikan kepada bayi atau neonatus. Hal ini menyangkut adanya perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada usia, seperti nilai-nilai normal tekanan darah, frekwensi, frekwensi pernafasan, oliguria, dan jumlah leukosit. Selain itu, adanya beberapa sindrom seperti syok kardiogenik, syok hemoragic, dan syok ensefalopati yang menyerupai syok septic. Konsensus internasional ini telah diadaptasi untuk pemakaian di bagian pediatric. Pada pembahasan patofisiologi sepsis ini, yang dipakai adalah konsensus internasional tentang sepsis, yakni adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dengan infeksi. Patofisiologi Sepsis Sepsis merupakan hasil interaksi yang kompleks antara organisme patogen dan tubuh manusia sebagai pejamu. Tinjauan mengenai sepsis berhubungan dengan patofisiologi yang kompleks untuk mengilustrasikan gambaran klinis akan suatu hipotensi yang berat dan aliran darah yang terbendung akibat terbentuknya mikrotrombus di dalam sistem kapiler. Hal ini dapat menyebabkan disfungsi organ yang kemudian dapat berkembang menjadi disfungsi dari beberapa organ dan akhirnya kematian.

Proses molekuler dan seluler dari pejamu sebagai respon terhadap sepsis adalah berbeda-beda tergantung dari jenis organisme yang menginvasi (organisme Gram-positif, organisme Gram-negatif, jamur, atau virus). Respon pejamu terhadap organisme Gram-negatif dimulai dengan dikeluarkannya lipopolisakarida, yakni endotoksin dari dalam dinding sel bakteri Gram-negatif, yang dikeluarkan saat proses lisis. Organisme Gram-positif, jamur dan virus memulai respon pejamu dengan mengeluarkan eksotoksin dan komponenkomponen antigen seluler. Kedua substansi tadi memicu terjadinya kaskade sepsis yakni dimulai dengan pengeluaran mediatormediator inflamasi. Mediator-mediator inflamasi adalah substansi yang dikeluarkan dari sel sebagai hasil dari aktivasi makrofag. Hasilnya adalah aktifnya sistem koagulasi dan sistem komplemen. Kerusakan utama akibat aktivasi ini terjadi pada endotel dan menyebabkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombus. Akibat aktivasi endotelium, terjadi peningkatan jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada lesi tersebut. Lesi pada endotel berhubungan dengan proses fibrinolisis yang terganggu. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah reseptor pada permukaan sel yang diperlukan untuk sintesis dan pemunculan molekul antitrombotik. Kaskade sepsis ini menghasilkan kebocoran kapiler dan vasodilatasi yang dapat berkembang lebih lanjut menjadi disfungsi organ dan syok. Multiorgan Dysfunction Syndrome (MODS) dapat terjadi ketika syok, kebocoran kapiler, dan vasodilatasi tidak distabilkan, dan dapat menyebabkan kematian. Wawasan Baru Tentang Patofisiologi Sepsis Sebelumnya, sepsis secara utama hanya dipandang sebagai suatu kekacauan sistem inflamasi. Beberapa studi terakhir mengindikasikan bahwa mekanisme sepsis juga mencakup aktivasi koagulasi dan terganggunya fibrinolisis yang menyebabkan terbentuknya protrombin sebagai hasil abnormalitas endotel yang diinduksi oleh sepsis dan kemudian disfungsi organ. Respon Inflamasi Pada orang dewasa, tumor necrosis factor alpha (TNF- ) merupakan mediator sepsis yang terutama di samping beberapa sitokin dan sel-sel lain yang juga terlibat. Mula-mula, makrofag teraktivasi dan memproduksi sejajaran mediator-mediator proinflamasi, termasuk TNF- , Interleukin-1 (IL-1), IL-6, IL-8, platelet activating factor (PAF), leukotrien, dan thromboxane-A2. Mediator-mediator proinflamasi ini mengaktifkan banyak jenis sel, menginisiasi kaskade sepsis, dan menghasilkan kerusakan endotel. Ketika terluka, sel-sel endotel dapat dilalui oleh granulosit dan unsur-unsur plasma menuju jaringan yang mengalami inflamasi, yang mana dapat berujung pada kerusakan organ. Inflamasi sel-sel endotelial menyebabkan vasodilatasi melalui aksi nitric oxide pada pembuluh darah otot polos. Hipotensi yang berat

dihasilkan dari produksi nitric oxide yang berlebihan, sehingga melepaskan peptida-peptida vasoaktif seperti bradikinin dan serotonin, dan dengan kerusakan sel endotel ini, terjadilah ekstravasasi cairan ke jaringan interstisial. Aktivasi IL-8 dapat menyebabkan disfungsi paru-paru melalui aktivasi netrofil yang berada di paruparu. Kerusakan kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas di paru-paru, serta dapat menyebabkan oedem paru non kardiogenik. Sitokin-sitokin proinflamasi mengaktivasi sistem komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif. Sistem komplemen merupakan komponen yang esensial pada imunitas bawaan. Namun demikian, aktivasi yang berlebihan, seperti yang terjadi pada sepsis, dapat menyebabkan kerusakan endotel. C5a dan produk dari aktivasi komplemen lainnya mengaktifkan kemotaksis neutrofil, fagositosis dengan pelepasan enzim lisosom, sintesis leukotrien, meningkatkan agregasi dan adhesi trombosit dan neutrofil, degranulasi, dan produksi radikal oksigen yang toksik. Aktivasi sistem komplemen menghasilkan pelepasan histamin dari mast cells dan meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan terkumpulnya cairan di dalam rongga ketiga yang dapat ditemukan pada keadaan sepsis. Pada hewan percoobaan, C5a menginduksi hipotensi, vasokonstriksi pulmonal, neutropenia, dan kebocoran vaskular sehubungan dengan kerusakan kapiler. Data-data yang menggambarkan mediator-mediator sepsis dan antagonisnya pada orang dewasa tidak dapat diaplikasikan seluruhnya pada anak-anak. Perkembangan mediator-mediator sepsis dan aktivitas agonis naturalnya pada anak-anak masih belum jelas. Pada neonatus, didapatkan fungsi sel-B yang terganggu serta perubahan produksi sel-T. Neonatus, terutama bayi yang lahir prematur memiliki sistem komplemen yang terganggu baik kuantitas maupun kualitasnya. Respon mediator yang utama pada orang dewasa lebih mudah dipahami dibandingkan dengan pada anak-anak. Perbedaan presentasi pada neonatus dapat lebih kepada kesatuan kuantitatif (level darah bervariasi menurut usia) versus perbedaan kualitatif (respon fisiologis terhadap aktivasi mediator). Orang dewasa dan bayi menampakkan gejala-gejala yang mengindikasikan respon inflamasi sistemik yang menuju kepada koagulopati, hipotensi, perfusi jaringan perifer serta organ yang inadekuat, dan akhirnya kegagalan organ serta kematian. Dengan memahami respon mediator inflamasi, dapat dicari hubungan antara gambaran klinis sepsis dengan patofisiologi yang mendasarinya serta penting untuk memahami mekanisme terapi untuk penatalaksanaan sepsis. Tabel 2 menggambarkan sketsa efek biologis dan klinis dari mediator-mediator inflamasi dan menegaskan perbandingannya pada neonatus.

Hubungan Inflamasi dan Koagulasi Inflamasi dan koagulasi sangat berkaitan erat di dalam terjadinya sepsis. Mediator-mediator inflamasi membangkitkan ekspresi tissue factor dan menginisiasi koagulasi melalui aktivasi jalur ekstrinsik, sementara pembentukan trombin dari koagulasi yang teraktivasi menstimulasi aktifnya mediator-mediator proinflamasi. Pelepasan TNF- , IL-1, and IL-6 menghasilkan monosit-monosit yang aktif untuk mengekspresikan tissue factor (TF) yang kemudian akan menstimulasi kaskade koagulasi ekstrinsik dan produksi fibrin. Tissue factor merupakan reseptor dengan afinitas tinggi serta kofaktor untuk faktor VIIa. Saat TF diekspresikan kepada monosit, dia menempel pada factor VIIa untuk membentuk kompleks aktif yang mengubah factor-faktor X dan IX menjadi bentuk yang aktif. Munculnya tissue factor secara langsung mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik, dan melalui feedback loops, mengaktifkan jalur intrinsik secara tidak langsung. Kolagen dan kallikrein mengaktivasi koagulasi jalur intrinsik serta mengubah protrombin menjadi trombin. Trombin memiliki efek multiple pada inflamasi dan juga membantu memelihara keseimbangan antara koagulasi dan fibrinolisis. Trombin memiliki efek proinflamasi pada sel-sel endotel, makrofag, dan monosit, menyebabkan pelepasan TF, platelet activating factor, dan TNF- . Respon sitokin berkontribusi pada aktivasi platelet dan agregasi. Trombin menstimulasi chemoattractant bagi neutrofil dan monosit untuk memfasilitasi kemotaksis. Trombin yang berlebihan akan menstimulasi terjadinya inflamasi dengan meningkatkan produksi sel endotel E-selectin dan P-selectin yang menghasilkan perlekatan neutrofil pada endothelium. Proses ini berperan dalam pembentukan mikrotrombus. Trombin juga menstimulasi degranulasi mast cell yang melepaskan bioamin yang kemudian akan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler. Tubuh memiliki mekanisme inhibisi bawaan serta antikoagulan endogen untuk memelihara homeostasis. Protein C yang teraktivasi memiliki reaksi antitrombosis yang dihasilkan dari inaktivasi faktor Va dan VIIIa. Secara tidak langsung, produksi trombin juga mengurangi inflamasi dan memperbaiki aktifitas fibrinolisis. Protein C yang teraktivasi juga menurunkan ekspresi TF. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) diproduksi oleh sel-sel endotel dan TF yang tidak aktif. TFPI juga dapat menginhibisi faktor-X secara langsung. Seluruh mekanisme-mekanisme ini terganggu pada keadaan sepsis. TNF- menyebabkan terganggunya inhibisi pembentukan trombin: antitrombin III, protein C, protein S, dan TFPI. Proses ini mengarah kepada generasi trombin yang tidak teratur. Trombin mengaktivasi faktor V dan VII pada jalur ekstrinsik, serta faktor IX pada jalur intrinsik. Hasil akhir dari dari aktifasi tiap jalur adalah berhubungan dan sama; protrombin memproduksi trombin, dan fibrinogan diubah menjadi fibrin. Bila proses ini tidak diperiksa oleh antikoagulan natural, trombin akan

menyebabkan koagulasi yang tidak terkontrol yang mengarah kepada disfungsi organ seperti yang terjadi pada keadaan sepsis berat. Walaupun bukan dalam keadaan sepsis, neonatus dan bayi-bayi prematur memiliki predisposisi terhadap hiperkoagulasi. Kadar protein C dan protein S dalam plasma neonatus tereduksi. Sebaliknya, kadar trombomodulin reseptor endotel meningkat pada periode neonatal. Selama sepsis, hiperkoagulasi ini dapat bereksaserbasi dengan meningkatkan jumlah factor-faktor inhibisi koagulasi (antithrombin [AT], protein C, protein S, reduced thrombomodulin, dan inhibisi fibrinolisis oleh plasminogen activator inhibitor-1 [PAI-1]). Fibrinolisis yang terganggu Fibrinolisis (lisisnya bekuan/clot) merupakan respon homeostasis tubuh untuk mengaktifkan sistem koagulasi. Pembersihan fibrin penting untuk penyembuhan luka, angiogenesis, dan rekanalisasi pembuluh darah. Aktivator fibrinolisis meliputi aktivator plasminogen jaringan sel endotel tissue plasminogen activator (tPA) atau urokinase plasminogen activator (u-PA). Tubuh juga memiliki inhibitor alami terhadap fibrinolisis, seperti PAI-1 dan thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). Aktivator serta inhibitor diperlukan untuk memelihara keseimbangan homeostasis. Sepsis mengganggu respon fibrinolisis yang normal dan membuat tubuh kurang mampu untuk menghilangkan mikrotrombus. TNF- mensupresi fibrinolisis dengan meningkatkan level PAI-1 serta mencegah pembersihan fibrin. Pemecahan fibrin menghasilkan produk degradasi fibrin (fibrin degradation products) seperti D-dimer yang sering. Melalui jalan ini, mediator-mediator proinflamasi (IL-6 dan TNF- ) bekerja secara sinergis untuk meningkatkan jumlah fibrin, yang dapat menyebabkan trombosis pada pembuluh darah berukuran kecil dan sedang., serta potensial terhadap disfungsi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat termanifestasikan sebagai distress pernafasan, hipotensi, gagal ginjal, dan yang paling berat adalah progresi ke arah kematian. Kadar trombin yang tinggi yang dihasilkan dari aktivasi koagulasi menuntun kepada aktifnya TAFI. Meningkatnya jumlah TAFI merupakan mekanisme penting dalam inhibisi system fibrinolisis selama sepsis. Protein C endogen yang teraktivasi memiliki sifat profibrinolitik dengan kemampuannya untuk menginhibisi PAI-1 dan membatasi pembentukan TAFI. Pada keadaan sepsis, kerusakan endotelium mengurangi kemampuan tubuh untuk mengubah protein C menjadi protein C yang teraktivasi. Sebagai akibatnya, pada keadaan sepsis, kemampuan untuk memulihkan homeostasis melalui efek profibrinolitik dari protein C terganggu.

Respon koagulasi dan sistem fibrinolisis yang sejenis dapat dilihat juga pada bayi dengan infeksi meningokokus. Hubungan antara protein C yang sangat rendah dengan tingginya mortalitas menyokong hipotesis yang menyebutkan bahwa mekanisme dari penyakit yang mendasari sepsis secara kualitatis adalah sama, tanpa melihat kuantitas atau perbedaan faktor darah berdasarkan usia. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) Manifestasi klinis infeksi tergantung pada virulensi organisme yang terkena serta respon inflamasi tubuh terhadap agen infeksi. Istilah SIRS sering digunakan untuk menjelaskan keunikan proses infeksi serta respon sistemik yang mengikutinya. Selain infeksi, SIRS juga dapat dihasilkan dari trauma, syok hemoragic, penyebab-penyebab iskemia yang lain, serta pankreatitis. Pasien-pasien dengan SIRS memiliki spektrum gejala klinis yang menampakkan proses patologis yang progresif. Batasan SIRS ialah respon inflamasi sistemik terhadap gangguan/kerusakan klinis yang ditandai dengan adanya dua atau lebih hal-hal berikut: (1) Temperatur tubuh yang tidak stabil (<35>38,5 C), (2) Disfungsi respirasi (tachipnoe atau hipoksemia) (3) Disfungsi Cardiac (tachicardia, delayed capillary refill >3 detik, hipotensi), dan (4)Abnormalitas perfusi (oliguria, asidosis laktat, perubahan status mental). Meningkatnya permeabilitas vaskuler menyebabkan kebocoran kapiler pada jaringan perifer dan paruparu yang mengakibatkan terjadinya udem perifer dan udem paru-paru. Kerusakan jaringan pada akhirnya akan menyebabkan kegagalan multiorgan dan kematian. Pemeriksaan Penunjang Sepsis Dalam menentukan diagnosis sepsis, riwayat perinatal, pemeriksaan fisik, serta perjalanan penyakit harus dievaluasi dengan cermat. Pemeriksaan darah rutin dan hitung jenis leukosit umumnya bermanfaat walaupun tidak spesifik untuk sepsis. Adanya leukopenia (<> 0,2, mengindikasikan prediksi yang mengarah kepada sepsis. Bila hal-hal tersebut tidak ditemukan, maka kemungkinan sepsis adalah minim. Akurasi prediksi ini penting untuk dibuktikan dengan reevaluasi dalam 8-24 jam. Trombositopenia, granul toksik, vakuolisasi, dan badan Dhle merupakan perubahan lain yang dapat membantu menyingkirkan kemungkinan sepsis. Leukositosis dan neutrophilia bukan indikator yang baik untuk kemungkinan sepsis.

Tes aglutinasi latex terhadap adanya antigen GBS umumnya dilakukan pada urin. Namun demikian, positif palsu terjadi pada lebih dari 10% kasus. Pengukuran mikrosedimentation rate, C-reactive protein, fibronectin, dan haptoglobin memiliki akurasi dan spesifisitas yang rendah. Pemeriksaan yang lebih lengkap mencakup radiografi thorax dan biakan darah. Pada bayi dengan resiko tinggi, kurang dari 72 jam, dan asimtomatik, biakan urin dan spinal tap juga perlu dilakukan. Bayi-bayi pada keadaan di atas biasanya tidak mungkin menderita meningitits tanpa adanya hasil positif pada biakan darah. Meskipun demikian, walaupun biakan darah sudah memberi hasil positif, LCS juga harus tetap diperiksa. Bila LCS positif atau bila ada tanda yang jelas akan adanya meningitis walaupun dengan hasil biakan negatif, pemberian terapi antibiotik harus diperpanjang. Setelah 72 jam pertama post partum atau ketika ada kecurigaan kuat terhadap sepsis, aspirasi suprapubik dan LCS sebaiknya dilakukan. Beberapa bayi dalam keadaan kritis, terutama bayi BBLR, dapat diberikan antibiotik sebelum spinal tap dilakukan. Bila antibiotik sudah mulai diberikan, biakan harus diinkubasikan selam 72 jam untuk menyediakan cukup waktu bagi organisme untuk berkembang biak sebelum biakan dinyatakan negatif dan terapi antibiotik intravena dihentikan. Hanya sekitar 82-90% biakan darah sensitif pada neonatus. Karena itu, dengan adanya kecurigaan klinik yang cukup kuat terhadap sepsis serta jumlah leukosit yang abnormal, bayi harus diterapi lengkap dengan antibiotikwalaupun dengan hasil biakan yang negatif . Pemeriksaan cairan serebrospinal umumnya sukar diinterpretasikan pada neonatus. LCS normal dapat mengandung sampai 32 leukosit per mikroliter, dengan 60% sel PMN. Kadar glukosa LCS bervariasi pada neonatus, namun secara umum 40% lebih tinggi dari kadar glukosa dalam plasma. Protein dapat mencapai 180mg/dL atau lebih tinggi pada bayi prematur. Organisme sebaiknya dilihat dengan pewarnaan Gram. Penatalaksanaan Sepsis Bila kecurigaan sudah cukup kuat ke arah sepsis, maka beberap tes harus dilakukan segera dan pemberian antibiotic perlu dilakukan segera. Antibiotik dilanjutkan sampai hasil ada hasil biakan dan respon klinis terhadap intervensi dievaluasi. Mula-mula, infeksi diterapi empiris dengan antibiotik spektrum luas seperti penisilin dan aminoglikosida untuk mencakup organisme-organisme Gram-positif dan Gram-negatif. Ketika organisme penyebab telah diidentifikasi, antibiotik tadi mungkin perlu diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai. Beberapa golongan antibiotik yang biasanya dipakai antara lain adalah: ampicillin, gentamicin, cefotaxime, vancomycin, metronidazole, erythromycin, dan piperacillin. Pilihan antibiotik harus didasarkan pada organisme yang bersangkutan dengan sepsis tersebut, sensitifitas agen bakterial, serta harus mencegah tren infeksi naosokomial. Perlu diingat bahwa infeksi virus juga dapat menyerupai infeksi bakteri.

You might also like